Naga Merah Bangau Putih Jilid 03

Cerita silat Mandarin, Naga Merah Bangau Putih (Ang Liong Pek Ho) jilid 03 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Naga Merah Bangau Putih (Ang Liong Pek Ho) jilid 03, karya Kho Ping Hoo - “Lo-Enghiong” tiba-tiba pemuda itu maju dan berkata, “Biarpun aku seorang lemah, akan tetapi aku bersumpah akan membela Eng-moi sebagai isteriku yang tercinta, akan kubela dengan jiwa dan ragaku...”

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

“Tutup mulut...! Tiba-tiba Lie Kai membentak dan memandang kepada pemuda itu. “Dan pergilah… pergilah… pergi sebelum aku menjadi gelap mata dan membunuhmu!”

Bun Hak Lee menghampiri Lie Eng yang kini berdiri dengan air mata berlinang, menggandeng tangannya dan berkata halus. “Eng-moi, marilah kita pergi...”

Lie Eng menurut saja tangannya ditarik dan ia berjalan beberapa langkah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia tiba-tiba ia lari kepada Ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. “Ayah... Ayah... ampunkan aku, Ayah... aku terpaksa meninggalkan Ayah...”

Lie Kai meramkan kedua matanya agar jangan sampai air matanya menitik keluar, kemudian dia mengangkat kedua tangan untuk ditutupkan pada kedua telinganya. “Pergilah... pergilah... pergi...!!” bentaknya setengah menjerit.

Sampai lama Lie Kai berdiri, meramkan kedua matanya dan menutup kedua telinganya, tak bergerak bagaikan patung. Ketika ia membuka kedua matanya, puterinya dan pemuda itu telah lenyap dari situ. Dengan lemas, Lie Kai lalu menggerakkan kedua kakinya, berjalan memasuki pondoknya dimana ia rebah sampai berhari-hari tanpa makan dan tidak pernah turun dari pembaringan. Mulutnya tidak hentinya bergerak-gerak.

“Jahanam betul pemuda she Bun itu...! Ia datang menjatuhkan anakku, membawanya pergi...! Terkutuklah orang-orang she Bun yang menurunkannya. Akan kubunuh orang-orang she Bun yang bertemu dengan aku!”

Demikianlah semenjak ditinggal pergi oleh Lie Eng, Lie Kai menjadi seorang yang sudah hancur betul-betul hatinya. Peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya, semenjak Ayah nya meninggal, membuatnya ia menderita hebat sekali dan kepergian puterinya ini merupakan pukulan terakhir yang hampir tak tertahan olehnya.

Kini ia menjadi seorang gelandangan yang kadang-kadang seperti orang gila. Ia tidak menjadi Perampok lagi, merantau kemana saja kedua kakinya membawanya. Melihat banyaknya orang-orang yang sengsara hidupnya seperti keadaannya sendiri, timbul jiwa pendekarnya dan ia lalu turun tangan membantu mereka yang tertindas, membasmi mereka yang jahat.

Sehingga namanya menjadi terkenal dan ia mendapat julukan Tiat-Thouw-Gu si Kerbau Kepala Besi karena pernah ia dipukul dengan sebuah penggada oleh seorang penjahat pada kepalanya, akan tetapi bukan kepalanya yang pecah melainkan ruyung itulah yang patah! Kemudian ia mengamuk dan membasmi gerombolan penjahat itu. Karena amukannya, seperti seekor kerbau gila, maka semenjak itu ia diberi julukan Kerbau Berkepala Besi.

Sampai sepuluh tahun ia merantau, hidup sebatang kara, dan agaknya hati dan perasaannya yang sudah terlampau banyak dipanggang oleh api penderitaan itu telah mengeras dan kebal! Mulutnya selalu tersenyum dan tertawa, sungguhpun pandangan matanya tidak pernah berseri.

Akhirnya, sebagaimana telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, ia bertemu Sui Lan, seorang gadis yang hidup sebatang kara dan menderita sengsara hebat sekali. Sui Lan merasa terharu sekali mendengar riwayat Lie Kai yang ternyata biarpun sudah mengalami berumah tangga, agaknya masih lebih sengsara daripada pengalamannya sendiri.

“Ayah, kalau begitu kau membohong ketika menyatakan bahwa anakmu Lie Eng itu sudah meninggal. Jadi ia masih hidup dan dimana ia sekarang? Bagaimana keadaannya? Apakah Ayah telah bertemu dengan ia semenjak ia pergi?”

“Sudahlah, jangan kau tanyakan itu dan jangan kita membicarakan dia lagi. Dia sudah mati dalam ingatanku! Dan sekarang aku mendapatkan seorang anak baru. Kau menjadi pengganti Lie Eng, dan aku akan berusaha mencari jejak Liok Houw Sin. Aku akan berusaha membuat kau berbahagia, anakku.”

Barang-barang didalam gerobak yang dibawa oleh Lie Kai itu adalah barang dagangan berupa kain-kain sutera dan barang barang berharga lainnya milik seorang pedagang. Memang sekarang Lie Kai telah bekerja sebagai Piauwse (pengawal yang mengantarkan barang-barang berharga dari satu ke lain tempat, semacam perusahaan ekspedisi). Bahkan ia telah mempunyai sebuah rumah kecil di Kota An-Sin-kwan, dan karena namanya mulai terkenal dan kini sepak terjangnya yang gagah perkasa dan sering membela keadilan itu membuat ia dihormati orang.

Para saudagar yang mendengar namanya, lalu sering minta pertolongan kepadanya untuk mengantarkan barang-barang dagangan dari satu ke lain tempat. Tiap kali Lie Kai mengantarkan barang-barang, maka pekerjaan itu ia lakukan dengan baik dan barang dagangan dapat sampai ditempat tujuan dengan aman dan selamat.

Maka makin terkenallah namanya dan kini upah yang ia dapat untuk mengantarkan barang-barang itu cukup besar sehingga untuk dirinya sendiri, penghasilan itu boleh dibilang berkelebihan.

Terhiburlah hati Sui Lan setelah ia tinggal bersama Lie Kai yang amat menyayanginya sebagai anaknya sendiri. Tadinya ia melakukan pekerjaan rumah tangga, mengatur rumah tangga yang amat kacau balau ketika ia datang itu sehingga rumah itu kini nampak bersih, rapi, dan menyenangkan. Akan tetapi, kemudian ia dilarang oleh Ayah angkatnya untuk melakukan pekerjaan berat itu.

“Kandunganmu telah cukup tua, tak baik kalau bekerja keras,” kata Ayah angkatnya. “Aku akan mencari seorang pembantu rumah tangga untuk mengurus segala pekerjaan rumah, dan kau beristirahatlah saja, jangan banyak bergerak.”

Mendengar kata-kata yang penuh kasih sayang dan perhatian itu, Sui Lan merasa terharu, akan tetapi sambil tersenyum ia membantah. “Ayah, ingatlah aku dahulupun seorang pelayan rumah tangga. Pekerjaan ini sudah biasa bagiku dan sama sekali tidak berat. Kalau memanggil seorang pembantu, aku hanya akan merasa canggung dan kikuk saja. Biarlah aku yang mencuci pakaianmu, yang memasak untukmu, menyediakan semua keperluanmu."

Diam-diam Lie Kai memuji anak angkatnya yang rajin ini. Alangkah jauh bedanya dengan Lie Eng! “Dan bagaimana kalau kelak kau melahirkan? Paling lama dua bulan lagi. Tidak! Kau jangan membantah, Sui Lan. Aku sudah memesan seorang pembantu, dan aku tidak suka kalau melihat calon cucuku kau bawa-bawa kerja keras!”

Mendengar ucapan ini, tak terasa lagi teringatlah Sui Lan pada Houw Sin dan air matanya mengalir turun. Lie Kai mengerutkan keningnya dan maklum akan keadaan hati anak angkatnya ini.

“Sui Lan, kebetulan sekali aku mendapat tugas mengantarkan sejumlah uang ke daerah selatan. Akan kubuka mata dan telingaku baik untuk mencari keterangan perihal Liok Houw Sin, pemuda yang tak berbudi itu.”

Sui Lan terkejut. Ia maklum bahwa Ayah angkatnya ini kalu teringat pada pemuda itu, timbul kebenciannya, dan ia maklum pula akan kekerasan watak Lie Kai. Houw Sin telah pergi dan bagaiman kalau Ayah angkatnya mendapatkan pemuda itu telah menikah lagi?

Ia membayangkan dengan hati berdebar, Ayah angkatnya pernah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap tuan tanah dan pembesar yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia merasa khawatir sekali kalau-kalau Lie Kai dalam kemarahannya akan membunuh Houw Sin!

“Ayah, aku hanya setuju kau pergi mencari Houw Sin dengan satu perjanjian.”

“Hmm, apakah itu?”

“Yakni bahwa apapun juga yang terjadi dengan Liok-Kongcu, kau tidak boleh mengganggunya, tidak boleh... membunuhnya!”

“Bagaimana kalau dia mengkhianatimu? Kalau dia tidak bersetia dan meninggalkanmu untuk menikah dengan lain orang wanita?”

“Biarlah Ayah. Kalau demikian halnya, akupun menerima nasib. Dia memang tidak pantas menjadi Suamiku, aku hanya seorang pelayannya, dan... dahulupun dia sudah bertunangan.”

“Ah, begitukah? Siapakah tunangannya itu dan puteri siapa?”

“Tunangannya adalah puteri seorang Panglima perang bernama Song Liang, kalau tidak salah tunangannya itu bernama Song Bwee Eng. Ayah berjanjilah, kalau kau berhasil menemukan Houw Sin, dan... melihat dia sudah menikah dengan gadis itu lagi, berjanjilah bahwa kau takkan mengganggunya!”

“Berat bagiku untuk berjanji demikian, anakku. Bagaimana aku dapat diamkan saja orang yang telah mencelakakan hidup anakku? Kalau menurut suara hatiku, pemuda itu hanya tinggal memilih dua jalan, kembali kepadamu atau mampus dalam tanganku!”

“Ayah...!” Sui Lan menutup mukanya dengan penuh kengerian, “Jangan... kalau Ayah sampai membunuh dia... aku takkan dapat mengaku kau sebagai Ayahku lagi... aku akan pergi, atau... membunuh diri!”

Lie Kai menarik nafas panjang dan wajahnya menjadi muram sekali. “Ah, nasib! Dua kali aku mempunyai anak perempuan dan keduanya memberatkan seorang pemuda daripada Ayahnya! Ah, sudahlah, agaknya memang semua anak perempuan akan lupa pada Ayahnya apabila mereka sudah mendapatkan jodohnya!”

Ketika Lie Kai sudah siap hendak berangkat dan telah mendatangkan seorang pembantu perempuan untuk mengurus rumah tangga dan mengawani Sui Lan, anak angkatnya yang mengantar sampai pintu berkata, “Ayah, kau belum berjanji. Hatiku takkan tenteram sebelum Ayah mengucapkan janji itu.”

“Baiklah, baiklah! Aku berjanji takkan membunuh Houw Sin. Akan tetapi aku akan menyeretnya ke sini!”

“Itupun jangan, Ayah. Kalau memang dia sudah menikah atau tidak mau memperdulikan lagi kepadaku, untuk apa kita harus memaksanya? Aku tidak mau memaksanya, Ayah, dan kaupun tentu akan ikut merasa malu melihat aku mendapatkan seorang suami yang dipaksa-paksa!”

“Baiklah, aku akan berusaha untuk bersikap sesabar mungkin,” kata Lie Kai yang segera berangkat seorang diri, naik kudanya yang menarik gerobak kecil itu.

Setelah hidup bersama anak angkatnya ini, Lie Kai berubah banyak. Pakaiannya bersih dan rapi, tidak seperti dulu lagi. Kalau dulu matanya selalu muram, tanda bahwa jiwanya menderita, sekarang nampak cahaya menyinari kemuraman itu. Ia nampak gagah sekali duduk diatas kudanya, tubuhnya yang tinggi tegap itu duduk dengan tegak dan lurus, goloknya terselip di punggung.

Sambil melarikan kudanya cepat-cepat, Lie Kai mengenangkan anak angkatnya dengan hati penuh kasihan. Aku harus dapat menemukan pemuda she Liok itu, pikirnya. Ia harus bertanggung jawab, harus dapat mendatangkan kebahagiaan pada Sui Lan. Lie Kai mengambil keputusan untuk mengantarkan barang yang dibawanya secepat mungkin ke tempat tujuan, kemudian akan mempergunakan sisa waktunya untuk mencari Liok Houw Sin.

Ia masih mempunyai waktu sebulan lebih, karena paling cepat satu bulan setengah baru Sui Lan akan melahirkan dan ia harus sudah kembali ke rumah sebelum cucunya terlahir. Lie Kai merasa yakin bahwa ia pasti akan dapat menemukan pemuda she Liok itu, oleh karena boleh dikata pada setiap kota ia mempunyai kenalan.

Hubungannya dalam kalangan kang-ouw luas sekali dan nama Thiat-Thouw-Gu Lie Kai bukanlah nama yang tak terkenal. Banyak orang gagah yang siap membantunya. Demikianlah Lie Kai melakukan perjalanan mengawal barang itu sambil mampir-mampir ke setiap kota yang dilaluinya, mencari keterangan perihal pemuda bernama Liok Houw Sin dan panglima bernama Song Liang Kalau yang dicarinya tidak berada disesuatu kota.

Ia lalu berpesan kepada kenalan-kenalannya di kota itu untuk membantunya menyelidiki. Memang Lie Kai mempunyai hubungan luas sekali, terutama dengan para Piauwsu (pengawal barang kiriman), Kauwsu (guru silat), para jagoan dan juga para orang gagah di kalangan Lioklim (rimba hijau).

* * *

Baik kita ikuti perjalanan Liok Houw Sin yang dibawa lari oleh Panglima Song Liang calon mertuanya itu. dalam keadaan pingsan Houw Sin dipanggul oleh Panglima Song dan dibawah lari menyusul rombongan keluarganya yang telah mengungsi meninggalkan Kotaraja menuju ke selatan.

Karena Song-Ciangkun mempergunakan ilmu lari cepat maka setelah tiba di luar kota, ia dapat menyusul rombongan gerobak yang membawa keluarga berikut barang-barang berharga. Ia lalu menurunkan Houw Sin di dalam kereta dan segera menyuruh para pengemudi membalapkan kendaraan langsung menuju ke kota Lok-Yang di Propinsi Honan. Di kota besar ini Song Liang mempunyai sebuah rumah yang dibuatnya dulu ketika ia bertugas di Propinsi Honan.

Ketika siuman dari pingsannya Houw Sin duduk termenung dengan hati sedih sekali. Peristiwa yang menimpa dirinya pada hari itu benar-benar hebat. Kekasihnya lenyap entah ke mana perginya, rumah dibakar musnah dan semua keluarganya tewas! Serasa dalam mimpi ia mengikuti perjalanan rombongan calon mertuanya itu. Bahkan berhari-hari berikutnya, ia masih saja melamun bagaikan orang yang kehilangan ingatan.

Oleh karena Panglima Song Liang memasuki kota Lok-Yang sebagai keluarga biasa, tak seorangpun tahu bahwa dia adalah bekas panglima dari kerajaan yang telah hancur. Selanjutnya iapun tidak pernah menyatakaan keadaan yang sebenarnya, bahkan atas desakannya Houw Sin juga merobah shenya, bukan she Liok lagi, melainkan she Gan.

Hal ini perlu dilakukan oleh karena tentara Mancu mulai mendesak terus ke selatan, dan apabila di ketahui ada seorang keturunan Pangeran Liok di situ, tentu akan celakalah nasib mereka sekeluarga, karena nama keluarga Liok telah masuk daftar hitam sebagai bangsawan dan keluarga Raja yang tidak mau takluk terhadap bangsa Mancu.

Kemudian, dalam keadaan masih terluka harinya, Houw Sin melangsungkan pernikahan dengan puteri Song Liang, yaitu Song Bwee Eng yang semenjak kecil telah dipertunangkan dengan dia. Bwee Eng adalah seorang gadis yang cantik jelita dan juga pandai ilmu silat karena semenjak kecil ia telah dilatih oleh Ayahnya.

Sesungguhnya, Houw Sin amat berat untuk melangsungkan pernikahannya itu, karena hatinya masih selalu terkenang kepada kekasihnya, Sui Lan. Di manakah adanya kekasihnya itu? Alangkah terharu dan gelisah rasa hatinya kalau ia teringat betapa gadis itu tidak mempunyai seorangpun di dunia ini yang dapat menolongnya. Masih hidup atau sudah matikah dia?

Pikiran ini membuat ia seringkali duduk melamun dan pada hari-hari pertama, ia seakan-akan tidak mengacuhkan isterinya sama sekali. Baiknya Bwee Eng adalah seorang gadis yang baik. Ia dapat menduga bahwa tentu suamiya itu masih bersedih, teringat akan orang tuanya yang tewas di tangan para penjahat Mancu. Pandai sekali ia menghibur suaminya, sedikitpun tak pernah marah melihat sikap suaminya yang dingin.

Bwee Eng adalah seorang gadis yang memiliki watak keturunan Panglima Song, yakni jujur, setia dan gagah. Begitu melihat suaminya ketika dipanggul oleh Ayahnya dulu itu, ia telah merasa sayang dan suka. Bagi seorang gadis di masa itu, betapapun rupa calon suami yang dipilihkan oleh orang tuanya, calon suami yang hanya dapat dijumpainya pada perayaan pernikahan, ia harus memaksa hatinya untuk merasa sayang dan suka.

Tergantung kepada nasibnya apakah ia akan mendapat seorang suami yang tampan dan goblok, ataukah seorang suami yang bopeng dan goblok! Maka Bwee Eng merasa gembira dan beruntung sekali melihat suaminya ternyata seorang pemuda yang jauh melampaui harapannya dalam hal ketampanan dan kepandaian, hanya sedikit disayangkannya bahwa pemuda itu tidak mengerti ilmu silat.

“Tidak apa,” pikir gadis ini dengan hati gembira, setelah ia menjadi suamiku, ia dapat mempelajarinya dariku dan aku dapat menambah pengetahuan satra daripadanya!” Oleh karena itu, dengan amat sabar dan penuh kasih sayang, Bwee Eng menghibur suaminya yang nampak termenung dan selalu bermuram durja.

“Mengapa kau selalu bersedih?” demikian katanya dengan suara halus. “Sungguhpun peristiwa yang menimpa keluarga mendiang Gakhu (Ayah mertua) amat menyedihkan akan tetapi harap kau ingat bahwa bukan hanya kita saja yang tertimpa bencana ini. Masih ada ribuan orang lain yang mengalami penderitaan seperti kita, ada yang kematian anak, orang tua, ada suami-isteri yang terpisah karena suami atau isterinya tewas, bahkan ada yang kehilangan tunangan dan kekasih.

Betapapun juga, kita masih dapat bertemu kembali, bahkan dapat melangsungkan pernikahan kita. Ini berarti bahwa kita memang berjodoh, maka harap kau suka melihat mukaku dan janganlah selalu bermuram. Kalau kau lanjutkan kesedihanmu lalu jatuh sakit, bukankah kita sekeluarga akan menderita semua?”

Bwee Eng sama sekali tidak menduga bahwa kemuraman wajah suamiya itu sebagian besar karena teringat kepada seorang kekasihnya. Adapun Houw Sin mendengar ucapan isterinya ini, agak teranglah mukanya.

“Benar,” katanya di dalam hati, “tidak hanya aku sendiri yang kehilangan Sui Lan, masih banyak orang lain yang mengalami nasib seperti aku. dan bukanlah dosaku kalau Sui Lan tidak jadi hidup di sampingku untuk selamanya, ini adalah akibat perang!”

Semenjak hari itu ia mulai menjadi biasa lagi dan dapat merasai kebaikan hati isterinya. Diam-diam ia bersukur karena dengan adanya Bwee Eng sebagai seorang isteri yang bijaksana, lambat laun akan terlupa juga keadaan Sui Lan. Bahkan ia mulai belajar ilmu silat dari isterinya itu untuk menyehatkan tubuh.

Timbullah kembali kegembiraan hidupnya. Ayah mertuanya kini membuka sebuah toko yang cukup besar, dengan modal barang-barang perhiasan yang dibawa mengungsi dari Kotaraja. Ia membantu pekerjaan mertuanya itu dan perdagangan hasil bumi di toko itu sebentar saja mengalami kemajuan yang baik sekali. Beberapa bulan telah lewat tak terasa.

Houw Sin yang kini telah berganti she menjadi Gan Houw Sin, hidup dengan tenang dan tenteram. Sungguhpun ia seorang keturunan pangeran dan mertuanya juga seorang bangsawan, namun mereka semua dapat menindas perasaan keningratan yang seringkali timbul yang membuat mereka merasa seakan-akan lebih tinggi derajatnya dari orang lain, dan berlaku biasa saja.

Betapapun juga, sikap dan keadaan mereka masih jelas nampak bahwa mereka memang berbeda dengan umum. Mereka memiliki kesopanan dan kehalusan yang lebih tinggi, serta memiliki keangkuhan yang membuat mereka nampak sombong dimata umum.

Pada suatu hari, ketika Song Liong, dan mantunya melayani langganan yang datang berbelanja ke toko mereka, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi besar yang memandang kepada Houw Sin dengan tajam, lalu sebelum ia ditanya, ia berkata dengan keras.

“Liok Houw Sin, aku datang untuk membawamu pulang. Kau harus kembali kepada anakku Sui Lan!”

Bukan main terkejutnya hati Houw Sin mendengar disebutnya nama ini. Setahunya, Sui Lan tidak mempunyai Ayah, bagaimana orang kasar ini datang-datang mengaku sebagai Ayah Sui Lan? “Aku aku bukan seorang she Liok...” katanya gagap.

“Ha, ha ha! Orang lain boleh kau tipu, akan tetapi aku Thiat-Thouw-Gu Lie Kai tidak mudah dibodohi. Hayo ikut, atau aku harus melakukan kekerasan?” sambil berkata demikian, tangannya diulur maju hendak menangkap Houw Sin.

Biarpun baru beberapa bulan mempelajari ilmu silat, namun Houw Sin sudah mempunyai kegesitan untuk melompat mundur. Akan tetapi, Lie Kai segera bergerak maju dengan cepat sekali dan tahu-tahu Houw Sin merasa betapa lengan tangannya terpegang oleh sebuah tenaga yang amat kuat.

“Mau tidak mau, kau harus ikut!” bentak Lie Kai.

Pada saat itu, tiba-tiba dari belakang si Kerbau Kepala Besi terdengar bentakan nyaring. “Orang kasar darimanakah berani datang membikin kacau?”

Dan Lie Kai terkejut sekali ketika merasa ada sambaran angin keras dari belakang. Terpaksa ia melepaskan Houw Sin dan tangannya menyampok kebelakang. “Duk!” dua buah lengan yang sama keras dan kuatnya beradu, dan Lie Kai makin heran dan terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa lengan itu cukup memiliki tenanga lweekang yang tinggi. Ia memandang dan melihat seorang yang sebaya dengan dia, juga bertubuh tinggi besar dan bermata tajam berdiri di depannya.

Orang ini adalah Panglima Song yang menjadi marah melihat mantunya ditangkap orang. Ia juga terkejut ketika mendengar nama Thiat-Thouw-Gu karena nama ini sudah cukup terkenal, akan tetapi ia pura-pura tidak mengenalnya dan segera menyerang dari belakang. Akan tetapi tangkisan lengan Thiat-Thouw-Gu Lie Kai membuat ia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi.

Lie Kai tertawa bergelak dan sikapnya yang menyeramkan membuat para pembeli yang datang berbelanja lari ketakutan. “Ha, ha, ha! Kau tentulah Song-Ciangkun yang menjadi mertua Houw Sin. Bagus, bagus! Betapapun juga, Liok Houw Sin harus kubawa pergi. Hayo, Houw Sin, kau harus ikut denganku!” Kembali ia hendak maju menangkap Houw Sin yang berdri dengan muka pucat.

Akan tetapi dengan sekali gerakan saja tubuh Song Liang telah melompat dan menghadang di depan Lie Kai. “Jangan main gila di rumah orang lain!” bentaknya. “Orang muda ini benar bernama Houw Sin, akan tetapi ia she Gan, bukan she Liok. Dan ia adalah anak mantuku, kau datang-datang hendak menculiknya, sungguh kau berani mati!”

“Siapa menculik? Ia akan kuajak pulang ke tempat di mana ia harus berada.”

“Kau gila!” bentak Song Liang marah. “Hayo pergi dari sini!” Sambil berkata demikian, ia membuat gerakan mendorong dengan kedua lengannya ke arah dada Lie Kai. Dorongan ini merupakan serangan yang hebat sekali, karena inilah gerak tipu yang disebut Siang-Jiu Kwi-San (Sepasang Tangan Mendorong Bukit) dan mengandung tenaga ratusan kati.

Lie Kai merasa betapa angin dorongan itu menyambar, maka maklumlah ia bahwa tenaga lawannya ini tak boleh dibuat gegabah. Melihat bahwa tempat di dalam toko itu sempit dan penuh barang-barang, ia lalu mengerakkan tubuh ke belakang dan melompat keluar.

“Song Liang, jangan kau kira aku takut kepadamu! Kalau kau menghendaki pertempuran, aku Thiat-Thouw-Gu Lie Kai tidak akan mundur!”

Song Liang juga marah sekali. Ia mengejar dan melompat pula keluar sehingga kedua orang tua tinggi besar itu telah berhadapan di halaman toko. Sementara itu, pelayan toko yang melihat betapa majikan muda mereka hendak dibawah lari orang, segera berlari-lari ke dalam dan mengabarkan hal ini kepada Bwee Eng.

Nyonya muda ini dengan marah lalu mencabut sepasang pedangnya, senjata yang istimewa ia pelajari dengan baik, lalu berlari keluar. Ia melihat suaminya berdiri dengan muka pucat dan melihat Ayahnya sedang menghadapi seorang laki-laki tinggi besar yang tersenyum-senyum.

“Lie Kai,” kata Song Liang dengan muka marah. “Dahulu aku pernah mendengar namamu yang dipuji-puji sebagai seorang perampok gagah perkasa dan budiman. Tidak tahunya kau hanya seorang penculik rendah belaka. Kalau kau memang seorang gagah perkasa, ceritakanlah dahulu duduknya perkara mengapa kau hendak menculik mantuku!”

Lie Kai tidak mau membuka rahasia anak angkatnya, karena hal itu hanya akan mendatangkan cemar dan hinaan dari fihak mertua Houw sin maka ia hanya menjawab. “Kau tak perlu tahu, aku tidak pernah mempunyai urusan dan permusuhan dengan kau. Aku datang hanya karena urusanku dengan Liok Houw Sin. Ia harus ikut denganku dan siapapun yang akan menghalangi kehendakku ini, akan berkenalan dengan kepalan dan golokku!”

“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu maka kau menjadi sesombong ini!” kata Song Liang sambil bersiap-siap untuk menyerang.

Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan merdu. “Bangsat rendah, kau berani hendak menculik suamiku?” berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan hijau dan cepat Lie Kai mengelak ketika ia melihat dua buah sinar pedang menyerangnya dengan cepat.

“Bwee Eng... jangan!” seru Song Liang yang maklum bahwa puterinya itu bukanlah lawan Lie Kai dan bahwa keadaan Bwee Eng pada waktu itu tidak mengijinkan nyonya muda itu membuat gerakan pertempuran.

Sementara itu, ketika mendengar bentakan Bwee Eng, Lie Kai memandang tajam dan ia melihat seorang nyonya muda yang cantik jelita dalam keadaan sudah mengandung berdiri didepannya dengan siang-kiam (sepasang pedang) di tangan. Perih hatinya melihat hal ini.

“Ah… kau tentu isteri Houw Sin yang tidak setia itu!” Ia menghela napas. “Dan kau sudah mengandung pula...! Aku tidak mau melawanmu, Toanio. Kau masuk dan beristirahatlah. Aku hanya hendak meminjam suamimu sebentar saja.”

“Jahanam jangan banyak mulut!” Song Liang membentak dan segera menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah lambung lawannya.

Pukulan ini keras sekali dan melihat lawannya menggunakan serangan dengan gerakan Pek-Wan Hian-Tho (Lutung Putih Persembahkan Buah). Lie Kai cepat membuat gerakan Loh-Be (gerakan membalik) kemudian membalas dengan serangan dari ilmu silatnya yang lihai, Yakni ilmu silat Sha-Kak Kun-Hwat (Ilmu Silat Segi Tiga).

Song Liang adalah seorang panglima tua yang memiliki ilmu silat tinggi, karena ia adalah murid dari perguruan silat Thai-Kek-Pai, dan disamping ilmu kepandaiannya yang tinggi, iapun telah mempunyai pengalaman luas dalam pertempuran besar.

Akan tetapi, menghadapi sepak terjang Lie Kai yang mempergunakan Ilmu Silat Segi Tiga ini, ia terdesak juga. Pertempuran berjalan sengit dan sungguhpun kedua orang tua itu tidak bergerak cepat, namun setiap gerakan kaki tangan mendatangkan angin yang kuat sekali. Bwee Eng tidak berani membantu Ayahnya karena ia maklum akan ketinggian hati Ayahya yang memegang aturan keras dan junjung tinggi keadilan pertempuran.

Ayahnya takkan sudi mengeroyok, walaupun lawannya pandai dan berbahaya. Lagipula, Bwee Eng maklum dari gerakan orang tinggi besar yang hendak menculik suaminya itu, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan biarpun ia mempergunakan sepasang pedang, agaknya ia takkan kuat menghadapi sambaran angin pukulan yang demikian dahsyat.

Sementara itu Houw Sin masih berdiri dengan dada berdebar kalut. Ia tidak takut kepada Lie Kai, tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri. Yang membuat ia gelisah dan membuat tubuhnya gemetar adalah disebutnya nama Sui Lan tadi! Ketika Bwee Eng mendekatinya dengan sikap seakan-akan hendak melindungi suaminya itu, Houw Sin memegang tangan Bwee Eng dan nyonya muda ini merasa heran karena telapak tangan suaminya terasa amat dingin.

“Jangan takut...” ia menghibur, akan tetapi ketika ia melihat jalannya pertempuran, ia merasa gelisah juga. Ternyata bahwa ilmu silat Sha-Kak Kun-Hwat dari Lie Kai itu benar-benar hebat sekali. Serangan tangan dan kaki datang bertubi-tubi, menyerang dari tiga sudut, dan perlahan akan tetapi tentu Song Liang mulai terdesak mundur.

Song Liang juga maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan dengan nekat ia membalas dengan serangan-serangan mematikan. Ia mengerahkan tenaga lweekang pada kedua tangannya dan menyerang dengan pukulan Cio-To Thian-Keng (Batu Meledak Langit Gempar) yang datangnya bertubi-tubi.

Setiap pukulan mengandung tenaga yang luar biasa besarnya karena ia telah mengerahkan ilmu pengerahan tenaga yang disebut Lui-Kong-Ciang (Tangan Geledek). Song Liang menyerang tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri dan terang bahwa ia hendak mengadu jiwa.

Ketika Lie Kai cepat mengelak mundur, Song Liang mengeluarkan senjatanya yang lihai, yakini sabuknya yang terbuat daripada perak. Ikat pinggang ini merupakan rantai yang panjangnya kira-kira lima kaki dan dapat bergerak cepat.

“Orang she Lie, kalau kau hendak melanjutkan maksudmu yang jahat, terpaksa aku melayani dengan senjata!”

“Ha,ha,ha! Ternyata kau cukup gagah akan tetapi jangan kira bahwa rantai itu membikin aku jerih. Niatku sudah tetap, Houw Sin harus ikut dengan aku!” Sambil berkata demikian, Lie Kai mencabut golok yang terselip pada punggungnya!

“Thiat-Thouw-Gu! Selama masih ada aku, jangan harap kau akan dapat berlaku kurang ajar terhadap mantuku!” teriak Song Liang sambil memutar ikat pinggangnya.

“Gakhu (Ayah mertua), tunggu dulu...!” Tiba-tiba Houw Sin berseru sambil berlari menghampiri. “Biarkan.. biarkan aku ikut dengan dia...!”

Tahu-tahu Bwee Eng sudah berdiri di sebelahnya dan nyonya muda ini memegang tangan suaminya. “Kau kenapakah? Siapakah dia ini dan mengapa pula kau mau ikut dengan dia?”

Song Liang juga memandang kepada Houw Sin dan berkata dengan suara keren. “Hiansai (mantu), sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah orang yang bernama Sui Lan? Apa hubungannya dengan kau?”

Lie Kai tertawa bergelak. “Nah, biarlah kalian mendengar sendiri penuturannya!”

Dengan perih hati Houw Sin memandang isterinya dan kemudian ia bercerita dengan suara perlahan. “Sesungguhnya, Sui Lan adalah pelayan dari Ayahku... dan... sebelum terjadi peperangan, aku dan Sui Lan telah saling menyinta... sesungguhnya sebelum bertemu dengan kau, Bwee Eng. Aku… aku telah bersumpah untuk hidup bersama Sui Lan. Ayah dan Ibu tidak setuju, Sui Lan kubawa keluar dari rumah, kutitipkan pada seorang bekas pelayan, maksudku hendak pergi bersama...

"Kemudian datang perang dan dalam keadaan kacau-balau itu… Sui Lan lenyap entah kemana, rumah yang ditinggalinya terbakar. Kemudian, aku melihat betapa rumah Ayahpun terbakar dan semua keluargaku musnah! Lalu aku bertemu dengan Gakhu dan dibawa ke sini... Kukira Sui Lan telah meninggal dunia, dan sekarang... sekarang… Lo-Enghiong (orang tua gagah) ini datang mengajakku kepada Sui Lan...”

Pucatlah muka Bwee Eng mendengar ini dan dua titik air mata melompat keluar dari matanya. Melihat wajah isterinya, Houw Sin cepat menyambung.

“Percayalah, Bwee Eng, sungguh aku mencintaimu dan kaulah isteriku! Aku tidak memikirkan Sui Lan lagi selama ini, kukira ia telah tewas. Sekarang biarkan aku pergi kepadanya untuk menerangkan bahwa kini tak mungkin aku menjadi suaminya…”

“Bangsat tak berbudi!” seru Lie Kai marah. “Kau mau menyia-nyiakan anakku begitu saja? Tidak! Kau harus ikut sekarang juga!” ia melompat ke depan hendak menyambar tangan Houw Sin, akan tetapi tiba-tiba Bwee Eng menyerangnya dengan pedang di tangan. Lie Kai menggerakkan goloknya dan trang…!! Kedua pedang di tangan nyonya muda itu terlempar jauh!

“Kau hanya isteri kedua!” bentak Lie Kai. “Ketahuilah bahwa Sui Lan anakku itupun telah mengandung, bahkan sudah hampir melahirkan. Anak itu adalah anak Houw Sin!”

Mendengar ini, makin pucat wajah Bwee Eng dan kalau Houw Sin tidak cepat memeluknya, tentu ia telah roboh di atas tanah. Ia pingsan dalam pelukan Houw Sin.

“Orang she Lie, jangan kau memaksa dan membikin kacau rumah tangga kami!” Song Liang berteriak sambil melangkah maju.

Akan tetapi Lie Kai sudah marah sekali dan ia lalu menggerakkan goloknya menyerang yang ditangkis oleh Song Liang. Dua orang tua ini bertempur lagi dengan hebatnya, lebih hebat daripada tadi. Rantai perak di tangan Song Liang benar-benar lihai, akan tetapi menghadapi golok di tangan Lie Kai, ia menemui tandingan berat. Baru saja pertempuran berjalan dua puluh jurus, Song Liang berteriak kesakitan dan terpaksa ia melepaskan rantainya dengan tangan kanan terluka oleh golok dan mengalirkan darah.

Lie Kai tertawa bergelak lagi dan kini ia menubruk maju ke arah Houw Sin yang masih sibuk berusaha menyadarkan isterinya yang pingsan. “Kau ikut dengan aku!” seru Lie kai sambil memegang pundak Houw Sin. Pegangan ini disertai tekanan pada jalan darah Houw Sin sehingga orang muda ini tiba-tiba merasa tubuhnya lemas tak berdaya lagi.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan perlahan. “Siancai... siancai... Manusia kasar dari manakah berani berlaku sewenang-wenang?”

Lie Kai merasa terkejut sekali ketika merasa betapa angin pukulan yang hebat telah membuat pundaknya tergetar. Ia maklum bahwa ada lawan lihai sekali sedang menyerang jalan darah di bagian pundaknya, maka cepat ia menggulingkan tubuh dan menghindarkan diri dari serangan itu. Ketika ia melompat bangun, ia melihat bahwa serangan tadi dilakukan oleh seorang Tokouw (Pendeta perempuan) yang memegang sebuah hud-tim (kebutan dewa) berbulu putih.

Pendeta perempuan itu, sudah tua, sedikitnya berusia lima puluh tahun, rambutnya telah berwarna dua, akan tetapi mukanya masih nampak nyata bahwa dahulunya ia tentu seorang wanita cantik. Wajahnya amat ramah dan senyum manis selalu menghias mulutnya. Ketika Song Liang melihat Tokouw ini, iapun terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyebut,

“Siankouw… Teecu Song Liang mohon maaf tak dapat menyambut kedatangan Siankouw sebagaimana mestinya.”

“Kisu (orang gagah), jangan terlalu sungkan. Ada urusan apakah maka orang kasar ini hendak mengganggumu?”

Sebelum Song Liang menjawab, Lie Kai telah maju dan membentak. “Kau adalah seorang Pertapa, mengapa bersikap tidak adil dan jail?”

Tokouw itu tersenyum sabar. “Bagaimana kau menganggap Pinni (aku) tidak adil?”

“Sebelum mengetahui duduknya perkara, datang-datang kau telah menyerangku dan membela sepihak. Apakah ini adil namanya?”

“Hm, biarpun kau kasar dan jujur, akan tetapi kau bodoh. Pinni tidak menyerangmu, hanya berusaha agar supaya kau tidak mengganggu anak muda itu, kalau Pinni menyerang, apakah kau masih akan dapat berdiri dan bicara?”

“Tokouw sombong! Apa kau kira aku Thiat-Thouw-Gu Li Kai mudah dirobohkan begitu saja?” Tokouw itu memperlebar senyumnya dan meng-angguk-angguk.

“Aah, tidak tahunya kaukah yang bernama Thiat-Thouw-Gu Lie Kai? Pantas, pantas! Pernah Pinni mendengar tentang kekasaranmu. Sesungguhnya, kaupun terhitung orang segolongan, mengapa kau melakukan perbuatan mengganggu Song-Kisu?”

“Kau siapakah dan perduli apakah kau akan urusanku?” tanya Lie Kai yang masih marah sekali.

“Pinni bernama Oei Lian Niang-Niang dari Cin-Ling-San...!"

Jilid selanjutnya,
NAGA MERAH BANGAU PUTIH JILID 04