Keris Maut Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - "JAKA LUMPING menyembah lagi lalu menuju ke gelanggang pertandingan. Dia adalah seorang pemuda yang aneh bentuk tubuhnya. Dada dan perutnya kecil, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi kepalanya dan kedua lengannya besar. Sepasang matanya tajam berpengaruh dan urat-urat menonjol keluar dari daging lengannya. Ketika ia berjalan di atas gelanggang, nampaknya tindakan kakinya demikian ringan.

Ketika ia tiba di depan Lembuseta, raksasa itu tersenyum mengejek. la merasa girang sekali oleh karena hari ini ia dan kakaknya Lembusena telah merobohkan masing-masing dua orang peserta. "Kudengar namamu tadi Jaka Lumping dari Belambangan? Kau bersiaplah baik-baik!" katanya dan dengan cepat ia lalu menyerbu.
Jaka Lumping cepat mengelak dan balas menyerang. Pertandingan kali ini ternyata jauh lebih hebat dari pada yang sudah-sudah. Jaka Lumping yang aneh itu ternyata benar-benar digdaya. Kalau empat orang peserta yang tadi selalu roboh terkena pukulan atau tamparan Lembuseta dan Lembusena, Jaka Lumping ternyata juga memiliki kekebalan seperti lawannya.
Sekali pernah kepalan tangan Lembuseta yang besar menghantam dadanya, akan tetapi ia hanya mundur tiga langkah, lalu maju kembali dengan cepatnya, membalas serangan lawan dengan pukulan bertubi-tubi sehingga Lembuseta jatuh terduduk! Bukan main riuhnya para penonton menyaksikan pertandingan ini.
Lembuseta sendiri terkejut karena pukulan-pukulan lawannya yang aneh ini ternyata amat kuatnya sehingga ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan sampai terjatuh. Dengan marah dan penasaran Lembuseta bangun kembali. Ketebalan kulitnya membuat ia kebal dan kini ia mengamuk bagaikan seorang raksasa yang liar dan ganas.
Akan tetapi Jaka Lumping tidak gentar dan menghadapinya dengan sepak terjang yang gagah. Pukul-memukul, tendang-menendang, dorong-mendorong terjadi dengan hebatnya. Tenaga keduanya amat besar sehingga panggung itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh. Bahkan tempat duduk sang prabu dan para pangeran sampai bergetar.
"Ah, benar-benar kuat Jaka Lumping!” kata sang prabu dengan girang.
Karena lawannya dapat menahan pukulan-pukulannya, maka kedua orang di atas gelanggang pertempuran itu kemudian bergumul. Saling cekik, saling piting sehingga mereka menjadi satu seakan-akan dua ekor naga bertempur saling membelit. Terdengar suara napas mereka "ah, uh, ah, uh!" mengerahkan tenaga. Berkeretak bunyi tulang mereka, dan otot-otot besar melingkar-lingkar pada lengan mereka.
Sebentar Jaka Lumping terbanting kebawah, tertindih oleh tubuh Lembuseta yang seperti raksasa itu, akan tetapi dengan gerakan kakinya yang mengait kemudian dengan gerakan membalik yang tiba-tiba, Jaka Lumping berhasil membuat penindihnya terguling dan secepat kilat Jaka Lumping lalu menindih tubuh lawannya. Leher lawannya dipiting dengan lengan kanan, tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan yang hendak memukul, sedangkan lututnya diinjakkan ke perut lawan.
Lembuseta mengerahkan tenaga, meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi lawannya juga mengerahkan tenaga menahan. Hebat sekali pergumulan ini sampai lantai papan yang tebal itu berderak-derak. Akhirnya Lembuseta dapat memasukkan tangan kirinya di bawah lengan lawannya dan berhasil melepaskan diri. Mereka berdiri terhuyung-huyung dan pergumulan dilanjutkan sambil berdiri, sebentar mendorong maju dan sebentar terdorong ke belakang.
Para penonton bersorak-sorak bagaikan gila saking tegang dan gembiranya Gamelan dipukul makin keras karena para penabuh gamelan juga terpengaruh oleh pertandingan hebat ini. Akhirnya gamelan berhenti bersuara karena lagu telah habis dimainkan, berarti bahwa babak itu telah berakhir!
"Hidup Jaka Lumping...!" teriak para penonton dan Lembuseta lalu melepaskan pelukannya.
Jaka Lumping dinyatakan menang karena ia dapat mempertahankan diri selama sebabak, bahkan dalam pertandingan ini tak dapat dikatakan ia terdesak. Benar-benar kuat Jaka Lumping, pemuda Belambangan yang aneh ini.
Ketika pengatur pertandingan memberi tanda, Lembuseta mengundurkan dan gelanggang, dan kini Lembusena melangkah maju untuk mengadakan ujian terakhir. Sekali lagi Jaka Lumping harus dapat mempertahankan diri terhadap Lembusena, baru ia akan dapat dinyatakan lulus dan dapat merebut kedudukan pengawal pribadi sri baginda!
Betapapun juga diam-diam Jaka Lumping harus mengakui kehebatan Lembuseta tadi. Pergumulan tadi telah membuat ia lelah. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan sekuat itu. Kini melihat Lembusena telah maju, ia ingin mempercepat jalannya pertandingan agar jangan sampai kehabisan tenaga. Begitu gamelan mulai dipukul lagi, ia menubruk maju, memeluk pinggang Lembusena yang besar, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh raksasa itu!Penonton bersorak-sorak lagi dan diam-diam Sang Prabu Anusapati mengangguk-angguk memuji Jaka Lumping. Setelah mengangkat tubuh Lembusena ke atas sampai hampir melampaui kepalanya, Jaka Lumping lalu membanting tubuh itu ke bawah.
"Brek....!!" Tubuh raksasa itu dihempaskan ke atas lantai demikian kerasnya, bagaikan terjatuh dari tempat tinggi saja. Melihat besarnya tenaga yang dipergunakan dan kerasnya bantingan itu, kalau tubuh lain orang yang terbanting tentu akan remuk-remuk tulangnya dan luka-luka kulitnya! Akan tetapi. Lembusena hanya tersenyum saja dan segera bangkit berdiri kembali.
Jaka Lumping memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak heran. Tak disangkanya bahwa lawannya ini demikian kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari pada Lembuseta! Sebelum hilang rasa kagetnya, Lembusena telah menubruk maju dan membalas serangan lawannya tadi. Ia memegang pinggang jaka Lumping yang kecil dengan kedua tangannya, mengangkat tubuh itu seakan-akan orang mengangkat benda ringan saja, lalu membantingnya sambil melepaskan pegangannya!
"Krak....!!" Bukan main hebatnya bantingan ini sehingga papan yang tertimpa tubuh jaka Lumping sampai menjadi pecah dan tubuh Jaka Lumping masuk setengahnya ke bawah papan yang kosong!
Para penonton menahan napas, ngeri menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Bantingan itu benar-benar hebat sekali, akan tetapi bagaimanakah tubuh seorang manusia dapat begitu kuat sehingga bahkan papan yang tebal itu yang pecah?
Memang mengagumkan sekali kekuatan tubuh Jaka Lumping yang kecil itu. Biarpun ia telah merasa lelah dan tubuhnya sakit-sakit, akan tetapi ia masih dapat menekankan kedua tangannya pada papan gelanggang dan menarik kakinya dari bawah! Begitu ia berdiri, Lembusena telah menyerbunya lagi, kini menghujankan pukulan-pukulan keras kepada kepalanya yang besar itu.
Jaka Lumping mencoba untuk menangkis, akan tetapi sepak terjang Lembusena ternyata jauh lebih cepat. Beberapa kali kepalanya kena pukul dan sungguhpun ia tidak terluka, namun kini nampak ia mulai terhuyung-huyung.
”Ah, dia kalah!" kata sri baginda perlahan dengan kecewa.
Benar saja, kini Lembusena melangkah maju, memegang tangan Jaka Lumping dan sekali menggerakkan tangannya, ia telah melontarkan tubuh pemuda itu yang melayang cepat ke bawah panggung!
Penonton bersorak-sorak, sungguhpun sebagian besar diam saja karena merasa kecewa melihat pemuda itu dikalahkan. Dengan demikian, maka pertandingan akan bubar tanpa ada yang dianggap menang! Memang siapa yang sampai terlempar keluar dari panggung, telah dianggap kalah.
Akan tetapi Jaka Lumping benar-benar sakti. Biarpun tubuhnya berdebuk jatuh ke atas tanah, namun secepat itu pula ia melompat bangun, lalu dengan cepat ia menaiki tangga panggung dan berlutut di hadapan Sang Prabu Anusapati, menyembah dengan hormatnya.
"Mohon beribu ampun, gusti sinuhun. Hamba mengaku kalah, Lembusena terlampau kuat. Hamba telah mengecewakan hati paduka!"
Senang juga hati sang prabu melihat sikap pemuda itu. "Jaka Lumping, kau cukup digdaya. Sayang kurang sedikit saja daya tahanmu, sesungguhnya, aku akan senang sekali mempunyai pengawal seperti engkau!"
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di kalangan penonton dan tiga orang penjaga nampak sedang berkeras mencegah seorang pemuda yang hendak memaksa naik kepanggung. Karena marah melihat kebandelan pemuda itu, seorang di antara penjaga lalu mencabut pedang dan mengancam.
Akan tapi entah bagaimana, tahu-tahu tiga orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri dan pemuda itu terus saja menggerakkan tubuh. Bagaikan seekor burung, ia telah melompat naik keatas panggung dan langsung menghadap sang prabu, berlutut di sebelah Jaka Lumping yang juga masih duduk bersila di situ!
Seorang pengawal hendak mengusir pemuda lancang ini, akan tetapi Sang Prabu Anusapati menggerakkan tangan mencegahnya. Sri baginda sendiri juga kurang senang menyaksikan kelancangan dan keberanian pemuda itu, maka segera ditegurnya pemuda itu dengan kata-kata yang tetap terdengar halus,
”Anak muda, siapakah kau dan mengapa kau lancang sekali menghadap tanpa dipanggil?"
"Hamba mohon beribu ampun, gusti sinuhun, dan apa bila paduka sudi mendengar keterangan hamba, hamba adalah seorang kelana bernama Jaka Wisena dari puncak Gunung Anjasmoro. Adanya hamba memberanikan hati menghadap tanpa dipanggil tak lain hamba jauh-jauh datang sengaja hendak mengabdi kepada gusti sinuhun yang mulia dan bijaksana. Hamba memang telah berdosa dan lancang berani menghadap tanpa paduka kehendaki dan hamba menyerahkan jiwa raga di tangan paduka, segala hukuman akan hamba terima dengan rela dan senang, tak lain hamba mengharapkan mohon pengampunan!”
”Hm... pandai kau bicara! Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau hendak menghamba di sini?"
"Hamba seorang gunung yang bodoh, gusti, namun hamba telah bertekad untuk mengorbankan jiwa raga demi membela paduka dan Kerajaan Singosari."
"Ah, jadi kau agaknya ingin pula menjadi pengawal? Beranikah kau menghadapi Lembuseta dan Lembusena?"
"Apa bila gusti sinuhun yang menghendaki, tentu saja hamba berani menghadapi mereka berdua," jawab Wisena sederhana.
Mendengar ucapan ini, Jaka Lumping menengok kepada Wisena dengan senyum sindir. Pemuda kurus kering dan pucat ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu? Hah, mencari mampus dia, pikirnya.
"Kau betul-betul berani melawan mereka berdua?"
"Hamba sanggup dan berani, gusti."
Gembiralah sang prabu mendengar ini. Ia memberi tanda kepada Jaka Lumping untuk mengundurkan diri, lalu memberi perintah kepada petugas untuk mencoba dan menguji kedigdayaan pemuda yang baru datang ini dengan Lembuseta dan Lembusena. Kedua raksasa itu harus maju berbareng mengeroyok pemuda itu selama gamelan dimainkan!
"Ramanda prabu...." terdengar Dewi Murtiningsih berkata perlahan, "mengapa keduanya? Bukankah syaratnya maju seorang demi seorang....?"
Mendengar suara puteri ini, Wisena menundukkan kepalanya dengan wajah merah tanpa berani memandang, dan ia berterima kasih kepada puteri yang baik hati itu. Sang prabu tidak menjawab hanya menyuruh Wisena segera memasuki gelanggang, kemudian baru ia berkata kepada puterinya,
"Mengapa, Dewi? Apakah kau merasa kasihan kepada pemuda itu?"
Merahlah wajah Dewi Murtiningsih mendengar ini. "Tidak demikian, ramanda prabu, hanya saja hamba melihat wajahnya pucat dan tubuhnya kurus, seakan-akan baru habis sakit keras. Bagaimana mungkin ia kuat menghadapi keroyokan Lembuseta dan Lembusena?"
Sang Prabu Anusapati tersenyum simpul. "Dewi, tak kau lihat mata pemuda itu? Orang yang memiliki mata setajam itu kurasa takkan mudah dikalahkan, biar oleh Lembuseta dan Lembusena sekalipun!"
Tentu saja Dewi Murtiningsih sudah mengetahui akan si pemuda itu, bahkan ia pernah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja hatinya berdebar penuh kekhawatiran. Juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti yang duduk di belakang Sang Prabu Anusapati memandang dengan penuh perhatian dan khawatir.
Sementara itu, ketika Wisena masuk kedalam gelang-gang hanya sedikit saja orang bertepuk menyambutnya. Sebagian besar orang-orang yang menonton menjadi ragu-ragu ketika melihat seorang pemuda kurus kering dan pucat masuk ke gelanggang pertandingan. Bagaimanakah, seorang muda berpenyakitan ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu?
Empat orang yang gagah dan tinggi besar dengan mudah dirobohkan oleh Lembuseta atau Lembusena, bahkan orang ke lima yang amat gagah tadipun akhirnya kalah oleh Lembusena, bagaimanakah sekarang pemuda ini berani mengajukan diri? Agaknya ia gila, demikian banyak orang berpikir.
Lembuseta dan Lembusena ketika mendapat perintah untuk maju berbareng mengeroyok pemuda itu, saling pandang dengan heran dan mengangkat pundak. Sekali tampar saja agaknya tulang-tulang pemuda itu akan remuk, bagaimana mereka berdua harus maju berbareng?
Terutama sekali para penonton ketika melihat kedua orang raksasa itu maju berbareng, memandang dengan mata terbelalak ke atas panggung. Benar-benarkah kedua orang raksasa itu hendak menghadapi pemuda kurus kering itu bersama? Mereka tak dapat percaya dan memandang dengan melongo, sehingga keadaan menjadi sunyi. Ketika gamelan mulai ditabuh, barulah mereka ribut dan suasana menjadi berisik sekali.
"Tidak adil ah...." terdengar orang berseru. "Ini pembunuhan namanya! Penyembelihan!"
"Tentu ia akan mati di tangan kedua orang raksasa itu!"
Bermacam-macamlah orang bicara, dan kesemuanya merasa kasihan kepada Wisena yang berdiri dengan tenang dan waspada itu. Sesungguhnya tubuhnya masih lemah dan kedua kakinya masih terasa ringan sekali, akan tetapi menghadapi dua orang lawan yang mengerikan ini mendatangkan semangat perjuangannya.
Dadanya mulai terasa panas, mulutnya tersenyum, kegembiraannya timbul kembali dan ia seakan-akan merasa sedang menghadapi dua ekor harimau seperti yang sering kali ia alami ketika ia masih berada di puncak Gunung Anjasmoro. Di gunung itu memang terdapat banyak sekali harimau dan sering kali untuk mencoba kepandaiannya, Wisena sengaja mencari binatang-binatang itu untuk menggodanya.
Setelah berhadapan dengan pemuda itu dan gamelan mulai dipukul, Lembuseta lalu mengayun tangannya menampar kepala Wisena. Ia ingin merobohkan pemuda ini dengan sekali pukul saja, karena betapapun juga perintah dari sang prabu ini membuat ia dan saudaranya merasa terhina dan malu sekali. Bagaimana mereka harus mengeroyok seorang anak-anak kurus kering macam ini?
Agaknya tamparannya itu akan mengenai sasaran, karena Wisena tidak mengelak, akan tetapi setelah telapak tangannya yang selebar kipas itu telah mendekati pipi pemuda itu, tiba-tiba kepala Wisena menunduk dan tamparan itu mengenai angin!
Melihat cara mengelak ini, diam-diam Sang Prabu Anusapati menjadi kagum dan ia lalu menonton dengan penuh kegembiraan. Itulah cara mengelak seorang pendekar yang ahli, pikirnya. Memang, bagi orang yang kurang tinggi kepandaiannya, baru melihat berkelebatnya pukulan saja, sudah buru-buru mengelak atau menangkis!
Tidak demikian dengan seorang ahli silat yang telah pandai. Ia amat tenang dan waspada, dan selalu mengelak atau menangkis apa bila perlu saja dan apa bila pukulan telah mendekati tubuhnya dengan cara mengelak yang cepat, akan tetapi sederhana. Miringkan atau menundukkan kepala saja sudah merupakan cara mengelak yang tepat dan baik, sedangkan tubuh yang diserang, dapat dielakkan dengan hanya melangkah maju atau mundur setindak saja, atau bahkan hanya dengan miringkan tubuh.
Serangan balasannya juga menunjukkan cara seorang ahli. Begitu tangan yang menampar itu lewat di atas kepalanya, tanpa merobah kedudukan kakinya, Wisena mengulur tangan kanan dengan jari terbuka, "memasukkan" tangan itu di bawah lengan lawan dan jari-jari tangannya yang dapat diperkeras bagaikan baja itu menusuk lambung lawannya.
"Ngek!!" dan terjadilah pemandangan yang amat lucu. Lembuseta menekan lambung, berdongak ke atas, lalu tubuhnya berputar-putar dan terdengarlah suara ketawanya meledak terbahak-bahak. Akan tetapi.... benarkah ia tertawa? Bukan, bukan suara tertawa karena diseling dengan keluhan. "Aduh... ha-ha-ha-hah... aduh...."
Ternyata ia bergelak bukan tertawa, akan tetapi terengah-engah setengah menangis. Rasa nyeri yang luar biasa sekali membuat ia sesak bernafas dan mengaduh-aduh.
Saking heran dan terkejutnya, para penonton duduk melenggong, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Ada pula yang menggigit-gigit jari tangannya dengan penuh takjub. Apakah sesungguhnya yang terjadi? Apakah tiba-tiba Lembuseta terserang sakit perut? Demikianlah mereka menduga-duga.
Akan tetapi sesungguhnya bukan demikian. Kalau ada orang yang pernah merasakan betapa sakitnya lambung ditusuk gagang linggis yang tumpul, tentu akan melasai pula penderitaan yang kini dirasakan oleh Lembuseta.
Lembusena agaknya maklum bahwa lawannya ini amat sakti dan tangannya ampuh sekali, maka ia cepat menghampiri saudaranya dan telapak tangannya yang lebar itu lalu di-urut-urutkan dan digosok-gosokkan pada lambung Lembuseta. Berkuranglah rasa sakit itu dan Lembuseta kini memandang ke arah Wisena dengan kagum dan marah.
Akan tetapi Lembusena yang sudah maklum akan ketangguhan lawan, mendahuluinya dan menyerang dengan kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa. Caranya menyerang bertubi-tubi dan bersungguh-sungguh, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu tak mudah dirobohkan. Pantas saja sang prabu menyuruh mereka berdua mengeroyoknya!
Kegembiraan Wisena timbul dan ia lalu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menangkis pukulan lawannya itu. Sebelum ia dapat membalas, Lembuseta telah menyerbu dengan marah karena ia ingin membalas "hadiah" yang diterimanya tadi. Ia maju mencengkeram, ketika dapat dielakkan lawan, ia lalu merangsek maju dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman yang hebat dan berbahaya!
Kini baru terbukalah mata semua penonton dan sorak-sorai gemuruh menyambut pertandingan yang luar biasa ramainya itu. Benar-benar bagaikan dua ekor singa menyerang seekor burung yang amat gesitnya, yang berkelebatan di antara hujan pukulan.
Wisena yang baru sembuh dari sakitnya, menjadi pening juga ketika bergerak-gerak sedemikian cepatnya, maka ia lalu memperlambat gerakannya, mengerahkan aji kekebalannya lalu melompat cepat sehingga tiba-tiba lenyap dari depan kedua lawannya. Lembuseta dan Lembusena yang tiba-tiba kehilangan lawan, saling pandang dengan mata terbelalak.
"Ha, ha, kawan, aku di sini!" tiba-tiba mereka mendengar suara mengejek dan ketika mereka memutar tubun, ternyata pemuda kurus kering itu telah berdiri di belakang mereka!
"Kurang ajar, akan kubeset kulitmu!" seru Lembuseta.
"Kuhancurkan kepalamu!" bentak Lembusena.
Wisena tersenyum, kini kedua pipinya telah merah, lenyaplah kepucatan mukanya. Pertandingan ini benar benar menggembirakan hatinya. Ketika kedua lawannya menyerbu lagi, ia tidak mengelak dan sengaja hendak mencoba sampai di mana kehebatan pukulan mereka!
Lembuseta mengayun kepalan tangannya dan menonjok ke arah dada Wisena. Pemuda itu bertolak pinggang dan menerima pukulan itu dengan dada telanjang. Penonton memeramkan mata karena ngeri.
"Duk!!" Bagaikan seekor gajah menyeruduk dengan gadingnya, pukulan itu mengenai dada Wisena dan mencelatlah tubuh pemuda itu sampai tiga tombak lebih ke belakang! Akan tetapi, ia tidak roboh, dan jatuhnyapun di atas kedua kakinya dalam keadaan berdiri dan masih tersenyum.
la menghampiri kedua lawannya yang berdiri terpaku di tengah gelanggang dan sambil tersenyum ia berkata, "Aduh, kau kuat sekali. Terima kasih atas jotosanmu tadi, lenyaplah rasa pegal-pegal di dadaku!" kata Wisena.
Sementara itu, gegap-gempitalah sorak-sorai penonton yang menyaksikan kehebatan ini. Siapakah yang akan mengiira bahwa pemuda kurus kering itu memiliki kesaktian sedemikian rupa? Akan tetapi, memang ada yang sudah dapat mengira sebelumnya, yakni Sang Prabu Anusapati sendiri. Sri baginda hanya mengangguk-angguk senang dan ia merasa kagum sekali terhadap pemuda dari Gunung Anjasmoro itu.
"Kau sombong, anak muda!" Lembusena membentak dan secepat kilat tangannya diulur menangkap pinggang pemuda itu. Kembali Wisena tidak mengelak dan membiarkan dirinya dipegang, diangkat ke atas kepala raksasa itu, diayun dan diputar-putar sehingga kembali para penonton menjadi gelisah dan merasa ngeri.
"Mampuslah kau!" bentak Lembusena sambil membanting tubuh pemuda itu ke atas lantai. Akan tetapi, yang di banting jatuh berdiri tanpa mengeluarkan suara dan meledaklah pula tampik sorak para penonton.
"Hebat sekali!" seru seorang.
"Ia gagah perkasa seperti dewa, pantas menjadi pahlawan kerajaan!" seru yang lain.
Sementara itu, Lembuseta telah menubruk lagi dan meringkus pemuda itu, dipitingnya, kemudian Lembusena membantu dan mencekik leher Wisena. Tangan dan kaki Wisena telah dipegang dan ditekuk bagaikan sayap dan kaki ayam, lehernya dipiting dan dicekik oleh Lembusena. Agaknya akan tewaslah kali ini pemuda itu.
Akan tetapi selagi semua penonton memandang penuh kengerian, bahkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih juga memandang dengan hati dak-dik-duk penuh kegelisahan, tiba-tiba tubuh Wisena yang agaknya sudah tak berdaya itu bergerak, terdengar seruannya nyaring dan tahu-tahu ia telah terlepas dari ringkusan, berdiri di belakang kedua orang raksasa sambil mentertawakan lawan yang kini saling ringkus itu!
Para penonton bergelak tertawa, sungguhpun mereka tidak mengerti bagaimana pemuda itu dapat melepaskan diri. Sesungguhnya, Wisena telah mengerahkan aji kesaktian Belut Putih sehingga tubuhnya menjadi licin bagai belut dan mudah saja ia meloloskan diri dari ringkusan kedua lawannya.
Ketika memutar tubuh dan melihat betapa pemuda itu mentertawakan mereka, Lembuseta dan Lembusena menjadi marah sekali. Mereka berbareng menubruk maju dan menangkap kedua lengan Wisena, seorang menarik ke kanan, seorang ke kiri. Mereka hendak menyempal bahu pemuda itu, hendak merobek tubuhnya menjadi dua potong. Akan tetapi usaha mereka ini seakan-akan merupakan dua ekor kera hendak mematahkan sepotong besi, karena tubuh Wisena sedikitpun tidak bergeming.
Saking marah dan penasaran, kedua orang raksasa itu lalu mengayun tubuh Wisena beberapa kali, lalu dilontarkannya tubuh itu ke luar panggung! Mereka hendak mengambil kemenangan dengan jalan curang, karena kalau pemuda itu sampai jatuh ke luar panggung, berarti ia telah kalah!
Tubuh Wisena yang dilontarkan sekuat tenaga oleh dua orang raksasa itu, melayang bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Pemuda itu maklum bahwa kalau ia sampai terjatuh di luar panggung, akan sia-sia sajalah usahanya tadi, maka ia lalu berjungkir balik beberapa kali, memutar-mutar tubuhnya dan dapat melayang turun ke atas panggung kembali!
Memang hebat sekali kepandaian ini dan semua orang memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Wisena merasa bahwa sudah cukup kiranya ia memperlihatkan kepandaiannya. Kini tubuhnya terasa segar, kalau tadinya bekas penyakit masih membuat ia merasa pening dan lemah.
Kini seakan-akan tanaman yang sudah lama tidak tersiram air lalu turun hujan, ia merasa tubuhnya sehat dan segar. Pukulan-pukulan dan serangan-serangan Lembuseta dan Lembusena tadi merupakan obat penawar yang manjur, merupakan air dingin yang menyegarkan seluruh tulang dan urat di dalam tubuhnya.
"Lembuseta dan Lembusena, sekarang kalian rasakanlah pukulan Jaka Wisena!" serunya keras sambil menerjang kedua orang lawannya itu.
Lembuseta dan Lembusena menangkis pukulan pemuda itu, akan tetapi saking hebatnya tenaga pukulan Wisena, keduanya sampai terhuyung-huyung ke belakang. Wisena cepat melangkah maju menangkap rambut kepala kedua lawannya itu, mengangkat tubuh mereka dan sekali ia menggerakkan kedua tangannya.
"Dak!" Ia telah membenturkan kedua kepala raksasa itu dengan keras. Untungnya Lembuseta dan Lembusena memiliki kekebalan dan kekuatan luar biasa, kalau orang lain yang diadukan kepalanya seperti itu, mungkin akan muncrat keluarlah benaknya!
Melihat betapa kedua orang raksasa itu tidak roboh karena kepala mereka saling dibenturkan, Wisena kembali mengayun kepalan kedua tangannya sambil mengerahkan aji kesaktiannya.
"Plak! Plak!!" Bagaikan disambar petir rasanya bagi kedua orang raksasa itu ketika tamparan Wisena mengenai pilingan kepala mereka. Pandangan mata menjadi berkunang-kunang dan tubuh terasa lemas dan lumpuh. Wisena lalu menyambar tubuh mereka dengan kedua tangan, berseru nyaring dan membanting tubuh mereka ke atas papan panggung.
"Braak!!" keras sekali suara ini karena papan itu telah jebol dan tubuh kedua orang raksasa itu lenyap dari atas panggung! Ternyata bahwa tubuh kedua orang itu telah membobolkan papan dan menerobos ke bawah, jatuh di atas tanah yang berada di bawah panggung itu.
Tepat sekali pada saat itu, gamelan berhenti berbunyi dan sebagai gantinya, sorak-sorai para penonton dapat terdengar dari tempat berpal-pal jauhnya di sekeliling kerajaan, sehingga orang-orang yang tadinya tidak menonton pertempuran di gelanggang ujian itu, berbondong-bondong datang ke alun-alun karena tertarik.
Dengan girang sekali Sang Prabu Anusapati lalu menerima Wisena yang menghadap dan bersembah sujud dengan hormatnya. "Bagus, Jaka Wisena! Kau patut menjadi pengawal pribadiku! Mulai sekarang, kau ku tambah nama Raden Mas, jadi Raden Mas Jaka Wisena dan tinggallah di dalam keraton mengepalai semua pengawal keraton!"
Wisena menyembah menghaturkan terima kasih dan mulai saat itu, tanpa disadarinya, ia telah menanam bibit kebencian di dalam hari tiga orang, yakni Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping yang hanya diterima menjadi seorang perwira biasa saja!
Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti dengan gembira lalu menghampiri Wisena yang kembali menghaturkan terima kasih kepada mereka. Sang prabu merasa heran ketika melihat betapa kedua orang puteranya telah mengenal Jaka Wisena, dan setelah mendengar keterangan kedua orang puteranya, ia menarik nafas panjang dan makin merasa suka kepada Jaka Wisena yang gagah itu.
Ketika Pangeran Tohjaya kembali ke kota raja dari perjalanannya mencari nama, ia melihat betapa pemuda yang dulu dijadikan tukang kuda di dusun Karangluwih itu telah menjadi pengawal pribadi sang prabu. Ia menjadi marah sekali dan segera pergi menghadap kakandanya.
"Rakanda sinuhun," katanya dengan muka manis, "tanpa rakanda sadari, rakanda telah memasukkan seorang penjahat ke dalam rumah! Sungguh saya merasa prihatin dan khawatir sekali."
Sri baginda memandang kepada Pangeran Tohjaya dengan heran sekali. "Adinda pangeran, apakah sesungguhnya yang adinda maksudkan?"
"Maksud saya bukan lain adalah si Jaka Wisena itu! Dia telah bertemu dengan saya di dusun Karangluwih dan saya beri pekerjaan sebagai tukang merawat kuda."
"Itu hanya menunjukkan bahwa adinda kurang teliti dan awas melihat kecakapan seseorang," sri baginda memotong sambil tersenyum.
Merahlah wajah Pangeran Tohjaya, akan tetapi ia masih jaja memperlihatkan muka manis. "Rakanda sinuhun yang mulia, bukan itulah yang saya persoalkan. Ada yang lebih penting lagi. Ketahuilah, rakanda, bahwa di dusun Karangluwih saya mendapat seorang selir baru, puteri ki lurah yang mengepalai dusun itu. Akan tetapi, dengan amat kurang ajar sekali, Jaka Wisena itu telah berani datang pada malam hari dan hendak mengganggu calon selir hamba itu! Seorang abdi, tukang mengurus kuda, sampai berani berbuat demikian kurang ajar, bukankah ini mencerminkan watak seorang penjahat? Apakah tidak berbahaya kalau sekarang rakanda mengangkatnya sebagai pengawal pribadi?"
Di dalam hatinya, Sang Prabu Anusapati tidak senang dan tidak puas mendengar kelakuan Jaka Wisena ini, akan tetapi di luarnya ia tidak memperlihatkan ketidaksenangannya, bahkan tertawa dan menggoda Pangeran Tohjaya,
"Adinda, sesungguhnya kau sendirilah yang mencari penyakit. Mengapa kau memilih seorang gadis dusun sebagai selir? Itulah kalau orang muda terlalu menurutkan nafsu hati. Gadis dusun jodohnya tentu pemuda gunung, mengapa kau mencari selir di tempat yang begitu jauh? Sudahlah, Jaka Wisena sudah diangkat menjadi pengawal, kita sama-sama lihat saja, kalau memang tidak benar kelakuannya, masih banyak waktu untuk menghukum atau mengusirnya."
Pangeran Tohjaya tersenyum dan merendahkan diri berkata, "Rakanda sinuhun tentu lebih waspada akan hal ini. Saya hanya mengharapkan keselamatan rakanda dan kerajaan. Kewajiban sayalah untuk memberitahukan segala apa yang terjadi, dan selebihnya terserah kepada kebijaksanaan rakanda."
Karena bujukannya untuk menjatuhkan Jaka Wisena pada sri baginda tak berhasil, Pangeran Tohjaya lalu mencari jalan lain untuk mencelakakan Jaka Wisena, atau setidaknya untuk merenggangkan Sang Prabu Anusapati dari pengawal itu. Hal ini amat perlu bagi rencana Pangeran Tohjaya, karena selama sri baginda terjaga atau dikawal oleh pemuda yang didengarnya amat tangguh dan sakti itu, akan makin sukarlah usaha dan rencananya.
Akan tetapi sikap Wisena amat halus, sopan-santun, dan memenuhi segala syarat sehingga tak mudah bagi Pangeran Tohjaya untuk memfitnahnya. Kemudian, pangeran yang cerdik ini dapat mengetahui bahwa Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping dari Belambangan itu menaruh hati dendam kepada Wisena.
Maka ia lalu mendekati ketiga orang gagah ini dan berhasil membujuk mereka untuk menjadi pengikutnya dengan jalan memberi hadiah-hadiah dan harta benda kepada mereka. Dengan jalan ini, maka ia mempunyai tiga orang pembantu yang kuat di sebelah dalam keraton.
Sementara itu, setelah beberapa pekan tinggal di kota raja menjadi pengawal, mendapat tempat tinggal yang indah dan pakaian-pakaian yang mewah, Wisena merasa amat berbahagia. Kesehatannya telah pulih kembali, bahkan kini ia nampak lebih sehat dan lebih tampan. Betapapun juga, pemuda yang semenjak kecil tinggal di gunung dan telah mendapat didikan batin yang amat kuat ini, selalu bersikap sederhana dan tidak menjadi sombong karena kedudukannya yang tinggi. Ia telah menyuruh seorang perajurit memanggil pak Bejo.
Ternyata bahwa pak Bejo dari dusun Karangluwih ini telah menjadi duda, karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit panas. Mendengar penuturan pak Bejo tentang isterinya, yang dilakukan sambil menangis, Wisena merasa terharu sekali. Jarang ia melihat cinta kasih yang demikian besar antara suami isteri, apa lagi yang setua pak Bejo. Diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri untuk mencontoh kebaikan ini dari pak Bejo, hidup rukun dan damai bersama seorang isteri yang setia dan mencinta.
"Pak Bejo, karena kau telah hidup sebatangkara dan akupun demikian, maka kuharap kau suka tinggal di sini bersamaku, menjadi pembantu, penasihat, dan penghiburku."
Pak Bejo merasa girang sekali dan semenjak hari itu ia tinggal di dalam rumah Wisena yang berada di dalam lingkungan tembok pagar yang mengelilingi keraton sri baginda. Karena kakek ini memang lucu, periang, dan pandai membawa diri, maka sebentar saja ia telah dikenal oleh semua orang, bahkan disukai oleh semua bayangkari. Sang Prabu Anusapati sendiri sering kali dibuatnya tertawa oleh kelucuan pak Bejo.
Hubungan Jaka Wisena dengan Pangeran Pati Ranggawuni beserta Pangeran Narasingamurti makin erat saja, demikianpun pada Sang Puteri Dewi Murtiningsih, Jaka Wisena sering kali bertemu muka. Hampir tiap kali ketiga anak muda bangsawan itu pergi berburu, Jaka Wisena tentu mereka ajak bersama.
Bahkan ada kalanya, kalau kedua orang pangeran itu telah merasa lelah dan merasa malas untuk mengantarkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih mencari kembang, mengejar kupu-kupu indah, atau memburu rusa, Wisenalah yang disuruh mengawalnya!
Pada suatu hari, di dalam sebuah hutan yang terletak di sebelah barat kota raja, pada suatu dataran terbuka, Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti sedang bermain pedang, melatih pelajaran ilmu pedang yang mereka pelajari dari Jaka Wisena. Pemuda ini berdiri tak jauh dari situ sambil memberi petunjuk-petunjuk. Karena latihan itu diulang-ulang lagi, Puteri Murtiningsih yang juga berdiri di bawah pohon menjadi bosan.
"Kakangmas Ranggawuni, aku hendak mencari bunga melur di hutan sebelah utara itu, kata orang di sana kembang-kembang melur telah mekar."
Pangeran Ranggawuni menunda gerakan pedangnya dan memandang kepada adiknya. "Ah, Dewi, bukankah di taman belakang keraton banyak tumbuh bunga melur? Mengapa harus mencari jauh-jauh ke hutan yang angker itu?"
"Melur di tamansari tidak seindah melur di hutan itu," jawab sang puteri. "Tidak begitu banyak susunnya dan juga tidak seharum di hutan itu!"
"Kami masih sedang berlatih pedang!" kata Narasingamurti yang masih belum puas berlatih pedang bersama Ranggawuni.
"Tidak apa, kalian berdua berlatihlah, aku tidak minta diantar!!" jawab Murtiningsih sambil cemberut kepada adiknya.
Pangeran Ranggawuni tersenyum melihat adiknya mulai marah dan cemberut. "Sudahlah, Dewi, jangan kau marah. Kalau kau ingin sekali mencari kembang itu, biarlah Wisena mengawal dan mengantarmu, aku dan dimas Narasingamurti masih ingin berlatih pedang di bagian-bagian yang tersulit."
Dewi Murtiningsih berpaling kepada Jaka Wisena dan berkata, "Marilah, Jaka Wisena, kita pergi tak lama, mencari kembang melur di hutan itu!" Ia menunjuk ke utara, lalu menunggang kudanya yang berbulu putih.
"Baik, gusti. Mari hamba iringkan!" jawab Wisena dengan sopan sambil menaiki kudanya pula. Ia tidak merasa malu-malu atau ragu-ragu lagi untuk pergi berdua dengan Dewi Murtiningsih dan juga gadis itu tidak merasa sungkan, karena pemuda ini selalu memperlihatkan sikap amat sopan dan menghormat, sungguhpun Kesopanan dan penghormatan itu ia anggap keterlaluan dan berlebihan serangga membosankannya!
Ketika untuk pertama kalinya Dewi Murtiningsih melihat Jaka Wisena menggeletak sakit dan kelaparan di bawah pohon waringin dalam hutan itu, timbul perasaan iba di aalam hatinya. Kemudian, ketika pada pertemuan kedua kalinya ia menyaksikan kegagahan Wisena yang hebat itu di atas gelanggang panggung pertandingan menghadapi Lembuseta dan Lembusena, timbul perasaan kagum yang besar.
Kalau orang-orang cerdik pandai dan bijaksana pernah menyatakan bahwa perasaan iba dan kagum adalah jalan langsung menuju kepada perasaan cinta kasih maka herankah kita kalau sekarang Dewi Asmara mulai mengutik-utik hati gadis remaja ini?
Akan tetapi ia adalah seorang puteri raja, dan betapapun hatinya telah condong kepada sang bagus yang menjadi pengawal pribadi ayahnya ini, tentu saja ia tidak mau memperlihatkannya. Apa lagi di fihak Jaka Wisena sendiri, nampaknya begitu "pendiam" dan "sopan"!
Perasaan cinta kasih yang bersemi di lubuk hatinya tanpa disadarinya itu, bagaikan kembang anggrek, sungguhpun tertutup di dalam bilik kaca, tetap bersemi dan tumbuh makin besar!
Jaka Wisena juga bukan seorang pemuda yang buta matanya Ia dapat melihat kecantikan yang menggairahkan dari Dewi Murtiningsih, dapat mengagumi kelincahan gadis ini yang dapat menunggang kuda dengan gerakan yang amat cepat dan duduk di punggung kuda dengan tetap dan lurus seperti seorang ahli, yang dapat melepas anak panah dengan kejituan sepuluh kali lepas sembilan kali mengenai sasaran.
Akan tetapi ada dua hal yang membuat pemuda ini mundur teratur dalam hatinya, yang mencegahnya memperlihatkan perasaan kagumnya dari sinar matanya, dan dua hal ini pertama adalah kepatahan hatinya yang timbul karena sikap tidak setia dari Mekarsari sehingga membuatnya kapok untuk bermain-main dengan api cinta yang membakar itu.
Semenjak patah hati, ia mulai berusaha untuk "membenci" wanita yang dianggapnya mempunyai iman lemah dan tidak setia. Hal ke dua adalah kenyataan bahwa ia hanyalah seorang abdi, seorang hamba yang tidak patut dan tidak selayaknya menaruh perhatian terhadap seorang puteri raja yang menjadi junjungannya!
Setelah memasuki hutan yang berada di sebelah utara itu, Dewi Murtiningsih lalu membalapkan kudanya. Kuda putihnya memang amat baik dan dapat berlari cepat, sedangkan dia adalah seorang penunggang kuda yang ahli, maka kudanya meluncur maju bagaikan angin cepatnya.
"Gusti puteri....! Perlahan jalan, jangan terlalu cepat....!" teriak Wisena dengan khawatir karena ia telah mendengar bahwa hutan itu amat angker serta banyak binatang buasnya. Ia membedal kudanya untuk mengejar, akan tetapi kudanya masih kalah cepat larinya.
Sementara itu, ketika Dewi Murtiningsih menoleh dan melihat betapa Jaka Wisena berteriak-teriak dan mengejarnya, timbul kegembiraannya dan ia bahkan mempercepat lari kudanya sambil tertawa-tawa gembira!
"Gusti puteri....! Gusti Dewi.... tunggulah...!" teriak Wisena dan disambungnya dengan bersungut-sungut, "Ah, apakah gadis itu sudah mabok...?”
Kejar-kejaran sambil membalapkah kuda itu sebentar saja membawa mereka tiba di tengah hutan yang amat liar. Tiba-tiba kuda yang ditunggangi oleh Dewi Murtiningsih, ketika tiba di bawah sebatang pohon Lo yang tinggi, meringkik keras dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Gerakan ini hampir saja membuat Murtiningsih terpelanting.
Akan tetapi dara yang ahli menunggang kuda itu cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, menjepit perut kuda dengan kaki dan memegang kendali kuda dengan erat yang ditariknya ke belakang. "Eh, Putih, kenapakah kau?" tegurnya heran.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis keras dari atas dan ketika dara itu cepat menengok, hampir saja ia menjerit kaget. Ternyata bahwa dekat sekali di atas kepalanya tampak bergantungan seekor ular yang luar biasa besarnya! Kepala ular itu dengan sepasang matanya yang liar mengerikan telah berada dekat di atasnya, membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya yang berbentuk keris dan merah.
Belum sempat Dewi Murtiningsih menenangkan hatinya, tiba-tiba ular itu melepaskan belitannya pada cabang pohon dan tubuhnya yang besar dan panjang itu meluncur turun di atas Dewi Murtiningsih! Sungguh mujur bahwa dara bangsawan itu pernah mempelajari ilmu keperwiraan sehingga ia dapat bergerak cepat. Dengan lincah ia lalu membuang diri ke kanan dan menggulingkan tubuhnya dari atas kuda, ketika jatuh di atas tanah, ia lalu bergulingan bagaikan seekor binatang trenggiling.
Kemudian ia melompat bangun dan pucatlah wajah nya ketika melihat betapa ular besar itu telah membelit perut kuda dan kepalanya telah dibuka lebar-lebar untuk mencaplok kepala kuda yang meringkik-ringkik dan meronta-ronta mengenaskan itu.
"Ular jahanam, lepaskan kudaku!!" Darah ksatria dan pengaruh keturunan raja tiba-tiba membuat semangat Dewi Murtiningsih bangkit. Dengan marah dara ini lalu mencabut kerisnya yang kecil mungil, melompat ke dekat kudanya lalu menusuk perut ular itu dengan kerisnya.
"Cep!" keris kecil itu menancap sampai ke gagangnya, akan tetapi mungkin sekali dirasakan oleh ular besar itu bagaikan tusukan sebatang duri pohon randu saja. Buktinya, tanpa menengok, ular itu lalu mempergunakan ekornya yang panjang untuk menyerang gadis itu.
Dewi Murtiningsih tidak keburu mencabut kerisnya, karena tahu-tahu ekor ular itu telah menangkap dan melibat pinggangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Murtiningsih memekik ngeri. Ia merasa jijik, geli, dan juga takut. Dengan kedua tangannya, dipukul-pukul dan ditarik-tariknya ekor ular yang kini menjadi sabuk pada pinggangnya itu. Dengan hati geli ia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh kulit ular yang licin berlendir, kuat dan keras itu. Kembali ia menjerit dan hampir saja ia pingsan karena ngeri dan geli!
Pada saat ular itu agaknya dengan hati senang mempermainkan kuda dan gadis yang meronta-ronta tak berdaya, seperti biasanya tidak hendak menelan korbannya sebelum tewas, datanglah Jaka Wisena yang membalapkan kudanya secepat mungkin. Ia telah mendengar pekik Dewi Murtiningsih dan hatinya berdebar cemas. Alangkah terkejutnya ketika melihat betapa kuda dan gadis itu telah berada dalam libatan seekor ular yang amat besar dan panjang!
"Bedebah!" serunya keras sambil melompat turun dari kudanya yang juga berjingkrak-jingkrak ketakutan melihat ular itu. Dengan gerakan kilat, Wisena melompat ke dekat ular itu sambil mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi. Terlebih dahulu ia menghampiri Dewi Murtiningsih yang masih terbelit oleh ekor ular itu dan sekali ia menggerakkan tangan memegang ekor dan menarik, maka belitan ekor itu terlepas dari pinggang Dewi Murtiningsih yang menjatuhkan diri ke atas tanah sambil menangis!
Ular itu marah sekali ketika merasa betapa sepasang tangan yang kuat telah memaksa ekornya melepaskan belitan, maka kini ekor itu cepat menyerang dan membelit tubuh Wisena dengan eratnya! Akan tetapi Wisena yang terbelit pinggangnya itu, tidak memperdnlikan hal ini bahkan ketika ia bergerak main, ekor itu tak damt nienahannya dan ikut pula terbawa. Wisena lalu menusukkan kerisnya ke arah perut ular itu.
Bukan main akibatnya tusukan keris ampuh ini. Bagaikan cacing terkena abu, ular itu bergerak-gerak menggila, menggeliat-geliat dan terlepaslah kuda putih dari belitannya sehingga kuda itu dapat meringkik sambil melarikan diri. Sebagai kuda yang terpelihara baik-baik dan sudah jinak, kuda ini menghampiri Dewi Murtiningsih dan berdiri di belakang gadis itu, seakan-akan minta perlindungan!
Kini ular itu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda yang telah menyakitinya itu. Kepalanya menghadapi Wisena, dan kepala ini mengkilat seakan-akan baru diminyaki. Kemudian dengan gerakan cepat sekali ia menyerang Wisena dengan mulut terbuka lebar-lebar. Wisena trengginas mengelak ke kiri dan sekali saja kerisnya diayun, maka menancaplah keris pusaka Ki Dentasidi itu ke leher ular tadi. Dicabutnya kembali kerisnya dan WTisena melompat ke belakang.
Keris pusaka Dentasidi ternyata telah memperlihatkan kesaktian dan keampuhannya. Setelah tertusuk lehernya sampai hampir tembus oleh keris sakti itu, lemaslah tubuh ular itu. Kepalanya terletak di atas tanah dan lehernya mengucurkan darah, sedikitpun tak dapat bergerak lagi, hanya tubuh dan ekornya saja yang masih hidup, menggeliat-geliat lemah.
Ketika Jaka Wisena menghampiri Dewi Murtiningsih yang masih menangis, ia berkata, "Gusti Dewi... sudahlah jangan menangis, bahaya telah lewat..."
Tiba-tiba sang puteri berdiri, memandang kepada Wisena dengan mata basah, dan ditubruknyalah pemuda itu sambil mengeluh, "Ah... Wisena...!"
Melihat gadis itu memeluk pinggangnya dan menjatuhkan jidat pada dadanya, Jaka Wisena melenggong. Ia merasa betapa sepasang lengan yang halus dari dara itu merangkul pinggangnya, seperti belitan ular tadi. Tiba-tiba ia bergidik dan teringatlah ia kepada Mekarsari.
"Semua wanita durjana belaka, tak seorangpun dapat dipercaya.... palsu, cinta palsu..." demikianlah bisik hati Wisena yang masih terluka. Dengan perlahan ia memegang kedua pundak gadis itu sambil menundukkan kepalanya dengan maksud hendak mendorong gadis yang memeluknya sambil menangis itu.
Akan tetapi, ketika kedua tangannya menyentuh pundak yang halus lunak itu, ketika mukanya yang ditundukkan membuat hidungnya menyentuh sebagian rambut kepala Murtiningsih yang harum dan sedap, ketika ia merasa betana air mata gadis itu hangat-hangat panas membasahi kulit dadanya, seakan-akan merembes masuk dan mengobati hatinya yang terluka, tangannya tak kuasa mendorong tubuh gadis itu, sebaliknya bahkan lalu ditariknya makin dekat, didekapnya tabuh itu dengan kasih sayang yang meluap-luap!
Alangkah lamanya ia menderita dan rindu, rindu akan cinta kasih seorang wanita, rindu akan seseorang yang memberi cinta kasih kepada seorang yatim-piatu seperti dia! Untuk sesaat didekapnya kepala itu, dibelai-belainya rambut yang halus itu dengan pipi dan bibirnya, disedotnya keharuman yang memabokkan itu sehingga masuk ke dalam dadanya bagaikan air embun yang menyegarkan kembali akar-akar hatinya yang mengering.
"Dewi....." bisiknya perlahan di dekat telinga kiri gadis itu, "Dewiku...! Akan tetapi, tiba-tiba cahaya terang mengembalikan ingatannya dan terbayanglah kembali ketidak-mungkinan dan ketidak-layakan, dan hal ini membuat ingatannya sadar kembali. Didorongnya perlahan tubuh itu terlepas dari pelukannya.
"Tak mungkin..... janganlah kita terbawa oleh arus yang berbahaya ini, gusti puteri.... jangan! Aku tak sanggup menerima pukulan kenyataan.... ini hanya impian kosong.....!"