Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 15

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar gila dari Shantung jilid 15
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 15, karya Kho Ping Hoo - “AKU datang kembali bukan untuk menolongmu,” kata Tiong San yang merasa girang bahwa gadis itu berdiri membelakanginya, sehingga ia tak usah menakuti mata yang halus itu dan gadis itu takkan dapat melihat betapa ia merasa amat kasihan dan terharu!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Aku hanya teringat bahwa tidak selayaknya seorang gadis yang lemah seperti kau ditinggal seorang diri di tengah hutan. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan? Ke mana kau hendak pergi dan aku akan mengantarkanmu ke tempat tujuanmu itu. Hanya untuk mengantarkan sampai di tempat tujuanmu, lain tidak!”

Dengan gerakan perlahan, Siang Cu memutar kembali tubuhnya dan kini ia menghadapi Tiong San. Pemuda itu menekan perasaan herannya ketika melihat betapa kini bibir gadis itu tersenyum.

“Gadis gila....!” tak terasa pula ia berkata dan Siang Cu tersenyum makin lebar, lalu tertawa seakan-akan ia dikitik-kitik dan merasa geli sekali!

“Ah, eh, mengapa kau tersenyum-senyum dan tertawa-tawa? Kau benar-benar gila!” Akan tetapi, dimaki gila beberapa kali itu bukannya marah, Siang Cu bahkan nampak makin geli.

“Kalau aku gila, kau juga gila!” jawabnya dengan halus. “Kau hendak mengantarkanku? Tak perlu. Kalau kau memang tidak mau meninggalkanku sendiri di dalam hutan liar ini, carikanlah satu stel pakaian laki-laki untukku. Tak usah yang baik-baik, pakaian yang telah usang saja, asalkan pakaian laki-laki. Hanya itu permintaanku kalau kau suka menolong, dan... lain tidak!”

Tiong San menjadi heran, tetapi ia dapat menduga bahwa gadis itu tentu hendak melanjutkan perjalanan dengan menyamar sebagai seorang laki-laki! Diam-diam ia memuji keberanian dan kecerdikan Siang Cu, maka ia lalu berkata,

“Tunggu sebentar, akan kucarikan pakaian itu untukmu!” tubuhnya lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali, sehingga Siang Cu memandangnya dengan amat kagum dan untuk beberapa lama gadis itu termenung dalam kebingungan, membanding-bandingkan pemuda itu dengan Thian-te Lo-mo karena ia tidak tahu, mana yang lebih kukoai (aneh) dan gila antara guru dan murid itu!

Tak lama kemudian, benar saja Tiong San kembali sambil membawa satu stel pakaian laki-laki, pakaian petani berwarna biru muda yang masih cukup baik dan belum ada tambalannya. Ia memberikan pakaian itu kepada Siang Cu dan suaranya benar-benar mengandung penyesalan ketika ia berkata,

“Sayang aku tak dapat mencarikan yang lebih baik. Orang-orang dusun di luar hutan itu kesemuanya petani-petani yang tidak kaya!”

“Bagaimana kau memperoleh pakaian ini?”

“Mengapa kau bertanya? Aku..... aku mengambilnya dari sebuah rumah petani.”

“Mencuri....?” gadis itu membelalakkan kedua matanya dan pakaian yang dipegangnya itu tak terasa pula terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah.

“Biarpun mencuri, akan tetapi aku yang melakukannya, bukan kau!” kata Tiong San dengan mendongkol dan mukanya berobah merah.

Siang Cu merogoh saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan tiga potong uang perak. “Tidak boleh, kau harus membayarkan uang ini kepada pemilik pakaian. Aku belum pernah memakai barang curian!”

“Aku tak mau!”

“Kalau begitu, akupun tidak mau memakai pakaian ini!”

Tiong San menarik napas panjang dan menerima uang itu. “Baiklah, nanti akan kubayarkan uang ini kepadanya.”

Siang Cu tersenyum girang dan diam-diam Tiong San merasa heran mengapa iapun merasa amat girang oleh karena gadis itu percaya kepadanya, sama sekali tidak meragukan bahwa uang itu akan betul-betul dibayarkan kepada petani yang ia curi pakaiannya itu!

“Pakaian itu amat buruk,” katanya pula.

“Siapa bilang? Ini terlalu bagus untukku,” kata Siang Cu yang segera membawa pakaian itu ke tanah bekas galian di mana terdapat tanah-tanah lempung yang agak basah, lalu ia menggosok-gosokkan pakaian itu ke dalam tanah lempung!

“Kau gendeng!” kata Tiong San, akan tetapi, ia segera teringat bahwa di dalam penyamaran, memang lebih tepat apabila seorang petani muda pakaiannya berlumur tanah! Kembali ia memuji kecerdikan gadis itu, tentu saja hanya di dalam hati karena mulutnya ia kunci rapat-rapat.

“Kau pergilah dulu, aku hendak bertukar pakaian,” kata Siang Cu dan mukanya tiba-tiba berobah merah.

Tiong San juga menjadi malu dan mukanya menjadi merah sampai ke telinga. Ia masih berdiri di tempatnya, hanya memutar tubuh membelakangi gadis itu. “Siapa yang ingin melihat kau bertukar pakaian?” katanya mendongkol.

Biarpun Tiong San sudah memutar tubuh, akan tetapi Siang Cu masih belum puas kalau belum bersembunyi di belakang sebatang pohon besar. Di balik pohon itu ia mengganti pakaiannya, menanggalkan pakaian luar lalu menutup pakaian dalamnya dengan pakaian petani yang telah menjadi kotor berlumpur itu. Sambil berganti pakaian, berkali-kali ia mengintai dari balik batang pohon dan berkali-kali berkata, “Awas, belum selesai, jangan menengok dulu!”

Diam-diam Tiong San menjadi mendongkol dan juga geli. Bencinya terhadap gadis ini banyak berkurang, meskipun ia masih merasa tak senang kepada kaum wanita yang dianggapnya telah merusak hidup orang-orang yang dikasihinya.

“Sekarang kau boleh menengok!” kata Siang Cu dan ketika Tiong San berpaling, ia hampir pangling. Di depannya berdiri seorang petani muda yang amat tampan.

“Bagaimana? Sudah patutkah aku menjadi seorang pemuda tani?”

Tiong San memandang penuh perhatian dan lupa akan “bencinya” tadi, ia membantu untuk mencari-cari apa yang kiranya perlu diperbaiki dalam samaran itu. “Wajahmu....” katanya.

“Mengapa wajahku?” tanya Siang Cu cepat-cepat dan otomatis tangan kirinya naik untuk mengusap pipinya.

“Wajahmu terlalu cakap untuk seorang petani muda... eh, maksudku... hm... terlalu... terlalu putih dan halus kulit mukamu...” Muka Tiong San menjadi merah sekali karena ucapan itu benar-benar amat sukar keluar dari mulutnya dan ia benci kepada dirinya sendiri untuk mengeluarkan ucapan yang didorong-dorong oleh hatinya sendiri.

Siang Cu tersenyum. “Mudah sekali kalau hanya itu....”

Gadis itu lalu mengambil tanah lempung dan segera membedaki mukanya dengan tanah! Kini mukanya menjadi kotor berlumpur, hanya matanya saja yang tidak berubah, masih bening dan bersinar halus.

“Sayang....” tiba-tiba kata-kata ini hanya terloncat keluar dari mulut Tiong San.

“Apanya yang sayang?” tanya Siang Cu cepat.

Ingin Tiong San menampar mulutnya sendiri. Menurut kata hatinya, ia hendak menyatakan sayang karena kulit muka yang putih halus itu dirusak dengan lumuran lumpur hingga menjadi kotor. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengucapkan kata-kata ini dan untung bahwa ia masih dapat mengekang lidahnya dan hanya mengucapkan kata-kata “sayang” tadi! Kini Siang Cu mengajukan pertanyaan yang membuatnya menjadi bingung dan terpaksa ia menjawab dengan gagap.

“Yang sayang... itu loh.... eh, rambutmu...!”

“Rambutku...? Mengapa rambutku?” kembali otomatis tangannya diangkat dan menyentuh rambutnya yang hitam dan panjang.

“Rambutmu terlalu.... halus dan panjang, tak pantas dimiliki oleh seorang petani muda!”

“Begitukah? Coba kau ke sinikan pisauku tadi!”

“Tidak boleh! Kau akan berbuat gila dengan pisaumu tadi.”

Siang Cu tersenyum dan mukanya yang sudah kotor berlumur lumpur itu masih nampak manis karena terlihat giginya yang putih bersih dan rata. “Kalau aku hendak membunuh diri, masa aku harus menyamar dulu? Kesinikan, hendak kupakai memotong rambutku!”

“Tidak boleh, kau tidak boleh pegang pisau tajam.”

“Kalau begitu, tolong kau potongkan rambutku ini, agar jangan terlalu panjang dan untuk menyempurnakan penyamaranku.” Sambil berkata demikian Siang Cu cepat mengulurkan rambutnya yang panjang kepada Tiong San.

Pemuda itu ragu-ragu dan menyesal melihat rambut yang demikian indahnya dipotong, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kemenyesalannya dan segera mencabut pisau tadi dan sekali ia menyabet, putuslah rambut yang panjang itu dan kini menjadi pendek.

“Nah, sekarang penyamaranku pantas, bukan?” kata gadis itu dengan suara menahan isak. Sesungguhnya, bukan main sakit hatinya melihat rambut yang tadi masih menghias kepalanya kini melingkar di atas tanah. Hati gadis mana yang tak merasa sedih?

“Sudah baik sekarang,” kata Tiong San singkat.

“Nah, selamat berpisah, kita mengambil jalan masing-masing,” kata Siang Cu yang segera pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja kembali!

Kini dia yang meninggalkan Tiong San dan pemuda itu untuk beberapa lama berdiri bengong sampai bayangan Siang Cu lenyap di balik pohon. Ia memandang ke arah rambut gadis itu yang tadi terputus dan kini merupakan ular hitam melingkar di atas tanah.

Bagaikan orang tak sadar, ia membungkuk, memungut rambut itu dan bersama pisau belatinya ia masukkan ke dalam saku baju sebelah dalam. Kemudian ia lalu melompat dan berlari cepat dengan tujuan mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang telah membunuh suhunya untuk membalas dendam.

Dalam penyelidikannya, Tiong San mendengar bahwa Si Cui Sian setelah berhasil membunuh bekas kekasihnya, yakni Thian-te Lo-mo, lalu kembali ke selatan, ke tempat tinggalnya, yakni kota Liang-hu. Akan tetapi, ketika ia menyusul ke sana, ia mendengar bahwa wanita itu kabarnya telah pergi ke pegunungan Tai-san di Shan-tung!

Ia merasa heran sekali mengapa wanita itu pergi ke tempat tinggal Thian-te Lo-mo. Apakah kehendak wanita itu? Akan tetapi ia tidak mau memusingkan hal ini dan langsung menuju ke Shantung, menyusul jejak wanita itu.

Pada suatu hari, ia tiba di sebuah hutan di luar kota Cin-an. Ia mendengar suara minta tolong. Ia segera berlari menuju ke arah suara itu dan melihat betapa serombongan orang sedang dikepung oleh perampok-perampok kejam!

Para pengawal rombongan itu yang terdiri dari piauwsu-piauwsu (pengawal/penjaga keamanan di jalan) dengan berani mengadakan perlawanan. Akan tetapi oleh karena kawanan perampok itu banyak jumlahnya, lagi pula dipimpin oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka terdesak hebat dan beberapa orang piauwsu telah menderita luka-luka.

“Perampok gila, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang cambuk yang bergerak-gerak bagaikan naga menyambar, telah membuat banyak senjata perampok itu terlempar ke udara.

Para perampok tentu saja tidak takut akan serbuan hanya seorang pemuda saja, tetapi ketika cambuk itu menyambar cepat, terdengar teriakan-teriakan mereka kesakitan dan muka para perampok itu seorang demi seorang menerima “hadiah” cambukan, sehingga terluka memanjang pada muka yang mengeluarkan darah atau menjadi matang biru!

Tiga orang kepala rampok dengan marah menyerbu ke depan. Akan tetapi mereka inipun berseru keras dan mundur kembali oleh karena kedatangan mereka disambut oleh ujung cambuk dan mengalirlah darah dari muka mereka ketika ujung cambuk itu menyabet dan memecahkan kulit muka mereka! Memang, menghadapi kepala-kepala rampok ini, Tiong San sengaja memberi “hadiah besar” sehingga muka mereka mengeluarkan darah.

Dalam hal membagi-bagi hadiah, suhunya mempunyai tiga istilah, yakni hadiah kecil yang hanya membuat muka bergaris merah, hadiah sedang yang lebih keras dan membuat muka lawan menjadi matang biru dan terasa sakit sekali, tetapi juga tidak mengeluarkan darah, dan ketiga hadiah besar yang dilakukan dengan tenaga lebih keras sehingga kulit muka lawan menjadi pecah oleh ujung cambuk dan mengeluarkan darah serta terasa perih dan sakit sekali!

Melihat kelihaian pemuda itu serta menyaksikan cara bertempurnya yang mempergunakan cambuk panjang, tiba-tiba mereka insyaf dan serentak para perampok berseru, “Shan-tung Koai-hiap...!”

Seruan ini menyatakan keterkejutan dan ketakutan hebat dan mereka segera lari cerai berai masuk ke dalam hutan yang lebat! Memang untuk daerah Shan-tung, nama Shan-tung Koai-hiap telah terkenal sekali dan ditakuti orang, sungguhpun Tiong San belum banyak memperlihatkan kepandaiannya!

Berita akan kelihaian Shan-tung Koai-hiap dan bahwa pendekar itu adalah murid Thian-te Lo-mo, cukup menggentarkan hati setiap penjahat. Maka begitu mendengar nama ini diserukan orang dan melihat betapa segebrakan saja pemuda itu berhasil membuat muka ketiga kepala rampok terluka, semua perampok kehilangan semangatnya dan mereka lari dengan ketakutan!

Para piauwsu juga terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan mereka lalu menghampiri Tiong San dan menjura dengan hormat sekali. Pemimpin rombongan piauwsu itu berkata kepada Tiong San dengan sikap hormat.

“Tak disangka bahwa kami akan mendapat bantuan yang amat berharga dari koai-hiap, sungguh-sungguh kami berterima kasih sekali. Koai-hiap masih begini muda tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihai luar biasa, sungguh-sungguh membuat kami yang tua-tua merasa kagum!”

Oleh karena semenjak dulu mengikuti suhunya yang sama sekali tidak suka akan segala penghormatan, maka Tiong San lalu tertawa karena geli hatinya. “Ha ha ha! Kalian benar-benar berotak miring! Untuk apa segala macam omong kosong ini? Lebih baik lekas tolong kawan-kawanmu yang terluka dan melanjutkan perjalanan.”

Semua piauwsu tidak ada yang berani membantah, dan mereka lalu merawat kawan-kawan yang terluka dan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Ternyata orang-orang yang dirampok itu adalah keluarga Ciu-wangwe (hartawan Ciu) yang tinggal di kota Cin-an. Hartawan itu turun dari jolinya dan menghampiri Tiong San. Ketika melihat sikap pemuda yang menampik segala ucapan terima kasih dan penghormatan, Ciu-wangwe lalu menjura dan berkata,

“Shan-tung Koai-hiap, telah lama aku mendengar nama besarmu dan juga nama besar suhumu, Thian-te Lo-mo. Karena kebetulan sekali kita bertemu di sini dan agaknya sejurusan perjalanan pula, maka aku mengharap sukalah kiranya kau melakukan perjalanan bersama kami. Pertama-tama untuk mempererat perkenalan kita. Kedua, kami mohon pertolonganmu agar supaya keselamatan kami terjamin.”

Tiong San memandang kepada hartawan itu yang ternyata adalah seorang setengah tua yang berwajah menyenangkan dan dari sikap dan bicaranya, dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang berwatak jujur dan terpelajar. “Bolehkah aku tahu siapa saudara ini?” tanya Tiong San dan Ciu-wangwe tersenyum.

“Tadi aku tidak berani memperkenalkan nama oleh karena apakah artinya namaku bagi seorang gagah seperti kau? Aku adalah Ciu Twan atau untuk penduduk Cin-an cukup dikenal dengan sebutan Ciu-wangwe. Ya, memang aku seorang hartawan, tetapi ketika dirampok tadi, aku ingin sekali menjadi seorang miskin saja! Semenjak menjadi hartawan, aku selalu menghadapi kesulitan-kesulitan belaka!” Ciu-wangwe menarik napas panjang.

Tiong San merasa makin tertarik kepada orang ini. “Kau lucu sekali, Ciu-wangwe,” katanya sambil tertawa. “Akan tetapi aku suka bercakap-cakap dengan orang seperti kau!”

Mereka segera melanjutkan perjalanan dan Tiong San tidak menolak ketika ia diberi seekor kuda, sehingga ia dapat bercakap-cakap dengan hartawan Ciu itu. Nyonya Ciu masih duduk di sebuah joli yang digotong oleh enam orang, dan hartawan Ciu sendiri berganti tempat, tidak mau naik joli karena ia ingin bercakap-cakap dengan Tiong San.

Para piauwsu merasa gembira sekali karena pendekar aneh dari Shan-tung itu suka melakukan perjalanan bersama mereka sehingga mereka tak usah mengkhawatirkan sesuatu lagi.

Di sepanjang jalan, Ciu-wangwe dengan amat jujur menuturkan riwayat hidupnya kepada Tiong San tanpa diminta. Ia menceritakan betapa dulu iapun seorang yang miskin, tetapi berkat kerajinannya dapat menjadi seorang kaya raya. Ia menceritakan pula tentang rumah tangganya, tentang seorang anaknya yang telah menjadi remaja puteri, betapa anaknya itu amat cantik dan pandai ilmu kesusasteraan.

“Anakku itu adatnya agak kukoai (aneh). Telah berkali-kali datang lamaran orang, tetapi ia berkeras menampik semua pinangan itu biarpun yang mengajukan pinangan adalah pemuda-pemuda kaya raya, bahkan pinangan seorang pemuda bangsawan ia tolak pula! Ahh, aku dan ibunya sudah merasa pusing sekali, tetapi semenjak kecil ia dimanja, maka aku dan isteriku tak dapat berdaya apa-apa! Kalau saja....”

Ia memandang tajam kepada Tiong San, kemudian menyambung kata-katanya sambil tersenyum. “Kalau saja aku bisa mendapat seorang menantu seperti kau.... ah, seumur hidupku aku akan merasa senang dan aman!”

Tiong San tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Ciu-wangwe memandang heran dan ragukan kesehatan otak pemuda itu, karena memang suara ketawa Tiong San amat nyaring dan keras, sehingga para piauwsu pun menengok dan memandang dengan heran!

“Ciu-wangwe, kau.... gila!” kata Tiong San yang telah menjadi biasa menyebut semua orang dengan makian gila seperti adat gurunya. “Aku.... aku paling tidak suka kepada wanita apalagi wanita yang pandai, lebih-lebih lagi kalau ia cantik jelita!”

Kini Ciu-wangwe yang tertawa geli mendengar ucapan ini. “Shan-tung Koai-hiap, aku benar-benar suka kepadamu. Kau berbeda sekali dengan pemuda-pemuda lain. Kuharap kau suka bermalam di rumahku di Cin-an agar hatiku puas. Sukakah kau?”

Melihat sikap hartawan yang amat tulus dan jujur ini, memang Tiong San telah merasa suka dan cocok sekali, maka ia menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Aku sedang ada urusan penting, yakni mencari seorang di sekitar bukit Tai-san. Karena akupun harus melalui Cin-an, tidak ada halangan apabila aku mampir semalam di rumahmu.”

Ciu-wangwe merasa girang sekali dan perjalanannya dilanjutkan dengan selamat sampai di Cin-an. Mereka menuju ke gedung Ciu-wangwe dan hartawan itu selain memberi upah yang telah dijanjikan kepada para piauwsu, juga memberi hadiah ekstra karena ia merasa kasihan kepada para piauwsu yang terluka.

Tentu saja para piauwsu itu amat berterima kasih sekali dan memuji-muji kebaikan budi hartawan itu. Hartawan lain tentu akan marah-marah dan menyatakan ketidak puasannya karena terjadinya gangguan perampok yang hampir mencelakakan itu, akan tetapi hartawan ini bahkan memberi hadiah dan ongkos-ongkos pengobatan kawan-kawan mereka yang terluka!

Ciu-wangwe memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia delapan belas tahun. Gadis ini bernama Ciu Leng Hwa dan semenjak kecil ia memang telah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan amat rajinnya. Ia mempunyai otak yang cerdas dan setelah ia menjadi dewasa.

Ia terkenal sebagai kembang kota Cin-an, baik mengenai kecantikan maupun mengenai kepandaiannya, terutama tulisan-tulisannya yang indah. Sering kali kawan-kawannya minta supaya menuliskan lian (tulisan-tulisan di atas kain yang mengandung arti dan ditulis indah, biasanya berbentuk syair).

Ciu-wangwe suami isteri merasa amat bangga akan puteri mereka ini, tetapi sebagaimana yang diceritakan oleh Ciu-wangwe kepada Tiong San, gadis ini selalu menolak apabila orang tuanya bicara tentang perjodohan dan pinangan orang kepadanya!

Ketika Leng Hwa mendengar dari ibunya bahwa ayah bundanya tadi diganggu perampok dan terjadi pertempuran hebat, ia menjadi khawatir sekali dan berkata, “Ah, untung sekali ibu dan ayah tidak sampai mendapat celaka. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana dengan.... aku? Ah, syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa, malam ini kebetulan bulan purnama dan tengah malam nanti aku harus bersembahyang untuk mengucap syukur.”

“Memang kita harus bersyukur, anakku, terutama sekali kepada Shan-tung Koai-hiap, karena dialah yang menolong sehingga ayah bundamu masih dapat bertemu dengan kau dalam keadaan hidup!” Nyonya Ciu lalu menceritakan betapa pendekar muda itu telah menolong mereka dengan gagahnya.

“Tak kusangka bahwa seorang pemuda yang begitu halus dan kelihatan lemah, memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Sayangnya... bicaranya aneh-aneh sehingga ayahmu menyangka bahwa ia agak... miring otaknya! Ia ikut datang atas undangan ayahmu dan ayahmu suka sekali bercakap-cakap. Percakapan mereka aneh-aneh sehingga aku tidak mengerti sedikitpun. Coba saja pikir, pendekar yang usianya belum tentu ada dua puluh tahun itu beberapa kali kudengar menyebut ayahmu..... gila!”

Leng Hwa tertarik sekali. “Memang kata orang-orang dahulu, orang yang gila paling suka menyebut orang waras gila!” katanya perlahan dan diam-diam ia mempunyai keinginan keras untuk melihat bagaimana macamnya pendekar muda yang amat terkenal itu.

Akan tetapi sebagai seorang gadis terpelajar dari keluarga sopan, tentu saja tak mungkin baginya untuk menjumpai seorang tamu laki-laki yang masih muda dan asing pula. Malam hari itu, Leng Hwa berada di taman bunga. Memang taman bunga keluarga Ciu-wangwe amat indah dan terkenal, karena selain Leng Hwa suka sekali kepada kembang-kembang, juga suami isteri Ciu suka berjalan-jalan di situ.

Gadis itu menanti datangnya tengah malam di taman itu sambil menghadapi dua helai kain yang disulam indah. Seorang kawannya minta kepadanya untuk menuliskan dua buah syair di atas dua helai kain yang lebar itu. Akan tetapi, entah mengapa, malam hari ini agaknya jalan pikiran gadis ini kurang tenang.

Telah lama sekali ia duduk di atas sebuah bangku menghadapi kain yang terbentang di hadapannya tanpa dapat menuliskan sehuruf pun. Ia bertopang dagu dan pelayannya duduk tak jauh dari situ, sama sekali tidak berani mengganggu nonanya yang sedang mengasah otak itu.

Sambil bertopang dagu, Leng Hwa memandang kepada bulan yang nampak bulat dan terang di angkasa raya. Pelayannya, seorang gadis tanggung, memandang nonanya dengan kagum sekali. Karena sedang berdongak, wajah Leng Hwa sepenuhnya ditimpa sinar bulan dan pelayan itu diam-diam berpikir, manakah yang lebih indah, wajah nonanya atau bulan itu!

Melihat bulan seakan-akan bergerak di atas awan-awan putih dan kadang-kadang bersembunyi di belakang sekelompok awan hitam. Tiba-tiba Leng Hwa menggerakkan pensil bulunya di atas kain itu. Ia telah mendapat bahan bagi syairnya, ialah bulan itu!

Dengan asyiknya ia menulis, sambil mengeluarkan ujung lidahnya yang merah dan kecil itu di ujung bibirnya, mengerahkan seluruh perhatiannya pada pensil bulu yang kini menari-nari di atas kain. Setelah syair itu selesai, ia memandangnya dengan puas, wajahnya berseri-seri.

“A-bwe,” ia memanggil pelayannya yang duduk kedinginan karena hawa malam yang sejuk itu membuatnya mengantuk.

A-bwe terkejut dan berdiri. “Kau lihat, syair telah selesai sebuah! Coba kau baca keras-keras hendak kudengarkan!”

A-bwe memang amat mengagumi syair nonanya dan ia senang sekali membaca syair yang ditulis oleh nonanya. Banyak syair tulisan Leng Hwa telah dapat dibacanya di luar kepala, padahal Leng Hwa sendiri sudah lupa akan bunyi syair-syairnya itu. Akan tetapi ia suka mendengar A-bwe membaca syairnya karena suara pelayan ini memang merdu dan apabila syairnya dibaca oleh A-bwe, seakan-akan syair itu menjadi lebih hidup dan indah!

A-bwe berlari-lari menghampiri dan melihat tulisan yang indah itu ia memuji-muji, lalu membaca syair itu dengan suara nyaring dan merdu, penuh perasaan dan gaya serta tekanan suaranya tepat sekali:

b Bulan indah, begitu tinggi dan mulia
kau menerangi seluruh permukaan dunia
ratu malam yang megah, cantik jelita
menyaingi matahari
raja siang yang jaya!
namun... sekali terbang lalu
awan dan mega yang terang
menjadi gelap, kau tak berdaya....!

“Bagus, Siocia (nona), bagus! Akan tetapi agak... agak sedih!”

Akan tetapi, kebetulan sekali memang pada saat itu ada segunduk awan hitam bergerak perlahan menutup bulan.

“Aku hanya menuliskan keadaan yang sebenarnya A-bwe. Lihat, agaknya awan hitam itu akan lama menutup bulan karena berkelompok besar, lebih baik kita masuk dulu dan kau sediakan alat-alat sembahyang karena tak lama lagi tengah malam akan tiba. Kalau bulan sudah terang lagi kita kembali ke sini,”

Kedua wanita itu lalu meninggalkan tempat itu, masuk ke dalam rumah. Tak lama setelah mereka pergi, nampak sesosok bayangan berjalan ke tempat itu dan ia berhenti di depan meja, membaca syair yang baru ditulis oleh Leng Hwa tadi. Bayangan ini adalah Tiong San yang juga merasa tertarik oleh bulan purnama dan keluar dari kamarnya untuk menikmati pemandangan dalam taman bunga yang indah itu.

Biarpun masih ada awan tipis menutup bulan, dan keadaan tidak sangat terang, akan tetapi matanya yang tajam dapat membaca syair itu dengan terang. Ia merasa tertarik sekali dan melihat bahwa di situ masih ada sehelai kain yang sama ukuran dan bentuknya dengan kain yang sudah ditulisi, dan kain itu masih kosong, tak terasa pula timbul kegemarannya menulis syair.

Ia pegang pensil bulu, mencelupkannya di tempat tinta, lalu berpikir sebentar sambil memandang kepada syair Leng Hwa tadi, lalu menulis dengan gerakan cepat dan kuat. Baru saja ia selesai menulis, terdengar suara orang mendatangi. Ia terkejut dan sadar bahwa ia telah berlaku lancang, maka cepat-cepat ia melompat ke balik gerombolan pohon bunga dan mengintai.

Ternyata yang datang adalah dua orang wanita, seorang gadis cantik diikuti oleh seorang gadis pelayan yang membawa lilin dan dupa. Bulan bersinar penuh dan keadaan menjadi terang sekali. Ketika Leng Hwa tiba di dekat mejanya, ia terkejut sekali dan terdengar ia mengeluarkan seruan tertahan.

Mendengar ini A-bwe berlari menghampiri dan juga pelayan ini menjadi terkejut sekali. “Bagus, bagus! Syair ini lebih bagus, siocia!” kata pelayan itu yang lalu meletakkan barang-barangnya di atas tanah. Kemudian dengan suara nyaring ia membaca syair yang baru saja ditulis oleh Tiong San itu:

Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan namun,
awan gelap hanya rintangan,
yang akan lenyap oleh tiupan angin gelap
sebentar,
hujan badai boleh menggelegar!
Sesudah lewat,
bulan muncul lagi berseri segar!
matahari akan terbit lagi,
hangat dan terang!

“Bagus, siocia, bagus!” Syair ini merupakan pasangan yang cocok sekali dengan syairmu dan sekali gus menghapus kesedihan syairmu itu! Dan tulisannya... alangkah indahnya... tak kalah oleh tulisanmu....!”

Akan tetapi, Leng Hwa merasa marah sekali melihat betapa kain yang masih kosong itu ada orang lain yang lancang tangan menulisi. Ia berdiri tegak dan memandang ke kanan kiri, lalu katanya dengan suara nyaring, tanda kemarahan hatinya.

“Orang kurang ajar dari manakah yang berani membikin kotor kain ini? Sungguh gila...!”

Jilid selanjutnya,