Cheng Hoa Kiam jilid 02, karya Kho Ping Hoo - Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa, mengejek dan tasbehnya menyambar cepat sekali melebihi cepatnya datangnya gembolan dan tasbeh ini menyambar ke arah sepasang lengan yang memegang senjata-senjata itu!

"Curang!" bentak orang yang baru datang dan terpaksa menarik kembali sepasang gembolannya karena kalau dilanjutkan, sebelum sepasang senjatanya mengenai lawan, lebih dulu lengannya akan dihajar oleh tasbeh itu.
Akan tetapi Beng Kun Cinjin luar biasa cepatnya. Tasbehnya sudah menyusul lagi dengan serangan ke arah dada lawan yang baru datang ini. Akan tetapi, sepasang gembolan itupun dengan cepatnya menangkis. "Trangggg....!"
Beng Kun Cinjin melangkah mundur dan memandang tajam. Ia agak kaget mendapatkan-orang yang dapat menangkis tasbehnya. Di depannya berdiri seorang bertubuh pendek akan tetapi besar, nampak kuat bukan main, mukanya penuh bulu sehingga kelihatan seperti seekor singa. Kembali Beng Kun Cinjin terkejut.
Biarpun orang ini memakai pakaian sebagai Panglima Kim-i-wi kelas satu, namun ia tidak pangling. Apa lagi sepasang gembolan itu ia kenal baik. Orang ini dahulu adalah seorang tokoh kang-ouw di daerah selatan. Hek-mo Sai-ong nama julukannya. Tertawalah Beng Kun Cinjin, karena pernah satu kali Singa Hitam ini kalah olehnya dalam pertandingan pibu antara orang-orang gagah di selatan.
"Ha-ha-ha, pinceng kira siapa, tak tahunya Hek-mo Sai-ong. Kau juga menjadi pengawal kaisar? Ha-ha-ha!"
Hek-mo Sai-ong tidak menghiraukan ejekan itu, bahkan ia berkata membujuk. "Beng Kun Cinjin. Sesungguhnya akulah orangnya yang mengusulkan kepada Hong-siang (kaisar) agar kau diberi kedudukan di dalam Istana menjadi pemimpin para Kim-i-wi karena aku tahu, bahwa kaulah orangnya yang paling tepat untuk menjadi pembesar seperti itu. Hongsiang bermaksud baik dan apakah gunanya kepandaianmu kalau dalam kesempatan ini kau tidak membantu pemerintah baru mengamankan negara? Marilah kita bicara baik baik dan aku yang akan mintakan ampun kepada hongsiang agar kau diterima menjadi pengawal dan hidup mulia di sini."
Beng Kun Cinjin tertawa bergelak. "Setan hitam, suaramu mengandung racun jahat. Orang sudah membakar kelenteng dan membuat pinceng hangus seperti ini mau bicara apa lagi? Akan kubunuh kaisarmu dan akan kubasmi setan-setan macam engkau!"
"Manusia sombong dan kepala batu....” kata Hek mo Sai-ong sambil memutar gembolannya menyerang. Dua orang lihai ini bertempur hebat.
Hek-mo Sai-ong adalah Panglima Kim-i wi yang memimpin para pengawal di dalam istana bagian depan. Dia seorang tokoh kang-ouw di selatan, seorang ahli silat yang mengandalkan tenaga gwakang. Tenaganya besar seperti tenaga gajah dan ilmu silatnya juga cepat dan kuat.
Biar pun usianya sudah mendekati limapuluh tahun, namun tenaganya tidak berkurang, bahkan dari latihan yang tekun, tenaga dan kepandaiannya meningkat kalau dibandingkan dengan dahulu ketika ia pernah dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin.
Senjata benggolan adalah penggada yang ujungnya besar. Senjata ini berat sekali dan sekali menyerempet kepala pasti kepala itu akan pecah. Kalau mengenai tubuh akan membikin remuk tulang dan membikin hancur kulit daging. Apa lagi kalau yang memainkan senjata ini Hek-mo Sai-ong bukan main hebatnya.
Bagaikan sepasang garuda hitam menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, mendatangkan angin yang berbunyi karena meniup-niup keras. Ia ingin sekali merobohkan hwesio yang perhah mengalahkannya dan sekarang berkepala batu ini, maka serangannya pun bertubi-tubi dan yang dikeluarkan hanya jurus-jurus yang paling berbahaya.
Akan tetapi, duapuluh jurus kemudian ia harus mengaku bahwa selama ini Beng Kun Cinjin juga meningkat kepandaiannya dan diam-diam Hek-mo Sai-ong mengeluh. Para pengawal lainnya tidak berani turun tangan membantu karena memang bagi seorang ahli silat tinggi apa bila sedang bertempur, merasa enggan dibantu. Selain hal ini memalukan juga dapat mengacaukan permainan silatnya sendiri, dapat mengacaukan siasat penyerangan.
Akan tetapi, kalau dilanjutkan Hek-mo Sai-ong pasti akan kalah, ia sudah terdesak sekali dan hal inipun ia maklum. Kalau ia kalah, kali ini Beng Kun Cinjin takkan mengampuninya seperti dahulu ketika bertanding dalam pibu. Sekarang ini kalah berarti binasa. Untuk minta bantuan Hek-mo Sai-ong merasa malu!
Tiba-tiba sambil mengeluarkan gerengan keras, Hek-mo Sai-ong mengayun gembolannya yang kanan menyerang ke arah kepala, yang kiri mengikuti gerakan pertama dan hendak menyusulkan serangan ke dua apabila serangan pertama gagal. Dia mempergunakan gerak tipu Ji-sai-chio-cu (Dua Singa Berebut Mustika), semacam serangan yang amat berbahaya.
Serangan gembolan kanan yang menyambar ke arah kepala memang tidak begitu berbahaya bagi seorang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, akan tetapi orang harus berhati-hati terhadap gembolan kiri yang kelihatannya diam saja itu, karena ke manapun juga lawan mengelak dari gembolan kanan, akan disambut oleh gembolan kiri!
Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukan seorang luar biasa kalau tidak mengenal siasat pancingan ini. Sambil tersenyum mengejek, tasbehnya bergerak cepat membelit ujung gembolan kanan dan sambil membetot tasbehnya sehingga lawannya tertarik dan kuda-kudanya miring, ia mengirim pukulan Pai-in-ciang dengah tangan kirinya ke arah tangan yang memegang gembolan kiri.
Hek-mo Sai-ong mengeluarkan teriakan keras dan kedua gembolannya terlepas dari pegangan. Ia sendiri lalu menjatuhkan diri bergulingan sambil kedua tangannya diayun ke depan. Empat butir pelor batu melayang ke arah empat bagian jalan darah di tubuh Beng Kun Cinjin yang berbahaya.Inilah keistimewaan dari Hek-mo Sai-ong dan sering kali serangan terakhir pada saat ia amat terdesak ini merubah kedudukan dan lawannya dapat dikalahkan.
Akan tetapi, kali ini serangannya yang dilakukan secara menggelap dan tiba-tiba hanya berhasil menyelamatkan dirinya saja akan tetapi sama sekali tidak berhasil merobohkan lawan. Dengan dua gembolan rampasannya. Beng Kun Cinjin memukul runtuh empat pelor batu itu.
Kemudian sambil tertawa mengejek ia mengangkat dua gembolan lalu mengadu dua senjata itu dengan keras sekali satu kepada yang lain. Terdengar suara keras dan sepasang gembolan itu pecah berkeping-keping!
Hek-mo Sai-ong boleh menarik napas panjang dan lega karena ia terbebas dari pada maut. Kini seorang tinggi kurus bermuka hijau yang memegang senjata aneh sekali berdiri menggantikannya menghadapi Beng Kun Cinjin. Hek-mo Sai-ong girang melihat munculnya sahabatnya ini. Si tinggi kurus ini melihat muka dan sikapnya, mudah diduga bahwa dia seorang Mongol aseli.
Orangnya kelihatan lemah, mukanya kehijauan, akan tetapi dia adalah seorang ahli lweekeh yang disegani di Mongolia. Namanya Tagudai dan setelah berada di kota raja, para pengawal lain yang berlidah Tionghoa menyebutnya Ta Gu Thai.
Sepasang senjatanya istimewa sekali, merupakan lingkaran golok atau pisau sebanyak tujuh batang yang gagangnya bersambung menjadi satu pada sebuah gelang sehingga merupakan roda dari golok dengan runcingnya menghadap di luar.
Ta Gu Thai memegang sepasang roda golok ini di tengan-tengah, yakni gelangan yang ditancapi gagang gook-golok kecil itu. Selain aneh, juga senjata ini nampak mengerikan sekali berkilauan terkena cahaya lampu saking tajamnya golok-golok kecil itu.
Berbeda dengan kedudukan Hek-mo Sai-ong sebagai komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian depan, adalah Ta Gu Thal ini komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian dalam jadi boleh dibilang dialah sesungguhnya pengawal pribadi kaisar!
Dibandingkan dengan Hek-mo Sai-ong, tingkat kepandaiannya seimbang hanya bedanya kalau Hek-mo Sai-ong adalah ahli gwakang sebaliknya Ta Gu Thai ini seorang ahli lweekang. Akan tetapi mengingat bahwa senjata dari Ta Gu Thai lebih aneh dan ilmu silatnya adalah ilmu silat Mongolia aseli, maka bagi seorang ahli silat Tiongkok, Ta Gu Thai terhitung lebih "berat" untuk dilawan.
Ta Gu Thai menghadapi Beng Kun Cinjin dengan mata bersinar-sinar. Katanya mencela. "Beng Kun Cinjin, kau benar-benar tidak mengenal kemuliaan hati hongsiang yang bermaksud baik padamu."
"Maksud baik? Apakah membakar kelenteng dan niat membakar aku hidup-hidup kau katakan bermaksud baik?” Beng Kun Cinjin tersenyum sindir. "Aku hendak membunuh kaisarmu itu!"
"Hem, enak saja kau bicara. Aku adalah Ta Gu Thai, aku yang menjadi pengawal pribadi kaisar. Sebelum putus leherku bagaimana kau bisa bicara tentang niatmu yang jahat itu?"
"Kalau begitu mampuslah!" Dengan marah sekali Beng Kun Cinjin menyerang dengan tasbehnya. Serangannya keras dan cepat sekali.
Ta Gu Thai memutar roda golok sebelah kiri dan menangkis. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar ketika dua senjata ini bertemu. Beng Kun Cinjin merasa tangannya tergetar, maka maklumlah ia bahwa lawannya adalah seorang ahli lwee-keh yang tenaga lweekangnya tak boleh dipandang ringan dan seimbang dengan tenaganya sendiri.
Ta Gu Thai juga maklum dari benturan senjata tadi bahwa hwesio itu benar-benar kosen seperti yang seringkali ia dengar dari Hek-mo Sai-ong, maka ia tidak mau berlaku lambat dan cepat dua buah roda goloknya diputar cepat sehingga berubah menjadi kitiran berkilauan yang menyambar-nyambar di atas kepala, turun naik nampak indah kali.
Akan tetapi jangan dipandang ringan senjata yang nampak indah ini karena sedikit saja terkena atau tersentuh oleh roda golok yang terputar putar itu. jangan kata baru anggauta luhuh terdiri dari kulit daging tulang, biarpun senjata baja kalau pemegangnya kurang pandai dapat terbabat putus!
"Bagus, senjata yang baik dan ilmu silat yang lihai!" Beng Kun Cinjin memuji. Sudah sering kali ia menghadapi perwira-perwira Mongol yang lihai dalam pertempuran beberapa tahun dahulu ketika tentara Mongol mulai menyerbu ke selatan.
Akan tetapi harus diakui bahwa baru ini kali ia menghadapi seorang Panglima Mongol yang selain lihai ilmu silatnya dan besar tenaga lweekangny juga mempunyai sepasang senjata yang aneh dan tak pernah dilihatnya. Oleh karena itu, untuk belasan jurus lamanya ia hanya menangkis, mengelak dan mempertahankan diri saja, karena ia ingin sekali melihat jelas bagaimana sepasang senjata aneh itu dimainkan lawan.
Akan tetapi ia tidak dapat bertahan terus karena sesungguhnya lawan amat berbahaya. Setelah duapuluh jurus lewat, barulah Beng Kun Cinjin mulai membuat serangan balasan dan sebentar saja ternyata bahwa betapapun lihai lawannya, hwesio ini tetap saja masih menang setingkat.
Makin lama Panglima Mongol yang kosen itu makin terdesak dan gulungan sinar sepasang senjatanya makin menciut, sebaliknya tasbeh di tangan Beng Kun Cinjin menyambar nyambar mencari nyawa.
Kalau tadi Hek-mo Sai-ong ketika melawan Beng Kun Cinjin merasa malu untuk minta bantuan, adalah karena dia dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan, dan sudah menjadi watak seorang kang-ouw yang gagah untuk pantang mundur pantang minta bantuan dalam sebuah pertempuran, apa lagi kalau menghadapi sesama tokoh kangouw.
Tidak demikian dengan Ta Gu Thai Panglima Mongol itu setelah mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu ia akan kalah lalu memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Menyerbulah beberapa orang busu yang tinggi ilmu silatnya, bahkan Hek mo Sai-ong ikut menyerbu. Panglima Kim i-wi ini telah mengambil senjata gembolan baru dan kini ia menyerbu dengan sengitnya.
Kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar terdesak, akan tetap, dia benar-benar hebat. Tidak saja tasbehnya merupakan gulungan sinar putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga jangankan baru senjata lawan, biarpun ia disiram air hujanpun kiranya takkan basah tubuhnya. Demikian cepatnya tasbeh itu berputar. Dan di samping ini ia masih menggerakkan tangan kirinya, membagi-bagi pukulan jarak jauh dengan Ilmu Silat Lui kong-jiu.
Beberapa orang busu terpaksa menjauhkan diri karena pukulan ini tak boleh dipandang ringan. Bahkan dalam sebuah rangsekan hebat, sebuah daripada gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong kembali pecah terpukul oleh telapak tangan kiri hwesio itu secara telak sekali!
"Hebat..., sayang Beng Kun Cinjin tidak mau kami angkat menjadi kepala pengawal...” tiba-tiba terdengar orang berkata. Suaranya berpengaruh dan nyaring, tanda bahwa yang bicara bukanlah seorang biasa melainkan seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan wibawa besar.
Beng Kun Cinjin melirik ke kiri dan dari balik tirai bambu yang halus sekali ia melihat seorang laki-laki berdiri tegak menonton pertempuran. Laki-laki ini bertubuh tinggi besar, bersikap gagah sekali dan biarpun sudah tua masih kelihatan bertenaga kuat. Pakaian orang ini bukan main indah dan gagahnya.
Mukanya persegi dan gagah seperti muka singa, jenggotnya panjang teratur rapi, kumisnya tebal, daun telinganya lebar. Sepasang matanya bersinar lembut akan tetapi mengandung bayangan sifat yang keras hati dan bersemangat! Pakaiannya bersulamkan benang emas dengan lukisan burung hong dan naga.
Hati Beng Kun.Cinjin berdebar. Inilah kaisar, tak salah lagi pikirnya. Inilah orangnya yang menggerakkan tentara Mongol yang telah menyerbu tanah airnya dan yang telah menewaskan laksaan rakyat Tiongkok. Tiba-tiba timbul kebencian besar di dalam dadanya, apa lagi kalau ia ingat bahwa hampir saja ia mati terbakar di dalam kelenteng.
"Kaisar lalim, kau harus mati lebih dulu!" bentaknya dan secepat kilat tubuhnya melesat ke arah tirai bambu. Terdengar bunyi nyaring ketika tirai bambu itu pecah dan tanpa memberi kesempatan lagi Beng Kun Cinjin menggerakkan tasbehnya memukul ke arah kepala kaisar!
Akan tetapi ternyata kaisar bukan seorang lemah. Memang siapa yang mengenal Jengis Khan akan tahu bahwa kaisar ini dahulu adalah seorang pemuda Mongol bernama Temu Cin yang gagah perkasa dan bersemangat baja. Kalau dia bukan seorang luar biasa, tak mungkin dia akan dapat membawa bangsanya yang tadinya dihina kanan kiri menjadi bangsa yang kuat dan hebat.
Serangan Beng Kun Cinjin dapat dielakkannya dengan mudah akan tetapi sebagai seorang kaisar, tentu saja ia tidak mau melayani hwesio ini dan secepat kilat ia melangkah mundur dan tiba-tiba saja lenyap dari depan Beng Kun Cinjin!
Hwesio ini tercengang dan tidak percaya kalau kaisar dapat menghilang begitu saja seperti setan. Ketika ia melangkah maju, tahulah ia bahwa kaisar telah lari melalui pintu rahasia yang berada tepat di belakang kaisar, terbenam dalam dinding tembok tebal. Beng Kun Cinjin marah sekali. Diayunnya tasbeh dan terdengar suara keras dibarengi jebolnya tembok itu!
Sementara itu Ta Gu Thai dan Hek-mo Sai-ong bersama kawan-kawannya telah menyerbu ke dalam ruangan ini dan kembali Beng Kun Cinjin dikeroyok. Akan tetapi setelah melihat kaisar, Beng Kun Cinjin tidak ada nafsu lagi untuk menawan para pengawal. Kini niat satu-satunya hanya mencari dan mendapatkan kaisar untuk dibunuhnya.
Maka sambil memutar tasbeh untuk melindungi dirinya dari pada serangan lawan dari belakang, ia lalu melompat ke depan, menerjang tembok yang sudah jebol dan cepat mengejar dan mencari kaisar yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Gerakannya demikian cepat sehingga sebentar saja ia telah meninggalkan para pengawal, masuk ke sebelah dalam istana yang besar dan luas sekali itu.
Ia tiba di ruangan yang amat indah dan sejuk hawanya. Ruangan ini merupakan ruangan terbuka, biarpun di bawahnya berlantai mengkilap dan bersih, akan tetapi atasnya tidak beratap. Di sini penerangan berwarna kehijauan dan bukan main segarnya hawa di tempat ini. Tiba di tempat yang demikian indah dan sejuk, Beng Kun Cinjin baru merasa betapa lelah tubuhnya, ia merasa bingung, tidak tahu harus mencari ke mana.
Jalan dari ruangan ini amat banyaknya, lebih dari sepuluh lorong yang menjurus ke ruangan-ruangan lain. Anehnya, kalau tadi ia dikeroyok oleh banyak pengawal, kini tidak kelihatan seorang pun manusia. Memang, ada seorang dua orang lewat di lorong depan, akan tetapi mereka adalah pelayan-pelayan wanita yang membawa teng (lampu), jalannya demikian halus dan lemah lembut.
Memang merupakan pantangan besar bagi Beng Kam Cinjin untuk menyerang wanita. Kalau saja terlihat seorang pelayan pria, tentu akan ditangkapnya dan dipaksanya menunjukkan di mana tempat atau kamar dari kaisar.
Selagi ia kebingungan, ia melihat berkelebatnya kaisar di ujung kiri. Cepat ia berlari memasuki lorong itu. Akan tetapi, seperti juga tadi kaisar lenyap begitu saja. Beng Kun Cinjin penasaran dan mengejar terus, akan tetapi lorong itu memutar dan kembali ia tiba di ruang terbuka yang tadi! Beberapa kali ia memasuki lorong-lorong berputar yang ujungnya kembali ke ruangan tadi lagi.
Beng Kun Cinjin makin bingung. Ia berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, tasbehnya sudah digantungkan lagi di leher, Ia mendongak dan melihat langit biru gelap penuh bintang, pemandangan yang tentu akan menyenangkan hatinya kalau saja ia tidak sedang penasaran dan bernafsu hendak membunuh kaisar.
Tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim ditabuh. Alangkah merdu suara itu dan nyata sekali pemainnya seorang ahli. Beng Kun Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri dan sekaligus seluruh perhatiannya tertuju kepada suara itu. Hm, lagu "Mencari kekasih di antara seribu bintang", lagu yang amat populer semasa ia masih muda dan sebelum bala tentara Mongol menyerbu ke selatan. Bagaimana ada orang berani mainkan lagu ini di dalam istana?
Beng Kun Cinjin mendengarkan terus, kepalanya agak dimiringkan sebagai biasanya seorang ahli mendengarkan musik kesayangannya. "Sayang, ibu jari tangan pemain itu kurang bertenaga dalam membunyikan tali terbesar," kata Beng Kun Cinjin perlahan. Namun ia diam-diam mengaku bahwa pemainnya sudah ulung, dan lagu itu dimainkan dengan amat baiknya.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian, diiringi suara khim itu. Kembali Beng Kun Cinjin merasa punggungnya dingin sekali, tanda bahwa perasaan halusnya tersentuh. Memang inilah kesukaannya di waktu ia masih muda dan ia memang mempunyai kelemahan terhadap semua ini.
"Hebat...." keluhnya mendengar suara wanita yang bernyanyi itu. Beng Kun Cinjin mendengarkan dan kini ia berdiri tidak tetap lagi, kedua matanya dipejamkan dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa lemas dan nikmat, dan seluruh perhatiannya tercurah kepada suara nyanyian yang amat merdu itu.
"Seribu bintang di langit gemerlapan cantik indah memberahikan akan tetapi dimana dia kekasihku? Tak kulihat di antara bintang seribu... seribu bintang cantik nian, namun tiada seperti kekasihku rupawan! Bagai bulan purnama di antara bintang-bintang, kekasihku dalam hati menjadi penerang!"
Demikian merdu dan halus suara itu, demikian indah suara khim yang mengiringinya, dan tak terasa lagi tanpa disadari Beng Kun Cinjin melangkahkan kaki perlahan mendekati tempat dari mana suara itu datang. Hwesio ini segera terkena hikmat, tak sadar akan diri pribadi dan seakan-akan berada di bawah pengaruh gaib, terpesona oleh keindahan yang menyinggung jiwanya.
Beng Kun Cinjin tiba di depan sebuah jendela kamar. Jendela itu tertutup oleh sutera hijau yang bersulam kembang-kembang merah, tersorot lampu dari dalam amat indahnya kelihatan dari luar. Dari dalam kamar inilah keluarnya suara nyanyian dan khim yang menggetarkan jiwanya.
Beng Kun Cinjin menggerakkan tangan kanan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, sutera hijau itu bolong, cukup lebar sehingga pandangan matanya dapat menembus dan melihat keadaan di dalam kamar.
Tiba-tiba sepasang mata Beng Kun Cinjin bersinar-sinar, bibirnya tersenyum aneh, keningnya berdenyut dan napasnya menjadi berat. Apa yang dilihatnya di dalam itu membuat ia makin terpesona sehingga ia seperti lupa siapa dia dan di mana dia berada. Serasa dalam surga dan berjumpa dengan bidadari.
Di dalam kamar yang perabotnya serba indah dan bersih itu, duduk seorang wanita berusia paling banyak duapuluh lima tahun. Cantik rupawan seperti mawar merah yang baru mekar. Pakaiannya dari sutera kuning dan biru tipis, gelungnya model puteri istana, agak lepas-lepas dan sedikit rambut berjuntai di depan keningnya, ia menundukkan muka jari-jari tangannya bergerak di atas tali tali khim dan bibirnya bergerak-gerak perlahan menyanyi.
Beng Kun Cinjin berdiri bengong. Kalau saja wanita itu tidak menabuh khim, kalau saja si cantik itu tidak bernyanyi pada saat seperti itu, kiranya hwesio ini tidak akan begitu terpengaruh. Akan tetapi kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar lupa diri. Sepasang matanya bergerak-gerak dari atas ke bawah, dari bibir yang merah mungil, yang ketika bernyanyi kadang-kadang terbuka, sedikit memperlihatkan deretan gigi kecil-kecil putih seperti mutiara.
Kemudian pandang matanya menurun, ke arah jari-jari tangan yang mungil, halus meruncing, demikian halusnya sehingga seakan-akan tak bertulang dan kulitnya begitu tipis seakan akan orang dapat melihat urat-urat merah yang berada di dalamnya.
Beng Kun Cinjin ketika masih muda memang amat suka akan keindahan, terutama sekali akan keindahan wajah wanita, dan tentang musik dan nyanyian. Dia dahulu terkenal sebagai pemuda yang suka keluyuran, suka bergaul dengan wanita-wanita penari dan penyanyi, pemuda yang berulang kali bertukar kekasih sehingga ia ditolak ketika melamar seorang gadis pujaan hatinya.
Hal ini membuat ia patah hati dan semenjak itu, setelah ia mendengar penghinaan gadis itu yang mengecapnya sebagai laki-laiki hidung belang dan tak tahu malu, Beng Kun Cinjin memperdalam ilmu silatnya dan akhirnya masuk menjadi hwesio. Ia mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari pada keduniaan, terutama sekali dari pada memikirkan wanita cantik dan mendekati musik dan nyanyian.
Sudah berpuluh tahun ia mempertahankan nafsu hatinya yang sering kali timbul dan selama itu ia berhasil mempertahankan keteguhan iman dan batinnya. Akan tetapi, selama puluhan tahun itu, belum pernah ia melihat yang seperti ini. Belum pernah ia melihat seorang wanita secantik ini, apa lagi seperti ini yang pandai menabuh khim dan bernyanyi, nyanyian kesayangannya di waktu muda lagi! Benar-benar hal yang amat luar biasa, mengapa begitu kebetulan?
Beng Kun Cinjin sudah tak dapat menguasai diri lagi, sudah berada di dalam cengkeraman hawa nafsu, berada di bawah pengaruh yang halus memenuhi hati dan pikirannya. Bagaikan dalam alam mimpi, kakinya bergerak menuju ke pintu kamar itu dan di lain saat ia telah membuka daun pintu dan melangkah masuk.
"Nona.... nyanyianmu merdu sekali." katanya ramah dan kini ia dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya wanita itu setelah kini mengangkat muka dan memandang kepadanya dengan sepasang mata yang seperti bintang.
Mula-mula mata itu seperti orang ketakutan, kemudian menjadi tenang seakan-akan hwesio itu tidak mendatangkan rasa takut lagi. Dan berkatalah si cantik dengan suara halus merdu, "Suhu membikin malu dan kaget aku saja. Nyanyianku amat buruk dan... siapakah suhu yang gagah perkasa ini? Bagaimana bisa sampai di sini? Apakah suhu seorang calon pengawal baru?"
Beng Kun Cinjin menggeleng kepala, sepasang matanya masih menatap wanita itu dengan penuh kekaguman. "Bukan, nona! Memang kaisar minta pinceng menjadi koksu atau kepala pengawal di sini, akan tetapi pinceng tidak sudi dan timbul pertempuran."
Wanita, cantik itu nampak kaget, sepasang mata yang seperti mata burung hong itu terbelalak bening, alisnya yang seperti bulan muda itu berkerut, bibirnya yang kecil merah bergerak dalam setuan kaget. "Ah... jadi suhu ini... Beng Kun Cinjin yang datang hendak menghancurkan istana.? Aduhh.... suhu ampunkanlah jiwaku seorang wanita lemah..."
Serta-merta wanita itu. lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Beng Kun Cinjin. Terdengar ia terisak menangis.
Gemetar seluruh tubuh Beng Kun Cinjin. Laki-laki gagah perkasa yang tidak keder menghadapi seratus orang musuh tangguh ini. Sekarang, menjadi lemah lunglai menghadapi seorang wanita cantik jelita yang menangis dan minta ampun di depan kakinya. Tercium olehnya keharuman yang luar biasa seperti seribu satu sari bunga semerbak keluar dari wanita di depan kakinya itu.
Ia membungkuk dan menyentuh sepasang pundak wanita itu, "Berdirilah kau nona, pinceng takkan mengganggu selembar pun rambut kepalamu."
Biarpun ia sudah menekan perasaannya, tidak urung suaranya terdengar gemetar dan parau ketika Beng Kun Cinjin merasa betapa lunak dan halus kulit pundak di bawah pakaian indah itu. Memang alam telah memberi senjata yang amat ampuh kepada kaum wanita yang dianggap sebagai kaum lemah, dan senjata ini adalah stfat-sifatnya yang lemah lembut dan indah, yang cukup kuat untuk merobohkan hati laki laki yang bagaimana keras dan kuatpun!
"Nona, siapa namamu dan kau berada di istana ini sebagai apakah?”
Muka yang halus dan manis itu seketika menjadi merah padam. Pertanyaan ini sudah bukan semestinya dan jelas menunjukkan bahwa hwesio tinggi besar dan berkulit hitam hangus di depan nya ini sudah roboh betul-betul di bawah pengaruh kecantikannya. Wanita itu lalu tersenyum, tersenyum penuh kemenangan, juga penuh kelembutan dan daya penarik yang makin menggairahkan hati Beng Kun Cinjin.
"Cinjin yang gagah harap tidak memandang rendah kepadaku. Aku baru tiga bulan berada di istana dan mendapat kehormatan menjadi selir ke tujuhbelas dari kaisar. Kaisar amat sayang kepadaku akan tetapi sebaliknya aku tidak suka dijadikan selir yang ke sekian banyaknya. Hal inipun kaisar sudah mengetahui dan beliau berjanji akan menghadiahkan aku kepada seorang yang berjasa besar kelak...."
”Hemmm, siapakah namamu, nona?"
"Aku yang buruk dan bodoh bernama Hui Niang dari keluarga Kiu di Tai Goan. Aku sudah mendengar tentang kegagahan Cinjin yang sakti luar biasa dan... dan aku akan merasa aman sekali kalau mendapat perlindungan dari orang seperti Cinjin...." Suara Hui Niang turun naik seperti orang bernyanyi merdu.
"Apa maksudmu....?" Beng Kun Cinjin bertanya melangkah dekat.
"Cinjin yang gagah perkasa kalau hong-siang sudah berkenan mengangkat Cinjin menjadi kok-su bukankah itu baik sekali? Cinjin dapat hidup mulia di sini dan aku.... tak usah aku menanti untuk dihadiahkan kepada orang lain. Aku lebih suka melayani Cinjin selama hidupku, hidup dekat dengan seorang gagah perkasa yang mampu melindungi diriku selama hidup."
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut mungil dengan suara merdu merayu ini ditambah lagi dengan semerbak harum yang keluar dari si jelita, jatuhlah hati Beng Kun Cinjin. Lupa ia akan kepalanya yang gundul sebagai tanda bahwa adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan semua nafsu keduniawian lupa ia kepada tasbeh yang tergantung di lehernya sebagai alat memusatkan pikiran dalam berdoa, lupa kepada usianya yang sudah tua.
Nafsu membakar dirinya, membuat ia merasa seperti masih muda belia, masih seperti dulu ketika ia bernama Gan Tui dan menjadi seorang pemuda pemogoran dan hidung belang. Bagaikan seekor kerbau jinak yang mandah saja dituntun oleh algojo menuju ke tempat penyembelihan ia mandah saja dituntun oleh nafsu yang menghancurkan semua sifat kejantanannya!
Pada keesokan harinya, ketika Beng Kun Cinjin bangun dari tidurnya di atas pembaringan dalam kamar yang indah itu, datang pelayan-pelayan wanita yang muda muda dan cantik-cantik, dengan langkah berlenggang memasuki kamar itu sambil tersenyum-senyum membawa segala macam keperluan untuk mandi. Berganti pakaian dan makan pagi. Semuanya serba lengkap dan serba indah! Juga kepada Beng Kun Cinjin. para pelayan ini menyebut "koksu" yang terhormat.
Beng Kun Cinjin merasa agak malu akan perbuatannya sendiri, akan tetapi ia maklum bahwa semenjak saat itu ia tidak mungkin meninggalkan Hui Niang. Wanita ini benar-benar telah menjatuhkan hatinya dan di dalam dadanya bersemi kembali cinta kasih yang dahulunya hanya ia tujukan kepada gadis yang menolak cintanya.
Cinta kasih yang sebetulnya masih belum mati di dalam kalbunya, yang selama puluhan tahun ini ia tekan-tekan, sekarang bersemi kembali dan cepat berakar kuat, membuat ia menikmati kebahagiaan hidup yang belum pernah ia alami bersama Kiu Hui Niang, wanita cantik jelita itu.
Cinta kasihnya terhadap Hui Niang amat besar, mengalahkan rasa segan dan malunya. Tadinya ia hendak menculik dam membawa pergi Hui Niang. Akan tetapi wanita ini dengan bujuk rayu yang mesra menyatakan hendak membunuh diri kalau dibawa keluar istana, dan akhirnya Hui Niang berhasil menundukkan hati Beng Kun Cinjin dan berhasil membuat hwesio ini berjanji akan tinggal di situ, dan menerima pangkat yang diberikan oleh kaisar kepadanya!
Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh Kangouw yang ulung dan yang sudah kawakan, maka segera ia dapat menindih rasa malu atau segannya. Bahkan dengan wajah gembira ia membiarkan Kiu Hui Niang kekasihnya itu melayaninya, berganti pakaian baru yang serba indah dan menghadapi meja untuk makan pagi yang serba lezat bersama kekasihnya, dilayani para dayang istana! Seorang aneh seperti Beng Kun Cinjin sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan bahkan dapat menikmati hidup, serba kemewahan ini.
Setelah selesai makan pagi, datanglah seorang pembesar setengah tua diikuti oleh perwira perwira istana yang malam tadi mengeroyoknya. Kedatangan mereka itu adalah kunjungan kehormatan dan dari jauh mereka sudah tersenyum-senyum sambil mengangkat tangan memberi hormat dan memberi setamat!
Beng Kun Cinjin berdiri dari tempat duduknya dan menanti mereka dengan senyum di mulut. Ia diam saja menaati apa yang hendak mereka katakan. Pembesar yang bertubuh kurus tinggi itu maju memberi hormat, dibalas oleh Beng Kun Cinjin.
"Siauwte Hoan Cin Ong memberi selamat kepada koksu baru. Kedatangan siauwte ini adalah untuk menyampaikan ucapan terima kasih dari hong siang (kaisar) atas kerelaan dan kesediaan koksu membantu negara,"
Beng Kun Cinjin cepat memberi hormat dan diam-diam ia merasa bangga. Kaisar benar-benar tahu memikat hati orang, sampai-sampai mengutus Menteri Hoan Cin Ong yang terkenal tinggi kedudukannya itu untuk memberi selamat dan menyampaikan terima kasih kepadanya.
"Ong-ya telah memberi kehormatan besar kepada pinceng dengan kunjungan ini. Hanya sebutan koksu itu membikin pinceng merasa tidak enak dan kurang mengerti..." katanya.
Tagudai atau Ta Gu Thai. Panglima Mongol yang semalam bertempur dengan dia bersenjata roda golok maju dan memberi hormat sambil berkata tertawa "Beng Kun Cinjin telah menerima anugerah hong-siang, diangkat menjadi koksu negara. Aku yang muda dan bodoh menghaturkan selamat dan aku merasa bangga sekali mempunyai pemimpin seperti Cinjin yang gagah perkasa."
Beng Kun Cinjin tertawa senang. "Ciangkun terlalu merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat dan untuk masa kini sukar dicari keduanya. Untuk bekerja sama dengan ciangkun, benar-benar merupakan hal yang menggembirakan."
Hoan Cin Ong berkata lagi. "Kalau koksu sudah sempat, siauwte diutus memberitahukan bahwa hong-siang telah menanti koksu di ruangan dalam istana."
Dengan tabah Beng Kun Cinjin lalu diiringkan oleh mereka itu menuju ke ruangan sidang di mana ia diperkenankan menghadap kaisar. Kaisar memberi selamat kepadanya dan mengucapkan terima kasih bahwa hwesio kosen ini suka membantu pergerakannya. Dengan manis budi kaisar menghadiahkan Kiu Hui Niang kepadanya.
"Dia anak baik, syukur kalau koksu suka kepadanya. Apa bila koksu memerlukan sesuatu. Sampaikan saja kepada Hoan Cin Ong, tentu segala keperluan koksu akan tersedia," kata kaisar itu sambil tersenyum.
Beng Kun Cinjin menghaturkan terima kasih dan berjanji akan membantu kaisar. "Hanya satu hal hamba harus memberi tahu kepada paduka, bahwa dalam pekerjaan ini, hamba hanya sanggup untuk menghalau musuh negara bukan bangsa hamba sendiri dan melindungi paduka dari pada penyerangan-penyerangan gelap. Kalau hamba disuruh membantu pergerakan menindas bangsa hamba sendiri, terpaksa hamba tidak sanggup melakukannya." Betapapun juga, hwesio ini kiranya masih ingat akan kebangsaan dan tidak mau mengkhianati bangsa sendiri!
Kaisar Jengis Khan tertawa, biarpun di dalam hatinya agak kecewa. "Koksu jangan kawatir. Kamipun mempunyai rencana untuk mengundurkan semua pasukan dan akan melakukan gerakan ke barat. Oleh karena itu, koksu hanya akan bertemu dengan musuh-musuh asing di dunia barat. Kami tidak akan melanjutkan gerakan ke selatan."
Memang, pada waktu itu. Jengis Khan baru mulai dengan rencananya menyerbu ke barat, ia sedang menghimpun kekuatan dan didapatkannya seorang pembantu seperti Beng Kun Cinjin, benar-benar menyenangkan hatinya karena tenaga hwesio ini merupakan bantuan yang amat berharga dalam menghadapi panglima-panglima musuh yang tangguh.
Setelah kaisar membeberkan rencananya menyerbu ke barat setelah menghimpun kekuatan dan memberi waktu kepada bala tentara untuk beristirahat. Beng Kun Cinjin diperkenankan mundur.
Selama tiga bulan hwesio ini hidup bagaikan di dalam surga, penuh kenikmatan dan kemuliaan sehingga tubuhnya menjadi makin gemuk. Kulitnya yang hangus diobati dan mulai menghilang. Ia menjadi lebih terikat oleh Hui Niang dan menjadi lebih bahagia dalam kedudukannya yang baru ketika mendapat kenyataan bahwa Hui Niang telah mengandung!
Peristiwa di atas, yaitu runtuhnya hati Beng Kun Cinjin terhadap kecantikan Kiu Hui Niang dan mengakibatkan ia rela menjadi koksu dan menjadi apa yang oleh orang-orang gagah disebut 'anjing Bangsa Mongol‟ telah menggegerkan dunia kangouw di daerah selatan.
Nama Beng Kun Cinjin sudah terkenal sebagai seorang gagah yang berjiwa patriot, maka berita bahwa hwesio kosen itu rela menjadi kaki tangan kaisar penjajah hanya karena tergila-gila pada seorang wanita cantik, benar-benar mendatangkan heboh di kalangan kang-ouw. Banyak orang gagah menjadi marah dan mencaci-maki Beng Kun Cinjin.
Yang paling merasa sedih dan marah di antara semua orang gagah, adalah murid-murid Beng Kun Cinjin sendiri. Beng Kun Cinjin mempunyai tiga orang murid yang ia sayang dan tiga orang ini sudah menjadi pendekar-pendekar yang ternama. Murid pertama dan kedua adalah suami isteri Thio Houw dan Kwee Goat. Murid ketiga adalah adik Kwee Goat yang bernama Kwe Sun Tek.
Thio Houw dan isterinya membuka perusahaan piauwkiok (perusahaan expedisi mengirim barang) dan sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia satu tahun lebih. Mereka hidup bahagia dan sering kali suami isteri pendekar ini mengulurkan tangan menolong orang-orang yang sengsara, baik berupa pertolongan benda maupun tenaga.
Oleh karena itu mereka amat dihormati dan disegani oleh kalangan kang-ouw, bahkan dunia Liok Lim (perampok) juga tidak berani sembarangan mengganggu, barang kiriman yang dikawal oleh perusahaan mereka. Tidak saja para penjahat segan mengganggu suami isteri yang budiman ini, juga mereka takut akan nama besar Beng Kun Cinjin, guru dari suami isteri itu.
Kwee Sun Tek biarpun sudah berusia hampir tigapuluh tahun, masih tetap jejaka. Ia membujang dan merantau ke mana saja untuk meluaskan pengalaman. Juga pendekar muda ini banyak menumpas kejahatan dan menolong orang yang bersengsara. Dari tiga orang muridnya ini, Beng Kun Cinjin memperoleh nama harum.
Oteh karena itu, alangkah kaget hati Kwee Sun Tek ketika ia merantau ke utara. ia mendengar akan keadaan suhunya yang telah menikah dengan seorang puteri istana Mongol dan menjadi koksu negara penjajah! Pendekar muda ini membanting-banting kaki dan lupa makan lupa tidur memikirkan keadaan gurunya.
Ia merasa malu untuk hidup di dunia kang-ouw, malu karena tingkah laku suhunya, yang benar-benar di luar dugaan ini. Selama ia mengenal suhunya, orang tua itu adalah seorang hwesio yang hidup saleh, bagaimana sekarang tiba-tiba menjadi begitu tak tahu malu! Tanpa membuang waktu lagi, Kwee Sun Tek lalu lari menuju ke Shan-tung di mana encinya dan iparnya tinggal.
Thio Houw dan isterinya kaget setengah mati mendengar berita yang dibawa oleh Kwee Sun Tek. Thio Houw mengepal-ngepal tinjunya dan Kwee Goat menangis sedih.
"Suhu benar-benar melakukan perbuatan yang aneh. Aku hampir tak dapat percaya kalau bukan kau yang membawa berita ini sute " kata Thio Houw.
"Aku sendiri tadinyapun tidak mau percaya, akan tetapi sudah kuselidiki dan memang suhu telah berada di istana. Tadinya suhu melakukan perlawanan, bahkan kelenteng di mana suhu tinggal telah dibakar habis oleh bala tentara musuh. Kemudian suhu menyerbu ke istana hendak membunuh kaisar. Akan tetapi, entah mengapa dan entah apa yang terjadi di sana tahu-tahu dikabarkan orang bahwa kaisar telah mengangkat seorang koksu baru bernama Beng Kun Cinjin dan koksu itu menikah dengan seorang puteri Istana!"
''Memalukan! Memalukan sekali!" Kwee Goat mengeluh. "Kita harus ke sana dan membujuk suhu supaya keluar dari Istana!”
"Memang kita harus bertindak. Kalau dibiarin saja, nama kita semua akan menjadi busuk." kata Thio Houw. "Akan tetapi kau tinggalah saja di rumah isteriku, dan menjaga anak kita. Perjalanan ini belum tentu tidak menghadapi bahaya, biar aku dan Kwee-sute saja yang pergi."
"Tidak, aku penasaran dan aku akan ikut. Aku harus memperingatkan suhu," kata isterinya membantah.
"Sukar juga." kata Kwee Sun Tek. "Cihu juga tahu, biasanya suhu hanya memperhatikan kata-kata enci Goat dan sejak dulu suhu menuruti permintaan enci Goat yang amat disayangi. Memang baiknya enci Goat yang sekarang memperingatkannya, tentu ia akan malu dan akan menurut. Akau tetapi enci mempunyai anak yang baru berusia setahun...."
"Apa salahnya? Liong-ji (anak Liong) sudah besar dan tubuhnya kuat. Lagian dengan adanya kita bertiga, dia sudah cukup terlindung. Kalau suhu tidak menuruti permohonanku dan suhu melihat Liong-ji, kiranya hatinya akan tergerak. Urusan ini menyangkut nama baik kita sekeluarga, cukup pantas kalau kita semua berkorban waktu dan tenaga."
Akhirnya, berangkatlah tiga orang murid ini. bersama Thio Pek Liong yang baru berusia setahun lebih ke utara, menuju ke kota raja yang belum lama dirampas oleh bala tentara Mongol. Mudah saja bagi mereka untuk menyelidik keadaan koksu baru dan ternyata bahwa memang betul koksu yang baru diangkat itu adalah guru mereka!
Kepandaian suami isteri Thio Houw dan Kwe Goat sudah mencapai tingkat tinggi sekali karena mereka ini sudah mewarisi tiga perempat bagian dari kepandaian Beng Kun Cinjin. Hanya Kwee Sun Tek yang belum setinggi mereka tingkatnya, karena baru belakangan ia menjadi murid Beng Kun Cinjin, dan sebagian besar kepandaiannya ia dapat dari enci dan iparnya.
Karena mereka tidak mau membikin malu suhu mereka, maka mereka mengambil keputusan untuk mendatangi Beng Kun Cinjin secara diara diam dan di waktu tengah malam. Apa lagi mereka juga harus menanti sampai anak kecil itu tidur, karena tak mungkin membawa-bawa anak itu ke istana. Mereka bermalam didalam sebuah kelenteng dan setelah anak itu tidur. Thio Houw menitipkan anaknya kepada hwesio penjaga kelenteng. Setelah itu mereka bertiga berangkat ke istana.
Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Tembok yang melingkungi istana dengan mudah saja mereka lompati dan bagaikan tiga bayangan setan mereka melompat-lompat di atas wuwungan bangunan-bangunan istana itu mencari tempat tinggal Beng Kun Cinjin.
Akan tetapi, seperti telah diketahui istana juga mempunyai banyak pengawal yang lihai. Kalau para penjaga dan peronda yang terdiri dari tentara biasa tidak dapat melihat masuknya tiga orang pendekar ini, adalah para pengawal istana sudah mengetahui. Maka begitu tiga orang ini melompat turun ke ruangan tengah, mereka segera terkurung oleh lima orang pengawal yang dikepalai oleh Hek-mo Sai-ong yang sudah memegang sepasang gembolan di kedua tangannya,
"Kalian ini orang-orang berani mati, siapakah kalian dan apa maksud kedatangan kalian di sini?” bentak Hek-mo Sai-ong. Tidak berani berlaku terlalu kasar karena ia tadi melihat gerak-gerik tiga orang yang gesit, tanda bahwa yang datang adalah orang orang berilmu. Apa lagi ia belum tahu apa maksud kedatangan mereka.
Thio Houw bertiga tertegun juga melihat bahwa para pengawal itu ternyata sudah bersiap-siap dan tahu akan kedatangan mereka. Mereka datang bukan untuk membikin ribut di Istana, melainkan untuk membujuk suhu mereka keluar dari situ. Maka Thio Houw Lalu menjawab singkat. "Kami datang untuk bertemu dengan suhu Beng Kun Cinjin."
Hek-mo Sai-ong menjadi curiga. Hendak bertemu dengan orang pada waktu tengah malam dan melalui jalan seperti maling, benar-benar tak boleh dipercaya. Tentu mengandung maksud buruk.
"Koksu sedang beristirahat, tak boleh diganggu. Kalau ada keperluan, boleh datang menghadap besok. Mengapa mencari koksu pada tengah malam buta?” tegur Hek-mo Sai-ong.
"Mereka ini tentu bukan orang baik-baik" menyambung seorang pengawal yang sudah gatal-gatal tangannya untuk segera menyerang, ia memandang ringan kepada tiga orang ini.
Thio Houw berpengawakan tinggi tegap dan gagah, isterinya cantik dan keren, sedangkan Kwee Sun Tek tampan dan agak kurus. Tidak ada yang aneh pada tiga orang yang masih muda ini, maka para pengawal memandang rendah.
Thio Houw tersenyum tenang. ''Harap kalian jangan menghalangi kami yang tidak mempunyai maksud buruk terhadap istana ataupun kalian. Kami adalah murid-murid Beng Kun Cinjin dan ingin bertemu dan bicara urusan penting dengan suhu."
Mendengar ini, Hek-mo Sai-ong dan kawan-kawannya menjadi kaget sekali. Kalau mereka ini murid-murid koksu. Tentu saja tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi tetap saja kedatangan mereka pada tengah malam buta menimbulkan kecurigaan. Semua orang tahu belaka bahwa sebelum menjadi koksu negara.
Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh yang memusuhi bala tentara Mongol. Tentu murid-muridnya juga terhitung musuh mereka. Laginya, Beng Kun Cinjin baru saja menjadi koksu belum memperlihatkan jasa sedikitpun. Bagaimana murid-muridnya bisa dipercaya?
"Ah, jadi sam-wi ini murid-murid koksu yang terhormat? Maaf kalau kami tidak menyambut secara hormat. Akan tetapi, karena kedatangan sam-wi bukan pada waktu yang tepat, tentu saja tadi kami menjadi curiga. Untuk melenyapkan kecurigaan ini, harap sam-wi suka datang lagi besok pagi dan kami akan menyambut sebagaimana mestinya dan akan kami sampaikan kunjungan sam wi itu kepada koksu." kata Hek-mo Sai-ong dengan ramah, akan tetapi matanya memandang tajam penuh selidik.
Thio Houw menjadi tidak senang. "Kami berurusan dengan guru sendiri, ada sangkut-paut apakah dengan kalian? Harap kalian menyingkir dan biar kami mencari sendiri dan bicara dengan suhu!"
Hek mo Sai ong juga mulai marah. Ia menganggap Thio Houw sombong sekali. "Biarpun sam-wi murid-murid koksu. Akan tetapi aku dan kawan kawanku ini bertugas menjaga keamanan di sini dan tanpa perkenan kami, tidak boleh siapapun juga berkeliaran di lingkungan istana. Sam-wi keluar dengan baik-baik dari tempat ini atau terpaksa kami menggunakan kekerasan." Sepasang gembolannya sudah digerak-gerakkan penuh ancaman.
Kwee Sun Tek tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sungguh tidak dapat ia mengerti bagaimana suhunya bisa bekerja sama dengan orang orang macam ini. "Cihu, babi macam ini sikat saja sudah!" katanya marah sambil mencabut pedangnya.
Dua orang pengawal mendengar makian pemuda ini, serentak maju dan menggerakkan tombak mereka untuk menyerang. Akan tetapi Kwee Sun Tek yang sudah marah sekali, memutar pedangnya dengan gerak tipu Giok-tai-wi yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang) pedangnya dengan cepat sekali berkelebat memutar.
Terdengar suara keras dan dua batang tombak itu terbabat parah, bahkan seorang di antara dua pengawal yang menyerangnya tadi karena kurang cepat mengelak terbabat pula pundaknya, terluka parah dan menggelundung pergi. Yang seorang melompat ke belakang dengan muka pucat.
"Ada penjahat! Kepung... tangkap... bunuh!" teriak Hek-mo Sai-ong dengan keras dan marah. Sepasang gembolannya menyambar ke depan, ke arah kepala Kwee Sun Tek.
"Plak!" Gembolan kiri yang meluncur maju itu tertahan oleh benda keras, membalik dan hampir memukul kepalanya sendiri. Hek-mo Saiong kaget bukan main ketika melihat bahwa gembolannya itu tertangkis oleh tongkat pendek di tangan Thio Houw. Tahulah ia bahwa lawannya ini bertenaga besar dan memiliki kepandaian tinggi.
Atas teriakan Hek-mo Sai-ong, banyak pengawal lari mendatangi. Memang Hek-mo Sai-ong berlaku cerdik dan hati hati. Ia tidak mau mengambil resiko dimarahi oleh koksu. Maka ia sengaja berteriak ada penjahat agar kalau dia dan kawan kawannya berhasil menewaskan tiga orang ini, ia dapat mengambil alasan bahwa, tiga orang itu adalah penjahat-penjahat yang hendak mengacau istana!
Pertempuran hebat terjadi di ruangan yang luas itu. Para pengawal datang makin banyak dan sebentar saja tiga orang pendekar itu terkepung. Thio Houw dan Kwee Goat yang bersenjata pedang dikeroyok oleh Hek-mo Sai-ong. Sin-chio Lo Thung Khak. dan Ta Gu Thai yang kosen, masih dibantu oleh tiga orang pengawal lain yang berkepandaian tinggi sedangkan Kwee Sun Tek dikeroyok oleh lima orang pengawal lain.
Akan tetapi karena para pengeroyok pemuda ini kurang tinggi kepandaiannya maka dalam dua puluh jurus saja Kwee Sun Tek sudah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok. Pengawal-pengawal lain datang menggantikan mereka yaag roboh dan pertempuran berjalan lagi lebih rame.
Sementara itu Thio Houw dan isterinya biarpun dikepung oleh tiga orang jago istana bersama tiga orang pengawal iain berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dan mengamuk terus biarpun mereka kini dikepung sampai rapat betul...