Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 17

Cerita silat Mandarin, Pendekar gila dari Shantung jilid 17 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 17, karya Kho Ping Hoo - “Tiong San....! Kau....? Kau... sudah kembali....? Tiong San....!” Sambil memeluk anaknya yang telah diangkatnya berdiri itu, nyonya janda Lie menangis. Berkali-kali ia memandang wajah puteranya dan mendekapkan kepala anaknya itu ke dadanya dengan hati penuh bahagia dan terharu.

“Ibu, ampunkan aku, anakmu yang tidak berbakti....” Tiong San berkata.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Ibunya tak dapat berkata apa-apa, hanya memeluknya makin erat seakan-akan khawatir kalau-kalau puteranya akan pergi lagi, pergi jauh tak tentu tempat tinggalnya. Pada saat itu, terdengar langkah kaki ringan dari dalam rumah.

“Tiong San, anakku. Lihatlah, dia ini adalah seorang berhati mulia yang selama ini menemani ibumu dan menjadi penghibur besar dari kedukaan karena kehilangan kau,” kata nyonya itu dengan suara gembira, memperkenalkan.

Tiong San mengangkat kepala memandang dan hampir saja ia berteriak. Ia memandang dengan keheranan kepada seorang gadis yang berpakaian sederhana, seorang gadis yang manis sekali dalam pandangan matanya, gadis yang selama ini seringkali muncul dalam pikirannya.

Dan gadis itu memandangnya dengan mata sayu, dengan senyum simpul setengah mengejek pada bibirnya. Kemudian gadis itu menjura perlahan sebagai penghormatan kepadanya. Gadis ini bukan lain ialah Gan Siang Cu!

Bagaimana Siang Cu, pelayan istana itu sampai bisa berada di rumah ibu Tiong San dan tinggal bersama orang tua itu? Marilah kita ikuti pengalamannya semenjak ia berpisah dengan Tiong San di dalam hutan itu.

* * *

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gan Siang Cu, gadis pelayan istana yang ditolong oleh Thian-te Lo-mo, kemudian ditolong pula oleh Tiong San yang membawanya keluar kota raja, telah menyamar sebagai seorang petani muda, dengan pakaian hasil curian Tiong San yang sengaja dikotorkan dengan tanah lempung dan telah memotong rambutnya menjadi pendek. Kemudian gadis itu lalu meninggalkan Tiong San dan kembali ke kota raja.

Berkat penyamarannya, dengan mudah ia dapat melalui pintu gerbang kota raja tanpa menimbulkan banyak curiga. Gadis ini teringat akan pesan mendiang Thian-te Lo-mo bahwa kalau ia berhasil keluar, ia dapat minta tolong kepada pemilik rumah penginapan Thian-an-kwan yang menjadi paman seorang pemuda bernama Khu Sin.

Setelah tiba di Thian-an-kwan dan menuturkan bahwa ia adalah kenalan baik Thio Swie, Khu Sin dan Tiong San, benar saja paman Khu Sin itu segera menyambutnya dengan ramah tamah sekali. Tanpa membuka rahasianya, Siang Cu lalu menyatakan bahwa karena sesuatu sebab, ia terpaksa melarikan diri dari kota raja dan minta tolong kepada paman Khu Sin itu untuk membelikan seekor kuda yang baik dan menanyakan pula di mana tempat tinggal Khu Sin.

Ia menyatakan bahwa sudah lama ia tidak bertemu dengan Khu Sin sehingga tidak tahu di mana sekarang tinggalnya pemuda itu. Ia mengeluarkan sebuah dari pada perhiasannya yang terbuat dari emas untuk digunakan sebagai pembeli kuda, dan mendapat keterangan yang jelas tentang keadaan Khu Sin yang telah menjadi wedana dari kota Bun-an-kwan. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Siang Cu lalu naik kuda itu dan terus menuju ke kota Bun-an-kwan.

Setelah tiba di kota ini, ia menghadap kepada wedana kota yang bukan lain adalah Khu Sin sendiri. Ia dibawa menghadap kepada Khu Sin yang merasa amat heran yang mendengar dari penjaganya bahwa seorang sahabat dari kota raja hendak bertemu. Lebih-lebih herannya ketika melihat bahwa tamunya adalah seorang petani muda yang berpakaian kotor.

Akan tetapi, Khu Sin berbeda dengan pembesar-pembesar lain sehingga belum lama ia menjadi wedana kota, ia amat disukai oleh penduduk di situ. Kini ia menerima tamunya dengan ramah tamah dan setelah tamunya dipersilahkan duduk, ia bertanya,

“Siapakah saudara dan datang dari mana? Mengapa saudara mengaku menjadi sahabatku sedangkan sepanjang ingatanku, aku belum pernah bertemu dengan kau?”

Dengan ketenangan yang amat mengagumkan, Siang Cu menjawab dengan pertanyaan pula. “Taijin, bukankah kau bernama Khu Sin dan berasal dari kampung Kui-ma-chung?”

Khu Sin memandang heran. “Benar,” jawabnya.

“Dan kenalkah kau kepada dua orang muda bernama Thio Swie dan Tiong San?”

“Tentu saja! Mereka adalah kawan-kawan baikku. Thio Swie berada di kota tak jauh dari sini menjabat pangkatnya, sedangkan Tiong San... eh, kau siapakah dan mengapa kau mengajukan pertanyaan itu? Apakah kau diutus oleh seorang di antara mereka?”

Siang Cu menggelengkan kepalanya. “Kalau taijin kenal kepada Tiong San, tentu tahu pula bahwa dia adalah Shan-tung Koai-hiap.”

“Ya, ya, aku tahu sampai habis hal itu. Katakanlah, apa keperluanmu menjumpaiku?”

Untuk mendapat kepastian, Siang Cu melanjutkan, “Dan kenalkah taijin kepada Thian-te Lo-mo?”

“Kakek gila itu? Kenal betul, tidak, tetapi aku tahu bahwa dia adalah guru dari Tiong San!”

“Taijin, terus terang saja kedatanganku ini adalah atas petunjuk Thian-te Lo-mo dan kakek itu menyatakan bahwa di dalam kesukaran yang kuhadapi, aku dapat minta pertolongan kepada kawan-kawan muridnya, yakni kepada orang-orang muda bernama Khu Sin dan Thio Swie, dan juga kepada Tiong San. Oleh karena ternyata bahwa Shan-tung Koai-hiap Lie Tiong San tidak mau menolongku, maka dari kota raja aku langsung mencari taijin untuk mohon perlindungan.”

Khu Sin merasa terkejut dan heran sekali. “Apakah kau bertemu dengan Tiong San? Di mana? Bagaimana keadaannya? Dan mengapa ia tidak mau menolongmu? Dia adalah seorang berhati mulia, semulia-mulianya orang!”

Dihujani pertanyaan ini dan melihat sikap Khu Sin yang amat ramah tamah dan baik, Siang Cu tersenyum dan heranlah Khu Sin melihat gigi yang putih dan rata itu. Terlampau bagus untuk menjadi gigi seorang petani muda biasa!

“Khu-taijin, bukan saja aku telah bertemu dengan Shan-tung Koai-hiap, bahkan sudah bercekcok dengan dia!”

“Apa? Kau bercekcok dengan Tiong San? Mengapa?”

“Khu-taijin, ceritaku panjang dan sebelum aku menuturkan ceritaku ini, harap kau jawab dulu pertanyaanku. Sudahkah kau beristeri?”

Terbelalak mata Khu Sin memandang petani muda ini. Tiong San memang ajaib betul, pikirnya. Mempunyai guru seorang kakek gila dan sekarang kawannya ini rupa-rupanya juga tak beres otaknya! Akan tetapi ia terpaksa mengangguk, karena memang ia telah kawin dengan Man Kwei, bekas pelayan pangeran Lu Goan Ong yang ditolongnya dulu.

“Kalau kau sudah kawin, baik sekali. Harap kau panggil isterimu keluar karena tidak enak sekali bagiku untuk bercerita tentang pengalamanku di depanmu sendiri. Mana isterimu?”

Kini Khu Sin menjadi marah dan menganggap bahwa orang muda ini pasti seorang gila! “Kau gila!” teriaknya sambil berdiri dari kursinya.

Siang Cu tertawa geli mendengar ini. “Agaknya kau dan kawanmu Shan-tung Koai-hiap itu semodel, paling suka memaki orang gila!”

“Jangan kau main-main!” Khu Sin membentak. “Mengapa kau berani berlaku begini kurang ajar dan menyuruh isteriku keluar? Kalau kau tidak lekas memberitahukan keperluanmu datang di sini, terpaksa aku akan memanggil penjaga untuk mengusirmu!”

“Betul-betulkah kau ingin bicara dengan aku sendiri di luar tahu isterimu?”

“Tentu saja! Dan jangan kau berlancang mulut membawa-bawa nama isteriku!”

“Bagaimana kalau isterimu mengetahui bahwa suaminya sedang mendengarkan penuturan seorang wanita muda? Apakah dia akan senang hati?”

Kini Khu Sin melompat bagaikan diserang ular dari bawah. “Apa katamu? Kau... kau....”

Siang Cu berdiri dan menjura, kini bersikap biasa sebagai seorang wanita sungguhpun tampak lucu dalam pakaiannya sebagai petani laki-laki itu. “Aku memang seorang wanita, Khu-taijin. Namaku Gan Siang Cu, bekas pelayan istana kaisar.”

Bukan main terkejutnya hati Khu Sin mendengar ini dan ketika sekali lagi Siang Cu tersenyum manis, ia tidak ragu-ragu lagi. Pantas saja bentuk bibirnya demikian manis dan giginya demikian bagus. “Mari, mari masuk saja ke dalam rumah....” katanya gagap dan karena lupa hampir saja ia memegang tangan tamunya untuk ditarik ke dalam, tetapi ketika tangannya menyentuh kulit tangan yang halus itu, ia segera melepaskannya seperti menyentuh api panas.

“Maaf, saudara... eh, nona... aku... aku bingung sekali!” katanya sambil mempersilahkan Siang Cu masuk ke dalam ruang dalam. Khu Sin lalu berlari-lari memberi tahu kepada isterinya yang segera keluar.

Begitu melihat Man Kwei, Siang Cu memandang dan berkata, “Kalau tidak salah, cici dulu bekerja di gedung pangeran Lu Goan Ong, betulkah?”

Sebagai seorang pelayan istana yang cukup ternama di antara semua pelayan-pelayan, Siang Cu tentu saja pernah dilihat dan dikenal oleh Man Kwei yang mengaguminya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tentu saja ia tidak mengenalnya. Siang Cu lalu membuka topinya dan rambutnya yang telah dipotongnya itu nampak lucu sekali.

“Cici, lupakah kau kepada Siang Cu?”

Man Kwei membelalakkan matanya. “Apa? Kau... Siang Cu?” dengan herannya ia mendekati dan memandang lebih teliti lagi. Kemudian sambil tertawa ia memeluk Siang Cu. “Benar, benar! Kau adalah Siang Cu, tetapi mengapa kau menjadi begini?”

Siang Cu menarik napas panjang dan sebelum ia mulai menuturkan pengalamannya, Man Kwei mencegahnya dan membawanya ke dalam untuk mandi dan bertukar pakaian. Setelah ia muncul lagi, ia telah menjadi seorang gadis cantik, dan ia lalu menuturkan seluruh pengalamannya semenjak pertemuannya dengan Thian-te Lo-mo sampai perpisahannya dengan Tiong San di dalam hutan. Setelah Siang Cu menuturkan pengalamannya, Khu Sin dan isterinya menjadi sangat terharu.

“Akan tetapi,” kata Khu Sin, “Di manakah adanya Tiong San sekarang? Mengapa dia tidak mau pulang?” Hati Khu Sin selalu merasa khawatir semenjak ia mendengar betapa Tiong San telah mempermainkan pangeran Lu Goan Ong dan Siu Eng.

“Siapa tahu?” jawab Siang Cu mengangkat pundak.

“Tapi mengapa dia tidak mau menolongmu? Bukankah ia sudah menolongmu keluar dari istana dan kota raja? Mengapa tidak mau melanjutkan pertolongannya dan meninggalkanmu di dalam hutan?”

Siang Cu tak dapat menjawab dan menundukkan mukanya. Ketika Man Kwei membantu suaminya mendesaknya, ia menjawab, “Mengapa ia tidak mau menolong? Kukira karena..., karena aku seorang perempuan!”

“Ha?!?” seru Khu Sin terheran-heran.

“Dia memang pembenci perempuan,” kata Siang Cu pula dengan cemberut.

Man Kwei lebih mengerti perasaan wanita, maka ia mengejapkan matanya kepada suaminya sehingga Khu Sin tidak membuka mulut lagi.

Kemudian Siang Cu bertanya tentang pengalaman mereka dan Khu Sin lalu menceritakan seluruh pengalamannya. Menurut penuturan Khu Sin, ternyata bahwa ia dan Thio Swie telah kembali ke kampung Kui-ma-chung dengan selamat, membawa pangkat dan uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San.

Akan tetapi, nyonya janda Lie, ibu Tiong San, ketika mendengar dari kedua pemuda itu tentang puteranya yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti dan uang sepuluh ribu tail perak itu adalah “emas kawin” dari pangeran Lu Goan Ong, menjadi marah-marah.

“Tiong San menjual dirinya, kawin dengan gadis macam itu dan menerima emas kawin yang dikirimkan kepadaku? Ah, kalau ia menganggap ibunya mata duitan seperti itu, dia benar-benar gila! Aku tidak sudi menerima uang ini!” Kemudian ia menangis sedih.

Terpaksa Khu Sin dan Thio Swie membawa dan menyimpan uang itu karena ibu Tiong San berkeras tidak mau menerimanya. Ketika Khu Sin dan Thio Swie mendengar tentang Tiong San yang mempermainkan Siu Eng dan pangeran Lu Goan Ong, mereka menjadi girang dan geli sekali. Terutama Thio Swie yang tadinya merasa tidak puas dan mendongkol mendengar bahwa Tiong San hendak kawin dengan Siu Eng, tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.

“Bagus, bagus, Tiong San! Kau benar-benar sahabat karibku!” serunya sambil menepuk-nepuk bahu Khu Sin dengan girangnya. “Aha, Khu Sin, ingin benar aku melihat muka Siu Eng dan mengejeknya!”

Mereka segera memberitahukan hal itu kepada ibu Tiong San yang juga menjadi gembira, tetapi ia segera berkata dengan wajah bersungguh-sungguh kepada Khu Sin dan Thio Swie,

“Uang sepuluh ribu tail perak itu harap hari ini juga kalian kirimkan kembali kepada pangeran Lu Goan Ong! Uang itu adalah hasil penipuan puteraku dan kita tidak berhak memakainya sepeserpun!”

Khu Sin dan Thio Swie tidak berani membantah dan segera mengirimkan kembali uang itu disertai surat mereka yang menyatakan bahwa ibu Tiong San tidak mau menerimanya bahkan mohon banyak maaf untuk kekurang ajaran puteranya. Tak lupa kedua orang muda ini menyampaikan terima kasih atas kurnia yang diberikan kepada mereka.

Kalau pangeran Lu Goan Ong tadinya merasa mendongkol dan gemas sekali karena telah ditipu Tiong San, kini hatinya menjadi luluh menghadapi kemuliaan budi yang diperlihatkan oleh ibu pemuda itu. Maka iapun lalu memberi laporan yang amat baik kepada atasan untuk Khu Sin dan Thio Swie sehingga kedudukan kedua pembesar baru itu makin menjadi kuat.

Demikianlah penuturan Khu Sin kepada Siang Cu dan tiba-tiba gadis ini berkata dengan wajah berseri dan suara gemetar, “Alangkah mulia hati nyonya Lie itu. Dalam keadaan miskin ia berani menolak uang sebesar itu. Sungguh jarang terdapat di dunia ini...”

Malam harinya ia bercakap-cakap berdua di dalam kamar dengan Man Kwei yang secara berterus terang menyerangnya dengan perkataan halus. “Adik Siang Cu, kau mencinta Tiong San, bukan?”

Siang Cu tersenyum dan mukanya menjadi merah. “Dia adalah penolongku dan aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Tanpa pertolongan dia dan suhunya, sudah lama aku tentu tewas. Akan tetapi... siapakah berani mencinta seorang pembenci perempuan seperti dia?” Ia menarik napas panjang, lalu berkata sambil memegang tangan Man Kwei.

“Cici yang baik, tak mungkin aku dapat membalas budi Shan-tung Koai-hiap, karena ia pembenci wanita. Juga tak mungkin aku dapat membalas budi Thian-te Lo-mo karena orang tua itu telah meninggal dunia. Akan tetapi ketika tadi aku mendengar tentang nyonya janda Lie, ibu Shan-tung Koai-hiap, hatiku amat kagum dan tertarik.

"Ia seorang nyonya berhati mulia yang hidup seorang diri, ditinggalkan oleh puteranya. Akupun seorang diri pula. Biarlah aku membalas budi Shan-tung Koai-hiap kepada ibunya saja. Cici yang baik, kuharap kau dan suamimu sudi menolongku, menjadi perantara agar supaya nyonya itu suka menerimaku membantu dan mengawaninya.”

Ketika Khu Sin diberi tahu oleh isterinya tentang maksud Siang Cu yang hendak tinggal di rumah ibu Tiong San dan membantu nyonya tua itu, ia merasa setuju sekali. Maka beberapa hari kemudian, Khu Sin beserta isterinya mengantarkan Siang Cu ke dusun Kui-ma-chung, ke rumah nyonya janda Lie.

Nyonya itu menyambut mereka dengan ramah-tamah dan sebentar saja Siang Cu telah merasa suka sekali kepadanya. Juga nyonya Lie merasa suka kepada Siang Cu yang pandai membawa diri. Setidaknya, nyonya Lie adalah bekas isteri seorang pembesar, maka melihat sikap dan gerak-gerik Siang Cu yang sopan-santun dan tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya, ia merasa suka sekali.

Apalagi ketika Man Kwei menuturkan betapa gadis itu adalah seorang yatim-piatu yang lari dari istana kaisar karena hendak dipaksa menjadi bini muda pangeran, nyonya itu merasa kasihan sekali dan ia menerima dengan tangan dan hati terbuka ketika gadis itu minta supaya ia suka menerimanya di rumah itu.

“Aku girang sekali kalau kau sudi tinggal di rumah gubuk dan hidup dengan sederhana dan miskin di sini. Aku memang amat kesepian dan seorang seperti kau akan merupakan penghibur dan kawan yang amat menyenangkan hatiku,” katanya.

Demikianlah, mulai hari itu, setelah Khu Sin dan isterinya kembali ke kota, Siang Cu tinggal berdua dengan nyonya Lie dan ketika melihat bahwa nyonya tua itu mendapatkan nafkahnya dengan menghasilkan pekerjaan sulam dan tenun, Siang Cu segera turun tangan membantu.

Dia memang terkenal sebagai ahli pekerjaan tangan yang halus-halus, maka setelah ia berada di situ, hasil pekerjaan sulam dari nyonya Lie makin indah dan banyak disukai orang sehingga pesanan datang semakin banyak.

Bahkan para hartawan dan bangsawan dari luar kota pada memesan barang-barang sulaman kepada nyonya itu sehingga biarpun mereka hanya hidup berdua, namun mereka merasa sibuk setiap hari dan cukup gembira. Dengan adanya Siang Cu, nyonya Lie merasa terhibur sekali dan makin lama ia merasa makin suka kepada gadis itu.

Dalam percakapan-percakapan mereka, akhirnya Siang Cu menceritakan juga tentang pengalamannya dan menceritakan pula bahwa ia pernah ditolong oleh putera nyonya itu yang kini berjuluk Shan-tung Koai-hiap. Tentu saja nyonya Lie merasa girang sekali mendengar ini, tetapi sambil menghela napas ia berkata,

“Tak kusangka bahwa Tiong San yang dulu kuharap-harapkan untuk menjadi seorang pembesar seperti ayahnya, ternyata kini berubah menjadi seorang pendekar. Dan yang paling membuat aku menyesal adalah mengapa ia tidak lekas-lekas pulang. Ah, kalau saja ia berada di sini dan kita bertiga tinggal bersama seperti ini.... aku akan merasa bahagia dan puas!.Dengan adanya kau dan dia di dekatku setiap hari, usiaku akan lebih panjang dan hatiku selalu akan merasa senang....”

Mendengar ucapan ini, dada Siang Cu berdebar dan ia menundukkan mukanya yang menjadi merah. Berbulan-bulan gadis itu tinggal di rumah itu dan kini ia telah menganggap nyonya Lie sebagai ibu sendiri yang dihormati dan dikasihinya. Sebaliknya nyonya itupun amat cinta kepadanya.

Pernah nyonya Lie menderita sakit panas, dan siang malam Siang Cu menjaga dan merawatnya dengan penuh kesabaran, telaten, dan penuh perhatian. Gadis ini sampai lupa makan dan lupa tidur, demikian prihatin ia menjaga dan merawat nyonya itu sampai hampir dua pekan lamanya, sehingga nyonya tua itu merasa amat bersyukur dan berterima kasih.

Setelah ia sembuh, rasa kasihnya kepada Siang Cu makin tebal. Diam-diam ia mengharapkan kembalinya Tiong San dan ia telah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau anaknya itu datang, ia akan menjodohkan Tiong San dengan Siang Cu.

Demikianlah adanya pengalaman Siang Cu semenjak ia berpisah dari Tiong San di dalam hutan beberapa bulan yang lalu sampai ia tinggal di dalam rumah ibu Tiong San dan pada hari itu tak tersangka-sangka Tiong San muncul di depan pintu!

* * *

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tiong San menjadi terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba melihat Siang Cu berada di depannya. Bagaimana gadis ini bisa berada di dalam rumahnya dan tinggal bersama ibunya?

“Kau....?” katanya perlahan tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah gadis itu.

“Ya, inkong (tuan penolong). Aku Gan Siang Cu yang dulu telah kau tolong. Apakah selama ini kau baik-baik saja?” jawab Siang Cu tanpa berani mengangkat muka.

Kegembiraan yang meluap-luap di dalam hati nyonya Lie membuat nyonya itu tersenyum-senyum di dalam tangisnya, dan melihat kedua orang muda itu, niat yang terkandung di dalam hatinya untuk menjodohkan mereka, mendesak hebat dan tak dapat ditahannya pula, maka ia lalu berkata dengan suara girang sekali,

“Tiong San! Siang Cu! Saat yang amat baik ini memaksa aku memberitahukan niatku yang semenjak lama terkandung di dalam hatiku. Aku bermaksud menjodohkan kalian sebagai suami isteri!” sambil berkata demikian ia memandang kepada mereka berganti-ganti dengan mata berseri.

Siang Cu mendengar ucapan ini dan tiba-tiba air matanya turun menitik dan mukanya menjadi merah sekali. Ia makin menundukkan kepalanya dengan perasaan yang luar biasa malu dan bahagianya! Sedangkan Tiong San merasa seakan-akan jantung di dalam hatinya berloncat-loncatan, tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahinya dan memandang kepada ibunya. Mulutnya tak dapat ditahan lagi berseru,

“Ibu, kau gi...” untung ia masih dapat menahan lidahnya yang hampir saja menyebut “gila” sebagai kebiasaannya! Kemudian ia menoleh kepada Siang Cu yang masih menundukkan kepalanya. Ia ingin menahan mulutnya, tetapi bisikan di dalam hatinya yang mendorong-dorongnya, membuat ia bicara seperti tanpa disadarinya.

“Bagus sekali! Kau benar-benar seorang yang tak tahu malu!”

Nyonya Lie menjadi terkejut dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak dan berseru, “Tiong San, tutup mulutmu!” sedangkan air mata yang tadi menitik turun dari pelupuk mata Siang Cu karena merasa bahagia, kini disusul oleh air mata yang membanjir karena perasaan duka dan sakit hati. Tetapi gadis itu tetap menundukkan mukanya.

Tiong San seakan-akan sudah kemasukan iblis dan mulutnya tanpa dapat dikendalikan lagi melanjutkan tuduhan-tuduhannya yang keji. “Di luar tahuku kau telah menjalankan siasat yang licin dan jahat. Seperti perempuan-perempuan jahat lain yang telah kujumpai, kau pun merupakan seekor ular yang berbisa dan berbahaya.

"Apakah kau kira aku tidak tahu akan akalmu ini? Kau tak berhasil mendekatiku, maka kau sengaja mencari ibuku untuk memperlihatkan sikapmu yang halus, sopan-santun, untuk memikat hatinya sehingga ibu benar-benar masuk perangkap! Bagus sekali!”

Siang Cu tiba-tiba mengangkat mukanya dan sinar matanya yang halus itu memandang Tiong San. Pemuda ini tiba-tiba menjadi pucat dan insyaf akan kekejian ucapannya. Ia merasa betapa sinar mata yang lembut itu laksana pedang tajam menembus matanya dan langsung menusuk hatinya.

Dengan pekik memilukan Siang Cu berlari keluar sambil mengeluh, “Baiklah... aku yang jahat, yang hina-dina... biarlah aku pergi dari sini.... agar jangan mengganggumu....”

“Siang Cu ....!” nyonya Lie melangkah maju untuk mencegah gadis itu lari pergi, akan tetapi tanpa menoleh Siang Cu berlari keluar dan terus lari terhuyung-huyung ke depan.

Bagaikan seekor harimau betina yang dirampas anaknya, nyonya Lie berdiri tegak, memutar tubuh menghadapi puteranya. Mukanya pucat, air matanya mengalir turun sepanjang pipinya dan suaranya terdengar gemetar penuh perasaan marah ketika ia berkata,

“Anak durhaka ....! Untuk apa kau pulang?? Kau sudah berobah menjadi orang kasar, menjadi orang biadab! Apakah kau pulang hanya untuk menyakiti hati ibumu?”

Tiong San terkejut sekali. Ibu...” ia berseru.

“Kau...” kata bunya pula sambil menuding mukanya dengan telunjuknya, “Kau telah melakukan penipuan, kau telah memeras pangeran Lu Goan Ong dan menipu uangnya sepuluh ribu tail perak! Dengan perbuatanmu itu saja, kau sudah membuat ibumu berkurang usianya. Biarpun aku sudah mengembalikan uang itu kepada pangeran Lu, aku masih saja selalu berduka memikirkan betapa puteraku telah menjadi demikian jahat.

"Kemudian kedatangan Siang Cu membuat kedukaanku terhibur... tetapi... kini kau datang menghinanya dengan kata-kata keji...! Kau anak durhaka, anak puthauw (tak berbakti)... Kau.... kau pergilah dari sini!” jari telunjuknya kini menuding ke arah pintu. “Pergi dari sini...! Minggat kau dan jangan kembali lagi....!”

Tiong San menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Sambil menangis ia menjatuhkan dirinya memeluk kaki ibunya. “Ibu...... ibu..... jangan kau usir aku, ibu....” Ia menangis seperti anak kecil dengan hati hancur.

Melihat keadaan Tiong San, kemarahan yang telah memuncak di dalam hati ibu itu menjadi luluh. Hampir saja nyonya Lie mendekap puteranya, tetapi ia pertahankan perasaan hatinya dan berkata sebagai sebuah keputusan tetap,

“Keluarlah dan kau harus berusaha agar Siang Cu suka kembali ke sini! Kalau kau tidak kembali bersama Siang Cu, aku takkan menerimamu, takkan mengaku anak kepadamu, tahu??”

Mendengar ini, Tiong San lalu melompat keluar dengan cepat sekali dan berlari mengejar Siang Cu yang sudah tak tampak lagi. Ia mencari-cari dan akhirnya melihat tubuh gadis itu masih bergerak maju dengan kaki lemah dan tubuh terhuyung-huyung ke depan. Ia mengejar cepat dan memanggil, “Nona Gan..., berhentilah.....!”

Akan tetapi telinga Siang Cu seakan-akan tuli dan tidak mendengar panggilan ini, terus saja berlari maju. Ketika Tiong San dapat menyusulnya, pemuda ini melihat betapa gadis itu berlari sambil menangis terisak-isak Ia melompat melewati gadis itu dan berdiri menghadang di depannya.

Siang Cu memandangnya dengan muka pucat dan menahan kakinya. Napasnya terengah-engah dan mukanya pucat sekali seperti mayat. Melihat Tiong San menghadang di depannya, ia memandang dari balik air matanya.

“Mengapa.... mengapa kau mengejarku? Apakah perlunya kau menghadang orang hina-dina seperti aku....?” katanya dengan suara terputus-putus.

“Aku minta kau kembali kepada ibuku!” kata Tiong San dengan suara kaku.

“Tidak! Kau minggir dan jangan menghalangi perjalananku!” jawab Siang Cu menahan tangisnya dan melangkah maju lagi.

“Nona Gan...., kau..... kuharap, kau suka kembali...” kata Tiong San lagi dengan suara lebih halus.

“Tidak, tidak!” Siang Cu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Untuk apa aku kembali? Untuk memikat hati ibumu? Untuk memasang perangkap sehingga ibumu akan masuk ke dalamnya? Tidak...!” Sambil menangis terisak-isak Siang Cu lalu berlari ke depan lagi, diikuti oleh Tiong San yang menjadi bingung sekali...

Jilid selanjutnya,