Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 15 karya Kho Ping Hoo - Dewi Pusporini menahan isaknya, sapu tangannya sudah basah semua dan ia pun tanpa mengangkat mukanya berkata lirih, “Aku menangis.... bukan karena terhina.... melainkan kerena.... karena bangga dan haru, kakang mas Joko.....”

Hampir Joko Handoko tidak percaya akan pendengarannya sndiri. “Diajeng Dewi.... apakah ini berarti bahwa engkau juga.....”
Kini Pusporini mengangkat mukanya yang kemerahan dan masih basah air mata. “Kakangmas Joko, semenjak engkau menolongku aku pun tidak pernah dapat melupakanmu, dan aku... aku selalu mengharapkan....”
Joko Handoko hampir berteriak saking gembiranya dan dia memegang kedua tangan dara itu yang masih duduk di atas bangku. “Diajeng, tidak mimpikah aku? Jadi engkau bersedia untuk menjadi isteriku?”
Dua pasang tangan itu saling berpegangan dan jari tangan saling cengkeram. “Aku akan merasa bahagia sekali, Kakangmas. Akan tetapi, aku hanya seorang wanita yang hanya mentaati kehendak ayah ibuku, karena itu, kau pinanglah aku kepada orangtuaku.”
“Baik, akan kulakukan diajeng!” kata Joko Handoko dengan gembira sekali, “Aku akan mohon kepada ibuku, kepada ayah tiriku, agar mereka suka mengajukan pinangan, akan tetapi.... apakah ayahmu akan suka bermantukan seorang.... petani dusun seperti aku, diajeng?”
“Huusshhhh, kakangmas, kenapa berkata demikian? Kanjeng Romo bukan seorang yang haus akan kedudukan atau harta benda, dan dia selalu memuji di depanku. Kurasa dia akan senang hati....”
“Ssttt....!” tiba-tiba Joko Handoko melepaskan pegangan tangannya dan melangkah mundur menoleh ke kiri dan memandang ke arah bagian yang gelap karena bayangan pohon. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di sana.
“Ada apa, kakangmas?”
“Aku melihat berkelebat bayangan orang tadi, akan tetapi dia sudah pergi. Sebaiknya engkau kembali ke dalam rumah, diajeng. Tidak baik untukmu, kalau sampai kelihatan orang lain pertemuan kita ini.”
Dewi Pusporini mengangguk, bangkit bediri sambil berkata “Aahh, alangkah senangnya kalau aku menjadi gadis dusun biasa sehingga dapat bercengkerama denganmu setiap waktu tanpa takut melanggar kesopanan, kakangmas, harap engkau cepat-cepat mengajukan pinangan, aku menanti dengan sabar dan setia.”
“Baiklah, diajeng dan percayalah kepadaku, aku cinta padamu!”
Dara itu mengerling dan mukanya menjadi merah, tetapi belasan langkah kemudian ia berhenti, menoleh dan melihat pemuda itu masih bediri, mematung dan mengikutinya dengan pandang mata, ia pun berkata, “Aku pun cinta padamu, kakangmas.” Dan ia pun berlari-lari kecil kembali memasuki pintu belakang.
Setelah mengikuti bayangan kekasihnya itu sampai lenyap di pintu belakang. Joko Handoko meloncat ke bawah pohon di mana dia tadi melihat bayangan orang. Akan tetapi tak nampak seorang pun juga manusia. Mungkin dia salah pandang, pikirnya. Mungkin bayangan pohon tertiup angin.
Hatinya terlampau gembira, untuk memusingkan bayangan yang tadi dilihatnya bekelebat itu, dan dia pun cepat kembali ke kamarnya dan sekali ini, kembali ia tidak dapat tidur, dan kembali wajah Dewi Pusporini terbayang, akan tetapi betapa bedanya keadaan hatinya. Kalau tadi gelisah, kini dia tidak dapat tidur saking gembiranya!
Di kamar lain, yaitu kamar Dewi Pusporini, dara ini pun merasa gelisah. Akan tetapi bukan hanya karena kegembiraan hatinya setelah bertemu dengan Joko Handoko, melainkan karena ketika ia tidak melihat Wulandari yang tadi tidur pulas ketika ia meninggalkannya. Ke mana gerangan perginya gadis itu?
Dewi Pusporini mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil, dan para dayang juga tidak ada, yang melihat gadis itu keluar. Ingin sekali Dewi Pusporini melaporkan hilangnya Wulandari ini kepada ayahnya, akan tetapi karena ayahnya sudah tidur dan hari telah larut malam, ia tidak berani membikin ribut. Ingin pula ia menceritakannya kepada Joko Handoko akan tetapi bagaimana ia dapat menghubungi, pemuda itu?Ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Bukankah tadi Joko Handoko mengatakan bahwa dia melihat berkelebatnya bayangan orang? Jangan-jangan Wulandari yang tadi berkunjung ke taman. Wajahnya berubah merah membayangkan hal ini. Tentu Wulandari melihat keadaan mereka!
Walaupun hanya saling berpegang tangan, namun jelaslah tentu baik orang lain bahwa di antara ia dan Joko Handoko ada hubungan yang mesra. Dan ia pun teingat akan akrabnya hubungan antara Wulandari dan Joko Handoko! Ah jangan-jangan Wulandari juga mencintai pemuda itu, dan menjadi patah hati dan melarikan diri.
Pucat wajah Dewi Pusporini mendengar akan hal ini. Ia sangat suka kepada Wulandari dan sama sekali tidak ingin melukai hatinya. Ia benar-benar merasa sangat khawatir seingga semalaman itu ia tidak dapat tidur pulas.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut kusut, pagi-pagi sekali Dewi Pusporini mengetuk pintu kamar ayah ibunya. Ketika daun pintu dibuka, ia pun menyerbu ke dalam dan berkata kepada ayahnya. “Kanjeng romo, diajeng Wulandari lenyap semalam dari kamar kami!”
Tentu saja senopati, itu terkejut dan heran. “Apa kau bilang? Lenyap? Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
“Saya tidak tahu, kanjeng romo. Saya..... eh, tidur nyenyak dan ketika pada malam hari terbangun, ia sudah tidak ada. Agaknya ia pergi tanpa pamit, romo.”
“Aneh! Apakah terjadi percekcokan antara kalian?”
“Ah, tidak, kanjeng romo. Kami bercakap-cakap dengan baik sampai tertidur.”
“Harus beri tahu kepada anakmas Joko Handoko.... eh, jangan-jangan.... dia pun pergi tanpa pamit.”
Terkejut sekali hati Dewi Pusporini mendengar ini. “Tidak mungkin! Tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa pamit!”
“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Wulandari juga pergi tanpa pamit,” kata ayahnya sambil memandang wajah puterinya.
Pusporini menunduk dengan muka agak kemerahan. “Kakang Joko Handoko adalah seorang yang halus budi, kanjeng romo. Saya kira, dia tidak akan pergi begitu saja tanpa, pamit.”
Senopati Pamungkas lalu mengutus seorang pelayan untuk pergi memanggil pemuda itu, dan tak lama kemudian Joko Handoko pun datang menghadap. Dua mata bertukar pandang dengan Dewi Pusporini, dengan pandang mata yang mesra, akan tetapi tidak berani mengeluarkan kata-kata terhadap puteri itu.
“Anakmas Joko Handoko menurut pelaporan Dewi, Wulandari semalam telah pergi tanpa pamit. Apakah anakmas tahu akan kepergiannya?”
Tentu saja Joko Handoko mengetahuinya, bahkan dia pagi tadi panik ketika mendapat kenyataan bahwa Keris pusakanya yang dia tinggal di dalam kamar ketika dia pergi ke taman, telah lenyap. Sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas dengan tulisan Wulandari yang meninggalkan pesan. Singkat kepadanya.
Kakang Joko Handoko,
Aku pergi dulu, keris pusakamu ku pinjam untuk kupakai membunuh Ken Arok yang menyebabkan kematian ayahku.
Wulandari yang malang.
Tentu saja Joko Handoko terkejut bukan main dan merasa heran. Selama ini, walaupun tak pernah memperdulikan Ken Arok, gadis itu nampaknya tidak pernah mendendam kepada Ken Arok. Pula, kematian KI Bragolo ialah karena menderita sakit, walaupun mungkin sakitnya semakin parah karena harus bertanding dengan melawan Ken Arok yang hendak membunuhnya.
Dan keris Nogopasung dibawanya untuk menghadapi Ken Arok. Hal ini dapat dimengertinya karena gadis itupun tahu, bahwa ia tidak dapat menandingi ketangguhan Ken Arok, dan tentu saja gadis itu mengharapkan dapat menang kalau mempergunakan keris pusaka Nogopasung yang ampuh itu. Tidak. Gadis itu harus dikejarnya dan dicegahnya mencari dan menantang Ken Arok!
Akan tetapi diam-diam, dia merasa heran sekali mengapa terjadi perubahan demikian tiba-tiba pada diri Wulandari. Rasanya tidak masuk di akal kalau Wulandari melakukan hal itu, pergi diam-diam dan membawa kerisnya. Tentu ada sesuatu yang menyebabkan ia dan Joko Handoko teringat akan bayangan semalam di taman. Mengingat ini, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat.
Itukah sebabnya? Wulandari-kah banyangan itu? Wulandari telah melihat pertemuannya yang mesra dengan Dewi Pusporini, dan hal ini menyebabkan gadis itu menjadi nekat, mencuri keris pusaka dan pergi meninggalkannya! Dan ini hanya berarti bahwa gadis itu merasa berduka dan cemburu! Dan itu menandakan bahwa, Wulandari mencintainya!
Ketika pagi itu dia dipanggil, dia mengerti bahwa tentu urusan perginya Wulandari yang menyebabkannya. Maka, mengahadapi pertanyaan Senopati Pamungkas, diapun tidak terkejut dan menjawab sejujurnya.
“Kanjeng paman senopati, saya sudah mengetahuinya. Karena diajeng Wulandari meninggalkan sepucuk surat, walaupun saya merasa heran dan tidak mengerti akan sikapnya itu. Inilah surat yang ditinggalkannya di dalam kamar saya,” Joko Handoko mengeluarkan surat itu.
Dan melihat surat ini, Dewi Pusporini yang sejak semalam merasa tidak enak hati, segera emngambil dari tangannya. “Aku ingin sekali membaca suratnya!” katanya dan dia pun membaca dan memandang kepada Joko Handoko yang segera menundukkan mukanya karena dari sinar mata gadis itu diapun maklum bahwa Pusporini sudah mengerti akan persoalannya. “Ohhh..... Wulandari....!” Pusporini mengeluh.
Melihat sikap puterinya, Senopati Pamungkas mengambil surat itu dari tangan anaknya. Apa sih isinya? Dan diapun membacanya. Akan tetapi dia menjadi terheran-haran dan tidak mengerti mengapa Wulandari melakukan hal itu.
“Anakmas Joko, apa arti semua ini?”
“Sudah jelas, kanjeng paman. Dimas Ken Arok pernah menyerang mendiang Ki Bragolo ayah diajeng Wuladari untuk membalas kematian ayah kami, yaitu Raden Ginantoko yang dahulu terbunuh oleh Ki Bragolo. Walaupun dimas Ken Arok tidak jadi membunuhnya, namun Ki Bragolo tewas karena serangan jantung pada saat itu dia baru saja mengalami serangan itu. Dan agaknya diajeng Wulandari mendendam dan kini pergi untuk mencari dimas Ken Arok, untuk membalas dendam.”
“Ahhh.....! Kenapa ia begitu nekat? Kenapa mencuri pinjam keris pusaka dan tidak memberitahukan kepadamu akan niatnya yang nekat itu? Bagaimana mungkin ia dapat menang menghadapi Ken Arok yang sakti itu?”
“Saya harus cepat mengejar dan mencarinya, kanjeng paman, dan mencegah niatnya itu. Mudah-mudahan saja saya tidak akan telambat. Saya mohon diri, kanjeng paman,” kata Joko Handoko tanpa menjawab semua pertanyaan itu. Dia memang sudah siap untuk pergi, ketika dipanggil tadi.
“Pergilah, kakangmas Joko, pergilah dengan cepat dan cegahlah ia melakukan perbuatan nekat dan berbahaya lagi,” Pusporini berkata dengan suara memohon.
Dan ayahnya terkejut melihat suara anaknya mengandung isak tangis. Akan tetapi dia pun setuju agar pemuda itu cepat melakukan pengejaran. “Memang engkau harus cepat melakukan pengejaran dan mencegahnya, anakmas.”
Suaminya segera menjawab. “Wulandari semalam pergi tanpa pamit, meninggalkan surat kepada Joko Handoko bahwa ia meminjam keris pusakanya untuk membunuh Ken Arok. Agaknya Dewi yang mengetahui sebabnya mengapa Wulandari mengambil keputusan demikian nekatnya. Nah, Dewi, Sekarang ibumu juga hadir untuk mendengarkan keteranganmu.”
Dengan masih di pangkuan ibunya karena ia merasa malu untuk memandang orang tuanya, Dewi Pusporini lalu bercerita. “Malam tadi, setelah Wulandari tidur, saya keluar dari kamar dan pergi ke taman. Kanjeng Romo dan kanjeng ibu tentu sudah mengetahui akan kebiasaan dan kesukaan saya yang senang bergadang di dalam taman di bawa sinar bulan purnama.“ Ia berhenti sebentar untuk melihat bagaimana sikap kedua orang tuanya.
“Hemm, lalu bagaimana?” tanya ayahnya dan ibunya juga memandang dengan penuh perhatian.
Dewi Pusporini memperoleh ketabahan dan iapun kini duduk bersimpuh di atas lantai, menundukkan muka da melanjutkan. “Saya sama sekali tidak menduga bahwa di dalam taman itu telah ada lain orang, dia adalah Kakangmas Joko Handoko. Pertemuan yang tidak kami sengaja itu membawa kami kepada percakapan dan dalam kesempatan ini, kami.... saling membuka rahasia kami.”
“Maksudmu bagaimana?” tanya ibunya karena dara itu kembali berhenti bicara.
“Kami.... kami saling jatuh cinta, ibu.....” Akhirnya gadis itu dapat mengeluarkan kata-kata yang membuka rahasia hatinya.
Ayah ibunya saling pandang, tersenyum dan tidak menjadi terkejut. Sudah berkali-kali Dewi Pusporini dilamar orang, akan tetapi, gadis itu selalu menyatakan keberatan dan belum mau sehingga hal ini mengesalkan hati mereka. Merekapun tidak mau sembrono mengambil mantu sembarang orang saja untuk menjadi suami puteri mereka.
Dan mereka berdua harus mengakui bahwa Joko Handoko adalah seorang pemuda yang amat baik. Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati sang senopati, yaitu bahwa Joko Handoko tidak mau menerima anugerah jabatan yang ditawarkan oleh sang akuwu.
“Kanjeng romo dan kenjeng ibu tidak... marah bukan?”
Ibunya menyentuh pundaknya dengan lembut. “Kenapa mesti marah, anakku? Joko Handoko adalah, seorang pemuda yang baik.”
“Lanjutkan ceritamu!” kata senopati, tidak seramah isterinya. “Apa yang kalian lakukan dan kemudian bagaimana?”
Mendengar nada suara ayahnya, Pusporini terkejut. “Kanjeng Romo, biarpun kami saling mencintai, namun kami tidak melakukan sesuatu yang rendah. Kami hanya berpegang tangan saja ketika saat itu Kakangmas Joko mengatakan bahwa dia melihat bayangan yang berkelebat. Akan tetapi ketika dicari, bayangan itu sudah lenyap. Tak lama kemudian kami berpisah dan saya masuk kembali ke dalam kamar. Akan tetapi, ketika saya masuk, Wulandari telah tiada dalam kamar.”
“Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku?”
“Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu sudah tidur, saya tidak berani membikin ribut. Pula, saya belum yakin bahwa Wulandari pergi tanpa pamit, hal itu baru saya ketahui ketika membaca suratnya yang ditinggalkan untuk kakangmas Joko.”
Hening sejenak. Sang senopati diam dan mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk-angguk. “Hemmm, jadi menurut dugaanmu, bayangan itu adalah Wulandari dan ketika ia melihat engkau dan anakmas Joko Handoko, ia menjadi cemburu, marah dan melakukan perbuatan nekat itu? Kalau begitu halnya, engkau sama sekali tidak bersalah, anakku dan tidak perlu engkau menyesali peristiwa itu karena itu adalah kesalahan Wulandari sendiri.”
”Saya.... saya hanya kasihan dan khawatir sekali,kanjeng romo.”
Keluarga itu memang merasa gelisah dan mereka menanti kembalinya Joko Handoko untuk mendengar berita tentang Wulandari yang telah menjadi nekat itu.
Ke manakah perginya Wulandari? Malam itu memang belum tidur pulas ketika Dewi Pusporini meninggalkan pembaringan lalu keluar dari dalam kamar. Wulandari yang sudah mengantuk melihat temannya itu pergi, akan tetapi ia diam saja, mengira bahwa Pusporini pergi untuk suatu keperluan dan akan segera kembali. Akan tetapi, setelah agak lama teman itu tidak kembali ke kamar, ia pun menjadi heran dan hal ini mengusir kantuknya.
Tidak enak rasanya rebah sendirian saja di kamar orang, ditinggal pergi pemilik kamar. Ia bangkit dan turun dari pembaringan, membereskan sanggul rambutnya yang terlepas, lalu menghampiri daun jendela. Ia tahu bahwa di luar jendela itu adalah sebuah taman yang luas dan indah. Dibukanya daun jendela. Cahaya bulan redup dan sejuk menyerbu kamar, membawa pula bau, semerbak harum.
”Oohhh.....” Wulandari menarik napas panjang dan terpesona melihat keindahan malam itu. Taman itu bermandikan sinar bulan, dan bau semerbak harum datang dari pohon Arum Dalu yang sedang berkembang, penuh dengan bunga kecil-kecil berwarna putih yang amat harum di waktu malam walaupun di siang hari tidak berbau sedap sama sekali.
Keindahan taman itu sejenak mempesona Wulandari, kemudian manarik hatinya untuk keluar, dari kamar melalui pintu belakang dan masuk ke dalam taman. Ia ingin memetik seranting penuh bunga Arum Dalu. Akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara orang bercakap-cakap lirih. Ia menjadi terejut dan curiga, lalu berindap-indap ia masuk lebih dalam ke taman itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika melihat Joko Handoko dan Dewi Pusporini berada di tengah-tengah taman itu, dalam pertemuan yang nampak olehnya demikian asyik-masyuk, demikian mesra! Joko Handoko berdiri di depan Pusporini yang duduk di bangku, dua pasang tangan mereka, saling genggam dan terdengar olehnya suara Joko Handoko,
“Diajeng, tidak mimpikah aku? Jadi engkau besedia untuk menjadi isteriku?”
Kemudian terdengar jawaban Pusporini lirih, ”Aku akan merasa bahagia sekali, kakangmas.....”
Selanjutnya Wulandari tidak mendengar apa-apa lagi karena ia merasa pandang matanya berkunang, kepalanya pening dan tubuhnya pening dan tubuhnya menggigil. Joko Handoko, yang menjadi tumpuan harapanya, yang menjadi pegangan hidupnya, satu-satunya pria yang dicintanya, satu-satunya orang yang dikasihaninya, kini, sedang memadu cinta dengan Dewi Pusporini!
Ah, ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya terhadap wanita yang berani merebut Joko Handoko darinya kalau bukan Dewi Pusporini. Mungkin akan dibunuhnya! Akan tetapi, justru yang dicinta oleh Joko Handoko adalah Dewi Pusporini, wanita yang disayangnya, yang dianggapnya saudara sendiri!
“Oohhhh....!” Wulandari terhuyung-huyung, hampir terjatuh, akan tetapi ia cepat menguasai dirinya dan dalam keadaan dibakar cemburu ini, timbullah duka yang amat mendalam dan teringatlah ia akan keadaan dirinya, betapa ia hidup sebatangkara, betapa ayahnya telah meninggal dunia dan teringat akan kematian ayahnya, ia pun ingat kepada Ken Arok yang dianggapnya penyebab kematian ayahnya.
Ia kini tidak mempunyai apa-apa lagi, tidak memiliki harapan lagi. Ken Arok harus dibunuhnya untuk membalas dendam kematian ayahnya! Dan ia pun tahu betapa saktinya Ken Arok, maka ia lalu cepat memasuki kamar Joko Handoko untuk mengambil keris pusaka Nogopasung yang oleh pemiliknya ditinggalkannya di atas meja.
Dengan keris pusaka yang ampuh itu ia akan menghadapi Ken Arok. Diambilnya keris pusaka itu, ditulisnya cepat-cepat sebuah surat singkat untuk Joko Handoko dan ai pun cepat melarikan diri meninggalkan gedung Senopati Pamungkas tanpa pamit. Dengan keris pusaka Nogopasung terselip di pinggang, Wulandari lari dengan cepat memasuki lorong, yang sunyi. Ia berlari sambil menangis.
Bayangan Joko Handoko dan Dewi Pusporini dalam taman tadi selalu membayanginya dan bayangan itu seperti ujung keris berkarat menusuki perasan hatinya. Hatinya penuh dengan duka, penuh dengan cemburu dan iri hati kepada Dewi Pusporini. Hatinya terasa perih sekali.
Cemburu adalah suatu penyakit yang amat berbahaya. Ada yang mengatakan cemburu adalah kembangnya cinta. Benarkah itu? Kiranya pertanyaan semacam itu perlu direnungkan secara mendalam, penuh kewaspadaan agar kita tidak mendapatkan pengertian yang palsu dan keliru tentang cemburu dan cinta. Cinta adalah sumber kebahagian, sedangkan cemburu adalah sumber kebencian dan duka.
Cinta meniadakan aku, sedangkan cemburu merupakan penonjolan dan pementingan diri sendiri yang berupa iba diri. Cemburu terjadi karena keinginan hati untuk menguasai dan memiliki seseorang secara mutlak dan memonopoli, gagal. Cemburu timbul karena kita melihat behwa sumber kesenangan yang kita nikmati dari seseorang terancam bahaya, karena melihat betapa orang yang ingin kita miliki sepenuhnya, akan terlepas dari tangan dan menjadi milik orang lain.
Cemburu jelas tidak ada hubungannya dengan cinta kasih, sebaliknya cemburu malah erat hubungannya dengan nafsu pementingan diri sendiri. Cemburu adalah kembangnya nafsu, sama sekali bukan kembangnya cinta kasih. Cemburu bahkan dapat mengubah cinta menjadi benci, dan cinta yang dapat berubah menjadi benci bukanlah cinta namanya, melainkan nafsu memiliki dan menikmati sesuatu yang dianggap mendatangkan kesenangan.
Pengejaran kesenangan yang didorong oleh nafsu keinginan memang hanya mendatangkan kecewa dan duka, kalau terdapat mendatangkan kebosanan. Kita adalah makhluk yang lemah, lahir batin kita mudah terikat dan terbelanggu oleh segala macam hati yang dibutuhkan oleh badan dan batin kita. Cemburu dan segala macam nafsu lainnya tak terpisah dari diri kita sendiri, semua itu merupakan permainan dari pikiran atau batin sendiri.
Karena itu, tidak ada gunanya menentang cemburu, karena hal ini ia dapat diusir, esok lusa ia akan muncul kembali. Cemburu merupakan satu di antara cara hidup kita, di dalam masyarakat dan dunia kita yang penuh iri hati ini. Yang penting bukan melenyapkan cemburu, akan tetapi pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat kerena pengamatan ini yang akan mengadakan perubahan.
Pengamatan menimbulkan kesadaran dan hal ini akan menghentikan cemburu itu sendiri, tanpa sengaja dipaksa untuk dihentikan. Dan kalau tidak ada cemburu, kalau tidak ada pengejaran kesenangan oleh dorongan nafsu, maka sinar cinta kasihpun akan bercahaya terang.
Wulandari sudah tahu di mana letak gedung tempat tinggal perwira tinggi Ken Arok. Maka iapun pergi menuju ke tempat itu. Ia tahu bahwa Ken Arok sakti dan sebagai seorang panglima, tentu saja rumahnya dijaga banyak pengawal. Ia tidak boleh sembrono, harus berhati-hati jangan sampai ia mengalami kegagalan. Kalau sampai ia gagal membunuh Ken Arok, ia akan merasa malu sekali kepada Joko Handoko. Ia akan membunuh diri saja dengan keris pusaka Nogopasung kalau sampai gagal.
Dugaannya memang tepat. Nampak para prajurit pengawal berjaga di sekitar gedung itu. Malam telah larut dan kalau ia sengaja minta bertemu dengan Ken Arok, tentu akan gagal pula. Kalau memaksa masuk, sebelum berjumpa dengan Ken Arok ia tentu menghadapi para pengawal dan dikeroyok, melihat ini, ia menjadi semakin sedih dan menangislah Wulandari dan di bawah pohon asam di tepi jalan, tidak jauh dari gedung besar itu. Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki yang datang menghampiri Wulandari.
“Siapakah engkau dan mengapa menangis di sini?” tanya suara laki-laki itu, suaranya halus dan bayangan laki-laki itu kelihatan gagah.
Melihat ada orang menegurnya, Wulandari cepat meloncat berdiri siap untuk mendamprat laki-laki yang berani menegurnya. Akan tetapi begitu ia berdiri dan berhadapan dengan orang itu, cahaya bulan menerangi wajah mereka dan keduanya terkejut. Keduanya saling mengenal karena laki-laki itu bukan lain adalah Pramudento, putera Ki Kebosoro, ketua Hastorudiro.
”Ah... kiranya... andika... diajeng Wulandari!” kata Pramudento agak gagap karna heran dan juga girang, sejak pertama kali jumpa dengan Wulandari, dia memang tertarik sekali kepada dara hitam manis yang lincah jenaka dan gagah perkasa ini. “Apakah yang telah terjadi,... diajeng Wulandari? Kenapa andika menangis di tengah malam seperti ini dan di tempat ini?”
Duka timbul kerena iba diri. Pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang tidak menyenangkan hati, seolah-olah berubah menjadi tangan yang meremas-remas hati sehingga timbullah perasan nelangsa dan duka, mendorong air mata yang keluar bercucuran.
Dalam keadaan duka, iba ciri membutuhkan hiburan akan tetapi kalau datang hiburan dari orang lain, dengan kata-kata yang mengandung iba, maka iba diri menjadi semakin membesar dan mendatangkan keharuan yang mendorong lebih banyak lagi keluarnya air mata.
Mendengar pemuda perkasa itu menyebutnya diajeng, dengan ucapan yang bernada halus dan penuh perhatian dan iba, Wulandari merasa semakin nelangsa saja, dan ia pun menagis lagi. Padahal, ketika melihat ada orang muncul tadi, ia telah menghentikan tangisnya dan dalam kadaan siap siaga menghadapi lawan. Kini ia menangis lagi, tersedu-sedan dan menutupi mukanya tanpa menjawab pertanyaan Pramudento.
Pemuda itu cukup bijaksana untuk membiarkan Wulandari menyalurkan perasaan dukanya lewat tangisnya. Setelah tangis itu agak mereda, diapun mendekat dan diam-diam mengagumi keindahan rambut yang hitam lebat itu, leher yang berkulit kehitaman namun halus lembut dan indah bentuknya itu, lalu berkata halus.
”Diajeng Wulandari, di dunia ini tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi, asalkan hati kita sabar. Kesabaran akan membuat kita tenang dan dapat mengambil tindakan yang bijaksana. Karena itu, bersabarlah dan tahan air matamu, diajeng.”
Mendengar ucapan yang bijaksana itu Wulandari menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan ia pun mengangkat muka memandang. Wajah Pramudento memang ganteng, tampan dan gagah maka di bawah sinar bulan purnama, wajah itu nampak anggun dan menarik sekali. Ia pun mengangguk. Bagaimana pun juga Pramudento ini adalah putera ketua Hastorudiro, jadi derajatnya tak jauh berbeda dengan ia sendiri yang menjadi puteri ketua Sabuk Tembogo.
Kedua perkumpulan itu memiliki sifat yang tak jauh berbeda, keduanya adalah perkumpulan orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian dan kekerasan, kadang-kadang untuk memaksakan kehendak seperti biasa watak jagoan-jagoan.
”Maafkan kelemahanku dan... terima kasih.” Akhirnya Wulandari dapat juga berkata setelah hatinya tenang kembali.
Pramudento tersenyum, maklum bahwa senyumnya yang membuka, bibir memperhatikan deretan giginya yang putih rapi tentu akan mampu memikat hati setiap orang wanita, dan diapun duduk di tepi jalan, di atas sebongka batu.
”Nah, begitu lebih baik, diajeng. Kalau andika percaya kepadaku, ceritakanlah apa yang telah menjadi ganjalan hatimu, dan aku berjanji akan membantumu, diajeng, membantu untuk mendatangkan penerangan dalam kegelapan dan menyingkirkan ganjalan dalam hatimu.”
Peamudento memang terkenal pandai merayu dan sudah berpengalaman menghadapi wanita, maka Wulandari yang masih belum berpengalaman itu segera tertarik dan diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini memang menyenangkan sekali, sikapnya manis budi dan tentu melindungi.
Dan iapun teringat bahwa Pramudento memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi darinya, maka kalau pemuda ini mau membantunya, tentu akan labih mudah baginya untuk membunuh musuh besarnya, yaitu Ken Arok.
”Tentu saja aku percaya kepadamu, kakang Pramudento.” Karena pemuda itu menyebutnya diajeng, ia pun merasa tidak enak kalau harus menyebut namanya begitu saja padahal jelas bahwa pemuda ini lebih tua darinya. ”Aku menangis karena putus harapan melihat betapa penjagan di rumah perwira Ken Arok demikian kuatnya sehingga sukar bagiku untuk menembusnya.”
Pramudento memandang tajam, matanya agak terbelalak karena dia merasa heran mendengar. ”Ehh? Apa maksudmu maka andika ingin menembus penjagaan para pengawal Ken Arok?”
Wulandari memandang dengan ragu, kemudian menarik napas panjang. ”Biarlah aku mengaku saja, karena bukankah kita berdua sama-sama anak seorang ketua perkumpulan yang beraliran sama? Terus terang saja, malam ini aku ingin membunuh Ken Arok.”
”Ahhh....!” Pramudento benar-benar tekejut, akan tetapi hatinya semakin tertarik. ”Kenapa kalau aku boleh tahu sebabnya?”
”Mendiang ayahku tewas karena ulah Ken Arok. Ayah sedang menderita sakit ketika Ken Arok datang dan menantangnya berkelahi. Ken Arok datang untuk membunuh ayah, untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, karena ayahnya memang dibunuh oleh ayahku, karena ayahya berjina dengan ibu tiriku. Memang dia tidak langsung membunuh ayah, akan tetapi karena perkelahian itu, maka penyakit ayah semakin parah dan ayah meninggal dunia. Kuanggap Ken Arok biang keladi kematian ayah, maka malam ini aku ingin membunuhnya. Melihat penjagaan demikian ketat, aku menjadi putus asa dan saking sedihku, aku menangis di sini.”
Pramudento mengangguk-angguk dan dia menatap wajah yang amat manis itu. Sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, mulutnya tersenyum dan wajahnya berseri. Akan tetapi semua perubahan wajah ini tidak nampak nyata oleh Wulandari karena hanya di terang cahaya bulan yang redup dan pucat.
”Ahh, memang sudah sepatutnya kalau engkau membunuh musuhmu itu, diajeng Wulandari. Dan jangan khawatir, aku akan membantumu! Mengingat bahwa kita sealiran, engkau puteri tunggal ketua Sabuk Tembogo dan aku putera tunggal ketua Hastorudiro, sudah sepatutnya kalau kita saling bantu. Aku akan membantumu sampai berhasil, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”
”Ah, terima kasih, kakang Pramudento, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali.”
Wulandari berkata dengan hati yang merasa lega. Ia jadi baru saja kehilangan Joko Handoko yang dicintainya, akan tetapi agaknya para dewata menaruh hati iba kepadanya karena segera bertemu dengan seorang pemuda yang demikian baiknya dan suka membantunya sehingga ia boleh mengharapkan keinginannya membunuh Ken Arok terkabul.
”Ah, tidak sama sekali, diajeng. Kita memang sudah selayaknya kalau bantu membantu. Akan tetapi, menghadapi Ken Arok kita tidak boleh sembrono. Dia adalah seorang perwira tinggi yang mempunyai pasukan yang kuat, maka kalau kita menyerang ke rumahnya, hal itu selain berbahaya, juga sukar sekali dapat berhasil, kita harus menggunakan akal, memancing dia keluar atau menunggu sampai dia keluar seorang diri barulah kita melakukan penyergapan. Dengan tenaga kita berdua, aku yakin engkau akan dapat dengan mudah membunuhnya untuk membalas dendam.
Wulandari mengangguk-angguk, dapat menerima pendapat yang memang dianggapnya masuk akal ini. ”Baiklah, aku akan menuruti nasihatmu, kakang. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?"
Ia memang sedang bingung, tak tahu harus berbuat apa setelah ia, melepaskan diri dari pimpinan Joko Handoko. Pemuda itulah yang biasa menjadi pembimbingnya, yang menentukan apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi sekarang ia seorang diri saja di dunia ini.
Sebelum bertemu dengan Joko Handoko, ia pun sendirian dan sudah terbiasa hidup berkelana seorang diri. Akan tetapi setelah bertemu dengan pemuda itu, ia bersandar sehingga kini, setelah kehilangan sandaran dan berdiri sendiri lagi, ia merasa canggung.
”Marilah ikut bersamaku, diajeng. Membunuh Ken Arok merupakan urusan besar, dan agar hasilnya dapat pasti, kita harus minta bantuan guruku. Kebetulan sekali, guruku, yaitu Ki Ageng Marmoyo, baru saja datang dari Gunung Bromo dan dengan bantuan beliau, biar Ken Arok sakti dan dibantu orang banyak sekalipun, pasti dia akan terbunuh olehmu. Mari kita menemui guruku, tinggal di tempat rahasia kami sambil menanti saat yang baik, yaitu munculnya Ken Arok di tempat terbuka sendirian saja.”
Karena tidak mengetahui jalan yang lebih baik, Wulandari mengangguk dan setuju saja lalu mengikuti Pramudento yang membawanya pergi ke luar kota Tumapel, ke sebuah pondok yang berdiri terpencil di lereng bukit yang penuh dengan hutan lebat.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali baru mereka tiba di situ dan Wulandari diajek menghadap kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini tinggi kurus, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jenggotnya berjuntai sampai ke dada.
Inilah Ki Ageng Marmoyo, seorang pendeta bertapa di lereng Gunung Bromo. Kakek ini beragama Hindu Trimurti, dan dialah guru Pramudento, seorang yang sakti dan menjadi hamba hamba setia, dari kerajaan Daha. Kakek ini masih sealiran dengann Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang, bahkan masih sahabat karib. Hanya bedanya, kalau dua orang begawan itu masih suka mencari kedudukan mulia untuk menyenangkan hatinya, Ki Ageng Marmoyo lebih suka mencari kedamaian hati di lereng gunung.
Akan tetapi sebagai sahabat karib orang-orang seperti Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang, tentu saja Ki Ageng Marmoyo inipun tergolong orang yang belum bebas daripada nafsu untuk mencari kesenangan bagi diri sendiri, walaupun jalan yang ditempuhnya untuk mencari kesenangan itu berbeda dari dua orang rekannya.
Ki Ageng Marmoyo mengangguk-angguk ketika menerima sembah penghormatan Wulandari, sepasang matanya yang masih terang itu bersinar-sinar dan diam-diam dia melempar senyum kepada muridnya yang memiliki seorang kawan yang demikian manis dan gagahnya.
”O-ho-ho.... jadi engkau puteri ketua Sabuk Tembogo? Bagus... bagus, jadilah sahabat baik Pramudento, kalian cocok sekali untuk bekerja sama, heh-heh...!” kakek itu berkata sambil terkekeh.
Diam-diam Wulandari merasa heran dan tidak senang kepada kakek ini. Sikapnya sama sekali tidak halus seperti para pertapa yang saleh dan sinar matanya itu masih demikian panas ketika menjelajahi wajah dan tubuhnya, seperti mata orang muda yang penuh nafsu saja. Akan tetapi karena kakek ini gurunya Pramudento dan ia tahu bahwa Ki Ageng Marmoyo ini sakti sekali iapun mengambil sikap hormat.
Siang hari itu, melihat betapa Wulandari nampak pucat dan lelah Pramudento mempersilahkan gadis itu untuk beristirahat di dalam sebuah kamar di pondok itu. Kamar sederhana akan tetapi dengan sebuah pembaringan kayu yang sederhana karena ia benar-benar merasa lelah sekali. Kedukaan yang dideritanya semalam amat melelahkan dan ia pun cepat tidur pulas.
Hal ini amat perlu baginya karena ia harus dapat memulihkan tenaganya. Setelah kini ia bertemua dengan Pramudento, rasa nyeri di hatinya agak terobati, maka Ia pun dapat tidur dengan nyenyak sekali. Setelah hari sore, barulah gadis ini terbangun dari tidurnya.
Setelah mandi di sebuah anak sungai dalam hutan yang airnya jernih, Wulandari menemukan dirinya kembali dan ia pun sudah tenang dan tenaganya sudah pulih. Iapun tidak berduka lagi kecuali kalau teringat kepada Joko Handoko dan Pusporini, ia merasa jantungnya seperti tertusuk.
Akan tetapi agaknya Pramudento tidak ingin melihat ia berduka terus. Setelah selesai mandi dan kembali ke pondok, pemuda itu menyambutnya dengan wajah riang. ”Bopo Guru dan aku ingin sekali menjamu kehadiranmu dengan sedikit hidangan yang terkesan dari dusun yang berdekatan, diajeng Wulandari.”
”Ah, tidak perlu repot-repot, kakang Pramudento.”
”Tidak repot. Apakah engkau belum merasa lapar?”
”Lapar?” Diingatnya akan hal ini, tiba-tiba saja betapa Wulandari merasa betapa perutnya memang lapar sekali. Semalam ia membuang banyak tenaga lahir batin, dan sehari ini pun tidur dan belum lapar, dan biarlah nanti kumasakkan untuk kalian.”
Pramudento tersenyum dan kembali Wulandari harus mengagumi pemuda itu. Demikian gantengnya kalau tersenyum, lenyap bayangan yang agak angkuh itu dan nampak ramah bukan main. ”Tidak usah sungkan, Diajeng. Sudah kubeli dari dusun dan kini Bopo Guru sudah menanti. Mari kita makan bersama.”
Biarpun merasa sungkan sebagai seorang tamu wanita, masih muda pula, harus menjadi beban tuan rumah, terpaksa Wulandari mengikuti Pramudento masuk ke dalam pondok. Benar saja, di ruangan pondok itu. Ki Ageng Marmoyo sudah duduk dan di depannya, diatas tikar, nampak hidangan nasi tumpeng berikut segala lauk pauknya! Dan nasi itupun masih mengepul! Melihat ini, Wulandari diam-diam menelan ludahnya.
”Heh-heh-heh, engkau nampak cantik sekali dengan rambutmu yang basah kuyup itu, anak baik,” kata Ki Ageng Marmoyo. ”Mari... mari makan bersama....”
Wulandari mengerutkan alisnya. ”Tidak sopan kalau saya ikut makan bersama, Eyang,” katanya lembut. ”Biarlah silahkan Eyang makan berdua bersama Pramudento, nanti saja akan makan sendiri setelah Andika berdua selesai.” Pada jaman dahulu itu, memang wanita selalu harus jatuh di belakang!
”Ah, Diajeng, jangan sungkan-sungkan. Marilah kita mekan bersama agar lebih sedap,” kata Pramudento membujuk.
”Benar, di dalam pondok ini hanya kita bertiga, kenapa makan saja tidak bersama-sama? Pula, Pramudento membeli nasi tumpeng ini memang untuk menyambut kehadiranmu, Wulandari, karena itu seyogiyanyalah engkau tidak menolak ajakannya untuk makan bersama.”
Wulandari adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan kegagahan, tidak malu-malu seperti gadis kebanyakan di jaman itu, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menghadapi hidangan itu bersama Ki Ageng Marmoyo yang duduk di samping kanannya dan Pramudento yang duduk di sebelah kiri.
Wulandari makan tanpa ragu-ragu lagi karena memang perutnya lapar, dan hidangan itu pun lezat dengan nasi putih masih hangat, beberapa macam sayur dan gudangan, ikan panggang dan gading ayam goreng, ia makan dengan bernafsu dan lahap.
”Malam nanti aku akan pergi melakukan penyelidikan kapan kiranya Ken Arok keluar sendirian, Diajeng. Kalau sudah ada ketentuan, kita akan menghadapinya, dan Bopo Guru akan membantu kita.”
”Ha-ha-ha, jangan khawatir. Dengan adanya aku di sini, Ken Arok tidak akan terlepas dari tanganmu, Wulandari,” kata kakek itu sambil terbahak senang.
Mereka makan dan minum air manis dari pohon aren. Wulandari tidak begitu suka dengan minuman yang agak masam ini, akan tetapi karena dara ini merasa sungkan terhadap tuan rumah, diminumnya juga minuman itu dalam takaran yang agak banyak.
Dan setelah mereka selesai makan, Wulandari merasa kepalanya agak pening. ”Uhh, kepalaku menjad pening. Kakang Pramudento” ia mengaduh sambil memijit-mijit pelipis kepalnya.
”Ah, itu akibat minuman aren, Diajeng. Memang agak tua minuman itu, akan tetapi tidak mengapa, kalau dipakai tidur-tiduran, tentu kepeningan itu akan segera hilang,” kata Pramudento, sementara itu Ki Ageng Marmoyo terdengar tertawa terkekeh-kekeh.
Wulandari bangkit berdiri, akan tetapi menjadi terhuyung dan agaknya ia akan terjatuh lagi kalau saja tidak ada Pramudento yang cepat merangkul pundaknya.
”Hati-hati, Diajeng, mari kuantar engkau ke kemarmu. Engkau harus beristirahat, dan tentu akan enak kalau dipakai rebahan,” berkata demikian, Pramudento mempererat rangkulannya.
Terjadi keanehan pada diri Wulandari. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan marah sekali melihat kenyataan betapa Pramudento merangkul pundak dan lehernya, bahkan merangkul terlalu ketat dan mesra. Akan tetapi aneh, ia sama sekali tidak marah, bahkan jantungnya berdebar dan ia merasa senang sekali, aman dan mesra sehingga ia bahkan menyandarkan kepalanya di dada pemuda yang menuntunnya ke dalam kamarnya!
Setelah mereka memasuki kamar, diiringi suara ketawa terkekeh dari Ki Ageng Marmoyo, Wulandari merasa seperti tenggelam ke dalam laut kemesraan yang amat nikmat dan membuatnya tidak ingat akan apa-apa lagi. Ia bahkan tertawa lirih ketika Pramudento memeluk dan menciumnya, ia seperti hanyut dalam gelombang kemesraan yang membuatnya mabok.
Ia merasa seperti melayang-layang di angkasa, takut kalau terbanting dan jatuh maka ia pun hanya menurut saja dibawa melayang-layang oleh Pramudento yang ada saat itu merupakan satu-satunya orang yang menolongnya, menyelamatkannya, dan menyenangkan hatinya.
Kepeningan kepalanya terasa nyeri dan menyiksa kalau dilawannya, akan tetapi kalau ia membiarkan tanpa perlawanan, menyerahkan diri sepenuhnya, kepeningan itu menghanyutkan dan menimbulkan kenikmatan yang merenggut kesadarannya.
Wulandari merintih lirih dan membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sedikit pening, akan tetapi kesadarannya sudah pulih. Ia terkejut mendengar suara orang mendengkur di sisinya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Pramudento rebah di sisinya, terlantang dan mendengkur, hampir telanjang bulat!
Dan ia menahan jeritnya dengan tangan kiri menutup mulutnya keras-keras ketika ia melihat betapa keadaan dirinya sendiri tidak jauh bedanya dengan keadaan Pramudento. Bagaikan disengat kalajengking, ia pun melompat turun dari pembaringan, memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai.
Ketika ia membungkuk untuk mengambil kembennya, ia melihat bahwa di bawah pembaringan itu terdapat sebuah dian minyak kelapa dengan apinya yang kecil dan tenang, sebuah cermin, telur ayam dan kembang setaman! Ia terbelalak memandang kesemuanya itu dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang terjadi semalam.
Kembali ia menahan jeritnya. Ia telah ternoda! Ia telah menyerahkan dirinya kepada Pramudento, bukan diperkosa, melainkan secara suka rela karena ia seperti mabok dan tidak ingat apa-apa lagi di saat itu, dan kini ia tahu bahwa ia menyerahkan diri karena ia berada di awah pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Pramudento atau mungkin sekali oleh Ki Ageng Marmoyo, guru pemuda itu.
Dengan kedua tangan menggigil Wulandari mengenakan pakaiannya, sejadi-jadinya air matanya bercucuran akan tetapi ditahannya agar tidak ada suara keluar dari mulutnya yang dapat membangunkan Pramudento yang masih mendengkur. Kemudian, melihat keris pusaka Nogopasung mengeletak di dekat bantal, ia cepat menyambarnya, menghunus keris pusaka dan dengan kebencian dan kemarahan memuncak, ia pun lalu menusukkan keris pusaka itu dengan kekuatan sepenuhnya ke arah dada Pramudento yang masih tidur nyenyak.
”Ceppp.... aughhhh....” Hanya satu kali Pramudento mengeluarkan suara lemah ini, matanya terbelalak bingung, kemudian dia pun terkulai lemas dan tewas tak lama kemudian....