Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 16

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 16
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 16, karya Kho Ping Hoo - TIONG SAN adalah seorang yang berhati tabah dan ia paling tidak suka kalau dianggap kurang ajar dan pengecut, maka mendengar ini ia merasa sudah sepantasnya kalau ia mengakui perbuatannya itu dengan terus terang dan berani. Maka ia lalu muncul keluar dari balik gerombolan pohon kembang itu, sehingga kedua orang wanita itu melangkah mundur dengan terkejut. “Nona, akulah yang menulis syair itu!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Leng Hwa memandang dengan mata melebar. “Kau... siapakah? Dan mengapa kau berani lancang menulis syair ini dan... dan... bagaimana pula kau dapat masuk ke sini...?” Harus diketahui bahwa taman bunga itu menjadi satu dengan gedung Ciu-wangwe dan bahwa sekelilingnya dilingkungi oleh tembok yang amat tinggi dan di luarnya terjaga pula.

Tiong San tersenyum, “Namaku Tiong San, dan aku menulis syair itu karena merasa tak setuju dengan bunyi syairmu yang memperlihatkan kelemahan hatimu, dan tentang bagaimana aku dapat masuk ke sini, karena memang aku bermalam di gedung ini!”

“Jadi kau... kau Shan-tung Koai-hiap...?” Makin lebar mata gadis itu memandang Tiong San. Tak disangkanya sama sekali bahwa pendekar muda yang diceritakan oleh ibunya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian... tampan dan gagah serta amat indah tulisannya! Dan menurut pandangannya, pemuda ini sama sekali tidak gila.

“Ada orang yang menyebutku gila,” jawab Tiong San sederhana.

Berobahlah sikap Leng Hwa mendengar ini. Bibirnya tersenyum manis dan mukanya berobah merah. Ia tidak berani memandang langsung, setengah menundukkan mukanya. Akan tetapi dari bawah bulu matanya itu kerlingnya menyambar halus. “Ah.... kalau begitu kau adalah penolong ayah bundaku ... silahkan duduk, taihiap....”

Tadi ketika Leng Hwa berdiri memandangnya dengan marah dan gadis itu mengeluarkan ucapan-ucapan kasar, ia memandang dengan tertarik juga karena harus diakui bahwa Leng Hwa adalah seorang gadis yang amat cantik jelita. Akan tetapi setelah sikap gadis ini berobah kemalu-maluan, tersenyum dan mengerling tajam yang sebetulnya lebih menggiurkan hati laki-laki lagi, Tiong San bahkan timbul rasa tidak senangnya terhadap gadis ini!

Dalam hati pemuda ini timbullah perasaan ragu-ragu, karena apabila seorang wanita telah bersikap seperti itu, ia akan amat berbahaya dan hanya mendatangkan bencana saja! Dalam pandangannya, sikap wanita yang seperti ini mengingatkan ia akan seekor ular yang melingkar diam tak bergerak, akan tetapi jangan sangka bahwa ular itu takkan menyerangmu.

Sekali kau lalai, ular itu akan menyambarmu. Oleh karena itu, melihat sikap Leng Hwa yang manis itu, tiba-tiba lenyaplah kegembiraannya tadi dan Tiong San segera memutar tubuh sambil berkata, “Terima kasih, aku mau kembali ke kamar dan tidur!” Tanpa menanti jawaban ia lalu melompat pergi meninggalkan gadis itu yang masih berdiri tercengang.

“Aduh, siocia, dia.... dia itu... cakap sekali!” kata A-bwe menggoda nonanya yang sadar kembali dari lamunannya dengan muka makin merah. Dari pandangan mata pelayannya ia maklum akan isi hati A-bwe, maka ia lalu berkata,

“Sudahlah, A-bwe, ayo kau beres-bereskan meja karena aku hendak mulai bersembahyang!”

Dan ketika Ciu Leng Hwa, gadis cantik jelita itu mengangkat hio (dupa biting) di depan meja sembahyang, biarpun di dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih dan rasa syukurnya kepada Yang Maha Kuasa karena ayah bundanya terhindar dari bahaya, namun pada dasar hatinya terdengar bisikan-bisikan yang tak terucapkan oleh mulut hatinya, bisikan-bisikan yang menyatakan harapan dan yang membuat mukanya makin menjadi merah saja!

Dua gulung kain bersyair itu dibawanya sendiri ke dalam kamarnya setelah selesai sembahyang dan digantungkannya berjajar di dinding kamarnya. Kemudian ia berbaring dan memandangi dua syair itu dengan hati girang yang membuatnya tak dapat tidur sekejap pun semalam itu!

A-bwe yang bermulut panjang itu segera menyampaikan peristiwa yang terjadi malam tadi kepada Ciu-wangwe dan nyonyanya. Kedua orang tua ini merasa girang sekali dan Ciu-wangwe lalu menjumpai Tiong San.

“Shan-tung Koai-hiap,” katanya dengan wajah berseri, “Kami telah mendengar akan pertemuanmu dengan puteri kami dan aku sendiri merasa amat gembira bahwa kau dan Leng Hwa telah mendapatkan kecocokan dalam hal... membuat syair! Hal ini telah membuat aku dan isteriku mengambil keputusan, yakni... kalau kau setuju... kami akan merasa gembira sekali apabila anak tunggal kami itu menjadi... jodohmu!”

Pada saat itu, nyonya Ciu diikuti oleh A-bwe datang di ruang itu dan mereka ini mendengar juga ucapan Ciu-wangwe tadi, maka nyonya Ciu lalu menyambung, “Memang benar, anak muda yang baik. Telah lama kami mengharapkan datangnya seorang pemuda yang patut menjadi menantu kami dan kami merasa girang sekali apabila kau suka menjadi suami Leng Hwa!”

Sementara itu, A-bwe memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan gagah, cocok sekali menjadi suami nonaku, pikirnya. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan kedua suami isteri itu, tiba-tiba Tiong San tertawa terbahak-bahak, suara tertawa yang ia warisi dari mendiang suhunya.

“Ha ha ha! Kalian memang gila dan anakmu pun.... gila! Kalian mau ikat aku dengan perjodohan? Sudah kukatakan bahwa aku tidak suka kepada wanita, terutama wanita cantik seperti anakmu! Kalian sudah berlaku baik kepadaku, dan untuk itu aku Lie Tiong San merasa berterima kasih, tetapi tentang perjodohan.... ha ha! Tidak, seribu kali tidak!”

Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu memutar tubuh dan pergi meninggalkan gedung itu, diikuti oleh pandang mata kedua suami isteri itu. Nyonya Ciu nampak berlinang air matanya karena merasa terhina sekali, sedangkan Ciu-wangwe sendiri memandang bingung.

“Untung dia menolak. Agaknya dia memang benar-benar gila seperti kukatakan kemaren....” Ia menarik napas panjang.

A-bwe berlari masuk dan tentu saja ia menceritakan semua ini kepada Leng Hwa. Gadis itu tadinya merasa gembira ketika mendengar cerita ini dan mendengar ucapan-ucapan Tiong San yang diulang oleh A-bwe beserta gaya-gayanya sekalian, merasa betapa hatinya menjadi perih.

Mukanya pucat dan ia memandang kepada tulisan Tiong San yang tergantung di dinding seakan-akan tulisan itu merupakan diri Tiong San sendiri! Ia menangis. Sekali lagi tanpa disadarinya, Tiong San telah menyebabkan seorang gadis cantik menjadi patah hati!

* * *

Tiong San meninggalkan kota Cin-an dan langsung mendaki bukit Tai-san untuk mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang membunuh suhunya. Setelah dua hari berputar-putar di bukit itu, mencari keterangan pada dusun-dusun sekitar lembah bukit, tak seorangpun dapat memberi keterangan tentang seorang wanita tua yang bermuka cacad.

Tiong San menjadi kecewa sekali dan karena sudah berada di bukit itu, maka ia teringat akan tempat tinggal suhunya, di mana ia telah tinggal untuk tiga tahun lamanya. Maka ia segera menuju ke tempat itu, yakni sebuah guha besar yang berada di puncak lereng sebelah kiri dan yang masih liar belum pernah didatangi lain orang kecuali dia dan suhunya.

Setelah ia tiba di dekat guha pertapaan gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Tiong San menjadi heran sekali karena siapakah orangnya yang berada di tempat sunyi ini? Ketika ia mencari-cari, ternyata bahwa suara itu datangnya dari guha suhunya! Ia makin merasa heran dan segera menghampiri dan berdiri di depan guha. Sekarang ia dapat mendengar suara tangis itu lebih jelas lagi. Itu adalah tangis seorang wanita disertai keluh-kesah mengharukan.

“Hong Sian.... kau kejam sekali! Kalau saja dulu kau tidak berbuat kejam... ah, kita tentu telah menjadi suami isteri yang berbahagia. Kau menyakiti hatiku sehingga aku hidup menderita. Aku tekun mempelajari ilmu pedang, akan tetapi ketika kita bertemu... kau kembali mengecewakan hatiku. Kau tidak melawan dan sengaja mencari kematian di tanganku sekarang... sekarang aku merasa makin sengsara. Hong Sian...” tangis itu makin menjadi-jadi.

Tiong San yang mendengar ucapan ini merasa terkejut bercampur girang. Inilah orang yang ia cari-cari! “Si Cui Sian, perempuan jahanam yang kejam! Keluarlah kau untuk menerima pembalasan!” teriaknya sambil mencabut cambuknya.

Suara tangisan itu tiba-tiba berhenti dan tak lama kemudian dari dalam guha itu keluarlah seorang wanita tua dengan pedang di tangan. Pedangnya berkilauan terkena cahaya matahari dan sekali pandang saja tahulah Tiong San bahwa pedang itu adalah sebuah senjata yang tajam dan ampuh.

Ia memperhatikan wanita itu. Jelas kelihatan bahwa wanita itu dulunya tentu amat cantik dan sekarang pun kulit mukanya masih nampak putih dan halus. Akan tetapi bekas luka yang melintang pada mukanya membuat muka itu nampak mengerikan dan menakutkan sekali, sehingga diam-diam Tiong San bergidik dan merasa seram.

“Si Cui Sian! Kau telah membunuh suhuku dengan kejam. Sekarang lawanlah Shan-tung Koai-hiap, murid Thian-te Lo-mo yang hendak membalaskan sakit hati!” kata Tiong San sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.

Wanita itu mendongak ke atas dan berkata sambil menghela napas, “Hong Sian... kau telah mati... Apakah dendam yang terkutuk ini takkan ada habisnya...??”

Akan tetapi kemudian ia merobah sikapnya dan dengan mata bersinar ia memandang kepada Tiong San. “Kau Shan-tung Koai-hiap murid Kui Hong Sian? Bagus, bagus! Aku sudah mendengar namamu dan kabarnya kau lihai seperti gurumu dan sudah mewarisi ilmu kepandaian Hong Sian! Gurumu tidak mau melawanku, biarlah kau yang mewakilinya dan coba kau perlihatkan kepandaianmu. Hendak kucoba sampai di mana hebatnya ilmu cambuk Im-yang Joan-pian!”

Setelah berkata demikian, ia melompat maju dan langsung menyerang Tiong San dengan pedangnya! Pemuda itu cepat melompat mundur dan menggerakkan cambuknya yang segera mengeluarkan bunyi keras dan menyambar ke arah leher perempuan cacad itu. Pertempuran hebat segera terjadi dengan amat serunya. Kali ini tidak seperti biasanya, Tiong San menggerakkan cambuknya dengan serangan-serangan maut karena ia bermaksud membunuh musuh suhunya ini.

Akan tetapi, Si Cui Sian benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya dan tiap kali ujung cambuk terbentur pedang, Tiong San merasa betapa tenaganya mental kembali dan ujung cambuknya terpental keras. Wanita itu dengan gerakannya yang amat cepat mendesak maju dan memaksa Tiong San bertempur dari jarak dekat.

“Ayo, kau keluarkan semua ilmu cambukmu yang lihai!” Si Cui Sian tertawa mengejek.

Tiong San harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Kini ia memegang cambuknya yang telah ditekuk menjadi pendek dan ia memainkan Im-yang Joan-pian dengan hati-hati. Ujung cambuknya menyambar-nyambar kaku merupakan sebatang tongkat, akan tetapi tiap kali ditangkis, ujung cambuk itu menjadi lemas dan dapat meluncur dan melanjutkan serangan mengarah jalan-jalan darah lawan untuk ditotoknya.

Inilah kelihaian ilmu cambuk Im-yang, semacam ilmu cambuk yang tiada duanya dalam dunia persilatan. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa wanita itu selama berpuluh tahun, setelah terluka oleh suhunya, dengan tekun mempelajari ilmu pedang yang hebat dan yang sengaja diatur untuk menghadapi ilmu cambuk dari Thian-te Lo-mo. Maka kini semua serangannya, satu demi satu digagalkan oleh Si Cui Sian dan bahkan serangan balasan wanita itu membuat Tiong San menjadi sibuk sekali!

Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, perlahan-lahan Tiong San mulai terdesak hebat dan perempuan tua itu tertawa senang. “Ha, kalau saja Thian-te Lo-mo sendiri yang bertempur melawan aku... hm, akan tahulah dia bahwa Si Cui Sian bukanlah wanita yang mudah dikalahkan! Ha ha, anak muda, kau mulai berkeringat dan bingung!”

Memang Tiong San merasa kewalahan sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan yang demikian tangguhnya. Ia menggertakkan gigi dan tiba-tiba ia melompat ke kanan dan mengeluarkan cambuknya yang digerakkan sedemikian rupa sehingga cambuk itu berlenggak-lenggok menyerang tubuh lawan dari atas ke bawah.

Inilah gerakan cambuk yang disebut Ular Luka Mencari Obat, gerakan yang amat sukar ditangkis oleh lawan oleh karena tiap lekuk dari cambuk ini melakukan serangan tersendiri sehingga dalam gerakan ini, cambuk di tangan Tiong San sekaligus melakukan beberapa serangan yang tak boleh dipandang ringan!

Akan tetapi, agaknya wanita itu telah siap pula menghadapi serangan macam ini. Tiba-tiba ia tertawa masam, secepat kilat menangkap ujung cambuk yang menyambar lehernya, lalu melompat ke belakang sambil menarik ujung cambuk itu! Bagaikan seekor ular yang ditarik kepalanya, sekaligus semua lekuk yang menyerang itu menjadi gagal karena kini cambuk menjadi terpentang lurus.

Mereka saling menyentakkan dan tiba-tiba Si Cui Sian menggerakkan pedangnya dan putuslah cambuk itu pada tengah-tengah! Pedang pusaka itu memang tidak mampu membabat putus cambuk ketika mereka sedang bertempur, karena cambuk itu bersifat lemas. Tetapi setelah kini cambuk itu dipegang oleh kedua pihak dan ditarik kencang, tentu sekali sabet saja, pedang pusaka itu telah berhasil memutuskannya!

Tiong San merasa terkejut sekali dan karena kurang pengalaman, ia menjadi gugup. Saat itu digunakan oleh Si Cui Sian untuk melompat maju dan mengirim tusukan ke arah dada pemuda itu. Tiong San tak mendapat kesempatan berkelit dan agaknya iapun akan menerima nasib seperti suhunya, yakni dadanya tertembus pedang pusaka di tangan Si Cui Sian!

Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu menahan tangannya yang memegang pedang, melemparkan pedangnya di atas tanah dan berlutut sambil menutupi mukanya lalu menangis! “Thian-te Lo-mo...., apa artinya aku membunuh muridmu? Apa artinya membuat dosa baru? Ah, mengapa kau tidak lekas datang mencabut nyawaku....?”

Sementara itu, Tiong San merasa terhina dan menjadi marah sekali karena wanita itu tidak jadi membunuhnya. Ia banting-banting kakinya dan berkata, “Perempuan gila! Mengapa kau tidak tusuk dadaku seperti yang kau lakukan kepada mendiang suhu? Jangan kau menghinaku! Aku tidak takut mati, aku sudah kalah terhadapmu, lekas kau ambil pedangmu dan bunuhlah aku!”

Si Cui Sian mengangkat mukanya dan aneh, sepasang matanya sungguhpun mengalirkan air mata, tetapi kini memandang kagum kepada Tiong San. “Kau.... kau seperti Hong Sian di waktu muda... kau gagah perkasa!”

“Siapa sudi mendengar ocehanmu? Bunuhlah aku, ayo, lekas bunuh. Kau kira aku takut mati? Kalau tidak, mari kita bertempur lagi sampai seribu jurus!”

Si Cui Sian berdiri perlahan-lahan, lalu berkata, “Shan-tung Koai-hiap, betapapun lihaimu, kau bukanlah lawanku! Suhumu sendiri belum tentu dapat menghadapi ilmu pedangku, apalagi kau yang belum berpengalaman. Kita tidak mempunyai permusuhan sesuatu, maka kalau kau suka, dari pada kita bermusuh, marilah kau kuberi pelajaran ilmu pedang. Aku dan gurumu tidak ada jodoh, biarlah ilmu kepandaian kami berdua saja yang menjadi satu dan diwariskan kepadamu!”

“Kau musuh suhu! Kau pembunuh suhu! Bagaimana aku bisa menjadi muridmu? Hanya ada dua jalan bagiku, membunuhmu atau kau membunuh aku!” Tiong San berkeras.

“Orang bijaksana tidak memperdulikan akibat, tetapi dengan teliti memperhatikan sebab. Kematian suhumu hanya akibat dan sebab-sebabnya kau belum mengetahui. Dengarlah penuturanku, anak muda!” Maka berceritalah Si Cui Sian, wanita yang bermuka cacad itu.

Tiong San mendengarkan dengan penuh perhatian oleh karena memang suhunya belum pernah menceritakan riwayatnya ketika masih muda.

“Dulu ketika masih muda, suhumu dan aku saling mencinta dengan tulus, saling berjanji akan mencinta dengan tulus, saling berjanji akan menjadi suami isteri. Akan tetapi malang sekali, ketika aku berkenalan dengan dia, aku belum tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang menyakitkan hati orang tuaku. Sebelum aku turun dari perguruan, suhumu pernah mengalahkan ayahku yang menjadi jago terkenal sehingga ayah merasa demikian malu karena namanya dijatuhkan oleh suhumu. Ayah lalu jatuh sakit dan meninggal dunia karena sakitnya itu.”

“Sebenarnya, memang kematian ayah ini bukanlah salah suhumu, kiranya kau tentu mengerti perasaan ibuku. Ibu merasa demikian sakit hati kepada suhumu, sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam. Ketika aku datang, ibu lalu membuat aku bersumpah pula untuk membalas dendam itu. Biarpun tidak secara langsung, memang suhumu yang menjadi sebab kematian ayah dan kehancuran hati ibuku.”

“Kemudian, setelah aku mengetahui bahwa sebenarnya suhumu atau kekasihku itu yang menjadi musuh besar ibuku, terpaksa kami lalu bertengkar. Aku tantang kekasihku sendiri untuk mengadu kepandaian. Kalau saja suhumu bijaksana, tentu ia sudah mengalah dan membiarkan aku menang dalam pertempuran itu karena bukan maksudku untuk membunuhnya. Kupikir bahwa sakit hati ayah hanya karena dikalahkan saja, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membalas sakit hati ini dengan mengalahkan suhumu pula di depan orang banyak.”

“Kami bertempur dengan disaksikan oleh banyak orang gagah, tetapi sayang, suhumu ternyata amat keras hati, seperti kau sekarang! Suhumu tidak mau mengalah sehingga kami bertempur dengan seru dan mati-matian! Akhirnya ternyata bahwa suhumu masih lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan dalam pertempuran mati-matian yang disaksikan oleh banyak orang gagah itu, suhumu salah tangan dan membacok mukaku sehingga mukaku menjadi bercacad seperti ini untuk selamanya!”

Wanita itu berhenti sebentar dan menangis, sedangkan Tiong San mendengarkan bagaikan sebuah patung tak bergerak sama sekali. Ia amat tertarik dan ia mulai merasa kasihan kepada wanita ini.

“Rasa sakit pada mukaku yang terbacok pedang, bukan apa-apa apabila dibandingkan dengan rasa perih dan sakit pada hatiku. Aku telah dihina di depan orang banyak oleh kekasihku sendiri, oleh orang yang telah bersamaku bersumpah untuk saling mencinta selamanya! Aku lalu melarikan diri dan belajar ilmu silat yang lebih tinggi, dengan cita-cita membalas penghinaan ini! Akupun mendengar bahwa suhumu juga lari dan menjadi miring otaknya. Tetapi aku tidak perduli. Setelah berpuluh tahun melatih diri, aku mulai mencarinya.”

“Kemudian, aku mendengar bahwa dia berada di kota raja dan aku segera menyusul ke sana. Kebetulan suhumu sedang mengacau di dapur istana dan aku mendapat kesempatan untuk berhadapan dengannya, untuk sekali lagi mengadu kepandaian! Akan tetapi, suhumu tidak mau melawan dan membiarkan saja pedangku menusuk dadanya, sehingga... sehingga ia tewas oleh pedangku...”

Kembali wanita itu menangis terisak-isak sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan melangkah maju mendekati Tiong San sambil berkata gagah,

“Dia telah mati, untuk apa aku hidup lebih lama? Aku tak dapat membunuhmu, karena kau bukan musuhku. Tadi kau bilang bahwa jalan bagimu hanyalah membunuhku atau terbunuh olehku. Baiklah kau boleh ambil jalan kedua dan bunuhlah aku! Bunuhlah dengan pedang yang telah membunuh kekasihku itu agar aku dapat segera bertemu dan berkumpul dengan dia!”

Si Cui Sian mengambil pedangnya yang tadi dilemparkannya dan memberikan pedang itu kepada Tiong San. Pemuda itu dengan muka pucat menerima pedang itu. Hatinya berdebar dan pikirannya kalut. Pantas saja suhunya tidak melawan, dan pantas saja suhunya tidak membenarkan kalau ia membalas dendam!

Memang suhunya telah rela binasa di tangan perempuan ini, bahkan agaknya disengaja mencari kematian di tangan Si Cui Sian. Patutkah kalau ia kini membunuh wanita ini? Salahkah kalau wanita yang dirusak hidupnya karena cacad pada mukanya dan luka pada hatinya itu mencari suhunya untuk membalas dendam?

“Aku.... aku tidak biasa mempergunakan pedang...., aku tidak tahu bagaimana harus memegang pedang. Harap kau memberi pelajaran dulu kepadaku...,” jawabnya ragu-ragu.

Si Cui Sian memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya berseri. “Kau anak baik, aku suka memberi pelajaran kepadamu. Sebelum aku mati, aku harus turunkan kepandaianku kepadamu dulu, dan alangkah baiknya kalau ilmu pedangku Pat-kwa Kiam-hoat ini dijodohkan dengan ilmu cambuk Im-yang!”

Tiong San merasa girang sekali dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita tua itu. “Terima kasih, subo!”

Mendengar sebutan “subo” atau nyonya guru ini, Si Cui Sian merasa gembira sekali karena ia merasa seakan-akan ia menjadi isteri Thian-te Lo-mo. “Bagus, anakku, bagus! Kau sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi. Dalam setengah tahun saja semua dasar ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat akan dapat kau pahami.”

Demikianlah, semenjak hari itu, di guha mendiang suhunya, kembali Tiong San mendapat gemblengan dari seorang berilmu tinggi. Dan oleh karena wanita itu tidak bertabiat aneh seperti suhunya, maka lambat laun kembalilah sifat sopan-santun Tiong San.

Sungguhpun kesukaannya memaki orang dengan sebutan gila masih selalu menempel pada bibirnya. Benar sebagaimana ucapan Si Cui Sian, dalam waktu enam bulan ia telah dapat mempelajari Pat-kwa Kiam-hoat sampai tamat dan dapat memainkan pedang gurunya itu dengan mahir.

“Tiong San,” kata gurunya setelah permainan pedangnya cukup baik. “Sekarang kau pergilah turun gunung dan pergunakan segala kepandaianmu untuk kebaikan. Kalau kau dapat menggabungkan dua ilmu itu, yakni ilmu cambuk Im-yang dan ilmu pedang Pat-kwa, kau akan menjadi lebih lihai dari pada mendiang Thian-te Lo-mo atau aku sendiri! Kau bawa pedang ini, kuhadiahkan kepadamu karena tidak berguna lagi untukku. Aku mau bertapa di sini menanti datangnya Thian-te Lo-mo yang tentu akan menjemputku tak lama lagi!”

Tiong San berlutut menghaturkan terima kasih dengan hati amat terharu, karena tak disangkanya sama sekali bahwa pertemuannya dengan wanita tua yang tadinya dianggap musuh itu dapat mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya. Semenjak Si Cui Sian menceritakan riwayatnya, Tiong San telah berubah pandangannya terhadap wanita tua itu.

Ia merasa kagum dan juga kasihan sekali akan nasib wanita itu yang sebetulnya sampai sekarang pun masih amat mencintai Thian-te Lo-mo dengan setia! Ia teringat akan pengalamannya sendiri. Alangkah jauh bedanya wanita tua yang kini juga menjadi gurunya itu dengan wanita-wanita yang pernah dijumpainya.

Ia teringat akan Siu Eng, wanita cantik yang gagah itu. Gadis inipun menaruh dendam sakit hati kepadanya, tetapi persoalannya jauh berbeda dengan sakit hati Si Cui Sian terhadap Thian-te Lo-mo. Siu Eng bukanlah seorang wanita baik-baik, bersifat cabul dan berhati kejam.

Ia teringat pula kepada Liong Bwee Ji puteri jago silat Liong Ki Lok, juga teringat kepada Ciu Leng Hwa, puteri Ciu-wangwe, akan tetapi semua itu hanya terbayang samar-samar saja dan ia hampir lupa kepada wajah gadis-gadis itu. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada Gan Siang Cu, diam-diam ia berdebar dan menarik napas panjang.

Kasihan gadis itu, pikirnya dan ia merasa betapa ia telah berlaku kejam kepada gadis itu. Gadis patut dikagumi, berhati mulia sehingga suka menolong Thian-te Lo-mo ketika terluka, memegang teguh kesucian sehingga ia berlaku nekat dan menolak ketika hendak dipaksa menjadi bini muda seorang pangeran, dan berhati tabah sekali sehingga dengan berani ia hendak membunuh diri di depan makam Thian-te Lo-mo ketika tidak ada jalan lain baginya.

Juga gadis itu cerdik sekali, dan diam-diam Tiong San merasa geli hatinya kalau ia teringat betapa gadis pelayan istana yang biasanya hidup mewah dan yang bersikap lemah lembut dan halus itu menyamar sebagai petani!

Di manakah adanya Siang Cu? Demikian Tiong San berpikir sambil melanjutkan perjalanannya sambil menuruni bukit Tai-san. Kalau ada kesempatan bertemu, aku harus minta maaf kepadanya atas segala perlakuanku yang kasar-kasar dulu, pikirnya. Akan tetapi di manakah ia dapat bertemu dengan gadis yang tak diketahui asal-usul dan tempat tinggalnya itu?

Ketika ia sedang berjalan sambil melamun, tiba-tiba ia mendengar suara kambing mengembek ramai di pinggir jalan. Ia menengok dan melihat betapa seekor kambing betina sedang mengembek-embek dan berjalan memutari sebuah lubang di dalam tanah dengan kebingungan. Dari dalam lubang terdengar suara embek kambing kecil yang lemah seperti bunyi anak menangis.

Beberapa kali induk kambing itu mencoba untuk masuk ke dalam lubang, tetapi tak dapat, dan jelas sekali nampak betapa ia hendak berusaha sedapatnya untuk menolong kambing kecil, tetapi ia tidak berdaya sehingga ia menjadi bingung sekali, suaranya terdengar oleh Tiong San seperti orang minta tolong, maka ia menjadi kasihan dan menghampiri, lalu mengeluarkan kambing kecil itu dari dalam lubang.

Induk kambing merasa girang sekali, lalu menghampiri anaknya dan menjilat-jilat dengan lidahnya, sedangkan si kecil itu lalu menekuk kedua kaki depannya seperti berlutut dan minum air tetek ibunya dengan lahapnya. Agaknya sudah lama ia terjerumus ke dalam lubang itu dan perutnya menjadi amat lapar.

Melihat pemandangan ini, tiba-tiba Tiong San merasa betapa hatinya seperti diremas dan tanpa disadarinya, dua titik air matanya melompat keluar dari pelupuk matanya. Pemandangan yang nampak di depannya itu mengingatkan ia akan ibunya sendiri! Melihat kasih sayang sedemikian besar dan mesranya dari induk kambing kepada anaknya, dan melihat betapa ketika hendak menetek, kambing kecil itu menekuk kaki depan seakan-akan berlutut, lambang dari kebaktian anak terhadap ibunya.

Hati Tiong San menjadi amat terharu. Telah hampir lima tahun ia meninggalkan ibunya dan seakan-akan terlupa kepada orang tua itu. Kini hatinya penuh kerinduan kepada ibunya. Rindu sekali untuk melihat wajah ibunya yang sabar dan agung itu, untuk mendengar suaranya yang halus penuh kasih sayang dan untuk merasai belaian tangannya yang mencinta.

“Ibu...,” hati Tiong San berbisik dan segera ia berlari cepat dari tempat itu. Keinginan satu-satunya pada saat itu hanya untuk pulang ke kampungnya dan untuk bertemu ibunya. Ia melakukan perjalanan secepat mungkin agar lebih cepat tiba di kampung Kui-ma-chung, kampung kelahirannya dan di mana ibunya kini berada.

Ia membayangkan dengan gembira betapa kini keadaan ibunya sudah senang dan cukup, tak perlu membanting tulang, menyulam dan menenun sampai jauh malam untuk mendapatkan nafkah, karena bukankah ia dulu telah mengirimi uang sepuluh ribu tail perak yang didapatnya sebagai “emas kawin” dari pangeran Lu Goan Ong?

Mengingat hal ini, tak dapat tidak ia terkenang pula kepada Khu Sin dan Thio Swie sehingga kegembiraannya makin meluap. Ia akan bertemu dengan ibunya, dengan Khu Sin dan Thio Swie yang kini tentu telah menjadi pembesar! Alangkah senangnya dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka. Kegembiraan ini membuat Tiong San makin tergesa-gesa untuk segera sampai di kampungnya dan ia melakukan perjalanan siang malam, tidak pernah ditundanya, kecuali terjadi hal yang amat penting.

Dan ketika ia tiba di kampung Kui-ma-chung, hatinya berdebar keras karena terlalu amat girang dan terharunya. Ia segera menuju ke rumah ibunya. Dari jauh sudah tampak rumah ibunya dan ia merasa amat heran. Mengapa rumah ibunya masih tua dan buruk seperti dulu? Bukankah ia sudah mengirim uang sebanyak sepuluh ribu tail perak? Apakah ibunya belum menerima uang itu? Bermacam-macam pertanyaan timbul di dalam pikirannya.

Ia mempercepat larinya untuk segera bertemu dengan ibunya dan memecahkan semua teka-teki yang membuatnya terheran-heran itu. Tiba-tiba ia tertegun karena timbul pikiran baru. Mungkin ibunya sudah berpindah rumah! Siapa tahu? Dengan uang sebanyak itu, mungkin sekali ibunya mendiami rumah baru dan rumah lama ini dijualnya kepada orang lain!

Pikiran baru ini membuat ia berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah berada di depan pintu rumah itu. Kebetulan sekali pada saat itu seorang wanita tua keluar dari rumah dengan tindakan yang tenang dan perlahan. Wanita itu melihat Tiong San, berdiri diam dan tiba-tiba, memandang dengan mata terbelalak, tak bergerak bagai patung.

“Ibu....!!” Tiong San bersorak gembira karena ternyata bahwa wanita itu memang benar ibunya. Ia menubruk maju dan menjatuhkan diri berlutut, tak kuasa menahan mengucurnya air mata...!

Jilid selanjutnya,
PENDEKAR GILA DARI SHANTUNG JILID 17