Babad Pamungkas Bagian 01

Cerita silat Indonesia Wiro Sableng
Sonny Ogawa
PENDEKAR KERIS SAKTI NAGA SANJAYA
Babad Pamungkas Bagian 01
Karya: Mike
Cerita silat Indonesia Wiro Sableng
BAB 1
PERTARUNGAN antara Resi Raksasa perwujudan keenam dewa kerajaan perut bumi melawan para tokoh dunia persilatan yang masih tersisapun berjalan semakin seru dan menegangkan. Bujang Gila Tapak Sakti yang berhasil mendaratkan pukulan sakti Mahameru Murka kearah dada Resi Raksasa pun harus bernasib apes merasakan tamparan telapak sang resi yang begitu keras.

Sehingga pendekar sahabat karib Pendekar Dua Satu Dua ini sampai terlempar terputar-putar dan menghempas sisa onggokan candi prambanan yang melayang di udara dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sementara itu, Nyi Roro Kidul yang berada di atas kereta kencananya kembali mengibaskan tali kekang kuda kereta kencananya sehinga tiga pasang kuda pilihan miliknya tersebut saling berkejaran memutari tubuh Resi Raksasa.

Dari atas cermin bulat raksasa yang diketahui bernama cermin pualam sakti dasar samudera yang melayang diatas kepala sang ratu tersebut, terlihat melesat cahaya angker berwarna biru yang tidak putus-putusnya menghantam tubuh Resi Raksasa!

Resi Raksasa yang merasakan kerepotan oleh silaunya cahaya yang terus menghantam tubuh dan menyilaukan pandangannya berusaha menangkap Nyi Roro Kidul yang mengendarai kereta kencana yang mengitari tubuhnya, namun urung di lakukan manakala dirasanya pundak sebelah kanannya tiba-tiba terasa sakit luar biasa. Saat dirinya menoleh rupanya Mahesa Kelud telah berhasil menghujamkan pedang dewa dan keris ular emas miliknya ke pundaknya sebelah kanan!

“Jahanaaaam!!!” bentak sang Resi Raksasa sembari berusaha menepuk tubuh Mahesa Kelud menggunakan tangan kirinya. Suara sang raksasa yang mengelegar memecah angkasa menandakan kalau sang resi akhirnya merasakan juga apa itu rasa sakit yang sesungguhnya!

Menghilangnya kabut dewa dan terbebasnya Kiai Naga Waskita dan Kiai Naga Wisesa kedua naga pemutar poros inti bumi ini, menandakan kalau kekebalan yang dimiliki resi gabungan keenam dewa ini akhirnya mulai memudar.

Merasakan sambaran angin keras yang datang kearahnya, Mahesa Kelud pun terpaksa harus melepaskan pegangannya pada kedua senjata miliknya tersebut dan melompat jauh menghidari tepukan sang dewa raksasa.

Sementara itu gelombang air laut maha dahsyat semakin naik dan mulai sampai ke atas paha sang Resi Raksasa. Setan Ngompol yang berada bergantungan di balik celana sebelah dalam bagian kanan sang resi mulai menyumpah panjang pendek sambil terus berusaha memanjat keatas.

“Kau sudah sampai dimana kakek bau pesing?” satu suara kisikan masuk kearah telinganya yang terbalik.

"Sedikit lagi Ning tapi aku kesusahan soalnya air laut sudah sampai sebatas bijiku!” balas sang kakek bermata jereng.

"Tahan dulu urusan bijimu itu kek! Masih ada biji lain yang harus kita utamakan!” ucap kisikan yang rupanya kisikan milik Naga Kuning yang ternyata juga sedang merayap di bagian celana sebelah kiri!

Di sisi lain melihat datangnya serbuan gelombang air laut maha dahsyat itu, hati sri Baginda Maharaja Rakai kayuwangi Dyah Pasingsangan terasa teriris sedih dan tanpa sadar menggigit bibirnya. Gelombang dahsyat dengan ketinggian ratusan tombak ini memang datang bersamaan dengan kedatangan Nyi Roro Kidul setelah sebelumnya berhasil menewaskan Ratu Agung Penguasa Perut Bumi di dasar laut selatan.

Khawatir dan cemas akan keadaan rakyat yang dipimpinnya ini membuat sang maharaja menjadi resah dan tanpa sadar mengeluarkan keluhan lirih. "Bagaimana nasib kalian wahai rakyatku... Wahai Sang Hyang Widi Wsesa.. Mohon selamatkan seluruh rakyatku yang tertimpa kemalangan ini..." keluh sang raja.

Roro Jonggrang yang terbang melayang disampingnya nampak memandang sang raja dengan mata teduhnya. Sang dewi pemilik candi prambanan ini pun kemudian menggapai tangan sang maharaja lalu terus berujar. "Kau benar-benar raja yang sangat mencintai rakyatmu wahai rajaku, namun coba kau lihat dengan mata batin mu. Sesungguhnya masih banyak orang baik sepertimu di dunia ini yang peduli dan dan tulus mencintai rakyat Mataram seperti dirimu..."

Selesai berujar sang dewi menyalurkan kekuatan yang dimilikinya yang kemudian getarannya merambat dari sepasang tangan yang saling menyatu dan naik keatas kearah mata Maharaja Mataram.

Sang Maharaja Mataram merasakan sensasi dingin pada matanya, lalu sang raja pun kemudian memejamkan matanya. Begitu matanya terpejam, secara mata batin sang raja melihat penglihatan yang saling bergantian dan nampak menyuguhkan satu pemandangan yang mengharukan dan luar biasa! bagaimana tidak?

Dengan ilmu Menembus batas cakrawala yang dialirkan ke arah sepasang mata Maharaja Mataram oleh Dewi Roro Jonggrang, sang maharaja dapat melihat para tokoh dunia persilatan yang masih tersisa seperti Anggini, Bidadari Angin Timur, Purnama, Dewi Dua Musim, Panji Ateleng, dan yang lainnya nampak memecah diri menjadi ribuan sosok dan berkelebat laksana kilatan petir ke segala penjuru tanah Mataram!

Seperti diketahui sebelumnya, para tokoh dunia persilatan ini mendapatkan Ilmu Pecah Seribu Bayangan Seribu Sukma oleh Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud dan ilmu Mengendarai Petir Melintasi Ujung Bumi oleh Yang Mulia Dewa Agung Penyangga Langit dan Bumi.

Kedua ilmu yang memungkinkan penggunanya membelah diri menjadi ribuan sosok dan melesat laksana petir ini, kini digunakan oleh para tokoh dunia persilatan ini untuk menyebar kesegala penjuru bumi Mataram untuk menjemput semua rakyat yang baru terbebas dari jeratan kabut dewa dan membawa mereka menuju tempat tertinggi yaitu puncak gunung merapi!

Para tokoh sakti ini nampak melesat secepat kilat ke segala penjuru baik keraton dan alun-alun di Kotaraja, desa-desa, setiap rumah maupun pasar atau persawahan dimana terdapat manusia. Para pendekar dunia persilatan ini kemudian langsung menggendong atau membopong rakyat yang mereka temui dan kemudian berlari secepat kilat berkejaran dengan gelombang laut raksasa kearah puncak Merapi yang dirasa sebagai tempat tertinggi dan teraman saat itu.

Melihat keadaan sang resi yang nampak menggeliat kesakitan akibat tikaman Mahesa Kelud, Dewi Agung Bunga Mawar beserta Dewi Agung Bunga Melati dan para dewa yang masih tersisa dan tidak tergabung dalam rantai jiwa hati dewa dan manusia kemudian langsung menggunakan kekuatan dewa mereka dan serentak mengeluarkan ilmu Sepasang Pedang Dewa!

Para dewa dan dewi yang sebagian besar memulihkan diri dibalik awan ini sangat mengerti, bahwa sejak moksanya Yang Mulia Dewa Agung Penyangga Langit dan Bumi maka waktu dan kekuatan yang mereka miliki hanya tinggal sedikit dan harus dikeluarkan pada waktu yang benar-benar tepat.

Dengan mengikuti aba-aba dari dua dewi yaitu Dewi Agung Bunga Mawar dan Dewi Agung Bunga Melati yang berada paling dekat dari tubuh Resi Raksasa, mereka pun sontak membeliakkan mata masing-masing seraya berbarengan mengeluarkan ilmu sepasang pedang dewa tertuju kearah Resi Raksasa.

Hujan imu sepasang pedang dewa tercurah dari langit dan nampak berseliweran ramai memenuhi udara berterbangan menuju kearah Resi Raksasa! sang resi pun rupanya menyadari tekanan luar biasa yang ditimbulkan oleh serangan puluhan sinar pedang dewa yang ditujukan padanya dan tanpa diduga sang Resi Raksasa kemudian terlihat mendongakkan kepalanya lalu dari sepasang matanya melesat pula sinar berbentuk pedang raksasa yang menyala angker memapak datangnya serangan!

Sang resi juga rupanya turut pula mengeluarkan ilmu sepasang pedang dewa dari kedua matanya dan dalam wujud sepasang pedang raksasa berukuran ratusan kali lebih besar, dari sinar pedang dewa yang dikeluarkan para dewa dan dewi negeri atas langit! suara memekakkan kembali terdengar dari bertemunya sinar sepasang pedang dewa yang dilepas oleh Resi Raksasa dengan gabungan ilmu sepasang sinar inti dewa milik para dewa.

Sepasang pedang cahaya berukuran raksasa tersebut layaknya pisau mengiris mentega manakala menghantam gabungan sinar pedang inti dewa mirip para dewa atas langit, yang sontak raib musnah meninggalkan serpihan-serpihan sinar yang berasap dan membumbung tinggi. dan tidak sampai disitu saja, sinar pedang dewa milik sang resi terus melaju terbang dan menebas memburu dewa dan dewi yang berada diatas awan yang sebelumnya melepaskan ilmu kesaktian tersebut.

"Cepat masuk ke dalam barisan rantai! Jangan sampai tubuh kalian terkena sambaran sinar pedang itu...!" teriak Dewa Tuak memperingatkan.

Mendengar teriakan Dewa Tuak, para dewa yang sebelumnya melepaskan ilmu tersebut bergegas berusaha melesat ke dalam lingkaran Rantai Sambung Jiwa Hati Dewa dan Manusia namun sayangnya hanya beberapa dewa yang berhasil kembali ke dalam lingkaran rantai, selebihnya mati tertebas sinar pedang raksasa yang dilepas sang resi. Dewi Langit Bunga Mawar dan Dewi Langit Bunga Melati termasuk dua orang Dewi yang tertebas hancur oleh ganasnya ilmu sepasang pedang dewa milik resi dewa gabungan.

Sementara itu jauh diatas angkasa sana, diantara kegelapan yang hitam kelam tak terhingga, diantara bebatuan beraneka bentuk yang mengambang tak beraturan, sesosok tubuh manusia nampak melayang pelan dalam keheningan. Tubuh Pendekar Dua Satu Dua nampak meringkuk ringkih dalam kelamnya kegelapan semesta. Matanya yang kosong nampak terbuka sebagian menatap ke arah ketiadaan.

"Selesai sudah..." batin sang pendekar dengan perasaan lelah yang begitu mendalam. Tubuh sang pendekar yang kosong tanpa sedikitpun tenaga yang tersisa nampak mulai menjauh dari ujung cahaya mentari di angkasa.

Dirinya sudah benar-benar pasrah dan menyerah atas semua yang telah terjadi selama ini dalam hidupnya. Berbagai pukulan baik jasmani dan mental telah menghancurkan jiwa dan raganya sampai sejauh ini.

Kehilangan orang-orang yang dicintai kehilangan anak dan istri yang dikasihi, serta harus melihat guru tercinta yang membesarkannya dan mengajari ilmu kesaktian harus meninggal secara mengenaskan di depan matanya sendiri benar-benar membuat jiwa sang pendekar lumat hancur dan terpukul. Ini melebihi penderitaannya saat ratusan tahun menjadi batu di Mataram kuno.

Bahkan melebihi saat dirinya harus menanggung derita menjadi bongkok dan menyandang gelar Iblis Bongkok Bulan dan Matahari akibat peristiwa pengadilan tahta dewa dan pengorbanan Luhcinta atau Dewi Langit Bunga Tanjung.

Tubuh sang pendekar terus berputar dan melayang pelan, dirinya benar-benar sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Seluruh tubuhnya yang hancur babak belur akibat pertempuran terakhir yang masih terus terjadi di bumi Mataram perlahan mulai dingin membeku. Saat hendak memejamkan kedua matanya, Pendekar Dua Satu Dua tiba-tiba kembali mengingat satu peristiwa yang pernah dilalui sebelumnya. Satu peristiwa yang pernah membuat dirinya begitu hancur dan terluka.

Dilihatnya dalam ingatannya tersebut Ratu Duyung mengangkat kedua tangannya berusaha menggapai wajah sang pendekar. Dengan tangan bergetar Ratu Duyung perlahan melepas tali topeng yang dikenakan Iblis Bongkok Bulan dan Matahari. Begitu topeng ludruk kayu cendana lepas dari wajah sang Iblis Bongkok, Sepasang mata Ratu Duyung nampak semakin sembab dan berkaca-kaca.

Dihadapannya nampak satu wajah pria dewasa yang nampak menatap dirinya penuh gejolak perasaan. Sepasang mata yang juga terlihat berkaca-kaca dan terlihat terlalu lama menanggung penderitaan. "Akhirnya aku bisa kembali melihat raut wajahmu suamiku.." ucap sang ratu sembari tersenyum dan membelai pipi lelaki dihadapannya.

Lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng ini berusaha mengangkat tangannya yang biru legam menghitam untuk memegang tangan istrinya sang Ratu Duyung namun usahanya tidak membuahkan hasil. Tangannya kembali terjatuh lemas di samping kedua bahunya.

Seperti diketahui bersama, akibat terlalu sering menggunakan pukulan sakti Mentari Tengah Malam dan Pukulan Rembulan Tengah Hari yang terdapat dalam Kitab Jagat Pusaka Dewa, kedua tangan Pendekar Dua Satu Dua mengalami keracunan hebat. Sang pendekar terpaksa menggunakan ilmu yang belum sempurna tersebut kala bertarung melawan keroyokan Kanjeng Ratu Penguasa Perut Bumi dan para pasukannya kala menyerbu istana dasar samudera untuk yang kesekian kali.

"Setelah sekian lama kita berpisah akhirnya kita dapat bertemu kembali Wiro suamiku..." Desis lirih Ratu Duyung masih sambil terus menatap Pendekar Dua Satu Dua.

"Jangan dulu banyak bercakap intan istriku. Kau masih lemah.. Kau baru saja melahirkan buah hati kita..." ucap Wiro dengan suara tersendat.

Ratu Duyung kemudian berpaling kearah sampingnya dimana bayi perempuan yang baru saja dilahirkannya nampak menggeliat dalam lipatan bungkusan daun jati. Ratu Duyung kemudian kembali berpaling dan menatap kearah Pendekar Dua Satu Dua yang berada disisinya.

"Kau memiliki kewajiban yang harus kau lakukan terlebih dahulu suamiku. Sebelum aku meninggalkan dirimu dan buah hati kita, aku ingin melihat kau membisikkan lantunan suci itu di telinga buah hati kita..."

Air mata tanpa bisa dibendung lagi merembes keluar dari pemuda yang ratusan tahun jasadnya tersembunyi membatu di gunung Padang ini. Sang pendekar berusaha menggapai bayi perempuan yang terbungkus daun jati yang berada disamping tubuh Ratu Duyung.

Namun apalah daya kedua tangannya tidak bisa digerakkan sama sekali. "Biar aku membantumu kakak pendekar..." satu suara terdengar dari balik batu sebelah dalam yang ternyata adalah suara Uban alias Jabrik Sakti Wanara. Bocah remaja yang sedari tadi diam bersembunyi di balik batu dalam goa cadas kencana.

"Terima kasih anak baik anak bagus!" ucap Pendekar Dua Satu Dua kala melihat usaha Uban yang dengan amat hati-hati dan perlahan mengangkat bayi dalam bedongan daun jati dan mendekatkan bagian kepala bayi berambut keemasan berkilau tersebut kearah mulut Pendekar Dua Satu Dua.

BAB DUA

Wiro kemudian melantunkan azan ditelinga bayi yang merupakan buah hatinya dan Ratu Duyung dan kemudian mengecup kening sang bayi sesaat. Melihat hal ini Ratu Duyung nampak tersenyum dan kemudian terdengar berbisik lirih,

"Kau pun memiliki kewajiban untuk memberikan nama kepada anak kita itu..."

Wiro menatap bergantian kearah Ratu Duyung dan putrinya yang masih berada dalam pegangan Uban. "Aku memiliki sebuah nama tapi jujur aku takut jika kau tidak berkenan..."

Ratu Duyung nampak tersenyum "Katakan saja suamiku, aku sungguh ingin mendengar nama pilihanmu itu..."

Wiro menatap kearah sang putri yang berambut pirang keemasan dan memiliki mata berwarna biru lembut "Aku memohon maaf sebelumnya istriku.. sungguh tidak ada maksud apapun dalam hatiku ini.. entah mengapa aku begitu ingin menamakan anak kita ini dengan nama panggilan... Intan Suci Angin Timur..."

Sepasang mata Ratu Duyung nampak membesar sesaat sebelum nampak akhirnya tertawa dengan tersendat-sendat.

"Maafkan aku istriku... Aku akan memikirkan nama lain jika nama itu tidak menyenangkan hatimu..." ucap Wiro panik.

"Kau benar-benar ceriwis Wiro! Namun Tidak apa-apa. Aku menyukai nama itu. Dan mungkin setelah hari ini berlalu, aku bahkan berharap salah satu dari merekalah yang akan menjadi ibu pengganti dan pembimbing dari buah hati kita ini..." ucap Ratu Duyung sambil dengan tangan bergetar membelai kepala bayi dalam pondongan Jabrik Sakti.

"Intan.. Aku percaya masih ada cara... Aku tidak ingin kita terpisah kembali seperti yang sudah-sudah..." desis Wiro sedih.

Ratu Duyung nampak tersenyum dengan mata sayu. "Kita sama-sama tahu keadaan ku saat ini Wiro. Dan itu bukanlah hal yang terpenting saat ini. Hal yang terpenting sekarang adalah keselamatan buah hati kita. Kau harus membawa anak kita ketempat yang aman dan tersembunyi dari kejaran orang-orang Kerajaan Perut Bumi..." suara Ratu Duyung perlahan mulai terdengar melemah.

"Sekarang turunkan lehermu suamiku. Aku ingin memelukmu untuk yang terakhir kali.liriucap lirih hampir tak terdengar dari sang ratu.

Dengan berurai air mata Pendekar Dua Satu Dua menurunkan lehernya dan membiarkan tangan ringkih yang gemetaran memeluk lehernya. Dengan menahan sesenggukan yang keluar dari mulutnya, Pendekar Dua Satu Dua nampak merapatkan wajahnya dan membenamkannya di pundak sebelah dalam sang istri.

Sungguh begitu ingin sang pendekar untuk memeluk tubuh sang istri seerat-eratnya, namun apa daya kedua tangannya terkulai lemah dan tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal tersebut. Banjir air mata nampak berlelehan di wajah sang pendekar kala mendengar bisikan kecil yang hampir tak terdengar yang dibisikan oleh Ratu Duyung.

Setelah membisikkan kata-kata terakhirnya ke telinga Pendekar Dua Satu Dua, mata sang Ratu Duyung nampak perlahan menutup dan sepasang tangannya yang memeluk leher sang suami nampak terkulai dan jatuh bersamaan dengan ambruknya tubuh sang Ratu Duyung dalam pangkuan sang suami.

Kesunyian tiba-tiba menyeruak namun sepenghirupan nafas kemudian satu peristiwa yang menggetarkan hati terpampang dihadapan Jabrik Sakti Wanara. Satu raungan keras yang terdengar seperti gabungan suara raungan naga dan harimau yang terluka terdengar keluar dari mulut Pendekar Dua Satu Dua!

Matanya nampak terbuka memutih bercahaya mencorong dan tubuhnya serta tubuh sang istri nampak tiba-tiba dikelilingi oleh satu pusaran angin badai yang berputar kencang mengelilingi tubuh sang pendekar dan jazad Ratu Duyung!

Dari dalam pusaran tersebut samar-samar terlihat bayangan dua ekor naga yang berwarna merah dan putih turut berputar resah mengelilingi Pendekar Dua Satu Dua! Rupanya Naga Dewa Mentari dan Naga Dewi Rembulan yang bersemayam di kedua tangan Pendekar Dua Satu Dua bahkan turut resah dan merasakan raungan duka mendalam yang terpancar dari rasa kehilangan luar biasa yang dirasakan oleh Pendekar Dua Satu Dua! Dinding batu yang terdapat dalam goa batu tersebut bahkan sampai terasa panas dan bergetar keras.

Jabrik Sakti Wanara yang mendekap bayi mungil Intan Suci Angin Timur sampai-sampai harus pontang-panting lari kembali ke sudut goa terdalam dan menyembunyikan tubuhnya dibalik batu sambil sesekali mengintip kejadian luar biasa yang terjadi di hadapannya.

Hampir sepeminuman teh baru akhirnya suara raungan yang keluar dari mulut Pendekar Dua Satu Dua pun akhirnya terhenti, putaran angin badai dan bayangan dua ekor naga pun perlahan pupus. Tubuh Pendekar Dua Satu Dua nampak mematung dengan pandangan kosong. Hening yang mencekam akhirnya terpecahkan oleh hembusan nafas yang keluar dari hidung Pendekar Dua Satu Dua.

"Kemarilah bocah baik, ada yang ingin kuminta pertolongan padamu" Ucap Pendekar Dua Satu Dua tiba-tiba.

Dengan agak takut-takut Uban pun perlahan beranjak dari batu tempat persembunyiannya. Wajahnya langsung tercekat kala melihat pria yang sebelumnya dikenalnya dengan sebutan Iblis Bongkok Bulan dan Matahari ini. Uban memang sudah pernah melihat wajah Iblis Bongkok sebelumnya namun setelah kematian wanita yang kemudian diketahuinya sebagai Istri Iblis Bongkok.

Uban melihat garis-garis wajah dari pria ini semakin bertambah banyak dan yang paling mencolok adalah rambut gondrong sang pria yang sebelumnya nampak hitam legam kini nampak memutih seluruhnya seperti rambutnya sendiri! Karena duka yang begitu dalam rambut Iblis Bongkok Bulan dan Matahari alias Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng memutih hanya dalam sekejapan mata!

"Bisakah kau membantuku memakaikan topeng kayu itu wahai bocah baik?" Ucap sang pendekar sembari menatap uban dengan pandangan sayu.

"Bi... bisa kakak pendekar..." ucap Uban sembari mendekat kearah Pendekar Dua Satu Dua. Uban kemudian perlahan menurunkan tubuh bayi Intan Suci yang sebelumnya dipondongnya ke sisi sebelah jazad Ratu Duyung.

Uban atau Jabrik Sakti Wanara kemudian mengambil Topeng ludruk kayu cendana yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berada dan kemudian membantu mengenakannya di wajah Pendekar Dua Satu Dua.

Setelah topeng kayu tersebut terpasang, Uban pun kembali kehadapan Iblis Bongkok Bulan dan Matahari dan kemudian duduk bersimpuh dengan wajah terpekur menghadap lantai.

"Apakah kau masih menyimpan Kitab Seribu Bintang yang dititipkan oleh kakek Raja Penidur?" Tanya Iblis Bongkok.

Jabrik Sakti nampak mengangguk dan menunjuk kearah buntalan kain lurik berisi kitab seribu bintang yang tersampir di punggungnya yang telanjang.

Iblis Bongkok nampak menganggukkan kepalanya "Nampaknya aku harus kembali menyusahkanmu kali ini anak baik..." ucap iblis bongkok yang langsung dibalas oleh uban.

"Saya terlalu banyak mendapatkan Budi pertolongan dari kakak pendekar. Silahkan Kakak pendekar berkata dan meminta biar kemudian saya akan memberikan daya dan upaya..."

Tercekat sang pendekar mendengar kata-kata yang keluar dari bibir polos sang anak remaja. "Benar-benar anak yang luar biasa. Dari runtut caranya berbicara aku yakin anak ini bukan dari keturunan orang sembarangan..." batin sang pendekar.

"Saat ini aku dalam keadaan lemah tidak berdaya. Diluar sana masih ada orang-orang dari kerajaan perut bumi yang menginginkan anak malang ini. Aku ingin kau membawa anak ini ketempat yang lebih aman..." ucap Iblis Bongkok "Mendekatlah kemari anak baik, aku akan membisikan tempat dimana kau harus membawa anak terkasihku ini." lanjut sang pendekar.

Uban pun perlahan bergerak mendekat kearah Iblis Bongkok. Iblis Bongkok Bulan dan Matahari kemudian membisikkan satu kata ke telinga Uban dan setelah itu dirinya berkata "Sesampainya disana kau akan mendapati sebuah makam yang dihiasi tujuh buah payung beraneka warna. Tunggulah disitu namun jangan menunggu lebih dari dua Purnama! Akan ada seseorang yang akan mendatangimu dan kau bisa menyerahkan anak terkasih ku ini kepadanya."

Jabrik Sakti nampak mengagukkan kepala mendengar apa yang disampaikan oleh Iblis Bongkok. Bocah yang cerdas ini kemudian terlihat mengendurkan kain jarik yang terselempang di dadanya dimana bagian belakang kain yang berada dibelakang tepat dipunggungnya tersembunyi kitab seribu bintang.

Kain dibagian depan yang berupa simpul dengan cekatan dibuatnya menjadi sebuah gendongan yang cukup untuk menggendong bayi mungil Intan Suci Angin Timur! Melihat kecakapan anak tersebut kembali membuat Wiro menjadi semakin kagum.

Pada saat itu tiba-tiba satu suara auman harimau terdengar membahana ditempat itu disusul munculnya satu sosok harimau berwarna putih berjalan perlahan menuju kearah Iblis Bongkok.

"Kau datang di saat yang tepat sahabatku Datuk Rao Bamato Ijo! Terima kasih kau sudi datang memenuhi panggilan ku ini..." ucap Iblis Bongkok yang disambut suara gerengan perlahan sang raja rimba.

Mata Uban terlihat terpana melihat kedatangan harimau gaib Datuk Rao Bamato Ijo. Dia memang pernah bertemu muka dengan harimau peliharaan kakek gurunya Datuk Perpatih Alam Sati yang dipanggil dengan sebutan Datuk Balang Rancak, tubuh harimau peliharaan sang kakek guru memanglah besar tapi jika dibandingkan dengan ukuran Datuk Rao Bamato Ijo jelas masih kalah jauh!

Nampak Iblis bongkok dan Datuk Rao Bamato Ijo saling menempelkan dahi seolah saling berkomunikasi. Suara erangan lirih dari sang harimau terdengar pilu seolah mengkhawatirkan keadaan sang pria yang di punggungnya terdapat punuk daging ini.

"Aku tidak apa-apa Datuk Rao. Percayalah... yang saat ini aku khawatirkan adalah keselamatan dua bocah ini. Ini adalah permintaanku yang terakhir padamu wahai sahabatku Datuk Rao. Sudikah kiranya kau menjaga keduanya sampai ketempat tujuan seperti yang telah disampaikan kepadamu?"

Sang harimau nampak mengangguk dan menggereng lirih. Iblis Bongkok kemudian memandang kearah Jabrik Sakti. "Uban bocah baik, mendekatlah dan naiklah ke bahu sahabatku ini. Dia akan menjagamu dan bayi kecilku sampai ke tujuanmu..." Ucap Wiro.

"Per.. Permisi Uwak.. Maaf jika aku menyakitimu... Jangan marah padaku..." Ucap Uban dengan suara jerih kala sang bocah remaja memegang dan membelai tubuh Datuk Rao Bamato Ijo.

Sang harimau nampak mengaum pelan mengagetkan Uban dan kemudian secara aneh tubuhnya seperti tersedot naik dan kemudian jatuh menempel dalam posisi mengangkangi bahu sang harimau! Benar-benar tidak habis pikir! Batin sang bocah.

"Kalian harus bergegas. Waktunya sudah tidak banyak lagi..." Ucap Wiro sambil menatap dengan pandangan berat.

Demikian juga yang dirasakan oleh Jabrik Sakti. "Jaga dirimu baik-baik kakak pendekar. Aku akan pergi namun aku berjanji aku pasti akan kembali untuk menemuimu setelah amanatmu ini aku laksanakan..." ucap Jabrik Sakti yang dibalas dengan anggukan pelan oleh Wiro.

Harimau sakti yang ditunggangi oleh bocah remaja ini perlahan beranjak pergi sambil tidak lupa mengeluarkan Auman perpisahan dan mulai melesat cepat menembus kegelapan gua meninggalkan Iblis Bongkok yang akhirnya hanya bisa diam terpaku sedih sambil menatap jenazah Ratu Duyung.

Tidak sampai sepenanakan nasi setelah Datuk Rao Bamato Ijo pergi membawa Jabrik Sakti Wanara dan Intan Suci Angin Timur dari Goa Cadas Kencana, tiga bayangan nampak melesat datang dari ujung goa yang lain dan langsung menghampiri kearah Iblis Bongkok dan Jenazah Ratu Duyung berada. Suara kejut tercekat nampak terdengar dari ketiga orang yang baru datang.

"Bongkok Hina Keparat! Apa yang kau perbuat pada sahabat kami?" Bentak seorang wanita berambut pirang yang tidak lain tidak bukan adalah Bidadari Angin Timur! Bidadari Angin Timur bersama Suci dan Purnama memang tersesat didalam goa cadas kencana setelah lepas dari jerat gaib pengunci roh milik Hantu Malam Penjerat Jiwa.

Ketiganya berlarian dengan secara sembarang manakala ketiganya bertemu dengan Iblis Bongkok yang nampak bersimpuh di hadapan sosok yang mereka kenali sebagai sosok Ratu Duyung ini. Purnama yang melihat gelagat tidak baik langsung mendekat kearah sosok Ratu Duyung yang tergeletak dilantai gua dan mendadak wajah jelitanya memucat putih seputih kertas!

"Ya Tuhan! Ratu Duyung sudah tidak bernyawa! dan... dan bayi dalam kandungannya telah menghilang!"

Suara menggeru terdengar dari mulut Bidadari Angin Timur dan Suci secara bersamaan. Kedua wanita sakti ini secara serempak melepaskan pukulan sakti masing-masing ke arah Iblis Bongkok yang disangka mereka telah membunuh Ratu Duyung!

"Jahanam keparat! Kembalikan nyawa Ratu Duyung!" Teriak Suci dengan air mata berlinang. Bagaimana pun gadis dari alam gaib ini memandang Ratu Duyung sebagai salah satu pesaing dalam memperebutkan hati Pendekar Dua Satu Dua, sang gadis yang dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat ini masih merasa berhutang budi kepada Ratu Duyung atas kebaikan hatinya.

Sementara itu tanpa disangka-sangka oleh Bidadari Angin Timur dan Dewi Bunga Mayat, Iblis Bongkok yang mereka anggap sudah mencelakai Ratu Duyung ternyata tidak menghindar sedikitpun dan menelan mentah-mentah pukulan sakti yang dilepaskan mereka berdua! Alhasil suara berdentum keras terdengar dibarengi melesatnya tubuh bongkok sang pendekar yang nampak keras membentur dinding goa!

"Ahh.." tanpa sadar keduanya berseru lirih karena tak menyangka kalau sosok yang mereka hantam dengan pukulan sakti tersebut ternyata tidak membalas atau menghindar sedikitpun dari datangnya kedua pukulan mematikan yang dilepaskan oleh mereka berdua!. Tanpa terasa keduanya langsung melayang mendekati tempat dimana Iblis Bongkok Bulan Matahari terpental dan membentur dinding goa.

Keduanya nampak terdiam manakala sama-sama melihat keadaan mengenaskan Iblis Bongkok. Tubuh sang pria tampak terselip dalam geroakan batu goa yang terbentuk akibat benturan keras dari tubuh yang menghantam dinding goa dengan dahsyatnya.

Darah hitam membiru terlihat menetes dari sela-sela mulut topeng ludruk kayu cendana yang sedang tertunduk sementara kain baju dan celana yang dipakai iblis bongkok nampak sebagian hancur rusak dan robek disana-sini akibat kedahsyatan kedua pukulan sakti yang membentur tubuh Iblis Bongkok Bulan dan Matahari alias pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng!

Wiro kemudian nampak kembali memejamkan kedua matanya sesaat manakala kejadian lama tersebut terbayang kembali dalam ingatannya. Setetik air nampak keluar dari sudut mata sang pendekar lalu tiba-tiba satu bayangan peristiwa kembali terlihat di balik pelupuk mata sang pendekar.

Saat itu dalam keadaan lemah tak bertenaga, dirinya yang tidak bisa bergerak karena dalam pengaruh kuncian Tiga Belas Orang Aneh Menara Bangkai terpaksa harus melihat dengan mata kepalanya sendiri suatu peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup.

Kala itu dengan mata yang terpentang lebar, Pendekar Dua Satu Dua harus melihat peristiwa manakala Sukat Tandika atau Tua Gila nampak bertarung beradu punggung dengan seorang wanita paruh baya berwajah cantik. Wanita cantik ini ternyata adalah Sinto Gendeng gurunya sendiri yang telah melepas topeng kulit tipis yang selama ini dipakainya.

Keduanya nampak bersatu padu melawan keroyokan Kanjeng Ratu Penguasa Perut Bumi, Datuk Akhirat Seribu Raga Seribu Sukma, Sesepuh Segoro Wetan, Pendekar Seribu Bayangan, Iblis Hitam Perut Bumi dan Hantu Malam Penjerat Jiwa.

Kedua dedengkot dunia persilatan murid Kiai Gede Tapa Pamungkas ini semenjak dibuka kuncian kesaktian masing-masing oleh sang Kiai, kini nampak bertarung garang bagaikan sepasang harimau tumbuh sayap! Kerubutan serangan para tokoh kerajaan perut bumi yang sebagian besar dilakukan dengan cara licik dan curang pun dibalas dengan sambutan serangan pedang sinar inti roh dan pukulan Tapak Mentari Jingga yang dilepaskan oleh Sinto Gendeng dan Tua Gila secara tidak berkeputusan!

Para tokoh kerajaan perut bumi ini sontak berusaha melarikan diri dengan saling berebut melesat menjauhi keduanya yang nampak laksana banteng ketaton menyerang para tokoh sesat yang mengerubuti keduanya.

"Ayo kemari mendekat setan-setan perut bumi keparat! Jangan cuma berani mengeroyok seperti tikus-tikus kapiran! Maju semua kowee..!!!" teriak Sinto Gendeng dengan penuh emosi.

Baru saja sang nenek yang ternyata adalah seorang wanita cantik paruh baya ini hendak melesat mengejar para tokoh kerajaan perut bumi yang lari memencar ini, tiba-tiba dari dalam tanah dibawah kakinya menyeruak sepasang tangan yang sedemikian besar menangkap dan mencengkram tubuh Tua Gila dan Sinto Gendeng dengan kecepatan luar biasa dan tanpa disangka-sangka sebelumnya!

"Sintooo cepat lariiii..." teriak Tua Gila namun suaranya terasa tercekat di leher manakala tekanan maha besar menghimpit tubuhnya dan dengan cepat meremukkan tulang tulang disekujur tubuhnya. Sungguh amat disayangkan teriakan pendekar tua yang masa mudanya dikelilingi oleh wanita cantik ini hanyalah sebuah teriakan sia-sia belaka. Saking cepatnya pergerakan kedua tangan raksasa tersebut, Tua Gila sampai tidak menyadari kalau nyatanya Sinto Gendeng pun mengalami nasib yang serupa dengan dirinya, sama-sama tertangkap oleh tangan raksasa.

"Sukaaat..." balas lemah Sinto Gendeng sebelum akhirnya terdiam untuk selama-lamanya menyusul kepergian saudara seperguruannya dimasa silam itu. Nasib tragis yang sama juga akhirnya dialami oleh Sinto Gendeng. Badannya remuk dan hancur tulang dan sekujur tubuhnya oleh remasan tangan raksasa Dewa Tanah sang pemimpin utama kerajaan perut bumi yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah!

BAB TIGA

Bayangan peristiwa kematian kedua orang guru yang begitu dihormati oleh Wiro tersebut perlahan mulai memudar dari pandangan ingatan batin Pendekar Dua Satu Dua, begitu juga dengan kesadarannya. Tubuhnya yang mendingin mulai bergerak pelan menuju kearah kebekuan dan kekosongan alam semesta.

Namun tanpa pernah disangka dan tanpa pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba diantara kesunyian semesta dan entah datang darimana, sekonyong-konyong terlihat bayangan berbentuk tujuh payung kertas aneka warna begerak dan kemudian menumpuk menjadi satu di bawah punggung Pendekar Dua Satu Dua!

Sebuah bunga kenanga juga nampak terlihat muncul secara tiba-tiba di dada sang pendekar dan mulai terlihat mengeluarkan pendaran cahaya yang bersinar redup. Dan tidak sampai disitu, beberapa saat kemudian entah dari mana pula datangnya, terlihat sebuah cermin kecil yang terlihat retak nampak bergerak mengitari tubuh Pendekar Dua Satu Dua dan saling silih berganti memantulkan cahaya matahari dan rembulan ketubuh Pendekar Dua Satu Dua!

Tubuh Pendekar Dua Satu Dua yang sebelumnya bergerak menjauh dari pusat tata surya, tiba-tiba terhenti dan kemudian beranjak perlahan kembali mendekat kearah sumber cahaya matahari dan rembulan. Satu kekuatan yang luar biasa nampaknya masih belum rela tubuh Pendekar Dua Satu Dua berakhir hilang dalam kegelapan alam semesta!

Kembali ke pertarungan akhir di bumi Mataram, Serangan Ratu Laut Utara Sri Ratu Ayu Lestari yang dibantu oleh serangan Nyi Roro Kidul sontak hilang tak berbekas manakala tiba-tiba sang resi melompat tinggi dan berputar kencang laksana kitiran gasing! Dengan kecepatan luar biasa keduanya pun kontan terlempar dari kereta kencana masing-masing yang sontak porak-poranda!

"Celaka! Kita tidak akan mempunyai kesempatan mengalahkannya jika makhluk sialan ini tidak menyentuh bumi!!" seru Mahesa Edan yang masih berpegangan pada papan nisan miliknya yang terombang-ambing dalam pusaran air yang terbentuk oleh putaran tubuh sang Resi Raksasa.

"Kekuatan makhluk ini sangat luar biasa yang mulia raja, kita harus mencari cara untuk menghentikannya..." ucap Mahesa Kelud kepada sang raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Pasingsingan yang berada didekatnya.

Sang paduka raja nampak mengerenyitkan kening. "Kini kita hanya bisa bergantung pada dua sahabat kita yang berada dibalik celana makhluk ini wahai sahabat Mahesa Kelud." ucap sang raja sambil melindungi tubuh Roro Jonggrang yang berada dibalik pungungnya.

Sementara itu Setan Ngompol yang berada dibalik celana sang resi nampak mengerjapkan kedua matanya menahan rasa pusing akibat pergerakan putaran sang resi jelmaan keenam dewa "Aku sudah tidak kuat lagi Ning! Kepalaku rasanya mau pecah! Bukan saja karena perputarannya namun juga karena aroma selangkangan makhluk sialan ini!" teriak sang kakek.

"Aroma selangkangan sendiri kau bisa tahan, tapi aroma selangkangan orang lain kau sampai-sampai hendak semaput! Dasar kakek keblinger! Sudah! Bertahanlah sebentar lagi kek! Aku juga sudah tidak tahan sebenarnya sama seperti dirimu, tapi saat ini yang terpenting adalah aku harus mencari posisi urat yang tepat!" sambung Naga Kuning sambil meraba-raba kantung menyan raksasa tempat dirinya sedang merayap di sebelah kiri "Ketemu kek! Aku sudah dapat titik pusat sasarannya! Bagaimana dengan dirimu kek?" teriak Naga Kuning.

"Aku juga sebenarnya sudah dapat titik tujuannya ning! Sudah kutandai pakai ludah! tapi kepalaku masih pusing!!!" seru sang kakek sambil satu tangannya memegang rambut kemaluan sang resi erat-erat.

"Sekaranglah saatnya kek!" teriak Naga Kuning sambil mulai bersiap-siap menusuk kantung menyan sebelah kiri yang bergandul gandul tak karuan. "Satuuuu..." teriak Naga Kuning yang kemudian dibalas Setan Ngompol.

"Duaaaaa....." dan akhirnya,

"Tigaaa..." teriak Setan Ngompol dan Naga Kuning berbarengan sembari menusukkan pasak batu pemasung dewa yang sebelumnya terikat di pundak masing-masing.

Paku berbentuk pasak batu sepanjang satu tombak yang terbuat dari bahan yang sama yang digunakan para dewa pemberontak kala memasung naga Dewa Kiai Naga Waskita dan naga dewa Kiai Naga Wisesa ini, langsung melesat masuk ke dalam bola daging berurat berbulu besar sebelah milik sang resi dewa raksasa!

Mata Resi Raksasa tiba-tiba membeliak besar! Pusaran badannya tiba-tiba terhenti dan ini membuat tubuhnya akhirnya kembali turun menjejakkan kaki ke bumi dibarengi suara raungan kesakitan menggelegar!

"Mereka berhasil! Cepat sahabat mahesa berdua!! Sekarang giliran kalian...!" teriak sang Maharaja Mataram kearah kedua pemuda gondrong berbaju putih yang terlihat masih mengapung di permukaan air laut yang membanjir.

Mahesa Kelud dan Mahesa Edan sontak menyelam ke dalam pusaran air dan berenang mendekat ke arah sepasang telapak kaki dari sang Resi Raksasa lalu secara berbarengan, keduanya pun mengambil pasak batu pemasung dewa yang juga nampak terikat pada punggung masing-masing dan secara serempak menusukkan paku tersebut ke kedua punggung telapak kaki sang dewa raksasa. Suara kesakitan yang teramat dahsyat kembali keluar dari mulut Resi Raksasa!

Melihat hal ini Dewa Tuak yang berada dilangit dan memimpin barisan rantai sambung hati dewa dan manusia, kemudian berseru keras kearah para dewa dan tokoh persilatan yang saling tersambung berpegangan tangan tersebut. "Mereka berhasil memantek resi gabungan dewa sesat itu! Sekarang giliran kita wahai para dewa dan manusia!"

Sang kakek sakti guru terkasih dewi selendang ungu ini kemudian menyalurkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya ke arah titik diantara alis dan kemudian membaginya ke kedua telapak tangannya yang saling berpegangan tangan dengan para dewa dan tokoh silat lainnya.

Hal ini juga dilakukan oleh Ajengan Manggala Waneng pati, Karaeng Uleng Tepu, Si Penolong Budiman, Hantu Raja Obat, Lakasipo, Tubagus Kesumaputera, Dewa Langit Harimau Agung, Dewi Langit Bunga Matahari, dan tokoh tokoh dari kalangan dewa maupun manusia yang yang tergabung dalam jalinan Rantai Sambung Jiwa Hati Dewa dan Manusia.

Sinar berwarna keemasan yang timbul dari pertengahan kening dan jalinan genggaman tangan ini lalu dari pelan kemudian menjadi cepat saling berputaran dan kemudian membentuk cahaya berwujud aksara langit yang tertata rapi dan kemudian saling terjalin laksana ribuan tambang-tambang emas yang kemudian melesat turun dan membelit sekujur tubuh resi dewa raksasa.

"Sekaranglah saatnya yang mulia. Saatnya telah tiba bagi dirimu dan para sahabat lainnya menghancurkan angkara murka.." ujar dewi Roro Jonggrang dengan lirih.

Tubuh sang dewi mulai melemah dan sebagian tubuhnya perlahan namun pasti terlihat kembali berubah menjadi batu! Sungguh amat disayangkan, pertarungan yang panjang dan melelahkan terutama saat sang dewi bertarung melawan Bandung Bondowoso telah menghabiskan banyak energi hidup sang dewi.

Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Pasingsingan memandang perubahan tersebut dengan pandangan sedih. "Aku akan kembali dewi ku.. aku berjanji akan kembali.." ujar sang raja lirih lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya dari genggaman sang dewi.

Sang raja kemudian bergabung dengan Nyi Roro Kidul dan Ratu Laut Utara Ayu Lestari merangsek menggempur Resi Raksasa yang tubuhnya terpasung oleh pasak batu pemasung dewa dan ikatan Rantai Sambung Jiwa Hati Dewa dan Manusia. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan keris Widuri Bulan diacungkan terpusat kedepan dan sang raja nampak melesat dalam gerakan memutar laksana bor raksasa kearah jantung sang Resi Raksasa.

Nyi Roro Kidul juga nampak mengarahkan kedua telapak tangannya kearah belakang cermin sakti dasar samudera dan dari cermin sakti tersebut keluar sinar panjang berwarna putih kebiruan menghantam dada sebelah kanan.

Jika raja Mataram dan ratu penguasa laut selatan menyerang dari arah sebelah depan, maka Sri Ratu Ayu Lestari menggunakan kedua telapak tangannya nampak mengerahkan ilmu Naga Samudera Merobek Cakrawala kearah punggung sang Resi Raksasa. Sinar berbentuk gelombang berwarna hijau menerjang ganas langsung ke arah punggung sang resi!

Serangan serempak dari penguasa dataran dan laut tanah jawa ini memang sangatlah luar biasa dan mungkin akan berdampak serius jika dijatuhkan kearah salah satu dewa pemberontak. Namun sayangnya resi gabungan dari keenam dewa ini memang sunguhlah tangguh luar biasa. Hampir sepeminuman teh berlangsung namun tubuh sang resi yang dihantam pukulan sakti dari tiga jurusan ini nampak tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Sang resi yang digempur oleh serangan dari raja dan ratu penguasa bumi dan laut Mataram ini nampak hanya mengetarkan tubuhnya dan menggeliat keras membuat ikatan rantai aksara emas hati dewa dan manusia terdengar bergemerincing keras.

"Tenaga kita bertiga belum cukup kuat untuk menghancurkan tubuhnya..." keluh raja Mataram yang masih terus berusaha menembus pertahanan dada sang resi sebelah kiri.

"Teruslah mencoba! Kita serahkan hasilnya ke tangan Yang Maha Kuasa..." balas Nyi Roro Kidul seraya menambahkan tenaga dalamnya ke arah cermin sakti dasar samudera.

Mendadak sang resi nampak menutup matanya lalu terlihat tubuh sang resi bergetar sesaat sebelum tiba-tiba mengeluarkan hentakan keras! Dari hentakan tersebut timbullah getaran tenaga tidak kasat mata yang menyebar kesegala arah laksana gelombang yang timbul pada batu yang dilempar di genangan air dan langsung menghantam raja Mataram, Nyi Roro Kidul dan Ratu Laut Utara!

Nyi Roro Kidul dan Sri Ratu Ayu Lestari nampak menjerit kecil dan terlempar masuk kedalam air sementara raja Mataram yang berada paling dekat dengan tubuh sang resi dewa nampak terpental jauh melesat akibat terhantam tenaga hentakan yang keluar dari dalam tubuh sang Resi Raksasa.

"Apakah semuanya akan berakhir seperti ini?" keluh sang raja sambil memegang dadanya yang berdenyut keras akibat terhantam hempasan gelombang tenaga maha dahsyat yang dikeluarkan oleh sang makhluk raksasa. Disekanya bibirnya yang mengeluarkan darah dan dipandangnya dewi Roro Jonggrang yang memapahnya bangun dengan pandangan sedih.

Disisi lain, resi dewa raksasa yang berhasil menghempaskan ketiga penyerangnya kemudian terlihat berusaha melepaskan diri dari rantai-rantai yang mengikatnya dan menggapai kearah bawah selangkangannya dimana dirasakan sakit yang luar biasa. Naga Kuning dan Setan Ngompol yang masih bergelantungan di rambut kelamin sang resi tentu saja menjadi terguncang terombang ambing tak karuan!

"Saatnya kita pergi kek, sebelum kepala kita menjadi korban garukan galer!" teriak Naga Kuning sambil melepaskan pegangannya pada bulu kemaluan sang resi dan meluncur turun.

Setan Ngompol sebenarnya berusaha menanyakan apa yang dimaksud oleh sang bocah namun akibat terguncang akibat goyangan pinggul sang Resi Raksasa, sang kakek bau pesing ini pun akhirnya terlepas pegangannya dan turut meluncur turun di kaki celana sang resi "Tobaaat biyuung" teriak sang kakek kencang!

Sementara itu walaupun terkunci di bagian kaki dan daerah kemaluannya, namun bagian atas yang terikat rantai aksara emas sambung jiwa hati dewa dan manusia masihlah memiliki tenaga dan kedua tangan sang resi terlihat bergerak menggapai kesana kemari berusaha melepaskan belitan rantai tersebut satu persatu.

Raja Mataram bersama kedua ratu dan para dewa serta semua tokoh dunia persilatan yang masih tersisa mulai putus asa melihat hal ini. "Habislah kita... Kerajaan ini akhirnya harus berakhir ditanganku..." keluh sang raja.

Namun di saat keputus asaaan melanda seperti itu, semua orang tiba-tiba merasakan datangnya hawa panas yang luar biasa dan sontak tiba-tiba memalingkan wajahnya kearah langit! Disana tidak begitu jauh dari barisan Rantai Sambung Jiwa Hati Dewa dan Manusia, nampak tiga bintang berekor berwarna kebiruan melesat turun saling berkejaran kearah bumi langsung menuju Resi Raksasa!

"Dia kembali! Pendekar Dua Satu Dua kembali!" teriak raja Mataram kegirangan.

"Orang Sableng itu memang punya banyak kejutan..." kekeh Mahesa Edan yang sedang terapung sambil berpegangan pada papan kayu nisan hitam miliknya.

Memang setelah berhasil menancapkan pasak batu pemasung dewa, kedua pendekar tersebut langsung berenang ke permukaan untuk mengambil nafas. Dan benar seperti yang dikatakan oleh raja Mataram, ketiga bintang yang melesat turun tersebut adalah Wiro dan kedua bayangannya dari ilmu tiga bayangan pelindung raga yang diajarkan oleh nenek sakti Rauh Kalidathi.

Menggunakan ilmu Bintang Jatuh Menghujam Latinggimeru yang diajarkan oleh Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud, Wiro turun dari angkasa sambil memecah diri menjadi tiga wujud dan masing-masing wujud melambari sepasang tangan masing-masing dengan ilmu Tapak Mentari Tengah Malam, tapak Rembulan Tengah Hari dan Tapak Surya Gugur Gerhana!

BAB 4

Intan Suci Angin Timur memegang surai puti sembrani erat-erat. Perjalanan kembali kepermukaan dari inti bumi memang memakan waktu yang tidak sebentar. Setelah sebelumnya berhasil mengenyahkan kabut dewa yang berpusat di inti bumi dan melepaskan pasak batu pemasung dewa dari tengkuk sepasang naga pemutar poros bumi yakni Kiai Naga Wisesa dan Kiai Naga Waskita.

Akhirnya Intan Suci Angin Timur pun berpamitan dengan Kiai Jiwo Langgeng makhluk abadi penunggu pohon kalpataru atau pohon kehidupan yang berada di dasar inti perut bumi. Hampir sepuluh kali penanakan nasi barulah Intan Suci Angin Timur mulai melihat cahaya di ujung terowongan batu tempat masuk kedalam inti bumi.

Setelah melewati mulut terowongan batu, udara segar pun langsung masuk kedalam hidung sang bocah cilik, putri pasangan Pendekar Dua Satu Dua dan Ratu Duyung ini pun kemudian menghirup napas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya.

"Perjalanan kita masih panjang Puti. Dan aku jujur tidak tahu harus memulainya dari mana..." ucap sang bocah sambil membelai surai sang kuda bersayap yang ditungganginya. Tiba-tiba sang bocah menolehkan kepalanya saat sayup-sayup terdengar ada suara seseorang yang memasuki telinga mungilnya.

"Mungkin kau bisa memulainya dari sini dulu cucuku Cah Ayu" satu suara dibarengi suara goncangan kaleng rombeng terdengar memasuki telinga Intan Suci Angin Timur. Dari atas tunggangannya sang bocah cilik nampak mengedarkan pandangannya kearah bawah.

Setelah mencari beberapa saat dilihatnya sebuah pedataran luas yang gersang dan ada sebuah pohon yang nampak disitu berdiri kokoh sendirian ditengah padang tandus. Nampak dibawah naungan pokoknya ada seorang kakek yang duduk sambil terus menggoncang-goncang kaleng rombengnya yang berisi batu!

"Kakek Segala Tahu!" seru sang bocah yang kemudian mengarahkan kuda sembari tunggangannya kearah dimana sang kakek berada. Begitu turun dari tungangannya bocah kecil tersebut langsung berlari dan kemudian memeluk sang kakek yang nampak semakin girang menggoyang-goyangkan kaleng rombengnya.

"Sudahkah kau bebaskan kedua naga sepuh itu Cah Ayu?" ucap sang kakek bermata putih sambil mengelus rambut pirang Intan Suci.

Sang gadis pun mengangguk namun kemudian ganti terisak. "Tapi Uwak... Aku tidak berhasil menyelamatkan Uwak, kakek..." isak sang gadis dalam pelukan Kakek Segala Tahu.

Sang kakek tampak tersenyum sebelum kembali berujar. "Hidup dan mati, jodoh pertemuan dan perpisahan adalah rahasia yang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Uwakmu itu walaupun hanyalah seekor harimau dalam berbentuk roh, namun dirinya sudah menunjukkan baktinya dengan menjaga dan mengurusmu sampai sebesar ini. Jadi relakanlah kepergian uwakmu itu Cah Ayu!"

Intan Suci nampak mengusap air matanya dengan kedua tangan lalu mengangguk sedih. "Kata-kata kakek sama persis seperti apa yang dikatakan eyang Jiwo Langgeng... Aku bukannya bermaksud tidak menerima kepergian Uwak, kakek, hanya saja aku sekarang bingung harus melakukan apa setelah ini..." ucap sang bocah kecil sambil sesekali terlihat sesenggukkan.

Kakek Segala Tahu kembali membunyikan kaleng rombengnya sebelum kembali berujar. "Rupanya masih hidup juga makhluk bijak penghuni pohon Kalpataru tersebut... Adalah suatu keberuntungan kau masih bisa berjumpa dengan dirinya.." ucap sang kakek yang kemudian kembali berujar. "Angkara murka masih merajalela... tenagamu masih dibutuhkan cucuku Cah Ayu... Kau harus kembali kepada ayahmu dan membantunya melawan kezaliman yang meneror negeri ini.."

Nampak awan murung seketika menggelayut di wajah gadis cilik ini. "Aku tidak punya ayah! Orang yang kakek sebut sebagai ayahku itu sudah sedemikian jahatnya meninggalkan aku di dunia ini! Satu-satunya yang sayang padaku hanyalah uwak dan kakang Wanara!" sengit bocah kecil ini.

Kakek Segala Tahu nampak mengelus janggutnya dan menengadah keatas. "Langit oh langit... Sudah terlalu banyak penderitaan yang kulihat dengan mata batinku di pelataran bumi ini. Sungguh dari semuanya itu kiranya tidak ada yang lebih menangung derita dari pada ayah gadis kecil ini.." ucap Kakek Segala Tahu sambil kembali menggoncangkan kaleng bututnya keras-keras.

"Ma.. Maksud kakek apa? Bu.. Bukankah ayahku adalah orang jahat yang dibuang oleh para dewa atas langit dan menjadi orang jahat yang membunuh para tokoh persilatan golongan putih?" ucap Intan Suci keheranan dan memandang terus kearah Kakek Segala Tahu.

Setelah puas memainkan kaleng rombengnya, Kakek Segala Tahu pun kemudian berucap pelan kearah Intan Suci Angin Timur. Sang kakek kemudian menceritakan bagaimana nasib sang ayah Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang terpenjara dalam wujud patung batu selama delapan ratus tahun.

Diceritakan pula bagaimana dalam wujud roh selama berada dalam sekapan patung batu, Wiro Sableng dan Luhcinta atau Dewi Langit Bunga Tanjung harus berhadapan dengan pengadilan tahta dewa negeri atas langit karena dituduh telah mencuri kitab Jagat Pusaka Dewa dan mencuri kedua ilmu sakti yang berada di dalamnya dari kuil Candrasoma di bulan dan kuil surya Mentari di matahari.

Akibat tuduhan tersebut sang pendekar menjalani hukuman dera sampai menjadi bongkok. Sementara Luhcinta sendiri menjalani pengasingan di penjara istana langit sebelum akhirnya mengorbankan diri untuk mendapatkan bunga Tanjung Kasih Dewa yang berada dikeningnya, sementara tulang punggungnya sendiri dijadikan busur gendewa cinta kasih yang dipersiapkan oleh para dewa sebagai senjata pamungkas dalam menghadapi para dewa yang memberontak.

Sang kakek kemudian juga menceritakan bagimana Pendekar Dua Satu Dua dalam keadaan bongkok dan memakai topeng ludruk kayu cendana kembali mendapatkan fitnah kala menghadiri rapat dunia persilatan yang dilakukan di kepulauan Riung. Sang pendekar dituduh membunuh secara membokong Raja Penidur dan dianggap sebagai tokoh antek-antek kerajaan Perut Bumi dan diburu oleh seluruh tokoh dunia persilatan baik dari golongan putih maupun dari kerajaan Perut Bumi.

"Kalau masalah tokoh dunia persilatan yang dikatakan telah dibunuh oleh ayah, sejujurnya aku juga tidak tahu kek dan aku pun masih sangsi. Namun eyang Raja Penidur bukan meninggal karena dibunuh oleh siapa-siapa! Eyang meninggal dalam tidurnya setelah menyerahkan kembali amanat kitab seribu bintang yang telah terisi bunga tanjung kasih dewa kepada kakang Wanara kek! Aku dan kakang Wanara-lah yang menguburkan jasad beliau jadi bukan ayah pembunuhnya kek!" seru sang gadis cilik memotong cerita Kakek Segala Tahu.

Kakek Segala Tahu kembali menggoyangkan kaleng rombengnya beberapa saat sebelum kemudian lanjut berbicara "Kau benar sekali Cah Ayu. Itu sebenarnya adalah jebakan dan fitnah para tokoh kerajaan perut bumi yang menyelusup ke pertemuan akbar tersebut. Ayahmu itu tidak salah apa-apa. Namun dampaknya dia jadi tidak dipercayai dan malah dikejar-kejar oleh semua pihak..." ucap sang kakek.

Kakek Segala Tahu kemudian lanjut berujar "Namun dari semuanya itu kehilangan ibumu dan dirimu serta harus melihat kedua gurunya dibantai oleh para tokoh kerajaan perut bumi mungkin adalah hal yang terberat yang harus ditanggung oleh ayahmu itu..."

Intan Suci yang sebelumnya menundukkan kepalanya kemudian mengangkat wajahnya yang dipenuhi oleh air mata. "Maafkan aku kek.. Aku benar-benar tidak tahu dan bersalah karena menganggap ayah sebagai orang yang jahat... Aku tidak tahu jika nasib ayah ternyata setragis itu kek..." ucap sang bocah yang kemudian kembali menangis dan memeluk Kakek Segala Tahu.

"Semua orang mempunyai takdirnya masing-masing Cah Ayu... Begitu juga dengan ayahmu... Walaupun memang begitu berat yang harus ditanggungnya, namun percayalah sudah tersedia ganjaran yang setimpal dan berkah tersembunyi buat ayahmu itu..."

"Jadi aku harus bagaimana kek... Aku merasa tidak berani bertemu dengan ayah..."

"Bangunlah cucuku Cah Ayu. Kau harus beranjak pergi menemui ayahmu. Dia membutuhkan mu saat ini..."

"Tapi aku...."

Sang kakek kemudian meletakkan kaleng rombengnya dan memegang kedua pundak sang bocah. "Dengarlah cucuku Cah Ayu! Bukan cuma ayah mu saja yang membutuhkanmu saat ini. Namun seluruh umat manusia. Pergilah menjemput takdirmu. Mereka menunggumu di Mataram saat ini. Bahkan ku rasakan pula kakang mu itu juga kini sedang beranjak pergi menuju kesana."

"Benarkah seperti itu kek? Dimanakah arah yang harus kutuju?"

"Kau lihat langit disebelah barat sana? Langit yang gelap kelam dan berpetir dikejauhan sana? Itulah tempat yang harus kau tuju..."

"Baiklah kalau begitu kek. Aku akan pergi sekarang... Jaga diri kakek baik-baik..." ucap sang gadis cilik seraya mencium tangan sang kakek dan kemudian bergegas menaiki Puti Sembarani dan terbang menuju langit sebelah barat.

"Doa ku selalu bersamamu cucuku Cah Ayu..." ucap lirih sang kakek sebelum akhirnya kembali terlihat sibuk menggoyang kaleng bututnya yang berisi batu.

Selanjutnya,