Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 28 karya Kho Ping Hoo - KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya. Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong, ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya yang telah mati.
“Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat.”
Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik, “Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam.”
Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya jidat pemuda itu. “Hmmm, benar-benar ia terkena demam,” katanya.
Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi.”
“Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran,” katanya.

Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering. Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu bengkak dan panas.
Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian bengkaknya mengempis dan panasnya turun.
Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.
“Siocia,” nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. “Kau benar-benar seorang gadis berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula?
"Bukankah hal itu membuat keadaan menjadi makin buruk? Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu? Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya jatuh sakit? Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!”
Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi. Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.
Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak pusing.
“Bagaimana, Gwat Kong? Apakah masih merasa sakit dan pusing?” tanya Cui Giok penuh perhatian.Gwat Kong menggeleng kepalanya. “Aaah, apakah selama ini aku tidur saja? Alangkah malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur? Kita telah sampai di mana?” Ia memandang ke darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.
“Kau menderita demam,” kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa pemuda itu telah sembuh betul.
“Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung.”
“Akan tetapi, kau... kenapa kau kurus sekali...?” Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan mengantuk sekali.
“Aku mengantuk.... aku mau tidur Gwat Kong.....,” katanya sambil merebahkan diri dalam perahu itu, berbantalkan lengan. Ia meramkan mata dan.... sebentar saja ia tidur nyenyak sekali.
Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran. Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit? Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan?
Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan mangkok bubur. “Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini.”
Gwat Kong menjadi amat terharu. “Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?”
Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. “Berapa lama? Tak kurang dari tiga malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa khawatir sekali.”
Gwat Kong tercengang dan makin terharu, “Aaah... dan selama itu kau merawatku, lopek? Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu.”
“Berbudi? Terima kasih kepadaku? Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih, jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama itu!”
Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak. “Dia...?” tanyanya terharu.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur? Bahkan dia hampir tidak makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan bubur kepadamu. Bahkan.... tidak jarang ia menangisimu.”
Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik dari dalam dadanya. “Be.... benarkah, lopek?”
“Mengapa tidak benar?” Kakek itu mengangguk-angguk lagi. “Dia menjaga dan merawatmu bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih seorang gadis semulia dia ini...” Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu itu.
Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat. Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini, pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan kurus.
Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh gadis itu.
Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.
Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah, “Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul? Tidak merasa sakit lagi?”
Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar penuh perasaan,
“Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan hatimu ini...”
Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.
“Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka? Ceritakanlah pengalamanmu di Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu.”
Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan, dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain.
“Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi mencari mereka di sana,” kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. “Gwat Kong, biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka.”
“Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang.
"Lagi pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah kita pergi ke Hong-san lebih dahulu.”
“Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?” Aneh, tiap kali menyebut nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.
“Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan, mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?”
Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota raja?”
“Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan ke sana?”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok. Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu kekuatanku akan timbul kembali.”
Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu. “Lopek,” kata Gwat Kong. “Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu.” Gwat Kong menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.
Nelayan itu menghela napas. “Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula.”
Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan.
Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh.
Akan tetapi, tiga hari kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah sungai Huang-ho sebelah timur.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya seakan-akan tidak mengambah bumi.
Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang, “Suhu....!”
Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.
Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali. “Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?”
“Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris Im-yang Siang-kiam-hoat!”
Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Im-yang Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini. “Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!”
Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata, “Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam dengan tongkatmu?”
“Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur.”
“Bagaimana keadaannya? Kau kalah?”
Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab sambil tersenyum pula, “Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!”
“Jangan percaya kepadanya, suhu,” Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah.”
Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. “Dan apakah kalian pernah bertemu dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?”
Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek, bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula tentang perjalanannya menuju Hong-san.
Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, “Kalau kalian berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu.
"Mereka itu hendak mengadakan pertempuran di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai.
"Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan.”
“Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti? Mereka terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan,” kata Gwat Kong ragu-ragu.
Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. “Ah, benar sulit.”
“Locianpwe,” tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan juga tiga macam, mengapa sulit?” Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,
“Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah hal itu akan beres mudah saja?”
Bok Kwi Sianjin tertawa senang. “Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobi-san, sedangkan kau pergilah ke Hoa-san membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya.”
Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.
Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hati-hati sekali, karena mereka itu benar-benar lihai.”
Gadis itu tersenyum. “Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoa-san-pai itu? Aku lupa lagi.”
“Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui Kiat dan Pui Hok.”
“Nah, selamat berpisah, Gwat Kong.” Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanan ke Hong-san.
Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan. Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti.
Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya. Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.
“Kau...?” Tosu itu membentak marah. “Apa kehendakmu naik ke Hoasan?”
Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya. “Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin.”
Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya. “Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?”
“Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin.”
“Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?” Akan tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu. Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.
“Ikutlah padaku!” katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.
Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.
“Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap membawa surat dari orang tua itu,” kata Sin Seng Cu.
Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.
“Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap.”
“Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya ia telah mempunyai seorang murid yang gagah.” Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian ia berkata kepada murid-muridnya, “Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi.”
Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu tetap duduk di tempatnya.
“Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini.”
Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.
“Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat ini?”
“Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe,” kata Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.
Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata, “Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruan-perguruan dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu, kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?”
Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab dengan hati-hati,
“Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai.
"Kekalahan Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam. Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bi-pai, keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya.
Maka pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”
Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. “Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja. Sin Seng Cu beradat keras dan ia pekemenangannya Kakek itu lalu memanggil, “Sin Seng Cu....!”
Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya menggetar dan sakit. Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.
“Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini? Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?”
Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong, “Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari permusuhan.”
“Bodoh!” Pek Tho Sianjin membentak. “Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama.”
“Ampun, susiok....,” Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.
“Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain. Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka. Mengerti?”
“Baik, susiok.” Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti anak kecil.
“Nah, keluarlah!”
Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.
Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, “Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini.”
Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali.
“Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan urusan kami kepada susiok?”
Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak berunding, maka jawabnya sabar, “Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan.
Maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita. Sebab-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini. Mengapa kau bahkan marah-marah?”
“Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang hebat itu.
“Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!” Gwat Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng Cu reda.
“Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?” Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,
“Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!”
“Jangan banyak cakap!” teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.
Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.
Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong, mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.
Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin, pemuda ini menjadi demikian lihai....