Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 11

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar gila dari Shantung jilid 11
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung jilid 11 karya Kho Ping Hoo - KHU SIN dan Thio Swie bukanlah anak orang kaya. Orang tua Khu Sin hanyalah seorang kepala kampung yang jujur dan tidak korup, sedangkan Thio Swie bahkan hanya seorang putera seorang guru kampung yang miskin. Mereka berdua dapat melanjutkan pelajarannya di kota raja oleh karena kebetulan sekali mereka mempunyai keluarga di kota raja yang suka membantu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Khu Sin ditolong oleh pamannya yang memiliki sebuah rumah makan kecil di kota raja, sedangkan Thio Swie ikut pada bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat di kota raja pula. Berkat pembiayaan dan pertolongan keluarga inilah, maka mereka berhasil meneruskan pelajaran di kota raja. Tentu saja kedua orang pemuda ini dengan rajinnya pula membantu pekerjaan paman dan bibi mereka sebagai pembalasan jasa.

Ketika pada hari libur keduanya kembali ke dusun Kui-ma-chung, yakni dusun tempat kelahiran mereka dan berpesiar dengan Tiong San ke telaga Tai-hu sehingga mereka bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali. Setelah kembali ke kota raja, mereka tidak membuang waktu lagi dan segera mengadakan kunjungan kehormatan kepada pangeran itu.

Tidak mudah bagi mereka untuk dapat bertemu dengan pangeran itu, karena selain pangeran Lu jarang berada di rumah, juga apabila ia ada, sukar untuk dapat menjumpainya. Para penjaga yang diberitahu bahwa kedatangan mereka itu sekedar memberi penghormatan, bahwa ada tanda-tanda bahwa kedua orang pemuda itu datang untuk minta tolong, mempersulit pertemuan itu dan berbulan-bulan telah lewat tanpa kedua pemuda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong.

Pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, ketika Khu Sin dan Thio Swie pulang dari tempat belajar, mereka melihat seorang gadis cantik jelita menunggang kuda putih dengan gagahnya. Gadis yang menjalankan kudanya perlahan-lahan itu mengerling ke arah mereka dan tiba-tiba Thio Swie dan Khu Sin mengenali gadis ini sebagai gadis yang dulu berada di perahu pangeran Lu.

“Siocia!” Thio Swie berteriak girang dan segera menghampiri gadis di atas kudanya itu dan menjura dengan hormat sekali, ditiru pula oleh Khu Sin.

Gadis cantik yang ternyata adalah Gui Siu Eng, anak keponakan pangeran Lu Goan Ong itu, mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit. Ia nampak tidak senang sekali bahwa di tengah jalan ada dua orang pemuda tak dikenal yang berani menegurnya.

“Siapakah kalian? Aku tidak kenal kepadamu dan jangan kalian berani kurang ajar!” ia menegur dengan suara kurang senang.

Melihat kesombongan gadis ini, Thio Swie tidak menjadi marah, bahkan sambil tersenyum girang ia berkata, “Maafkan kami, siocia. Tentu saja siocia sudah lupa lagi, akan tetapi kami tak dapat melupakan siocia. Kita pernah bertemu di atas perahu Lu-taijin ketika perahu kami bertubrukan dengan perahu Lu-taijin di telaga Tai-hu!”

Nona itu mengingat-ingat dan bibirnya yang indah dan merah itu lalu membayangkan senyum yang membuat hati Thio Swie berdetak-detak tidak keruan!

“Ah, ji-wi Kongcu!” katanya perlahan, “Hampir aku lupa. Akan tetapi, dulu ada seorang lagi, yang berpakaian hijau...” Sebetulnya yang masih teringat oleh Siu Eng adalah pemuda baju hijau ialah Tiong San.

“Siocia maksudkan sahabat kami Tiong San? Ya, memang pada waktu itu kami bertiga, akan tetapi.... sahabat kami Tiong San itu tak dapat meneruskan pelajaran di kota raja.”

“Kasihan....” Nona itu berkata dan ia mulai menggerakkan kudanya hendak melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi Thio Swie mengikutinya dan berkata cepat-cepat. “Siocia, sukakah kau menolong kami?” Sebelum nona itu menjawab, ia melanjutkan, “Telah berbulan-bulan kami berdua hendak menghadap Lu-taijin menghaturkan terima kasih dan hormat kami, akan tetapi selalu tak berhasil. Para penjaga melarang kami menghadap!”

Siu Eng tersenyum manis. “Memang pamanku tak mudah dijumpai, akan tetapi kalau kalian mau datang pada besok pagi, tentu kalian akan diterima.” Sambil berkata demikian, gadis itu melarikan kudanya.

“Siocia! Aku adalah Thio Swie dan kawanku ini Khu Sin!” Thio Swie masih berteriak kepada nona itu yang menengok sebentar sambil tersenyum, lalu kudanya berlari cepat. Thio Swie berdiri bengong, seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh senyum di bibir nona manis itu!

Khu Sin sambil tertawa menepuk pundak kawannya sambil berkata, “Thio Swie, dia sudah pergi jauh!”

Thio Swie menarik napas panjang. “Alangkah manisnya..., alangkah merdu suaranya.... dan senyum itu... ah, Khu Sin, bukankah senyum itu ditujukan kepadaku semata?”

“Kau...., kau sudah gila!” Khu Sin berkata sambil tertawa geli. Sungguhpun ia merasa tertarik juga pada nona yang cantik jelita itu, akan tetapi kegirangan Khu Sin lebih banyak disebabkan karena mereka akan mendapat kesempatan karena ia dapat bertemu dengan dengan paman gadis itu.

Dalam perjalanan pulang, tiada hentinya Thio Swie membicarakan kecantikan gadis itu, dan tanpa malu-malu lagi ia mengaku kepada kawannya bahwa ia telah jatuh cinta! Khu Sin hanya tersenyum dan berkata, “Jangan mengimpi, kawan! Siu Eng adalah keponakan dari pangeran Lu, sedangkan kau ini siapa? Jangan menjadi anjing yang merindukan bulan!”

“Siapa tahu, Khu Sin? Siapa tahu kelak aku akan menduduki pangkat dan dapat mengulurkan tangan kepada bidadari itu....”

Melihat kesungguhan hati kawannya, diam-diam Khu Sin merasa kasihan dan ikut memuji semoga kerinduan hati kawannya itu takkan menemui kegagalan dan kekecewaan. Benar saja, ketika pada keesokan harinya mereka kembali datang ke gedung pangeran Lu Goan Ong dan disambut oleh para penjaga, sikap para penjaga itu berbeda dengan yang sudah-sudah.

“Ji-wi kongcu mengapa tadinya tidak menyatakan bahwa ji-wi adalah sahabat-sahabat baik dari Lu-taijin? Baiknya kemaren Gui-siocia memberi tahu kepada kami. Kalau tidak sukarlah bagi ji-wi untuk dapat bertemu dengan Lu-taijin. Harap maafkan kami!”

“Ah, tidak apa, tidak apa!” kata Khu Sin dengan girang. Apakah sekarang Lu-taijin ada di dalam rumah dan dapatkah kami menghadap?”

“Tentu saja dapat, harap ji-wi kongcu menanti sebentar.” Mereka dipersilahkan duduk menanti di kamar tamu dan tak lama kemudian seorang pelayan mengundang mereka untuk masuk kedalam karena pangeran Lu Goan Ong telah siap menerima mereka menghadap.

Pangeran Lu Goan Ong menerima mereka dengan acuh tak acuh, akan tetapi oleh karena pangeran ini telah mendapat pemberitahuan dari keponakannya, maka secara singkat ia lalu menanyakan maksud kedatangan mereka. Dengan amat hormat Khu Sin lalu mengajukan permohonan agar supaya mereka memperoleh kedudukan oleh karena mereka telah lulus dalam ujian.

“Tidak mudah, tidak mudah!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil menggoyang-goyang kedua kedua tangannya. “Untuk menjadi seorang pembesar, tidak saja kalian harus pandai, akan tetapi juga harus mempunyai banyak pengalaman.”

“Hambah bedua mohon diberi pekerjaan, apa saja pekerjaan itu asalkan dapat menambah pengalaman hamba,” kata Thio Swie.

Setelah berpikir sejenak, pangeran itu lalu berkata, “Biarlah kalian membantu pekerjaanku di sini. Khu Sin, kau kuberi tugas mengurus pembukuan untuk mencatat pembagian gaji para perwira, tentara dan pelayan! Dan kau, Thio Swie, kau harus mencatat semua keperluan rumah tanggaku agar dapat diketahui dengan baik segala pengeluaran uang!”

Biarpun pekerjaan itu bukan merupakan sesuatu pangkat, akan tetapi mereka menerima dengan amat gembira, karena setidaknya mereka akan memperoleh pengalaman dan karena mereka membantu seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, maka jalan untuk mencari kenaikan pangkat dan kemajuan akan lebih mudah bagi mereka.

Apalagi Thio Swie, ingin rasanya ia bersorak-sorak dan berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dengan mendapat pekerjaan di dalam gedung pangeran itu, berarti bahwa setiap hari ia akan dapat bertemu dengan Siu Eng gadis yang telah merebut hatinya!

Dan kebahagiaan Thio Swie mencapai puncaknya ketika mendapat kenyataan bahwa setelah bekerja beberapa bulan lamanya di dalam gedung pangeran Lu Goan Ong, gadis yang cantik jelita itu bersikap manis sekali kepadanya. Bahkan begitu mesra dan manisnya sehingga setelah ia bekerja hampir dua tahun, gadis ini telah berani masuk ke dalam kamarnya di waktu malam dan bersenda gurau dengannya.

Tentu saja Thio Swie merasa bahagia sekali dan menyangka bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya! Ia menganggap gadis itu sebagai seorang bidadari pembawa bahagia dan cintanya makin mendalam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa gadis yang disangkanya bidadari pembawa bahagia itu tidak lain adalah seorang iblis wanita pembawa sengsara!

Ia tidak pernah mengira bahwa Gui Siu Eng adalah seorang anak yatim piatu keponakan pangeran Lu Goan Ong yang amat dimanja dan kurang pendidikan budi pekerti sehingga memiliki watak yang amat buruk! Gadis itu keras kepala, tinggi hati dan mempunyai sifat cabul! Wajah cantik jelita itu hanya merupakan kedok indah yang menutup dan menyelimuti seluruh watak-wataknya yang kurang baik.

Semenjak kecil Gui Siu Eng mendapat pendidikan ilmu silat dari seorang guru silat yang tadinya menjadi perampok sehingga gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga watak yang kurang bersih. Kemudian gadis itu bahkan menjadi murid dari Kiu-hwa-san Toanio, seorang wanita cabul yang gagah perkasa dan yang bertapa di bukit Kiu-hwa-san setelah tua.

Dari gurunya ini ia mendapat warisan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga wataknya yang cabul itu adalah warisan dari Kiu-hwa-san Toanio. Setelah kembali dari Kiu-hwa-san, kepandaiannya amat tinggi dan ia makin disayang oleh pamannya oleh karena dengan kepandaiannya itu, ia seolah-olah menjadi pengawal pribadi pamannya sendiri.

Pangeran Lu Goan Ong benar-benar mencintai keponakannya ini karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka ia amat memanjakan Siu Eng. Beberapa kali ia hendak menjodohkan Siu Eng dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi gadis itu selalu menolak dan menyatakan bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan seorang pemuda tampan, pandai ilmu kesusasteraan dan pandai silat melebihi kepandaiannya sendiri!

Di manakah dapat mencari seorang pemuda seperti itu? Pemuda yang tampan dan tinggi pelajaran ilmu silatnya memang banyak terdapat di kota raja, akan tetapi yang berkepandaian silatnya melebihi kepandaian Siu Eng, sukar sekali terdapat! Ilmu silat gadis ini belum tentu lebih rendah dari ilmu kepandaian Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri!

Semua keburukan ini tidak terlihat oleh Thio Swie yang telah tergila-gila itu. Siu Eng hanya mempermainkannya saja, karena gadis ini memang suka sekali bergaul dan bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda cakap seperti Thio Swie. Selama perhubungan mereka itu, apabila Thio Swie mengemukakan tentang perjodohan, gadis itu hanya tersenyum dan menjawab dengan senyum manis dan kerling memikat,

“Kawin? Ah, koko yang baik, hal itu tak perlu dibicarakan sekarang!”

“Mengapa Eng-moi? Bukankah kita saling mencinta? Bukankah... bukankah kau juga cinta padaku seperti aku mencinta padamu?”

Dengan gaya manja dan menarik hati, Siu Eng lalu menyandarkan kepalanya dengan rambutnya yang harum itu pada dada pemuda itu dan berkata, “Tentu saja aku mencinta padamu!”

Ia meraba pipi Thio Swie yang halus. “Akan tetapi, kau harus ingat akan kedudukanmu. Gajimu belum cukup besar untuk dapat memelihara rumah tangga, mengapa bicara tentang kawin? Kelak kalau kau sudah memperoleh kedudukan tinggi, barulah kita bicara lagi tentang hal itu!”

Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari-lari keluar dari kamar Thio Swie dan tertawa berkikikan yang membuat Thio Swie makin tergila-gila!

“Memang dia benar!” pikirnya. “Siu Eng kekasihku itu selamanya berpikir tepat dan benar! Aku harus mencari kemajuan dan kedudukan tinggi lebih dulu, barulah aku dapat meminangnya dan kita hidup berbahagia!”

Lamunan-lamunan seperti ini membuat Thio Swie sering tak dapat tidur, dan hatinya penuh kebahagiaan dan cita-cita muluk. Memang patut dikasihani pemuda yang dimabuk cinta ini! Karena Siu Eng seorang bangsawan, keponakan seorang Pangeran dan hidup dalam keadaan mewah dan kaya raya, maka tidak ada sedikitpun kecurigaan dalam hatinya!

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Khu Sin. Pemuda ini merasa terkejut dan kuatir sekali ketika pada suatu malam Siu Eng memasuki kamarnya dan bersikap tak kenal malu sekali! Ia memang selalu menaruh curiga dan tidak senang terhadap sikap Siu Eng yang agaknya terlalu manis kepadanya, karena dia tahu betul bahwa gadis ini saling mencinta dengan kawannya.

Thio Swie seringkali menceritakan kepadanya betapa sikap gadis itu amat manis terhadap Thio Swie, bahkan mereka telah bermain cinta! Tadinya dia merasa girang untuk nasib baik sahabatnya ini. Akan tetapi, tidak disangka-sangkanya bahwa gadis itu berani pula masuk ke dalam kamarnya! Memang kedua pemuda itu mendapat kamar di bangunan sebelah kiri gedung besar Pangeran Lu Goan Ong.

Sikap Siu Eng yang memikat-mikat hatinya dan dengan cara tak sopan memperlihatkan sikap cabul terhadapnya, membuat Khu Sin menjadi marah dan sedih sekali. “Gui-siocia,” katanya dengan halus karena betapapun marahnya, dia tidak berani berlaku kasar terhadap keponakan Pangeran Lu yang dia tahu pandai ilmu Silat pula. “Harap kau jangan masuk ke dalam kamarku dan kalau kiranya ada keperluan, baiklah besok pagi aku menghadap padamu.”

Siu Eng memandang sambil tersenyum karena mengira bahwa pemuda ini tentu malu-malu. “Khu Sin,” katanya sambil mencibirkan bibirnya yang merah dan menggairahkan itu. “Kau ternyata seorang pemuda yang kurang terima! Kalau tidak ada aku Siu Eng yang menjadi perantara, apakah kau ada harapan untuk bekerja di sini?”

Khu Sin menjadi terkejut dan buru-buru ia menjura di hadapan gadis itu. “Maaf, Gui-siocia, memang aku merasa amat berterima kasih kepadamu. Kalau ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk membantumu, katakanlah. Aku Khu Sin bukanlah seorang yang tidak tahu terima kasih akan budi orang!”

Siu Eng tersenyum lagi dan tiba-tiba ia melangkah maju lalu duduk di dekat pemuda itu. “Kalau begitu, mengapa kau tidak berlaku manis kepadaku? Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?” tangannya memegang lengan Khu Sin dengan mesra sekali.

Makin terkejutlah pemuda itu melihat hal ini. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Siu Eng adalah kekasih kawannya, dan kalau saja ia sendiri belum menjatuhkan hatinya kepada seorang gadis pelayan di gedung itu, tentu ia akan jatuh dan tidak kuat menghadapi godaan gadis cantik jelita ini. Ia bangkit berdiri dan berkata,

“Maaf, siocia, harap kau suka ingat bahwa kalau ada orang lain melihat siocia berada di kamarku, akan mendatangkan omongan yang kurang enak. Pula, bagaimana kalau Thio Swie mendengarnya? Dia adalah kawan baikku dan... dan... bukankah dia dan siocia sudah saling mencinta?”

“Siapa mencinta dia?” tiba-tiba Siu Eng menjadi marah. “Aku suka kepada siapapun juga, tak boleh kau turut campur! Apakah.... kau tidak suka kepadaku, Khu Sin?”

“Aku berhutang budi kepada siocia dan aku menghormat siocia setulus hatiku!” jawab Khu Sin.

“Dan.... kau tidak suka kepadaku?” tanya gadis itu sambil memandang tajam. “Hal ini...” Khu Sin menundukkan muka dengan hati berdebar, “Aku.... aku tidak berani menyatakan tidak suka....”

“Hm, kau mengecewakan hatiku, Khu Sin. Kau kira untuk apakah aku menolongmu sehingga bisa diterima bekerja di sini? Ah, aku mulai menyesal dan kecewa telah menolongmu?” Sambil berkata demikian, Siu Eng lalu keluar dari kamar itu dan menutup pintu kamar Khu Sin keras-keras.

Untuk beberapa lama pemuda itu berdiri kebingungan dengan hati berdebar-debar. Apakah artinya ini? Sungguhpun ia tidak tahu akan riwayat dan keadaan gadis itu, akan tetapi ia mulai merasa khawatir dan tidak suka kepada gadis itu. Ia menganggap bahwa gadis itu telah berlaku tidak setia terhadap Thio Swie dan dari kata-kata gadis itu, ia dapat menduga bahwa gadis itu bukanlah seorang berhati mulia dan ia merasa amat kasihan dan menyesal kepada Thio Swie, sahabat karibnya.

Ia segera langsung menjumpai sahabatnya untuk memberi peringatan bahwa Siu Eng bukanlah gadis yang patut untuk dijadikan calon isteri. Bukan main marahnya Thio Swie mendengar ini dan dengan mengepal tinju dan mata memancarkan cahaya berapi-api, ia membentak sahabatnya itu.

“Khu Sin! Kalau kau bukan sahabatku sejak kecil, tentu akan kupukul mukamu! Mengapa kau tidak menahan lidahmu dan apakah yang meracuni bibirmu sehingga kau mengeluarkan ucapan-ucapan yang amat keji itu?” katanya marah. “Kalau kau tidak bisa menceritakan dasar-dasar dan alasan-alasanmu mengapa kau berkata sekeji itu, mulai sekarang lebih baik hubungan kita sebagai sahabat diputuskan saja!”

“Thio Swie,” kata Khu Sin dengan muka sedih, “Kita telah menjadi sahabat karib bertahun-tahun semenjak kita kecil. Ingatkah kau betapa kau, aku dan Tiong San pernah menyatakan bahwa kita bertiga akan tinggal setia selama hidup? Nah, karena itu, apakah kau masih meragukan kesetiaanku sebagai kawan baikmu? Aku memang mempunyai dasar alasan kuat mengapa aku berani menyatakan bahwa Siu Eng bukanlah seorang gadis yang patut kau idam-idamkan! Akan tetapi, perlukah aku harus menceritakan alasan yang hanya akan menyakitkan hatimu saja?”

Thio Swie menjadi pucat dan ia memegang lengan Khu Sin dengan tangan gemetar. “Sahabatku, ceritakanlah! Ceritakanlah demi persahabatan kita dan jangan membuat aku mati karena bimbang ragu!”

Dengan hati terharu karena diliputi rasa kasihan, terpaksa Khu Sin menceritakan semua pengalamannya malam tadi dan tentang sikap tidak sopan dan cabul dari Siu Eng.

Thio Swie mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka makin pucat. Ia lalau bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak ia telah menampar muka Khu Sin, hingga Khu Sin menjadi terhuyung-huyung!

“Keluar...! Pergilah kau dari hadapanku! Kau bohong...! Kau memfitnah.....! Kau mengeluarkan kata-kata beracun karena kau... hendak memisahkan aku dari kekasihku. Kau.... ha ha, kau iri hati, bangsat! Kau sendiri tergila-gila kepada Siu Eng dan karena kekasihku itu tidak menghiraukan bujukanmu, kau lalu mengeluarkan siasat ini! Ya... kau bangsat rendah, kau memfitnah! Ayo lekas keluar, kalau tidak..... demi Tuhan, akan kubunuh kau....!!”

Khu Sin dengan tenang dan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu sambil berkata perlahan, “Betapapun juga, Thio Swie, aku tidak membencimu karena ini. Aku bahkan makin kasihan kepadamu...”

“Tutup mulutmu yang berbisa, lekas keluar!”

Demikianlah, terjadi perpecahan di antara dua orang sahabat karib yang tadinya saling mencinta seperti dua orang saudara kandung itu. Semenjak saat itu, Thio Swie tak pernah mau bicara kepada Khu Sin dan apabila mereka bertemu muka, Thio Swie selalu membuang muka dan tidak mau memandangnya. Khu Sin tak dapat berbuat apa-apa melainkan menarik napas dengan hati amat berduka.

Khu Sin telah jatuh hati dan mencinta seorang gadis pelayan di dalam gedung itu, seorang gadis dari keluarga tani yang cukup manis dan lincah, bernama Man Kwei. Dengan diam-diam keduanya telah saling menyatakan cinta dan saling berjanji akan hidup sebagai suami isteri.

“Tunggulah sampai aku mendapat kedudukan yang pantas, aku akan meminangmu dan minta izin kepada Lu-taijin untuk mengawinimu!” kata Khu Sin dalam sebuah pertemuan yang mereka lakukan di dalam taman bunga istana Pangeran Lu Goan Ong.

“Kalau kau sudah mendapat kedudukan tinggi, tentu kau takkan ingat kepada Man Kwei gadis dusun yang bodoh dan buruk ini,” kata Man Kwei dengan sikap manja.

“Tak mungkin! Aku adalah seorang yang telah banyak mempelajari budi pekerti, tahu akan arti kesetiaan, kepercayaan dan pribudi,” jawab Khu Sin.

Di dalam hubungan yang amat sederhana dengan gadis yang sederhana pula itu, ia menemukan kebahagiaan yang besar. Akan tetapi, ia tidak mengira bahwa kebahagiaan hanya merupakan cahaya bulan yang mudah tertutup oleh mega-mega mendung yang hitam mengerikan. Dan kini yang merupakan awan penutup dan penghalang kebahagiaannya adalah Gui Siu Eng, gadis cantik jelita dan gagah perkasa itu!

Ternyata bahwa Siu Eng merasa penasaran sekali melihat betapa Khu Sin menolak cintanya, bahkan tidak memperdulikannya. Hal ini baru sekarang ia alami. Seorang pemuda menolak permainan cintanya! Makin ditolak, makin bernafsulah dia dan makin penasaran.

Demikianlah sifat Siu Eng yang amat rendah. Kalau dituruti kehendaknya, maka sebentar saja ia akan merasa bosan kepada pemuda kekasihnya. Akan tetapi kalau ditolak, ia akan berusaha selalu dan sekuatnya untuk dapat memiliki pemuda itu, atau untuk melampiaskan marahnya dan mencelakakan orang yang berani menampiknya!

Siu Eng telah merasa bosan kepada Thio Swie dan kini tak pernah pula ia datang menjumpai Thio Swie, bahkan bertemu, ia selalu menarik muka dan seperti orang marah-marah! Hal ini tentu saja menyusahkan hati Thio Swie yang kembali menyangka bahwa perubahan ini tentu gara-gara Khu Sin!

Sebaliknya, ketika mendengar dari para pelayan bahwa Khu Sin mempunyai seorang kekasih, yakni Man Kwei, kegusaran Siu Eng memuncak! Dengan pengaruhnya yang besar terhadap pamannya, Siu Eng lalu mengusir Man Kwei, bahkan dengan kejamnya ia lalu mencari jalan dan menjual gadis itu kepada rumah pelacur!

Memang, nasib para anak gadis di masa itu amat buruk dan sengsara, teristimewa anak-anak orang miskin. Anak-anak ini dapat diperjualbelikan, yakni seorang petani yang miskin dapat menjual anaknya kepada rumah seorang kaya atau berpangkat untuk menjadi pelayan dan selanjutnya kehidupan anak ini seluruhnya berada di dalam kekuasaan majikannya!

Biarpun Pangeran Lu Goan Ong tidak terlalu kejam untuk melakukan penjualan macam itu, akan tetapi karena ia berada di bawah pengaruh Siu Eng yang amat dimanjakannya, akhirnya Man Kwei terjual juga kepada rumah pelacuran! Dalam hal ini masih belum memuaskan hati Siu Eng yang kejam, karena Khu Sin masih juga belum mau memperlihatkan sikap manis kepadanya.

Bahkan ketika Khu Sin melihat betapa Siu Eng mengubah sikapnya kepada Thio Swie sehingga pemuda itu kini selalu mengeram diri di dalam kamar bagaikan seorang menderita penyakit gila, Khu Sin lalu menjumpai Siu Eng dan dengan suara memohon ia berkata,

“Siocia, kasihanilah kawanku Thio Swie itu! Dia telah tergila-gila kepadamu, dia telah mencintaimu sepenuh jiwa dan raganya, mengapa kini siocia berbalik membenci dan tidak mau pemperdulikannya? Siocia, kau berlakulah bijaksana dan jangan membikin ia sengsara serupa itu!”

Akan tetapi Siu Eng bahkan menjadi marah sekali. “Khu Sin, kau anggap aku ini siapa maka kau berani berkata demikian kepadaku? Apakah kau anggap aku ini seperti Man Kwei kekasihmu yang ternyata bukan lain hanya seorang pelacur?”

Tiba-tiba dendam di hati Khu Sin yang ditahan-tahannya itu berkobar ketika mendengar ini. “Siocia! Man Kwei adalah seorang sesuci-sucinya, seorang gadis yang betul-betul berbatin bersih! Ia telah menjadi korban keganasan orang, akan tetapi, betapapun juga, aku tetap mencintainya dan akan menjadikan dia sebagai isteriku yang tercinta!”

“Kau katakan! Keganasan siapakah yang kau maksud itu? Baru dua hari Man Kwei melarikan diri dari gedung ini sambil membawa barang perhiasan dan tahu-tahu ia kini berada di rumah pelacuran!”

Makin marahlah Khu Sin mendengar ini. Ia telah tahu akan segala yang menimpa diri Man Kwei, akan tetapi ia tinggal diam saja. Hanya dengan bantuan kawan-kawannya, ia dapat mengirim uang kepada kepala rumah pelacuran itu untuk menjaga Man Kwei baik-baik dan jangan mengganggunya. Ia telah mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan menggunakan uang simpanannya untuk membawa Man Kwei pulang ke desanya.

Akan tetapi, oleh karena tidak tega meninggalkan sahabatnya yang berada dalam keadaan sengsara itu, ia telah berlaku nekat dan menjumpai Siu Eng untuk mengajukan permohonan bagi sahabatnya yang dulu pernah menamparnya itu. Dapat dibayangkan betapa setia kawan dan mulia hati pemuda ini! Akan tetapi, sesabar-sabarnya seorang laki-laki, apabila orang yang dicintai dihina dan dimaki orang, ia takkan dapat bertahan, maka kini dengan marah ia berkata kepada Siu Eng,

“Gui-siocia! Jangan kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu yang kejam itu. Karena Man Kwei menjadi kekasihku dan calon isteriku, kau sengaja berlaku kejam dan mencoba untuk menjerumuskan dia ke jurang kehinaan. Akan tetapi dengarlah, wahai puteri bangsawan yang kurang pikir! Aku adalah seorang terpelajar yang tak sudi berbuat melanggar kesusilaan dan kesopanan, dan sekarang juga aku hendak menghadap kepada Lu-taijin untuk minta berhenti dari pekerjaan ini. Aku akan membawa calon isteriku pulang ke kampung dan hidup dengan aman dan damai di sana, jauh dari gedung ini, dan jauh dari kau!”

“Bangsat, tutup mulutmu!” tiba-tiba Siu Eng menampar dan Khu Sin roboh terguling. “Kau hendak pulang? Hendak mengawini Man Kwei? Hm, jangan harap, bangsat! Kau akan kubunuh dulu dan Man Kwei akan menjadi pelacur yang sebesar-besarnya, sehina-hinanya!”

Sambil berkata demikian, ia maju untuk mengirim tendangan maut kepada Khu Sin. Pemuda ini maklum akan kelihaian Siu Eng dan tamparan tadipun telah membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, maka kini ia hanya dapat memeramkan mata menanti datangnya tendangan maut itu!

Akan tetapi sebelum tendangan itu mengenai tubuh Khu Sin, tiba-tiba Siu Eng berseru heran karena mendadak saja tubuh Khu Sin itu lenyap dari depannya! Dan ketika ia memutar tubuh, ternyata di belakangnya telah berdiri seorang pemuda cakap sekali dengan pakaian warna hijau, sedangkan Khu Sin telah pula berdiri di sampingnya sambil memandang kepada pemuda baju hijau itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

“Tiong San....!” Khu Sin berseru, hampir tak percaya kepada matanya sendiri.

Akan tetapi Tiong San hanya tersenyum kepadanya, lalu melangkah maju dan berkata kepada Siu Eng, “Mau bunuh kawanku? Tidak boleh, tidak boleh! Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabat karibku...!”