Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - Berkat ketrampilan dan kegagahannya, juga dibantu leh kedudukan Danyang Lohgawe yang menjadi penasihat Sang Akuwu Tunggal Ametung dan amat dihargai karena kebijaksanaannya, maka sebentar saja Ken Arok telah memperoleh kemajuan dan diangkat menjadi senopati muda dalam pasukan pengawal kerajaan.

Kemajuan ini terjadi semenjak Ken Arok bertemu dengan Danyang Lohgawe dan barulah dia melihat betapa kehidupannya yang lalu itu sia-sia belaka. Kini dia menjadi seorang panglima muda yang disegani dan dihormati. Akan tetapi, Ken Arok masih belum puas. Dia bercita-cita tinggi, ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya.
Dia mulai membanding-bandingkan kedudukannya sekarang dengan kedudukan orang lain, dalam hal ini saja kedudukan orang yang lebih tinggi, seperti Tunggal Ametung. Dia merasa tidak kalah dalam segalanya dengan Tunggal Ametung, akan tetapi kenapa kedudukannya kalah jauh dan dia menjadi bawahan Sang Akuwu itu? Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan iri hati.
Manusia hidup takkan pernah berbahagia selama dia memandang jauh ke depan, selama dia mengharapkan hal-hal yang lebih baik daripada keadaannya saat ini. Pengharapan akan keadaan yang lebih baik itu dengan sendirinya mendatangkan rasa tidak puas dan kecewa akan keadaan saat ini.
Dan dia pun akan selalu menjadi korban dari keinginannya sendiri, takkan pernah puas selamanya karena dari keinginannya dia selalu mengharapkan yang lebih baik. Dan keadaan ini oleh kita sudah dianggap amat baik, dengan istilah cita-cita! Padahal, kebahagiaan terletak pada saat ini!
Berbahgialah orang yang dapat menikmati saat ini, sekarang, dalam keadaan bagaimana pun juga, tanpa memandang ke masa depan, tanpa menginginkan hal yang lain daripada yang ada. Karena hidup adalah saat ini, kebahagiaan hidup adalah dalam saat ini.
Semenjak pertemua itu, Ken Arok selalu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ken Dedes, walaupun hanya saling pandang dari jarak jauh. Akan tetapi, setiap kali terdapat kesempatan mereka saling berpandangan, walaupun hanya beberapa menit saja, dua pasang mata itu tentu bertaut ketat, bahkan Ken Dedes menambah dengan senyum simpul yang amat manis penuh dengan pencaran rasa hatinya.
Hal ini tentu saja membuat Ken Arok menjadi semakin tergila-gila dan akhirnya, terdorong asmara yang sudah membakar seluruh tubuhnya, berhasillah dia mencuri masuk ke dalam taman kadipaten pada saat Ken Dedes sedang berduan saja dengan danyang kepercayaannya. Waktu itu matahari mulai terbenam dan Sang Akuwu Tunggal Ametung masih belum bangun dari tidurnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ken Dedes ketika melihat bayangan berkelebat dan ternyata Ken Arok telah berdiri di depannya. Ia terbelalak memandang, kemudian wajahnya berubah merah dan pandang matanya memancarkan rasa takut. Kalau sampai ketahuan Sang Akuwu, tentu panglima muda ini akan celaka!
“Andika.... Andika..... bagaimana berani masuk kesini....?” tanyanya gagap.
Ken Arok masih berdiri terpesona. Dalam keadaan panik itu, Ken Dedes nampak semakin cantik. Apalagi ketika bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata yang amat merdu olehnya. “Harap paduka jangan khawatir, karena saya dapat menjaga diri, dan andaikata sampai hamba mati pun, saya tidak menyesal setelah sempat bertemu dan bercakap-cakap dengan paduka, dewi yang cantik jelita.”
Mendengar ucapan itu, kedua pipi Ken Dedes menjadi semakin merah dan jantungnya berdebar keras. “Ah.... senopati.... bagaimana ini? Pergilah cepat, jangan sampai ketahuan oleh Sang Akuwu...” pintanya dengan suara yang penuh kegelisahan.
“Tidak, sang dewi. Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum menyampaikan apa yang selama ini terpendam di dalam lubuk hati saya.”
“Ahh....” Ken Dedes menjadi bingung sekali. Dipandangnya dayang yang masih bersimpuh disitu. “Kau... kau pergilah dulu... dan bantu lihat kalau-kalau ada orang datang, cepat beritahu...”
Tanpa diperintah dua kali, dayang itu pun maklum bahwa ia harus meninggalkan mereka berdua dan bertugas sebagai penjaga pintu agar pertemuan antara kedua orang muda itu tidak sampai tertangkap basah. Maka sambil menutupi mulutnya, dayang itupun pergi dari dalam taman itu, menuju ke pintu tembusan dan menanti di sana.
“Nah, cepat katakan apa kehendakmu, Raden... dan cepat pula tinggalkan tempat ini. Amat berbahaya bagimu, bagi kita...”“Duhai sang dewi..... pujaan saya, hukuman dan kematian bukan apa-apa bagi saya setelah berhasil menatap wajah paduka dari dekat, mendengar suara paduka dan dapat bercakap-cakap dengan paduka. Saya rela mati untuk paduka. Semenjak pertemuan di luar taman Boboyi itu, saya tidak dapat melupakan sang dewi, siang malam terbawa dalam lamunan dan mimpi. Saya.... saya cinta kepada paduka, sang dewi Ken Dedes pujaan kalbu.....”
“Ahh......!” Ken Dedes memejamkan kedua matanya yang menjadi basah. Terharu dan bahagia rasa hatinya mendengar pangakuan cinta yang demikian panas dari pria yang selama ini dirindukannya. “Jangan.... jangan berkata demikian....”
Perasannya pecah menjadi dua dan berpeang sendiri. Di satu bagian, perasaannya girang bukan main, penuh dengan kebahagiaan karena pria yang menarik hatinya ini menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi di lain bagian, pelajarannya dalam keagaaman membuat ia merasa bahwa ia telah berdosa karena melanggar kesetiaannya terhadap suaminya.
Biarpun sejak semula ia tidak mencintai Tunggal Ametung, namun bagaimana pun juga pria itu telah menjadi suaminya dan menurut hukum agamanya yaitu Agama Buddha Mahayana ia harus taat dan setia kepada suaminya. Dan sekarang, ia menghadapi pernyataan cinta dari seorang pria lain, pria yang yang menarik hatinya. Ken Arok memandang dengan alis berkerut. Hatinya gelisah dan juga kecewa sekali.
“Apakah.... apakah paduka hendak menolak kasih saya? Apakah paduka... hendak mengatakan bahwa paduka tidak suka kepada saya, tidak sudi menerima cinta kasih saya?” suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Kalau begitu, lebih baik kalau saya mati saja di depan kaki paduka....”
“Jangan....!” Ken Dedes melangkah maju dan dengan tubuh menggigil memegang kedua lengan Ken Arok untuk mencegah pemuda itu mencabut kerisnya, Ken Dedes menangis dan Ken Arok lalu merangkulnya, memeluk dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Akan tetapi hanya sebantar Ken Dedes sepeti dibuai kemesraan yang membuatnya lemas. Ia lalu melepaskan diri dengan lembut dan memandang kepada pemuda itu melalui genangan air matanya. “Raden, harap jangan menyiksa hatiku.... bukan sekali-kali saya menolak, akan tetapi andika juga maklum bahwa hal ini tidaklah mungkin terjadi, tidak boleh terjadi. Saya adalah isteri Sang Akuwu... saya tidak bebas lagi... bahkan... bahkan saya... saya telah mengandung....”
Ken Arok juga sadar keadaannya dan dia menarik napas panjang. “Saya tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi saya, apakah paduka membalas cinta saya. Apakah andaikata suami paduka itu tidak ada lagi, paduka suka menjadi isteri saya?”
Ken Dedes memandang wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. Mata yang jeli indah dan basah air mata. “Tidak ada lagi? Maksud.... maksudmu....? Kalau.... dia.... meninggal dunia...?”
Ken Arok mengangguk dan tersenyum. “Nyawa manusia di tangan para dewata, bukanlah demikian, diajeng yang manis?” Dia semakin berani dan menyebut Ken Dedes dengan sebutan diajeng yang mesra. “Andaikata dia tidak ada, maukah engkau menjadi isteriku?”
“Tapi..... tapi kandunganku.....”
“Dia akan menjadi anakku pula. Bagaimana?”
Ken Dedes termenung sejenak. Tentu saja ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pria ini dan menjadi isterinya merupakan hal yang dianggapnya paling membahagiakan. Akhirnya ia mengangguk. Kembali mereka saling berpandangan dengan penuh kemesraan dan Ken Arok hendak merangkul lagi.
Akan tetapi pada saat itu, dayang tadi datang berlari dan menunjuk ke arah pintu tembusan, mengataan bahwa Sang Akuwu datang. Mendengar ini, Ken Dedes menahan jeritnya dan Ken Arok menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melompat dan keluar dari dalam taman sebelum Tunggal Ametung tiba di pintu tembusan.
Ken Arok menjadi semakin bimbang. Berhari-hari dia termenung saja, kadang-kadang menarik napas panjang. Kadang-kadang mengepal tinjunya. Dia tidak suka makan dan selalu gelisah di tempat tidurnya. Hal ini diketahui oleh gurunya atau ayah angkatnya yang terakhir, yaitu Danyang Lohgawe. Kakek itu berkunjung ke rumah kediaman Ken Arok yang kini memperoleh rumah sendiri, disambut dengan hormat oleh Ken Arok dan dipersilahkan duduk.
Setelah saling menyalam dan menerima penghormatan murid atau anak angkatnya itu Danyang Lohgawe lalu bertanya, “Anakku Ken Arok, selama beberapa hari ini aku melihat wajahmu seperti diliputi awan gelap, tanda bahwa hatimu sedang risau dan gundah. Ada apakah gerangan, anakku?”
Ken Arok berpikir sejenak sebelum menjawab. Kakek ini selain sakti juga menjadi penasihat Tunggal Ametung, dan amat sayang kepadanya. Sebaiknya berterus terang saja dan mengharapkan nasehat dan bantuannya.
“Bapak Danyang Lohgawe, memang hati saya sedang diliputi perasaan duka dan saya amat mengharapkan kalau ada seorang pria mempergunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendanya terhadap seorang wanita, dan memaksa gadis itu menjadi selirnya?”
Danyang Lohgawe mengerutkan alisnya. “Jelas bahwa perbuatan itu merupakan perkosaan dan tidak benar, anakku.”
“Jadi pria seperti itu patut kalau dihukum atas perbuatannya?”
“Memang patut dihukum, anakku.”
Hati Ken Arok menjadi lega. “Terima kasih, bapak. Sekarang satu lagi. Saya jatuh cinta kepada seorang dan dia pun membalas perasaan cinta saya....”
“Ha-ha-ha, apa kesukarannya? Kalau sudah saling mencintai, pinang saja gadis itu dan ambil ia sebagai isterimu...”
“Inilah kesukarannya, bapak pendeta. Wanita itu telah menjadi isteri orang lain.”
“Saddhu... Saddhu... Saddhu....” Kakek itu memandang tajam. ”Merampas istri orang lain adalah perbuatan tidak benar, anakku. Dan seorang isteri yang mencintai pria lain juga merupakan orang yang tidak baik karena perbuatannya itupun tidak diperbolehkan.”
“Tapi, bapak, wanita itu adalah gadis yang dipaksa menjadi isteri suaminya yang sekarang yang tadi saya ceritakan.”
“Ahh......!”
“Ia dipaksa menjadi isteri orang. Kami berjumpa dan saling mencintai. Apa yang harus saya lakukan, bapak?”
Kakek pendeta itu menarik napas panjang. “Ahh persoalan ini sulit sekali, anakku. Akan tetapi, siapakah wanita itu?”
“Sesungguhnya, bapak, wanita itu bukan lain adalah Ken Dedes, selir dari Sang Akuwu Tunggal Ametung.”
“Jagat Dewa Bathara....!” Danyang Lohgawe terkejut sekali.
“Karena itu, saya mohon doa restu dari bapak, agar saya dapat membunuh Tunggal Ameung dan memperisteri Ken Dedes. Dengan demikian, saya menghukum pria yang memaksa wanita itu menjadi iserinya, dan kedua saya dapa melaksanakan cinta kasih kami berdua menjadi ikatan pernikahan.”
Sampai lama Danyang Lohgawe termangu-mangu. Dia merasa amat sayang kepada murid atau anak angkatnya ini dan tentu saja dia suka sekali membantu muridnya itu dalam segala hal. Akan tetapi, sebagai seorang pendeta, dia pun tentu saja tidak setuju dengan niat Ken Arok untuk membunuh orang, apalagi orang itu adalah Tunggal Ametung yang menjadi atasan mereka sndiri. Pendeta itu menjadi bimbang.
“Anakku engkau tentu tahu bahwa seorang pendeta, tidak layak begiku untuk mencampuri urusan ini. Terserah saja kepadamu.”
Karena tidak mendapatkan restu dari gurunya ini, hati Ken Arok menjadi bimbang dan penasaran. Dia pun teringat kepada Bangosamparan, penjudi besar dahulu memungut Ken Arok sebagai anaknya dan dengan demikian telah menyelamatkan bayi Ken Arok dario ancaman maut ketika ditinggalkan ibu kandungnya di tengah kuburan.
Ken Arok segera mengunjungi ayah angkatnya itu. Dia tahu betapa ayah angkatnya itu amat sayang kepadanya dan tentu akan membantunya, setidaknya memberi nasehat karena dalam keadaan bimbang sekarang, dia amat membutuhkan nasihat orang yang menyayanginya.
Urusannya itu belum tentu saja tidak dapat dia ceritakan kepada sembarangan orang, kecuali orang-orang terdekat seperti Danyang Lohgawe yang tidak mau membantunya dan Ki Bangosamparan yang telah menjadi yah angkatnya sejak dia masih bayi.
Dan benar saja. Ki Bangosamparan yang girang sekali bertemu dengan anak angkatnya, apalagi mendengar bahwa anak angkatnya telah menjadi seorang panglima muda di Kadipaten Tumapel, segera memberi persetujuannya ketika mendengar cerita Ken Arok.
“Anakku yang baik, hal itu tentu dapat dilakukan dengan mudah. Engkau adalah titisan Sang Hyang Brahma, segala perbuatanmu tentu dibenarkan dan direstui para dewata. Kalau hanya selir Sang Akuwu saja, tentu akan bisa kau peroleh dan kalau Akuwu Tunggal Ametung sudah binasa, engkau malah akan dapat mengangkat dirimu menggantikannya menjadi adipati Tumapel.”
Mendengar ucapan itu, tentu saja Ken Arok berbesar hati dan mengucapkan terima kasih. “Akan tetapi, saya masih belum memperoleh jalan terbaik untuk dapat melaksanakan niat itu,” katanya.
“Hal itu harus dilakukan sebaik mungkin, anakku. Ingat, Sang Akuwu Tunggal Ametung adalah seorang yang sakti. Sudah banyak aku mendengar akan kesaktiannya, kabarnya dia juga kebal sekali, tidak tedas tapak paluning pande. Oleh karena itu, engkau harus memiliki sebuah senjata yang benar-benar ampuh, yang melebihi keampuhan aji kekebalan Sang Akuwu. Dan aku tahu siapa yang akan mampu membuat sebuah keris yang dapat menembus kekebalan Tunggal Ametung.”
“Siapakah orang itu, Bopo Bangosamparan?” “Dia bukan lain adalah Empu Gandring.”
“Empu Gandring?” Ken Arok termangu. Setelah menjadi seorang panglima muda, dia telah banyak menyelidiki tentang mendiang ayahnya, Raden Ginantoko, dan dia mendapat keterangan bahwa mendiang Ginantoko adalah murid dari keponakan Empu Gandring, juga keponakan senopati Prawiroyudo yang sudah tua. Dan kini ayah angkatnya menasehatkan agar dia mencari keris buatan Empu Gandring!
“Ya, Empu Gandring yang kini telah berpindah tinggal di Lululambang. Mintalah kepada sang empu untuk membuatkan sebuah keris pusaka untukmu, anakku.”
Dengan hati lega dan girang, Ken Arok mengucapkan terima kasih, meninggalkan banyak uang dan barang berharga untuk ayah angkatnya, kemudian berangkatlah dia ke Lululambang mencari tempat kediaman Empu Gandring. Dengan mudah dia menemukan tempat kediaman sang empu yang tua itu dan dikunjunginya Empu Gandring yang berada di dalam tempat pembuatan keris.
Empu Gandring menyambut pemuda itu dengan alis berkerut. Penglihatannya yang tajam membuat sang empu merasa bahwa kehadiran pemuda ini membawa hawa yang tidak baik baginya. Namun, sang empu yang sudah menyandarkan segalanya kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasesa, tidak menolak kunjungan itu dan menerimanya dengan ramah.
Untuk menenangkan hati dan kepercayaan sang empu, begitu bertemu dan mendapat keterangan bahwa kakek itu benar Empu Gandring, Ken Arok lalu bersimpuh dan menyembah dengan hormatnya. “Cucu Ken Arok menghaturkan sembah bakti kepada Eyang Empu Gandring yang mulia,” demikian katanya.
Tentu saja sikap sopan ini menyenangkan hati sang empu, “Terima kasih atas penghormatanmu, bocah bagus. Siapakah andika dan ada keperluan apakah datang berkunjung?”
“Nama saya Ken Arok, eyang dan mengingat bahwa mendiang ayah saya adalah murid juga keponakan eyang maka saya adalah cucu eyang sendiri?”
“Siapakah mendiang ayahmu?”
“Ayah bernama Raden Ginantoko.”
“Jagat Dewa Bathara...! Ha-ha-ha, Ginantoko memang seperti Sang Harjuno saja, di mana-mana mempunyai anak. Siapakah gerangan ibu kandungmu, Ken Arok?”
“Ibu saya bernama Ken Endok dari dusun Pangkur, eyang?”
Kakek itu mengangguk-angguk. Tidak aneh mendengar bahwa mendiang muridnya mempunyai anak di mana-mana karena memang muridnya itu paling lemah terhadap wanita. “Dan apakah engkau mempunyai keperluan penting maka datang berkunjung padaku?”
“Selain ingin menghaturkan sembah dan mohon doa restu, juga saya ingin mohon pertolongan eyang untuk membuatkan sebatang keris yang ampuh untuk saya, eyang.”
Kembali Empu Gandring mengerutkan alisnya teringat dia akan muridnya terdahulu Ginantoko yang disayanginya, akan tetapi muridnya itu mati muda karena menuruti hawa nafsu birahinya yang besar, yang membuatnya memiliki watak mata keranjang dan suka sekali menggoda wanita-wanita cantik. Muridnya itu tewas di ujung keris buatannya sendiri, karena menggoda isteri orang.
Dan dia merasakan atau meraba dengan perasaan halusnya bahwa pemuda ini memiliki nafsu yang besar sekali, walaupun melihat sinar matanya bukan nafsu birahi yang menonjol, akan tetapi pamrih yang tersembunyi di balik matanya itu amat kuat.
“Akan tetapi saya mohon agar keris pusaka itu dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, eyang. Kalau mungkin tiga atau empat lima bulan saja.”
“Ah, tidak begitu mudah membuat keris yang baik dan ampuh, Ken Arok. Sedikitnya membutuhkan waktu satu tahun agar matang benar. Akan tetapi, untuk apakah engkau membutuhkan sebuah keris pusaka, cucuku?”
“Untuk keperluan penting sekali, mengejar cita-cita, eyang. Dan saya mohon tidak lebih lama dari lima bulan.”
Empu Gandring tidak mendesak lebih jauh karena cita-cita pemuda itu tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia pun tidak berhak untuk mendesak.Dia hanya menghela napas panjang. “Lima bulan terlalu singkat waktunya, cucuku, kurang matang tempaannya.”
“Terserah bagaimana tempaannya, saya percaya akan kesaktian dan kebijaksanaan eyang saja, akan tetapi dalam waktu lima bulan saya akan mengambil keris pusaka itu.”
----- ADA BAGIAN YANG HILANG ----
”Akuwu Tunggal Ametung kembali menghela napas. “Sudah kuduga bahwa kalian, orang-orang gagah yang biasa bebas, akan menolak. Akan tetapi tidak mengapalah, karena kalian sudah berjanji akan membela Tumapel.”
Setelah bubaran, Senopati Pamungkas mengajak Joko Handoko dan Wulandari untuk pulang ke rumahnya di mana dua orang muda itu bermalam. Dewi Pusporini menyambut mereka dengan wajah berseri dan senyum gembira sekali. Gadis bengsawan ini segera merangkul Wulandari dan mencium pipinya. Wulandari juga merangkul gadis itu.
“Adikku Wulandari, engkau nampak semakin manis dan semakin gagah perkasa saja!” seru Dewi Pusporini sambil menggandeng tangan gadis itu.
“Ah, paduka terlalu memuji...”
“Huhhh, Wulan. Apa itu pakai sebutan paduka-paduka segala macam? Bukankah kita seperti kakak beradik saja? Sebut saja mbak ayu atau aku tidak akan mau berbicara denganmu.” Puteri itu pura-pura cemberut dan diam-diam Joko Handoko menelan ludah.
Demikian cantik jelitanya puteri itu, sehingga cemberut nampak semakin menarik. Walaupun tersenyum agak sungkan, akan tetapi ketika dia melirik ke arah senopati itu dan melihat betapa pembesar itu juga tersenyum mengangguk, hatinyapun tenang.
“Baiklah, mbak ayu Dewi. Akan tetapi memang engkau telah memujiku, karena engkaulah sesungguhnya yang nampak semakin cantik jelita saja, seperti bidadari khayangan. Bukankah begitu, kakang Joko Handoko?”
Tentu saja pemuda itu terkejut dan tersipu dengan muka berubah merah. Pada saat itu memang ia sedang terpesona oleh kecantikan Dewi Pusporini, dan secara tiba-tiba saja Wulandari yang memuji kecantikan puteri senopati itu, bertanya kepadanya! Maka diapun hanya dapat mengangguk-angguk saja dengan canggung.
Malamnya, Senopati Pamungkas menjamu dua orang tamunya itu, ditemani oleh isteri dan puterinya. Mereka duduk menghadapi meja makan dan dilayani oleh para pelayan wanita. Setelah selesai makan, keluarga itu bersama dua orang tamunya bercakap-cakap di ruangan tengah.
“Anakmas Joko Handoko, aku melihat bahwa andika dan anakmas Ken Arok terdapat hubungan yang baik seperti kalian berdua telah mengenal dengan akrab. Hal itu sungguh tidak kusangka. Dia merupakan seorang panglima muda yang cepat menanjak, karena memang dia gagah perkasa, pandai dan menjadi putera angkat dan murid paman Danyang Lohgawe yang amat bijaksana dan cerdik. Anakmas Ken Arok amat dipercaya dan disukai oleh Tunggal Ametung, dan hal itu tidak aneh karena memang dia merupakan seorang panglima muda pilihan yang amat baik.”
Joko Handoko tersenyum. “Sesungguhnya, kanjeng....”
“Sudahlah, aku ingin engkau dan Wulandari bersikap biasa terhadap keluarga kami sebut saja aku paman dan isteriku bibi. Bagaimanapun juga, aku pernah mengenal baik Raden Ginantoko, ayah kandungmu itu.”
“Baiklah kanjeng paman senopati sesungguhnya antara Ken Arok dan saya masih terdapat hubungan saudara. Kami satu ayah berlainan ibu.”
“Jagat Dewa Bathara...!! Kalau begitu dia juga putera kandung mendiang Raden Ginantoko? Ah, siapa sangka? Murid paman Empu Gandring itu ternyata memiliki putera-putera yang hebat! Anakmas Joko, apakah engkau sudah bertemu dengan keluarga mendiang ayahmu?”
Joko Handoko menatap wajah senopati itu dan mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. “Saya hanya mendengar dari Empu Panembahan bahwa kedua orang tua ayah saya telah tiada.”
“Benar, akan tetapi masih ada keluarga dekat ayahmu yang barada di Tumapel. Dia adalah seorang senopati tua yang bernama Senopati Prawiroyudo. Paman Prawiroyudo itu adalah paman dari mendiang ayahmu, dan dia merupakan senopati tua yang menjadi penasihat Sang Akuwu di bagian pertahanan dan bala tentara. Apakah engkau tidak ingin berkunjung kepada paman Senopati Prawiroyudo? Aku dapat mengantarmu ke sana kalau kau ingin pergi. Anakmas Joko.”
“Terima kasih, kanjeng paman. Saya tidak ingin pergi mengunjunginya sekarang. Entah lain waktu.” Joko Handoko sedikitpun tidak tertarik. Yang berdarah bangsawan adalah mendiang ayahnya. Kini ayahnya telah tiada dan ibunya hanyalah puteri seorang pendeta. Buktinya, ibunya juga tidak diperdulikan oleh keluarga bangsawan itu. Untuk apa dia sekarang datang menghadap? Jangan-jangan disangka ingin minta sumbangan atau bantuan.
“Aku merasa heran sekali bagaimana dua orang pemuda dari satu ayah demikian berbeda wataknya. Aku melihat Ken Arok seorang pemuda yang memiliki semangat dan cita-cita besar sekali sehingga dalam waktu singkat telah memperoleh kedudukan tinggi yang memang sesuai dengan kecakapannya. Akan tetapi engkau anakmas Joko, yang memiliki ilmu kepandaian tidak kalah tingginya, engkau malah menolak pemberian atau penawaran kedudukan oleh sang akuwu. Kenapa selagi memperoleh kesempatan yang amat baik, engkau tidak mau mencari kedudukan tinggi untuk masa depanmu?”
Joko Handoko tersenyum. “Maaf, kanjeng paman. Semenjak kecil saya hidup bersama mendiang eyang di gunung, menyukai hidup tenteram, tenang dan penuh damai di pegunungan. Dan saya melihat betapa di keramaian kota, hanya terdapat kekacauan, perebutan kekuasaan, permusuhan dan kebencian semata. Saya merasa ngeri untuk menceburkan diri di dalam kancah permusuhan dan kebencian itu, kanjeng paman.”
Senopati itu mengangguk-angguk. Dia dapat mengerti. Pemuda ini sejak kecil hidup bersama seorang pendeta yang terkenal sakti dan bijaksana, yaitu Panembahan Pronosidhi, maka tidaklah mengherankan kalau jalan pikirannya pun bijaksana.
“Kalau begitu, apa yang menjadi cita-citamu, orang muda?” tanyanya, diam-diam merasa penasaran dan menyayangkan bahwa tenaga yang begini baik akan tersia-sia saja di pegunungan.
“Besok saya mohon diri untuk kembali ke Anjasmoro, kanjeng paman. Saya kan menjenguk ibu, kemudian mungkin saya akan hidup sebagai petani di Anjasmoro. Saya kira, hidup sebagai seorang petani tidak kalah besar manfaatnya bagi negara dan bangsa.”
“Tentu saja!” tiba-tiba Dewi Pusporini berseru. “Tanpa adanya petani, kita orang-orang kota ini akan kelaparan, kecuali kalau kita mau menggarap sawah ladang sendiri yang tentu tidak akan baik hasilnya karena kita canggung dan lemah. Paman tani merupakan golongan yang paling besar jasanya untuk negara dan bangsa. Bukankah demikian, kanjeng romo?”
Senopati itu tertawa. Tentu saja, dia tidak mungkin dapat membantah kebenaran itu. Akan tetapi Putera mendiang Raden Ginantoko, yang menjadi petani? Pada jaman itu, pandangan orang, terutama para bangsawan terhadap orang-orang dusun atau pegunungan yang pekerjaannya sebagai petani memang amat merendahkan. Kaum petani dianggap sebagai golongan yang miskin, kotor dan berderajat rendah.
Sementara itu, mendengar ucapan Dewi Pusporini girang sekali rasa hati Joko Handoko. Hatinya girang kerena ternyata gadis bangsawan ini amat bijaksana dan menghargai jasa kaum petani yang sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itu sama sekali tidak memiliki watak tinggi hati.
Setelah bercakap-cakap, pihak tuan rumah mempersilahkan kedua orang muda yang menjadi tamu itu beristirahat. Joko Handoko mendapatkan sebuah kamar sendiri di begian belakang dekat taman, sedangkan Wulandari diajak tidur sekamar oleh Dewi Pusporini yang masih merasa rindu dan ingin bercakap-cakap dengan gadis dari kaki pegunungan Arjuno itu.
Malam itu, bulan purnama menerangi permukaan bumi. Sinarnya lembut namun cemerlang dan membuat malam yang biasanya gelap menyeramkan kini menjadi terang menggembirakan. Joko Handoko gelisah dalam kamarnya, tidak dapat memejamkan mata. Makin dipejamkan makin jelas bayangan wajah Dewi Pusporini tersenyum manis, matanya yang jeli bersinar-sinar dan suaranya yang merdu terngiang di telinganya.
Kamar yang cukup bersih dan indah kelihatan seprti sebuah sangkar yang mengurungnya, membuat dia merasa sesak untuk bernapas. Akhirnya, dengan hati-hati dan perlahan agar jangan menimbulkan suara berisik, dia keluar dari dalam kamar itu dan memasuki taman yang luas dan yang dipelihara dengan baik. Setelah memasuki taman bunga yang indah dan kini nampak semakin indah karena tengelam dalam sinar bulan purnama, dadanya terasa lega dan dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
Kemudian dia berjalan-jalan di taman itu, merasa seolh-olah bukan berada di dunia melainkan di taman khayangan. Akan tetapi hanya sebentar saja keindahan taman itu mengalihkan perhatiannya karena tak lama kemudian diapun sudah duduk melamun di atas bangku di dekat kolam ikan, termenung memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang di bawah sinar bulan purnama, saling kejar dan menggoyang daun-daun dan bunga teratai merah.
Akan tetapi, bahkan di dalam kolam itu nampak bayangan wajah sang puteri. Berulang kali Joko Handoko menarik napas panjang dan mencela diri sendiri. Engkau tak tahu diri, demikian celanya. Siapakah dia yang berani menaruh hati pada seorang puteri bangsawan seperti Dewi Pusporini? Dia telah jatuh cinta. Hal ini dirasakannya benar.
Tadinya dia mengira bahwa dia jatuh cinta kepada Wulandari akan tetapi setelah dia berjumpa dengan Dewi Pusporini hatinya tertarik sepenuhnya kepada gadis itu. Dia masih suka kepada Wulandari, suka sekali, akan tetapi harus diakuinya bahwa hatinya lebih condong kepada Dewi Pusporini yang lebih lembut dan cantik jelita, juga bijaksana itu, kenapa dia harus bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Pusporini, padahal tak mungkin dia akan dapat bersanding dengan gadis itu sebagai suami isteri?
Kalau dengan Wulandari harapannya besar. Dia melihat bahwa gadis itu agaknya suka dan cinta kepadanya, dan karena ini Wulandari sudah menentukan jalan hidupnya sendiri, akan mudahlah baginya kalau akan memperisteri gadis perkasa itu. Agaknya tinggal mengulurkan tangannya tentu Wulandari akan menerimanya. Akan tetapi, dia bertemu dengan Dewi Pusporini dan tergila-gila kepadanya.
Bayangan di dalam air itu tersenum kepadanya. Betapa cantiknya! Belum pernah dia merasakan hal seperti ini. Kemesraan yang menusuk hatinya sehingga baru membayangkan wajah gadis itu saja sudah mendatangkan suatu kebahagian yang aneh, yang membangkitkan seluruh hasrat hatinya untuk bertemu dengan gadis itu, untuk memandang wajahnya, menikmati keindahan matanya, dan mendengar suaranya.
“Aduh, diajeng Dewi Pusporini....” bisiknya berkali-kali kepada bayangan wajah cantik jelita yang nampak olehnya di permukaan air kolam. Demikian jelas wajah itu, cemerlang dengan senyumnya, akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget karena ternyata wajah itu adalah bayangan bulan yang tenggelam di dalam dasar kolam! Dan diapun mencaci dirinya sendiri. “Joko Handoko, kenapa engkau begini lemah?” Akan tetapi cacian itu pun segera lenyap karena kembali sudah melamun.
Cinta asmara, memang sesuatu yang aneh, teramat indah teramat luas untuk dipelajari dan diselidiki sehingga semenjak laksaan tahun yang lalu selalu menjadi bahan penulisan para cerdik pandai, para sastrawan dan seniman. Agaknya tak mungkin manusia hidup tanpa cinta. Hidup tanpa cinta bagaikan pohon tanpa bunga dan pohon itupun takkan berbuah, tanpa keindahan tanpa keharuman.
Cinta asmara merupakan suatu kewajaran alamiah, agaknya diperuntukkan sarana perkembangbiakan agar manusia pria dan wanita saling tertarik, saling mendekati, melakukan hubungan badaniah yang merupakan puncak dari cinta asmara sehingga mereka akan beranak dan manusia tidak akan sama melainkan bersambung terus oleh keturunan demi keturunan, generasi demi generasi.
Cinta asmara mengandung kemesraan yang paling mendalam,keharuan yang paling halus, mengandung pula pengenyahan kepentingan diri sendiri sehingga berani berkorban nyawa kalau perlu akan tetapi juga di suatu merupakan penonjolan ke-aku-an yang paling besar karena di situ terdapat pula keinginan menguasai, memiliki, memonopoli. Ingin memiliki dan dimiliki, menyenangkan dan disenangkan.
Sayang bahwa sebagian besar dari kita menitik beratkan kepada kesenangan dan kenikmatannya, sehingga berani mengambil peran terbesar dan terpenting. Kalau begini, maka kekecewaan dalam hal ini akan membuat cinta asmara menjadi suatu penderitaan, kekecewaan, cemburu, bahkan tidak aneh lagi kalau cinta asmara berbalik menjadi kebencian.
Betapa indah dan anehnya cinta kasih, suatu masalah yang patut kita renungkan, kita amati dan kita pelajari setiap saat, dengan mengamati diri sendiri dan setiap orang manusia, tak peduli pangkatnya. Raja diraja sampai kepada pengemis yang paling miskin, berekuk lutut terhadap satu ini, ialah cinta kasih. Kalau cinta asmara sudah menguasai batin, baik raja diraja maupun pengemis, akan bertekuk lutut menjadi boneka. Dipermainkan perasaan ini dapat membuatnya menangis air mata darah, dapat pula membuatnya tertawa kegirangan sampai lewat batas.
Cinta asmara dapat membuat seorang pria kasar menjadi lemah lembut seperti sutera, sebaliknya dapat membuat seorang pria yang sopan santun dan lembut berubah menjadi kasar dan keras seperti baja. Banyak pula terjadi betapa pria gagah perkasa yang takkan gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh, akan gemetar bertekuk lutut di depan kaki wanita yang dicintainya, tak tahan menghadapi kerling matanya, atau senyumannya, atau bahkan tangisnya!
Joko Handoko duduk termenung entah berapa lamanya, dia tidak ingat lagi. Waktu tidak ada lagi baginya, yang ada hanya tenggelam ke dalam lamunan, membayangkan wajah gadis yang membuatnya tergila-gila. Dia yang biasanya berpendengaran tajam karena kedua telinganya dan syaraf-syarafnya terlatih baik, kini bahkan tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan menghampirinya dengan langkah satu-satu perlahan-lahan.
Setelah bayangan itu tiba hanya tiga meter di belakangnya dan menginjak daun kering sehingga menimbulkan suara berkeresekan, barulah Joko Handoko mendengarnya dan pemuda ini pun sadar dari lamunannya, lalu menoleh. Sepasang matanya terbelalak, pandang matanya terpesona karena di depannya telah berdiri orang yang sejak tadi menjadi kembang lamunannya.
“Diajeng Dewi Pusporini.....” Bisiknya, hampir tidak terdengar sehingga gadis yang berdiri di depannya itu hanya melihat betapa bibir pemuda itu bergerak-gerak menyebutkan namanya.
Dan gadis itu pun tersenyum, sepasang bibirnya merekah dan nampak sedikit kilatan giginya. Joko Handoko semakin terpesona. Betapa cantiknya! Sinar bulan purnama yang lembut menimpa rambut dan wajah itu, dengan sinar agak kehijauan, lembut dan membuat wajah gadis itu nampak agung dan seperti bukan wajah manusia lagi, melainkan wajah bidadari kahyangan dalam dongeng.
Joko Handoko bangkit berdiri dan mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak tiga meter, saling pandang. Karena sampai lama pemuda itu hanya berdiri memandang tanpa pernah berkedip, seperti telah berubah menjadi patung.
Dewi Pusporini merasa kikuk juga dan ia pun tersenyum dan menunduk sebentar, lalu mengangkat lagi mukanya memandang. “Kakang Joko Handoko, herankah engkau melihat aku datang?” tanyanya sambil tersenyum dan sepasang mata itu memandang lembut.
“Tidak.... tidak.... Diajeng... Dewi...” kata Joko Handoko dengan agak gagap, seperti orang yang baru saja dibangunkan dari tidur secara mendadak.
“Kalau begitu, terkejutkah engkau?”
“Tidak....? Mengapa harus terkejut? Taman ini adalah tamanmu, diajeng...?"
“Hemm, tidak gembirakah engkau dengan kedatanganku?”
“Tidak....? Ah, tentu saja aku gembira sekali. Malam.... ini indah sekali di taman, diajeng Dewi Pusporini.”
“Aku.... aku tak dapat tidur maka keluar dari kamar memasuki taman ini.”
“Akupun tidak dapat tidur dan biasanya, kalau malam aku memang suka berada di taman ini, apa lagi kalau bulan sedang purnama. Dan ikan-ikan emas dalam kolam ini menjadi kesayanganku.” Ia melangkah maju dan berdiri di tepi kolam, melihat ikan-ikan emas berenang ke sana-sini dengan gerakan halus seperti terbang di udara saja layaknya.
“Memang indah sekali....” kata Joko Handoko, makin terpesona dan tidak tahu harus bicara apa, akan tetapi kedua kakinya melangkah menghampiri dan dia berdiri di dekat dara itu, memandang ke dalam kolam.
Bulan purnama bersinar dengan sepenuhnya, tanpa dihalangi awan dan karena tempat mereka berdiri itu bebas dari halangan pohon, maka mereka nampaklah bayangan mereka di permukaan air kolam.
“Lihat, kakangmas Joko, bayangan kita nampak di dalam air seperti dalam cermin saja?” tiba-tiba Dewi Pusporini menuding ke depan kakinya, dia mana bayangan mereka kelihatan di dalam air dengan amat jelasnya.
“Sudah sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam air ini, diajeng.”
“Ehhh......? Mana mungkin? Aku baru saja datang, Kakangmas Joko!” tanya dara itu sambil memandang heran. Memang ia baru saja datang. Setelah bercakap-cakap dengan Wulandari, ia melihat gadis yang lincah dan riang itu mengantuk.
Maka setelah membiarkan Wulandari tertidur pulas, ia turun dari pembaringan dan dia pergi ke belakang, ke dalam taman karena ia ingin menikmati cahaya bulan di taman itu, seperti biasa kalau bulan sedang purnama. Tak disangkanya bahwa di situ ia akan bertemu dengan Joko Handoko. Andaikata ia tahu lebih dahulu bahwa pemuda itu berada di taman, tentu ia tidak akan berani memasuki taman, malu.
Joko Handoko merasa terkejut sendiri dengan ucapannya tadi. Dia masih seperti dalam keadan terpesona sehingga kata-kata itu terloncat begitu saja dari mulutnya. Kini, melihat gadis itu memandang kepadanya dengan heran dan tajam menyelidik, jantungnya berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia menarik napas panjang.
“Aku tidak membohong, diajeng Dewi. Sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam kolam itu, bahkan di dalam kamar, bayanganmu selalu nampak olehku sehingga aku menjadi gelisah dan keluar ke dalam taman ini.”
“Ahhhh.....!” Dewi Pusporini mengeluarkan seruan tertahan dan menggunakan tangan untuk menutup mulutnya agar ia tidak berseru terlalu keras, tubuhnya seperti menjadi lemas dan karena kedua kakinya terasa gemetar, dara itu lalu menghampiri bangku di tepi kolam dan duduk di ujung bangku. Dengan jantung berdebar ia bertanya lirih, “Kakangmas Joko Handoko, apa... apa maksud kata-katamu itu.....?” Suaranya juga terdengar gemetar maka ia tidak bicara banyak.
Joko Handoko juga duduk di ujung yang lain dari bangku panjang itu. Biarpun dia seorang gemblengan yang biasanya bersikap tenang tidak mudah merasa gentar, akan tetapi sekarang dia merasa jantungnya berdebar dan seluruh tubuhnya gemetar!
“Diajeng Dewi Pusporini, harap maafkan aku yang sungguh tidak tahu diri... aku sudah lupa siapa diriku dan siapa pula dirimu, aku telah lancang sekali, berani jatuh cinta kepadamu. Diajeng, maafkan aku, akan tetapi sejak pertemuan kita pertama kali itu, bahkan setelah pertemuan kedua ini, aku.... aku seperti menjadi gila. Kemana pun aku berada, bayangamu selalu nampak di depan mata....”
Hening sejenak. Keduanya menundukkan mukanya. Joko Handoko dengan hati gelisah karena dia menduga bahwa sang puteri itu tentu akan merasa terhina dan marah kepadanya, sikapnya pasrah karena dia memang sudah siap menerima kemarahan Pusporini, bahkan siap menerima hukuman apapun juga.
Sedangkan Dewi Pusporini menundukkan mukanya karena terharu, dan kedua matanya mulai membasah. Akhirnya ia tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air matanya pun runtuh, ia terisak lirih dan mengusap air mata dengan sapu tangan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Joko Handoko mendengar suara isak tertahan itu. Dia cepat mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah pucat. Celaka, pikirnya, tentu dara itu merasa terhina sekali sampai menangis!
“Aduh, diajeng.... harap jangan menangis. Maafkan kelancanganku, ampunkanlah kalau aku menyakiti hatimu dengan kelancanganku, aku... tidak bermaksud menghinamu, diajeng....”
Mendengar suara lembut penuh penyesalan yang dikeluarkan dengan suara gemetar itu Pusporini merasa seperti ditusuk-tusuk hatinya dan ia pun menangis semakin terisak!
Tentu saja Joko Handoko menjadi semakin khawatir dan menyesal. Dia bangkit berdiri dan berkata halus, “Diajeng Dewi Pusporini, aku mengaku bersalah kepadamu. Aku lancang mulut, aku tidak tahu diri, berani menyatakan cinta kepada seorang puteri seperti engkau. Andaikata engkau sudi memaafkan aku sekalipun, aku takkan pernah dapat memaafkan diriku sendiri, diajeng, aku akan menyesal kelancanganku selama hidupku."
Mohon pamit, diajeng, dan berhentilah menangis, hatiku hancur melihat engkau menangis karena ulahku....” Joko Handoko melangkah pergi dengan terhuyung dan seluruh tubuhnya lemas sekali. Ingin dia menangis, akan tetapi ditahannya perasaan dukanya yang melanda hatinya.
Cinta asmara memang merupakan sarang dari suka-duka, susah-senang, sedih-gembira yang datang silih berganti mempermainkan korban-korbannya.
“Kakang mas Joko....!” seruan lirih bercampur isak ini membuat Joko Handoko tersentak kaget dan seketika gerakan kakinya terhenti. Dia memutar tubuhnya dan melihat betapa dara itu menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
“Jangan.... jangan pergi....”
Joko Handoko membelalakkan kedua matanya, hampir tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah itu suara Pusporini yang melarangnya pergi? Dia pun melangkah satu-satu menghampiri bangku itu dan berdiri di dekat Dewi Pusporini yang masih menundukkan muka yang ditutupinya dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang perlahan dalam tangisnya. “Diajeng, engkau menangis....?” tanyanya ragu...