Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 27 karya Kho Ping Hoo - GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya. Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.

“Tin Eng.... kau tidak...... tidak dengan Gan Bu Gi?” Sukar baginya untuk mengucapkan kata-kata “kawin” yang menikam hatinya.
Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda pemuda ini.
“Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!”
Gwat Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok berkata perlahan. “Pergilah, Liok-taijin datang.....!”
Gwat Kong mengulur tangan dan memegang tangan Tin Eng yang keluar dari jendela. “Tin Eng... aku pergi...!”
“Pergilah, Gwat Kong, aku... menantimu!”
Gwat Kong menyelinap dari jendela itu dengan hati berdebar. Teringatlah ia kepada Cui Giok dan nelayan tua itu. Juga Cui Giok berkata seperti yang baru saja diucapkan oleh Tin Eng itu. Mereka akan menanti! Ia bingung, akan tetapi telinganya masih dapat menangkap suara Liok Ong Gun berkata,
“Apakah kalian tidak melihat sesuatu? Menurut laporan penjaga, bangsat kecil Gwat Kong itu tadi kelihatan berada di dekat rumah kita!”
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menuju ke belakang rumah untuk pergi dari tempat berbahaya itu. Dengan cepat ia dapat keluar dari pintu belakang memasuki taman bunga, akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka di tengah taman di mana dahulu dilakukan ujian terhadap Gan Bu Gi, tiba-tiba saja dari belakang pohon dan gerombolan kembang berlompatan keluar beberapa orang perwira.
“Ha ha ha! Gwat Kong penjahat rendah!” teriak Gan Bu Gi. “Kau benar-benar berani mati, masuk ke dalam tempat orang seperti maling!”
Gwat Kong cepat memandang dan ternyata ia telah dikurung oleh sepuluh orang, diantaranya Ang Sun Tek yang sudah memegang goloknya yang bersinar mengkilap. Tujuh orang lain juga memegang golok yang sama bentuknya.
Bahkan pakaian mereka juga sama dengan pakaian Ang Sun Tek sehingga hati Gwat Kong tergerak karena ia menduga bahwa ketujuh orang ini tentulah kawan-kawan Ang Sun Tek sehingga mereka ini delapan orang merupakan Liok-te Pat-mo Delapan iblis bumi yang memiliki ilmu silat Pat-kwa To-hoat dan merupakan barisan Pat-kwa-tin yang terkenal!
Selain Liok-te Pat-mo dan Gan Bu Gi, terdapat pula seorang perwira yang brewok dan bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak panjang. Perwira ini bernama Lim Pok Ki, seorang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi dan tingkatnya menduduki tempat kedua di kotaraja.
Melihat sikap sepuluh orang ini, Gwat Kong maklum bahwa ia takkan dapat keluar dari tempat itu tanpa pertempuran mati-matian. Maka ia lalu mencabut pedang Sin-eng-kiam, memasang kuda-kuda dan berkata dengan senyum sindir,
“Gan Bu Gi! Kau pengecut besar. Apakah kau hendak mengandalkan keroyokan untuk melawanku?”
“Maling busuk!” Gan Bu Gi memaki. “Kau takut menghadapi kami?”Gwat Kong tersenyum, sikapnya masih tenang. “Orang she Gan! Biarpun belum tentu aku akan dapat menang menghadapi keroyokan kau dan kawan-kawanmu, akan tetapi jangan harap akan membikin aku takut. Biar kau tambah dengan sepuluh orang lagi, aku takkan takut menghadapinya!”
“Bangsat sombong!” teriak Ang Sun Tek yang melompat maju dengan goloknya yang lihai.
Gwat Kong menangkis dan segera ia dikeroyok oleh sepuluh orang kosen itu! Melihat gerakan senjata mereka, Gwat Kong kaget juga, karena kesemuanya memiliki gerakan yang amat cepat dan lihai sekali sehingga ia segera berseru keras dan memutar Sin-eng-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Sin-eng Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang menduduki tempat tinggi di kalangan persilatan. Sedangkan Gwat Kong telah mempelajarinya dengan sempurna, maka pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat dan tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang.
Bukan main kagumnya Ang Sun Tek melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang pernah ia jumpai di restoran dan yang telah ia coba pula tenaga dan kelihaiannya, memiliki ilmu pedang yang belum pernah ia lihat selama hidupnya. Ia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng.
Akan tetapi dibandingkan dengan Tin Eng, kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dan lebih hebat. Biarpun delapan buah golok, sebuah pedang dan sebatang tombak menyerang bagaikan hujan lebat. Namun pedang ditangan Gwat Kong dapat melayani dan menangkis semua itu dengan amat baik dan cepatnya!
Akan tetapi, diam-diam Gwat Kong mengeluh di dalam hatinya. Untuk menghadapi Liok-te Pat-mo delapan orang itu saja, belum tentu ia akan dapat memperoleh kemenangan, oleh karena mereka ini benar-benar hebat sekali permainan goloknya. Apalagi di tambah dengan Gan Bu Gi yang juga lihai ilmu pedang Kim-san-painya, sedangkan perwira tinggi besar itupun hebat sekali permainan tombaknya.
Baiknya bahwa dengan ikut sertanya Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki perwira brewok tinggi besar itu, maka Liok-te Pat-mo tidak sempat untuk mengatur barisan Pat-kwa-tin mereka dan di dalam keroyokan yang tak teratur ini, kelihaian mereka banyak berkurang.
Gwat Kong merasa menyesal mengapa ia tidak membawa sulingnya, karena kalau ia membawa benda itu, ia akan dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi dan dapat mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat dengan sulingnya. Tentu saja ketika berangkat ke Kiang-sui, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dan menghadapi sekian banyaknya lawan-lawan yang tangguh dan berat.
“Tahan!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru keras. Semua orang menahan senjata masing-masing. “Apakah kau yang disebut Kang-lam Ciu-hiap?” Ang Sun Tek menegaskan.
“Benar,” jawab Gwat Kong.
“Apakah kau ahli waris dari Sin-eng Kiam-hoat?”
Gwat Kong tersenyum. “Hmm, masih bagus matamu tidak tertutup oleh kesombonganmu, Ang Sun Tek. Memang aku ahli waris Sin-eng Kiam-hoat dan tentu kau akan dapat melihat pedang Sin-eng-kiam ini kalau matamu tidak buta.”
“Bagus!” teriak Ang Sun Tek dengan girang. Aku bersama tujuh orang saudaraku telah mengalahkan Im-yang Siang-kiam dari selatan, hanya tinggal Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang belum dicoba!”
“Ketahuilah, Ang Sun Tek! Kalau kau hendak mencoba Sin-hong Tung-hoat, kaupun harus berhadapan dengan aku sendiri.”
“Apa? Kau anak murid Bok Kwi Sianjin pula....?”
“Benar! Sayang tidak ada senjata tongkat untuk membuktikannya kepadamu!”
“Bagus, bagus! Kalau begitu, cobalah kau hadapi Pat-kwa-tin kami!” seru Ang Sun Tek dengan gembira.
“Ang Sun Tek, telah lama aku mendengar bahwa Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo berbahaya dan hebat sekali, dan semua golok dimainkan berdasarkan Pat-kwa-tin, ilmu golok yang menggetarkan daerah utara. Akan tetapi kau dan kawan-kawanmu berjumlah delapan orang sedangkan aku hanya seorang diri. Kalau kau memang gagah dan hendak mempertahankan nama barisanmu, beranikah kau menghadapi aku dan seorang kawanku?”
“Ha ha ha! Tentu saja berani. Siapakah kawanmu itu dan di manakah dia?”
Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki merasa kurang puas melihat betapa Ang Sun Tek kini bercakap-cakap dengan Gwat Kong sebagai ahli silat menghadapi ahli silat, bukan sebagai perwira yang hendak menangkap seorang pelanggar hukum, maka Gan Bu Gi berseru, “Hayo, tangkap maling ini!”
“Gan-ciangkun, jangan bergerak!” seru Ang Sun Tek marah. “Atau barangkali kau mau menghadapi Kang-lam Ciu-hiap sendiri saja?”
Ditegur secara demikian, Gan Bu Gi tertegun. Tentu saja ia tidak berani menghadapi Gwat Kong seorang diri saja.
“Ha ha ha, ternyata Ang Sun Tek masih memiliki kegagahan tidak seperti tikus kecil she Gan yang bersifat pengecut ini,” kata Gwat Kong. “Ang Sun Tek, tadi kau bertanya tentang kawanku itu. Masih ingatkah kau kepada jago tua Sie Cui Lui di Ciang-si?”
“Pencipta Im-yang Siang-kiam-hoat? Tentu saja, dia pernah menjadi pecundang menghadapi barisan kami!”
Gwat Kong mengangguk. “Benar, dan karena itulah maka kawanku itu memang sengaja mencari-carimu di Sian-nang, akan tetapi ternyata kalian telah pergi ke ibukota. Dia adalah cucu dari Sie Cui Lui Locianpwe, dan sengaja hendak membalas dan menebus kekalahan Sie locianpwe!”
“Bagus, suruh dia datang ke sini. Biar kau dan dia maju berbareng!” tantang Ang Sun Tek.
Pada saat itu, terdengar ribut-ribut dan dari pintu depan muncullah Liok Ong Gun bersama perwira dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih. “Tangkap penjahat ini!” teriak Liok-taijin dan menyerbulah semua perwira itu.
Ang Sun Tek sendiri bersama tujuh orang kawannya ketika melihat munculnya Liok-taijin, merasa tidak enak hati kalau tinggal diam saja, maka Ang Sun Tek berkata, “Mungkin kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menguji barisan kami, Kang-lam Ciu-hiap!” Dan iapun menggerakkan goloknya maju menerjang, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain!”
Kini keadaan Gwat Kong benar-benar berbahaya sekali. Ia telah diserang lagi oleh Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Sedangkan Liok-taijin bersama pengikutnya telah mengurung dan siap sedia menyerbu pula.
Akan tetapi, Gwat Kong merasa aneh sekali mendapat kenyataan bahwa gerakan golok Ang Sun Tek amat berlainan dengan tadi. Kini gerakan golok mereka lemah dan biarpun gerakan itu masih amat cepat akan tetapi mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tentu saja Gwat Kong menjadi girang sekali dan diam-diam ia tahu akan maksud Ang Sun Tek dan kawan-kawannya.
Liok-te Pat-mo ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dan mereka amat bangga dengan Pat-kwa-tin mereka sehingga ketika mendengar bahwa Gwat Kong bersama seorang keturunan Sie Cui Lui hendak mencoba kekuatan barisan mereka, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya telah menjadi gembira.
Oleh karena itu, mereka ini sengaja tidak menyerang sungguh-sungguh dan hendak memberi kesempatan kepada Gwat Kong untuk melarikan diri agar kelak mereka dapat berhadapan di depan pibu (adu kepandaian).
Akan tetapi agaknya Ang Sun Tek hendak memperlihatkan kepada Gwat Kong akan kelihaian ilmu goloknya, karena tiba-tiba ia berseru keras, “Kang-lam Ciu-hiap, aku takkan puas membiarkan kau pergi begitu saja!”
Ia memberi isyarat dengan kata-kata rahasia kepada kawan-kawannya dan dengan amat cepatnya mereka itu lalu menyerbu, merupakan serangan yang bersegi delapan. Inilah gerakan dari Pat-kwa-tin yang sengaja didemonstrasikan oleh Ang Sun Tek dan kehebatannya memang luar biasa sekali.
Delapan buah golok yang menyerang Gwat Kong itu tidak dilakukan dalam saat yang sama, akan tetapi sambung menyambung dan selalu mengarah bagian yang lemah menurut gerakan Gwat Kong ketika mengelakkan diri dari golok yang menyerangnya. Pemuda ini dengan kecepatannya masih dapat menghindarkan tujuh batang golok yang menyerang berturut-turut.
Akan tetapi golok Ang Sun Tek yang menyerang terakhir masih dapat menyerempet pundaknya sehingga bajunya di bagian pundak kiri robek dan kulitnya terbabat berikut sedikit daging. Darah keluar membasahi bajunya itu.
Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh dibuat main-main.
Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.
Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan. Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil berteriak-teriak.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya.
Untung baginya, ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain tertangkis runtuh ke bawah tembok.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.
“Pengecut!” Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.
Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.
Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah. Namun, para penjaga masih saja mendesak maju.
Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Barisan penjaga, mundur!”
Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok, alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang menuntun seekor kuda putih.
“Gwat Kong, lekas kau lari!” kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.
“Tin Eng,” bisik Gwat Kong. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak....”
“Gwat Kong, kau terluka...?”
“Tidak mengapa, hanya luka sedikit!” kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat.
“Aku menunggu...” masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di dalam taman bunga itu melihatnya.
Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung, dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong Gwat Kong melarikan diri.
Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang melarikan diri dengan amat cepatnya. “Keluarkan kuda!” teriaknya. “Kejar bangsat itu sampai dapat!” Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.
Gwat Kong membedal kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.
Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para pengejarnya tertinggal di belakang.
Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa panas dan sakit.
Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu? Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat?
Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan terbang cepatnya.
Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali. Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambai-lambai seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.
Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang. “Cui Giok,” bisiknya di dalam hati. “Kau benar-benar menungguku...,” ia memandang kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.
Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat Gwat Kong kembali.
Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya, menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.
“Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia.”
“Siapa memikirkan dia?” kata Cui Giok marah. “Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak perduli.” Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.
Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam di dalam hatinya terdengar nyanyian, “Seribu tahun dinda akan menanti juga!”
Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih, dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah. Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian lama meninggalkannya.
Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan memegang tangan pemuda itu,
“Gwat Kong, apa yang terjadi...?” suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.
“Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan tambang perahu dan jalankan perahu.”
Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali. “Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu itu.” Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di buntalan pakaiannya.
Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya. “Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!”
Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.
Cui Giok merasa dadanya panas. “Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena dia ayah.... Tin Eng...??” Nada suaranya penuh perasaan cemburu.
Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. “Tidak..., aku, aku... ah, pening sekali kepalaku...”
Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.
Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah, karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.
“Gwat Kong, kau terluka....?” Cui Giok berbisik penuh perhatian.
Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.
“Gwat Kong...!” Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang diputuskannya.
Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang, “Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci lebih dahulu.”
Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang. Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu tangannya yang telah basah oleh darah.
Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.
Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu mengikat perahu pada akar pohon.
Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.
Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba berhenti.
Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya. Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak. Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.
Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.
“Gwat Kong....” Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu erat-erat.
“Gwat Kong...” kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.
Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara.
Gwat Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.
“Panas... panas....” Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.
Cui Giok makin bingung. “Bagaimana Gwat Kong...? Sakitkah...?”
“Panas.... minum...” Gwat Kong berkata setengah sadar.
Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya. Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi.
Akan tetapi Gwat Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan seorang gila ia merenggut pakaiannya dan “bret .... bret ...” bajunya terobek dan terbuka sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.
“Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!” kata Cui Giok yang segera menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.
“Panas...,” Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.
“Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!” Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong dengan mesra.
Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu. Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan Cui Giok.
Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api....