Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 16

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo. Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 16
Sonny Ogawa

Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - Wulandari mencabut keris ini dan melompat ke belakang melihat darah muncrat dari dada Pramudento. Barulah dia sadar akan perbuatannya dan merasa ngeri. Kemudian, dengan keris pusaka masih di tangan ia lalu membuka pintu dan meloncat ke luar dari dalam kamar, terus lari ke luar dari dalam kamar, terus lari keluar dari pondok itu ke dalam kegelapan sisa malam dan larilah ia tanpa tujuan, asal menjauhi pondok itu.

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

Ia berlari sambil terisak dan keris pusaka Nogopasung masih di tangan kanannya. Hari masih pagi sekali, walaupun sinar matahari yang masih berada di bawah ufuk timur sudah mulai mengusir kegelapan malam dan mendatangkan pertanda bahwa kegelapan akan menghilang, namun cuaca masih remang-remang ketika Wulandari berlari sambil menangis itu.

Karena berlari dengan pikiran tidak karuan, kacau dan hampir buta oleh tangis, dalam cuaca yang masih gelap pula, di atas tanah yang asing bagi kakinya, ketika ia meloncati sebuah jurang kecil ia pun terserimpet dan jatuh tersungkur. Untung tubuhnya terlatih sehingga dalam keadaan terjatuh, ia masih sempat memegang keris Nogopasung dan ia cepat bergulingan sehingga tubuhnya tidak terbanting keras.

Ketika ia bangkit berdiri, di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang kelihatannya teheran-heran melihat tingkahnya. Namun, dengan mata terhalang air mata melihat laki-laki berdiri di depannya, Wulandari sudah meloncat ke depan dan keris Nogopasung yang haus darah itu meluncur ke arah dada orang itu, siap untuk minum darah segar!

”Diajeng Wulan...!” Laki-laki itu dengan gerakan kaki yang ringan sekali mengelak, lalu menangkap lengan kanan Wulandari yang memegang keris.

Mendengar suara ini, Wulandari membelalakkan mata dan ternyata yang diserangnya adalah Joko Handoko. ”Kakang....!” Ia mengeluh dan air matanya makin membanjir. ”Kakang.... uhuhu-huuuuuhh...!

”Diajeng Wulan....!” Joko Handoko berseru dan keduanya saling dekap.

Wulandari menangis sampai mengguguk sambil menyandarkan kepala dan menyembunyikan mukanya di dada Joko Handoko yang mengelus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia membiarkan gadis itu menangis sampai puas, barulah dia bertanya.

”Apakah yang telah terjadi, Wulan? Mari kita duduk dan kau ceritakan semuanya kepadaku.”

Wulandari masih terisak-isak ketika dengan lambut Joko Handoko mendorongnya sehingga mereka berdiri berhadapan. Akan tetapi Wulandari tidak mau duduk, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan dan pundaknya masih terguncang oleh tangis. Joko Handoko diam-diam merasa khawatir dan terkejut ketika melihat Nogopasung di tangan Wulandari, keris pusaka itu telanjang dan mengeluarkan hawa yang meggiriskan.

”Aku.... aku baru saja membunuh.... Pramudento....” katanya dengan suara terputus-putus.

Joko Handoko terbelalak kaget. ”Tapi kenapa.....?”

”Dia telah menodaiku!” kata Wulandari dan tiba-tiba saja sikapnya berubah keras dan beringas, seolah-olah bayangan bahwa dirinya ternoda itu membuat kemarahannya bangkit kembali.

Joko Handoko semakin kaget mendengar ini. ”Tapi... bagaimana hal itu bisa terjadi? Bukankah engkau pergi untuk membunuh Ken Arok?”

”Kakang Joko, kau.... kau maafkan aku. Aku.... aku tidak tahan melihat Kakang dan Mbakayu Dewi di taman itu... maka aku lalu teringat akan kematian ayah dan aku ingin membalas dendam. Keris Pusaka Nogopasung kubawa. Di jalan aku bertemu dengan Pramudento yang membujukku katanya hendak membantuku. Aku diajak pergi ke pondoknya dan diperkenalkan dengan gurunya, Ki Ageng Marmoyo, kami lalu makan dan minum dan aku.... aku menjadi pening.... lalu... lalu Prmudento membawaku ke kamar, aku seperti tidak ingat apa-apa lagi... dan.... dan dia menodaiku. Paginya, aku melihat bunga setaman di kolong pembaringan, tentu aku diguna-gunai. Aku marah dan membunuh Pramudento yang masih tidur, dan aku lari, Kakang....! Hu-hu-huuuuk, aku..... aku telah ternoda dan tidak ada artinya lagi hidup ini bagiku, Kakang!”

Joko Handoko bergerak cepat sekali, menangkap lengan kanan Wulandari dan dengan menggunakan tenaganya dia berhasil merampas keris pusaka Nogopasung yang tadi hendak dipergunakan gadis itu untuk membunuh diri.

”Wulan! Jangan berlaku bodoh! Membunuh diri bukan jalan yang terbaik!” bentak Joko Handoko dengan muka pucat.

”Kakang Joko....!” Wulandari menjerit dan menubruk pemuda itu, kembali ia menangis sesenggukan di dada Joko Handoko.

Pemuda itu cepat menyelipkan keris telanjang itu di pinggangnya, lalu menghibur Wulandari. ”Diajeng Wulan, segala yang terjadi dan menimpa diri kita di dunia ini sudah ada garisnya. Kita harus berani menghadapinya betapa pahitnya pun. Yang tidak berani menghadapi kepahitan hidup adalah seorang pengecut, dan aku yakin engkau bukanlah seorang pengecut. Hidup merupakan serangkaian peristiwa yang sambung sinambung, membiarkan diri hanyut dan jatuh hanya oleh satu di antara serangkaian peristiwa itu sungguh merupakan kebodohan. Sadar dan tenanglah, Wulan, kehidupan ini masih panjang dan ceritanya belum habis untuk dirimu. Terang dan gelap silih berganti. Jangan takabur kalau sedang terang dan jangan putus asa kalau sedang gelap.”

”Akan tetapi, Kakang, apa artinya hidupku ini setelah kehilangan engkau lalu kehilangan harga diriku?” Wulandari mengeluh dan Joko Handoko merasa terharu sekali.

Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa gadis itu kehilangan dia, berarti gadis ini mencintainya, seperti yang telah diduganya. ”Diajeng Wulan, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa engkau kehilangan diriku?”

Dia berhenti sejenak dan menimbang-nimbang dalam hatinya. Harus diakuinya bahwa dia sangat suka kepada gadis ini, bahkan mencintainya, akan tetapi sebagai seorang pria, dia lebih tertarik dan lebih mencintai Dewi Pusporini. Terhadap Wulandari, cintanya lebih condong kepada cinta seorang kakak atau seorang sahabat baik, walaupun harus diakuinya bahwa jarang ada gadis seperti Wulandari yang manis sekali, lincah, jenaka dan juga memiliki kepandaian tinggi.

”Kakang, egkau.... engkau telah menjadi milik Mbakayu Dewi....”

”Hemmm, apakah andaikata benar demikian, berarti engkau kehilangan aku, Diajeng? Kita masih dapat berhubungan dengan baik, menjadi saudara, atau sahabat yang paling baik. Dan jangan katakan bahwa perbuatan terkutuk yang dilakukan Pramudento terhadap dirimu berarti melenyapkan harga dirimu dan kehormatanmu. Dalam pandanganku, engkau masih tetap Wulandari yang gagah perkasa dan patut dikagumi dan dihormati.”

Tiba-tiba Joko Handoko menarik Wulandari ke samping dan cepat memandang penuh selidik ke depan. Wulandari ikut memandang dan ternyata yang muncul dengan berlari cepat adalah Ki Ageng Marmoyo! Kakek itu nampak marah sekali, matanya mencorong dan begitu melihat Wulandari, dia lalu menggosok kedua tangannya dan nampaklah asap tebal mengepul di antara kedua tangannya. Itulah Tapak Bromo, aji pukulan yang amat hebat, yang berhawa panas dan ampuhnya menggiriskan!

”Babo-babo, perempuan iblis! Biar engkau akan lari ke neraka sekalipun akan tetap kukejar sampai dapat! Engkau telah berani membunuh muridku si Pramudento! Engkau harus menebus dosamu itu dengan badan dan nyawa. Badan dan nyawanya harus kau serahkan ke dalam tanganku! Menyerahlah, atau kalau tidak, kepalamu akan hancur oleh tanganku!”

Joko Handoko maklum bahwa kakek ini amat sakti, jauh terlalu tangguh bagi Wulandari, maka dia pun lalu melangkah maju melindungi Wulandari dan membungkuk dengan sembah hormat. ”Sadhu-sadhu-sadhu, semoga para dewata memberkahi orang yang penyabar. Paman panembahan, harap suka bersabar dan dapat melihat kenyataan yang sebenanya terjadi. Memang harus diakui oleh diajeng Wulandari bahwa ia telah membunuh Pramudento, akan tetapi hal itu dilakukannya karena ia gelap mata saking marah dan sakit hatinya karena Pramudento telah menodainya!”

Ki Ageng Marmoyo agaknya baru sekarang melihat Joko Handoko. Ia mengerutkan alisnya dan memandang dengan mata mencorong. Dia seorang sakti dan dapat melihat bahwa pemuda ini seorang yang “berisi”, maka ia pun cepat membentak. “Orang muda, siapakah Andika yang berani mencampuri urusan antara aku dan perempuan ini?”

“Nama saya Joko Handoko, paman panembahan. Saya tidak mencampuri urusan, melainkan harus membela Diajeng Wulandari yang menjadi sahabat baik saya. Ia telah bercerita tentang peristiwa dengan Pramudento dan ia tidak bersalah, harap andika dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana.”

“Pramudento tidak menodainya, tidak memperkosanya. Adalah perempuan ini sendiri yang tergila-gila kepada Pramudento dan menyerahkan dengan suka rela.....”

“Bohong! Kau pendeta palsu tak perlu menyebar fitnah dan kebohongan! Setelah makan dan minum aku menjadi pening dan tidak ingat apa-apa lagi, dan apa artinya kembang setaman, dan, telur dan cermin di bawah pembaringanku itu? Engkau atau muridmu telah mempergunakan pembius dalam makanan atau minuman, dan menggunakan guna-guna untuk melumpuhkan aku!”

Ki Ageng Marmoyo menjadi semakin marah. Tentu saja dia tahu bahwa muridnya menguasai gadis dengan bantuan guna-guna darinya, akan tetapi untuk mengakui hal itu dia merasa malu. “Tak perlu banyak cerewet, cepat menyerah atau kepalamu akan kuhancurkan sekarang juga!” bentaknya sambil melangkah maju.

“Pendeta jahanam! Biar kau bunuh seribu kali pun aku tidak sudi menyerah kepadamu!” Wulandari lalu membentak marah.

“Keparat!” Ki Ageng Marmoyo melangkah maju, tangan kanannya menyambar dan hawa amat panasnya menyambar ke arah Wulandari, disertai bunyi yang berdesing seperti sambaran pedang tajam.

Joko Handoko terkejut. Serangan itu merupakan serangan maut yang amat keji dan dia tahu betapa kuatnya tangan maut itu. Maka dia pun berseru nyaring dan meloncat ke depan langsung menangkis dengan lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga sakti Nogopasung.

“Wuuuuuuttt.... desss....!!” Akibat benturan kedua lengan itu, tubuh Joko Handoko terpental sampai dua meter ke belakang, akan tetapi tubuh kakek itu pun terhuyung. Hal ini amat mengejutkan Ki Ageng Marmoyo dan dia memandang kepada pemuda itu dengan lebih teliti. Tak disangkanya pemuda itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya.

Di lain pihak, Joko Handoko kini yakin bahwa lawannya benar-benar tangguh dan memiliki ilmu pukulan ampuh, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut keris pusaka Nogopasung dari pinggangnya.

“Babo-babo.....! Agaknya keris ini yang telah dipergunakan untuk membunuh muridku. Sekarang aku akan membunuh kalian dengan keris ini pula!” bentaknya dan dia pun menerjang dengan ganasnya.

Terjangan itu disambut oleh Joko Handoko dengan sama kerasnya pula, mempergunakan keris dan aji Nogopasung yang ampuh. Berkali-kali terjadi benturan dua tenaga sakti yang dahsyat yang mambuat keduanya terlempar ke belakang. Akan tetapi, karena Ki Ageng Marmoyo dapat merasakan betapa hawa keris pusaka itu amat ampuh maka dia pun tidak berani mengadu kedua tangannya dengan keris secara langsung.

Hal ini membuat gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa karena dia harus selalu mengelak dari sambaran ujung keris yang mengandung tenaga dahsyat itu. Setelah lewat tigapuluh jurus lebih, usia tua menentukan perkelahian yang seimbang itu.

Ki Ageng Marmoyo mulai terengah-engah kehabisan napas dan dengan sendirinya, tenaga dan kecepannya pun banyak berkurang. Untung baginya bahwa Joko Handoko memiliki batin yang bersih dan tenang, sehingga dalam keadaan seperti itu pemuda ini masih selalu teringat bahwa dia tidak akan sembarangan membunuh orang.

Ki Ageng Marmoyo tidak bermusuhan dengannya, dan kalau kakek ini marah adalah karena kematian muridnya, sehingga kemarahannya itu merupakan hal yang wajar dan dapat di maafkan. Kakek itu pun tahu diri. Setelah napasnya hampir putus dan dia belum juga mampu mengalahkan Joko Handoko walaupun dia telah mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi pemuda itu tanpa hasil, dia pun lalu mengeluarkan teriakan panjang karena kecewa dan dia pun meloncat jauh ke belakang dan melaikan diri tanpa pamit lagi.

“Hemmm, berbahaya sekali. Kakek itu sungguh memiliki kesaktian yang hebat,” kata Joko Handoko sambil menyimpan kerisnya, lalu dia menoleh kepada Wulandari yang sejak tadi hanya nonton saja karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri perklahian itu. “Diajeng Wulan, marilah engkau ikutbersamaku kembali ke rumah Kanjeng Senopati Pamungkas. Mereka sekeluarga menanti-nanti kembalimu ke sana.”

Wajah Wulandari berubah merah. “Ke sana? Ahh.... aku.... aku tidak berani, aku malu Kakang....” keluhnya.

Joko Handoko memegang kedua pundak gadis itu, ditegakkannya tubuh itu dan diangkatnya muka itu dengan menyentuh dagunya. “Diajeng Wulan, pandanglah aku. Tidak percayakah engkau kepadaku bahwa hal ini yang terbaik yang dapat kau lakukan? Engkau seperti adikku sendiri, engkaulah orang yang akan kubela kalau sampai engkau diganggu orang lain. Kemana larinya kegagahanmu? Marilah, tenangkan hatimu dan ikutlah bersamaku, kembalilah ke rumah paman Senopati Pamungkas. Mereka semua sayang kepadamu, Diajeng, dan mereka semua cemas melihat kepergianmu.”

Akhirnya Wulandari dapat dibujuk oleh Joko Handoko dan mereka pun kembali ke Tumapel, ke rumah Senopati Pamungkas. Tentu saja kembalinya Wulandari ini disambut dengan gembira oleh keluarga itu apa lagi ketika mereka mendengar bahwa Wulandari tidak atau belum sampai membunuh Ken Arok.

Pertemuan mengharukan terjadi antara Wulandari dan Dewi Pusporini. Dua orang gadis ini berdiri berhadapan, saling berpandangan tanpa kata karena pandang mata mereka saja sudah mengeluarkan seribu satu macam kata. Dua pasang mata yang sama indah dan beningnya itu kemudian perlahan-lahan menjadi basah dan Wulandari menjerit lirih sambil lari merangkul Dewi Pusporini.

“Mbakayu Dewi......”

“Wulan........!” Wulandari menangis sesenggukan dan Pusporini juga bercucuran air mata, lalu ia merangkul leher Wulandari dan ditariknya dengan lambut memasuki kamar mereka.

Senopati Pamungkas dan isterinya hanya dapat memadang dengan penuh keharuan, dan Joko Handoko merasa lega bahwa di antara dua orang gadis itu tidak timbul kebencian seperti yang dikhawatirkannya.

“Anakmas Joko Handoko, menurut pendapat kami, sebaiknya kalau engkau cepat pulang dan memberitahukan ibu dan ayah tirimu untuk segera datang bersamamu ke sini melakukan pinangan itu. Baru lega hati kami kalau hal itu terlaksana, Anakmas.”

“Baiklah, akan saya lakukan perintah itu, Kanjeng Paman,” jawab Joko Handoko. Dia tidak mau bercerita tentang peristiwa memalukan yang menimpa diri Wulandari. “Akan tetapi saya ingin pergi mencari Kanjeng Eyang Empu Gandring lebih dahulu untuk mengunjungi beliau.”

Selagi Joko Handoko bercakap-cakap dengan Senopati itu dan isrinya, di dalam kamar terjadi percakapan yang menarik antara Wulandari dan Pusporini. Sambil merangkul mereka memasuki kamar dan setelah menutupkan daun pintu, Pusporini mengajak Wulandari duduk berdampingan di atas pembaringan.

“Wulan, apa yang kau lakukan itu sungguh terlalu terburu nafsu, adikku. Kalau aku yang menjadi penghalang kebahagianmu, mbakayumu ini bersedia untuk mengalah, Wulan. Bialah aku mundur agar engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.” Ucapan itu keluar dengan suara yang jujur dan setulusnya.

Wulandari merangkul dan menciumi pipi Pusporini yang masih basah. Ia merasa malu sekali. Kiranya puteri Senopati ini memiliki hati yang amat mulia. “Tidak, mbakayu Dewi. Tidak ada urusan kalah mengalah dalam hal ini. Dia mencintaimu seorang, dan mbakayu juga cinta padanya. Adapun aku.....ah, aku tak tahu diri. Aku akan pulang saja untuk mengurus Sabuk Tambogo, karena setelah banyak mengalami hal-hal yang hebat, aku ingin menjaga, agar Sabuk Tembogo jangan sampai terbawa dalam kesesatan. Tugasku masih banyak, mbakayu Dewi, dan aku tidak ingin menjadi lemah dan cengeng.”

Kini Pusporini yang menciumi pipi yang agak pucat dari Wulandari. “Diajeng Wulan, hatiku takkan pernah tenteram kalau aku membiarkan engkau merana karena kegagalanmu ini. Engkau tidak akan patah hati?”

Wulandari tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Kenapa harus patah hati? Kakang Joko Handoko amat baik kepadaku, walaupun cintanya jatuh kepadamu. Kalau aku tidak dapat mencintainya sebagai... calon istri, biarlah aku mencintainya sebagai seorang adik, atau sahabat baik.... seperti.... seperti yang telah dikatakannya kepadaku....” Wulandari memejaman matanya agar air matanya tidak runtuh kembali.

Dewi Pusporini merasa terharu sekali. “Engkau berhati mulia, adikku. Orang seperti engkau ini tentu akan mendapatkan seorang suami yang tidak kalah mulianya dari pada Kakangmas Joko Handoko.”


Tentu saja Pusporini terkejut sekali dan dia memandang Wulandari dengan mata penuh selidik. “Tapi..... tapi kenapakah, adikku?”

Ditanya demikian, tiba-tiba Wulandari menangis lagi karena pertanyaan itu seperti pedang beracun yang menusuk ulu hatinya. Perih dan mengingatkannya kembali akan malapetaka yang menimpa dirinya. Berkali-kali ia menggeleng kepala dan akhirnya dapat juga ia berkata,

“Tidak.... tidak....! Aku sudah tidak berharga lagi, Mbakayu, aku.... aku telah ternoda dan tak seorang pun laki-laki di dunia ini mau menjadi suamiku....”

“Apa....?” Pusporini merangkul Wulandari, dan mengguncang-guncang pundaknya, mukanya pucat. Pikiran buruk menyelinap dalam kepalanya. Jangan-jangan hubungan yang amat erat antara Wulandari dan Joko Handoko telah sampai ke tingkat yang demikian jauhnya sehingga gadis ini telah menyerahkan diri kepada Joko Handoko. “Apa maksud ucapanmu tadi Wulan? Apa maksudmu?” Ia setengah menjerit.

Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk, dan dengan suara bercampur isak, Wulandari berkata lirih, “Baru malam tadi terjadinya.....” Dan dia menceritakan pengalamannya ketika ia melarikan diri tanpa pamit dari kamar itu, betapa ia ternoda oleh Pramudento yang kemudian dibunuhnya.

Mendengar penuturan itu, Dewi Pusporini menjadi lemas seluruh tubuhnya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya. Perasaan lega karena ternyata bukan Joko Handoko yang menodai Wulandari, perasaan iba mendengar nasib buruk yang menimpa diri gadis ini dan juga terkejut mendengar betapa Wulandari membunuh putera ketua Hastorudiro.

“Ah, kasihan sekali engkau, Diajeng! Aku harus berbuat sesuatu! Aku harus berbuat sesuatu untukmu....!” Berkali-kali puteri senopati itu berkata demikian sambil mengepal tangan kanannya.

Wulandari memaksa tersenyum. “Sudahlah, Mbakayu. Tadinya aku pun ingin membunuh diri saja, akan tetapi kakang Joko Handoko menyadarkanku dan mencegahku. Aku sekarang mau pergi, harus cepat pulang, dan memimpin Sabuk Tembogo. Itulah tugas hidupku satu-satunya sekarang. Selamat tinggal, mbakayu Dewi, semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Joko......”

Gadis itu lalu melangkah keluar sambil mengusap semua air matanya sehingga ketika ia tiba di ruangan dalam, tidak ada lagi air mata mengalir keluar walaupun matanya masih merah dan wajahnya masih jelas menunjukkan bekas tangis. Dewi Pusporini juga menahan diri, mengikuti keluar dan bersikap tenang ketika Wulandari berpamit dari ayah ibunya, juga gadis itu berpamit dari Joko Handoko.

“Selamat tinggal, Kakang Joko Handoko dan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku selama ini.” Dengan gagah dan tenang, Wulandari lalu pergi meninggalkan mereka, diikuti pandang penuh iba oleh Joko Handoko dan Dewi Pusporini karena hanya dua orang itulah yang tahu akan nasib buruk yang menimpa diri Wulandari.

Joko Handoko juga mohon diri untuk pergi mencari Empu Gandring setelah dia menyatakan kesanggupannya untuk dalam waktu secepat mungkin mengajak ibu dan ayah tirinya untuk berkunjung kepada keluarga senopati itu dan mengajukan pinangan secara resmi.

* * *

Dengan hati bulat Joko Handoko mencari pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Sudah bulat tekadnya untuk mengembalikan keris pusaka Nogopasung kepada Empu Gandring yang menciptakannya. Keris itu menjadi terlalu haus darah, pikirnya.

Semenjak minum darah ayahnya kandungnya, Ginantoko dan kekasihnya Galuhsari, agaknya keris pusaka Nogopasung menjadi seperti seekor ular naga yang hidup dan haus darah. Kini telah minum darah baru, darahnya Pramudento yang tewas dalam keadaan tidur, berarti dalam keadaan penasaran.

Nyawa tiga orang itu tentu akan mempengaruhi keris itu dan menciptakan hawa yang kejam dan haus darah. Berat rasa tangannya memegang keris pusaka itu sekarang. Dia tidak menghendaki keris itu minum darah manusia semakin banyak lagi, maka jalan satu-satunya hanyalah mengembalikan kepada penciptanya.

Dia percaya bahwa guru dari mendiang ayahnya itu seorang sakti yang bijaksana, tentu dapat pula membersihkan keris Nogopasung. Setelah keris pusaka itu bersih, barulah ia aka menerimanya sebagai sebatang keris pusaka yang patut dijadikan senjata pembela diri, bukan menjadi senjata pembunuh seperti keadaan keris itu sekarang ini.

Joko Handoko agaknya belum cukup waspada untuk dapat melihat bahwa sebab akibat seluruhnya berada di tangan manusia sendiri. Keris pusaka Nogopasung, seperti segala macam senjata lain di dunia ini, bahkan seperti segala macam benda di dunia ini, tidak dapat dinamakan baik atau buruk.

Baik ataupun buruk baru timbul setelah dinilai oleh manusia, dan baik atau buruk itu baru nampak setelah benda dipergunakan oleh manusia. Asal keris datang dari besi mulia yang berada di dalam tanah. Besi yang berada di dalam tanah, apakah itu baik atau buruk? Tidak baik tidak buruk, wajar saja.

Akan tetapi setelah dibuat menjadi sebatang keris, baik atau burukkah? Kalau hanya diletakkan saja atau digantung, juga tidak baik atau buruk. Setelah berada ditangan orang dan oleh orang itu dipergunakan, barulah keris itu dapat dikatakan baik atau buruk, melihat perbuatan apa yang dilakukan dengan keris itu. Tidakkah segala macam benda, di dunia itu demikian pula halnya!

Api nama benda itu. Bisa baik bisa buruk. Baik kalau untuk masak, membuat penerangan, pemanasan dan sebagainya. Akan tetapi buruk kalau untuk membakar rumah orang! Pisau dapat juga berguna dan menjadi baik kalau untuk pekerjaan bermanfaat, akan tetapi menjadi buruk kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang lain.

Tidak sukar menemukan pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Semua orang mengenal kakek ini. Seorang empu pembuat keris pusaka yang amat terkenal, sakti dan pandai sekali para senopati sampai adipati, hampir semua memesan keris buatan Empu Gandring.

Ketika Joko Handoko tiba di pondok itu dia menemukan Empu Gandring sedang duduk seorang diri di dalam bengkel pembuatan keris, duduk termenung dan agaknya sedang betistirahat. Tempat itu penuh dengan alat-alat pembuat keris, baja-baja yang masih kasar, keris-keris yang baru nampak bentuknya saja dan belum jadi dan belum “diisi”.

Kakek itu nampak agung dan berwibawa dalam usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun atau tujuh puluh enam tahun, sudah nampak tua walaupun wajahnya masih segar penuh semangat dan sepasang matanya masih mencorong dan mulutnya masih membayangkan senyum penuh pengertian.

Melihat seorang pemuda yang datang-datang terus bersimpuh dan menyembahnya, Empu Gandring tersenyum. Senang hatinya melihat seorang pemuda tampan yang wajahnya mengeluarkan sinar cemerlang itu. Seorang pemuda yang baik, pikirnya.

“Tejo-tejo sulaksono...! Siapakah andika ini, orang muda? Dan ada keperluan apakah gerangan andika datang ke tempatku yang buruk ini?”

“Maafkan saya, Eyang. Salahkah dugaan saya bahwa eyang adalah Empu Gandring ahli pembuat keris pusaka?”

Empu Gandring tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Dugaanmu benar, orang muda.”

“Kalau begitu, Eyang. Saya Joko Handoko dari lereng Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kepada Eyang.”

“Joko Handoko? Dari Anjasmoro katamu? Eh, eh, nanti dulu...!" Sepasang mata yang masih tajam itu kini mencermati wajah Joko Handoko. Wajah pemuda ini tidak asing baginya, seperti pernah dikenalnya, dan sebutan lereng Anjasmoro membuatnya mengangguk-angguk dan teringat. Wajah ini mirip sekali dengan wajah muridnya, mendiang Raden Ginantoko dan bukankah isteri mendiang muridnya itu, Dyah Kanti, puteri Panembahan Pronosidhi, sahabat baiknya yang tinggal di Anjasmoro?

“Joko Handoko, kiranya tidak banyak meleset dugaanku kalau aku mengatakan bahwa tentu ada hubungannya antara engkau dan Panembahan Pronosidihi di lereng Ajasmoro!”

“Mendiang Panembahan Pronosidhi adalah eyang saya, ayah dari ibu kandung saya, Eyang.”

“Ha-ha, tak salah lagi, andika tentu putera mendiang Ginantoko dan Dyah Kanti, tidakkah begitu?”

“Benar sekali, Eyang.”

“Akan tetapi engkau tadi menyebut mendiang Panembahan Pronosidihi. Jadi sahabatku itu telah mendahuluiku kembali ke alam kelanggengan?”

“Beliau menjadi korban adu domba yang dilakukan oleh orang-orang Daha terhadap kekuatan-kekuatan di Tumapel, Eyang.”

Joko Handoko lalu menceritakan semua pengalamannya tentang adu domba yang dilakukan Kerajaan Daha untuk memperlemah kedudukan Tumapel dan tentang serangan orang-orang Hastorudiro kepada eyangnya sehungga mengakibatkan meninggalnya eyangnya yang sudah tua. Kemudian dia menceritakan pula usahanya untuk membongkar rahasia itu sampai berhasil, juga tentang pertemuannya dengan Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu.

Mendengar disebutnya nama Ken Arok, kakek itu mengerutkan alisnya. Sebelum Joko Handoko tadi tiba, dia pun termenung memikirkan Ken Arok. Sampai sekarang, sudah tiga bulan lewat dan dia belum membuatkan keris yang dipesan oleh putera Ginantoko yang lain itu. Jauh sekali bedanya antara Ken Arok dan pemuda ini, walaupun keduanya putera Ginantoko.

Pandang mata Ken Arok penuh keinginan dan nafsu, sebaliknya pemuda ini memiliki sinar mata yang bijaksana dan matang. “Ceritamu menarik sekali, kulup, dan senang hatiku mendengar bahwa engkau telah berjasa terhadap Tumapel, telah berhasil membongkar rahasia yang berbahaya dan dapat mengacaukan Tumapel itu. Dan sekarang, apakah maksud kunjunganmu ini?”

“Pertama-tama, saya ingin menghaturkan sembah bakti saya kepada eyang. Dan kedua kalinya, saya ingin menghaturkan keris pusaka ini kepada eyang.” Berkata demikian, Joko Handoko mengambil keris pusaka Nogopasung berikut sarungnya, menyerahkannya kepada Empu Gandring dengan kedua tangan.

Kakek itu memandang heran, lalu menerima keris itu, dan mengamatinya. “Jagat Dewo Bathoro....” dia mengeluh. "Bukankah ini keris Nogopasung?”

“Benar sekali, Eyang. Keris Nogopasung ciptaan eyang sendiri, keris yang telah minum darah ayah kandung saya.”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggangguk-angguk. “Benar, darah ayahmu dan darah Galuhsari, isteri ketua Sabuk Tembogo.”

Dia menarik keris itu dari sarungnya dan matanya terbelalak. “Ah....? Keris ini ternoda darah baru.....!”

“Benar sekali, Eyang, dan karena itulah maka keris pusaka ini saya bawa ke sini untuk saya haturkan kepada eyang.”

“Maksudmu? Apakah engkau telah mepergunakan keris ini untuk membunuh orang secara penasaran?”

“Tidak sama sekali, Eyang. Memang beberapa kali terpaksa saya mempergunakan keris pemberian ibu ini untuk menghadapi lawan yang tangguh, akan tetapi di tangan saya, keris ini belum pernah minum darah orang lain. Akan tetapi, baru beberapa hari yang lalu keris ini dipergunakan oleh orang lain untuk membunuh. Karena itulah, saya berpikir bahwa keris ini menjadi haus darah dan terlampau keji, dan saya bawa ke sini untuk saya kembalikan kepada Eyang dengan harapan agar Eyang sudi membersihkannya dari hawa jahat yang membuatnya haus darah.”

Empu Gandring mengangguk-angguk. Senang sekali dia mendengar kata-kata Joko Handoko karena dari ucapan itu saja dia tahu bahwa pemuda ini adalah seorang bijaksana yang biarpun memiliki kepandaian namun tidak suka mepergunakan kekerasan untuk membunuh orang. Teringatlah dia akan Panembahan Pronosidhi yang bijaksana.

Panembahan itu bijaksana dan lemah lembut, juga tidak suka akan kekerasan, akan tetapi pada saat terakhir, kakek itu tewas dalam perkelahian! Dia tersenyum mencela diri sendiri. Bukankah hidup ini merupakan perjuangan dan perkelahian yang tiada akhirnya?

Baru berakhir kalau kalah dalam perkelahian dan mati. Andaikata tidak berkelahi melawan manusia lain, tentu akan berkelahi melawan penyakit usia tua dan sebagainya sampai kalah dan terpaksa meninggalkan dunia fana ini.

“Keris ini pada mulanya bukan keris yang jahat, kulup. akan tetapi, darah pria dan wanita sekaligus menodainya sehingga dia tidak dapat dicuci. Noda ini melekat terus. Sekarang, keris itu telah minum darah seorang dan hal ini memudahkan bagiku untuk membersihkan noda yang melekat padanya. Akan tetapi, harus kutapai agar dia dapat bersih benar, juga sarungnya dan gagangnya harus diganti. Baiklah, akan kukerjakan pembersihan keris Nogopasung ini, kulup. Dalam waktu setengah tahun, andika boleh datang lagi untuk mengambilnya sebagai sebatang keris pusaka bersih dan ampuh, juga mengandung hawa baik yang memperterang nasib pemiliknya.”

“Terima kasih, Eyang.” Joko Handoko merasa girang sekali dan setelah bercakap-cakap dengan Empu Gandring, dia lalu bermohon diri untukk cepat pulag mencari ibunya dan ayah tirinya, yaitu Raden Prainggojoyo yang tinggal di Kadipaten Wonoselo.

Setelah Joko Handoko pergi, Empu Gandring lalu mulai dengan pekerjaannya yang menyenangkan hatinya, yaitu berusaha untuk membersihkan keris pusaka Nogopasung dari hawa jahat. Untuk itu dia harus bersamadhi dan berpuasa, mengenakan pakaian putih-putih yang bersih dan pekerjaan itu dia mulai pada hari itu juga.

Berhari-hari Empu Gandring tidak menerima pesanan keris baru dengan alasan sibuk dan banyak pekerjaan. Semua akan terjadi dengan lancar dan baik kalau saja sebulan lebih kemudian tidak muncul Ken Arok di tempat kerjanya!

Pemunculan pemuda yang berpakaian indah dan garang itu mengejutkan hati Empu Gandring yang pada saat itu sedang mengerjakan pembersihan keris pusaka Nogopasung. Begitu masuk dan memberi hormat degan singkat kepada kakek itu. Ken Arok lalu menanyakan keris pesanannya.

“Bagaimana, Eyang. Sudah jadikah keris pesanan saya lima bulan yang lalu itu?” Bertanya demikian, Ken Arok mengamati keris yang sedang digosok-gosok dan dicuci oleh kakek itu. Keris itu nampak kasar dan gagangnya bahkan terbuat dari kayu cangkring. Maka keris masih bekas gemblengan dan masih hitam menghangus oleh api.

Sebatang keris yang buruk sekali rupanya. Empu Gandring menggelang kepalanya dan melanjutkan pekerjaannya. Keris pusaka Nogopasung itu telah digembleng dan dibakar untuk mengusir hawa jahat yang terkandung di dalamnya, namun masih belum dapat bersih. Dengan tekun dia menggosok dan mencucinya sejak beberapa hari ini.

“Aku belum sempat, angger Ken Arok. Seperti andika lihat sendiri, aku sedang sibuk membersihkan keris pusaka ini dan belum sempat mengerjakan keris pesananmu.”

Wajah Ken Arok Menjadi merah. Kemarahan menyelinap di dalam hatinya dan sepasang matanya berkilat. Akan tetapi dia tertarik mendengar kakek itu menyebut keris yang dicucinya dan yang buruk itu sebagai keris pusaka. “Maaf, Eyang. Keris pusaka apakah yang sedang eyang kerjakan itu? Bolehkan saya melihatnya sebentar saja?”

Empu Gandring mengulurkan tangannya dan Ken Arok mengambil keris itu, memegang gagannya yang buruk dan tebuat dari kayu cangkrik sederhana itu. Keris itu jelek sekali, pamornya telah terbakar dan kasar sekali buatannya, sama sekali tidak memberi kesan sebagai keris pusaka yang ampuh. Akan tetapi karena kakek itu menyebutnya sebagai keris pusaka, Ken Arok mengamati penuh perhatian.

“Keris ini keris pusaka yang ampuh sekali, angger, dan sedang kubersihkan untuk melenyapkan hawa jahat yang terkandung di dalamnya.”

Bukan main girang rasa hati Ken Arok mendengar ucapan itu. “Kalau begitu, Eyang. Biar saya pinjam sebentar keris ini, kupinjam selama satu bulan saja.”

“Jangan, Angger. Tidak boleh, karena keris ini belum bersih benar.”

Marahlah Ken Arok. “Hemm, keris macam begini saja apa sih ampuhnya, Eyang? Rupanya saja buruk, tentu tidak mengandung keampuhan sama sekali!”

“Jangan berkata demikian, Angger Ken Arok. Keris ini ampuhnya menggiriskan dan agaknya sukar ditemukan orang yang akan mampu menahan keampuhanya. Jangan lama-lama andika memegangnya, berikan kembali kepadaku untuk kubersihkan. Keris ini berbahaya sekali, Angger, hawa jahat mempengaruhi orang yang memegangnya.” Berkata demikian, Empu Gandring lalu mengulurkan tangan hendak mengambil kembali keris pusaka Nogopasung itu.

Akan tetapi tiba-tiba Ken Arok yang sudah marah itu menjadi beringas. Benarkah keris ini ampuh sekali? Untuk mencobanya tidak ada orang yang lebih sakti dari pada Empu Gandring sendiri! Dan kakek ini memang layak dibunuh kerena telah mengecewakannya, tidak memenuhi pesanannya. Maka, tanpa berkata apa-apa, selagi kakek itu tidak menduga dan mengulur tangan hendak menerima keris akan tetapi tiba-tiba dia menusukkan keris itu pada dada Empu Gandring.

“Ceppp!” Dada yang biasanya kebal dan sakti itu tembus! Ken Arok meloncat ke belakang dan mencabut kerisnya dan tubuh Empu Gandring terkulai. Kakek itu menggunakan tangan kiri menutup luka di dadanya, tangan kanannya ke atas dan dia memandang kepada Ken Arok dengan mata seperti mencorong, mengeluarkan suara sinar yang menakutkan.

“Wahai Ken Arok.... andika telah berbuat khianat dan keji. Para dewata menjadi saksi bahwa keris ini kelak akan membunuhmu, membunuh keturunanmu sampai tujuh turunan.” Setelah berkata demikian tubuh tua itu terkulai dan napasnya pun terhenti.

Sejenak Ken Arok tertegun, terkejut oleh perbuatannya. Namun tidak ada penyesalan di dalam hatinya. Memang sudah direncanakannya untuk membunuh Empu Gandring setelah dia memperoleh sebatang keris yang ampuh, karena kakek itu merupakan saksi pertama bahwa dia mencari sebatang keris yang ampuh di tempat itu. Dia memandang keris buruk rupa di tangannya, setengah kagum dan puas, setengah masih agak ragu-ragu.

Benarkah keris ini ampuh, atau tubuh Empu Gandring ang sudah terlalu tua dan kehilangan kesaktiannya? Dia tidak boleh gagal dan harus yakin benar akan keampuhan keris pusaka di tangannya itu. Maka dia lalu menusukkan keris itu pada lumpang batu tempat pengumpulan bekas-bekas gosokan keris dan lumpang itu pun pecah menjadi dua potong dengan amat mudahnya. Dia menusukkan lagi keris itu pada besi landasan tempaan keris dan landasan itu pun pecah menjadi dua potong.

Bukan main girang rasa hati Ken Arok karena keris itu benar-benar ampuh sekali. Empu Gandring telah berjasa kepadanya. Ken Arok memandang mayat yang rebah di atas lantai itu dan berkata, “Jika kelak tercapai semua cita-citaku dan aku menjadi orang besar, saya tidak akan melupakan anak cucu para pandai besi di Lulumbang!”

Setelah berkata demikian dia pun menyelinap pergi meninggalkan tempat itu. Sudah diaturnya bahwa ketika dia tadi datang dan masuk ke tempat pekerjaan Empu Gandring, tidak seorang pun mengetahuinya dan kini pun keluar tanpa diliat orang lain.

Kesenangan bukanlah sesuatu yang buruk ataupun jahat. Segala macam kesenangan di dunia ini telah menjadi hak kita manusia untuk kita nikmati. Untuk dapat menikmatinya, Ketika kita lahir telah terbawa oleh kita, segala sarana untuk dapat menikmati kesenangan.

Panca indera kita lengkap sehingga kita dapat menikmati kesenangan dari pendengaran, penglihatan, penciuman, makanan dan perabaan. Yang menimbulkan kejahatan dan penyelewengan adalah pengejarannya, pengejaran terhadap kesenangan yang muncul dari si-aku yang ingin selalu senang. Pengejaran akan selalu suatu ujuan menghasilkan segala macam cara!

Kekayaan adalah diantara kesenangan yang telah menjadi hak untuk kita nikmati, namun pengejarannya menimbulkan korupsi, manipulasi, segala kecurangan dalam perdagangan dan usaha, pencurian, penipuan, dan segala “cara” sesat lainnya untuk mencapai tujuanya, yaitu mendapatkan uang yang dianggap mendatangkan kesenangan.

Pengejaran terhadap kesenangan sex menimbulkan penjinahan, perkosaan, pelacuran. Pengejaan terhadap kesenangan dari kedudukan dan kekuasaan menimbulkan pertentangan, perusahaan, bahkan perang! Kesengan sendiri merupakan anugerah bagi kita dan kita hendak menikmatinya.

Berbahagialah dia yang dapat menikmati segala macam yang ada dan yang jatuh kepadanya. Pengejaran terhadapat kesenangan menyembunyikan pamrih terhadap segala perbuatan kita sehingga perbuatan itu menyadi palsu. Pengejaran ini merupakan suatu penyakit yang akan kambuh terus. Suatu pengejaran berhasil, akan timbul bosan dan disusul oleh pengejaran yang lain, demikian terus tiada habisnya.

Pengamatan terhadap diri sendiri akan membuka mata, menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran sehingga penyakit ini pun akan sembuh sama sekali, pengejaran akan terhenti sampai di sini saja. Bukan berarti MENOLAK kesenangan, melainkan menikmati apa yang ada tanpa mengotori badan dengan pengejaran.


* * *

Sesuai dengan niat yang telah berbulan-bulan direncanakan, Ken Arok menyembunyikan keris pusaka itu dan pada suatu hari dia memamerkan keris pusaka, yang buruk rupa itu kepada seorang sahabatnya yang bernama Kebo Hijo, seorang perwira pasukan pengawal yang disayang oleh Tunggal Ametung dan dekat dengan Sang Akuwu itu.

“Lihat Dimas Kebo Hijo, biarpun kelihatan jelek, keris ini merupakan keris pusaka yang ampuh bukan main dan dapat menambah kekuatan orang yang memegangnya” Ken Arok lalu mendemonstrasikan keampuhan keris itu dengan memecahkan batuan dan mematahkan sebatang linggis besi dengan keris itu.

Kebo Hijo terbelalak kagum. Keris itu seperti keris yang belum jadi, tangkainya saja dari kayu cangkring yang masih ada durinya sederhana sekali, dan dilekatkan pada keris itu memakai damar. Akan tetapi keris itu ternyata ampuh bukan main! “Keris yang hebat!” katanya dengan pandang mata penuh kagum.

“Sayang rupanya buruk sehingga aku merasa malu untuk memakainya,” kata pula Ken Arok memancing.

Pancingannya kena. “Kalau begitu Kakangmas Ken Arok, kalau boleh biar aku yang memakainya. Biar aku ketularan kesaktiannya.”

Ken Arok pura-pura merasa keberatan sehingga kawannya itu mendesak lagi. Sudah menjadi watak setiap orang manusia bahwa benda yang sukar didapat itu menambah semangat untuk memperolehnya. Hal ini diketahui benar oleh Ken Arok. Akhirnya dia mengalah.

“Baiklah, kau boleh memijam keris itu, Dimas. Akan tetapi dengan janji agar jangan beritahukan kepada siapa juga bahwa keris ini milikku. Boleh kau katakan milikmu saja. Asal jangan sampai rusak atau hilang.”

Bukan main girangnya Kebo Hijo. Dipakainya keris itu dan dalam waktu beberapa hari saja semua orang di Tumapel tahu belaka bahwa Kebo Hijo memiliki sebatang keris yang buruk akan tetapi ampuh. Pemuda itu agaknya tidak dapat menahan diri untuk memamerkan keris kepada siapa saja. Hal ini pun sudah diperhitungkan oleh Ken Arok sehingga diam-diam dia merasa girang sekali. Semua siasatnya berjalan dengan lancar dan baik menurut rencananya.

Pada malam yang sudah direncanakannya, Ken Arok menyelinap keluar dari rumahnya tanpa diketahui seorang pun dan diam-diam dia pun menuju ke tempat Kebo Hijo. Dengan Aji penyirepan Ken Arok berhasil membuat Kebo Hijo tertidur nyenyak sekali di dalam kamarnya dan Ken Arok lalu menyelinap masuk, membuka daun jendela dan melompat ke dalam kamar itu.

Dengkur Kebo Hijo sama sekali tidak terganggu oleh sedikit suara berisik yang timbul ketika Ken Arok membuka jendela. Mudah baginya untuk mencuri keris pusaka Nogpasung yang tergletak di atas meja, kemudian dia menutupkan lagi daun jendela dan melenyapkan bekas-bekas tangannya. Kamar itu nampak seperti biasa dan tidak pernah dibongkar orang.

Sesuai dengan rencananya, malam itu Ken Dedes menunggunya di dalam tanam. Ketika Ken Arok, dengan keris pusaka dipinggangnya, melompat dari pagar taman, Ken Dedes yang sejak sore tadi nampak pucat dan gelisah, terkejut akan tetapi tak jadi berteriak ketika melihat bahwa yang datang adalah kekasihnya.

Ken Arok merangkul kekasihnya dan berbisik, “Sudah tidurkah dia?”

Ken Dedes mengangguk dan berbisik kembali. “Sesuai dengan rencanamu, malam ini aku menjauhkan diri dan dia tidur sendirian di dalam kamar semadhinya. Tadi sudah kudengar dengkurnya. Akan tetapi... Kakangmas.... sudah benarkah jalanan yang kita ambil ini? Apakah tidak ada jalan dan cara lain?”

Ken Arok memegang kedua pundak kekasihnya, “Tidak ada jalan lain, dia atau aku yang harus mati agar seorang di antara kami dapat hidup di sampingmu untuk selamanya, Diajeng. Apakah engkau ragu-ragu? Tinggal kau pilih, dia atau aku....!”

Mendengar ini menggigil tubuh Ken Dedes dan ia merangkul pemuda itu dan menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu, lalu ia mengeluh lirih. “Ah, aku cinta padamu, Kakangmas, tentu aku memilih engkau, akan tetapi aku khawatir, aku takut kalau engkau akan gagal.... ahhh....”

“Jangan khawatir, Diajeng. Kalau aku gagal, berarti aku mati dan engkau tetap menjadi istri Tunggal Ametung, aku tidak akan menyangkut dirimu. Akan tetapi tidak mungkin gagal. Ingat, aku adalah keturunan Sang Hyang Brahma sehingga para dewata tentu akan melindungiku!”

Dengan bantuan Ken Dedes, tentu saja Ken Arok dapat memasuki rumah Tungggal Ametung dengan mudah dan tanpa diketahui orang lain. Ken Dedes lalu bersembunyi di dalam kamarnya sendiri, mukanya pucat dan hatinya gelisah bukan main. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi kedua telinganya dengan bantal agar tidak mendengar sesatu karena hatinya merasa ngeri.

Sementara itu, Ken Arok menyelinap masuk ke dalam kamar samadhi Sang Akuwu Tunggal Ametung. Terdengar suara dengkur Sang Akuwu dan benar saja, dia mendapatkan pembesar itu sedang tidur nyenyak. Ken Arok menghunus keris pusaka Nogopasung, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian dengan sepenuh tenaganya, dia menusukkan keris pusaka itu ke dada kiri Sang Akuwu.

Keris Pusaka Nogopasung itu memang amat ampuh dan haus darah. Begitu dadanya tembus, Sang Akuwu terbelalak dan mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari Sang Akuwu yang juga sakti itu masih mampu bangkit duduk, akan tetapi keampuhan keris pusaka itu membuat dia terjengkang kembali dan tewas seketika....

Jilid selanjutnya,
KERIS PUSAKA NOGO PASUNG JILID 17
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.