Keris Maut Jilid 06

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo. Keris Maut Jilid 06
Sonny Ogawa

Keris Maut Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - DEWI MURTININGSIH melangkah mundur dua tindak dan memandang kepada pemuda itu dengan mesra. "Jaka Wisena.... pantaskah bagi seorang ksatria untuk mengingkari suara hatinya sendiri? Beranikah kau bersikap palsu, mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan bisikan hatimu sendiri? Wisena, terus terang saja, tak perlu kusembunyikan lagi bahwa kaulah teruna yang selama ini telah menggoncangkan imanku, kaulah pahlawan hatiku....."

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

Merahlah wajah gadis itu karena mulutnya tanpa dapat dikendalikan lagi telah mengucapkan bisikan hatinya, akan tetapi ia segera menekan perasaan malu ini. Ia mencintai pemuda ini, cinta yang tulus ikhlas dan suci.

"Gusti puteri, bagaimanakah ini...? Ingatlah, aku hanya seorang abdi, seorang pengawal, sedangkan kau... kau puteri gusti sinuhun.... apakah harapanku?"

"Wisena, tak perlu hal itu diperbincangkan, yang terpenting jawablah, apakah salah dugaanku bahwa kau mencintaiku? Cinta seorang pria terhadap seorang wanita?"

"Ampun, gusti puteri, apakah yang dapat kukatakan? Mulutku akan terkutuk dan aku akan mengkhianati junjunganku apa bila aku membohong mengucapkan suara hatiku.... akan tetapi.... mungkinkah seekor gagak mencintai seekor burung cendrawasih?"

Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tersenyum manis sehingga nampaklah dua baris giginya yang putih bagaikan mutiara dirangkai, ''bodoh, bodoh dan canggung! Laki-laki tahan tapa, ksatria perkasa yang lemah!" ia maju dan memegang tangan Wisena. "Kau bukan seekor burung gagak dan akupun bukan seekor burung cendrawasih! Kau seorang manusia, demikianpun aku! Apakah artinya keturunan raja atau bukan? Pangkat dan harta hanya pakaian belaka! Siapakah yang dapat memperbedakan kerangka seorang raja dan seorang petani? Apakah bedanya hawa yang sama-sama kita isap dan yang menjadi nafas penghidupan kita? Ah, perjaka bodoh yang katanya telah mempelajari segala ilmu! Demikian rendahnyakah pandanganmu terhadapku sehingga menganggap aku tidak mengerti tentang prikemanusiaan? Kita sama-sama manusia, kau pria dan aku wanita, kita sama-sama mencinta, apakah lagi halangannya?"

Jaka Wisena memeramkan kedua matanya. Ucapan ini benar-benar menikam ulu hatinya dan membuatnya amat terharu sehingga ketika ia membuka matanya kembali, dua titik air mata turun di atas pipinya. Tak terasa pula ditariknya tangan dara itu dan kembali Dewi Murtiningsih berada dalam pelukannya.

"Aduhai Dewi.... Dewiku....! Kau benar-benar seorang dewi dari kahyangan, pembawa sinar terang dalam kegelapan hatiku! Alangkah suci dan murni segala kata kata yang mengalir keluar dari bibirmu yang indah. Kau mustika jagat raya, yang termulia di antara semua wanita...! Tak kusangka akan sebesar ini anugerah Dewata kepada seorang hambaNya yang hina dan papa seperti Jaka Wisena!"

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada Wisena, Dewi Murtiningsih berbisik perlahan, "Kangmas Wisena... kau pahlawanku, pujaan kalbuku.... teruna yang pandai merendahkan diri, menyembunyikan keagungannya, akan tetapi mataku tidak buta, teja yang bercahaya dari tubuh dan kepalamu nampak terang olehku.... kau sederhana dan selalu merendahkan diri, akan tetapi hal itu bahkan mempertinggi derajatmu dalam pandangan mataku...."

Untuk sesaat kedua orang muda itu tenggelam dalam alunan ombak asmara, terbuai dan terayun tinggi membubung ke sorga ke tujuh.

"Gusti puteri...!"

"Hush.... di tempat ini, jauh dari orang lain, aku tidak sudi mendengar sebutan gusti puteri dari mulutmu. Sudah jemu aku mendengar setiap hari kau menyebut gusti, gusti, gusti...."

Wisena tersenyum dan jari-jari tangan kirinya mempermainkan dan membelai ujung rambut Dewi Murtiningsih yang terurai kusut di atas alisnya yang kecil panjang dan hitam.

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada Wisena, Dewi Murtiningsih berbisik perlahan, "Kangmas Wisena... kau pahlawanku, pujaan kalbuku... teruna yang pandai merendahkan diri...."

"Dewi.... diajeng Dewi...."

Merdu sekali sebutan ini bagi Murtiningsih sehingga sambil meramkan matanya, ia menjawab lirih, "Hmmm....?"

"Aku sudah yakin betul akan kemurnian cintamu, akan kesetiaan batinmu, akan kebijaksanaan pandanganmu. Akan tetapi.... bagaimana dengan ramandamu.... gusti sinuhun? Apakah beliau takkan marah kalau melihat kau dan aku.... apakah beliau takkan menganggap aku sebagai seorang abdi yang murtad dan mendatangkan cemar dan hina....?"

Tiba-tiba Murtiningsih merenggutkan kepalanya, membalikkan tubuh dan menghadap pemuda itu. Bukan main kagumnya hati Wisena ketika ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan api.

"Apa......? Siapa yang hendak merenggut cintaku? Biar ramanda prabu sendiri, tak berhak menghancurkan kebahagiaanku, tak berhak meruntuhkan jembatan yang akan membawa aku kepada kebahagiaan! Kalau beliau misalnya hendak menghalang-halangi, aku... aku bersedia lari minggat bersamamu!"

"Dewi....." kata Wisena terharu, "percayalah, aku cinta padamu. Aku bersumpah hendak membelamu sampai nafas terakhir! Aku akan melindungimu dari siapapun juga, dan kalau perlu aku akan mengorbankan jiwa ragaku untukmu!”

"Kangmas Wisena....!” serunya lirih.

Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan tangan, kembali ke hutan di mana tadi kedua orang pangeran berlatih pedang. Tangan mereka yang sebelah lagi menuntun kendali kuda.

"Eh, Dewiku, bagaimana dengan kembang itu?”

"Kembang?" Dewi menengok dan memandang heran. "Kembang apa yang kau maksudkan?"

Wisena tersenyum geli. "Sudah lupakah kau akan kembang melur yang hendak kau cari? Untuk apa kita datang ke hutan ini?"

Merahlah wajah puteri itu, baru sekarang ia teringat. Akan tetapi, ia menjawab sambil mengerling manis. "Kembang melur? Aku sudah memetik kembang yang lebih indah dari pada segala melur, aku sudah memetik kembang Wijayakusuma, raja sekalian kembang, dari taman hatimu dan sudah ku tanam dalam taman hatiku!"

"Ah, Dewi, kau memang nakal....!“

Demikianlah, sambil bersendau-gurau penuh kebahagiaan, kedua orang muda itu kembali ke hutan pertama di mana mereka mendapatkan kedua pangeran itu telah duduk beristirahat.

"Ah, lama amat kalian mencari kembang. Di mana kembang melur itu, Dewi?" tanya Pangeran Pati Ranggawuni.

Biarpun Dewi Murtiningsih berusaha menyembunyikan perasaannya, namun wajahnya nampak merah. "Kembang? Enak saja kau bicara tentang kembang, kakangmas Ranggawuni. Hampir saja adikmu ini memetik kembang di dalam perut ular!"

"He?? Apa maksudmu, Dewi?"

Dewi Murtiningsih lalu menceritakan betapa ia diserang oleh seekor ular besar sekali dan betapa ia diselamatkan oleh Jaka Wisena. Terkejutlah kedua orang pangeran itu mendengar cerita ini.

"Hm, untung ada Jaka Wisena! Kalau tidak, bagaimana jadinya dengan nasibmu? Maka, lain kali kau percayalah kepada orang tua, dan jangan menurut kemauan sendiri!" Pangeran Ranggawuni menegur.

"Baiklah, eyang!" Dewi mengejek. "Cucu akan memperhatikan segala petuah eyang."

"Eh, eh, apa pula ini?"

"Bukankah kakangmas tadi mengatakan bahwa aku harus mendengar dan percaya kepada orang tua, kalau kakang mas sudah tua, lebih pantas disebut eyang!”

Semua orang tertawa karena kejenakaan ini dan kedua orang pangeran xlu lalu mengucapkan terima kasih kepada Jaka Wisena yang telah menolong puteri itu. Kemudian kembalilah keempat orang muda itu ke kota raja.

Semenjak perpaduan kasih di dalam hutan itu, Jaka Wisena dan Dewi Murtiningsih sering kali mengadakan pertemuan, baik di waktu mereka bersama kedua orang pangeran berburu di hutan, maupun di tamansari belaKang Keraton yang indah itu.

Sudah menjadi lazimnya apa bila orang muda sedang dibuat oleh kasih asmara, selalu berkurang kewaspadaannya. Sehari saja tak melihat wajah kekasih hati, seakan-akan kosong dunia ini, sehari menjadi setahun, sepekan serasa sewindu!

Kalau sudah bertemu muka, walau hanya saling memandang, saling bertukar senyum dan pandang mata yang mesra, sudan terobatlah rindu dendam, biarpun pertemuan itu tidak pernah dikotori oleh pelanggaran-pelanggaran susila. Alangkah mesra dan sucinya cinta asmara orang-orang muda beriman tinggi, dan alangkah bodohnya orang-orang muda yang tenggelam ke dalam madu asmara!

Demikian pula Wisena dan Dewi Murtiningsih. Mereka tidak pernah mengira bahwa ada sepasang mata yang selalu mengintai dan melihat pertemuan-pertemuan mereka itu dengan mata bernyala namun mulut tersenyum penuh dendam. Inilah mata dan mulut Pangeran Tohjaya yang hendak menjalankan siasatnya dengan bantuan hubungan antara sepasang kekasih ini.

"Rakanda sinuhun, sebelumnya saya mohon ampun sebanyaknya apa bila saya berani datang membawa berita yang amat buruk dan akan membuat hati rakanda menjadi berduka dan marah," demikian kata-kata berbisa yang diucapkan oleh Pangeran Tohjaya kepada Sang Prabu Anusapati.

Sri baginda memandang wajah adiknya dengan hati tak enak. "Adinda pangeran, berita apakah gerangan itu? Lekas beritahukan kepadaku, tak nanti aku akan marah kepada adirida, karena pembawa berita, baik berita buruk atau baik, sesungguhnya telah berjasa bagi pendengarnya."

"Rakanda, ternyata Dewata telah menjatuhkan hukuman yang merupakan penghinaan dan kecemaran kepada keluarga kita. Apa hendak dikata, bukan saya tidak mencintai keponakan, akan tetapi karena ada orang luar yang berani melemparkan hinaan kepada kita, terutama sekali kepada rakanda, terpaksa saya harus melaporkan hal ini. Harap jangan kaget, rakanda sinuhun, telah beberapa kali saya melihat sebuah peristiwa yang amat memalukan di tamansari. Kalau baru melihat sekali dua kali saja, saya takkan berani melaporkan hal ini, karena khawatir kalau-kalau mata saya yang salah lihat- Akan tetapi, ternyata saya bukan bermimpi atau melamun dan peristiwa itu terjadi dengan sesungguhnya seperti pertemuan antara kita sekarang ini!"

"Katakanlah, adinda, jangan ragu-ragu. Peristiwa apakah itu?" Hati sri baginda makin gelisah.

"Ampun, rakanda. Berat mulut saya mengatakannya, akan tetapi kalau rakanda memaksa, apa boleh buat! Si keparat Jaka Wisena itu, yang semenjak dulu telah saya curigai, ternyata sekarang mendatangkan malapetaka kepada keluarga kita. Dia telah mengulangi perbuatannya di Karangluwih dahulu, dan kalau dahulu ia hanya mencoba untuk menggoda calon selir saya dan percobaannya itu tidak berhasil, kali ini ia telah berhasil menggoda hati puterinda sendiri, Dewi Murtiningsih!"

"Apa katamu?" bentak Sang Prabu Anusapati dengan geramnya.

"Sesungguhnya, rakanda," kata Pangeran Tohjaya, "saya sendiri hampir tak dapat mempercayai mata saya yang melihatnya. Telah beberapa kali, di waktu malam hari, puterinda Dewi Murtiningsih mengadakan pertemuan dengan si keparat Jaka Wisena di dalam tamansari."

"Jahanam.....!"

"Jangan marah dulu sebelum menyaksikan sendiri, rakanda. Lebih baik malam hari ini saya mengadakan pengintaian dan apa bila benar-benar mereka mengadakan pertemuan lagi, akan saya beri tahu kepada rakanda sinuhun agar dapat menyaksikannya sendiri!"

Sang prabu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya, karena kemarahan membuat ia tak kuasa mengeluarkan suara.

Malam hari itu, terang bulan dan indah sekali pemandangan di dalam tamansari. Seperti biasa, karena pada hari itu Wisena tidak berkesempatan bertemu muka dengan Dewi Murtiningsih, kedua orang muda ini mengadakan pertemuan, duduk bersanding di atas bangku di tamansari, bicara berbisik-bisik dengan penuh perasaan cinta yang makin hari makin berakar kuat di dalam hati masing-masing.

Alangkah terkejut hati mereka ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Keparat Jaka Wisena! Kau sungguh seorang manusia tidak mengenal budi!"

Jaka Wisena melompat bangun dan dengan tubuh menggigil ia menghadap Sang Prabu Anusapati dan Pangeran Tohjaya.

"Hm, kalau memang pada dasarnya biadab, setelah menerima anugerah dan pangkat, tetap saja masih memperlihatkan kebiadabannya! " kata Pangeran Tohjaya.

"Keparat tak tahu malu, kau sungguh mencemarkan nama Kerajaan Singosari! "Dewi....! Tidak malukah engkau? Patutkah seorang puteri keturunanku bertindak melanggar susila seperti ini? Berkasih-kasihan dengan seorang rendah budi, dengan seorang pemuda gunung, seorang keturunan sudra!"

"Ramanda!” Tiba-tiba Dewi Murtiningsih yang tadinya juga tunduk penuh rasa malu dan takut itu, kini berdongak dengan wajah pucat memandang ayahnya, sikapnya seakan-akan seorang pahlawan menghadapi lawannya. "Jangan ramanda menuduh yang bukan-bukan! Pertemuanku dengan Jaka Wisena adalah pertemuan yang bersih dan sama sekali kami tak melanggar susila. Kami saling mencinta, itu betul, dan apa salahnya itu? Hendaknya ayah, dan terutama paman pangeran, jangan merendahkan nama kakangmas Wisena di hadapanku, karena apakah arti keturunan dan derajat seseorang? Hendaknya diingat, kita semua ini keturunan siapakah? Apakah para raja itu keturunan Dewata? Bukan, hanya keturunan manusia juga, dan belum tentu nenek moyang kitapun tadinya seorang raja!”

Bagaikan ditampar oleh tangan yang tak nampak rasanya wajah sri baginda dan Pangeran Tohjaya. Alangkah beraninya anak ini, memperingatkan mereka bahwa Ken Arok pun tadinya bukan seorang keturunan raja, bahkan seorang pencuri, perampok, dan penjudi dari keturunan rendah saja!

Meluaplah amarah di dalam dada Pangeran Tohjaya, keturunan langsung dari Ken Arok. Dicabutnya kerisnya dan dengan sebuah terkaman buas, ia menyerang Jaka Wisena dengan kerisnya, menusuk dada pemuda itu. Akan tetapi Jaka Wisena tidak mengelak, hanya mengerahkan aji kekebalannya karena ia melihat bahwa keris itu hanya senjata biasa saja.

"Tak!" ketika keris itu menusuk dada Wisena, keris itu patah menjadi dua!

"Wisena, jangan kau memperlihatkan kesaktianmu untuk menyombong di hadapanku!" teriak sri baginda dan bagaikan kilat cepatnya, tangan sri baginda mencabut keris Margapati ciptaan Empu Gandring, lalu ia melompat dan menyerbu Jaka Wisena!

Melihat keris yang bercahaya itu, gentarlah Wisena. Ia dapat mengenal bahwa inilah keris yang diceritakan oleh Begawan Jatadara, inilah keris pusaka Empu Gandring yang telah kena kutuk menjadi algojo keturunan Ken Arok! Wisena tentu saja tidak berani menyambut keris ini dan iapun lalu menghunus kerisnya, Ki Dentasidi, juga buatan empu Gandring.

Hanya keris ini saja yang dapat menandingi kesaktian keris Margapati itu, maka ketika kedua senjata itu bertemu, berpijaranlah bunga api menyilaukan mata. Sri Baginda Anusapati terkejut sekali dan heran bagaimana keris pemuda itu dapat melawan keris pusaka Empu Gandring.

Sementara itu, Wisena tidak ingin melawan terus serangan raja yang dijunjungnya tinggi dan bahkan menjadi ayah dari kekasihnya itu, akan tetapi iapun tidak mau meninggalkan kekasihnya begitu saja. Maka ia lalu berkata, "Gusti sinuhun, ampunkanlah hamba!"

"Keparat, pengkhianat, pengacau! Kau mengotori keagungan namaku dan Kerajaan Singosari!" kata Sang Prabu Anusapati sambil menyerang lagi.

Akan tetapi dengan mudah Wisena mengelak dan menjawab, "Paduka kelak akan membuktikan sendiri bahwa hamba bukanlah pengkhianat. Hamba tetap setia kepada paduka dan Kerajaan Singosari!"

"Bedebah, rasakan hukumanku!" kembali raja yang marah itu menyerang, akan tetapi kepandaiannya bermain keris bukanlah lawan Wisena yang gagah perkasa.

Dengan sekali lompatan, pemuda itu telah berkelebat ke dekat Dewi Murtiningsih dan cepat ia menyambar pinggang kekasihnya lalu dibawa melompat cepat, menghilang di dalam bayangan pohon-pohon!

Bukan main marahnya hati sri baginda dan sejak hari itu, ia nampak berduka saja. Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti yang mendengar tentang larinya Dewi Murtiningsih dan Wisena, hanya saling pandang dan menarik nafas panjang. Mereka menghibur ramanda mereka sedapat mungkin dan bahkan berjanji hendak mencari dan menangkap Wisena, akan tetapi sri baginda bahkan menjadi marah dan tidak mau melihat muka Dewi Murtiningsih lagi!

Tohiaya tersenyum girang telah dapat melenyapkan Wisena dari dalam keraton, karena pemuda yang perkasa itu merupakan batu penghalang terbesar bagi rencananya. Ia lalu mendekati sri baginda, menghiburnya dan karena maklum akan kesukaan sri baginda mengadu ayam, ia lalu sengaja mencari ayam jago yang baik dan kuat, lalu dibawanya ayam jago itu ke hadapan sri baginda.

"Rakanda sinuhun, lihatlah, saya telah mendapatkan seekor ayam jago yang telah mengalahkan ratusan ekor jago-jago dari timur dan barat!"

Sn baginda memang suka sekali kepada ayam jago, dan melihat ayam itu ia tersenyum, meraba-raba ayam itu, memeriksa patuknya yang kuat, cenggernya yang telah dipotong pendek, menghitung jumlah bulu sayapnya, memeriksa kaki dan jalu yang kering itu dan berkata,

"Jago baik," katanya mengangguk-angguk, "akan tetapi takkan dapat mengalahkan Si Wadung (Kampak)!" Sri baginda memang mempunyai seekor ayam jago yang diberi nama Si Wadung dan yang tersohor sebagai ayam jago tanpa tanding dan yang terkuat di seluruh Singosari.

"Begitukah pendapat rakanda?" kata Tohjaya sambil tersenyum menantang. "Kalau begitu, mari kita mengadu mereka, hendak kita lihat mana yang lebih kuat!"

Sri baginda menjadi gembira. "Tiga kali tladungan saja ayam ini akan tewas!"

"Boleh kita lihat saja, rakanda. Ayam inipun ayam pilihan!"

Maka dipanggillah pak Bejo oleh Sang Prabu Anusapati karena pak Bejolah yang diberi tugas merawat ayam jago itu. Kemudian mereka berdua, diiringkan oleh pak Bejo, lalu menuju ke lapangan adu ayam yang memang tersedia di kebon belakang.

Pak Bejo memegang Si Wadung, sedangkan Pangeran Tohjaya memegang ayam jagonya sendiri. Sebelum kedua ayam jago itu dilepas, sambil tersenyum Pangeran Tohjaya berkata kepada Sang Prabu Anusapati, "Rakanda sinuhun, Saya tahu bahwa Si Wadung itu selalu menang karena rakanda mengagem (memakai) keris pusaka itu. Kalau sampai ayam jago saya ini kalah, maka kekalahannya bukan hal yang mengherankan karena rakanda sekarang juga mengagem keris pusaka."

Sang Prabu Anusapati yang matanya telah berseri gembira menghadapi ayam jagonya yang akan bertarung, tertawa bergelak. "Ha, ha, Tohjaya! Kau ini ada-ada saja, ucapanmu itu hanya alasan bagi kekalahan ayam jagomu."

"Tidak, rakanda. Kalau selama pertandingan ini, keris pusaka itu saya bawa, tentu jago saya akan menang!"

"Apa salahnya? Boleh, boleh, mari kau bawa pusakaku dan kita lihat apakah benar-benar ayam jagomu akan dapat menangkan Si Wadung!" Sambil berkata demikian, sri baginda mengeluarkan keris pusaka Empu Gandring berikut warangkanya dan memberikannya kepada Pangeran Tohjaya.

Kedua ayam jago itupun dilepaslah dan pertarungan hebat dimulai! Si Wadung benar-benar ayam jago yang kuat dan gesit sekali. Bertubi-tubi jalunya yang panjang menghantam lawannya sehingga kegembiraan Sang Prabu Anusapati memuncak. Ia tertawa-tawa dan memegang perutnya menahan geli hatinya tiap kali jagonya dapat memukul jago Pangeran Tohjaya yang mulai terhuyung-huyung dan mandi darah pada jenggernya.

"Ha, ha, ha! Lihat, adinda, lihat... sebentar lagi jagomu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi! Ayo, Wadung, habiskanlah musuhmu! Ha, ha, ha!"

Sri baginda tidak melihat betapa Pangeran Tohjaya mendekatinya dengan pandang mata beringas. Juga pak Bejo yang ikut bergembira melihat jago pemeliharaannya menang, tidak melihat gerakan Pangeran Tohjaya itu. Tiba-tiba Pangeran Tohjaya mencabut keris pusaka Empu Gandring dan secepat kilat ia menusuk sri baginda!

"Cep....!!" Keris pusaka Empu Gandring tak dapat dielakkan lagi menancap di ulu hati Sang Prabu Anusapati yang menjerit dan terhuyung-huyung lalu roboh di atas tanah dengan keris masih tertancap pada dadanya.

"Pengkhianat....!" tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Jaka Wisena melompat turun dari atas dinding pagar, langsung menampar kepala Pangeran Tohjaya yang mencelat bergulingan di atas tanah bagaikan disambar petir. Jaka Wisena lalu lari menghampiri Sang Prabu Anusapati yang masih belum tewas.

Melihat pemuda itu berlutut di dekatnya, Prabu Anusapati menggerakkan bibirnya dan berbisik, "Jaka Wisena.... aku ampunkan kau.... kawinlah dengan Dewi... kau benar... bukan kau pengkhianat.... lindungilah putera-puteraku.....” Dan dengan ucapan terakhir ini tewaslah Sang Prabu Anusapati.

Dengan amarah meluap-luap Jaka Wisena lalu mencabut keris pusaka Empu Gandring yang menancap di ulu hati sri baginda itu, lalu berdiri dan memandang ke arah Pangeran Tohjaya dengan mata berapi.

Akan tetapi, pada saat itu datang para pengawal dan beberapa orang senapati, dikepalai oleh Jaka Lumping, Lembuseta dan Lembusena, berlari-lari datang karena mendengar jerit sri baginda, dan juga karena ketiga orang itu terlebih dahulu telah mendapat kisikan dari Pangeran Tohjaya.

Melihat datangnya orang-orang itu yang di antaranya bukan kaki tangannya, Pangeran Tohjaya lalu merangkak bangun aan menudingkan jarinya ke aran Wisena sambil berseru, "Pembunuh....! Dia telah membunuh sri baginda!”

Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping dengan senjata di tangan menyerbu dan menyerang Wisena dari tiga jurusan. Mereka ini memang menanti-nanti kesempatan baik dan kini mereka menerjang dengan nafsu membunuh!

Bukan main marahnya Wisena. ia maklum bahwa Pangeran Tohjaya memfitnahnya dan bahwa tiga orang ini telah diperalat oleh pangeran itu untuk membunuhnya. Dengan tenang, akan tetapi cepat, ia lalu mempergunakan keris pusaka Empu Gandring yang tadi menewaskan nyawa sri baginda untuk menangkis dan membalas dengan serangan yang tak kalah ganasnya.

Keris pusaka itu memang ampuh dan sakti sekali, maka begitu tertangkis, keris di tangan Jaka Lumping terlempar dan sebuah pukulan tangan kiri yang amat ampuh telah mampir di pangkal telinganya. Jaka Lumping berteriak ngeri dan tubuhnya terjengkang, roboh tanpa dapat bangun lagi karena ia telah menjadi pingsan!

Bingung juga Lembuseta dan Lembusena menyaksikan kegagahan ini, akan tetapi Wisena tidak memberi kesempatan kepada mereka dan sekali kerisnya terayun, terlepas pula senjata golok kedua raksasa itu. Seperti dulu, Wisena menjambak-rambut Lembuseta dan ketika Lembusena maju, ia membenturkan kepala mereka dengan sekerasnya sehingga mereka jatuh bergulingan sambil mengaduh-aduh! Akan tetapi pada saat itu datang rombongan perajurit dan luar!

Wisena terkejut sekali, dan ia hendak mengamuk, akan tetapi ia teringat akan pesan pamannya bahwa ia tidak boleh melibatkan dirinya ke dalam peristiwa bunuh-membunuh antara keturunan Ken Arok ini. "Tohjaya, manusia berhati curang! Kelak akan tiba masanya kau menyesali perbuatanmu yang terkutuk ini!" Sambil berkata demikian, Wisena lalu melompat ke atas dinding pagar dan melenyapkan diri, dikejar oleh para pengawal.

"Bukan dia...." tiba-tiba pak Bejo berdiri dan berkata dengan suara gemetar. "Bukan Jaka Wisena yang melakukan pembunuhan, akan tetapi Pangeran Tohjaya yang membunuhnya... aku melihatnya dengan...."

Tiba-tiba Pangeran Tohjaya melompat dan sekali pukul saja terlemparlah tubuh pak Bejo, Kepalanya pecah! Pak Bejo tewas pada saat itu juga dan ayam jago Si Wadung yang tadi telah dipegang oleh pak Bejo, berkeok-keok lari dari situ.

"Orang tua ini adalah kawan jahanam Wisena, tentu saja ia membantu penjahat itu! Ayo cari penjahat itu sampai dapat!!"

Jaka Wisena semenjak melarikan diri dengan Dewi Murtiningsih memang tidak lari jauh dan hanya bersembunyi di luar kota. Akan tetapi ia masih sering kali diam-diam masuk ke kota raja untuk mengamat-amati sri baginda dan menjaga keselamatannya. Sayang sekali kedatangannya terlambat sehingga sang prabu telah dapat ditewaskan oleh Pangeran Tohjaya yang dibencinya itu.

Setelah dapat melarikan diri dari kebun belakang, Wisena cepat mencari Sang Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti. Kebetulan sekali kedua orang pangeran ini sedang berburu di hutan sekalian mencari jejak Wisena yang melarikan diri dengan Dewi Murtiningsih. Maka Wisena lalu cepat menunggang kuda menyusul kedua orang putera raja itu.

Ketika kedua orang pangeran itu melihat kedatangan Wisena, mereka memandang marah dan dengan muka merah telah siap untuk memaki dan menegurnya, akan tetapi mereka didahului oleh Wisena,

"Gusti pangeran, cepat! Ayo melarikan diri bersama hamba....”

Mendengar ucapan ini dan melihat betapa pemuda itu berwajah pucat dan nafasnya terengah-engah, kedua orang pangeran itu terkejut sekali. Dengan singkat Wisena lalu menuturkan peristiwa pembunuhan atas diri sri baginda yang dilakukan oleh Tohjaya itu.

Menangislah kedua orang pangeran itu dan mereka lalu dibawa pergi oleh Jaka Wisena ke tempat persembunyiannya, di mana mereka bertemu dengan Dewi Murtiningsih. Bertangis-tangisanlah keempat orang itu, menangisi kematian Sang Prabu Anusapati.

"Kita harus membalas dendam! Tak dapat kubiarkan saja jahanam Tohjaya itu membunuh ramanda dan merampas kedudukan di Singosari!"

Wisena lalu mengeluarkan keris pusaka Empu Gandring dan berkata, "Terimalah pusaka ini, Gusti Pangeran Ranggawuni. Keris inilah yang telah dipergunakan oleh Tohjaya untuk membunuh sang prabu, dan keris ini pulalah yang telah menewaskan Sang Prabu Ken Arok. Keris ini pula yang menewaskan Tunggul Ametung, eyang Empu Gandring dan kedua orang tuaku!"

Terheranlah kedua orang pangeran itu mendengar ucapan ini. Dewi Murtiningsih yang telah mengetahui dari kekasihnya akan riwayat kekasihnya, lalu menceritakannya kembali kepada Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti.

"Sesungguhnya, kakangmas Wisena adalah cucu dari Empu Gandring pencipta keris pusaka ini dan dengan keris ini di tangan eyang Prabu Ken Arok, eyang dan kedua orang tuanya telah tewas."

"Aku bersumpah untuk membalas kejahatan Tohjaya dengan keris ini," Pangeran Ranggawuni mengucapkan sumpahnya yang didengarkan oleh Wisena dengan hati tak enak.

Ia mendapat tugas untuk melenyapkan pembunuhan-pembunuhan sesama saudara yang dilakukan dengan keris ini, dan kini ia bahkan bersekutu dengan Ranggawuni yang hendak melanjutkan bunuh-membunuh itu! Kalau saja di situ tidak ada Dewi Murtiningsih kekasihnya, tentu ia akan membawa pergi keris pusaka Empu Gandring dan melenyapkan diri, kembali ke Gunung Anjasmoro! Akan tetapi, ternyata perasaan cinta mengalahkan segala sesuatu.

"Hamba siap sedia, memenuhi perintah terakhir Sang Prabu Anusapati, untuk membantu paduka merebut kembali takhta kerajaan. Akan tetapi, hamba mohon dipenuhinya sebuah syarat."

"Nanti dulu, dimas Wisena! Tak enaklah rasanya hatiku mendengar kau menyebut gusti kepadaku dan merendahkan dirimu sedemikian rupa. Kalau diingat akan asal-usul kita, ternyata kau tidaklah lebih rendah dari pada kami. Apa pula.... kau telah menjadi calon suami Dewi, maka anggaplah aku sebagai rakandamu sendiri, dan sebutlah aku dengan kangmas sebagaimana biasa Dewi menyebutku."

Bukan main girangnya hati Wisena dan ketika ia melirik ke arah Dewi Murtiningsih, ia melihat kekasihnya itu menunduk malu. "Terima kasih, kakangmas pangeran!"

"Akupun telah menjadi adikmu sendiri, kangmas Wisena!" kata Pangeran Narasingamurti.

"Baik, baik, dimas pangeran. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada menyebut dan menganggapmu sebagai adik sendiri."

"Nah, sekarang ceritakan apakah syaratmu itu, dimas Wisena!"

"Tak lain syaratku, kakangmas pangeran, agar supaya setelah kakangmas pangeran dapat menduduki singgasana, keris pusaka Empu Gandring itu dikembalikan kepadaku untuk kuserahkan kepada paman Begawan Jatadara."

"Kehendakmu akan terpenuhi, dimas Wisena!"

* * *

Beberapa bulan kemudian, Pangeran Pati Ranggawuni dengan dibantu oleh Pangeran Narasingamurti, dan selalu dilindungi oleh Jaka Wisena, telah dapat mengumpulkan bala tentara yang amat besar, diperkuat oleh para senapati dan perwira yang setia kepada mendiang Sang Prabu Anusapati.

Sementara itu, Pangeran Tohjaya telah mengangkat diri sendiri menjadi raja di Singosari, menggantikan kedudukan rakandanya dengan alasan bahwa para putera pangeran telah melarikan diri dan bersekutu dengan penjahat besar Wisena! Tercapailah cita-cita Ken Umang yang kini telah dapat melihat puteranya menjadi raja di Singosari dan ia sendiri menjadi ibu suri!

Akan tetapi, segala hasil yang didapatkan bukan dengan jalan yang suci, melainkan dengan kecurangan dan kejahatan, pasti takkan tahan lama! Belum lama Pangeran Tohjaya menjadi raja, tiba-tiba datanglah serangan hebat dari barisan besar yang dipimpin oleh Pangeran Pati Ranggawuni. Pangeran Narasingamurti, dan Jaka Wisena yang selalu didampingi oleh kekasihnya, Puteri Dewi Murtiningsih!

Perang saudara yang hebat terjadi, akan tetapi fihak penyerang selain mendapat bantuan Wisena yang gagah perkasa dan sakti, juga mendapat bantuan para senapati tua yang berpengalaman, bahkan sebagian besar rakyat yang berada di dalam kota raja sendiri juga diam-diam membantu dan memihak kepada pangeran pati.

Maka setelah berperang beberapa pekan lamanya, akhirnya pertahanan Pangeran Tohjaya dapat dibobolkan dan Tohjaya sendiri lalu melarikan diri beserta beberapa orang pengiringnya yang membawa harta benda dari keraton. Namun, memang sudah menjadi nasibnya, atau karena manjurnya kutukan Empu Gandring, di tengah jalan ia bertemu dengan rombongan Pangeran Pati Ranggawuni. Pertempuran hebat terjadi di dalam hutan dan akhirnya Tohjaya tewas di ujung keris pusaka Empu Gandring yang dipegang oleh Pangeran Pati Ranggawuni sendiri!

Maka bergembiralah rakyat yang memihak pangeran pati dan dengan perayaan pesta besar, Pangeran Pati Ranggawuni lalu dinobatkan menjadi raja di Singosari dan berjuluk Sang Prabu Wisnuwardana! Perayaan ini tidak hanya merayakan penobatan Sang Prabu Wisnuwardana, akan tetapi juga merayakan pernikahan antara Sang Puteri Dewi Murtiningsih dengan Sang Adipati Jaka Wisena yang telah diangkat menjadi adipati oleh Sang Prabu Wisnuwardana!

Adapun ibu suri Ken Umang ketika menyaksikan semua peristiwa ini, tak dapat menahan kehancuran hatinya dan ia lalu jatuh sakit sampai membawa kematiannya, menyusul puteranya yang telah tewas di medan peperangan.

Ketika Sang Adipati Jaka Wisena beserta isterinya yang cantik jelita, diiringkan oleh sepasukan perajurit tamtama, menunggang kuda menuju ke Gunung Anjasmoro, rombongan ini melalui dusun Karangluwih.

Ketika Adipati Jaka Wisena dan isterinya menjalankan kuda dengan perlahan memasuki dusun itu dan rakyat dusun berlutut menyembah di kanan kiri jalan, tiba-tiba seorang wanita yang masih muda dan cantik, akan tetapi berwajah muram dan berpakaian sederhana, sambil menggendong seorang anak kecil, maju dan berlutut menyembah dengan hormatnya.

"Mekarsari....!" Adipati Jaka Wisena menahan kudanya, diturut oleh isterinya dan pasukan itupun berhenti.

Memang benar, wanita yang berlutut adalah Mekarsari dan ketika mendengar panggilan itu, berdongak memandang, mengangkat mukanya perlahan-lahan. Ternyata bahwa air matanya telah mengalir turun membasahi pipinya.

Terharulah hati Adipati Wisena. "Mekarsari.... mengapa kau berada disini....? Dan anak itu...?"

"Gusti adipati, semoga dewata yang agung melimpahkan rahmatnya kepada paduka dan gusti puteri yang cantik jelita! Dewata memang bersifat agung dan adil, dan biarlah mengutuk hamba yang banyak dosa..." kembali ia menangis.

"Eh, eh, Mekarsari, kukira kau telah berada di keraton Pangeran Tohjaya...!" suara adipati muda itu setengah mengejek.

"Aduh, gusti adipati, lebih baik injaklah hamba dengan kaki kuda paduka itu dari pada menusuk perasaan hamba dengan ucapan ini...." Mekarsari lalu bangkit berdiri dan berlari terhuyung-huyung sambil menggendong anak itu.

Ketika ki lurah menyambut sang adipati, ternyata oleh Wisena bahwa lurah dusun ini telah berganti, bukan Ki Lurah Reksoyudo lagi. la lalu bertanya-tanya akan mendapat keterangan yang membuat hatinya makin merasa terharu. Ternyata bahwa Pangeran Tohjaya tidak mengambii Mekarsari sebagai selir, dan sama sekali tidak pernah dibawa ke Singosari.

Pangeran ini memang hanya mempermainkan para gadis dusun seperti biasanya dan setelah Mekarsari mengandung, pangeran itu meninggalkannya begitu saja! Kalau hati Mekarsari merasa hancur, hati ayahnya lebih rusak lagi sehingga Ki Lurah Reksoyudo jatuh sakit dan meninggal dunia.

Mekarsari hidup bersama ibunya, menjadi seorang janda muda dengan seorang anak dan hidupnya sungguhpun tidak kekurangan dan pada lahirnya nampak senang, namun ia menderita di dalam batin. Setiap malam terbayanglah wajah Wisena, pemuda yang sesungguhnya dikasihinya itu dan mulailah ia merasa amat menyesal.

Kemudian ia mendengar berita bahwa seorang adipati hendak lewat di dusun itu dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa adipati itu bukan lain adalah Wisena sendiri, pemuda yang dulu ditolaknya! Iapun telah mendengar akan matinya Pangeran Tohjaya, maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya.

Ia merasa berdosa kepada Wisena, maka ia memberanikan diri untuk memberi hormat kepada adipati itu dan mengucapkan doa serta menyatakan penyesalannya. Tak disangkanya bahwa Wisena akan mengucapkan kata-kata yang mengejek dan menusuk perasaannya. Setibanya di rumah, janda muda ini menangis tersedu-sedu sehingga ibunya juga ikut menangis.

Malam hari itu Adipati Wisena dan rombongannya bermalam di kelurahan dan dijamu dengan segala kehormatan. Setelah ia bersama isterinya masuk ke dalam kamar, barulah Dewi Murtiningsih mengeluarkan pertanyaan yang semenjak sore tadi mengganjal hatinya. "Kakangmas, siapakah wanita yang bernama Mekarsari tadi?”

Adipati Wisena tersenyum dan menggoda, "Ia seorang wanita dan kau sudah tahu bahwa namanya Mekarsari, mengapa bertanya lagi siapa dia?"

Dengan cemberut Dewi Murtiningsih memukul lengan suaminya. "Kalau tidak kau ceritakan tentang riwayatmu dengan Mekarsari itu, aku akan marah!"

Wisena memeluk pundak isterinya dan menariknya duduk di atas kursi. Ia maklum akan kemuliaan budi isterinya dan ia sendiri juga seorang suami yang bijaksana. Apa bila terdapat sesuatu rahasia di antara suami isteri, betapa kecilpun rahasia itu, maka suami isteri itu takkan menikmati kebahagiaan rumah tangga yang sejati. Dengan perlahan akan tetapi jujur, diceritakanlah oleh Wisena tentang segala pengalamannya dengan Mekarsari.

"Karena Mekarsarilah, maka aku dulu amat membenci wanita yang kusangka semua berwatak tidak setia seperti dia, sampai aku bertemu dengan kau, Dewiku, yang membuka mata dan hatiku bahwa tidak semua wanita gila pangkat, gila harta, dan tidak setia!"

Terharulah hati Dewi Murtiningsih mendengar ucapan suaminya ini dan sambil merangkul suaminya ia berkata, "Kanda.... ada sebuah permintaanku...."

"Ya...?"

"Kelak, kalau.... kalau aku sudah..." ia menghentikan kata-katanya dan wajahnya memerah.

"Ya....?" suaminya mendesak.

"Kalau aku sudah.... punya anak.... kau harus mengambil Mekarsari sebagai selirmu!”

Terbelalak mata Wisena mendengar permintaan ini. "Dia....?? Seorang janda...?"

Dewi Murtiningsih cemberut. "Ya, dia! Dan tidak boleh orang lain! Akhirnya kau tentu akan mempunyai selir juga, dan aku takkan rela melihat kau membagi cinta kasihmu kepada seorang gadis yang belum tentu mencintaimu, yang hanya mau menjadi selirmu karena harta dan pangkatmu, seperti halnya Mekarsari dan paman Pangeran Tohjaya! Mekarsari lain lagi, ia mencintaimu, hal ini aku dapat mengetahui dengan pasti ketika ia berlutut di pinggir jalan tadi!"

"Alangkah mulia hatimu, Dewiku.... sesungguhnya, belum pernah aku melihat bahkan mendengar adanya seorang puteri seperti engkau, isteriku sayang!"

"Akan tetapi ingat, hanya kalau aku sudah punya anak! Dan hanya Mekarsari saja yang boleh menjadi selirmu. Dan sekali lagi, hanya seorang selir, tidak boleh lebih!" Ia memberi tekanan keras pada tiap-tiap kata-kata "hanya"!

"Baiklah, Dewiku!"

Setahun kemudian, Mekarsari sudah berada di dalam gedung kadipaten Adipati Jaka Wisena, menjadi isteri ke dua dari adipati. Rumah tangga ini penuh kebahagiaan hidup, saling rukun dan damai, penuh cinta kasih. Adapun Adipati Jaka Wisena, sampai berpuluh tahun mengabdi kepada Sang Prabu Wisnuwardana, raja yang adil bijaksana sehingga ia memerintah Singosari tanpa halangan sesuatu.

Pemberontakan yang timbul kecil-kecilan mudah saja dipadamkan oleh Adipati Jaka Wisena dan kutuk Empu Gandring terhenti sampai di situ saja, karena keris pusaka Empu Gandring telah dikembalikan oleh Adipati Wisena kepada Sang Begawan Jatadara.

TAMAT
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.