Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 09

Cerita silat Mandarin, Pendekar gila dari Shantung jilid 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung jilid 09 karya Kho Ping Hoo - “Kabarnya saudara Ong mendapatkan kembang baru yang segar, cantik dan juga pandai silat!” kata pangeran Lu Goan Ong sambil tersenyum-senyum dan mengangkat cawan araknya lalu mengerling ke arah para penyanyi. “memang saudara Ong paling pandai memilih kembang hingga taman bungamu penuh dengan kembang-kembang cantik!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Ong Tai Kun tertawa senang. “Lu-taijin terlalu memuji,” katanya. “Nona yang kau maksudkan itu belum datang, dua pekan lagi mungkin ia akan berada di sini. Akan tetapi selihai-lihainya wanita, ia hanya memiliki ilmu silat biasa saja. Kalau Lu-taijin suka kepada salah satu kembang di tamanku ini, tunjuklah saja dan tentu akan kupersembahkan untuk di tanam di taman bungamu!”

Lu Goan Ong tertawa gembira dan minum araknya. “Jangan, jangan!” Ia mengangkat kedua tangannya. “Di sana sudah cukup banyak. Kalau terlalu banyak sukar mengurusnya!”

Dua orang lain yang berada di kanan kiri mereka ikut tertawa senang, dan seorang yang duduk di sebelah kiri Ong Tai Kun berkata, “Kalau bungamu yang baru itu kepandaiannya dapat menyamai Gui-siocia di gedung Lu-taijin, barulah hebat!”

“Mana bisa menyamai Gui-siocia?” kata Ong Tai Kun. “Untuk jaman ini, Gui-siocia tidak ada keduanya, baik mengenai kecantikannya maupun mengenai kelihaian ilmu silatnya.”

Lu Goan Ong menarik napas. “Keponakanku Siu Eng memang cukup tinggi ilmu silatnya, akan tetapi hal itu membuat ia menjadi keras kepala. Banyak sahabat datang meminangnya, akan tetapi ia bersikeras tidak mau kawin dengan seorang yang tidak memiliki bun dan bu. Dan sukarnya, calon jodohnya harus dapat mengalahkannya!” Pangeran Lu Goan Ong menggeleng-geleng kepala seperti orang merasa jengkel.

Padahal sebenarnya ia merasa bangga sekali akan keponakannya itu, yakni nona Siu Eng. “Sudah banyak pemuda-pemuda yang amat baik, tinggi ilmu kesasteraannya, akan tetapi ia selalu menolak. Isteriku terlalu memanjakannya sehingga aku benar-benar merasa bohwat (kehabisan akal).”

“Mengapa Lu-ya demikian bingung?” kata orang yang duduk di sebelah kanan Ong Tai Kun. “Adakan saja sayembara di panggung lui-tai untuk mencari pemuda-pemuda yang yang lihai ilmu silatnya!”

Lu Goan Ong mengangguk-angguk. “Memang sudah ada pikiran demikian dalam hatiku. Akan tetapi sukar juga karena Siu Eng hanya mau dijodohkan dengan pemuda yang selain pandai ilmu silat dan dapat mengalahkannya, juga harus pandai dalam ilmu kesusasteraan. Di mana ada pemuda yang berkepandaian lengkap seperti itu?”

“Ah, dia menghendaki seorang bun-bu-cwan-jai (pemuda gagah yang pandai silat dan sastra)!” kata Ong Tai Kun. “Memang tepat, karena kalau tidak demikian, mana dapat direndengkan dengan Gui-siocia?”

Pada saat Lu Goan Ong hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba matanya terbelalak memandang kepada seorang kakek berpakaian merah yang tiba-tiba muncul dari pintu dan masuk ke dalam ruangan itu.

“Thian-te Lo-mo...” bisiknya dan wajahnya menjadi pucat.

Semua orang memandang dengan kaget dan menjadi pucat karena semua pembesar dan pangeran ini biarpun di antaranya ada yang belum pernah melihat Thian-te Lo-mo, akan tetapi pernah mendengar nama kakek gila yang pernah menggegerkan istana kaisar dan seluruh kota raja!

Thian-te Lo-mo dengan tindakan kaki lebar memasuki ruangan dan matanya menyapu semua yang hadir sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Pangeran Ong, mana masakanmu yang paling enak, ayo keluarkan untukku! Kabarnya hidangan di rumahmu ini lebih lezat dari pada hidangan di dapur kaisar, benarkah ini?” Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri meja pangeran Ong Tai Kun dengan hidung kembang-kempis seakan-akan sedang mencium-cium bau masakan dan menaksir-naksirnya.

Sebetulnya saja Thian-te Lo-mo tidak mempunyai maksud buruk dan kedatangannya memang terdorong oleh keinginan hatinya membuktikan ucapan muridnya bahwa hidangan di rumah pangeran ini lebih enak dari pada hidangan dari dapur kaisar. Akan tetapi tentu saja para pembesar ini, terutama pangeran Ong tidak mempunyai pikiran demikian. Karena kakek ini sudah terkenal sebagai seorang pengganggu kota raja.

Kedatangannya ini mereka anggap sebagai gangguan yang disengaja dan ucapan tentang masakan tadi dianggap sebagai alasan belaka. Oleh karena itu, mereka yang tahu ilmu silat, terutama Ong Tai Kun dan Lu Goan Ong, segera mencabut pedang masing-masing dan mengurung Thian-te Lo-mo.

Pada saat itu, para perwira dengan dikepalai oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang mukanya masing-masing telah digaris merah oleh ujung cambuk Thian-te Lo-mo, memburu ke dalam dan melihat betapa kakek itu kini dikurung oleh para pembesar tinggi, segera memburu dan mengurungnya pula.

“Thian-te Lo-mo orang gila!” teriak Ban Kong. “Kau hendak lari ke mana?” perwira ini terkenal sebagai jagoan kota raja. Tentu saja ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan para pangeran dan pembesar itu. Dan untuk menyembunyikan kekalahannya tadi, ia mengeluarkan bentakan itu dan lalu maju menyerang dengan ruyungnya.

Akan tetapi Thian-te Lo-mo dengan tersenyum mengejek hanya miringkan tubuh mengelak dan tangannya menyambar semangkuk masakan dari meja pangeran Ong. Ia lalu mengempit cambuknya di bawah lengan kanan alias ketiak, memegang mangkuk itu di tangan kiri dan tangan kanannya menggunakan sepasang sumpit gading untuk menjumput sepotong daging dari mangkuk itu terus dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikunyah dengan mata meram melek seperti laku seorang ahli masak sedang mencicipi rasanya semacam masakan.

Berkali-kali ruyung Ban Kong menyambar, akan tetapi ruyung itu selalu memukul angin, oleh karena dengan sedikit gerakan saja Thian-te Lo-mo dapat mengelak tanpa melepaskan mangkuknya dan masih mengayem makanan tadi.

Beberapa orang perwira lain maju mengeroyoknya pula sehingga kini Thian-te Lo-mo terpaksa mengangkat tangan kanan yang memegang sumpit untuk menangkis. “Tring! Tring!” Sekali tangkis dengan sumpitnya, tiga golok di tangan perwira-perwira itu terpental ke udara. Akan tetapi perwira lain maju pula mengeroyok.

“Ah, masakan ini tidak sedap! Sama tawar dan hambarnya seperti kalian!” kata Thian-te Lo-mo yang lalu melemparkan mangkuk itu demikian saja ke atas. Akan tetapi tepat sekali mangkuk itu menyambar turun dan jatuh dengan terbalik di atas kepala pembesar itu sehingga merupakan topi aneh di atas kepalanya.

Sedangkan isinya tumpah dan kuah masakan itu mengalir turun di sepanjang mukanya. Karena masakan ini memakai kecap merah, maka kecap yang mengalir di atas hidung dan pipinya merupakan barang cair merah seakan-akan darah memenuhi muka itu.

Pembesar itu yang tidak menyangka sama sekali, menjadi kelabakan karena kedua matanya juga terkena kuah masakan itu sehingga tak dapat dibuka lagi karena pedas dan ia lalu menggunakan kedua tangan meraba-raba sana-sini dan berlari menabrak ke kanan-kiri!

“Ha ha ha!” Thian-te Lo-mo tertawa. “Memang kalian orang-orang gila dan masakan tadi sama sekali tidak enak!” Ia mengulur tangan menyambar lain mangkuk di meja sebelah kanan.

Akan tetapi pada saat ia mengulurkan tangan, Ong Tai Kun yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, segera melompat dan menyabetkan pedangnya ke arah tangan yang terulur itu! Inilah gerakan yang disebut Ceng-liong-kian-wi (Naga hijau kibaskan buntut) yang dilakukan cepat sekali sehingga agaknya tangan kakek yang gemar masakan enak itu akan terpotong oleh pedang pangeran Ong!

Akan tetapi, gerakan tangan kakek itu benar-benar mengagumkan. Ketika pedang telah menyambar dekat sekali, tiba-tiba tangannya dibalikkan dan kini bahkan melakukan serangan menotok ke arah pergelangan tangan pangeran Ong yang memegang pedang. Totokan yang dilakukan secara sembarangan ini adalah ilmu tiam-hoat (menotok jalan darah) Coat-meh-hoat, yakni cara menotok tanpa mencari urat tertentu yang diajarkan oleh cabang Bu-tong-pai.

Totokan macam ini, biarpun tidak mengenai urat-urat tertentu seperti Tiam-hwe-louw, ilmu totok dari Siauw-lim-pai, akan tetapi cukup dapat membuat bagian yang tertotok menjadi lumpuh untuk beberapa lama, tergantung dari kekuatan yang tertotok. Memang kelihaiannya tidak seperti ilmu totok Siauw-lim-pai yang mencari jalan-jalan darah tertentu akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai serangan tiba-tiba dalam membela diri.

Melihat gerakan ini, Ong Tai Kun terkejut sekali. Ia telah memiliki kepandaian cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak sudi dikalahkan dengan cara yang begitu saja, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan ketika Thian-te Lo-mo melanjutkan maksudnya semula, yakni mengambil mangkuk itu, ia lalu membarengi dengan serangan Yan-cu-liak-sui (Burung walet sambar air), pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher kakek yang sedang mengambil mangkuk itu.

Dan pada saat itu juga, Ban Kong dari lain jurusan juga telah memukulkan ruyungnya ke arah kepala Thian-te Lo-mo dengan kekuatan luar biasa besarnya. Serangan dua orang kosen yang dilakukan sekaligus ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan dan bagi ahli silat yang belum sempurna sekali kepandaiannya, akan sukarlah menghindarkan diri dari bencana ini. Apalagi kalau ia sedang memegang mangkuk dengan tangan kiri dan tangan kanannya sedang mengerjakan sepasang sumpit untuk menjumput masakan itu.

Akan tetapi, ketika Thian-te Lo-mo sedang mengerjakan sumpitnya di dalam mangkuk, tiba-tiba dua potong bakso yang banyak terdapat di dalam mangkuk itu, mencelat ke kanan kiri dan menyambar mata pangeran Ong dan Ban Kong! Kejadian ini terjadi cepat sekali dan tidak terduga-duga lebih dulu. Kecepatan sambaran bakso yang bundar itu ternyata lebih cepat dari pada sambaran senjata pedang dan ruyung sehingga sebelum kedua senjata itu mengenai sasaran, bakso tadi telah mendahului menyambar mata mereka.

Ong Tai Kun dan Ban Kong yang tidak melihat gerakan sumpit Thian-te Lo-mo, menjadi terkejut sekali karena mengira bahwa benda yang menyambar mata mereka itu adalah senjata rahasia yang berbahaya maka sambil berseru keras, mereka menjatuhkan diri ke samping untuk mengelak sehingga otomatis senjata mereka ikut ditarik kembali dan penyerangan mereka gagal!

Bakso yang menyambar mata pangeran Ong dapat dikelit dan menyambar tembok hingga hancur berantakan. Akan tetapi bakso yang menyambar Ban Kong, ketika dikelit oleh perwira itu, menyambar ke arah seorang perwira yang tinggi besar dan yang berdiri di belakang Ban Kong. Perwira itu sedang berteriak-teriak mengajak kawan-kawannya.

“Ayoh, keroyok beramai-ramai! Ayo.... hepp!!” ucapannya terhenti tiba-tiba dan matanya melotot bagaikan hendak melompat keluar dari rongga matanya karena pada saat itu sebutir bakso yang tadinya dikelit oleh Ban Kong, dengan tepat sekali memasuki mulutnya yang sedang terbuka ketika ia hendak berkata ”maju” dan bakso itu dengan kecepatan luar biasa telah datang memasuki mulut dan terus menyerbu ke dalam sehingga mengganjal kerongkongannya!

Kedua mata orang tinggi besar ini menjadi berputar-putar, mendelik dan mulutnya terbuka, lehernya dipanjang pendekkan dalam usahanya untuk menelan masuk atau mengeluarkan kembali bakso yang mengganjal tenggorokannya itu seperti laku seekor ayam terkena penyakit sawan!

Ia berlari ke sana ke mari, menyambar secawan arak dari meja dan menuangkan arak itu ke dalam mulut dengan maksud mendorong bakso yang nakal itu ke dalam perut. Akan tetapi, karena masuknya bakso itu bukan masuk sewajarnya, akan tetapi tak terduga-duga dan paksaan, maka tidak mudah dikeluarkan sehingga arak itu tak dapat mengalir masuk ke dalam perut dan tertumpah kembali keluar dari mulutnya!

Karena terlalu lama napasnya tertahan oleh bakso itu, si perwira mulai gelisah dan mukanya menjadi biru serta kedua matanya makin besar saja. Kawan-kawannya sudah berusaha menolongnya dengan memukul-mukul punggungnya, akan tetapi sampai punggungnya terasa sakit, bakso yang bandel itu tetap tidak mau melompat ke dalam atau keluar.

Thian-te Lo-mo tertawa berkakakan melihat ini dan berkata, “Ong-ya, ternyata masakanmu tidak sehebat yang dikabarkan orang! Lihat, baksomu demikian liat sehingga perwira itu tidak dapat mengunyahnya dan sekarang bersarang di kerongkongan! Ha ha ha!”

Ong Tai Kun merah mukanya karena marah. Ia melangkah lebar ke arah perwira itu, lalu mengambil sebatang sumpit, menyuruh perwira itu berlutut dan dengan cepat ia menusukkan sumpit tadi ke dalam mulut perwira yang masih terbuka.

Terdengar suara “kek” dan bakso itu didorong dengan paksa memasuki perut si perwira! Perwira itu merasa agak sakit kerongkongannya, akan tetapi kini ia selamat karena bakso yang nakal itu telah terdorong masuk ke dalam perut. Ia dapat bernapas lagi terengah-engah dan berlutut di depan Ong Tai Kun untuk menyatakan terima kasihnya, sedangkan para perwira lain tak dapat menahan kegelian hati mereka dan tersenyum diam-diam.

Pangeran Ong Tai Kun tak dapat menahan marahnya. Ia menudingkan pedangnya kepada Thian-te Lo-mo dan membentak, “Thian-te Lo-mo! Kau berani menghina gedungku. Apakah kau kira kami tak dapat membasmi kau pengacau hina dina ini?”

Setelah berkata demikian, ia lalu mengerahkan semua perwiranya untuk menyerang! Serangan itu datangnya seperti hujan, karena yang menyerang dan mengeroyok kakek itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang yang berkepandaian tinggi!

Sibuk juga Thian-te Lo-mo menghadapi serangan ini, karena biarpun serangan itu masih dapat ia hadapi dengan seenaknya, yakni dengan memutar-mutar sepasang sumpit di tangan kanannya, akan tetapi hal ini membuat ia tidak dapat menikmati masakan-masakan yang hendak dicicipinya itu!

“Pangeran Ong, kau benar-benar tidak tahu aturan!” teriaknya sambil memaki kalang kabut, memaki tiap orang yang menyerang dengan sebutan perwira gila, pembesar gendeng dan sebagainya. “Tamu agung datang tidak disambut baik-baik, bahkan diajak main-main senjata! Kalian mengganggu aku makan saja!”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mencabut cambuknya yang tadi diselipkan di pinggang dan sekali cambuknya berdetak, cambuk itu telah diputarnya dengan gerakan luar biasa cepatnya. Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata terpental dan jatuh di atas lantai dengan suara nyaring! Banyak pengeroyok memegangi muka mereka yang telah diberi hadiah oleh ujung cambuk! Ketika semua orang memandang, kakek itu telah lenyap dari dalam kurungan mereka!

Mereka menjadi heran dan bingung. Kemana perginya kakek gila itu? Apakah ia pandai menghilang? Tak mungkin ia dapat pergi dari situ tanpa mereka lihat. Selagi mereka mencari-cari dan memandang ke sana ke mari, tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dan tahu-tahu semangkok masakan telah terbang dari atas meja dan melayang ke atas!

Semua orang memandang ke atas dan ternyata bahwa kakek yang mereka cari-cari itu telah duduk di atas tiang penglari yang paling tinggi dengan kedua kaki ongkang-ongkang dan kini sedang mencoba isi mangkok yang baru saja ia ambil dari atas meja dengan mempergunakan cambuknya yang lihai!

“Hm, kurang sedap, kurang sedap!” katanya setelah makan sepotong masakan dari mangkok itu. “Udangnya bukan udang dari sungai Huang-ho seperti yang dimasak di dapur kaisar, akan tetapi ini hanya udang sungai Hai-ho!”

Kemudian ia melemparkan mangkok itu ke bawah dan karena kini para pengeroyok itu telah berlaku hati-hati, mereka dapat mengelak dari sambaran mangkok itu yang dengan aneh telah jatuh di atas lantai dengan telungkup dan tidak pecah! Akan tetapi, air kuah dari masakan itu yang memercik ke sana ke mari sukar dikelit sehingga pakaian orang-orang yang berada dekat kena noda-noda kecap dan kuah!

Setelah melempar mangkok tadi, kembali cambuk Thian-te Lo-mo menyambar sebuah mangkok lain dan mulai mencicipi isi mangkok dengan enak, tanpa memperdulikan orang-orang yang berada di bawah.

Pangeran Ong Tai Kun merasa marah bukan main melihat lagak kakek itu. Pangeran ini telah terkenal sebagai seorang pangeran yang selain mempunyai kepandaian tinggi, juga mempunyai banyak perwira yang kosen sehingga jarang ada orang berani mengganggunya.

Bahkan dulu ketika Thian-te Lo-mo mengacau di kota raja, kakek itu tidak mengganggunya dan hal ini sebetulnya hanya hal yang kebetulan saja, akan tetapi telah digunakan oleh pangeran Ong Tai Kun untuk menyombong dan menyatakan bahwa Thian-te Lo-mo tidak berani mengganggu gedungnya!

Tidak tahunya, hari ini kakek gila itu datang-datang menggunakan gedungnya untuk tempat bermain-main dan mengganggu semau-maunya di depan sekian banyak pangeran dan pembesar tinggi! Tentu saja ia merasa terhina sekali dan dengan marah ia lalu mengutus seorang perwira untuk minta bantuan perwira dari istana, dan ia sendiri lalu berseru keras, “Keluarkan am-gi (senjata rahasia) dan serang dia! Panggil barisan panah ke sini!”

Sebetulnya sekian banyak perwira itu tidak ada yang tidak sanggup melompat menyusul ke atas tiang penglari, akan tetapi mereka ngeri untuk melakukan hal ini. Menghadapi kakek sakti itu di atas tiang penglari bukanlah hal yang tidak berbahaya karena sekali mereka kena cambuk dan jatuh dari atas, nyawa mereka sukar ditolong lagi! Kini mendengar usul majikan mereka untuk mempergunakan am-gi, mereka seperti diingatkan dan mereka yang pandai menggunakan senjata rahasia, lalu mengeluarkan am-gi masing-masing.

Ada yang mengeluarkan piauw (besi runcing), ada yang mengeluarkan Bwe-hwa-ciam (jarum bunga bwe) atau senjata rahasia berbentuk paku, uang logam, dan lain-lain. Sebentar saja berhamburanlah senjata-senjata rahasia itu melayang ke arah tubuh Thian-te Lo-mo!

Akan tetapi, dengan enaknya, kedua kaki kakek yang telanjang itu dan yang sedang ongkang-ongkang ke bawah itu, bergerak-gerak seperti anak kecil main-main dan semua senjata rahasia kena ditendang jatuh dan menyambar kembali ke arah penyerangnya! Kepandaian ini benar-benar mentakjubkan sekali dan jarang ada orang berilmu tinggi yang akan sanggup melakukannya!

Thian-te Lo-mo tertawa geli dan cambuknya kembali menyambar dan menangkap sebuah mangkok berisi masakan kacang tanah. Ia tertawa-tawa dan berkata, “He he he, kalian mengajak main-main dan sambitan-sambitan? Boleh, boleh!” Ia lalu menggenggam kacang dari mangkok itu dan melemparkannya ke bawah! Hujan kacang terjadi dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika kacang itu menghujani di atas kepala mereka!

Yang memakai topi masih mending, akan tetapi mereka yang tidak bertopi dan kepalanya telanjang, harus menderita hebat karena kacang-kacang itu jatuh berbunyi “tak-tik-tok” di atas kepala dan terasa amat sakit. Untung bagi mereka bahwa Thian-te Lo-mo tidak mempergunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, jangankan yang bertelanjang kepala, biarpun yang memakai topi tentu akan tembus topinya itu dan kulit kepalanya akan pecah-pecah pula terkena “pelor istimewa” itu!

Orang-orang pada lari cerai berai menjauhi hujan kacang itu dan pada saat itu, seregu barisan panah telah tiba! Akan tetapi sebelum mereka ini dapat bereaksi, tiba-tiba di dalam ruang itu masuk seorang pemuda berpakaian hijau yang tampan dan gagah sekali! Pemuda ini bukan lain ialah Tiong San yang telah kembali dari mengantar Liong Ki Lok dan puterinya sampai di luar tembok kota raja.

Melihat betapa suhunya dikepung dan dikeroyok, Tiong San lalu melepaskan cambuknya dan sekali ia ayun cambuk, lima orang terlilit cambuk dan ketika cambuk disentakkan ke belakang, lima orang itu roboh terguling-guling. Keadaan makin menjadi kacau dan semua orang kini berbalik menghadapi Tiong San yang tersenyum dan berkata, “Guruku sedang menikmati makanan, mengapa kalian mengganggunya?”

“Shan-tung Koay-hiap!” seru Ban Kong yang mengenal pemuda itu dan semua orang kini maju dengan senjata di tangan mengeroyok pemuda itu yang mereka sangka tidak selihai Thian-te Lo-mo!

Akan tetapi mereka kecele, karena secepat kilat cambuk Tiong San menyambar dan karena cambuk itu panjang, maka ia dapat mendahului serangan mereka. Ban Kong berteriak kesakitan dan menutup mukanya karena ternyata hidungnya yang besar telah disambar ujung cambuk dan berdarah!

“Anak gendeng!” Thian-te Lo-mo berkata kepada muridnya ketika melihat kedatangan pemuda itu. “Kau mengobrol yang bukan-bukan! Hidangan di rumah pangeran Ong ini sama sekali tidak ada harganya untuk disebut! Mana bisa menyamai masakan dari dapur istana raja?”

“Memang pangeran ini sekarang menjadi pelit dan tidak menghormati tamu!” jawab Tiong San sambil membabat dengan cambuknya sehingga kembali terdengar pekik kesakitan dan kini yang menjadi korbannya adalah seorang perwira lain yang mencoba untuk menyerangnya dengan senjata rahasia. “Ia sekarang hanya memperhatikan urusan menambah selir dengan memaksa orang baik-baik dan sama sekali tidak memperhatikan masakan enak lagi!”

Sementara itu, Lu Goan Ong dengan mata terbelalak dan mulut menganga memandang kepada Tiong San. Ia masih ingat wajah pemuda ini, maka ia segera melangkah maju dan berseru, “Hai, bukankah kau kawan dari Khu Sin dan Thio Swie?”

Tiong San merasa terkejut sekali mendengar disebutnya dua nama ini, akan tetapi dengan amat pandai ia dapat menyembunyikan perasaannya dan ketika ia memandang kepada pangeran yang bertubuh tinggi besar dan bermata lebar itu, ia teringat bahwa inilah pangeran yang dulu ia jumpai di telaga Tai-hu. Ia tidak mau menjawab, hanya dengan sepasang matanya ia mencari-cari orang yang bernama Ong Tai Kun.

“Aku hendak bertemu dengan pangeran tikus Ong Tai Kun, yang manakah dia?” sambil berkata demikian, ia melangkah maju dengan amat beraninya, berjalan di antara sekian banyak perwira yang tentu saja dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dari kanan kiri atau belakang.

Akan tetapi aneh, sikapnya yang amat berani ini bahkan mendatangkan gentar dalam hati para perwira sehingga tak seorangpun berani menggerakkan tangan. Komandan regu barisan panah hendak menggunakan saat itu untuk mencari jasa, maka ia diam-diam menarik tali busurnya dan hendak menyerang Tiong San.

Akan tetapi tiba-tiba cambuk Thian-te Lo-mo dari atas melayang turun dan busur itu telah terampas! Tiong San sama sekali tidak mau memperdulikan kejadian ini dan membiarkan saja komandan yang terampas busurnya itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandangi busurnya yang telah berada di tangan Thian-te Lo-mo.

“Mana Ong Tai Kun? Harap suka maju!” kata Tiong San kemudian dan ia menyapu semua orang yang berada di situ dengan sudut matanya yang tajam. Akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Keadaan sunyi senyap. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di atas tiang penglari.

“Ha ha ha! Tuan rumah yang mengeluarkan hidangan-hidangan buruk merasa malu untuk mengaku dan menyatakan dirinya! Ha ha ha, murid gendeng, mengapa kau begitu bodoh? Pangeran Ong telah kuberi tanda dengan cambukan sehingga bajunya bagian punggung telah bolong-bolong tanpa diketahuinya!”

Sebenarnya, hal ini tidak betul dan Thian-te Lo-mo sendiri tidak tahu yang manakah pangeran Ong Tai Kun. Ia hanya bicara sembarangan saja, akan tetapi dalam ucapan ini terkandung kecerdikan yang luar biasa, karena otomatis ketika mendengar ucapan ini, Ong Tai Kun dengan terkejut lalu meraba-raba punggungnya dan ternyata bahwa bajunya tidak bolong sama sekali. Ia juga cerdik dan segera insyaf bahwa ia kena ditipu, dan segera menarik kembali tangannya.

Akan tetapi, Tiong San yang cukup mengerti akan hal suhunya ini, tadi telah memasang matanya dengan tajam sehingga gerakan Ong Tai Kun ini sekilat saja dapat dilihatnya sehingga ia dapat menduga bahwa orang muda yang gagah dan tampan inilah tentu tuan rumah bernama Ong Tai Kun yang hendak memaksa Bwee Ji menjadi selirnya.

“Pangeran Ong, majulah kau!” katanya dan tiba-tiba cambuknya meluncur ke arah pangeran itu yang cepat menggunakan pedangnya menangkis.

Akan tetapi, ketika pedangnya membentur ujung cambuk, ia merasa tangannya gemetar dan ternyata bahwa cambuk itu tidak dapat terputus oleh sabetan pedangnya, bahkan ujung cambuk secara istimewa sekali telah melibat pinggangnya! Sebelum ia dapat meronta dan melepaskan diri, tahu-tahu tubuhnya telah ditarik dan melayang bagaikan dilontarkan ke arah Tiong San dan tahu-tahu ia telah jatuh berdiri di depan pemuda tampan itu.

“Pangeran Ong Tai Kun, kau benar-benar jahat dan entah telah berapa banyak anak gadis orang menjadi korbanmu! Ayo kau lekas menulis pengakuan di atas kain ini!” sambil berkata demikian, Tiong San lalu menarik sebuah tirai kuning dari tembok dan membentangkan tirai itu di atas meja setelah dengan tangan kiri ia menggulingkan meja sehingga semua mangkok jatuh ke atas lantai.

“Lekas tulis bahwa kau telah merasa kapok dan tidak mau mengganggu anak bini orang lagi!” Tiong San mengeluarkan sebatang pit dan baknya yang selalu berada di kantong bajunya. “Ayo tulis!”

Tentu saja Ong Tai Kun tidak mau melakukan hal ini dan sambil berseru, “Serbu!” ia lalu mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Tiong San yang berada di depannya, sedangkan para perwira juga mengangkat senjata sehingga sebentar saja pemuda itu telah dihujani senjata!

“Bagus!” Tiong San berseru keras dan tiba-tiba ia melompat jauh, berdiri di atas sebuah meja dan ketika para pengeroyoknya mengejar, ia menggerakkan cambuknya. “Tar....! Tar....! Tar...!” Kembali orang-orang itu mundur dengan kaget dan berteriak kesakitan.

Seperti halnya ketika Thian-te Lo-mo menggerakkan cambuknya tadi, kini cambuk di tangan Tiong San telah mendapat korban dan muka-muka perwira yang telah digurat merah oleh cambuk Thian-te Lo-mo kini bertambah dengan sebuah guratan baru yang lebih merah dan perih!

“Pangeran Ong, kau mencari penyakit!” kata Tiong San dan cambuknya melayang cepat sehingga sedetik kemudian ujung cambuk telah menyambar telinga kiri Ong Tai Kun yang menjadi putus!

Pangeran itu menjerit kesakitan dan menggunakan kedua tangannya untuk memegangi bagian kepala yang kini tak bertelinga itu lagi. Ia hendak lari ke dalam, akan tetapi kembali cambuk di tangan Tiong San bergerak dan membelit kedua kaki pangeran itu sehingga ketika ditarik, pangeran itu roboh terguling!

Tiong San melayang dari atas meja dan segera memegang pundak pangeran itu yang ditekannya kuat-kuat sehingga pangeran Ong Tai Kun merasa betapa tulang pundaknya seakan-akan hendak remuk! “Ampun, Shan-tung Koay-hiap...!” Ia merintih.

Tiba-tiba terdengar Thian-te Lo-mo tertawa bergelak kembali. “Ha ha ha! Murid gendeng, kau ternyata ikut menjadi gila! Aku tidak sudi ikut campur menjadi orang gila, karena kau telah mencampuri urusan dunia yang gila! Aku hendak pergi ke istana kaisar menikmati masakan-masakan hebat di dapurnya!”

Akan tetapi pada saat itu, perwira yang tadi diutus oleh Ong Tai Kun untuk minta bala bantuan dari istana kaisar, telah tiba kembali dan bersama dia ikut dua orang perwira yang bertubuh aneh.

Seorang di antara mereka bertubuh bongkok dengan punggung seperti punggung onta, lehernya panjang sehingga dalam pakaian perwira tinggi ia nampak lucu sekali. Kepalanya yang berambut putih itu menunjukkan ketinggian usianya, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar terang. Inilah Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug!

Orang kedua juga berpakaian perwira dan tubuhnya tak kalah anehnya. Tubuhnya bagian atas, batas pinggang sampai ke kepala berikut kedua lengannya, pendek dan lucu, akan tetapi tubuh bagian bawah batas pinggang sampai ke jari kaki, panjang-panjang. Usianya lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Sin-go Lee Siat, Si Buaya Sakti! Mereka berdua adalah jago-jago atau perwira-perwira kerajaan yang menduduki tingkat kedua atau setingkat lebih tinggi dari pada kedudukan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong!

Melihat kedatangan kedua orang ini, semua perwira dan pangeran bernapas lega, oleh karena mereka telah tahu kelihaian dua orang ini dan mengharapkan bahwa dua orang ini akan dapat menundukkan Shan-tung Koay-hiap dan Thian-te Lo-mo yang lihai! Oleh karena itu, mereka lalu mengundurkan diri jauh-jauh untuk memberi tempat luas bagi kedua orang perwira itu.

Akan tetapi, Tiong San pura-pura tidak melihat kedatangan dua orang aneh ini dan ketika pangeran Ong Tai Kun hendak mengundurkan diri pula, ia cepat mengulurkan tangan dan menekan pundaknya sehingga terpaksa ia menghentikan langkahnya.

“Eh, eh, kau hendak ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kau menuliskan pengakuan itu dengan huruf-huruf besar...!”

Jilid selanjutnya,