Naga Merah Bangau Putih (Ang Liong Pek Ho) jilid 02, karya Kho Ping Hoo - Sui Lan merasa ragu-ragu. Ia tidak mengenal orang ini, siapa tahu kalau ia bukan orang baik-baik? “Terima Kasih, Lopek (sebutan berarti paman atau uwak). Sudah berbulan-bulan aku melakukan perjalanan seorang diri, aku tidak mau mengganggu orang lain.”

Jawaban ini membuat laki-laki itu melenggong. “Eh, kau agaknya bercuriga padaku, Toanio? Hm, ketahuilah aku adalah seorang yang tidak biasa mengganggu wanita! Namaku Lie Kai dan orang menyebutku Tiat-Thouw-Gu (Kerbau berkepala besi).
"Aku pernah menjadi pemimpin sepasukan tentara petani dan Perampok-Perampok sudah mengenalku baik-baik. Tidak seorangpun berani memandang rendah Tiat-Thouw-Gu dan biarpun semua pekerjaan buruk dan jahat telah kulakukan, namun mengganggu wanita adalah sebuah pantangan besar begiku!”
Sui Lan merasa tidak enak sekali karena orang itu telah dapat menduga bahwa ia mencurigai laki-laki itu, akan tetapi mendengar nama julukan ini, ia makin merasa takut, “Tidak, Lopek, aku tidak bercuriga... akan tetapi... kakiku kini sudah kuat, aku telah melakukan perjalanan ratusan li jauhnya dan tak pernah aku mendapat gangguan orang...”
“Hmm, kau seorang wanita yang tabah dan berani, juga keras hati! Ah, Toanio (nyonya)... melihat kau berjalan seorang diri dengan perut besar itu... hatiku tidak tega. Apalagi kalau sampai nanti kau di hadang gerombolan Perampok yang mengganggumu... ah.. aku merasa seperti anak perempuanku sendiri saja yang menderita kesengsaraan itu!”
Mendengar betapa suara laki-laki itu tiba-tiba menjadi halus dan seperti orang terharu, Sui Lan tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, “Kau juga mempunyai seorang anak perempuan, Lopek?”
Tak disangkanya sama sekali bahwa pertanyaan ini merupakan pisau tajam yang menusuk dada laki-laki brewok itu. Ia melompat turun, menghampiri sebatang pohon dan meninju pohon itu sekuatnya, “Krak...!!!” Batang pohon sebesar paha orang itu terkena pukulannya menjadi patah dan roboh seketika itu juga.
Sui Lan menjadi heran dan juga takut, dan mengira bahwa mungkin sekali laki-laki brewok ini miring otaknya.
“Jangan tanyakan itu... jangan tanyakan itu...” kata kata laki laki brewok ini. “Anakku... dia telah meninggal dunia...”
Ketika Sui Lan mendengar ini dan melihat betapa dua butir airmata melompat keluar dari mata orang brewok itu, ia menjadi terharu sekali. Perasaannya yang halus membuat dia menghampiri laki-laki itu dan memegang lengannya lalu berkata perlahan,
“Maafkan aku Lopek, aku tidak tahu akan hal itu... “ dan ketika melihat orang itu masih saja berdiri dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedangkan wajahnya muram sekali tanda akan kesedihan hatinya yang hebat, Sui Lan lalu berkata lagi dengan nada gembira.
“Lopek, aku turut kau! Mari kita berangkat dan kita dapat bercakap-cakap di jalan. Akan lenyap kesunyian hutan yang amat menggangguku. Hayo Lopek!” Ia menarik tangan orang tua itu yang menengok kepadanya dan agaknya sudah sadar kembali dari keadaan yang menekan hatinya dan yang mengingatkannya akan hal-hal yang sedih itu.
“Baik, marilah, anak yang baik! Jangan kau khawatir, kalau ada serigala-serigala hutan berani mengganggumu, akan kupecahkan kepalanya!”
“Serigala? apakah di hutan ini ada serigalanya, Lopek?”
Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau berkepala besi itu tertawa terbahak-bahak. “Ah, anak bodoh! mana ada serigala disini? Yang kumaksudkan adalah serigala-serigala kaki dua.” Sambil berkata demikian, ia melompat keatas kuda setelah melihat bahwa Sui Lan telah duduk dengan baik didalam gerobak, lalu ia melarikan kudanya.
Sui Lan menarik nafas senang. Memang lebih enak naik gerobak daripada berjalan kaki. Selain kakinya tidak lelah juga perjalanan ini juga akan lebih cepat. Sayang sekali jalan yang dilalui gerobak itu banyak kerikilnya dan tidak rata sehingga gerobak itu terhuyung-huyung ke kanan kiri, depan belakang, dan ia seakan-akan dikocok-kocok di dalam gerobak. “Lopek, jangan terlalu cepat...“ katanya.
Lie Kai menengok dan tiba-tiba ia teringat bahwa wanita yang dibawanya itu sedang mengandung, maka ia cepat menahan kendali kudanya dan kini kudanya itu berjalan biasa sehingga Sui Lan tidak terlalu banyak menderita.
Tiba-tiba Lie Kai si Kerbau Berkepala besi yang duduk diatas kudanya, berdongak keatas dan terdengarlah ia bernyanyi dengan suara yang parau dan keras sekali. Suara nyanyiannya terdengar gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak sesuai dengan irama yang gembira dan bersemangat itu, karena kata-katanya merupakan sebuah keluhan.
“Tuan tanah kejam merampas sawah ladang. Bini dan anak oleh Thian dipanggil pulang. Kini tanah air dirampas oleh musuh pula. Aah! pegang golok seorang diri, apakah gunanya?”
“He, Lopek! Kau agaknya gembira sekali!”“Gembira katamu?” Si brewok itu menengok sebentar. “Aku sedang mengeluh! Habis, apakah kau suruh aku menangis? Apa gunanya tangis dan duka? Tiada gunanya, bukan? Lebih baik hadapi segala kepahitan hidup dengan senyum dan tawa!” Kata-kata yang kasar dan bersahaja ini berkesan di dalam hati Sui Lan.
“Lopek, apakah kau bahagia?”
“Bahagia? Apakah itu bahagia? Aku gembira, itu sudah pasti. Betapapun juga rahasia hatiku, aku memaksakan diri supaya bergembira. Kalau kebahagiaan diukur dari senyum atau tawa atau dari wajah berseri, atau dari kesehatan tubuh, ataupun dari makan dan pakaian cukup, nah, kau boleh sebut aku berbahagia!”
“Lopek, hidupmu tentu penuh dengan pengalaman-pengalaman hebat. Alangkah menariknya kalau kau mau menceritakannya kepadaku.”
Akan tetapi sebelum Lie Kai menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras berseru. “Hai...! Tukang gerobak, berhenti!” Suara ini muncul dari arah kiri dan tak lama kemudian muncullah berlompatan tujuh orang tinggi besar dari belakang pohon-pohon besar! Tujuh orang itu kesemuanya berwajah galak menyeramkan sedangkan ditangan mereka nampak golok mengkilap!
“Aduh, Lopek... lekas larikan kuda! Mereka itu tentu Perampok jahat!” kata Sui Lan perlahan dengan tubuh gemetar saking takutnya.
Lie Kai menengok kepadanya dan berkata sambil tertawa, “Jangan takut, mereka itu hanya serigala-serigala kaki dua yang kukatakan tadi.” kemudian ia memajukan kudanya, bahkan menghampiri tujuh orang tadi yang memandang ke arah gerobak dengan penuh perhatian.
“He, Tukang gerobak!” membentak seorang diantara mereka yang memakai ikat kepala merah dan agaknya menjadi pemimpin mereka. “Lekas kau turun dari kuda, tinggalkan kuda, gerobak dan semua isinya!” Seorang diantara mereka yang semenjak tadi memandang kearah Sui Lan sehingga yang dipandanginya menjadi semakin ketakutan, berkata sambil tertawa.
“Ha..ha..ha..! Tukang gerobak, macammu buruk, usiamu sudah setengah tua, akan tetapi isterimu cantik sekali, ha..ha..ha!”
Tadinya Lie Kai hendak menjawab ucapan si kepala Perampok, akan tetapi ketika mendengar ucapan orang ini, ia lalu balas memandang dan menjawab sambil tersenyum. “Tolol! Dia bukan isteriku, melainkan anakku. Butakah matamu bahwa aku adalah Ayahnya?”
“Aha, kalau begitu kebetulan sekali!” kata Perampok yang mata keranjang itu. “Kau boleh tinggalkan semua ini, termasuk juga anak perempuanmu itu!”
“Sam-te (adik ketiga), jangan banyak bicara saja!” mencela kepala Rampok tadi. “Seret saja si tua itu dari atas kuda!” Anggota Perampok yang mata keranjang itu lalu maju dan membentak.
“Turun Kau!” sambil berkata demikian ia lalu menangkap lengan kanan Lie Kai lalu dibetotnya dengan keras dengan maksud agar supaya si brewok itu jatuh terjungkal dari kudanya.
Akan tetapi akibat perbuatannya ini sungguh ajaib dan hebat. Bukan Lie Kai yang terjungkal dari atas kuda, sebaliknya Perampok itu yang terbetot keatas dan sekali Lie Kai menggerakan tangannya, Perampok itu mencelat keatas tinggi sekali! Perampok itu menjerit ngeri dan ketika tubuhnya jauh kembali ke atas tanah, debu mengepul tinggi dan terdengar ia bersuara, “Ngekk!!” lalu rebah tak berkutik lagi!
Tentu saja keenam orang Perampok yang lain merasa terkejut setengah mati, juga marah sekali. Serentak lalu mereka maju dengan golok terangkat ditangannya, akan tetapi tahu-tahu tubuh Lie Kai telah melompat turun dan menghadapi mereka. Amat mengagumkan gerakan Lie Kai ini. Agaknya sukar dapat dipercaya tubuh yang tinggi besar dan kaku itu dapat melompat selincah dan seringan itu, bagaikan daun kering tertiup angin saja, tanpa bersuara kakinya menginjak bumi.
Kemudian, sebelum ada golok yang sempat menyambarnya, tubuh Lie Kai berkelebat menyerang dengan gerakan yang tak terduga cepatnya. Terdengarlah suara, “Duk! Plak! Ngeek!” ketika kedua tangannya membagi pukulan tamparan dan tendangan yang mengenai kepala, pipi, atau perut Perampok itu, disusul terikan-teriakan
“Aduh...! Ampun...!” dan disusul pula dengan robohnya tiga orang Perampok!
Kepala Perampok itu menjadi marah sekali dan secepat kilat goloknya menyambar, disusul dengan dua orang kawannya yang juga menusuk dada dan pinggang Lie Kai. Si brewok ini sambil tertawa bergelak mengelak sambaran golok kepala Rampok yang mengarah ke lehernya dengan merendahkan tubuh.
Golok yang menusuk dadanya dia sambut dengan pukulan tangan dengan jari-jari terbuka yang dihantamkan dari pinggir mengenai permukaan golok. “Krak!” Golok itu terkena pukulan tangannya menjadi patah tengahnya. Sedangkan golok yang membabat pinggangnya itu disambut dengan tendangan kakinya ke arah pergelangan lawan.
“Blek!” Lengan yang kena tendang itu patah tulangnya dan goloknya mencelat jauh entah kemana! Sebelum ketiga orang Perampok itu hilang rasa kagetnya, Lie Kai sudah bergerak maju cepat sekali, tangan kanan menangkap baju kepala Perampok itu pada dadanya, tangan kiri memukul ke kiri dan sebuak tendangan merobohkan ke dua penjahat yang lain!
Kepala Rampok yang terpegang bajunya itu mencoba untuk menyerang dengan golok, akan tetapi sebuah ketokan pada sambungan sikunya membuat ia memekik kesakitan karena sambungan tulang pada sikunya terlepas dan tangannya menjadi lumpuh. Dengan sendirinya golok terlepas dari pegangan.
Lie Kai melanjutkan gerakannya dan ketika dua ujung jari tangannya menotok iga, kepala Rampok itu memekik kesakitan dan ketika Lie Kai melepaskan pegangannya, kepala Rampok itu lalu berputar-putar bagaikan ayam terpukul batok kepalanya! Kemudian, sambil menahan rasa sakit yang hebat pada iganya, ia lalu mejatuhkan diri berlutut di hadapan Lie Kai yang tertawa bergelak.
“Ha..ha..ha..! Segala macam Rampok kecil bermata buta! Kau berani mencoba-coba bermain gila di depan Tiat-Thouw-Gu Lie Kai?”
Bukan main terkejutnya kepala Rampok itu mendengar nama ini. “Ampunkan mataku yang telah buta, tidak melihat gunung Thai San menjulang tinggi di depan mata! Tai Ong (raja besar, sebutan yang lazim untuk kepala Rampok besar) ampunkanlah Siauwte (sebutan untuk diri sendiri untuk merendah)!”
Akan tetapi, Lie Kai menjadi marah dan sekali kaki kirinya bergerak, ia telah menendang kepala Rampok itu sehingga berguling-guling beberapa kali jauhnya! “Anjing busuk! Siapa sudi kau sebut Tai Ong? Sudahkah kau mendengar bahwa telah sepuluh tahun lebih aku mencuci tangan? Pernahkah kau mendengar selama ini bahwa Lie Kai melakukan Perampokan? Buka matamu dan pasang telingamu baik-baik, bangsat!”
Kepala Rampok itu menjadi girang sekali karena biarpun dia ditendang, namun tendangan itu ternyata membebaskannya dari totokan yang amat menyakitkan iganya itu. Ia berlutut lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam makan gabah. “Ampun, sekali lagi ampunkan hamba, Taihiap (pendekar besar). Hamba sekali-kali tidak sengaja menyinggung perasaan Taihiap!”
“Hush, tutup mulutmu dan jangan banyak cakap pula. Siapa sudi kau sebut Taihiap? Aku bukan seorang pendekar. Tanah air dijajah musuh aku tidak dapat mencegah, mana patut aku disebut pendekar? Sudahlah, aku ampunkan kalian dan ini obat untuk penyambung tulang dan untuk mengobati luka-luka!” Ia melemparkan bungkusan kepada kepala Perampok itu, kemudian berkata pula,
“Akan tetapi awas kau kalau sampai lain kali aku mendengar kalian mengganggu para pelancong atau penduduk yang tidak berdosa. Contohlah aku ketika masih menjadi tokoh Liok-Lim (lembah hijau) dulu! Yang kuganggu hanyalah hartawan-hartawan pelit, tuan tanah-tuan tanah penghisap rakyat, dan pembesar-pembesar yang kejam! Sekarang korban-korbanmu lebih banyak pula. Tanah air telah dijajah oleh musuh dan semua pembesar negeri boleh kau ganggu, merekalah musuh-musuhmu!”
Setelah berkata demikian, Lie Kai lalu melompat keatas kudanya lagi, akan tetapi sebelum menjalankan gerobaknya, ia menengok kearah Sui Lan yang memandangnya dengan penuh kekaguman, maka berkatanya ia kepada kepala Rampok itu sambil menunjuk kepala Perampok mata keranjang yang masih pingsan karena bantingannya tadi.
“Dan Kau jagalah baik-baik orang itu! Kalau ia masih melanjutkan wataknya yang suka mengganggu wanita, lain kali akan kuhabisi nyawanya!” Lie Kai lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati puas. Terdengar ia bernyanyi-nyanyi lagi dan lagunya masih seperti tadi, riang gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya juga masih syair yang merupakan keluh-kesah tadi!
Kini lenyaplah keraguan dalam hati Sui Lan terhadap orang tua ini. Ia menjadi amat kagum akan kegagahan Lie Kai dan sepak terjangnya terhadap para Perampok itu benar-benar membuat ia memandang orang tua itu dengan penuh penghormatan. Pernah Sui Lan mendengar tentang pendekar-pendekar gagah perkasa, dan kalau pendekar-pendekar itu tadinya hanya menjadi semacam dongeng saja baginya, kini, ia merasa yakin bahwa pendekar-pendekar itu memang ada dan Lie Kai adalah seorang diantaranya.
Hidupku sebatang kara, aku seorang lemah, miskin, dan tak seorangpun mau melindungiku. Alangkah baiknya kalau ia mendapat pelindung seperti orang orang ini, demikian Sui Lan berpikir ia teringat betapa orang tua itu tadi mengaku dia sebagai anaknya dan hatinya terasa hangat mengenang hal ini. Tidak terasa pula, ia segera memanggilnya. “Lie-Lopek (Uwak Lie)!”
Lie Kai menghentikan kudanya dan menengok. “Apakah aku menjalankan gerobak terlalu cepat?” tanyanya sambil tersenyum.
Senyum itu membuat hati Sui Lan terharu, karena hanya bibirnya yang tersenyum, sedangkan pandangan mata orang tua itu membayangkan kedukaan besar yang ditekan-tekannya. Sui Lan menggelengkan kepalanya dan berkata.
“Tidak, tidak terlalu cepat, aku hanya ingin menyatakan terima kasih kepadamu, Lie-Lopek. Kalau tidak ada kau yang menolongku, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Kalau aku berjalan seorang diri lalu bertemu dengan orang-orang tadi... ah tentu aku telah mati mereka bunuh atau bunuh diri!”
Lie Kai maklum akan maksud kata-kata Sui Lan, akan tetapi ia hanya tertawa dan berkata, “Hanya ini saja? Ha... ha... kau lucu! Bertemu dengan kau ataupun tidak, aku pasti akan membasmi Perampok-Perampok itu apabila berjumpa dengan mereka. Untuk apa terima kasih? Tak perlu kata-kata kosong itu!” Setelah berkata demikian, LIe Kai menjalankan kudanya lagi.
“Lie-Lopek...!”
Lie Kai menghentikan kudanya lagi dan menengok. “Ada apa lagi? Kau membutuhkan sesuatu?”
Kembali Sui Lan menggeleng kepala. “Tidak, Lie-Lopek, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku senang sekali mendengar kau tadi mengakui kepada Perampok itu bahwa aku adalah anakmu! Ah... kalau saja hal itu benar-benar, aku... akan suka sekali menjadi anakmu!”
Merahlah wajah Lie Kai mendengar ini. “Ah, maafkan aku Toanio. Tadi aku hanya biacara untuk menjawab Perampok yang kurang ajar itu. Mana patut aku menjadi Ayahmu? Dan pula, kau tentu mempunyai Ayah-Ibu yang berbahagia serta Suami yang bijaksana...”
Kata-kata ini serasa menusuk ulu hati Sui Lan dan sambil meramkan mata, Sui Lan mencoba untuk menahan air matanya, akan tetapi tetap saja air matanya mengalir turun membasahi pipinya.
“Eh… eh... kau kenapakah?” tanya Lie Kai terheran-heran.
Sambil menghapus air matanya dengan saputangan, Sui Lan berkata, “Aku... aku telah yatim piatu... “
Lie Kai terkejut dan memandang dengan melongo, “Aduh kasihan! dan... Suamimu...? dimanakah dia? Mengapa membiarkan kau pergi seorang diri?”
Ditanya demikian, makin deraslah keluarnya air mata Sui Lan. Sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, ia menjawab terisak-isak, “Aku... aku tidak mempunyai Suami...”
Tiba-tiba Lie Kai menggerakan tubuhnya dan dari atas kuda ia melompat dan tahu-tahu telah berdiri di depan Sui Lan, didalam gerobak. “Apa kau bilang? Sudah… meninggal duniakah dia?”
Sui Lan tidak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepalanya sambil menangis makin sedih.
“Kalau begitu apakah dia telah menceraikanmu? telah meninggalkanmu?”
Kembali Sui Lan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lie Kai menjadi hilang sabar. Dipegangnya kedua pundak Sui Lan dan berkatalah dia keras-keras. “Anak, dengarlah! lihat mukaku dan percayalah kepadaku! Kalau dia meninggalkanmu, akulah yang akan mencarinya dan menyeretnya kembali serta memaksanya minta ampun kepadamu!”
Makin sedih Sui Lan menangis dan Lie Kai lalau memegang dagunya dan mengangkap muka itu, memaksa Sui Lan memandangnya melalui air mata yang masih menderas keluar.
“Katakanlah! Dimana Suamimu dan mengapa kau seorang diri saja Bukankah kau hendak pergi ke An-Sin-Kwan untuk mencari keluargamu seperti yang kau katakan tadi?”
“Tidak... aku... aku tiada keluarga, aku tidak mempunyai siapapun juga didunia ini... aku sebatang kara, tiada tempat tinggal, tanpa tujuan... merantau kemana saja, kakiku membawaku... aku... aku... “ tidak melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi.
“Dengar!” Lie Kai dan matanya menjadi merah karena menahan keharuan hatinya. “Aku Ayahmu, bukan? Kau tadi ingin menjadi anakku, bukan? Nah sekarang kau menjadi anakku! Hayo kau ceritakan terus terang kepada Ayahmu mengapa keadaanmu menjadi begini!”
Bukan main terharunya rasa hati Sui Lan dan sambil menjerit dia lalu menjatuhkan kepalanya di dada orang tua itu lalu menangis tersedu- sedu. Lie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya dan diam-diam ia meramkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air matanya.
“Mari kita turun” katanya sambil menuntun Sui Lan turun, “Kita beristirahat sebentar melepas lelah. Kau ceritakanlah keadaanmu kepadaku, dan siapa pula namamu, karena sungguh amat lucu kalau seorang Ayah seperti aku tidak mengenal nama anaknya sendiri!”
Keduanya lalu duduk di bawah pohon yang teduh dan setelah dapat meredakan keharuan hatinya, Sui Lan menceritakan riwayatnya mengaku bahwa namanya Ma Sui Lan dan bahwa semenjak berusia sepuluh tahun ia telah dijual oleh Ayahnya untuk membayar hutang, betapa kemudian ia menjadi pelayan di rumah gedung Pangeran Liok Han Swee sampai mejadi dewasa.
Dengan terus terang dia menceritakan perhubungannya dengan Houw Sin, dengan panjang lebar ia menceritakan tentang segala peristiwa itu sehingga pengalamannya yang penuh derita semenjak berpisah dari Houw Sin.
Mendengar penuturan Sui Lan, Lie Kai mengeleng-gelengkan kepalanya dan berkata menghela nafas berkali-kali. “Ah anak bernasib buruk, yang semenjak kecil sudah harus menelan segala kepahit getiran hidup! Anak bodoh, yang menurutkan perasaan hati dan mudah tergoda oleh cinta dan nafsu! Kasihan sekali... kasihan sekali...!”
Dengan Sedih Sui Lan berkata, “Lopek.. kau telah mendengar semua riwayatku yang penuh kecemaran... yang buruk... memang aku telah lemah, tak berpikir panjang, mabok oleh cinta, runtuh oleh godaan iblis... akan tetapi aku tidak menyesal Lopek. Aku cinta kepadanya... Lopek, kau tentu jijik melihatku, apakah kau masih mau mengaku anak kepada seorang wanita yang... yang mengandung diluar pernikahan yang sah?”
“Mengapa tidak?” Lie Kai membelakakkan matanya, “Aku kasihan kepadamu, dan aku akan senang sekali menjadi Ayah angkatmu.”
Bukan main besar dan girangnya hati Sui Lan mendengar ini. Seketika itu juga lenyaplah segala perasaan berat yang selama ini menekan hatinya, timbul pula pengharapannya. Ia segera berlutut dan berkata sambil mengucurkan ait mata.
“Terima kasih... terima kasih Ayah... aku berjanji hendak menjadi seorang anak yang berbakti. Aku selalu rindu kepada seorang Ayah... dan tentang Ayah anak yang kukandung ini, kalau saja aku dapat bertemu dengan dia, tentu dia akan menerimaku sebagai isterinya. Aku yakin akan hal itu, karena dia... dia mencintaiku!”
“Mudah-mudahan begitu Sui Lan. Hal ini kuharapkan benar, sungguhpun aku merasa ragu-ragu, karena aku telah mengenal hati laki-laki, yang mudah menyatakan cinta dan mudah pula melupakannya. Aku maklum benar bahwa diantara seratus orang wanita di dunia ini hanya seorang dua orang saja yang dapat berlaku curang dan tidak setia, akan tetapi sebaliknya diantara seratus orang pria, hanya seorang atau dua orang saja yang dapat berlaku jujur dan setia!”
“Ayah, kau sungguh mulia! Kau sudah mendengar riwayatku yang penuh noda, namun kau tetap sudi menjadi Ayahku. Alangkah bahagianya rasa hatiku, kau seakan-akan memberi api kehidupan baru dalam dadaku!"
Lie Kai tersenyum, sungguhpun matanya makin muram ketika ia menjawab, “Jangan menganggap demikian anakku. Kau belum mendengar riwayatku, dan kalau kau sudah mengetahui keadaan riwayatku dimasa lalu, mungkin kau takkan memandangku demikian tinggi. Akupun hanya seorang yang telah penuh dengan dosa.”
Kemudian dengan singkat Lie Kai si Kerbau berkepala besi menceritakan riwayat hidupnya. Lie Kai adalah seorang putra seorang petani yang tinggal disebuah dusun kecil di propinsi Hok-Kiau. Semenjak kecil ia hidup sengsara karena Ayahnya memiliki sebidang sawah yang tidak berapa besarnya.
Kepala daerah mengadakan peraturan pajak sawah luar biasa beratnya, ditambah pula oleh kepala dusun yang dengan cerdiknya menambahkan biaya-biaya penjagaan keamanan kampung dan lain-lain sehingga hasil sawah itu hampir habis dibayarkan pajak-pajak ini! Ini kalau tidak terjadi bencana alam menimpa.
Pada musim kering, atau dikala hujan turun terus menerus sehingga air sungai membuat sawah ladang menjadi telaga, keluarga-keluarga tani miskin seperti keluarga Lie ini terpaksa mengikat diri dengan uang pinjaman dengan bunga yang mengikat dan mencekik leher. Tentu saja keadaan ini membuat mereka makin lama makin dalam tenggelam di lautan hutang.
Jangankan untuk membayar induk hutang, sedangkan untuk membayar anakannya saja sudah setengah mati. Tak mengherankan apabila hutang yang mula-mula tak berapa besar itu lama-kelamaan menjadi berlipat ganda dan akhirnya mencapai jumlah yang tidak mungkin di bayar lagi. Kalau sudah demikian halnya, maka boleh dikatanya kehidupan sekeluarga berada dalam cengkraman kuku para pelepas uang panas itu.
Demikian pula keadaan Ayah Lie Kai yang bertambah tahun tambah tenggelam dan terpendam dalam lumpur hutang sampai lehernya. Akan tetapi keadaan yang buruk ini belum diketahui oleh Lie Kai yang semenjak usia dua belas tahun telah pergi berguru ilmu silat dari seorang Hwesio berilmu tinggi. Ayah Lie Kai yang bernama Lie Cit amat mencinta putera tunggalnya itu dan ketika Lie Kai pulang enam tahun kemudian, ia segera menikahkan puteranya itu dengan seorang gadis dusun yang amat sederhana.
Perayaan pernikahan ini, sesungguhnya amat sederhana, tapi tetap saja membutuhkan biaya yang lumayan dan kembali Lie Cit yang tak berdaya diam-diam lari kepada tuan tanah yang memberi hutang kepadanya dan meminjam uang baru dengan bunga yang lebih besar.
Tiga tahun kemudian, keadaan Lie Cit tak dapat dipertahankan lagi. Hutangnya telah terlampau banyak dan bunga-bunga uang itu makin memperbesar jumlah utang. Akhirnya tuan tanah merangkap lintah darat pelepas uang panas itu menagih dan lalu meminta pertolongan pembesar setempat. Karena surat hutang menjadi bukti, akhirnya sawah Lie Cit yang tak berapa besar itu dirampas untuk membayar hutang, itupun masih belum dapat melunasi hutangnya.
Lie Kai menjadi marah sekali. Ia segera mendatangi tuan tanah itu dan memuncaklah amarahnya ketika ia melihat dari surat hutang bahwa hutang Ayahnya sesungguhnya tidak begitu besar jumlahnya. Akan tetapi waktu yang belasan tahun lamanya itu yang telah membuat jumlah hutang menjadi puluhan kali banyaknya! Lie Kai yang berkepandaian tinggi hendak mengamuk dan menghajar tuan tanah itu.
Akan tetapi isterinya menangis melarangnya, sambil menggendong seorang anak perempuan yang masih kecil. Melihat isteri dan anaknya, lemah kembali hati Lie Kai dan ia hanya menekan kebenciannya terhadap tuan tanah itu.
Akan tetapi, tuan tanah itu ketika mendengar Lie Kai marah-marah dan hendak menyerbu rumahnya, menjadi khawatir dan segera ia meminta pertolongan pembesar setempat mengajukan tuntutan agar Lie Kai ditangkap dengan tuduhan mengancam jiwanya dan disamping itu ia menuntut pula dibayarnya sisa hutang yang belum lunas.
Kejadian ini amat menyusahkan hati Lie Cit yang sudah tua sehingga ia jatuh sakit dan meninggal dunia beberapa lama kemudian. Dan diwaktu Lie Kai masih berkabung, datanglah pengawal pengawal pembesar setempat untuk menangkapnya! Tentu saja hal ini membuat Lie Kai naik darah dan ia tidak dapat mengendalikan hatinya lagi.
“Jahanam busuk, manusia-manusia terkutuk!” teriaknya marah. “Sudah merampas sawah menghancurkan hati Ayah sehingga Ayah meninggal, kini datang hendak menangkap dan menghina kami sekeluarga! Benar-benar kalian ini iblis-iblis bermuka manusia! Apakah kau kira tidak ada pengadilan lagi di dunia ini? Kalau pengadilan pemerintah diselewengkan untuk menjadi kepentingan si kaya menindas si miskin, kalau Thian tidak menoleh lagi pada manusia miskin yang tertindas, masih ada pengadilan lain yang akan menghukum kalian. Dan inilah hakimnya!”
Sambil berkata demikian Lie Kai mencabut dan mengacungkan goloknya, lalu mengamuklah Lie Kai dengan hebat! Para pengawal dan penjaga yang berjumlah puluhan orang lalu datang menyerbu dan mengepungnya bahkan ada penjaga yang menyerang Ibu dan isterinya sehingga kedua wanita itu menjerit dan roboh mandi darah tak bernyawa lagi! Anak perempuannya yang baru berusia dua tahun terlempar dari gendongan Ibunya dan menangis keras.
Bukan main marahnya hati Lie Kai melihat ini. Matanya menjadi beringas bagaikan mata seekor harimau dan ia mengamuk makin hebat setelah berhasil menolong dan mengendong anaknya. Goloknya yang putih sampai menjadi merah karena darah manusia dan lebih dari setengah jumlah pengeroyoknya roboh tak bernyawa lagi. Sebagian lagi merasa jerih dan ngeri melihat amukan Lie Kai yang amat tangguh itu dan mereka melarikan diri cerai berai.
Dengan nafsu amarah masih meluap-luap dan kesedihan yang luar biasa melihat Ibunya dan isterinya menggeletak mandi darah dan tidak bernyawa lagi, Lie Kai sambil menggendong anaknya dengan tangan kiri lalu berlari cepat mendatangi rumah tuan tanah, membunuh tuan tanah itu yang menimbulkan malapetaka pada keluarganya. Kemudian iapun pergi kepada pembesar yang diperalat oleh tuan tanah itu dengan maksud untuk membunuhnya pula.
Akan tetapi ia telah terlampau lelah dan juga pembesar itu mempunyai banyak pengawal sehingga usahanya ini tidak berhasil bahkan hampir saja ia tertawan. Lie Kai melarikan diri sambil membawa anaknya yang menangis disepanjang jalan. Demikianlah anak perempuannya yang bernama Lie Eng yang semenjak kecil di didiknya menjadi seorang ahli silat yang pandai.
Lie Kai hidup sebagai seorang Perampok yang sebentar saja amat terkenal karena kegagahannya. Juga Lie Eng semenjak kecil hidup di hutan-hutan digunung-gunung bersama Ayahnya, menjadi seorang gadis yang cantik akan tetapi liar. Karena diatas dunia ini, ia hanya mempunyai Lie Eng seorang, maka tidak mengherankan apabila Lie Kai amat kasih kepada puterinya itu, amat memanjakannya. Hanya satu saja cita-citanya yakni mencarikan Suami yang baik bagi Lie Eng.
“Eng ji (anak Eng),” ia seringkali berkata kepada puterinya, “Ayahmu telah banyak menderita dan semua itu bukan semata-mata dikarenakan jahatnya manusia, akan tetapi sesungguhnya terutama sekali karena buruknya keadaan dan buruknya pemerintahan Kaisar.
"Bukan hanya Ayahmu seorang yang menjadi korban, melainkan masih ada rIbuan, laksaan, bahkan jutaan orang lain yang hidup sengsara, tertindas oleh pembesar-pembesar jahat dan terperas oleh lintah-lintah darat dan tuan-tuan tanah. Negara sedang kacau balau dan hanya dengan kepandaian tinggi saja kita bisa menjaga diri. Oleh karena itu, kau harus menjadi seorang isteri dari pemuda gagah perkasa!
"Menjadi isteri seorang berpangkat sama halnya dengan menikah dengan seorang penjahat kejam! Menjadi isteri seorang pemuda sasterawan atau pemuda tani sama halnya menikah dengan seorang pemuda lemah yang takkan mampu melindungi keluarganya!"
Kalau mendengar Ayahnya berbicara tentang pernikahan, Lie Eng hanya tersenyum dengan muka merah dan berkata, “Ayah, siapa sih yang sudah rindu akan pernikahan? Aku tidak sudi menikah dan tidak suka meninggalkan Ayah seorang diri!”
Lie Kai tertawa tergelak dan didalam hatinya ia berkata, “Hemm, anak sombong... kau belum bertemu dengan pemuda yang akan mencuri hatimu. Kalau sudah bertemu dengan calon jodohmu, ha... hendak kulihat apakah engkau masih akan mengeluarkan ucapan ini.”
Akan tetapi, ternyata jodoh gadis itu yang datang bukan seorang yang menjadi idaman hati Lie Kai. Pada suatu hari, di hutan tempat mereka bertinggal itu lewatlah seorang pemuda sasterawan yang baru kembali dari Kotaraja dimana ia menempuh ujian, Lie Kai dan Lie Eng keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadang pemuda itu.
Pemuda ini bernama Bun Hak Lee, seorang pemuda yang tampan sekali dan juga cerdas otaknya. Melihat pemuda ini, seketika juga Lie Eng yang tinggi hati runtuhlah keangkuhannya dan hatinya penuh oleh kasih sayang yang luar biasa! Lie Eng minta kepada Ayahya untuk menahan pemuda itu dengan alasan bahwa ia ingin mempelajari ilmu membaca dan menulis.
Hal ini disetujui oleh Lie Kai yang juga selalu kecewa kalau mengingat bahwa puterinya itu setengah buta huruf karena selain ia sendiri hanya mengerti sedikit tentang huruf. Juga tidak ada kesempatan banyak membaca dan menulis, sedikit pengertian yang diajarkannya kepada puterinya itu takkan berguna.
Demikianlah, pemuda Bun Hak Lee ditahan dan tinggal bersama dalam sebuah pondok yang dijadikan tempat tinggal Ayah dan anak itu di tengah hutan. Dan selama Lie Eng mempelajari ilmu surat, sama sekali ia tidak mendapatkan kemajuan. Oleh karena kini ia telah jatuh hati betul-betul dan agaknya Bun Hak Lee menyambut perasaan ini dengan baik.
Siapa orang yang tidak tertarik dan jatuh cinta menghadapi seorang dara yang demikian cantik dan gagah seperti Lie Eng? Akhirnya Lie Kai tahu juga akan hubungan asmara antara puterinya dan pemuda itu, ia menjadi marah- marah dan mengusir Bun Hak Lee. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat puterinya melangkah maju dan berkata dengan berani.
“Ayah, jangan kau mengusir Bun-siangkong pergi dari sini! Aku... Aku masih sedang mempelajari ilmu menulis.”
Apa…? Apa gunanya ilmu coret-coret dengan pit itu? Lagipula, kalau hanya belajar menulis saja, aku dapat mencarikan guru yang lebih pandai lagi. Pemuda ini harus lekas pergi dari sini, sekarang juga!”
Akan tetapi Lie Eng makin berani sikapnya. “Tidak Ayah, Aku tidak mau belajar dari lain orang. Kalau... Kalau Ayah mengusirnya, aku mau ikut pergi dengan dia!”
Bagaikan bunyi halilintar menyambar rasanya ucapan anaknya ini bagi Lie Kai. “Apa katamu? Sudah gilakah kau??”
“Ayah...” Dan kini suara Lie Eng penuh permohonan, “Tidakkah kau tahu? tidak dapatkah kau melihat bahwa aku tak dapat ia tinggalkan....?"
Melihat keadaan gadis yang dicintanya itu dalam keadaan seperti itu, Bun Hak Lee merasa kasihan dan dengan tabah ia lalu menjura kepada Lie Kai.
“Lo-Enghiong (orang tua gagah), terus terang saja aku katakan bahwa antara anakmu dan aku telah ada perjanjian untuk sehidup semati menjadi kawan hidup selamanya. Aku mencintainya dan ia... iapun suka kepadaku dan...”
Tidak dapat dikendalikan lagi amarah yang mengamuk dalam dada Lie Kai. Ia berseru keras. “Bangsat, kau harus mampus!” dan melompatlah ia dengan serangan hebat, memukul ke arah dada Bun Hak Lee.
Akan tetapi tiba-tiba Lie Eng melompat dan menangkis lengan Ayahnya sehingga tubuh gadis itu terpental jauh. Biarpun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi, namun ia bukan tandingan Ayahnya dan tenaganya jauh kalah besar.
Lie Kai terkejut sekali melihat gerakan puterinya dan ini memperbesar amarahnya terhadap Bun Hak Lee. Ia menerkam lagi untuk membinasakan pemuda itu dengan sekali pukul, akan tetapi kembali Lie Eng yang sudah melompat bangun itu menghadang di depan Bun Hak Lee dan menangkis pukulan Ayahnya.
“Eng-ji! Kau berani membela dia dan melawan Ayahmu sendiri?” Lie Kai bertanya dengan muka pucat.
Sebagai jawaban, Lie Eng mencabut pedangnya. “Ayah, aku tidak sekali-sekali berani melawan Ayah, dan biarpun aku melawan juga, aku takkan dapat menang, dan akhirnya Bun-siangkong akan tewas juga. Ayah, kau pasti akan dapat menewaskan Bun- siangkong, akan tetapi jangan harap akan dapat memisahkan kami, karena begitu Bun-siangkong tewas ditanganmu, akupun akan tewas di ujung pedangku sendiri!” Sikap gadis itu berani dan nekad dan dari pandang matanya.
Lie Kai maklum bahwa kata-kata ini bukanlah ancaman belaka. “Eng-ji,...” suaranya lemah, berbareng dengan lemahnya seluruh tenaga yang seakan-akan hendak meninggalkan tubuhnya, “Kau… kau anak tunggalku... kau benar-benar hendak mengikuti dia... mengikuti kutu buku yang lemah ini? Eng-ji, benar-benarkah kau tega melukai hati Ayahmu, mengecewakan hati Ayahmu...?"