Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 14

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 14
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 14, karya Kho Ping Hoo - Tiong San mencabut cambuknya. “Suhu, perkenankan teecu menerjang keluar dan menghajar mereka!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Bodoh! Lekas kau gendong gadis ini dan bawa lari menerjang pintu belakang! Kau akan tiba di taman istana dan di situ hanya ada penjaga-penjaga yang lemah. Kau terus berlari dan keluar dari istana, dan bawalah gadis ini keluar dari kota raja sampai selamat! Jangan banyak membantah. Aku hendak ajak Cui Sian makan minum di sini sebelum aku mati, ha ha ha!”

“Suhu....!” Tiong San berlutut di depan suhunya yang telah berdiri itu dan ia tak dapat menahan air matanya mengucur keluar.

“Anak gendeng!” suhunya memaki, tetapi kakek itu memeluk muridnya dan untuk sesaat ia mendekap kepala muridnya itu pada dadanya dengan penuh kasih sayang. Lalu ia melepaskannya lagi dan suaranya terdengar amat berpengaruh,

“Tiong San, lekas kau pergi! Kau... jangan salah pilih seperti aku... selamat... pergilah, muridku!”

Pada saat itu, pintu digedor dari luar dan suara para perwira terdengar mengancam. “Thian-te Lo-mo, kau tidak lekas menyerahkan diri!”

“Tiong San, cepat sebelum terlambat!” kata kakek itu kepada muridnya.

Tiong San tidak berani membantah lagi, dengan air mata yang masih menitik, ia lalu menyambar tubuh gadis itu, tanpa melihatnya lagi, dengan agak kasar karena ia merasa gemas kepada gadis itu yang menjadi penghalang baginya untuk menolong suhunya.

Kemudian setelah memandang sekali lagi kepada Thian-te Lo-mo yang berdiri dengan kaki terbentang lebar dan cambuk di tangan, berdiri dengan amat gagahnya dan mulut tersenyum, Tiong San lalu berlari melalui pintu belakang.

Sementara itu, Thian-te Lo-mo menanti sampai bayangan muridnya tak nampak lagi, baru ia berseru keras ke arah pintu, “Cui Sian! Masuklah dan mari kita berpesta pora di dalam dapur kaisar ini!”

Pintu ditendang dari luar dan para perwira menyerbu masuk, dipimpin oleh Si Cui Sian, wanita cacad itu. Mereka melihat betapa kakek itu menghadapi meja dan sedang makan hidangan yang tadi dihangatkan oleh gadis itu. Thian-te Lo-mo makan tanpa memperdulikan mereka dan ketika Cui Sian maju, ia mengangsurkan mangkok dan berkata,

“Kekasihku, kau juga mau makan?”

Si Cui Sian marah sekali, demikian pula para perwira itu dan ia lalu menyergap kakek itu dengan senjata mereka.

“Ha ha ha! Majulah, majulah! Siapa mau ikut berpesta, majulah!”

Dengan memutar-mutar cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap menjumput hidangan untuk dimakan, Thian-te Lo-mo menyambut serbuan mereka itu. Tubuhnya memang sudah lemas karena lukanya dan ia tidak ada nafsu untuk bertempur, maka menghadapi keroyokan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi dan juga wanita bercacad yang lihai sekali ilmu pedangnya itu, tentu saja ia tidak dapat bertahan. Sebentar saja tubuhnya telah menjadi sasaran senjata lawan dan terluka di sana-sini.

Akan tetapi, Thian-te Lo-mo masih saja tertawa gelak-gelak seakan-akan luka-luka itu mendatangkan rasa nikmat kepadanya. “Ha ha ha! Mari, mari! Inilah daging dan tulangku, boleh kalian suguhkan kepada kaisar! Ha ha, daging dan tulang-tulangku untuk hidangan kaisar, ha ha ha!” ketawanya makin mengerikan, tetapi makin perlahan.

Semua pengeroyoknya merasa ngeri melihat kakek yang tubuhnya sudah menerima tusukan dan bacokan-bacokan itu masih saja berdiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menjadi gentar sendiri dan melangkah mundur.

Tetapi, biarpun semangat dan jiwanya tak terluka, ternyata jasmani Thian-te Lo-mo tak dapat menahan keluarnya darah sekian banyaknya. Ia roboh dengan mulut masih tertawa dan menghembuskan nafas dengan bibir masih tersenyum. Kakek ini biarpun mati dalam keadaan rusak tubuhnya, tetapi benar-benar ia mati dengan hati lapang dan gembira!

* * *

Ketika menggendong gadis itu dan melarikan diri melalui pintu belakang dapur istana, Tiong San diserbu oleh belasan orang penjaga. Akan tetapi sambil mempermainkan cambuknya, pemuda itu berhasil melewati mereka dan terus melompat naik ke atas genteng.

Tiba-tiba ia mendengar suara suhunya sehingga tak terasa pula kakinya berhenti. Hatinya seperti disayat-sayat pisau ketika mendengar semua ucapan suhunya itu, lebih-lebih mendengar suara ketawa suhunya yang makin lama makin lemah. Ia tak kuat mendengarkan lagi dan melanjutkan larinya dengan air mata meleleh di pipinya.

Ia merasa betapa tubuh gadis yang digendongnya itu ringan dan mendatangkan kehangatan yang aneh dalam tubuhnya. Bau harum yang menyengat hidungnya membuat ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ingin ia melemparkan gadis itu ke bawah genteng, tetapi ia teringat akan pesan suhunya, dan pula ia tidak sudi melakukan hal yang rendah dan jahat itu.

Maka ia mempercepat larinya, sehingga gadis itu terpaksa harus memicingkan matanya karena ngeri dan takut, serta mempererat rangkulan tangannya pada leher Tiong San yang membuat pemuda itu makin tidak enak hatinya.

Berkat ketangkasannya, cegatan-cegatan para penjaga dapat dilaluinya dengan mudah dan tak lama kemudian Tiong San dapat membawa gadis itu sampai keluar kota. Ia berlari terus karena hendak menghindarkan diri dari para pengejarnya dan setelah tiba di sebuah hutan, ia menurunkan gadis itu dengan kasar ke atas tanah.

Gadis itu yang masih merasa gelisah dan khawatir serta penuh kengerian karena dibawa lari secepat itu, belum tahu bahwa pemuda itu menghendakinya turun, maka ia masih saja merangkulkan lengannya pada leher Tiong San dalam kekhawatirannya kalau-kalau jatuh terlempar.

“Turunlah!” bentak Tiong San dengan kasar dan gadis itu buru-buru melepaskan rangkulannya dan turun.

Ketika Tiong San membalikkan tubuh dan memandangnya, ia merasa betapa ia telah berlaku terlalu kasar. Ternyata bahwa gadis itu berpakaian sebagai pelayan di dalam istana. Pakaiannya rapi dan indah, sikapnya halus sekali dan wajah gadis itu menunjukkkan kehalusan budinya.

Tak dapat disebut terlalu cantik, lebih sesuai disebut manis. Apalagi sepasang matanya yang bening itu menyinarkan pandangan yang amat halus sehingga pandangan mata itu sekali gus banyak mengurangi kemarahan dalam hati Tiong San terhadapnya.

“Siapakah kau dan mengapa suhu sampai suka mengorbankan nyawanya untuk keselamatanmu?” tanya Tiong San sambil merengut.

Gadis itu merasa betapa dirinya dibenci dan mendapat perlakuan kasar, maka ia menundukkan kepalanya dengan hati sedih sekali, tetapi ia menahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengucurkan air mata. Ia menggigit bibirnya yang tipis, lalu menjawab,

“Bukan maksudku demikian. Adalah suhumu sendiri...., ia terlalu mulia.... ah, aku benar-benar menyesal bahwa diriku yang hina dina ini sampai menimbulkan malapetaka kepada kau dan gurumu....”

“Sudahlah jangan banyak menyinggung hal yang tak kusukai itu! Paling baik lekas kau ceritakan apa yang telah terjadi sebelum aku datang ke dapur itu!” Suara Tiong San masih tetap keras dan bengis.

Untuk sesaat gadis itu menatap wajah Tiong San, lalu berkata, “Aku bernama Siang Cu, she Gan...” ia mulai menutur, tetapi Tiong San segera memotongnya.

“Aku tidak perduli kau bernama siapa dan she apa!”

“Habis, dari mana aku harus bercerita?”

“Ceritakan siapa yang melukai suhu dan bagaimana terjadinya!”

“Suhumu dikeroyok oleh para perwira dan wanita cacad mukanya itu. Tadinya suhumu mengamuk dan semua perwira tidak ada yang berani mendekatinya, kemudian datang wanita itu dan anehnya, suhumu tidak melawan, sehingga wanita itu dapat menusuk dadanya dengan pedang dan...”

“Keparat!” Tiong San memaki marah. “Aku harus menolong suhu dan membunuh wanita jahanam itu!” Setelah berkata demikian, Tiong San melompat dan berlari cepat, kembali ke kota raja!

Ketika ia tiba di atas dapur istana, ternyata bahwa semua perwira telah pergi, meninggalkan jenazah Thian-te Lo-mo dalam tangan para pelayan yang ditugaskan mengurusnya. Bukan main marah dan sedihnya hati Tiong San.

Ia berseru keras dan melompat turun dengan cambuk di tangan. Cambuknya digerakkan dan semua pelayan itu lari pontang-panting, beberapa orang di antaranya terjungkal terkena ujung cambuk. Melihat bahwa di situ tidak ada perwira-perwira yang menjadi musuhnya, ia lalu menyambar tubuh suhunya yang sudah rusak itu dan membawanya lari melompat ke atas genteng kembali.

Ketika ia sampai di hutan itu, ternyata Siang Cu masih berada di situ, duduk dengan muka gelisah di bawah pohon. Ia segera berdiri ketika melihat Tiong San datang dan ketika melihat tubuh Thian-te Lo-mo yang rusak di dalam pondongan pemuda itu, Siang Cu menangis sedih.

“Mengapa pula kau menangis? Suhu menjadi begini karena kau!”

“Kalau kau merasa kesal bunuhlah aku sekalian! Aku lebih senang mati agar nyawaku dekat dengan nyawa lo-inkong ini, agar ada yang menjadi sahabatku...., di dunia ini tidak ada orang yang berhati mulia yang sanggup membelaku selain lo-inkong ini....” tangis Siang Cu.

Mendengar ucapan ini, Tiong San tertegun dan berkata, “Tahan air matamu dan jangan banyak cakap!”

Kemudian Tiong San menggali tanah di bawah pohon dengan sebatang kayu, karena ia tidak mempunyai senjata tajam. Tentu saja amat sukar menggali tanah hanya dengan sebatang kayu yang biarpun sudah dibikin runcing dan dipergunakan dengan tenaga besar, namun terlampau kecil untuk dapat menggali tanah.

Tanpa banyak cakap Siang Cu mencabut keluar sebuah pisau dari pinggangnya dan mulai membantunya. Biarpun senjata di tangan Siang Cu jauh lebih baik dari pada kayu di tangan Tiong San, tetapi karena gadis itu bertenaga lemah, maka tiap kali ujung pisaunya mengenai batu yang di bawah tanah, ia mengeluh kesakitan.

Melihat ini, Tiong San berkata, “Kesinikan pisau itu dan kau tak perlu membantu!”

Gadis itu memberikan pisaunya dan lalu duduk berlutut di dekat mayat Thian-te Lo-mo sambil mengusir lalat yang mulai datang merubungi tubuh itu. Biarpun sukar dan lama, akhirnya selesai juga penggalian lubang itu dan sambil menangis tersedu-sedu Tiong San lalu mengubur jenazah suhunya, dibantu oleh Siang Cu.

Mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya diam-diam bekerja menguruk jenazah itu dengan tanah. Sampai lama keduanya berlutut di depan kuburan itu, kemudian Tiong San berkata,

“Suhu mengorbankan nyawanya untuk kau, seorang perempuan! Yang melukai suhu juga seorang perempuan pula! Alangkah jahatnya orang-orang perempuan!” Ia memandang kepada Siang Cu dan bertanya, “Sekarang kau ceritakan, bagaimana asal mulanya maka kau sampai bertemu dengan suhu?”

Siang Cu memandang kepada Tiong San, tetapi bibirnya tidak menyatakan sesuatu, namun matanya seakan-akan menegur pemuda itu dan seakan-akan berkata, “Hm, kau akhirnya ingin tahu juga?”

“Seperti kukatakan tadi, aku bernama Siang Cu dan she Gan!” sampai di sini gadis itu berhenti bicara dan mengerling kepada Tiong San, seakan-akan menanti reaksi dari pemuda itu. Akan tetapi oleh karena pemuda itu mendengar penuturannya sambil menundukkan muka dan tidak berkata atau menyela barang sepatah katapun, ia melanjutkan ceritanya dan kisahnya seperti berikut.

Gan Siang Cu semenjak masih kecil telah dijual oleh orang tuanya yang miskin kepada seorang pembesar kota raja. Pembesar ini berhati baik dan mendidiknya dengan berbagai kepandaian, sehingga setelah dewasa. Siang Cu terkenal pandai ilmu kesusastraan dan juga pandai mengatur rumah tangga serta kerajinan tangan, pendeknya segala kepandaian wanita terpelajar telah dipelajarinya dengan baik.

Karena ia rajin, baik dan sopan santun serta berwatak bersih, ia menarik perhatian permaisuri kaisar ketika Siang Cu diperbantukan dalam sebuah pesta untuk melayani permaisuri itu. Permasisuri suka kepadanya karena biarpun Siang Cu berasal dari dusun, tetapi tingkah lakunya amat sopan dan menyenangkan.

Maka ia diminta oleh permaisuri bekerja di istana sebagai pelayan, dan akhirnya ia mendapat kekuasaan untuk memeriksa segala hidangan untuk kaisar dan permaisuri, berhak mengatur dan memilih hidangan sehari-hari.

Siang Cu tidak begitu cantik, akan tetapi ia mempunyai gaya tersendiri yang penuh daya tarik. Seratus persen wanita yang diidam-idamkan setiap laki-laki. Tubuhnya berpotongan indah, mukanya cukup manis karena selalu dihias oleh senyum sopan dan ramah, matanya memancarkan kebahagiaan hidup dan kehalusan budi.

Hal ini menarik hati seorang pangeran yang tinggal di istana itu, yakni putera kaisar yang lahir dari seorang selir. Beberapa kali pangeran ini menggodanya, akan tetapi dengan bijaksana dan tidak menyakiti hati, Siang Cu dapat menghindarkan diri dari bujukan-bujukan pangeran muda ini.

Akhirnya hal ini diketahui oleh ibu pangeran atau selir kaisar itu yang segera mempergunakan pengaruhnya untuk memaksa Siang Cu menjadi bini muda atau selir puteranya yang belum kawin!

Siang Cu tentu saja menolak keras, tetapi sebagai seorang pelayan yang betapapun tinggi kedudukannya ia masih terhitung seorang budak atau hambah sahaya, bagaimana ia dapat menolak dan kepada siapa ia harus minta perlindungan? Demikianlah, ia melarikan diri ke dalam dapur dengan ketakutan dan dikejar-kejar oleh para perwira yang dikerahkan oleh pangeran itu!

Kebetulan sekali, pada saat itu, Thian-te Lo-mo telah dua hari bersembunyi di dalam dapur. Tak seorangpun melihatnya karena kakek ini bersembunyi di balik tiang-tiang penglari yang besar! Dan pada waktu dapur itu ditinggalkan orang, barulah ia keluar dan menyapu semua hidangan yang serba lezat!

Ketika Thian-te Lo-mo melihat seorang gadis berlari masuk sambil menangis, ia menjadi heran sekali. Kemudian dilihatnya tiga orang perwira mengejar masuk, seorang di antaranya tertawa-tawa dan berkata,

“Nona, mengapa kau lari pergi? Bukankah senang menjadi selir seorang pangeran muda yang tampan? Ha ha ha!”

Perwira kedua juga tertawa dan menyindir. “Ah, kau seperti tidak tahu saja, twako. Seekor kuda betina yang liar harus dibikin jinak dulu dengan cambuk! Biarlah aku menangkapnya!” sambil berkata demikian, ia melangkah maju.

Tetapi tiba-tiba Siang Cu mencabut pisau yang disembunyikannya di balik ikat pinggangnya. Gadis itu mengangkat pisau dan berkata, “Dari pada mendapat hinaan dari pangeran, lebih baik aku mati!” dan sekuat tenaga Siang Cu lalu menusukkan pisau itu ke dadanya sendiri.

Akan tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menyambar dari atas dan tahu-tahu pisaunya telah lenyap terlepas dari tangannya. Gadis itu terkejut sekali. Demikian pula para perwira karena bayangan tadi yang sebenarnya ujung cambuk Thian-te Lo-mo, bekerja amat cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan tanpa kelihatan orangnya, dan sebelum tiga orang perwira itu tahu apa yang terjadi, kembali bayangan hitam berkelebat dan tiga orang perwira itu memekik kesakitan karena muka telah terluka dan menjadi matang biru kena cambuk Thian-te Lo-mo hingga membuat garis memanjang pada muka mereka.

Karena terluka dan diserang oleh sesuatu yang tidak kelihatan, ketiga orang perwira yang tak berapa tinggi ilmu kepandaiannya itu, segera angkat kaki melarikan diri sambil berseru-seru, “Ada setan...! Ada setan....!”

Terdengar lagi gelak tertawa dari dalam dapur. Siang Cu juga tidak melihat Thian-te Lo-mo, maka ia lalu berlutut dan memuji, “Po-kong (malaikat pelindung keselamatan) yang mulia, terima kasih atas pertolongan ini, semoga Po-kong selanjutnya melindungi hamba.....”

Akan tetapi, suara tertawa itu mengeras dan seorang kakek melompat turun sambil berkata, “Anak gendeng, kau benar-benar gila! Masa aku kau sebut malaikat? Ha ha ha! Jangan kau takut, anak baik, aku akan membela dan melindungimu, tak kalah dengan perlindungan Po-kong sendiri! Ha ha ha!”

Sementara itu berita tentang adanya “setan” di dapur istana, segera terdengar oleh semua orang. Juga perwira-perwira kelas satu setelah mendengar hal ini dan ketika melihat bekas luka di muka ketiga orang perwira penjaga itu, mereka menjadi pucat dan Im-yang Po-san Bu Kam berkata, “Thian-te Lo-mo! Ayoh kita serbu dia!”

Maka berlarianlah para perwira kelas satu, dipimpin oleh Bu kam, menyerbu dapur itu. Melihat pintu dapur tertutup, Bu Kam dan kawan-kawannya tidak berani berlaku lancang dan sembrono untuk memasuki tempat itu, hanya berdiri di depan pintu dengan senjata di tangan.

“Thian-te Lo-mo, keluarlah kau!” teriak Im-yang Po-san Bu Kam sambil menggerak-gerakkan sepasang kipasnya yang lihai.

“Bagaimana, lo-inkong (tuan penolong tua),” kata gadis itu dengan tubuh menggigil. “Mereka telah datang, mereka adalah perwira-perwira kerajaan yang terkenal gagah perkasa... lo-inkong, biarkan aku mati membunuh diri saja dan kau lebih baik lekas pergi sebelum mereka mencelakakan kau!”

“Ha ha, gadis gila, kau kira aku bisa melihat kau mati membunuh diri begitu saja? Tidak, selama aku masih bernafas, kau tak kubiarkan bunuh diri. Kau anak yang baik.....”

“Lo-inkong, jangan...., jangan kau hadapi mereka! Mati bagiku bukan apa-apa, lekaslah kau pergi dan kembalikan pisauku!” Siang Cu mendesak.

Tetapi tiba-tiba Thian-te Lo-mo membentak, “Jangan membantah! Kau tinggal saja di sini dan aku akan menghadapi mereka di luar dapur!” Setelah berkata demikian sambil tertawa terbahak-bahak ia menerjang keluar sambil mengayunkan cambuknya.

Pertempuran terjadi amat hebatnya dan Siang Cu yang ingin melihat keadaan penolongnya, lalu mengintai dari balik daun pintu. Bukan main kagumnya ketika melihat betapa cambuk panjang di tangan kakek itu mengamuk hebat seperti naga sakti menerjang mega. Para perwira terdesak mundur oleh amukan ini yang disertai suara ketawa menyeramkan.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita baju putih yang rupa mukanya mengerikan sekali karena cacad bekas bacokan pedang, telah berdiri di situ dengan pedang di tangan.

“Kui Hong San! Aku datang untuk membalas sakit hatiku!” seru wanita itu.

Dan ketika mendengar bentakan ini, tiba-tiba Thian-te Lo-mo menjadi pucat sekali. Cambuk ditangannya tergantung dengan lemah dan ia sama sekali tidak bergerak, hanya menatap wanita itu dengan tarikan muka seakan-akan merasa sakit sekali.

“Cui Sian... kau... kau....?” katanya dengan suara amat lemah dan gemetar.

Akan tetapi ucapannya ini disambut dengan sebuah tusukan pedang pada dadanya oleh wanita itu! Thian-te Lo-mo sama sekali tidak mengelak atau menangkis dan setelah Cui Sian mencabut kembali pedangnya yang telah berlumur darah, tubuh Thian-te Lo-mo terhuyung-huyung ke belakang.

Sesudah itu Cui Sian dan perwira-perwira itu berlalu. Akan tetapi anehnya ia masih tertawa gelak-gelak sambil menekan luka pada dada dengan tangan kiri dan tangan kanan masih memegang cambuknya.

“Ha ha ha! Cui Sian.... saat ini telah lama kunanti-nantikan! Kau sudah membalas dengan satu tusukan maut! Ha ha, kau sungguh baik hati dan pemurah! Bacokan pedang yang membuat kau bercacad selama hidupmu kau balas dengan tusukan pedang yang akan menamatkan nyawaku dalam beberapa detik lagi! Ha ha, kita sudah impas, hutangku kepadamu telah kubayar dengan darahku di ujung pedangmu! Ha ha ha!”

Sementara itu, ketika Siang Cu melihat betapa penolongnya telah kena tusuk dadanya sehingga terluka, menjerit, “Lo-inkong.....” dan dengan nekat gadis itu lalu berlari menghampiri, memegang lengan tangan Thian-te Lo-mo dan menariknya ke dalam pintu dapur kembali. Gadis itu lalu memasang palang pintu dapur yang kuat dan segera menolong dan merawat luka di dada Thian-te Lo-mo.

Kakek itu rebah di lantai dengan lemah, tetapi ia masih tersenyum. “Kau gadis baik.... kau anak baik... aku suka padamu... sudah, jangan ributkan luka kecil ini. Lebih baik kau panaskan masakan-masakan itu karena telah berhari-hari aku makan dalam keadaan dingin. Kurang sedap!”

“Nanti, lo-inkong, nanti kuhangatkan masakan itu, tetapi biarlah kurawat dulu lukamu ini...” kata Siang Cu sambil menahan air matanya karena ia merasa amat terharu. Telah lama ia rindu akan ayah bunda yang tak dikenalnya sama sekali dan kini kakek yang berani mempertaruhkan jiwa untuk melindunginya ini bagaikan seorang ayahnya sendiri. Ia merasa amat sayang kepada kakek ini dan juga kagum dan kasihan.

“Baiklah, baiklah.... kau boleh cuci dan balut, tapi takkan ada gunanya... ujung pedang Cui Sian telah melukai paru-paruku dan takkan dapat diobati lagi. Eh, anak gendeng, Cui Sian itu dulu kekasihku, dia baik dan mulia hatinya, cuma agak keras kepala. Nanti akan kuminta kepadanya supaya suka menolongmu keluar dari sini. Kalau kau sudah tertolong, pergilah ke rumah penginapan Thian-an-kwan. Rumah penginapan itu kepunyaan paman seorang pemuda bernama Khu Sin. Katakan bahwa kau adalah kawan baik dari Khu Sin, Thio Swie dan Tiong San. Tentu kau akan ditolongnya.....”

Sementara itu, para perwira, dan juga Cui Sian, kembali lagi di muka pintu kamar di mana Thian-te Lo-mo berada yang kini sudah di palang dari dalam, maka mereka tidak berani secara sembrono mendorong pintu memaksa masuk karena mereka maklum bahwa biarpun telah mendapat luka, kakek itu masih berbahaya sekali, maka mereka hanya berteriak-teriak dari luar menyuruh kakek itu keluar dan menyerahkan gadis pelayan itu kembali kepada mereka.

Dan pada saat Siang Cu merawat luka di dada Thian-te Lo-mo, datanglah Tiong San sebagaimana yang telah dituturkan di atas.

* * *

Tiong San mendengarkan semua penuturan Siang Cu itu dengan muka cemberut tanpa berani menentang pandangan mata gadis itu. Sebetulnya saja, ia hanya dapat memperlihatkan muka masam apabila ia tidak menatap wajah gadis itu, oleh karena tiap kali ia bertemu pandang.

Sinar mata gadis yang lemah lembut dan halus itu seakan-akan menembus matanya dan langsung menyerang ke dalam hatinya dan dapat mengintai di dalam dadanya bahwa sebenarnya ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk benci atau marah kepada gadis ini. Apabila ia menatap wajah gadis ini, ia tidak mungkin menaruh perasaan yang tidak enak terhadapnya.

“Semua gara-gara perempuan,” katanya seorang diri. “Kawan-kawanku Khu Sin dan Thio Swie hampir menjadi korban perempuan, dan suhuku tewas karena gara-gara perempuan pula. Perempuan hanya merusak kehidupan seorang gagah!” Sambil berkata demikian, Tiong San berdiri. Ia menjura ke kuburan suhunya dan berkata keras,

“Suhu, teecu sudah memenuhi pesanmu. Gadis ini telah teecu bawa keluar dari kota raja, sekarang teecu hendak mencari musuh suhu, perempuan jahat yang telah membunuh suhu untuk membalaskan dendam ini!”

Ia tidak melihat betapa Siang Cu memandangnya dengan amat khawatir dan gelisah. Mata gadis ini menyatakan permohonan agar ia jangan ditinggalkan seorang diri di dalam hutan itu, akan tetapi keangkuhan hati Siang Cu tidak mengijinkannya membuka mulut!

Setelah Tiong San berlutut di depan makam suhunya, pemuda itu lalu melompat dan berlari pergi, sama sekali tidak mau menengok kepada Siang Cu. Gadis itu memandang dengan bengong dan pucat, mengikuti bayangan pemuda itu dengan pandangan matanya, sama sekali tidak berdaya.

Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah ia menubruk gundukan tanah di mana jenazah Thian-te Lo-mo terkubur, menangis tersedu-sedu dan mengeluh dengan amat sedihnya. Air matanya yang semenjak tadi ditahan-tahannya, kini membanjir keluar dari kedua matanya.

Sementara itu, Tiong San berlari meninggalkan hutan itu dengan pikiran ruwet dan hati tidak keruan rasa. Ia ingin melupakan wajah Siang Cu, akan tetapi sinar mata yang halus itu seakan-akan terus mengikutinya. Di sekelilingnya sunyi senyap tak terdengar sesuatu, akan tetapi langkah kakinya seakan-akan mengeluarkan bisikan, “Kau kejam.... kau kejam... kejam... kejam...”

Suara ini mengikutinya tepat di belakang punggungnya, membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia tidak tahu bahwa itu adalah suara dari liangsimnya (hati nuraninya) sendiri. Akhirnya ia tidak tahan pula dan cepat membalikkan tubuh dan berlari ke dalam hutan.

Siang Cu menderita bukan main karena ditinggalkan seorang diri di dalam hutan. Apakah yang dapat diperbuatnya? Ke mana ia harus pergi? Akhirnya gadis ini setelah puas menangis, lalu teringat kepada pisaunya.

“Lo-inkong,” ia meratap di depan makam Thian-te Lo-mo. “Aku.... aku tak berdaya... aku takut....! Lo-inkong, tunggulah, aku ikut....!” Ia lalu memegang belati itu kuat-kuat dan menusuk dadanya sendiri!

Akan tetapi, seperti yang terjadi ketika ia hendak membunuh diri di dalam dapur istana, kembali berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu belatinya telah terlepas dari tangannya. Ketika ia memandang dengan kaget dan seram karena mengira bahwa kakek itu hidup kembali. Ia melihat Tiong San telah berdiri tak jauh darinya.

“Gadis gendeng... gadis gila....!” pemuda itu berkata perlahan yang mengingatkan Siang Cu kepada suara dan sikap Thian-te Lo-mo. Tiong San mengambil pisau itu dari ujung cambuknya dan memasukkan pisau itu ke dalam saku bajunya. “Gadis gila...” kembali ia berkata.

Siang Cu sama sekali tidak mau terlihat oleh Tiong San bahwa ia telah menangis, maka ia cepat pergunakan kedua tangan untuk menghapus sisa-sisa air mata dari kedua pipinya dan cepat bangun berdiri.

“Kau datang kembali mau apa? Mengapa kau mencampuri urusanku? Aku.... aku tidak minta pertolonganmu... aku.... aku....” akhirnya ia tak dapat menahan air matanya dan cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya agar jangan terlihat oleh pemuda itu bahwa ia betul-betul mmenangis...

Jilid selanjutnya,