Pendekar Pemabuk Jilid 29

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 29
Sonny Ogawa

Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) jilid 29, karya Kho Ping Hoo - BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong menyambar ke arah pinggang.

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar suara keras “Trang!” sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus. Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Sin Seng Cu, mundur kau!”

Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah berdiri di situ. “Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin Seng Cu totiang.”

Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah. “Tak malukah kau? Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benar-benar membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar dan jangan keluar sebelum pinto datang!”

Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata, “Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut.”

“Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu,” kata Gwat Kong.

“Hm, kau mau berkata apa lagi?” Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.

“Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?”

Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat Kong dan bertanya, “Benarkah ini?”

“Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai.”

“Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!” kembali Sin Seng Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.

“Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong,” kata tokoh besar Hoa-san-pai itu. “Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?”

Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya, “Maukah kau?”

Mungkin Gwat Kong akan menyatakan keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya, “Beranikah kau?” terpaksa ia menjawab, “Tentu saja teecu berani, locianpwe.”

“Nah, Sin Seng Cu, kembali kau terpukul kalah. Dengarlah bahwa anak muda itu akan pergi menemui Liok Ong Gun dan memberi peringatan kepadanya. Maka jangan kau banyak rewel lagi. Hayo, lekas naik ke atas dan lakukan perintahku tadi!”

Maka pergilah Sin Seng Cu sambil berlari cepat ke atas puncak.

“Gwat Kong, Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang kau perlihatkan tadi benar-benar indah dan hebat. Kau benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid Bok Kwi Sianjin dan kau patut pula menjadi pendamai pertikaian antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai. Selamat jalan, anak yang baik!”

Gwat Kong memberi hormat lalu berlari, turun gunung. Hatinya rusuh dan gelisah. Ia telah berjanji akan mengunjungi Liok Ong Gun untuk memberi nasehat dan peringatan! Ah, bagaimana ia dapat melakukan hal itu? Apakah akan kata Tin Eng apabila ia melihat ayahnya dinasehati dan diperingatkan, yang merupakan hinaan bagi seorang pembesar tinggi seperti Liok-taijin? Akan tetapi, ia telah berjanji dan sebagai seorang gagah, ia harus memegang teguh janjinya itu dan menemuinya, apapun yang akan menjadi halangannya.

Perjalanan ke Hong-san melalui Kiang-sui, maka ia hendak mampir di kota itu sebentar, menemui Liok Ong Gun dan menyampaikan nasehat dan peringatannya. Mudah-mudahan saja Tin Eng takkan melihatnya. Setelah menyampaikan nasehat itu, tidak perduli diturut atau tidak, ia akan cepat meninggalkan kota itu menyusul Cui Giok di Hong-san. Ia tidak takut menghadapi siapapun juga. Yang menggelisahkan hatinya hanya Tin Eng seorang.

Makin dekat dengan Kiang-sui, makin gelisahlah hatinya. Karena ia tiba di kota itu sudah malam, ia merasa ragu-ragu untuk mendatangi gedung Liok-taijin dan semalam suntuk Gwat Kong berada di sekeliling gedung itu, tak berani melakukan niatnya, takut kalau-kalau hal ini akan menyakiti hati Tin Eng, gadis yang dicintainya. Akan tetapi, pada keesokan harinya, karena ia melihat di gedung itu sunyi saja dari luar, ia membesarkan hatinya dan dengan gagah ia memasuki pekarangan depan gedung itu.

Seorang pelayan yang kebetulan membersihkan meja kursi di ruangan depan, ketika melihat pemuda itu memasuki pekarangan, memandang dengan mata terbelalak. Nama Gwat Kong menggemparkan seluruh penduduk Kiang-sui, semenjak pemuda itu bertempur dan dikeroyok pada waktu pemuda itu mengunjungi Tin Eng. Terutama sekali para pelayan di gedung keluarga Liok.

Mereka terheran-heran karena bagaimana pelayan muda itu kini telah menjadi seorang yang berkepandaian demikian tinggi? Pelayan yang sedang bekerja itu, ketika Gwat Kong melangkah masuk dengan gagahnya, menjadi terkejut dan takut. Tak terasa lagi ia bangkit berdiri dan berlari masuk bagaikan dikejar setan.

Ia segera memberi laporan kepada Liok-taijin yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Seng Le Hosiang, Gan Bu Gi, dan seorang muda murid Kim-san-pai, yakni sute dari Gan Bu Gi. Mereka sedang membicarakan tentang maksud mengadakan pertempuran melawan orang-orang Hoa-san-pai.

Alangkah marah dan herannya Liok-taijin ketika mendengar laporan pelayannya bahwa Bun Gwat Kong mendatangi dari luar. Ia hendak keluar, akan tetapi dicegah oleh Seng Le Hosiang yang berkata, “Biarlah aku menemui anak muda yang lancang itu!”

Dengan tindakan lebar, Seng Le Hosiang keluar dari ruang dalam dan benar saja, ketika ia tiba di ruangan depan, ia melihat Gwat Kong masuk dengan tenang dan gagah. Biarpun hatinya tercengang melihat Seng Le Hosiang berada di tempat itu, namun ia dapat menenangkan hatinya dan berkata sambil menjura dan tersenyum,

“Ah, tidak tahunya Losuhu juga berada di sini. Apakah selama ini losuhu baik-baik saja?”

Seng Le Hosiang telah mendengar tentang keadaan Gwat Kong, maka kini melihat munculnya pemuda ini, diam-diam ia memuji keberanian anak muda ini. “Kau... pelayan muda dahulu itu? Apakah perlumu datang ke sini setelah dahulu membikin kacau? Apakah kau hendak membuat pengakuan bahwa kau telah membawa lari siocia?”

Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini. “Apa katamu, losuhu? Siapa membawa lari Liok-siocia?”

Pada saat itu, Liok Ong Gun, Gan Bu Gi, dan pemuda sute Gan Bu Gi yang bernama Lui Kun itu muncul dari pintu. “Bangsat, kurang ajar!” Liok Ong Gun berseru keras. “Di mana kau sembunyikan Tin Eng? Kau sungguh seorang yang tak kenal budi. Sudah bertahun-tahun kami memberi tempat tinggal, makan dan pakaian padamu. Kau diperlakukan dengan baik, akan tetapi apa balasanmu? Kau menghina kami, mengacau dan menodai nama kami! Bahkan sekarang kau berani melarikan Tin Eng! Kau benar-benar manusia bo-ceng-bo-gi (tidak punya aturan dan pribudi), manusia rendah dan jahat.”

Gwat Kong mengangkat muka memandang kepada pembesar itu dengan mata sedih. Ia kasihan melihat Liok Ong Gun yang nampak sedih, dan menyesal. Pembesar ini memakai pakaian biasa saja, berbeda dengan Gan Bu Gi yang berpakaian mentereng dengan tanda pangkatnya, yang membuat ia nampak tampan seperti seorang pangeran dari istana kaisar.

“Taijin, sebelum hamba mohon maaf sebanyaknya apabila taijin menganggap hamba mendatangkan bencana kepada keluarga taijin yang benar-benar telah melimpahkan budi, kepada hamba.”

Gwat Kong bicara dengan suara terharu oleh karena ia memang tidak melupakan budi pembesar itu dan dengan merendah ia masih menyebut diri sendiri “hamba” oleh karena selain bekas majikan, Liok-taijin adalah ayah Tin Eng yang harus dihormati.

“Akan tetapi, seorang rendah dan bodoh seperti hamba ini, dapat membalas jasa apakah? Hamba hanya mohon kepada Thian semoga taijin akan hidup bahagia dan berusia panjang. Sesungguhnya taijin tidak sekali-kali hamba berani membujuk atau mengajak lari Liok-siocia dan sungguh-sungguh hamba tidak tahu kemana perginya siocia. Baru sekarang hamba ketahui bahwa siocia tidak berada di rumah.”

“Dia bohong!” tiba-tiba Gan Bu Gi membentak marah.

“Taijin,” Gwat Kong melanjutkan kata-katanya tanpa memperdulikan Gan Bu Gi. “Terserah kepada taijin untuk mempercayai kata-kata hamba atau mempercayai ucapan Gan-ciangkun yang palsu itu. Ketahuilah terus terang saja hamba baru datang dari Hoasan dan menemui Pek Tho Sianjin, juga suhu hamba, yakni Bok Kwi Sianjin, sedang pergi ke Gobisan untuk menemui Thay Yang Losu, perlu untuk membujuk agar supaya pertempuran antara murid-murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dapat dicegah.

"Hamba datang ini sengaja dengan maksud membujuk kepada taijin agar jangan menuruti maksud jahat dari Seng Le Hosiang untuk mengadakan pertempuran itu. Ini hamba maksudkan sebagai sekedar pembalasan budi, karena hamba akan ikut bersedih mendengar taijin terbawa-bawa dalam pertikaian yang tidak sehat itu.

"Taijin waspadalah terhadap orang-orang seperti Gan Bu Gi, terutama terhadap orang-orang yang memancing permusuhan dengan segolongan orang gagah. Karena hal ini akan mendatangkan malapetaka dan pertumpahan darah. Adapun tentang nona Tin Eng, kalau saja benar dia melarikan diri dari rumah, hamba akan mencoba untuk mencarinya dan membujuknya pulang.”

Seng Le Hosiang marah sekali mendengar ucapan ini. “Bangsat kecil kau lancang sekali.” Sambil berkata demikian hwesio itu lalu melompat dan menerjang Gwat Kong dengan serangan maut, yakni dengan menggunakan pukulan Lui-kong-toat-beng (Dewa geledek mencabut nyawa).

Akan tetapi Gwat Kong mengelak dengan mudah dan berkata kepada Liok-taijin, “Maaf, taijin. Lihatlah betapa hwesio ini berdarah panas dan selalu menyerang orang mengandalkan kepandaiannya!”

Gan Bu Gi dan Lui Kun bergerak hendak membantu Seng Le Hosiang, akan tetapi hwesio itu membentak, “Jangan ikut campur! Biar aku hancurkan kepala anak sombong ini!”

Gan Bu Gi dan sutenya tidak berani melanjutkan niatnya dan hanya berdiri di belakang hwesio itu, sedangkan Liok Ong Gun masih berdiri di depan melihat betapa bekas pelayan muda itu berani menghadapi susiok-couwnya yang lihai.

“Seng Le Hosiang, kalau Thay Yang Losu melihat kelakuanmu ini, tentu kau akan mendapat jiwiran pada telingamu!”

“Bangsat rendah, mampuslah kau!” bentak Seng Le Hosiang yang sudah marah sekali dan ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Tangan kirinya dipentangkan hendak mencengkeram ke arah leher Gwat Kong, sedangkan kaki kirinya berbareng mengirim tendangan kilat. Inilah gerak tipu Pek-ho-liang-ci (Bangau putih pentang sayap) yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.

Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan hancur daging dan kulit dan remuk tulang leher sedangkan tendangan yang diarahkan kepada kaki Gwat Kong itu cukup hebat untuk membuat tulang kaki Gwat Kong patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong telah memiliki kepandaian tinggi dan melihat betapa hwesio itu menyerangnya dengan tenaga keras, iapun hendak melawan dengan kekerasan pula.

Untuk menghindari tendangan lawan, ia melompat ke atas dengan gerak kaki Lo-wan-teng-ki (Monyet tua loncati cabang). Kemudian tangan kanannya menyambar dengan jari terbuka, memukul tangan kiri lawan itu sambil mengerahkan tenaga Pek-lek-jiu (si tangan kilat). Dua tangan itu bertumbuk dan dua tenaga raksasa beradu.

Tubuh Gwat Kong yang sedang melompat itu terpental hampir setombak ke belakang. Sedangkan Seng Le Hosiang juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dan karena ia tadi berdiri dekat meja, maka ketika ia terhuyung mundur, tubuhnya menubruk meja. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tangan kanannya memukul ke belakang dan “brak!!” sebagian meja kayu yang tebal dan besar itu hancur berkeping-keping.

Akan tetapi, biarpun dalam adu tenaga itu ternyata Gwat Kong masih kalah kuat, namun pemuda itu tidak terluka, bahkan memandang dengan senyum menghias mulut. “Masih belum cukupkah kau melampiaskan kemurkaanmu, losuhu?” tanyanya.

Dengan muka merah bagaikan kepiting direbus, Seng Le Hosiang membentak, “Bangsat kurang ajar! Hari ini kau harus mampus dalam tanganku!” sambil berkata demikian, Seng Le Hosiang lalu mencabut pedangnya dari punggung.

Ketika masuk ke halaman rumah Liok-taijin tadi, Gwat Kong sengaja menyembunyikan pedangnya di bawah baju. Karena ia merasa tidak pantas untuk mengunjungi bekas majikannya dengan pedang tergantung di pinggang. Gwat Kong melihat betapa Seng Le Hosiang mencabut pedang, ia tidak berani berlaku sembrono. Ia cukup maklum bahwa hwesio ini amat lihai dan ilmu pedang Go-bi-pai sudah cukup terkenal kehebatannya. Maka iapun mencabut Sin-eng-kiam dan sekalian ia mengeluarkan suling bambunya yang dipegang di tangan kiri.

“Bangsat, lihat pedang!” Seng Le Hosiang berseru sambil menyerang dengan pedangnya. Gwat Kong menangkis dan cepat mengirim serangan balasan. Sebentar saja lenyaplah tubuh mereka terbungkus oleh sinar pedang yang bergulung-gulung bagaikan awan putih menutupi matahari.

Bukan main kagum dan herannya hati Liok Ong Gun melihat ini. Dahulu ketika Gwat Kong dikeroyok oleh perwira-perwira dan dapat melepaskan diri, ia telah merasa heran sekali. Akan tetapi pada waktu itu ia tidak dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu secara jelas.

Akan tetapi sekarang, ia melihat betapa pemuda itu menghadapi susiok-couwnya dengan demikian hebatnya, maka diam-diam ia menghela napas. Ia melihat bahwa ada persamaan antara ilmu pedang Tin Eng dengan ilmu pedang pemuda ini hanya permainan pemuda ini lebih hebat dan cepat.

Seng Le Hosiang juga terkejut sekali karena benar-benar ilmu pedang pemuda ini tidak kalah tingginya dari ilmu pedangnya sendiri. Bahkan ilmu pedang Gwat Kong ini mempunyai gerakan-gerakan yang amat aneh dan tidak terduga. Apalagi ditambah dengan gerakan suling yang demikian cepatnya, yang setiap kali bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah dengan jitu dan berbahaya sekali, membuat ia harus mengerahkan seluruh perhatiannya.

Namun segera ternyata bahwa ilmu pedang Gwat Kong masih lebih tinggi karena setelah bertempur puluhan jurus, Seng Le Hosiang mulai merasa pening sekali. Pedang dan suling itu merupakan senjata yang berlainan sifat menyerangnya dan berbeda pula gerakannya, maka amat sukarlah baginya untuk memecahkan perhatiannya kepada dua senjata itu.

Ia merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang luar biasa lihainya dan yang memiliki kelihaian sendiri. Ia mulai berkelahi dengan hati-hati dan mundur, dan mengerahkan kepandaian dan tenaga untuk mempertahankan diri saja.

Gwat Kong pun hanya bermaksud untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut menghadapi pendeta gundul itu dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kemenangan. Setelah dapat mendesak, ia mulai berusaha untuk mengakhiri perkelahian ini.

“Losuhu, awas!” teriaknya dan tiba-tiba ia merobah gerakan pedang dan sulingnya. Kini sulingnya berkelebat bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke depan mata lawan seakan-akan hendak menyerang mata.

Tentu saja Seng Le Hosiang berlaku hati-hati dan cepat menggunakan pedangnya untuk melindungi matanya. Akan tetapi ini hanya merupakan tipu dan pancingan belaka dari Gwat Kong karena setelah ia berhasil memancing lawan sehingga hwesio itu mengerahkan pedangnya di bagian atas, tiba-tiba pedangnya menyambar ke bawah dan “bret!” putuslah ujung jubah pendeta itu.

“Maaf, aku tak dapat melayani terlebih jauh!” kata Gwat Kong dan sekali ia berkelebat keluar, tubuhnya bagaikan seekor burung walet terbang menembus pintu depan dan lenyap.

Seng Le Hosiang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. “Hebat, hebat!!” ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang ke arah potongan ujung jubahnya di atas lantai. “Setan itu telah mewarisi dua ilmu silat yang tinggi, yang dapat dimainkan berbareng.”

Juga Liok Ong Gun terpesona oleh kelihaian Gwat Kong ini, maka diam-diam iapun merasa ragu-ragu. Apakah usaha susiok-couwnya untuk mengadakan pertempuran di Thaysan itu akan berhasil baik.

Sementara itu, Gwat Kong pergi dari tempat itu dengan hati gelisah. Ia memikirkan Tin Eng. Kemanakah perginya gadis itu? Mudah-mudahan ia pergi menyusulku ke Hong-san, pikirnya. Dengan harapan ini di dalam dada, Gwat Kong mempercepat larinya menuju ke Hong-san menyusul Cui Giok dan kalau benar dugaannya, mencari Tin Eng pula.

* * *

Marilah kita mengikuti pengalaman Tin Eng. Sebenarnya bagaimanakah gadis itu bisa pergi dari rumahnya dan kemana ia pergi?

Semenjak menolong Gwat Kong melarikan diri dan memberi seekor kuda kepada pemuda itu, Tin Eng selalu termenung memikirkan nasib pemuda itu. Kini ia tidak ragu-ragu lagi, bahwa ia sebenarnya menyinta pemuda itu. Ia merasa bangga sekali melihat kelihaian Gwat Kong dan merasa bahagia mendapat kenyataan betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya.

Akan tetapi, ayahnya makin marah kepadanya dan telah memakinya dengan hebat ketika mendengar bahwa Tin Eng lah yang menolong Gwat Kong sehingga bisa melarikan diri dari kepungan.

“Kau benar-benar menodai nama keluarga orang tuamu. Kau telah merendahkan diri dan menolong seorang bangsat rendah semacam Gwat Kong!” kata ayahnya.

“Ayah!” Tin Eng membantah dengan berani. “Apakah kesalahan Gwat Kong maka ayah menamainya bangsat rendah dan hendak menangkapnya? Ketika aku lari dulu, bukan kesalahan Gwat Kong dan ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergiku dari rumah. Kedatangannya kali ini pun tidak bermaksud buruk, dan hanya hendak menolongku karena ia mendengar bahwa aku ditawan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Dosa apakah yang ia lakukan maka ayah membencinya?”

Liok Ong Gun tak dapat menjawab, karena memang sesungguhnya pemuda itu tidak mempunyai kesalahan sesuatu, kecuali bahwa pemuda itu telah mendatangkan kekacauan dan terlalu berani.

“Kau memang anak liar. Orang tua mengatur perjodohan baik-baik, kau tidak mau, membantah, bahkan melarikan diri. Hmm, dosa apakah yang aku dan ibumu lakukan sehingga mempunyai anak tunggal macam kau!”

“Ayah, kalau memang ayah dan ibu menghendaki aku hidup beruntung, mengapa memaksaku kawin dengan Gan-ciangkun? Aku tidak suka kepadanya, aku... aku benci kepadanya. Kalau ayah memaksa aku kawin dengan dia, berarti bahwa ayah memaksa aku memasuki jurang kesengsaraan!”

“Bodoh! Dasar anak puthauw!” Sambil membanting daun pintu keras-keras, pembesar itu keluar dari kamarnya.

Semenjak itu, telah beberapa hari lamanya sikap pembesar itu berubah terhadap Tin Eng, sehingga gadis ini merasa heran. Ayah tidak lagi membujuk-bujuk atau memarahinya, tidak lagi memaksanya kawin dengan Gan-ciangkun, bahkan tidak lagi membicarakan urusan kawin. Akan tetapi, kini ayahnya minta penjelasan tentang pertemuannya dengan kedua saudara she Pang, bahkan akhirnya minta jawaban tentang letak tempat rahasia penyimpanan harta pusaka itu.

“Ayah, memang betul bahwa kedua orang she Pang dari kota raja itu menaruh kepercayaan kepadaku tentang hal itu. Akan tetapi aku sudah bersumpah takkan membuka rahasia ini kepada lain orang. Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu?”

“Tin Eng, dengarlah baik-baik, nak. Harta pusaka itu sebetulnya menjadi hak milik Pangeran Ong Kiat Bo. Dan rombongan perwira yang dipimpin oleh Ang Sun Tek juga atas perintah Pangeran Ong untuk mencari tempat harta pusaka itu. Petanya telah tercuri oleh kedua saudara Pang yang menjadi anak kemenakan Pangeran Ong dan yang akhirnya dipercayakan kepadamu.

"Pangeran Ong telah tahu akan hal ini, tahu bahwa kaulah yang menyimpan rahasia itu dan tahu pulah bahwa kau adalah anakku. Coba saja kau pikir. Kalau kau berkeras tidak mau memberi tahukan rahasia itu, tentu orang tuamu yang mendapat marah dari Pangeran Ong dan hal ini bukan urusan kecil. Kau bisa menyebabkan ayahmu dipecat atau dihukum.

"Sebaliknya, kalau kau mengaku, tentu Pangeran Ong akan berterima kasih dan soal kenaikan pangkat bagi ayahmu menjadi soal mudah. Apakah kau tidak mau menolong ayahmu dan bahkan akan mencelakakan kita sekeluarga hanya karena memegang teguh rahasia terhadap dua orang maling kecil itu?”

“Kedua saudara Pang bukan maling, ayah!”

“Hmm, kau memang bodoh. Sudah berapa lama kau mengenal mereka? Mereka adalah kemenakan Pangeran Ong dan mereka telah mencuri peta itu dari tangan pamannya.”

Tin Eng minta waktu sehari untuk memikirkan hal ini. Ia menjadi serba salah. Membuka rahasia salah, berkeras juga tidak baik. Ia pikir bahwa Kui Hwa dan Gwat Kong telah mengetahui rahasia tempat itu, bahkan sekarang mungkin telah mendapatkan harta terpendam itu. Apa salahnya memberitahukan begitu saja tanpa syarat. Ia merasa ragu.

“Ayah,” katanya pada keesokan harinya, ketika ayahnya datang menagih janji. “Aku mau membuka rahasia tempat penyimpanan harta pusaka di Hong-san itu, akan tetapi dengan syarat bahwa ayah harus berjanji tidak akan menjodohkan aku dengan Gan-ciangkun!”

Tentu saja ayahnya tertegun mendengar hal ini. “Tin Eng, mengapa kau begitu benci kepada Gan-ciangkun?”

Tin Eng tidak dapat menceritakan bahwa kebenciannya terhadap Gan Bu Gi memuncak oleh karena orang she Gan itu telah melakukan sesuatu yang amat keji terhadap Kui Hwa. Ia tahu bahwa Kui Hwa adalah anak murid Hoa-san-pai dan kalau ia beritahukan hal ini, ayahnya yang membenci anak murid Hoasan tentu akan menjadi makin marah. Bahkan takkan mempercayainya. Maka ia berkata,

“Aku tidak tahu mengapa, ayah. Akan tetapi menurut pendapatku, dia bukanlah seorang pemuda yang baik!”

“Syaratmu itu aneh,” kata ayahnya. “Aku sudah menerima pinangan Bong Bi Sianjin dengan perantaraan susiok-couw.”

“Ayah dapat membatalkan itu!”

Ayahnya menghela napas dan menggelengkan kepala. Baiklah aku akan merundingkan hal perjodohan itu dengan susiok-couw. Sekarang katakanlah kepadaku di mana sebetulnya peta itu.”

“Peta itu telah kubakar, ayah,” kata Tin Eng sejujurnya. “Akan tetapi, aku masih ingat di luar kepala.

Demikianlah, Tin Eng lalu menggambarkan sebuah peta di atas kertas yang segera diberikan kepada ayahnya.

Pada malam harinya, tanpa disengaja Tin Eng mendengarkan percakapan antara ayahnya dengan Seng Le Hosiang yang datang di gedung itu dan apa yang ia dengar membuat ia merasa kaget sekali, karena hwesio itu berkata cukup keras sehingga ia dapat mendengar dari balik pintu,

“Jangan kau khawatir, memang demikianlah adat seorang gadis muda yang sedang jatuh cinta. Menurut dugaanku, anakmu itu tergila-gila kepada Gwat Kong. Kalau kita binasakan pemuda itu dan berhasil mendapatkan harta pusaka, soal perjodohan anakmu dengan Gan Bu Gi mudah saja. Tanpa adanya Gwat Kong, tentu hati anakmu akan berubah.”

Lebih kaget lagi ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Memang anak itu keras kepala, susiok-couw. Teecu sudah mers cocok untuk menjodohkannya dengan Gan-ciangkun karena pemuda itu menurut pandangan teecu cukup baik dan besar pengharapannya di kemudian hari.”

Ucapan-ucapan kedua orang ini cukup membuat Tin Eng berlaku nekad dan malam hari itu juga, ia melarikan diri dari rumahnya. Ia pergi menunggang seekor kuda terbaik dan karena usahanya ini mendapat bantuan dari seorang pelayannya, maka dengan mudah saja ia dapat melarikan diri dari rumah tanpa diketahui oleh ayahnya. Baru pada keesokan harinya gedung Liok-taijin geger ketika mereka mendapatkan kamar gadis itu kosong.

Tin Eng membalapkan kuda dan tujuannya hanya satu, yakni menyusul Gwat Kong ke Hong-san. Ketika tiba di sungai Huang-ho, ia lalu menyewa sebuah perahu dan berlayar ke timur, menuju Hong-san.

Ketika perahunya tiba di sebuah hutan tak jauh dari bukit Hong-san, tiba-tiba ia mendengar sorakan ramai di pantai sebelah kiri. Ia melihat pertempuran hebat sedang berlangsung di tempat itu. Anak perahu ketakutan melihat ini dan hendak melanjutkan pelayaran. Akan tetapi, Tin Eng membentaknya dan menyuruh ia mendayung perahu ke pinggir. Sebagai seorang ahli silat, ia tertarik melihat sesuatu pertempuran.

Ketika perahu itu sudah tiba di pinggir pantai, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang bertempur itu adalah Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok yang lihai itupun sampai terdesak hebat. Tanpa membuang waktu lagi, Tin Eng melemparkan beberapa tail perak kepada anak perahu dan berkata, “Pergilah kau dengan perahumu dari sini!” Sedangkan ia sendiri lalu mencabut pedangnya dan melompat ke darat.

Dengan keras Tin Eng berseru, “Enci Kui Hwa jangan khawatir. Aku datang membantu!”

Beberapa orang anggauta bajak sungai yang melihat kedatangan Tin Eng, segera menyerbu akan tetapi dengan beberapa kali putaran pedangnya saja. Tin Eng telah merobohkan tiga orang pengeroyok sehingga yang lain segera mundur ketakutan. Tin Eng lalu menyerbu dan membantu Kui Hwa dan kedua suhengnya. Pertempuran makin ramai dan hebat setelah pihak murid-murid Hoa-san-pai mendapat bantuan Tin Eng.

* * *

Sebelum kita melanjutkan melihat pertempuran yang amat seru ini, baik kita mundur dahulu dan mencari tahu bagaimana Kui Hwa dan kedua orang suhengnya she Pui itu dapat berada di tempat itu dan dikeroyok oleh sekawanan bajak sungai yang dipimpin tiga orang lihai itu.

Sebagaimana dituturkan di bagian depan, setelah menyuruh kedua suhengnya untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng, Kui Hwa lalu melanjutkan perjalanannya ke Hong-san untuk mewakili Tin Eng mencari tempat harta pusaka itu tersimpan.

Ia dapat sampai di bukit Hong-san tanpa banyak rintangan di jalan. Pemandangan alam di sekitar Hong-san memang indah. Dari lereng bukit itu nampak lembah Huang-ho yang kehijau-hijauan. Kemudian sungai itu sendiri nampak bagaikan seekor naga besar sedang minum di laut.

Ketika ia tiba di puncak bukit, ia segera mencari gua Kilin di antara batu-batuan karang. Banyak gua terdapat di situ. Akan tetapi menurut peta petunjuk tempat harta pusaka itu tersimpan adalah sebuah gua yang bentuknya persegi empat seperti muka kilin.

Akhirnya ia dapat juga menemukan gua itu. Akan tetapi Kui Hwa adalah seorang gadis yang hati-hati dan cermat. Ia tidak segera masuk ke dalam gua, bahkan bersembunyi di balik gerombolan pohon dan mengintai...

Jilid selanjutnya,