Pendekar Gila Dari Shantung jilid 08 karya Kho Ping Hoo - Liong Ki Lok menggelengkan kepalanya dengan hati kusut. “Tidak ada gunanya. Kita telah diikuti selalu, bahkan tempat inipun telah diketahui. Apa artinya melarikan diri? Akibatnya, kita semua akan binasa!”
“Aku tidak takut mati!” teriak isterinya. “Dari pada Bwee Ji celaka, lebih baik aku mati lebih dulu!”
“Apakah kau hanya mengingat diri sendiri dan tidak memperhatikan nasib dua orang puteramu?” suaminya menegur dan nyonya itu memeluk dua orang anaknya yang masih kecil sambil menangis semakin sedih.

“Ini semua gara-gara binatang she Ma yang dulu mengantar anaknya itu!” kata Liong Ki Lok sambil mengepal tinju. “Kelak, dalam pembalasan sakit hati, sebelum melenyapkan pangeran Ong dan kaki tangannya, lebih dulu akan kupecahkan kepala binatang she Ma itu!”
Dan pada keesokan harinya, Liong Ki Lok bersama puterinya berangkat ke kota raja setelah memesan kepada isterinya supaya menunggu di situ. Karena setelah mengantar puterinya ke gedung pangeran Ong, ia akan segera datang kembali dan mengajak mereka pergi ke tempat jauh.
Keberangkatan Bwee Ji di antar dengan tangis dan ratap sedih dari ibunya sehingga ketika akhirnya gadis itu berangkat, nyonya itu roboh pingsan membuat sibuk pamannya yang segera menolongnya.
Bwee Ji mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Rambutnya awut-awutan tidak terurus. Akan tetapi ia bahkan nampak makin manis dalam pakaian yang sederhana sekali itu.
Baik kita tinggalkan dulu perjalanan ayah dan anak yang dilakukan dengan hati berat dan hancur itu, karena Liong Ki Lok merasa betapa ia mengantar puterinya menuju jurang kematian, dan marilah kita menengok sebentar ke belakang, ke tempat Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang meninggalkan tepi danau Taming setelah menghabiskan ikan panggang dan membikin kecewa hati Liong Ki Lok dan puterinya.
“Suhu, pernahkah kau pergi ke kota raja?” tiba-tiba Tiong San bertanya sambil menahan kakinya.
Suhunya juga berhenti dan tertawa. “Tentu saja pernah, aku pernah tinggal sehari semalam di dalam dapur istana kaisar dan menikmati semua hidangan yang lezat-lezat. Ha ha ha! Semua hidangan sebelum diantarkan kepada kaisar, lebih dulu kucicipi rasanya!” Ia nampak gembira sekali teringat akan hal ini sehingga tiada hentinya tertawa terkekeh-kekeh.
“Apa kau tidak ingin mencicipi hidangan-hidangan lezat itu lagi, suhu?”
Tiba-tiba Thian-te Lo-mo menghentikan suara ketawanya dan memandang kepada muridnya dengan mata berputar-putar. “Anak gendeng, kau ingin pergi ke kota raja! Ha ha, benar, kau ingin pergi ke kota raja!”
Biarpun suhunya dapat menduga dengan tepat sekali, namun Tiong San tidak memperdulikan, bahkan bertanya lagi. “Suhu, kenalkah kau kepada seorang pangeran she Ong yang tinggal di kota raja?”
“Banyak pangeran-pangeran gila di kota raja telah kudatangi rumahnya, entah ia she apa aku tidak tahu!”
“Suhu, kabarnya pangeran she Ong itu mempunyai hidangan-hidangan yang paling enak di kota raja! Bahkan, masakan-masakan yang biasanya dimakan oleh kaisar, kabarnya tidak melawan kelezatan masakan-masakan yang biasa dimakan oleh pangeran Ong!”
“Mana mungkin? Masakan-masakan untuk kaisar yang paling enak!” kakek itu mengangguk-angguk.
“Apakah kau pernah mencicipi masakan di dapur pangeran Ong, suhu?”
Sambil membelalakkan matanya, Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, bagaimana suhu dapat menentukan bahwa masakan di istana kaisar yang paling enak? Ha ha, suhu benar-benar tidak pandai!”Kakek itu nampal melenggong. “Kau benar, aku harus mencicipi dulu sebelum memberi kepastian...” Kemudian ia tertawa lagi terbahak-bahak. “Ha ha ha! anak gendeng, kau hendak mengajak aku ke kotaraja. Ha ha!”
Diam-diam Tiong San merasa kagum akan kecerdikan suhunya yang walaupun pikirannya tak keruan kerjanya, akan tetapi mempunyai kecerdikan yang melebihi orang waras. “Benar, suhu. Teecu ingin sekali pergi ke kota raja.”
“Kau gila! Di kotaraja penuh dengan orang-orang gila yang berbahaya.”
“Tidak apa, suhu. Gila bertemu gila, bukankah sudah cocok?”
“Ha ha ha, boleh, boleh! Akan tetapi.....” ia memandang kepada muridnya dengan tajam dan melihat pakaian yang melekat ditubuh Tiong San, pakaian yang hanya patut disebut setengah pakaian karena tinggal pendek saja, “Pakaianmu itu.... buruk sekali!”
“Tak lebih buruk dari pada pakaian yang dipakai suhu.”
Thian-te Lo-mo memandang kepada pakaiannya sendiri, lalu ia berkata, “Orang-orang kota raja pakaiannya indah-indah!” Ia mengangguk-angguk. “Kau seorang sastrawan, mengapa pakaianmu begitu? Ayo, kau cari pengganti pakaian yang indah, kalau tidak aku tidak mau membawamu ke kota raja!” Sambil berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya seakan-akan mengusir perginya muridnya.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh Tiong San lalu pergi meninggalkan suhunya sambil berkata, “Suhu tunggu saja, teecu akan mencari pengganti pakaian yang indah-indah.”
Ia berlari ke sebuah rumah di dekat danau Taming. Rumah ini adalah sebuah rumah tempat beristirahat seorang berpangkat yang kaya raya. Dengan mempergunakan kepandaiannya, ia dapat memasuki rumah itu dari atas genteng tanpa dilihat seorangpun. Ia mengintai dan melihat dua orang pelayan sedang membungkus pakaian dan barang-barang lain oleh karena majikan mereka hendak kembali ke kota setelah puas berperahu di atas danau.
“Kau lihat, alangkah halus dan indahnya pakaian kongcu ini! Katanya terbuat dari pada sutera dari selatan yang amat mahal!” kata seorang di antara mereka yang lalu mengeluarkan satu stel pakaian warna hijau muda. “Coba kau lihat, pantas tidak aku memakai pakaian ini!” Ia lalu mengenakan pakaian itu sehingga nampak gagah karena pakaian itu adalah pakaian seorang pemuda kaya raya yang indah.
“Bukankah aku pantas menjadi seorang siucai (pelajar) yang pandai dan hartawan?” tanyanya kepada kawannya, sambil memutar-mutar tubuhnya.
“Kau seperti orang gila!” kata kawannya. “Mukamu yang buruk itu sama sekali tak pantas memakai pakaian ini! Ayo lekas kau buka lagi, kalau ketahuan oleh kongcu, kau akan dipukul!”
Sementara itu, Tiong San suka sekali melihat pakaian pelajar yang dipakai oleh pelayan tadi. Memang semenjak dulu, Tiong San suka kepada pakaian warna hijau. Ia melihat betapa pakaian itu dilipat baik-baik kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bungkusan. Lalu kedua pelayan itu membereskan barang-barang lain.
Ketika seorang di antara mereka menengok, ia menjadi terkejut dan bertanya, “Eh eh, mana bungkusan pakaian tadi?”
Kawannya juga terheran-heran. “Bukankah tadi di sini?” Ia menuding ke arah tempat bungkusan tadi terletak, “Atau kau telah memindahkannya tanpa kau sadari?” Mereka mencari-cari di sekeliling kamar itu, akan tetapi tidak mendapatkan bungkusan itu.
Tiba-tiba, orang yang tadi mencoba pakaian hijau, memandang dengan mata terbelalak dan berseru, “Itu dia!”
Kawannya berpaling dan melihat bungkusan yang hilang tadi telah berada di tempatnya kembali! “Lho! Kenapa tadi tidak ada di situ?”
“Entah, tadi memang tidak ada di situ?”
Keduanya memandang heran tanpa berani mendekati bungkusan itu dan saling pandang dengan muka pucat. Akhirnya mereka memberanikan hati dan mengambil bungkusan itu lalu membukanya untuk memeriksa, dan dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa pakaian warna hijau yang dibicarakan tadi beserta sestel pakaian merah telah lenyap!
“Pakaian kongcu hilang!” teriak yang mencobanya tadi.
“Juga pakaian merah taijin lenyap!” seru kawannya. “Siapa yang ambil?”
“Tak mungkin orang bisa ambil. Bukankah semenjak tadi kita berada di sini?”
“Kalau begitu....?”
“Kalau begitu.... tentu.... setan yang.... yang...” Belum habis kata-kata diucapkan, mereka sudah lari keluar dari kamar dengan bulu tengkuk berdiri, untuk melaporkan hal yang aneh itu kepada majikan mereka.
Sementara itu, sambil tertawa-tawa gembira, Tiong San kembali mencari suhunya sambil membawa dua stel pakaian warna hijau dan merah. Tadi ia telah mempergunakan kepandaiannya dan dengan ujung cambuk ia dapat mengambil bungkusan itu melalui jendela tanpa terlihat oleh dua pelayan dan setelah mengambil pakaian hijau itu. Ia melihat satu stel pakaian merah.
Ia teringat bahwa suhunya suka akan warna merah. Buktinya tiap kali melihat ikan merah, selalu diusahakannya agar tertangkap. Maka ia lalu mengembalikan bungkusan dengan cara yang sama, tanpa diketahui oleh dua pelayan itu.
“Suhu, suhu!” serunya dengan suara girang ketika melihat suhunya telah menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil mendengkur. Biasanya ia tidak mau mengganggu suhunya. Akan tetapi kali ini ia terlampau girang hingga ia tidak dapat menahan kegembiraan hatinya dan memanggil-manggil suhunya yang sedang tidur.
Ketika Thian-te Lo-mo membuka matanya, Tiong San memperlihatkan dua stel pakaian itu sambil berkata, “Suhu, lihat, bukankah indah sekali pakaian ini? Satu untuk teecu dan satu untuk suhu!”
“Apa? Kau mau suruh aku memakai pakaian seperti orang-orang gila?”
“Kalau suhu tidak mau memakai pakaian ini, teecu pun tidak mau memakainya.”
“Kenapa begitu?”
“Karena seorang murid hanya mencontoh suhunya saja. Apa yang suhu lakukan, harus murid lakukan pula. Juga, sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk makan hidangan lezat-lezat, orang harus mengenakan pakaian baru, baru kelezatan itu terasa benar!” Kata-kata yang terakhir ini hanyalah merupakan akal bujukan Tiong San saja agar suhunya suka memakai pakaian itu.
Thian-te Lo-mo tertawa gembira dan ia lalu mengambil pakaian warna merah berkembang itu. “Aku mau pakai yang ini biar kelihatan seperti ikan emas!”
Guru dan murid lalu mengenakan pakaian indah itu. Thian-te Lo-mo kelihatan lucu dan lebih gila dari pada biasanya ketika ia mengenakan pakaian warna merah berkembang itu! Ia senang sekali dan memandangi pakaian yang dipakainya seperti seorang anak kecil memakai pakaian baru.
Adapun Tiong San setelah mengenakan pakaian indah itu, tiba-tiba teringatlah ia akan masa dulu dan timbul pula sifat pesolek yang terdapat dalam dada tiap orang muda. Pakaian itu memang pantas sekali dan kebetulan ukurannya cocok benar. “Suhu, teecu hendak mencari sepatu dulu!”
“Boleh, boleh, pergilah! Akan tetapi jangan kau harap akan dapat memaksaku memakai sepatu. Kakiku akan menjadi sakit-sakit rasanya kalau terkurung dan disiksa dalam sepatu!”
Kembali terjadi keanehan di antara para pelancong di telaga Taming. Seorang pelancong sedang enak-enak duduk di atas bangku di pinggir danau dan menikmati pemandangan indah. Tiba-tiba merasa betapa kedua kakinya yang tergantung dari bangku dibetot orang sehingga ia hampir jatuh dan ketika ia melihat ke arah kedua kakinya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak karena sepasang sepatunya yang tadi dipakainya kini telah lenyap tanpa diketahui siapa yang telah mencabut dari kakinya.
Tak lama kemudian, nampaklah seorang pemuda yang tampan sekali dengan pakaian warna hijau muda, sepatu biru dan rambutnya diikat dengan pita merah, berjalan cepat bersama seorang kakek yang berpakaian merah berkembang berkaki telanjang dan rambutnya yang panjang awut-awutan di atas pundak! Mereka ini adalah Tiong San dan Thian-te Lo-mo yang berjalan cepat menuju ke kota raja.
Tiong San benar-benar merupakan seorang pelajar yang cakap dan aneh, karena biarpun pakaiannya seperti seorang pelajar tulen, akan tetapi pada pinggangnya tergantung sebatang cambuk panjang yang digulung dan gerak-geriknya cepat dan gagah, tidak seperti pelajar yang biasanya lemah dan halus.
Sebaliknya, Thian-te Lo-mo yang biasanya lebih menyerupai seorang pengemis gila, kini seperti seorang pembesar yang kaya raya dan yang tiba-tiba menjadi gila. Pakaiannya yang merah indah itu sama sekali tidak sesuai dengan rambutnya yang awut-awutan dan kakinya yang telanjang.
Liong Ki Lok dang Liong Bwee Ji tiba di kota raja. Dengan perasaan berat guru silat itu mengantar anak perempuannya ke gedung pangeran Ong Tai Kun yang besar dan luas pekarangannya. Kedatangannya disambut oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri dan lima orang perwira-perwira lain.
“Aha! Akhirnya kau menyerah juga, Liong-kauwsu!” kata Ban Kong sambil tersenyum simpul. “Kau berlaku pintar kalau mau menurut dengan baik-baik, karena orang yang menentang kehendak Ongya adalah sebodoh-bodohnya orang!”
Karena merasa segan untuk bicara dengan perwira ini, Liong Ki Lok dan Bwee Ji tidak menjawab, hanya memandang dengan mata mengandung kebencian besar.
“Atau salahkah terkaanku?” kata Ban Kong pula melihat sikap mereka. Apakah kalian datang hendak memberi kartu undangan? Apakah kau benar-benar telah mendapatkan calon menantumu, orang she Liong?”
Pada saat Liong Ki Lok hendak menjawab, tiba-tiba Bwee Ji yang membuang muka ke belakang, melihat datangnya dua orang yang berlari-lari masuk ke pekarangan itu. Ia lalu memegang tangan ayahnya erat-erat, dan berbisik, “Ayah..... dia datang....!”
“Dia siapa.....?” Ayahnya bertanya dan menunda maksudnya untuk menjawab pertanyaan Ban Kong.
“Shan-tung Koay-hiap! Dia datang!” suara Bwee Ji setengah bersorak, biarpun dikeluarkan dengan perlahan, membuat ayahnya juga menengok ke belakang.
Benar saja, ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian hijau dan seorang kakek berpakaian merah. Biarpun tadinya ia merasa ragu-ragu dan pangling melihat mereka berdua ini, akan tetapi setelah memperhatikan, ia mengenal wajah Tiong San yang cakap. Dalam keadaannya yang terdesak, Liong Ki Lok lalu mengambil keputusan nekat.
“Tai-ciangkun,” katanya kepada Ban Kong. “Memang aku telah mendapat menantu, dan menantuku adalah Shan-tung Koay-hiap yang sekarang telah datang kesini!” Ia menunjuk ke arah dua orang yang kini telah memasuki pekarangan dan berjalan menuju ke pintu di mana mereka berdiri.
Ban Kong memandang dan mukanya menjadi pucat. “Dia... mereka.... datang...!” Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya dan berkata. “Awas, yang datang adalah Thian-te Lo-mo dan muridnya. Panggil kawan-kawan!”
Ia sendiri lalu mengeluarkan ruyungnya, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera mencabut pedang. Seorang di antara mereka lari ke dalam untuk memanggil kawan-kawan untuk mengepung dan mengeroyok kakek gila yang mereka takuti itu.
Ketika Tiong San dan suhunya tiba di kota raja, pemuda itu memang segera mengajak suhunya menuju ke gedung pangeran Ong. Karena maksudnya yang terutama pergi ke kota raja adalah ingin menolong Liong Ki Lok dan yang kebetulan sekali mereka jumpai pada saat yang tepat di pekarangan gedung itu.
Maka mereka lalu berhenti di dekat mereka dan Thian-te Lo-mo memandang gedung besar itu sambil tersenyum-senyum karena ia teringat akan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika ia main-main di kota raja dan mencuri cap-cap pangkat para pembesar dan pangeran!
“Shan-tung Koay-hiap, apakah benar bahwa gadis ini adalah isterimu?” Ban Kong bertanya kepada Tiong San sambil menunjuk kepada Bwee Ji. Perwira ini memandang dengan kagum dan heran kepada Tiong San yang dulu seperti seorang pemuda gila yang jembel, sekarang ternyata merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Ditanya begitu, Tiong San tanpa terasa lalu berpaling memandang kepada Bwee Ji yang memandangnya dengan muka merah berseri dan menggigit bibir. Kemudian pemuda itu memandang ke arah Liong Ki Lok yang memandangnya dengan mata penuh permohonan tolong. Ia lalu menghadapi Ban Kong lagi dan menjawabnya dengan sebuah pertanyaan.
“Andaikata betul maupun tidak, kau perduli apa? Dengarlah, nona ini tidak boleh menjadi korban pangeran Ong, habis perkara!”
Semua orang merasa heran mendengar suara Tiong San yang halus dan sopan, karena dulu mereka tidak melihat sikap seperti ini pada pemuda itu. Ban Kong maklum bahwa pemuda ini memang sengaja datang untuk melindungi gadis itu, maka ia mengangkat-angkat ruyung tinggi-tinggi dan membentak.
“Penjahat muda, jangan kira kami takut kepadamu! Kalau kau memang suami nona itu, akuilah saja terus terang akan tetapi kalau bukan, jangan kau ikut mencampuri urusan orang lain!”
“Ban-ciangkun,” tiba-tiba Liong Ki Lok berkata. “Shan-tung Koay-hiap adalah menantuku, mengapa kau masih mendesak terus? Apakah kau sengaja mencari perkara permusuhan?”
Ban Kong tertawa mengejek dan memandang kepada Tiong San sambil berkata, “Benarkah kata-katanya itu? Bilakah kau menikah dengan nona manis ini?”
Tiong San juga tertawa dan menjawab, “Mertuaku sudah bicara mau apa lagi?”
Ban Kong berseru marah. “Kalau begitu kau harus mampus!” Ruyungnya menyambar maju, akan tetapi tiba-tiba ruyung itu berhenti ditengah udara dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya. Ruyung itu ternyata telah dilibat oleh cambuk panjang yang sudah berada di tangan Thian-te Lo-mo.
“Ha ha ha! Perwira gendeng dan gila!” ia memaki sambil membanting ruyung yang dirampasnya itu ke atas tanah. “Menyambut pengantin sama dengan menyambut tamu agung! Kalau muridku menjadi pengantin, akupun seorang mempelai! Kau tidak menyambutku dengan hidangan-hidangan yang terkenal lezat dari dapur pangeran Ong. Akan tetapi menyuguh kami dengan ruyung! Kau benar-benar gila dan tak patut diangkat menjadi penyambut tamu agung! Aku akan ambil sendiri hidangan-hidangan itu!” Sambil berkata demikian, Thian-te Lo-mo lalu melangkah lebar menuju ke pintu gedung untuk menerjang ke dalam.
Ban Kong menjadi terkejut dan khawatir sekali melihat betapa kakek gila itu hendak menyerbu ke dalam gedung, oleh karena pada waktu itu Ong Tai Kun si pangeran bersama beberapa orang pembesar lain sedang berpesta di ruang dalam. Maka ia lalu berseru keras.
“Orang gila, kau hendak berbuat apa?” lalu ia maju diikuti oleh kawan-kawannya, sedangkan pada saat itu, dari dalam muncul banyak perwira-perwira lain yang tadi diberi tahu. Sebentar saja Thian-te Lo-mo telah dikurung oleh belasan orang perwira yang bersenjata tajam, sedangkan Ban Kong sudah mengambil ruyungnya yang tadi dilempar ke atas tanah oleh kakek itu.
“Ha ha ha! Kalian anjing-anjing penjilat sebelum mengeluarkan hidangan untukku minta diberi hadiah dulu! Baik, baik, ini aku beri hadiah sama rata, seorang satu!”
Cambuknya berbunyi berdetak-detak dan menyambar-nyambar di udara dan biarpun semua perwira itu memutar pedang dan golok untuk menyerbu dan melindungi diri, tak urung sekalian senjata itu sekali terpukul ujung cambuk telah beterbangan dan terlepas dari pegangan mereka.
Hal itu lalu disusul oleh teriakan-teriakan mereka karena muka mereka masing-masing telah tersambar oleh ujung cambuk sehingga pada muka tiap orang perwira terdapat garis merah biru akibat sabetan cambuk!
Tentu saja hal ini amat mengejutkan mereka. Kepandaian para perwira itu bukan rendah, dan terutama sekali Ban Kong telah terkenal dengan ruyungnya. Akan tetapi kini menghadapi Thian-te Lo-mo, mereka belasan orang perwira itu seakan-akan menjadi tikus-tikus kecil menghadapi seekor kucing besar.
“Muridku, kau pergi antarkan mertua dan isterimu pulang! Aku mempelai tua hendak makan minum dulu dengan pangeran Ong!” kata Thian-te Lo-mo kepada Tiong San sambil melangkah ke pintu.
Sedangkan para perwira yang masing-masing mendapat hadiah sabetan pada mukanya itu memandang dengan hati khawatir sekali. Melihat betapa kakek gila itu masuk ke dalam gedung, mereka tidak perdulikan Liong Ki Lok dan puterinya lagi, akan tetapi segera mengejar masuk ke dalam gedung.
Tiong San tertawa bergelak melihat perbuatan suhunya dan berseru, “Suhu, makanlah dulu sepuasnya, akan tetapi jangan habiskan semua, beri bagian kepada teecu!”
Pada saat itu, Liong Ki Lok dan Bwee Ji telah menghampirinya dan nona itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong San! Akan tetapi Tiong San segera memegang tangannya dan menariknya berdiri. Kemudian ia pegang pula tangan Liong Ki Lok dan segera lari sambil menarik tangan kedua orang itu meninggalkan kota raja!
Biarpun Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji telah memiliki kepandaian yang cukup baik dan ilmu lari cepat mereka juga tidak rendah, akan tetapi ketika digandeng dan ditarik oleh Tiong San, mereka merasa betapa kedua kaki mereka seakan-akan tidak menyentuh bumi, demikian cepatnya mereka lari!
Setelah tiba di luar tembok kota raja, Tiong San melepaskan tangan mereka dan berkata, “Nah, pergilah kalian ke mana kalian suka! Sekarang tidak ada bahaya lagi.”
Mendengar ucapan ini, hati kedua orang itu merasa terkejut dan kecewa. Bwee Ji kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu oleh karena ia merasa bahwa pemuda ini beserta suhunya telah menolong jiwanya dari kesengsaraan atau kematian yang hebat.
“Inkong,” kata Liong Ki Lok sambil menjura, “Bukankah kau... sudi menjadi suami anakku yang bodoh...?”
Tiong San tertawa gelak-gelak mendengar ucapan ini, lalu menjawab, “Apa kau kira aku ini seorang gila?”
Ketika Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji memandangnya dengan heran mendengar kata-katanya ini. Ia lalu mengucapkan sebuah syair kuno dari seorang yang patah hati,
Kalau kau ingin hidup bahagia
Terdapat tiga syarat
Dan pantangan utama:
Jangan mencari isteri,
Jangan mencari kawan,
Dan jangan mencari lawan!
Berkawanlah dengan buku
Berlawanlah dengan arak!
Selagi Liong Ki Lok dengan anaknya masih bengong memandang pemuda itu, tiba-tiba tubuh Tiong San berkelebat dan lenyap dari depan mereka, hanya terdengar suaranya yang sudah jauh. “Suhu, jangan habiskan hidangan-hidangan itu!”
Liong Ki Lok menarik napas panjang dan berkata, “Ia benar-benar gila, akan tetapi sakti dan berbudi!”
Sementara itu, Bwee Ji masih berlutut dan kini terdengar ia terisak-isak menangis. Hatinya telah tertambat kepada pemuda yang cakap, gagah dan berbudi itu dan akan bahagialah hidupnya apabila ia bisa menjadi isteri pemuda itu.
Tadi ia telah merasa amat girang ketika mendengar betapa pemuda itu agaknya bersedia menjadi suaminya. Tidak tahunya kini pemuda itu meninggalkannya dengan syair yang menunjukkan bahwa pemuda itu memandang rendah tentang pernikahan dan tidak sudi kepada wanita.
“Ayah.... di dunia ini tak mungkin ada orang kedua seperti dia...”
Mendengar ucapan ini, ayahnya maklum bahwa hati anaknya telah tertarik kepada pemuda itu. Maka sambil menarik napas panjang berkali-kali, ia lalu mengajak Bwee Ji pergi dari situ dengan cepat.
“Yang terpenting sekarang ialah mengajak ibu dan adik-adikmu segera pergi jauh sebelum jahanam-jahanam itu mendapat kesempatan mengejar.”
Mereka lalu berlari cepat menuju dusun Bi-lu-siang dan tanpa membuang waktu lagi mereka semua lalu pergi ke selatan, melarikan diri sejauhnya dari tempat yang berbahaya itu sambil selalu terkenang kepada Shan-tung Koay-hiap yang telah menolong mereka, akan tetapi berbareng juga mengecewakan hati mereka itu.
Di ruang yang lebar dalam gedung pangeran Ong Tai Kun sedang diadakan pesta yang mewah dan gembira. Nampak empat buah meja persegi di ruang itu dan setiap meja dikelilingi oleh empat orang tamu yang semuanya berpakaian indah karena mereka ini adalah pembesar-pembesar belaka.
Mereka ini terdiri dari pangeran-pangeran dan orang-orang berpangkat dan belasan orang ini memang seringkali mengadakan perjamuan makan. Saling mengundang untuk bergembira ria menikmati hidangan-hidangan istimewa.
Di pojok kamar itu nampak serombongan penyanyi meramaikan suasana dengan nyanyian-nyanyian merdu sehingga mereka yang sedang berpesta menjadi makin gembira. Arak yang lewat di kerongkongan makin hangat dan wangi sedangkan masakan-masakan yang mereka makan makin lezat dengan mendengarkan lagu-lagu merdu yang dinyanyikan oleh nona-nona manis itu.
Para penyanyi ini bukanlah rombongan penyanyi biasa, akan tetapi terdiri dari selir-selir tuan rumah sendiri. Maka tentu saja wajah mereka yang cantik-cantik itu membuat belasan orang tamu menjadi kagum.
Ong Tai Kun sendiri duduk berhadapan dengan tiga orang tamu yang mendapat kehormatan istimewa karena mereka ini adalah tiga orang berpangkat tertinggi di antara sekalian tamu. Seorang di antaranya yang berhadapan muka dengan Ong Tai Kun, adalah seorang pangeran pula, yakni pangeran Lu Goan Ong yang menjadi penasehat kaisar. Pengaruh pangeran Lu Goan Ong ini malahan lebih besar dari pada pengaruh pangeran Ong. Maka sudah tentu saja sikap Ong Tai Kun terhadapnya amat menjilat-jilat.
Sebagaimana pembaca masih ingat, pangeran Lu Goan Ong adalah pangeran yang dulu bertemu dengan Tiong San dan dua orang kawannya di telaga Tai-hu, dimana Thian-te Lo-mo mengamuk di atas perahu pangeran itu setelah perahu pangeran itu menubruk perahu ketiga pemuda itu...