Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 12

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 12
Sonny Ogawa
Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - Siu Eng dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah pemuda yang dulu dilihatnya di dalam perahu, karena sesungguhnya telah lama ia mengagumi ketampanan pemuda ini. Akan tetapi melihat dia sekarang tiba-tiba datang di tempat itu dan dapat menolong Khu Sin, ia tahu bahwa pemuda ini tentu memiliki ilmu kepandaian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan membentak, “Kau kira aku takut kepadamu?”

Tiong San tertawa sinis dan berkata, “Wanita kejam memegang pedang, sungguh berbahaya!” dan ia meloloskan cambuknya.

Dengan marah sekali Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya dan gerakannya benar-benar cepat bagaikan menyambarnya burung walet. Akan tetapi Tiong San segera mengayun cambuknya dan ujung cambuknya menyambar ke arah pergelangan tangan Siu Eng!

Gadis itu terkejut sekali melihat lawan menyambut serangannya dengan serangan yang mendahului, maka terpaksa ia mengelak, kemudian meloncat dengan gesitnya mendekati Tiong San untuk menyerang dari dekat. Pemuda itu kagum melihat kegesitan tubuh Siu Eng, maka lalu melayaninya dengan sungguh-sungguh. Ia sengaja memperpendek cambuknya sehingga mereka dapat bertarung dengan seru dan ramainya.

Biarpun Siu Eng diam-diam merasa terkejut dan kagum sekali melihat pemuda ini, yang paling terkejut dan terheran-heran adalah Khu Sin. Benarkah pemuda ini Tiong San? Tak salah lagi, ia dapat mengenal wajah kawannya ini di antara ribuan orang.

Akan tetapi kalau ia benar-benar Tiong San, mengapa ia dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya? Kini ia tidak dapat melihat bayangan kedua orang itu lagi, karena mereka telah bertempur dengan amat cepatnya sehingga bayangan mereka seakan-akan bergulung-gulung menjadi satu!

“Tiong San.... Tiong San... bukan main hebatnya...” demikian Khu Sin berkali-kali berbisik seorang diri.

Sementara itu, di dalam dada Siu Eng timbul perasaan yang amat aneh baginya dan yang selama hidupnya belum pernah ia rasakan. Telah lama ia sering teringat kepada pemuda ini yang dulu pernah bertemu dengan pamannya di dalam perahu. Ia dulu mengagumi ketampanan wajah pemuda itu dan sikapnya yang tenang dan sopan santun. Akan tetapi setelah kini ia bertempur dengan pemuda ini dan mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini sangat tinggi, diam-diam ia menjadi sangat tertarik.

“Ah, inilah pemuda yang tepat dan sesuai menjadi suamiku....” demikian pikirnya dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan dan mengukur tingkat ilmu silat Tiong San.

Akan tetapi, betapapun juga ia menyerang, ia tak dapat berhasil melukai pemuda itu karena kemana saja pedangnya berkelebat, cambuk lawannya tentu menghadang dan menangkis! Ilmu pedang yang dimainkan oleh Siu Eng adalah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat yang amat hebat dan belum pernah ia menemui tandingan seperti itu.

Juga Tiong San merasa kagum dan diam-diam memuji ilmu pedang gadis yang hampir saja membunuh sahabatnya itu, karena iapun tak dapat mendesak Siu Eng. Tiba-tiba Tiong San berseru keras dan tubuhnya melompat ke belakang, dua tombak jauhnya. Ketika tangannya bergerak, cambuknya menyambar dan menjadi panjang, terus menyerang dengan gerakan hebat bagaikan naga melayang-layang ke arah tubuh Siu Eng.

Gadis ini cepat menangkis, akan tetapi kini ia tidak berdaya membalas, karena cambuk yang melayang dari tempat jauh itu terus mengurung dan mendesaknya dengan hebat. Ia makin kagum saja, akan tetapi sebagai murid terkasih dari Kiu-hwa-san Toanio, ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia berseru keras dan tangan kirinya cepat bergerak melempar senjata rahasianya yang amat diandalkan, yakni kiu-hwa-ciam, semacam jarum-jarum halus yang terbuat dari perak.

Dengan mengeluarkan cahaya terang, jarum-jarum itu menyambar ke arah Tiong San yang segera mengelakkan dengan cepat! Berkali-kali Siu Eng menghujani Tiong San dengan jarum-jarumnya, akan tetapi selalu senjata-senjata rahasia itu dapat dielakkan oleh Tiong San. Bahkan Tiong San lalu menggunakan tangan kirinya menyaut jarum-jarum itu dari samping, lalu melontarkan kembali ke arah Siu Eng sambil tertawa mengejek.

“Jarum-jarum memang permainan wanita, tapi untuk menjahit, bukan untuk membunuh orang! Terimalah kembali jarum-jarummu untuk menjahit pakaian suamimu!”

Digoda seperti itu, Siu Eng merasa gemas sekali, akan tetapi rasa kagumnya terhadap Tiong San meningkat. Kini ia betul-betul terdesak dan serangan cambuk Tiong San dari jarak jauh itu mengurung dirinya membuat ia sibuk dan bingung sekali.

Akan tetapi diam-diam Siu Eng merasa girang sekali karena biarpun dirinya dikurung, ujung cambuk itu agaknya tidak mau melukainya, buktinya beberapa kali ujung cambuk itu telah meluncur dan akan dapat merobohkannya, tiba-tiba ditarik kembali! Ia mengira bahwa Tiong San merasa sayang dan tidak mau melukainya dan menganggap bahwa pemuda itu suka kepadanya! Padahal sebenarnya Tiong San memang tidak mau melukainya karena tidak ingin bermusuhan kepada siapapun juga.

Tiba-tiba cambuk itu berkelebat dan tahu-tahu telah membelit pedang di tangan Siu Eng. Kalau ia mau, gadis ini dapat mempertahankan pedangnya dan mengerahkan lweekang untuk bertahan agar pedangnya jangan sampai terampas. Akan tetapi dengan sengaja ia melepaskan pedangnya itu sambil melompat ke belakang dan berseru dengan suara nyaring dan merdu,

“Aku menyerah! Harap taihiap suka memberitahukan nama yang mulia!” Setelah berkata demikian, gadis itu menjura dan kemudian berdiri dengan sikap kemalu-maluan dan matanya mengerling serta bibirnya tersenyum manis!

Khu Sin memandang heran dan kagum, karena belum pernah ia melihat gadis itu semanis ini dan matanya mengeluarkan cahaya sehalus itu. Akan tetapi Tiong San hanya tertawa saja dan ketika ia menggerakkan tangan, cambuknya menyambar dan pedang itu telah dilepas dari libatan dan kini diayunkan kembali ke arah Siu Eng yang menyambarnya dengan senyum di bibir!

Pada saat itu, terdengar suara ketawa girang dan muncullah Pangeran Lu Goan Ong sendiri! Pangeran ini menjura kepada Tiong San dan berkata kepada Siu Eng, “jangan sebut taihiap, dia adalah Shan-tung Koay-hiap, pendekar aneh yang gagah perkasa! Shan-tung Koay-hiap, tepat sekali dugaanku bahwa kau adalah pemuda yang dulu berjumpa dengan aku di perahuku dan menjadi kawan dari Khu Sin dan Thio Swie! Tak terduga sama sekali bahwa kau ternyata adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa!”

Tiong San membalas penghormatan itu dan berkata, “Maaf, taijin, aku datang hanya hendak bertemu dengan dua orang sahabat karibku!”

“Boleh saja!” kata Lu Goan Ong sambil tersenyum. Khu Sin dan Thio Swie seringkali menyebut-nyebut namamu dan karena mereka berdua adalah pembantu-pembantuku yang baik dan rajin, kau juga menjadi tamuku pula! Shan-tung Koay-hiap, harap kau maklum bahwa aku orang she Lu tidak ikut campur dalam urusan dengan Ong-taijin tadi!”

Tiong San tersenyum. “Perkara itu sudah lewat, taijin.”

“Marilah masuk ke dalam dan aku harus menjamu tamuku yang gagah,” katanya dengan ramah tamah.

Akan tetapi Tiong San menggoyang tangannya dan berkata, “Terima kasih, taijin. Tak perlu repot-repot. Aku hanya ingin bicara dengan kedua sahabatku!”

Pangeran itu menarik napas panjang. “Tentu kau takkan dapat menikmati hidanganku yang jauh lebih buruk dari pada hidangan di rumah Pangeran Ong Tai Kun. Baiklah, kalau kau hanya hendak bercakap-cakap dengan kedua orang sahabatmu yang menjadi pembantu-pembantuku, aku akan menyuruh orang menyediakan kamar untukmu. Akan tetapi, aku mengharap agar supaya besok pagi kau suka bercakap-cakap dengan aku sebagai kawan-kawan baik!”

Pangeran itu lalu mengajak pergi keponakannya yang melepas kerling tajam ke arah Tiong San sambil berkata, “Shan-tung Koay-hiap benar-benar lihai, siauwmoi (menyebut diri sendiri yang berarti adik perempuan muda) benar-benar merasa takluk!”

Setelah kedua orang itu pergi, Khu Sin menubruk kawannya itu dan mengucurkan air mata. “Tiong San... Tiong San, apakah yang telah terjadi dengan kau? Mengapa kau bisa menjadi seorang pendekar yang begini hebat? Ah.... Tiong San..." kemudian pemuda ini teringat akan nasibnya sendiri dan nasib Thio Swie, maka ia lalu menangis seperti anak kecil.

“Eh, anak gila!” Tiong San menghibur kawannya dan sebutan “gila” ini baginya merupakan sebutan mesra sebagaimana suhunya selalu menyebutnya. “Jangan menangis seperti perempuan saja!”

Khu Sin sadar dan segera menyusut air matanya, lalu ia menarik tangan Tiong San menuju ke bangunan di sebelah kiri dan berkata, “Bagus kau datang, Tiong San. Agaknya hanya kau yang dapat mengobati penyakit Thio Swie!”

“Thio Swie sakit!”

“Semacam penyakit yang sukar diobati,” kata Khu Sin dan ia tidak memberi kesempatan kepada Tiong San untuk bertanya lagi, akan tetapi langsung membawa Tiong San ke kamar Thio Swie. Begitu Khu Sin membuka daun pintu dan melangkah masuk, ia disambut oleh maki-makian nyaring oleh Thio Swie,

“Bangsat, pengkhianat berhati rendah! Kau berani masuk ke sini! Setelah kau mencuri Siu Eng, kau.... kau....” tiba-tiba ia terbelalak memandang kepada wajah Tiong San yang berdiri tersenyum memandangnya.

“Thio Swie, kau lebih gila dari pada yang kuduga semula!” kata Tiong San sambil memandang dengan penuh kasih sayang kepada sahabat karibnya yang dulu selalu bergembira dan berseri, akan tetapi yang sekarang nampak kusut dan pucat itu.

“Kau.... kau... Tiong San... !” seperti Khu Sin, pemuda ini menubruk Tiong San, memeluk dan menciuminya sambil mengucurkan air mata.

“Eh, eh, kalian berdua memang benar-benar gila! Gila dan cengeng! Kenapa bertangis-tangisan tidak keruan?”

“Tiong San.....” kata Thio Swie sambil menangis, “Betapa aku takkan menangis? Semenjak kau pergi, sahabat karibku hanyalah Khu Sin seorang, dialah orang satu-satunya yang menjadi curahan hatiku, yang menjadi penasehat dan teman berunding! Akan tetapi bagaimana kenyataannya...? Ia, kawanku ini.... ia telah merampas kekasih hatiku, telah membujuk dan mencuri hati Siu Eng dengan cara yang amat rendah.... ia... ia....”

“Ssst, diam, Thio Swie!” tiba-tiba suara Tiong San terdengar berpengaruh sekali. “Kau tersesat dan buta! Tahukah kau, baru saja Siu Eng mu itu hampir membunuh Khu Sin kalau tidak aku kebetulan datang!”

“Apa....?!! Thio Swie memandang dengan mata terbelalak.

“Ya, kau boleh merasa heran. Aku mendengar dengan telingaku sendiri betapa Khu Sin telah minta dengan beraninya kepada Siu Eng agar tidak mengganggumu, agar suka kembali kepadamu dan jangan bermain curang dan melanggar kesetiaan terhadapmu! Dan untuk pembelaannya itu, Khu Sin telah kau benci, bahkan hampir terbunuh oleh Siu Eng gadis kejam itu!” kata pula Tiong San.

Khu Sin lalu melangkah maju dan memeluk pundak Thio Swie. “Thio Swie, memang kau sedang dimabok cinta. Kau tidak tahu betapa besar kasihku kepadamu. Kita sahabat-sahabat karib semenjak kecil, bukan? Kita kawan-kawan sekampung, bukan? Tak pernah aku berlaku khianat dan curang kepadamu, kawan! Kau tidak tahu, kawan kita Tiong San telah menjadi seorang pendekar luar biasa! Ah, kalau saja kau tadi tahu betapa ia bertempur melawan Siu Eng yang lihai! Ia adalah Shan-tung Koay-hiap, dan kepandaiannya.... ah, kau takkan percaya kepada matamu sendiri....”

Kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,” Kawan-kawanku, dengarlah baik-baik penuturanku dan aku bersumpah takkan mau menjadi manusia lagi kalau dalam penuturanku ini ada sepatah katapun yang tidak benar!”

Ia lalu menceritakan keadaan sebenarnya, betapa Siu Eng memasuki kamarnya, betapa ia telah mencintai seorang gadis pelayan yang kemudian difitnah oleh Siu Eng, dan betapa ia tadi hampir saja dibunuh oleh gadis kejam itu. Makin lama makin pucatlah wajah Thio Swie mendengar ini dan akhirnya ia mengeluh dengan sedih lalu roboh pingsan. Khu Sin menjadi sibuk, akan tetapi Tiong San berkata,

“Tenanglah, ia tidak apa-apa. Lebih baik dia pingsan sehingga tidak mengalami pukulan batin yang lebih hebat.” Mereka duduk diam menjaga sampai Thio Swie siuman kembali. Pemuda ini bangun duduk dan menangis sedih.

“Bagaimana ia menjadi sejahat itu? Bagaimana seorang gadis secantik dia sampai memiliki watak sedemikian keji. Ah... sukar untuk dapat dipercaya.”

“Memang manusia ini segila-gilanya mahluk. Ingatkah kau, Thio Swie?” kata Tiong San. “Sekarang serahkanlah semua ini kepadaku. Aku yang tanggung bahwa mulai besok pagi, kalian tentu akan mendapat pangkat, dan dapat meninggalkan tempat ini untuk menduduki pangkat masing-masing. Adapun tentang Siu Eng.... ah, serahkan saja kepadaku. Khu Sin, besok setelah menerima pangkat, kau boleh membawa pulang calon isterimu itu, dan kau Thio Swie, kuharap kau dapat melupakan Siu Eng, memegang jabatanmu dengan jujur dan adil kemudian kau boleh mencari isteri yang lebih bijaksana dari pada Siu Eng!”

“Kau sendiri!” tanya Khu Sin.

“Aku...? Ha ha ha! Aku.... sementara waktu akan tinggal digedung ini, kalau sudah bosan, aku akan menyusul suhuku...”

“Di mana suhumu!” tanya Khu Sin selanjutnya.

“Di dapur kaisar, menikmati hidangan-hidangan istana!”

“Tiong San, gilakah kau?” tanya Thio Swie dengan heran.

Tiong San tertawa ha ha, hi hi. “Nah, kau sudah sembuh, Thio Swie! Kau bilang aku gila? Memang, siapakah yang tidak gila? Ha ha, ingatkah kau syair dulu?”

Dunia penuh orang gila
Yang waras disebut gila
Yang gila....


“Merajalela.....!” dengan suara berbareng Thio Swie dan Khu Sin melanjutkan syair itu.

Kembali Tiong San tertawa ria. Khu Sin lalu menceritakan pengalaman mereka semenjak berpisah dengan Tiong San dan pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi ketika ditanya pengalamannya, Tiong San menjawab singkat.

“Apa yang kualami? Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya pergi belajar mengembala kerbau dengan cambukku ini dan selanjutnya merantau tiada arah tujuan.”

“Mengembala kerbau? Apakah artinya bahwa untuk mengembala kerbau kau perlu mempelajari ilmu silat yang demikian tingginya?” tanya Khu Sin dan kedua orang muda itu mulai memandang kepada Tiong San dengan pandangan mata heran dan ragu-ragu apakah kawannya ini benar-benar tidak miring otaknya.

Sambil tertawa Tiong San berkata, “Betapa tidak? Mengembala kerbau lebih mudah dari pada mengembala manusia, dan karena kerbau-kerbau yang harus kuhadapi itu termasuk kerbau-kerbau gila seperti Siu Eng dan orang jahat-jahat lainnya, tentu aku akan diseruduk kerbau dan mampus!”

Omongan Tiong San yang tidak keruan juntrungnya ini benar-benar membikin kedua sahabatnya terheran-heran. Menurut keinginan hati kedua orang muda itu, mereka ingin mengadakan percakapan sampai semalam suntuk, akan tetapi Tiong San berkata,

“Jangan, lebih baik kita tidur saja. Thio Swie perlu beristitahat dan aku perlu tidur karena kamar telah disediakan oleh tuan rumah!”

Pelayan mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa kamar untuk “Koay-hiap” telah disiapkan, yakni di dekat kamar tengah. Pelayan itu lalu mengundurkan diri.

“Malam ini kalian jangan keluar-keluar,” kata Tiong San, “Biar mendengar suara apapun juga dari kamarku, jangan kalian keluar.”

Kemudian mereka lalu masuk ke kamar masing-masing. Thio Swie yang merasa amat kecewa dan berduka, dapat menghibur hatinya karena ia merasa beruntung juga bahwa ia tidak sampai terjerumus makin dalam dan kini kedua orang sahabat karibnya telah berbaik kembali, bahkan Tiong San telah menjadi seorang pendekar!

Maka perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya ini membuatnya lelah sekali dan sebentar saja ia tidur pulas. Sebaliknya, Khu Sin yang merasa girang sekali, pertama karena kedatangan Tiong San, kedua karena ia sudah berbaik kembali dengan Thio Swie, dan ketiganya karena ia hendak membawa pulang kekasihnya, malahan tak dapat tidur!

Tiong San begitu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka bajunya terus saja mendengkur! Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap, akan tetapi sebetulnya pemuda ini tidak tidur dan ia menaruh curiga kepada Pangeran Lu Goan Ong. Siapa tahu kalau-kalau Pangeran itu hendak berlaku curang! Maka ia telah mempersiapkan cambuknya di bawah bantal.

Menjelang tengah malam, benar saja ia mendengar tindakan kaki perlahan-lahan yang menghampiri kamarnya dari luar. Menurut pendengarannya, ia taksir bahwa yang datang itu sedikitnya ada lima orang, maka ia diam-diam tersenyum dan bersiap-siap. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki ringan dan ia mendengar suara Siu Eng berkata perlahan,

“Jangan! Jangan! Tidak boleh!”

Terdengar suara laki-laki yang agaknya membantahnya, akan tetapi gadis itu berkata kembali, “mari kita rundingkan dulu!”

Kaki banyak orang itu lalu menjauhi kamarnya, dan secepat kilat Tiong San lalu melompat naik ke tiang penglari, membuka genteng dan segera melompat mendekati sekelompok orang dalam gelap yang sedang berunding. Ia lihat Im-yang Po-san Bu Kam, perwira kaisar kelas satu yang tadi dicabut jenggotnya oleh Thian-te Lo-mo, bersama empat orang perwira lain dan mereka berlima ini sedang bercakap-cakap dengan Siu Eng.

Gadis ini sedang bicara dengan suara tetap, “Tidak boleh, sekali lagi tidak boleh! Kalian tidak boleh mengganggu dia! Aku... aku suka kepadanya dan aku sudah mengambil keputusan untuk menjadi... jodohnya!”

“Apa?” terdengar orang ketujuh berkata dan orang ini bukan lain ialah Pangeran Lu Goan Ong sendiri. “Siu Eng! Apakah kau gila? Dia adalah seorang yang berbahaya!”

Siu Eng tersenyum. “Dia memang lihai sekali dan berkepandaian tinggi. Tentu saja dia berbahaya kalau menjadi musuh kita. Akan tetapi, kalau dia menjadi suami saya, berarti dia bukan musuh kita, bahkan keluarga kita yang akan membela kita. Mengapa paman tidak dapat berpikir sampai di situ?”

“Kalau dia tidak mau, bagaimana?” tanya seorang perwira.

“Tak mungkin!” Siu Eng menjawab marah dan tersinggung. “Kalau besok paman bertemu dengan dia harap paman kemukakan hal ini dan membujuknya. Kalau ternyata benar-benar bahwa dia tidak mau, terserah kepada kalian hendak menawan atau membunuhnya, aku bahkan akan membantu kalian!”

Setelah mendengar ini Tiong San tersenyum geli dan diam-diam kembali ke kamarnya dan tidur lagi. Ketujuh orang itu berunding sebentar lagi, kemudian perwira-perwira itu mengalah karena mereka merasa setuju dengan pendapat Siu Eng bahkan merasa gembira karena kalau sampai pemuda itu tidak mau, mereka akan dapat bantuan Siu Eng yang lihai. Juga Pangeran Lu Goan Ong memuji kecerdikan keponakannya.

Setelah mereka pergi, Siu Eng lalu menghampiri kamar Tiong San. Ia mengintai dari jendela dan ketika mendengar betapa pemuda itu telah tidur pula dan mendengkur, dengan hati-hati ia lalu menolak daun pintu yang ternyata tidak dikunci!

Ia melangkah masuk dan mendekati pembaringan Tiong San. Ditatapnya wajah pemuda yang tampan dan yang tidur telentang itu. Bibir pemuda itu tersenyum dalam tidurnya dan bulu matanya nampak panjang dan hitam. Alis yang berbentuk golok itu membuat kulit mukanya yang putih kelihatan gagah dan tampan sekali.

“Aku suka kepadamu.... kau tampan dan gagah... aku cinta padamu....” Siu Eng berbisik dan jari tangannya yang halus itu diulur dan menyentuh dagu Tiong San dengan mesranya. Kemudian dengan hati beruntung dan gembira gadis itu meninggalkan kamar Tiong San dan menutup pintunya.

Pada keesokan harinya, Tiong San telah berhadapan dengan Pangeran Lu Goan Ong di ruang tamu. Setelah memuji-muji kegagahan Tiong San, Pangeran Lu Goan Ong lalu berkata,

“Lie-taihiap,” katanya dengan suara ramah tamah, “Melihat sepak terjangmu di gedung Pangeran Ong, aku merasa amat kagum akan kegagahanmu, dan melihat pula sikapmu yang amat sopan santun dan baik, timbullah suatu maksud dalam hatiku. Kuharap saja kau takkan menampik usul yang akan kuajukan ini.”

“Lu-taijin adalah seorang pembesar tinggi dan telah menolong kedua orang sahabatku,” jawab Tiong San. “Oleh karena itu setiap usul tentu akan merupakan kurnia besar untukku. Mana aku bisa menampiknya?”

Dengan wajah girang Pangeran Lu Goan Ong melanjutkan kata-katanya, “Keponakanku Gui Siu Eng telah kau lihat sendiri kepandaian dan wajahnya. Dia telah berusia delapan belas tahun dan selalu apabila hendak kucarikan jodoh, ia menolak dengan alasan bahwa ia hanya mau mendapatkan jodoh yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi darinya, baik dalam bun maupun bu. Taihiap adalah seorang pelajar yang pandai dan ilmu silatmu juga amat tinggi, maka agaknya hanya kaulah seorang yang patut menjadi jodohnya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Kalau kiranya kau setuju, kami akan merasa girang sekali menarik kau sebagai keluarga kami!”

Biarpun dalam hatinya merasa geli sekali, akan tetapi Tiong San memperlihatkan muka sungguh-sungguh ketika ia menjawab, “Memang telah kuduga bahwa taijin tentu akan memberi kurnia kepadaku yang bodoh. Tentang hal perjodohan ini... sesungguhnya merupakan kurnia yang datangnya dari surga bagiku. Jangankan menjadi jodoh Gui-siocia yang demikian pandai dan mulia, untuk menjadi pelayannya saja aku masih belum cukup berharga! Oleh karena itu, orang akan menyebutku gila kalau aku menampiknya. Akan tetapi, orang menikah harus berada dalam keadaan senang dan puas, sedangkan aku masih mempunyai ganjalan hati karena beberapa macam keinginanku masih belum terkabul.”

“Apakah keinginan itu, taihiap? Katakanlah, barangkali saja aku akan bisa menolongmu.”

Tiong San menjura. "Terima kasih, terima kasih Lu-taijin. Kalau taijin yang turun tangan membantu, hal ini pasti akan beres. Dulu pernah aku berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku takkan mau kawin sebelum dapat menyenangkan hidup ibuku yang miskin, maka sebelum aku dapat memberinya uang sedikitnya sepuluh ribu tail perak, aku takkan mengikat diri dengan perjodohan.

"Kedua, sahabat-sahabat karibku Khu Sin dan Thio Swie semenjak kecil bercita-cita untuk menjabat pangkat, sedikitnya menjadi wedana, maka kalau kedua orang sahabatku itu belum mendapatkan pangkat yang dicita-citakannya itu, hatiku tetap saja takkan merasa senang.

"Tentu saja kedua hal ini bagi taijin hanyalah merupakan hal-hal kecil yang remeh, akan tetapi bagiku agaknya selama hidup takkan dapat tercapai. Oleh karena itu untuk membicarakan soal perjodohan masih jauh sekali bagiku dengan adanya keinginan-keinginan yang sukar dilaksanakan itu.”

Pangeran Lu Goan Ong tertawa gembira. “Sepuluh ribu tail perak dan pangkat wedana bagi kedua sahabat karibmu? Hm, biarpun hal itu mudah dilakukan, akan tetapi dengan perginya kedua anak muda itu, aku kehilangan dua tenaga pembantu yang cakap. Akan tetapi biarlah, hitung-hitung hal itu menjadi „mas kawin‟ bagimu. Aku akan penuhi semua permintaan itu, Lie-taihiap!”

Tiong San merasa lega dan menjura dengan penuh hormat. “Banyak-banyak terima kasih atas kurnia yang taijin berikan kepadaku. Kalau demikian, mohon taijin suka segera memberi surat pengangkatan untuk kedua orang kawanku itu dan uang untuk ibukupun hendak kutitipkan pada mereka.”

“Dan tentang pernikahan itu? Kapan dapat dilangsungkan?” tanya Pangeran Lu Goan Ong.

Tiong San tersenyum. “Kapan saja, taijin, ini hari ataupun besok hari apa bedanya?”

Pangeran Lu Goan Ong merasa girang sekali. Tak disangkanya pemuda itu akan menurut dengan demikian mudahnya. Kalau pemuda itu benar-benar menjadi suami Siu Eng, maka ia akan mendapat pelindung yang benar-benar kuat dan ia tidak usah khawatirkan saingan-saingan berat. Pula, karena pemuda ini murid Thian-te Lo-mo, mustahil kalau kakek gila itu mau datang mengganggunya!

“Kalau begitu, besok pagi harus dilangsungkan. Lebih cepat lebih baik!” serunya girang.

“Hamba bersiap sedia, taijin!” jawab Tiong San.

Khu Sin dan Thio Swie lalu dipanggil menghadap dan kedua pemuda ini hanya bisa mendengarkan dengan bengong ketika mereka diberitahu oleh Pangeran Lu Goan Ong bahwa mereka berdua diangkat menjadi Wedana, masing-masing di kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung yang tak jauh letaknya dari kampung kelahiran mereka! Kemudian mereka diberi hadiah-hadiah pula sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka dan juga uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San dibawakan sekalian.

Dalam kegembiraannya, kedua orang itu berlutut menghaturkan terima kasih kepada Pangeran Lu Goan Ong sambil mengeluarkan air mata karena terharu dan girang. Khu Sin lalu mengajukan permohonan untuk berangkat pada hari itu juga sambil membawa Man Kwei, bekas pelayan yang menjadi kekasihnya itu. Pangeran Lu menyetujuinya dan segera disediakan gerobak untuk mengangkut barang-barang mereka.

Akan tetapi ketika mereka berdua diberitahu akan pernikahan Tiong San dengan Siu Eng yang akan dilangsungkan besok hari, keduanya menjadi pucat. Terutama Thio Swie, pemuda ini yang hatinya masih terluka dan rasa cintanya kepada Siu Eng masih belum lenyap, memandang kepada Tiong San dengan mata marah dan penuh pertanyaan, akan tetapi kawannya itu hanya memandangnya sambil tersenyum.

“Kalian pulanglah dan lakukanlah pekerjaan dan tugas masing-masing dengan baik. Kalian sudah terlalu lama di sini dan sekarang menjadi giliranku untuk menikmati hidup bahagia di samping isteriku yang berbudi!”

Khu Sin yang cerdik dapat menduga bahwa Tiong San tentu sedang menjalankan peranan yang hebat, maka tanpa banyak kata lagi ia lalu mengajak Thio Swie berangkat meninggalkan kota raja. Mereka minta pertolongan sebuah perusahaan pengawal barang (piauw-kiok) untuk mengantar dan mengawal mereka menuju ke kampung Kui-ma-chung karena mereka hendak pulang ke rumah orang tua masing-masing sebelum menuju ke kota di mana mereka akan menjabat pangkat baru itu.

Akan tetapi, di sepanjang perjalanan, Thio Swie tiada hentinya menyatakan ketidaksenangan hatinya terhadap Tiong San, dan ia dihibur oleh Khu Sin dengan memperingatkan bahwa betapapun juga, Tiong San telah berjasa sehingga mereka berdua diberi kedudukan yang amat baik.

* * *

Sementara itu, gedung Pangeran Lu Goan Ong dihias dengan amat mewahnya. Pangeran ini lalu membuat siaran dan undangan kilat untuk memberitahu tentang pernikahan yang hendak dilangsungkan sehingga gemparlah semua pembesar dan Pangeran di kota raja. Nama Siu Eng telah terkenal sekali dan semua orang merasa heran dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda yang demikian bahagia dan berhsl mempersunting kembang yang indah dan harum itu.

Para pembesar yang ketika Tiong San mengacau di gedung Pangeran Ong hadir pula di situ, menjadi terheran-heran ketika mendengar bahwa keponakan Pangeran Lu Goan Ong dijodohkan dengan Shan-tung Koay-hiap, akan tetapi diam-diam Pangeran Lu Goan Ong mengutus orang kepercayaannya untuk memberitahukan duduknya hal kepada mereka semua itu.

Ia memberitahukan bahwa Siu Eng merasa suka kepada pemuda itu dan menurut pendapatnya, pemuda yang tadinya seorang siucai (terpelajar atau mahasiswa) itu yang kini telah menjadi seorang lihai, lebih baik dijadikan kawan yang akan membela kepentingan mereka dari pada dijadikan lawan. Bahkan Pangeran Lu Goan Ong memberi surat khusus untuk Pangeran Ong Tai Kun agar supaya Pangeran ini suka menjalankan siasat yang halus dan menawarkan diri menjadi wali dari Tiong San

! Pangeran Ong Tai Kun yang telinga kirinya dibikin buntung oleh Tiong San, tentu saja merasa amat sakit hati pada pemuda itu, maka ketika menerima surat dari Pangeran Lu Goan Ong, ia merasa amat penasaran. Akan tetapi menghadapi Lu-taijin, ia tidak berani bertingkah, apalagi ia maklum bahwa tanpa bantuan orang pandai, ia tidak berdaya menghadapi Shan-tung Koay-hiap dan Thian-te Lo-mo. Maka ia lalu memutar otaknya dan akhirnya mendapat siasat yang amat keji dan curang.

Ia segera mengutus orang-orang kepercayaannya untuk membawa kendaraan berkuda besar menjemput Tiong San yang menjadi mempelai laki-laki dan kini telah diberi pakaian yang amat indah. Pakaian ini terbuat dari sutera halus dan atas permintaannya, maka telah dipilih sutera warna hijau yang amat mahal dan indah.

Untuk memenuhi adat kebiasaan, mempelai laki-laki akan tiba dari rumah orang tua atau walinya untuk menjemput calon isterinya, maka karena ia tidak keberatan untuk mengangkat wali kepada Pangeran Ong Tai Kun. Ketika kereta yang menjemputnya datang, ia segera berangkat naik kereta menuju ke gedung Pangeran Ong Tai Kun yang kemaren dulu terjadi keributan karena gangguannya...!

Jilid selanjutnya,