Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 13

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar gila dari Shantung jilid 13
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - KETIKA ia turun dari kendaraan, semua perwira yang kemaren mengeroyoknya, memandang dengan penuh perhatian dan mereka mau tidak mau harus menyatakan kagum dalam hati melihat kegagahan dan ketampanan pemuda yang dipilih menjadi calon suami Siu Eng itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pangeran Ong Tai Kun sendiri menyambut pemuda itu dengan senyum simpul. Telinganya yang buntung kini tertutup oleh sebuah kopiah bulu yang sengaja dibuat dengan model kopiah yang besar menutup telinga. Muka Pangeran ini masih nampak pucat dan biarpun bibirnya tersenyum-senyum dan mukanya berseri-seri, akan tetapi mata Tiong San yang tajam tak dapat ditipu dan pemuda ini melihat sinar api di dalam mata Pangeran itu yang membuatnya berlaku waspada dan berhati-hati.

Hari itu sampai malam harinya, Ong Tai Kun memperlihatkan sikap yang baik sekali. Ia mengajak Tiong San makan minum dan bercakap-cakap dengan gembira, berkali-kali menyatakan kegembiraannya dan mengucapkan selamat atas kebahagiaan pemuda ini.

“Kau benar-benar beruntung,” katanya sambil menambah arak dalam cawan Tiong San, “Mungkin kau tidak tahu bahwa nona Gui Siu Eng itu adalah kembang kota raja yang banyak dikagumi orang. Tidak ada pemuda di kota raja yang tidak mengimpikannya. Selain cantik jelita, iapun terkenal pandai dalam ilmu kesusasteraan dan dalam hal ilmu Silat, tidak ada wanita keduanya! Kau benar-benar beruntung sekali!”

“Terima kasih, Ong-taijin. Akan tetapi yang lebih menggirangkan hatiku ialah melihat bahwa agaknya kau benar-benar telah insyaf dan suka merobah kebiasaan yang kurang baik. Aku merasa bersyukur sekali dan harap kau sudi memberi maaf atas atas perlakuanku kemarin dulu yang kasar.” Melihat keramah tamahan Pangeran itu, kecurigaan di hati Tiong San mulai mengurang.

Malam hari itu, Tiong San mendapat sebuah kamar yang indah dan dihias bagus, merupakan kamar penganten benar-benar! Ketika Tiong San berada di dalam kamarnya seorang diri dan naik ke pembaringan, tiba-tiba ia memasang telinga dan segera tersenyum sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan sebentar saja ia telah mendengkur.

Ia maklum bahwa di sekeliling kamarnya dijaga orang-orang pandai dan maklum pula bahwa ini tentu perbuatan Pangeran Lu Goan Ong dan Pangeran Ong Tai Kun yang diam-diam menyuruh para perwiranya menjaganya, khawatir kalau-kalau ia akan lari kabur!

Pada keesokan harinya, para pelayan Pangeran Ong Tai Kun datang membawakan air hangat dan setelah Tiong San mencuci badan, mereka lalu membantu pemuda itu mengenakan pakaiannya yang indah. Bahkan Pangeran Ong Tai Kun sendiri membantu dan membereskan pakaian Tiong San. Setelah saatnya untuk berangkat tiba, Pangeran Ong Tai Kun datang membawa guci arak dan dua buah cawan.

“Shan-tung Koay-hiap,” katanya sambil tertawa, “Sebagai seorang wali, juga sebagai kawan baik menghormati kawan yang gagah perkasa dan menerima keberuntungan, sukalah kiranya kau minum tiga cawan arak!”

Tiong San tersenyum dan menerima cawan arak itu. Ketika ia membawa cawan ke mulutnya dan arak sudah masuk ke mulut, ia merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan gatal-gatal. Diam-diam ia terkejut sekali, dan tahu bahwa diam-diam pangeran Ong Tai Kun ini sengaja menjalankan maksud keji dan hendak meracuni pada saat terakhir.

Melihat betapa pemuda itu menunda minumnya, wajah Pangeran Ong Tai Kun menjadi pucat, akan tetapi ia menarik napas lega ketika pemuda itu melanjutkan minumnya dan sekali tenggak arak secawan itu memasuki perutnya!

Ong Tai Kun tertawa girang. “Arak dalam cawan pertama itu untuk ucapan selamat, cawan kedua untuk menambah tng kepada penganten pria dan cawan ketiga untuk menambah kekal persahabatan kita!”

Tanpa menjawab sesuatu, Tiong San minum dua cawan arak yang mengandung racun itu. Kemudian ia menggandeng tangan Pangeran Ong Tai Kun yang sebagai walinya akan mengantarnya menjemput mempelai perempuan.

Bagaimana Tiong San berani minum tiga cawan arak yang telah diketahuinya mengandung racun itu? Ternyata bahwa ketika ia belajar ilmu kepandaian di bawah bimbingan suhunya yang sakti dan aneh, ia mendapat gemblengan hebat dalam ilmu lweekang secara ajaib dan suhunya itu yang bicara dengan tegas dan jelas apabila sedang memberi pelajaran, telah memberi tahu kepadanya bahwa bahaya besar bagi seorang ahli silat yang paling sukar dijaga adalah serangan lawan yang mempergunakan tipu muslihat halus, yakni dengan jalan meracuninya.

“Ada dua macam racun,” kata Thian-te Lo-mo kepada muridnya itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian, “Racun yang bersifat keras dan bekerjanya cepat sekali sehingga begitu racun ini memasuki perut, orang yang meminumnya akan mati pada saat itu juga, dan ada pula racun yang bersifat halus dan bekerjanya amat lambat sehingga yang meminumnya baru akan tewas dalam beberapa hari atau beberapa pekan menurut ukuran racun dan si peminum itu sendiri.

"Racun yang pertama, yakni yang keras, begitu memasuki mulut, apabila kita menggunakan hawa dari dalam perut yang dikerahkan ke dalam mulut dan ujung lidah, maka lidah kita akan menjadi kaku dan ada rasa getir pada lidah itu. Jika kau merasai ini, sekali-kali jangan kau minum racun itu dan segera semburkan minuman itu ke arah muka lawan dan seranglah ia dengan pukulan maut.

"Akan tetapi apabila kau minum minuman yang membuat lidahmu terasa lemas dan agak gatal-gatal ketika kau mengerahkan hawa dari dalam perut, itulah tanda racun kedua yang kerjanya dengan halus. Kau boleh segera semburkan arak atau minuman beracun halus itu ke arah mata lawanmu dan memberi pukulan yang cukup untuk membuat ia roboh pingsan.

"Akan tetapi, apabila keadaan menghendaki, ada jalan bagimu untuk menelan minuman beracun halus itu tanpa membahayakan keselamatan nyawamu. Kerahkan lweekang dan hentikan jalan darah dan pernapasanmu dan apabila kau mengerahkan khikang di dalam perut untuk mendesak minuman itu keluar lagi dari mulutmu.

"Maka semua minuman itu akan keluar bersama racun di dalamnya dan perutmu akan menjadi bersih kembali. Akan tetapi ingat, jangan sekali-kali kau bicara ketika menahan napas dan menghentikan jalan darah. Kalau kau berbuat demikian, maka tidak semua racun akan ikut keluar dan perutmu akan menjadi terluka!”

Oleh karena itu, ketika tadi Tiong San merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan agak gatal, ia maklum bahwa ia diberi minum racun halus yang bekerja lambat. Ia adalah seorang pemuda yang pemberani dan tabah, serta sudah memiliki adat aneh dari suhunya, maka ia sengaja menelan masuk tiga cawan arak itu. Setelah minum tiga cawan arak itu, ia lalu menggandeng tangan “walinya” masuk ke dalam kereta yang telah tersedia di depan istana Pangeran Ong Tai Kun.

Kendaraan lalu dijalankan, didahului dengan barisan bertombak dan rombongan musik yang memukul tambur dan gembreng. Di belakang kendaraan itu orang-orang sibuk memasang petasan sehingga keadaan menjadi ramai dan gembira sekali. Penonton berdesak-desakan dan ketika Tiong San naik ke dalam kereta tadi, para penonton memuji-muji kegagahan pemuda yang terpilih oleh Gui-siocia itu.

Pakaian Tiong San dari sutera hijau tertutup oleh jubah pengantin yang berwarna merah dan dikembang-kembang dengan benang emas. Kepalanya mengenakan topi penganten yang dihias dengan batu-batu permata. Ketika kendaraan berjalan dan tambur serta gembreng ditabuh, penonton mengantarkan penganten dengan tepuk tangan dan sorak riuh rendah!

Di gedung Pangeran Lu Goan Ong tidak kalah meriahnya. Di depan gedung dihias indah, dan musik terdengar semenjak pagi. Tamu-tamu yang terdiri dari para pembesar dan Pangeran-Pangeran di kota raja, berangsur-angsur datang. Tak seorangpun pembesar yang berada di kota raja tidak datang menghadiri perayaan itu, karena siapakah yang tidak menghormat dan segan terhadap Pangeran Lu Goan Ong? Bahkan kaisar sendiri telah mengirim hadiah berupa hiasan rambut mempelai wanita.

Yang paling merasa berbahagia adalah Siu Eng sendiri. Semenjak pagi gadis ini telah dirias sehingga wajahnya yang telah cantik jelita itu menjadi makin menarik. Kedua pipinya kemerah-merahan membayangkan perasaan gembira dan bahagia.

Ia duduk di dalam kamar, dikelilingi para pelayan wanita, ada yang mengipasinya, ada yang memberes-bereskan pakaian pengantin yang dipakainya, ada yang membereskan rambutnya dan sebagainya. Ia telah siap untuk menanti datangnya mempelai laki-laki atau calon suaminya yang akan datang menyambutnya.

Tiba-tiba terdengar suara petasan di luar dan para pelayan sambil tertawa-tawa lalu memasang penutup kepala yang dihias penuh dengan batu permata dan emas di kepala Siu Eng yang tersenyum-senyum malu karena maklum bahwa calon suaminya telah tiba.

Di Luar juga terjadi kesibukkan luar biasa. Lu Goan Ong sebagai paman dan wali dari mempelai wanita, segera membawa rombongannya menyambut keluar. Kendaraan penganten berhenti tepat di depan gedung setelah memasuki pekarangan gedung yang amat luas. Para penonton tidak boleh masuk, hanya sampai di pintu gerbang dan mereka berdesak-desakan di situ sambil menjenguk ke dalam.

Karena pintu dan tirai kendaraan belum juga dibuka, maka Lu Goan Ong sendiri melangkah maju. Pangeran ini mengulur kedua tangannya, membuka tirai dan menjenguk ke dalam. Akan tetapi ia berdiri terheran-heran seperti patung, matanya terbelalak memandang ke dalam kendaraan. Apakah yang ia lihat??

Ternyata bahwa di dalam kendaraan itu hanya duduk satu orang yang bukan lain ialah Pangeran Ong Tai Kun sendiri! Pangeran ini mengenakan jubah penganten laki-laki, akan tetapi ia duduk di atas bangku kereta itu bagaikan arca, sama sekali tidak bergerak!

Pangeran Lu Goan Ong berteriak dan semua orang memburu ke situ. Beramai-ramai mereka lalu menurunkan Pangeran Ong Tai Kun yang ternyata telah menjadi kaku tubuhnya karena tertotok secara hebat sekali.

Keadaan menjadi gempar dan Pangeran Ong Tai Kun dipepayang masuk ke ruang yang penuh tamu. Di situ terdapat banyak perwira tinggi dan di antaranya bahkan jago-jago kelas satu dari kaisar hadir pula. Melihat keadaan Pangeran Ong Tai Kun, mereka lalu turun tangan dan dengan susah payah karena totokan itu benar-benar aneh, mereka akhirnya dapat juga membebaskan Pangeran itu dari pengaruh totokan.

Pada saat yang sudah kacau dan gempar itu, ditambah dengan kegemparan lain yang lebih mengagetkan. Ternyata bahwa Siu Eng yang berada di dalam kamarnya, menanti “si dia” dengan hati berdebar-debar, mendengar pula warta mengejutkan itu dari seorang pelayan.

“Penganten laki-laki tidak ada, yang ada hanya Ongya yang mengenakan baju penganten. Agaknya Ongya akan menggantikan penganten laki-laki,” kata pelayan itu dengan napas megap-megap.

Mendengar ini, serentak Siu Eng melompat bangun, melemparkan penghias dan penutup kepalanya, mencabut pedang dan berlari keluar. Ia melihat betapa Ong Tai Kun sudah duduk di atas kursi, sedang dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh semua orang.

“Kurang ajar!” tiba-tiba Siu Eng membentak dan ia menyerang pangeran Ong dengan pedangnya!

Akan tetapi pamannya, Pangeran Lu Goan Ong, segera mencegahnya dan memegang lengannya. “Sabar...., Siu Eng, tenanglah dan mari kita bicara di dalam secara baik-baik. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat dengan saudara Ong Tai Kun!”

Dengan penuh ketenangan, Pangeran Lu Goan Ong lalu menggandeng keponakannya yang berwajah pucat itu masuk ke dalam, sedangkan Pangeran Ong Tai Kun juga digandeng para perwira masuk ke dalam pula. Semua tamu saling pandang dan mengangkat pundak. Mereka merasa amat terkejut dan heran.

Keadaan Pangeran Ong Tai Kun benar-benar aneh. Duduk dalam kereta dalam keadaan tertotok, mengenakan baju pengantin yang paling aneh seluruh jenggotnya habis bersih dibabat orang! Apakah gerangan yang telah terjadi? Demikian semua orang bertanya.

“Apakah sebetulnya yang telah terjadi?” pertanyaan yang terkandung dalam hati semua tamu di gedung Pangeran Lu ini diucapkan pula oleh Pangeran Lu Goan Ong kepada Pangeran Ong Tai Kun.

Ong Tai Kun merintih beberapa kali menarik napas panjang pendek, kemudian menuturkan pengalamannya. “Celaka, celaka....” ia mengeluh, “Penjahat itu benar-benar kurang ajar dan telah menghinaku sesuka hatinya! Setelah aku berlaku baik terhadapnya, menjadi walinya, menjamunya secara besar-besaran dan membuat perayaan istimewa untuk pernikahannya, ternyata ia berlaku keji sekali terhadapku!

"Ketika kereta penganten telah berangkat dan aku duduk bersama dia di dalam kendaraan, tiba-tiba ia menyerangku dengan tiam-hoat (totokan istimewa). Karena tidak menduga sebelumnya, dengan mudah aku menjadi korban. Dengan secara kurang ajar sekali, ia lalu menanggalkan jubah penganten dan penghias kepala, mengenakan pakaian itu kepada tubuhku yang telah menjadi kaku tak berdaya, bahkan ia mencabut pedangku dan mencukur semua kumis dan jenggotku!

"Kemudian, penjahat biadab itu lalu melompat keluar dari kendaraan dengan cepat sekali tanpa diketahui siapapun! Sebelum ia pergi, ia mengucapkan “selamat menikah” kepadaku. Sungguh kurang ajar! Kalau aku dapat bertemu dengan Shan-tung Koay-hiap, tentu akan kubalas hinaan ini!”

Setelah menuturkan pengalamannya, Pangeran itu kembali mengeluh panjang. Tentu saja ia tidak menceritakan betapa diam-diam ia hendak meracuni Tiong San, tidak menceritakan pula betapa setelah berada di dalam kendaraan, tiba-tiba pemuda itu muntah-muntah dan menyemburkan tiga cawan arak yang tadi diminumnya ke arah mukanya, lalu menotoknya dengan cepat.

Mendengar penuturan ini, Siu Eng berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak! Ia telah mendapat malu yang besar sekali dari Shan-tung Koai-hiap! Sementara itu, pangeran Lu Goan Ong menjadi bingung.

“Bagaimana baiknya sekarang? Tamu-tamu telah berkumpul penuh di ruang depan!”

Akhirnya ia lalu melangkah keluar dengan wajah kusut. Ia menjura kepada semua tamu dan berkata dengan suara gemetar. “Cuwi sekalian yang mulia! Oleh karena terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan pernikahan dilangsungkan, maka untuk sementara waktu pernikahan ini ditunda! Akan tetapi, kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya dan harap maafkan!”

Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang tamu yang segera berkata dengan suara nyaring dan keras, “Cuwi sekalian yang terhormat dan tuan rumah yang mulia.”

Semua orang memandang kepada pembicara itu. Ia ternyata adalah seorang yang bertubuh tegap, masih muda, akan tetapi mukanya penuh cambang bauk, sehingga nampaknya lucu sekali.

“Perkenankan siauwte berbicara sedikit!” sambung orang itu. “Persoalan ini tak perlu dibicarakan lagi dan kita harus sesalkan bahwa seorang bangsawan yang berbudi demikian mulia seperti pangeran Lu Goan Ong mengalami malapetaka seperti ini. Cuwi sekalian tentu belum mendengar akan kemuliaan budi pangeran Lu, maka sebagai hiburan adanya peristiwa ini baiklah siauwte menceritakan kepada cuwi sekalian.

"Baru kemaren ini Lu-taijin telah memberi anugerah besar kepada dua orang pemuda bernama Khu Sin dan Thio Swie yang menjadi pembantunya. Lu-taijin telah mengangkat mereka itu sebagai wedana-wedana dari kota-kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung! Selain itu, Lu-taijin juga memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail perak kepada orang-orang miskin di kampung Kui-ma-chung, tempat kelahiran kedua orang muda itu sebagai pembalasan jasa! Bukankah ini hebat sekali? Siauwte rasa bahwa kemurahan hati ini patut dijadikan contoh!”

Tepuk tangan para tamu menyambut ucapan ini dan semua orang memuji-muji kemuliaan budi pangeran Lu Goan Ong. Akan tetapi pangeran Lu Goan Ong sendiri memandang kepada pembicara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ia mengenal suara itu dan mengenal pula mata itu, akan tetapi yang meragukan hatinya ialah cambang bauk yang memenuhi muka pemuda itu.

Tak mungkin dalam waktu semalam saja muka Shan-tung Koai-hiap telah ditumbuhi jenggot dan kumis seperti itu. Dan yang membuat ia berdebar adalah ketika melihat betapa kumis dan jenggot itu mirip dengan kumis dan jenggot yang biasa lekat pada muka pangeran Ong Tai Kun!

Pada saat ia berdiri dengan bingung dan ragu-ragu, tiba-tiba nampak Siu Eng berlari dengan pedang di tangan dan langsung menerjang pembicara tadi sambil berseru, “Bangsat jahanam! Kalau tidak kau, tentu aku yang mati pada saat ini!”

Pemuda yang bercambang bauk itu tertawa sinis dan tubuhnya lalu melompat keluar dari ruang itu dan terus melarikan diri! Siu Eng dengan pedang di tangan dan mulut memaki-maki, terus mengejar dengan cepatnya! Semua tamu gempar. Mereka makin menjadi heran dan bingung.

“Mengapa mempelai perempuan mengamuk?” tanya seorang.

“Siapakah pemuda itu?” tanya yang lain.

Pangeran Lu Goan Ong mengangkat kedua tangannya ke atas, memegang kepalanya karena merasa betapa kepalanya seakan-akan hendak meletus. “Tidak tahu.... tidak tahu...!” Ia berseru setengah memekik. “Harap cuwi sekalian pulang saja..., harap tinggalkan aku seorang diri...!” Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya.

Semua tamu bubar dan peristiwa itu masih merupakan teka-teki yang hanya mereka jawab dengan dugaan-dugaaan ngawur.

* * *

Pemuda yang bercambang bauk itu memang bukan lain adalah Tiong San sendiri! Pemuda ini setelah melompat keluar dari kereta penganten sambil membawa jenggot dan kumis pangeran Ong Tai Kun, lalu cepat-cepat berlari ke rumah obat kepunyaan bibi Thio Swie yang telah dikenalnya, minta obat perekat dan menempelkan cambang dan kumis itu pada mukanya sendiri. Kemudian ia berlari lagi menuju ke gedung pangeran Lu Goan Ong, menggunakan keadaan yang sedang kacau balau ini untuk masuk ke situ dan duduk di ruang tamu!

Kini Siu Eng mengejarnya dengan pedang di tangan, maka ia lalu melompat ke atas genteng dan sengaja menanti gadis itu yang juga terus mengejarnya ke atas genteng. Setelah berhadapan, Tiong San lalu mencabut dan melemparkan kumis dan jenggot palsunya sehingga nampak wajahnya yang tampan dan matanya yang berseri-seri itu memandang gembira. Terhadap mata Siu Eng yang amat tajam itu ia tidak perlu menyamar lagi.

“Shan-tung Koai-hiap, kau sungguh kejam sekali! Mengapa kau mempermainkan aku sedemikian rupa? Aku suka kepadamu, akan tetapi, kau... kau laki-laki berhati kejam! Kalau saat ini aku tidak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Gui Siu Eng lagi!”

Tiong San tersenyum mendengar ucapan ini dan tiba-tiba sikapnya berubah sungguh-sungguh. “Siu Eng! Orang-orang pandai berkata bahwa siapa menanam pohonnya, ia akan memetik buahnya! Kau menganggap aku kejam dan mempermainkan kau? Tidak ingatkah kau kepada Thio Swie yang kau tahu amat mencintaimu, akan tetapi secara kejam telah kau permainkan sehingga hampir gila?

"Tidak ingatkah kau kepada Khu Sin yang dengan jujur dan hati bersih telah memberi peringatan, akan tetapi hendak kau bunuh? Kau adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, keluarga bangsawan pula, maka robahlah sifat-sifatmu yang buruk dan rendah itu. Kalau tidak, kau tentu akan menemui bencana yang lebih hebat dari sekarang! Aku sengaja membuat kau malu agar kau merasa betapa sakitnya hati orang yang kau permainkan cintanya!”

Dengan air mata bercucuran, Siu Eng membentak, “Bangsat rendah, kalau kau tidak mau kembali dan melangsungkan upacara pernikahan dengan aku sekarang juga, aku takkan berhenti berusaha untuk membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya. Serangannya hebat dan cepat, terdorong oleh rasa sakit hati yang tak dapat diutarakan.

Tiong San mengelak dan berkata pula, “Perempuan tak tahu diri! Apakah sukarnya mengalahkan kau? Akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu lebih lama lagi!” Setelah berkata demikian, Tiong San lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan gadis itu.

“Bangsat rendah yang berhati kejam! Ke mana kau hendak lari?” teriak Siu Eng dengan hati gemas sekali, sehingga ia mengejar sambil menangis.

Karena ternyata bahwa gadis itu memiliki ilmu lari yang cukup cepat, Tiong San menjadi jengkel juga. Kalau gadis itu selalu mengejarnya, ia merasa gerakan selanjutnya sangat terganggu. Maka tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan mencabut cambuknya yang panjang.

Setelah Siu Eng datang mendekat, ia segera mengayun cambuknya ke arah muka gadis itu. Siu Eng cepat mengelak, akan tetapi tak disangkanya bahwa serangan itu hanya gertak saja karena tiba-tiba ujung cambuk meluncur ke arah pergelangan tangannya dan menotok tangan yang memegang pedang!

Siu Eng yang sedang diamuk oleh nafsu marah dan kecewa, maka ia kurang waspada dan kurang hati-hati sehingga ia terlambat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Dengan teriakan keras, pedangnya terlempar ke bawah genteng! Tiong San tertawa mengejek dan terus melompat jauh.

“Shan-tung Koai-hiap!” ia mendengar gadis itu berseru dan menjerit. “Aku bersumpah untuk membalas sakit hati ini!!”

Akan tetapi Tiong San telah berlari jauh dan tidak memperdulikan gadis itu lagi. Begitu gadis itu telah lenyap dari pandangan matanya, ia sudah tidak ingat lagi kepadanya. Pengalamannya dengan Siu Eng yang hampir menghancurkan kehidupan kedua sahabat karibnya, mendatangkan kesan yang mendalam di hatinya, membuat ia memandang rendah kaum wanita, karena ia merasa kecewa sekali melihat betapa seorang gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi seperti Siu Eng berwatak sedemikian jahat dan kejamnya.

Ia teringat kepada suhunya dan kini ia menuju ke istana kaisar untuk mencari dapur istana dan ia lalu menyusul suhunya yang diduga tentu sedang berpesta pora di tempat itu. Istana kaisar amat luas dan besar, sehingga bukanlah pekerjaan mudah bagi Tiong San untuk bisa mendapatkan dapur dari istana itu. Terpaksa ia menyergap seorang pelayan dan memaksanya untuk mengantarkan ke tempat yang dicarinya itu.

Kemudian ia mengikat kaki tangan pelayan itu dengan ikat pinggang pelayan itu sendiri setelah tiba di dekat dapur yang dicarinya. Ia menjadi terkejut ketika melihat betapa bangunan dapur yang besar itu telah terkurung oleh perwira yang memegang senjata di tangan. Ia dapat menduga bahwa di dalam dapur itu tentu terdapat suhunya yang telah diketahui oleh perwira yang kini mengurung tempat itu.

Di antara para perwira itu terdapat seorang wanita tua yang masih kelihatan bekas-bekas kecantikannya, tapi sayang sekali bahwa pada muka wanita tua yang cantik itu terdapat bekas luka memanjang dari atas mata kanan sampai ke bawah telinga kiri, membuat mukanya kelihatan amat mengerikan. Dari tempat persembunyiannya, Tiong San melihat betapa wanita itu mendekati pintu dapur yang tertutup dan berseru dengan suaranya yang nyaring,

“Kui Hong Sian! Kau sudah terluka hebat, apakah kau masih tidak mau menyerah?”

Untuk beberapa lama mereka itu menanti, akan tetapi tidak terdengar jawaban dari dalam dapur yang pintunya tertutup dari dalam itu.

“Thian-te Lo-mo!” teriak seorang perwira yang dikenal Tiong San. Perwira ini adalah Im-yang Po-san Bu Kam. “Apakah kau berkeras tak hendak mengeluarkan perempuan she Gan itu?”

Kembali mereka menanti, akan tetapi tetap saja tidak terdengar jawaban dari dalam. Tiong San mendengarkan dan mengintai dengan hati berdebar.

“Kui Hong Sian, aku ingin melihat mukamu yang jahat itu sekali lagi sebelum kau mampus!” teriak wanita bercacad tadi.

Kini terdengarlah jawaban dari dalam dapur dan dengan terkejut sekali Tiong San mendengar betapa suara suhunya terdengar amat lemah, tetapi masih mengandung suara ejekan dan acuh tak acuh seperti biasa. “Si Cui Sian! Apakah kau tidak rela melihat aku menikmati hidangan-hidangan ini pada saat terakhir? Apakah sakit hatimu demikian besar? Jangan ganggu aku, aku telah menebus dosaku dan kau telah berhasil membalas sakit hatimu!”

Mendengar ucapan suhunya ini, bukan main gelisahnya hati Tiong San. Dari suara suhunya ia dapat menduga bahwa suhunya tentu sedang berada dalam keadaan yang amat menyedihkan. Mengapa suhunya bicara begitu lemah dan apa artinya saat terakhir yang dikatakan tadi? Pemuda ini tak dapat menahan sabar lagi. Ia pergunakan kesempatan selagi para pengepung itu mencurahkan perhatian mereka kepada pintu dapur, untuk melopmpat secepatnya ke atas genteng dapur itu!

“Shan-tung Koai-hiap!” teriak para perwira yang melihatnya. “Tangkap dia....!”

Akan tetapi pada saat itu, genteng di dekat tempat Tiong San berdiri, tiba-tiba pecah dan terbuka dari bawah dan pemuda itu segera melompat turun ke dalam dapur melalui lubang di genteng itu. Untung ia bergerak cepat, karena pada saat itu, belasan batang senjata rahasia yang dilepas dengan cepat sekali oleh para perwira perkasa itu, telah menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu mengenai genteng yang pecah berhamburan, akan tetapi pada saat itu Tiong San telah tiba di dalam dapur dengan selamat!

Dan apa yang dilihatnya membuat ia harus menahan tekanan perasaannya. Suhunya nampak berbaring di atas lantai dengan muka pucat sekali, tetapi masih saja kakek ini tertawa-tawa ketika melihat muridnya. Tadi kakek ini sambil rebah menggunakan beberapa buah mangkok untuk menggempur genteng dan memberi jalan masuk kepada muridnya.

Yang mengherankan hati Tiong San adalah seorang gadis yang berlutut di dekat suhunya dan gadis ini sedang menggunakan air hangat untuk mencuci bersih luka di dada suhunya dan membungkusnya dengan kain bersih. Gadis ini hanya mengerling sebentar ke arah Tiong San, lalu melanjutkan pekerjaannya dan setelah selesai, ia lalu berdiri dan pergi ke tungku untuk menghangatkan hidangan-hidangan yang dipilih oleh Thian-te Lo-mo!

“Ha ha ha! Tiong San, anak gendeng, mengapa kau baru datang? Kau selalu terlambat dan kedatanganmu kebetulan sekali karena aku sedang bingung memikirkan bagaimana aku harus menyelamatkan gadis ini!” Ia menuding ke arah gadis itu.

Tiong San berlutut di dekat suhunya dengan muka khawatir sekali. “Suhu, kau mengapa? Apakah kau terluka hebat?” tanyanya tanpa memperdulikan gadis itu yang disebut-sebut oleh suhunya.

“Bukan, bukan terluka. Ini hanya pembayaran hutangku kepada Cui Sian,” kata kakek itu sambil tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya gembira sekali. “Hatiku puas aku tak berhutang lagi, ha ha ha!”

“Suhu, apa artinya ini? Ayoh kita menyerbu keluar dan menghajar sekalian perwira jahanam itu. Kita akan membagi-bagi hadiah kepada mereka dengan cambuk kita!” Tiong San membuat suaranya terdengar gembira, tetapi suhunya menggelengkan kepala.

“Kalau kita hanya berdua saja, hal itu dapat dilakukan. Akan tetapi sekarang yang terpenting harus menolong gadis itu keluar dari sini dengan selamat.”

“Akan tetapi, suhu. Kau terluka hebat ....” Tiong San memeriksa dada suhunya yang ternyata menderita luka hebat sekali. “Kau harus dapat keluar dari sini dengan selamat, mengapa menyusahkan diri mencampuri urusan orang lain!” Ia mengerling ke arah gadis itu dengan hati tak senang.

“Anak bodoh, kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja... ha ha, kau belum bertemu dengan orang seperti Cui Sian...! Kau belum tahu tentang arti cinta kasih kesucian wanita! Ketahuilah, muridku. Jangan kau perdulikan gurumu. Aku pernah berdosa kepada Cui Sian, dan sekarang ia datang membalas dendam, bukankah itu sudah adil? Aku.... aku.... ahhh....” kakek itu menjadi lemas dan tubuhnya terguling lagi dalam keadaan pingsan!

Tiong San cepat memeluk suhunya. “Suhu... suhu...!” Ternyata bahwa Thian-te Lo-mo telah menggunakan terlalu banyak tenaga ketika bercakap-cakap tadi, sehingga ia jatuh pingsan. Luka di dadanya adalah akibat tusukan pedang yang dalam sekali dan kalau orang lain yang terkena luka tusukan itu, pasti akan tewas saat itu juga!

Gadis itu berlari menghampiri dan dengan air, ia menggunakan saputangannya untuk membasahi muka kakek itu dan memberinya minum. Semua ini dilakukannya dengan diam-diam tak mengeluarkan kata-kata, tetapi jari-jari tangannya cekatan sekali. Karena melakukan pekerjaan ini, maka ia berlutut di dekat Tiong San dan pemuda ini mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu.

Thian-te Lo-mo siuman kembali dan ketika melihat dua orang muda itu berlutut di dekatnya, ia memandang kepada mereka berganti-ganti lalu tertawa berkakakan. “Tiong San, aku mempunyai pesan terakhir bagimu...”

“Apakah itu, suhu? Teecu akan melakukannya segera....” jawab Tiong San dengan hati duka.

“Hanya ini..., kau selamatkan gadis ini keluar dari dalam tempat ini, jangan.... jangan sampai ia diganggu oleh para orang gila di luar itu....”

“Tapi, suhu.....” Tiong San hendak membantah, tetapi suhunya mengangkat tangannya mencegah.

“Lo-inkong,” kata gadis itu tiba-tiba dan Tiong San mendengar betapa merdu suara gadis itu. “Mengapa kau menyusahkan keadaanmu? Muridmu memang benar, lebih baik kau dan muridmu lekas-lekas pergi dari tempat ini mempergunakan kepandaianmu. Adapun aku, ah, aku tidak takut, lo-inkong. Tadipun kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, aku sudah terlepas dari kesengsaraan hidup dan sudah aman berada di tempat bersih.”

Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya. “Tidak boleh! Kau tidak boleh mati! Eh, anak perempuan gendeng, benar-benarkah kau tidak takut mati?”

“Mati hanya berpindah tempat, dan kalau tempatku di dunia demikian sengsara, bukankah senang berpindah ke tempat yang lebih bersih? Orang tua, kau sendiri menghadapi kematian dengan tertawa-tawa, mengapa pula aku harus takut mati?”

“Ha, kau lain! Kau masih muda belia, sedangkan aku sudah tua bangka. Ah, kalau saja Cui Sian seperti kau.... aku takkan menjadi begini.... He, Tiong San, sekarang aku bukan memesan lagi, akan tetapi memerintah! Dengarkah kau? Kau tidak boleh membantah! Kau harus selamatkan gadis ini keluar dari sini, keluar dari istana, dan keluar dari kota! Dengarkah kau??”

Tiong San menundukkan mukanya dengan sedih. “Baik, suhu. Akan tetapi, aku tidak hanya menyelamatkan... nona ini saja, juga suhu harus kuselamatkan dan kubawa keluar dari sini.”

“Anak gendeng! Apa dalam saat terakhir ini kau hendak mengganggu aku pula? Di sini mati di luarpun mati, aku lebih senang mati di sini, menikmati hidangan-hidangan ini sebelum tiba saatku, dan alangkah senangnya mati dikelilingi hidangan-hidangan kaisar. Ha ha ha!”

“Tetapi, suhu....”

“Diam! Aku tidak sudi mampus di pinggir jalan seperti pengemis kelaparan!”

Pada saat itu, dari luar pintu terdengar lagi teriakan wanita yang cacad mukanya, “Kui Hong Sian! Kalau kau tidak mau keluar menyerahkan diri bersama muridmu dan gadis itu, kami akan menyerbu ke dalam...!”

Jilid selanjutnya,