Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 17

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo. Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 17 (Terakhir)
Sonny Ogawa

Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - Ken Arok meloncat keluar dan meninggalkan keris pusaka itu di dada Sang Akuwu Tunggal Ametung. Tidak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang menjadi saksi pembunuhan keji ini. Yang tahu akan rahasia itu hanya Ken Dedes, ada pula yang dapat menduga bahwa yang membunuh Tunggal Ametung adalah Ken Arok, dan mereka yang tahu itu tentu saja Ki Bango Samparan dan Ki Danyang Lohgawe.

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi dua orang ini adalah ayah-ayah angkat Ken Arok yang membela pemuda itu sehingga rahasia itu akan aman. Biarpun berasal dari rakyat kecil, ternyata Ken Arok merupakan seorang yang pandai dan bijaksana. Dia bukan hanya memberi hadiah kepada mereka yang telah berjasa kepadanya, yang pernah menolongnya ketika dia menjadi orang buruan.

Akan tetapi dia juga tidak melupakan orang-orang yang telah menjdi korban usahanya mencapai tujuan, seperti keturunan Kebo Hijo dan Empu Gandring. Dia dengan royal menyebar harta di bekas isatan Akuwu Tunggal Ametung, bukan hanya untuk memperbesar rasa suka dan kesetiaan orang-orang yang sudah mendukungnya, akan tetapi juga untuk menghapus segala dendam yang ditujukan kepadanya, mengubah segala perasaan benci menjadi perasaan suka.

Kebesaran Ken Arok bukan berhenti sampai di situ saja. Bintangnya menjadi semakin terang cemerlang. Sungguh merupakan kebetulan yang amat menguntungkan dirinya bahwa pada waktu itu, di Kerajaan Daha timbul perpecahan agama. Sang Prabu Dandang Gendis yang lebih condong membela agama Hindu karena pembantu dan penasihatnya seperti Begawan Surotomo dan Begawan Buyut Wewenang memeluk agama itu, mulai melakukan penekanan terhadap para pendeta yang beragama Siwa Budha.

Para pendeta Siwa Budha ini, termasuk Ki Danyang Maruto, tidak mau menjillat-jilat kepada Sang Prabu Dandang Gendis seperti yang dilakukan oleh para pendeta Hindu Trimurti. Oleh karena itu, sang prabu menekan dan memaksa mereka untuk lebih menghormatinya, menyembah-nyembahnya. Hal ini ditolak oleh para pendeta Siwa Budha sehingga Sang Prabu Dandang Gendis menjadi marah.

Menuruti bujukan Begawan Sarutomo dan kawan-kawannya, Raja Daha itu hendak menangkap semua pendeta Siwa Budha dan terjadilah perpecahan. Pada pendeta Siwa Budha lalu melarikan diri kepada raja baru Kerajaan Singosari di Tumapel itu. Makin kuatlah kedudukan Ken Arok yang kini menjadi Sang Prabu Sri Rajasa Bhatara Sang Amarwabumi!

Seperti tercatat dalam sejarah, kelak terjadilah perang antara kerajaan baru Singosari melawan Kerajaan Daha, dan Kerajaan Daha dapat dikalahkan dan ditaklukkan. Maka, Raja Singosari yang dahulunya bernama Ken Arok, seorang penjudi, bahkan pernah menjadi perampok, kini menjadi Maharaja di Pulau Jawa!

Tentu saja Ken Arok tidak melupakan saudara tirinya, yaitu Joko Handoko. Diundangnya saudaranya itu. Joko Handoko sudah mendengar akan kemajuan pesat yang dicapai Ken Arok, akan tetapi dia memang tidak tertarik untuk memperoleh kedudukan, maka dia pun hanya mendengar dari jauh saja betapa Ken Arok kini menjadi raja dan menikah dengan janda almarhum Tunggal Ametung yang tewas dibunuh Kebo Hijo.

Ketika panggilan tiba, Joko Handoko Yang sedang mempersiapkan diri untuk meminang Dewi Pusporini itu, terpaksa memenuhi panggilan dan dia pun terpaksa menunda niatnya mengajak orang tuanya meminang dan berangkat ke Tumapel. Di Tumapel dia mendengar akan kematian yang tiba-tiba dari Empu Gandring. Tentu saja dia merasa terkejut sekali dan sebelum pergi menghadap Ken Arok, dia lebih dulu pergi ke Lulumbang untuk mengunjungi tempat tinggi Empu Gandring.

Dari para cantrik dia mendengar akan pembunuhan aneh yang terjadi atas diri Empu Gandring. Ketika dia menanyakan dan mencari keris pusaka Nogopasung yang pernah diberikan kepada kakek itu, ternyata para cantrik tidak mengetahuinya dan dia tempat kerja itu pun tidak dapat menemukan keris pusaka Nogopasung. Diam-diam Joko Handoko mengerutkan alisnya dan merasa heran sekali.

Timbul dugaan di dalam hatinya bahwa agaknya pembunuhan atas diri Empu Gandring itu ada hubungannya dengan lenyapnya Nogopasung. Apakah ada orang yang merampasnya? Dia pun tahu bahwa Empu Gandring adalah seorang kakek yang sakti, maka besar sekali kemungkinannya bahwa kakek sakti itu benar-benar terbunuh oleh orang yang mempergunakan keris pusaka Nogopasung.

Akan tetapi ke mana hilangnya keris pusaka itu dan siapa pula yang mencurinya? Yang mencuri tentulah pembunuh Empu Gandring. Dengan bermacam pertanyaan itu mengganggu hatinya, Joko Handoko lalu pergi ke Tumapel yang bernama Singosari dan menghadap Ken Arok yang telah menjadi raja.

“Wahai, Kakang Joko Handoko, akhirnya andika datang juga menghadap!” Kata Sang Prabu Sri Rajasa. “Ke mana saja andika selama ini maka tak pernah nampak walaupun aku sedang bersusah payah untuk memperoleh kedudukan seperti sekarang ini! Lihatlah, kakang Joko Handoko, aku telah menjadi raja di sini, tidakkah andika merasa bangga pula?”

Joko Handoko yang tahu diri itu menyembah. Bagaimanapun juga, adik tirinya ini telah menjadi raja, menjadi yang dipertuan di Tumapel dan dia hanyalah seorang di antara rakyatnya. “Mohon beribu maaf, Sribaginda. Paduka tentu sudah sejak dahulu memaklumi bahwa hamba sama sekali tidak ada keinginan untuk memegang kedudukan. Hamba lebih senang tinggal di dusun, di lereng gunung yang sunyi, bekerja sebagai petani yang tenteram.”

Ken Arok merasa girang. Sikap Joko Handoko sungguh sopan dan hal ini menyenangkan hatinya. Dia tahu bahwa kakak tirinya memiliki kesaktian dan kalau dia dapat menariknya sebagai pembantu atau senopati, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat.

“Akan tetapi itu adalah dulu ketika mendiang Sang Akuwu Tunggal Ametung yang menjadi penguasa di sini Kakang. Sekarang yang menjadi raja di sini adalah aku, adik tirimu sendiri. Tidakkah sudah selayaknya dan sepatutnya kalau kakang ikut membantu memperkuat kerajaan kita, dan membantuku memegang kendali pemerintahan? Kuharap andika dapat mempertimbangkan hal ini kakang Joko Handoko.”

“Hamba menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati paduka, Sribaginda. Akan tetapi hamba tetap pada pendirian hamba untuk tetap hidup tenang di dusun saja. Namun, bukan berarti hamba akan acuh saja kalau sampai negeri ini terancam bahaya. Hamba selalu siap membela negara dan bangsa dari ancaman pihak lain.”

Ken Arok mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa memaksa Joko Handoko berarti akan menciptakan perasaan tidak senang saja. “Baiklah, kakang. Akan tetapi aku mengharapkan bantuanmu kalau sampai terjadi perang, karena negeri ini sedang terancam oleh Kerajaan Daha. Dan tentang hidup sebagai petani, aku akan menghadiahkan tanah yang cukup luas untukmu agar berpuas-puaslah andika mengerjakan tanah.”

Joko Handoko menghaturkan terima kasih dan dia lalu mengundurkan diri dengan perasaan lega karena dia merasa khawatir kalau-kalau dia akan dipaksa menjadi hulubalang. Setelah dia keluar dari istana, dia lalu langsung menuju ke gerbang Senopati Pamungas.

Keluarga senopati itu menerimanya dengan gembira, apalagi Dewi Pusporini yang sudah rindu kepada kekasihnya itu, akan tetapi keluarga itu pun agak kecewa melihat bahwa pemuda itu mencul sendirian saja.

“Anakmas Joko Handoko, mana orang tuamu? Kenapa mereka tidak ikut datang?” tanyanya dengan suara mengandung teguran.

Setelah bertukar pandang dengan Dewi Pusporini Joko Handoko lalu memberi hormat kepada calon ayah dan ibu mertuanya. “Maafkan saya, kanjeng paman. Terpaksa saya menunda urusan itu karena secara tiba-tiba saya dipanggil menghadap oleh Srinaginda.”

Senopati Pamungkas mengangguk-angguk dan tersenyum. “Wah, adik tirimu memang hebat, anakmas. Semuda itu akan tetapi telah berhasil menggantikan Sang Akuwu Tunggal Ametung. Dia memang seorang yang gagah perkasa, setia dan memang hebat untuk menjadi raja di sini. Tumapel akan maju kalau dipimpin oleh seorang seperti dia. Lalu apa kehendak beliau memanggilmu?”

“Beliau hendak menghadiahkan kedudukan kepada saya, Kanjeng Paman. Akan tetapi saya terpaksa menolak. Saya belum ingin memegang jabatan dan menjadi orang berpangkat. Saya lebih senang tinggal di dusun dan saya hanya berjanji bahwa kalau sampai terjadi perang, saya tentu akan menyumbangkan tenaga untuk membela negara dan bangsa.”

Senopati Pamungkas menggangguk-angguk lagi. Biarpun hatinya kecewa karena tadinya mengharapkan bahwa sebagai kakak tirinya raja yang baru, calon mantunya ini tentu akan menjadi seorang bangsawan tinggi, dia tidak mau memberi komentar.

“Memang benar kemungkinan terjadi perang antara Singosari dan Daha, dan memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk membela negara dan bangsa. Akan tetapi bagaimana sekarang dengan urusan kita, urusan perjodohanmu dengan Dewi Pusporini?”

“Saya akan segera pulang dan segera mengajak kanjeng romo dan kanjeng ibu untuk bersama saya datang ke sini, kanjang paman.”

“Baiklah, kami selalu menunggumu,” kata senopati itu dan Joko Handoko diberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Dewi Pusporini di dalam taman.

Tentu saja kedua orang muda itu menjadi gembira sekali dan mereka melepas kerinduan hati masing-masing dengan bercakap-cakap dan menumpahkan rasa rindu melalui pandang mata, kata-kata dan sentuhan-sentuhan tangan. Dalam kesempatan ini Pusporini bertanya sambil lalu.

“Dan bagaimana kabarnya dengan diajeng Wulan, kakangmas?”

Ditanya tentang Wulandari, Joko Handoko mengerutkan alisnya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia sudah dapat mengusir perasaan iba yang menyelinap di dalam hatinya mendengar disebutnya nama gadis Sabuk Tembogo itu.

“Aku tidak tahu, diajeng. Semenjak berpisah dari sini, aku tidak pernah lagi bertemu atau mendengar tentang dirinya. Tentu ia sibuk mengurus perkumpulan Sabuk Tembogo. Bukankah demikian katanya dahulu ketika hendak berpisah?”

Akan tetapi Dewi Pusporini tidak menjawab tidak menjawab, bahkan bertanya lagi, “Kakangmas, tahukah engkau akan aib yang menimpa diri Wulandari?”

Joko Handoko memandang tajam dan dua pasang mata itu bertemu. “Maksudmu?” Joko Handoko bertanya, diam-diam merasa heran apakah Wulandari menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan Pramudento itu kepada Dewi Pusporini.

“Peristiwa yang dialaminya di malam ketika dia melarikan diri itu. Sudahkah diajeng Wulan bercerita kepadamu?”

Joko Handoko mengangguk-angguk, maklum bahwa Wulandari sudah membuka rahasianya itu kepada Dewi Pusporini. “Peristiwa yang menimpa dirinya bersama Pramudento yang kemudian dibunuhnya?”

Dewi Pusporini mengangguk. “Aku sudah tahu, ia sudah bercerita kepadaku. Tak kusangka bahwa ia juga bercerita kepadamu, diajeng.”

“Kami sudah seperti kakak dan adik sendiri saja, kakangmas. Kasihan diajeng Wulan. Apakah engkau tidak kasihan kepadanya, Kakangmas?”

“Tentu saja! Kalau belum dibunuhnya tentu aku sendiri yang akan menghajar Pramudento. Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan untuknya?”

“Banyak! Banyak yang dapat kita lakukan untuknya, kakangmas.”

Kembali Joko Handoko memandang tajam kepada wajah kekasihnya, memandang penuh pertanyaan. “Apa maksudmu, diajeng? Apa yang dapat kita lakukan untuk Wulandari?”

Dara itu menarik napas panjang. “Nanti saja kuceritakan, kakangmas, kalau engkau sudah datang bersama orang tuamu untuk meminang diriku. Yang penting bagiku adalah mengetahui bahwa engkau kasihan kepadanya dan suka melakukan sesuatu untuk menolongnya.”

Pada hari itu, Joko Handoko pulang ke Kadipaten Wonoselo untuk menemui ibunya dan ayah tirinya, dengan hati bertanya-tanya pertolongan apakah terhadap Wulandari yang akan diminta oleh Dewi Pusporini darinya.

* * *

Dyah Kanti menyambut dengan hati gembira perkataan puteranya yang minta kepadanya untuk melamarkan puteri Senopati Pamungkas di Tumapel. Dari suaminya yang sekarang, yaitu Raden Pringgojoyo, ia tidak memperoleh keturunan. Raden Pringgojoyo juga menyambut dengan gembira dan dengan senang hati dia bersedia untuk melakukan peminangan itu bersama isterinya. Maka berangkatlah mereka bertiga ke Tumapel.

Di sepanjang perjalanan ke Tumapel mereka mendengar berita tentang pertentangan agama yang terjadi di Daha, dan melihat sendiri rombongan demi rombongan para pendeta dan pemeluk agama Siwa Budha mengungsi ke Tumapel. Dengan cerdik, Sang Prabu Sri Rajasa mengutus orang-orangnya untuk menyambut para pengungsi itu.

Bahkan mempersilahkan para tokoh pendeta Siwa Budha untuk menghadap ke istana, disambut pula oleh Ki Danyang Lohgawe yang juga merupakan seorang tokoh agama itu. Tentu saja para pemimpin agama itu merasa terhibur dan seketika timbul perasaan setianya terhadap Kerajaan Singosari yang baru berdiri.

Setelah tiba di Tumapel, Raden Pringgojoyo, isterinya dan Joko Handoko disambut dengan gembira oleh keluarga Senopati Pamungkas. Pinangan diajukan oleh Raden Pringgojoyo sendiri. Senopati Pamungkas dan isterinya menyambut pinangan itu dengan wajah berseri, akan tetapi tiga orang tamu itu menjadi heran dan terutama sekali Joko Handoko terkejut ketika sang senopati berkata halus,

“Kami sekeluarga merasa berbahagia sekali dan menyambut pinangan andika dengan senang hati, dan mudah-mudahan saja para dewata akan memberkahi kedua anak kita. Akan tetapi, hendaknya dimaklumi bahwa untuk dapat menerima pingangan ini, anak kami Dewi Pusporini mengajukan sebuah syarat.”

“Syarat?” Raden Pringgojoyo tersenyum, disangkanya bahwa tentu syaratnya merupakan benda yang diidamkan puteri itu. “Tentu saja kami dengan senang hati bersedia memenuhi syarat yang ditujukan, asalkan syarat itu masih berada dalam batas kemampuan kami untuk memperolehnya.”

“Syarat itu bukan permintaan harta benda atau barang apapun juga, dan karena kami sendiri kurang leluasa untuk mengemukakannya, maka sebaiknya anak kami itu sendiri yang akan menyampaikan kepada anakmas Joko Handoko.”

Tentu saja Joko Handoko menjadi terheran-heran. Sambil memandang wajah calon mertuanya, dia berkata, “Baiklah, kanjeng paman. Saya siap menerima permintaan diajeng Pusporini.”

Seorang dayang lalu diutus memanggil sang puteri dan ternyata Dewi Pusporini telah berdandan serba indah untuk keperluan ini. Ia nampak cantik jelita bagaikan puteri dari kayangan sehingga Raden Pringgojoyo dan Dyah Kanti memandang dengan penuh kagum dan girang bahwa Joko Handoko memperoleh calon jodoh yang demikian cantiknya.

Bukan hanya cantik wajahnya dan kuning mulus kulitnya, akan tetapi juga lembut dan sopan santun gerak-geriknya ketika dara itu memasuki ruangan dengan sikap halus dan hormat sekali. Setelah dara itu mengambil tempat duduk sebagaimana mastinya, Senopati Pamungkas lalu berkata dengan suara lembut.

“Anakku Dewi Pusporini, orang tua dari anakmas Joko Handoko telah mengajukan pinangan yang telah kami terima dengan gembira seperti telah kita kehendaki bersama, dan aku telah memberitahukan kepada mereka agar engkau mengajukan sebuah syarat. Agar ayah dan ibumu tidak disangka sengaja mempersulit, maka engkau kami panggil agar engkau sendiri yang menyampaikan syaratmu itu kepada anakmas Joko Handoko.”

Dewi Pusporini mengangkat muka memandang sejenak kepada Raden Pringgojoyo, kemudian agak lama memandang kepada Dyah Kanti Ibu kandung kekasihnya, lalu berkata pada mereka. “Saya mohon maaf sebesarnya dari kanjeng bibi, karena sesungguhnya syarat yang saya ajukan ini bukan sekali-kali merupakan kemanjaan atau pengairanagungan harga diri memainkan amat penting, baik bagi saya sendiri maupun bagi kakangmas Joko Handoko.”

Sejak dara itu keluar, Dyah Kanti sudah merasa suka sekali, apalagi mendengar ucapan yang demikian sopan dan halus. Ia tersenyum ramah dan berkata, “Tidak mengapa, nini Dewi, sudah selayaknya kalau engkau mengajukan syarat. Katakanlah apa syarat itu?”

Tanpa memperdulikan pandang mata Joko Handoko yang penuh tanda tanya ditujukan kepadanya, Dewi Pusporini kini memandang kepada Joko Handoko dan berkata, suaranya lantang dan tegas. “Saya hanya mau menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko kalau mau dimadu dengan Diajeng Wulandari!”

“Diajeng Dewi....!” Joko Handoko berseru kaget bukan main, memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak.

“Kakangmas tentu masih ingat, saya pernah mengatakan bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk Diajeng Wulandari.”

Tentu saja Raden Pringgojoyo dan isterinya menjadi terheran-heran. Mana ada syarat minta dimadu? “Ah, bagaimana pula ini? Siapakah pula itu Wulandari?” kata Dyah Kanti dengan bingung sambil memadang kepada puteranya.

“Ia seorang sahabat baik yang sudah menjadi adik saya sendri, Kanjeng Bibi, juga seorang sahabat yang amat baik dari Kakangmas Joko Handoko.”

Dyah Kanti memandang puteranya. “Benarkah itu, Joko?” Joko Handoko hanya mengangguk karena dia masih tekejut dan bingung.

“Akan tetapi, kepada siapakah kami harus mengajukn pinangan atas diri Wulandari itu dan di mana ia tinggal?” Raden Pringgojoyo bertanya.

“Pinangan itu dapat ditujukan kepada kami, karena Wulandari telah mengangkat kami suami isteri sebagai walinya pula.” Senopati Pamungkas yang sejak tadi tersenyum itu berkata.

Dua pasang suami isteri itu saling pandang dan mengertilah Raden Pringgojoyo dan Dyah Kanti bahwa ayah bunda Dewi Pusporini telah tahu akan persoalannya dan telah pula menyetujuinya! Sungguh luar biasa sekali!

“Kalau begitu, biarlah kami mengajukan pinangan untuk kedua kalinya!” kata Raden Pringgojoyo, “Sekali ini kami mengajukan pinangan atas diri nini Wulandari untuk menjadi isteri yang kedua dari anak kami Joko Handoko dan....”

“Maaf, Kanjang Romo. Nanti dulu....!” tiba-tiba Joko Handoko berseru sambil mengangkat tangannya. Semua orang memandang kepadanya dan pemuda ini memandang kekasihnya, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.

“Diajeng Dewi Pusporini, mengapa engkau bersikap begini? Kita tidak boleh bertindak semau sendiri, karena hal ini menyangkut diri Diajeng Wulan. Kita harus memberi tahu Diajeng Wulan, karena saya kira dia tidak akan sudi.....”

“Kakangmas Joko Handoko, soal Diajeng Wulandari tanggunganku. Yang penting sekarang kuserahkan jawaban dan keputusannya kepadamu. Maukah engkau mengambil kami berdua, aku dan Diajeng Wulandari, sebagai isteri-isterimu?”

“Benar, Anakmas Joko Handoko, keputusannya terserah kepadamu. Maukah Andika?” kata Senopati Pamungkas.

“Tapi..... tapi.... saya harus mendapat keputusan dulu dari Diajeng Wulandari. Bagaimana mungkin meminang seseorang yang belum saya ketahui apakah ia mau atau tidak?”

“Akan tetapi, Kakangmas. Jawablah dulu, andaikata ia mau, apakah engkau juga akan menerimanya?” Dewi Pusporini bertanya, memandang tajam.

“Ini.... ini.... wah, kalau memang engkau menghendaki demikian, Diajeng, akupun hanya menurut saja, terserah kepadamu,” kata Joko Handoko. Harus diakui bahwa sebelum berjumpa dengan Dewi Pusporini, dia sudah berkenalan dengan Wulandari dan sudah merasa suka sekali kepada gadis hitam manis itu.

“Nah, kalau begitu, akan kupanggil ia ke sini!” Dewi Pusporini lalu bangkit dan masuk ke dalam, diikuti pandang mata terbelalak dari Joko Handoko. Kiranya Wulandari telah berada di sini pula!

Wulandari nampak agak kurus dan ia berjalan sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dewi Pusporini setengah menariknya dengan halus dan akhirnya mereka berdua tiba di ruangan itu. Dengan lemas karena merasa malu dan terharu, Wulandari menjatuhkan diri duduk bersimpuh dan tetap menundukkan mukanya.

Melihat gadis ini, Joko Handoko, tidak dapat menahan lagi keharuan hatinya. “Diajeng Wulan, apa artinya semua ini? Benarkah engkau.... engkau.... akan menerima pinangan dariku untuk menjadi.... madu dari Diajeng Pusporini?”

Sejak Joko Handoko menyebut namanya, air matanya sudah jatuh menetes-netes. Ia berusaha menguatkan hatinya, menggigit bibir agar tidak terisak. Tanpa mengangkat muka, ia pun menjawab, “Mbakayu Dewi menghendaki demikian, Kakang.... dan aku.... aku.... ahh....” ia tidak dapat melanjutkan, melainkan mengusap air matanya yang jatuh berderai.

Dewi Pusporini merangkulnya. “Sudahlah, Wulan, jangan menangis. Aku sudah mengambil keputusan, kita berdua menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko, atau... aku pun tidak akan mau menikah sama sekali!”

Kiranya inilah yang menjadi kaputusan Dewi Pusporini sejak ia mendengar kisah yang amat menyedihkan dari Wulandari. Gadis itu talah ternoda, dan sebagai seorang gadis yang merasa dirinya ternoda, pada jaman itu memang amatlah sukar untuk memperoleh jodoh yang yang benar dan terhormat. Gadis itu akan seolah-olah terkutuk untuk selamanya.

Dan malapetaka itu terjadi atas diri Wulandari karena malam itu melarikan diri dari rumah keluarga senopati. Dewi Pusporini merasa bahwa seolah-olah ialah yang menjadi biang keladinya. Ialah yang seperti mendorong Wulandari mengalami peristiwa yang keji itu. Dan ia pun yakin akan besarnya cinta kasih Wulandari terhadap Joko Handoko, tahu pula bahwa calon suaminya itu suka sekali kepada Wulandari, merasa kasihan pula.

Tidak ada jalan lain baginya kecuali menarik Wulandari menjadi madunya, kalau tidak demikian, ia merasa seolah-olah menari-nari di atas kemalangan orang lain, berbahagia di atas kemalangan orang lain, berbahagia di atas kedukaan Wulandari. Ia akan menyesali hal ini selamanya. Dan ia pun merasa suka dan cocok sekali dengan gadis Sabuk Tembogo itu.

Maka diambilnya keputusan bulat yang mengejutkan hati semua orang itu. Orang tuanya sudah setuju karena orang tuanya juga merasa terharu dan kasihan setelah mendengar penuturan Dewi Pusporini tentang musibah yang menimpa diri Wulandari.

Akhirnya, orang tua kedua belah pihak telah setuju. Pinangan terhadap Dewi Pusporini dan Wulandari dilakukan dan diterima oleh Senopati Pamungkas dan isterinya. Dan hari pernikahan pun ditentukan. Dengan hati penuh rasa bahagia dan gembira, Joko Handoko bersama ibu kandungnya dan ayah tirinya pulang untuk mempersiapkan hari pernikahannya dengan kedua orang mempelainya.

Kurang lebih lima pekan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Joko Handoko dan Dewi Pusporini yang ditemani oleh Wulandari. Biarpun tidak mungkin dapat dinikahkan secara resmi, Wulandari juga mengenakan pakaian sekembaran dengan Dewi Pusporini, dan di lingkungan keluarga kedua belah pihak, ia diterima sebagai isteri ke dua Joko Handoko. Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, bahkan Sang Prabu Sri Rajasa sendiri berkenan menghadiri perayaan pesta pernikahan kakak tirinya.

Setelah pesta pernikahan dirayakan, Joko Handoko lalu memboyong kedua orang isterinya itu ke lereng Anjasmoro di mana dia diberi hadiah tanah yang cukup luas oleh Ken Arok atau Sang Prabu Sri Rajasa dan hidup bersama dua orang isterinya itu sebagai petani yang penuh kebahagiaan.

Sampai di sini, pengarang mengakhiri kisah Keris Pusaka Nogopasung ini. Akan tetapi keris pusaka itu sendiri, yang kini tidak dikenal lagi namanya karena sudah berubah bentuk, masih panjang ceritanya. Keris itu memang haus darah dan menerima kutukankutukan, terutama kutukan Empu Gandring.

Seperti tercatat dalm sejarah, Ken Arok sebagai Sang Prabu Sri Rajasa kelak akan tewas di ujung keris pusaka itu di tangan Anusapati, yaitu anak keturunan Tunggal Ametung yang terlahir dari Ken Dedes. Kemudian, Anusapati sendiri pun akan tewas di ujung keris yang sama oleh Pangeran Tohjaya, putera Ken Arok yang terlahir dari isteri mudanya bernama Ken Umang. Keris itu memang haus darah!

Biarpun tidak menjadi pembesar atau bangsawan, Joko Handoko bersama dua isterinya hidup penuh kebahagiaan sampai hari tua. Nampaknya saja bahwa nasib adik tirinya, Ken Arok, jauh lebih baik. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian.

Kehidupan yang bergelimang dengan kemuliaan dan kekayaan dari Ken Arok itu penuh dengan perang, pertikaian dan dendam, perebutan kekuasaan dan permusuhan. Mudah-mudahan dalam kisah ini terkandung manfaat bagi pembaca di samping hiburan di kala senggang, demikian harapan pengarang.

TAMAT

Kisah berikutnya,