Keris Maut Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - PEMUDA ini lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan kembali hatinya yang berdebar, kemudian ia bersedakap, mengheningkan cipta sebentar lalu dengan sinar mata penuh pengaruh dan kekuatan batin, ia memandang ke arah Mekarsari sambil mengeluarkan perintah di dalam hati kepada gadis itu untuk meninggalkan ruang pesta dan pergi ke taman bunga.

Berkat kesaktian Wisena, tiba-tiba Mekarsari merasa gelisah sekali. Entah mengapa, tiba-tiba gadis ini merasa betapa panas dan menyesakkan napas, hawa di dalam ruangan itu dan betapa ada perasaan yang amat aneh mendorongnya untuk pergi dari situ. Timbul keinginan yang amat keras di dalam hatinya untuk pergi ke taman bunga, mencari hawa sejuk!
Dengan perlahan Mekarsari lalu berdiri dan berjalan dengan lenggang lemah-gemulai meninggalkan ruangan itu, menuju ke belakang. Setelah tiba di taman bunga, barulah dadanya terasa lapang dan hawa sejuk mengalir masuk ke dalam dadanya, membuat tubuhnya terasa segar sekali. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan dari atas dan tahu-tahu sesosok bayangan berdiri di depannya. Hampir saja Mekarsari menjerit.
"Sst.... jangan kaget, diajeng. Akulah yang datang......" kata bayangan itu yang bukan lain adalah Wisena sendiri.
Mekarsari membelalakkan matanya yang indah. "Kau....”
"Terkejutkah kau melihat aku datang, diajeng Mekarsari?"
"Tentu saja, aku terkejut setengah mati. Kau datang bagaikan setan!"
"Dan.... girangkah kau melihat aku datang?"
Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak, kau akan mendatangkan keributan. Bagaimana kalau ada yang melihatmu datang seperti ini? Kau akan mendapat celaka!"
Biarpun sikap gadis ini tidak semanis tadi ketika berada di dalam hutan, akan tetapi Wisena yang telah gila asmara ini tidak menjadi kecewa, bahkan senang mendengar betapa gadis ini masih mengkhawatirkan keselamatannya. "Diajeng... marilah, aku ingin bicara denganmu," kata Wisena sambil memegang tangan gadis itu dengan maksud mengajaknya ke tempat gelap untuk membicarakan soal pinangan itu.
Akan tetapi Mekarsari melepaskan tangannya dan berkata, "Tidak, tidak, aku... aku harus kembali ke dalam! Aku harus melayani tamu agung....." Gadis ini membalikkan tubuhnya dan hendak lari kembali kedalam gedung, akan tetapi Wisena memburu,
"Diajeng....!" Pemuda ini menangkap lengan gadis itu dan menariknya sehingga di lain saat Mekarsari telah berada di dalam pelukannya! Ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini mengenakan pakaian serba baru, bahkan hidungnya dapat menangkap keharuman kembang-kembang yang kini menghias rambut gadis itu.
"Diajeng, bagaimanakah ini...? Mengapa agaknya kau hendak menjauhkan diri dariku....? Bukankah.... kita berdua sudah sehati untuk hidup bersama selamanya...?"
Untuk sesaat, dada Wisena yang bidang, pelukannya yang dilakukan dengan penuh kasih mesra, sepasang lengannya yang kuat, melumpuhkan perlawanan Mekarsari dan sambil memeramkan mata ia menyandarkan kepalanya pada dada pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba ucapan Wisena itu menyadarkannya dan sekali merenggutkan tubuh, ia telah melepaskan diri dari pelukan Wisena.
"Tidak.... jangan....!" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan dua titik air mata melompat tuiui ke atas pipinya.
"Diajeng Mekarsari.... kenapakah kau?" Kemudian ia teringat akan sesuatu dan tersenyum. "Diajeng apakah kau kecewa melihat keadaanku? Bajuku bau kuda! Memang tadi kupakai menggosok badan kuda dan belum kucuci karena tidak ada penggantinya! Bukan aku yang berbau kuda, diajeng...." la tertawa, memancing senyum gadis itu, akan tetapi kata-katanya ini bahkan membuat air mata Mekarsari jatuh berderai.
"Kakangmas Wisena....." katanya sambil terisak, "kau.... kau seorang pemuda gunung biasa sajakah?"
Wisena mengangguk heran.
"Bukan pangeran....?"
Pemuda itu menggeleng.
"Bukan... anak adipati atau bupati?"
Kembali Wisena menggelengkan kepalanya.
"Juga bukan keturunan bangsawan lain lagi? Sesungguhnyakah?"
"Bukan, diajeng. Aku seorang pemuda biasa, orang gunung yang bodoh. Akan tetapi... adakah hal ini penting bagi perasaan cinta kasih kita?" Ia melangkah maju hendak memeluk lagi, akan tetapi Mekarsari cepat mundur.
"Jangan...!" suaranya terdengar agak ketus sehingga Wisena merasa seakan-akan kena tampar mukanya.
"Mengapa, diajeng? Ada apakah....?" tanyanya khawatir.
"Jangan kau sentuh aku! Kau... kau bukan seperti yang kuharapkan... ah... nasib....."
"Eh, diajeng Mekarsari, mengapakah kau? Lupakah kau akan perasaan hati kita yang timbul pada saat pertemuan kita pertama siang tadi? Kau... kau berjanji hendak menyerahkan jiwa ragamu kepadaku dan aku... aku hendak meminangmu, karena itulah maka malam ini aku menjumpaimu, hendak minta nasihat bagaimana aku harus meminangmu!"
"Tak mungkin! Aku.... ah, Gusti Pangeran Tohjaya telah meminangku dan.... ayah telah menyatakan persetujuannya, aku telah diserahkan kepadanya!"
Bagaikan digigit ular berbisa, Wisena melangkah mundur dengan wajah pucat. "Apa...? Dan kau sendiri...? Setujukah....?"
Gadis itu mengangguk. "Aku setuju!"
"Diajeng Mekarsari! Tak tahukah kau akan keadaan Pangeran Tohjaya? Aku mendengar ia telah beristeri, telah banyak mempunyai bini muda.... apakah kau mau... dijadikan bini mudanya?"
"Apa salahnya?" Suara Mekarsari menantang. "Dia seorang, pangeran besar, berkuasa, dan berhati mulia!"
"Mekarsari!" Amarah mulai mendesak cinta kasih pemuda itu. "Kau.... kau mengingkari janji.... dan rela menjadi.... bini muda yang entah ke berapa belas atau keberapa puluhnya?"
Mendengar suara yang mengandung ejekan ini, Mekarsari juga timbul amarahnya. "Kau perduli apa? Menjadi bini muda Pangeran Tohjaya jauh lebih mulia dari pada menjadi isteri seorang tukang kuda!"
Ucapan ini merupakan tamparan hebat bagi Wisena sehingga hampir saja ia roboh karena kakinya menggigil dan tubuhnya gemetar. "Mekarsari, alangkah kejamnya engkau! Kau sama sekali tidak menghiraukan perasaan hatiku! Aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, mabok oleh janji yang memancar keluar dari kerling matamu, dari senyum bibirmu dan sekarang... ah, aku harus bagaimanakah....?"
"Kau pergilah dari sini dan jangan melihat aku lagi! Sebagai pembalasan budimu, aku takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang kedatanganmu malam ini. Kita berpisah dengan baik-baik, dan aku... aku akan mengenangmu sebagai seorang ksatria gagah yang pernah menolongku. Pergilah!"
"Mekarsari...." suara Wisena menggetar karena penuh perasaan, "sekejam kau inikah semua wanita di dunia? Melupakan yang lama dan silau oleh yang baru karena yang baru ini mengkilat dan indah? Menukarkan kesetiaan hati dengan harta dan pangkat? Semurah itukah cinta kasih bagimu? Alangkah rendahnya! Terkutuklah semua....." hampir saja Wisena mengutuk semua wanita, akan tetapi tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tangannya.
"Tidak, tidak.... tidak semua wanita sejahat engkau! Tidak semua wanita sekejam dan sepalsu engkau! Ibuku juga seorang wanita... ah, Dewata Yang Maha Agung.... ampunanlah hambaMu, kuatkanlah iman hambamu..."
Wisena terhuyung-huyung, kakinya lemas, dadanya panas membakar, jantungnya terasa perih bagaikan tertusuk keris berkarat dan ia harus menahan tubuhnya dengan tangan menekan batang pohon jambu agar tidak terguling jatuh, karena kepalanya tiba-tiba menjadi pening.
Mekarsari hendak melarikan diri masuk ke dalam gedung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Pangeran Tohjaya menegur, "Mekarsari, kekasihku yang manis, mengapa kau seorang diri di dalam taman? Tidak dinginkah kau? Mari, mari.... manis, akan kuhibur hatimu dengan tembang-tembang indah dari keraton, akan kuusir hawa dingin yang menyerangmu."
Tiba-tiba ia melihat Wisena yang berdiri bersandar di pohon sambil memejamkan matanya. "He, keparat, siapakah ini??" Ia melangkah maju untuk memandang lebih nyata karena Wisena berdiri di bawah pohon yang gelap.
"Dia.... dia datang hendak berlaku kurang ajar kepada hamba!" tiba-tiba terdengar suara Mekarsari gemetar, karena gadis ini benar-benar merasa takut kalau-kalau Pangeran Tohjaya menyangka yang bukan-bukan.
"Keparat jahanam!” teriak Pangeran Tohjaya.
"Ular berbisa.... lidahmu berbisa...." terdengar Wisena memaki perlahan sambil memandang kepada Mekarsari, kemudian tubuhnya melesat melompati pagar bambu dengan cepat sekali sehingga Pangeran Tohjaya belum sempat melihat mukanya.
Pangeran Tohjaya memeluk tubuh Mekarsari yang menggigil. "Sari, siapakah dia? Aku seperti pernah mendengar suaranya."
"Entahlah, hamba juga tidak mengenalnya. Ia baru saja datang dan sedang hamba usir ketika paduka tiba....” jawab Mekarsari.
Pangeran Tohjaya menggandeng tangan Mekarsari diajak masuk, dan ia tidak meniperdiilikan hal itu lagi. Tentu seorang pemuda dusun yang pernah mencintai Mekarsari dan sekarang menjadi patah hati karena gadis pujaannya menjadi milik pangeran, pikirnya.
Dengan perasaan hancur luluh Wi«enn meninggalkan dusun Karangluwih pada malam hari itu juga. Ia berlari terus secepatnya keluar dari dusun memasuki hufan, tiada hentinya ia berlari cepat. Bahkan ketika malam telah berganti pagi, ia masih berjalan terus bagaikan seorang yang tak bersemangat lagi.
Jiwanya merana, hatinya remuk-rednm. pikirannya kacau balau dan bingung. Baru pertama kali ia merasai kenikmatan dan kebahagiaan cinta kasih yang mendalam dan baru pertama kali ini pula cinta kasih yang mendatangkan kebahagiaan itu menghancurkan hidupnya. Sampai dua pekan lebih ia berjalan terus, tiada hentinya, lupa makan lupa tidur, terus berjalan bagaikan mayat hidup!
Hanya satu pegangan yang menjadi tujuannya dan yang masih belum terlupa olehnya, yakni menuju ke Singosari, mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati. Sifat jantan dan ksatria masih belum meninggalkannya. Pesan Begawan Jatadara masih menjadi pegangannya dan biarpun ia berjalan terus tanpa makan tanpa tidur tak pernah mengaso, namun ia masih menujukan tindakan kakinya ke Singosari!
Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat dan pandangan, matanya redup dan muram bagaikan dian kehabisan minyak. Tanpa diketahuinya, ia telah masuk ke dalam sebuah hutan besar di luar Ibu Kota Singosari. Tubuhnya mulai lemas, tindakan kakinya mulai tak tetap. Betapapun juga, tubuh yang tak terpelihara dan perut yang berhari-hari tak diisi, mata yang berhari-hari tak ditidurkan, membuat raganya lemah lunglai dan tak kuat menahan.
Terik matahari yang membakar membuat kepalanya berdenyut-denyut dan ketika ia tiba di bawah sebatang pohon waringin yang besar dan teduh, pergantian hawa yang tadinya panas membakar ke tempat yang teduh dan sejuk dingin, membuat ia menggigil dan tiba-tiba ia terhuyung-huyung dan robohlah Wisena di bawah pohon beringin itu, tak sadarkan diri!
Namun pemuda ini memang memiliki raga yang kuat sekali. Sungguhpun tiada tenaga lagi di dalam tubuh, kesadarannya timbul kembali, sedikit demi sedikit dan teli-raganya dapat menangkap suara suling bambu yang merdu mengayun kalbu.
"Ah, ada suara suling.... tanda bahwa di sini ada orang... tentu dekat kampung... mengapa aku selemah ini? Mengapa aku berputus asa...? Bukan laku seorang ksatria! Ah, Wisena.... Wisena, tidak malukah engkau...?" demikianlah bibirnya berbisik menurutkan suara hatinya.
Suara suling itu makin perlahan dan tiba-tiba terhenti, lalu terdengar nyanyian sebagai gantinya, masih dalam lagu Asmaradana seperti yang dilagukan oleh suling tadi. Lagunya amat lambat menyedihkan, kata-katanya menyayat kalbu, sungguhpun suara itu nyaring dan kecil, tanda bahwa yang menyanyikannya masih kanak-kanak, belum dewasa. Mungkin penggembala kerbau. Suara nyanyian itu dengan jelas memasuki telinga Wisena yang masih berbaring menelungkup dengan pipi kanan di atas tanah.
"Duhai nyawa..... tinggalkan raga..... untuk apa merana di mayapada... Tak tertahan lagi perihnya, hati pahit getir, melebihi butrawali, betapapun usalia melupakannya wajah adinda juita terkenang jua! Duhai Dewata agung, cabutlah nyawa tak tertahan lagi oleh hamba..."
Bagaikan disayat-sayat rasa hati Wisena mendengar tembang ini. Tak tertahan pula air matanya mengalir ke luar dan ia menangis tersedu-sedu. Tertumpahlah semua dendam dan sakit hati melalui air matanya dan dadanya terasa lapang. Menelungkup dengan pipi di atas tanah membuat ia merasa seakan-akan ia menangis di atas pangkuan ibunda.
"Ibu.... ibu, tolonglah ananda... kuatkanlah ananda...!" ia berbisik sambil mencengkeram rumput dan memeluk tanah. Kemudian, dengan menggigit bibir mengeraskan hati, ia mencoba untuk merangkak bangun. Setelah mencucurkan air mata, hatinya lapang, tak sebeku tadi, pikirannya terbuka, akan tetapi tubuhnya makin lemas. Perutnya mulai terasa amat perih dan kosong.
"Aku harus makan.... aku harus hidup.... jalan masih lebar dihadapanku...!" Pikiran dan tekad ini mendatangkan tenaga baru dan Wisena dapat juga berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke depan.
Akan tetapi, baru saja beberapa langkah, ia terguling lagi. Kalau nasib lagi sial, agaknya kekosongan perutnya dan kekeruhan pikiran serta luka di hatinya, mendatangkan angin jahat dan ia terserang sakit! Tubuhnya panas membara, akan tetapi di sebelah dalam terasa dingin menggigil.
Dari jauh terdengar derap kaki kuda. Karena telinga Wisena menempel tanah, ia dapat mendengar suara ini dengan jelas, akan tetapi tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Makin lama makin keraslah suara kaki kuda itu dan muncullah tiga orang penunggang kuda. Mereka ini adalah dua orang pemuda dan seorang dara. Ketiganya elok dan dari pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah putera-puteri bangsawan belaka.
Memang, sesungguhnya mereka ini adalah keturunan bangsawan tertinggi, karena mereka adalah keluarga Raja Singosari! Bahkan seorang di antara mereka adalah pangeran pati sendiri, yakni putera Sang Prabu Anusapati. Mudah dilihat dari lambang pangeran pati yang terbuat dari pada emas itu menghias kepalanya. Dia ini adalah Pangeran Pati Ranggawuni yang muda belia, tampan dan gagah.
Pemuda ke dua juga seorang pangeran, yakni Pangeran Narasingamurti. kemenakan sang prabu, karena Pangeran Narasingamurti ini adalah putera Prabu Anom Mahisa Wongateleng. Pangeran Pati Ranggawuni amat cinta kepada adik misannya ini yang telah menjadi sahabatnya semenjak kecil.
Agar lebih jelas lagi, sesungguhnya perbedaan antara kedua orang pangeran ini adalah nenek-nenek mereka. Keduanya memang cucu dari Ken Dedes, akan tetapi ayah Ranggawuni, yakni Anusapati, adalah putera Tunggul Ametung, sedangkan ayah Narasingamurti, yakni Mahisa Wongateleng, adalah putera dari Ken Arok.
Adapun dara yang juga menunggang kuda bersama kedua orang pangeran ini juga seorang puteri dari Anusapati yang terlahir dari selir, namanya Dewi Murtiningsih. Dara ini selain cantik jelita, juga memiliki kegagahan, karena semenjak kecil, bersama Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti, ia selalu ikut berlatih olah keperajuritan.
Kalau kedua orang pangeran ini berburu binatang di dalam hutan, Dewi Murtinincsih tak pernah ketinggalan dan selalu ikut serta. Pangeran Pati Ranggawuni amat kasih kepada adiknya ini dan sungguhpun mereka berlainan ibu, namun mereka bergaul seperti kakak beradik sekandung saja.
Tiba-tiba Narasingamurti yang berkuda paling depan, menahan kendali kudanya dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke depan dan menengok kepada kedua orang saudaranya, "Kakangmas Ranggawuni, lihat, ada orang berbaring di bawah pohon waringin itu!"
Pangeran Pati Ranggawuni menahan kendali kudanya pula can memandang. "Dia tidak mati dan juga tidak tidur karena kepala dan tangannya bergerak-gerak. Dewi, ayo kita melihat orang itu, kalau-kalau dia membutuhkan pertolongan."
Tiga orang muda bangsawan itu lalu melarikan kuda menghampiri Jaka Wisena yang masih menggeletak di bawah pohon waringin. Ketiganya lalu melompat turun dan sambil menuntun kuda mereka mendekati Wisena yang masih berbaring dengan gelisah dan memicingkan matanya.
"Ki sanak (saudara), kenapakah kau?" tanya Pangeran Pati Ranggawuni dengan suara halus.
Wisena mendengar suara ini seperti bisikan dari jauh, akan tetapi ia tak dapat menjawab karena kini perasaan dingin di dalam tubuhnya telah berobah menjadi panas seakan-akan Kawah Candradimuka berpindah di dalam dadanya, membuat telinganya mengiang-ngiang dan kepalanya berdenyut-denyut.
Melihat betapa tubuh itu bergerak gelisah dan mendengar orang itu mengerang perlahan, Ranggawuni lalu berpaling kepada adiknya dan berkata, "Dewi, agaknya orang ini sakit. Kau lebih mengerti tentang hal itu, cobalah kau memeriksanya. Kasihan sekali ia sakit seorang diri di tempat sunyi ini."
Memang di samping kegemarannya berlatih panah dan menunggang kuda, Dewi Murtiningsih juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari seorang pertapa. Ia lalu melepaskan kendali kudanya yang jinak dan berlutut di dekat tubuh Wisena yang masih menelungkup. Diulurkannya sebuah tangan yang berjari kecil runcing dan berkulit halus kekuningan itu, kemudian dirabanya jidat Wisena sambil memutar sedikit kepala pemuda itu.
Gerakan ini mendatangkan dua macam perasaan kaget kepada dara ini. Pertama karena ketika jari tangannya meraba jidat Wisena, ia merasa betapa kulit jidat pemuda itu panas membakar, dan ke dua adalah ketika ia memutar sedikit kepala pemuda itu ia memandang kepada wajah, seorang teruna yang tampan dan gagah!
Bukan sekali-kali karena Dewi Murtiningsih tak pernah melihat wajah pemuda tampan, akan tetapi kali ini ia benar-benar terkejut dan tercengang karena tadinya mereka semua mengira bahwa yang rebah di atas tanah itu hanyalah seorang petani yang menderita sakit. Juga kedua orang pangeran itu tertegun menyaksikan wajah pemuda yang tampan itu.
"Ah, agaknya seorang ksatria yang menderita sengsara!" seru Pangeran Narasingamurti.
"Mungkin ia seorang kelana yang terserang penyakit di hutan ini," kata Pangeran Pati Ranggawuni.
"Kakangmas Ranggawuni, ia terserang demam hebat!" kata Dewi Murtiningsih yang masih tertegun. Wajah Wisena amat berkesan dalam hatinya, menimbulkan belas kasihan dan juga kekaguman. Hatinya yang masih muda merupakan kuncup kembang itu mulai tersentuh oleh tiupan sayap seekor kupu-kupu dan mulai bergerak, membuka untuk menerima kedatangan kupu-kupu yang indah itu.
"Ah, kasihan," kata Ranggawuni. "Dewiku, kau tolonglah dia sedapatmu."
"Akan kucoba, kangmas Ranggawuni. Dimas Narasingamurti, tolong kau mencari air yang jernih. Aku hendak pergi mencari daun obat," kata dara itu dengan suara tenang dan tetap, tanda bahwa ia yakin akan apa yang hendak dilakukannya.
Narasingamurti pergi mencari air jernih yang dibutuhkan, sedangkan gadis itu lalu masuk ke dalam hutan, mencari daun-daun yang pahit rasanya untuk melawan demam. Tak lama kemudian keduanya kembali dan berlutut di dekat Wisena yang masih belum sadar bahwa ada tiga orang muda berlutut di dekatnya.
Dengan cekatan. Dewi Murtiningsih lalu memeras daun-daun itu, dicampurnya dengan air lalu diminumkannya kedalam mulut Wisena yang dibukakan oleh Narasingamurti. Berkerutlah muka Wisena ketika obat yang pahit sekali itu memasuki tenggorokannya. Kemudian Dewi Murtiningsih menggunakan air jernih yang ditiupnya tiga kali sambil membaca mantera, kemudian air itu ia gosok-gosokkan pada jidat Wisena dan disiramkannya sisa air itu kepada ubun-ubunnya.
Tak lama kemudian bergeraklah bibir Wisena dan kalau tadi ia hanya mengerang saja perlanan, kini kata-katanya dapat ditangkap, "Dewi.... Dewiku... tolonglah hamba....."
"Ahh...." Dewi Murtiningsih melompat bangun dan berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berobah merah, sampai ke telinganya.
Sementara itu, kedua orang pangeran itupun terheran-heran ketika mendengar pemuda yang sakit itu menyebut nama saudara mereka. Mereka hanya memandang dengan melongo ketika Wisena perlahan-lahan membuka matanya. Ketika ia melihat orang-orang itu, ia heran dan bangun lalu duduk. Melihat bekas tempat air dan sisa daun obat, ia maklum bahwa orang-orang ini tentu telah menolongnya, maka ia tersenyum dan mengangguk penuh terima kasih.
"Saudara.... apakah arti kata-katamu tadi?" tanya Ranggawuni sambil memandang tajam.
Wisena masih ahanypening dan ia hanya melihat wajah seorang teruna yang cakap dan agung. "Kata-kata yang mana.....?"
"Kau tadi menyebut Dewi... siapakah itu?"
Tiba-tiba merahlah wajah Wisena. Sesungguhnya, ketika tadi ia membuka sedikit matanya, ia seperti melihat seorang gadis cantik duduk di dekatnya. Wajah itu begitu cantik jelita sehingga tak salah lagi tentulah itu wajah Mekarsari yang datang hendak menolongnya. Ia menyebut "Dewi" bukan dimaksudkan menyebutkan nama seseorang, akan tetapi sebutan yang berarti menjunjung tinggi gadis kekasihnya itu, dianggapnya seakan-akan dewi dari kahyangan.
Akan tetapi, bagaimana ia harus menjawab? Apa lagi ketika pandangan matanya makin terang dan ia melihat seorang gadis cantik jelita berdiri tak jauh dari situ, memandang kepadanya dengan sepasang mata yang jernih dan bening, berkilauan bagaikan sepasang bintang pagi, ia menjadi makin bingung.
"Maksudku... aku tadi bermimpi agaknya.... bermimpi diserang oleh seorang siluman.... aku tak berdaya, lalu datang seorang dewi penolong dari kahyangan, maka aku lalu minta pertolongannya!"
Bergelak tertawalah Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti ketika mendengar keterangan ini. ”Ha, ha, ha, kau lucu, saudara!" kata Ranggawuni. "Tanpa disengaja kau telah mengeluarkan sebutan yang amat tepat. Ketahuilah, kau memang telah ditolong oleh saudaraku ini yang bernama Dewi Murtiningsih, seorang puteri Kerajaan Singosari."
Bukan main terkejutnya hati Wisena mendengar ini. Cepat-cepat ia membereskan pakaiannya lalu duduk bersila dengan penuh khidmat. Makin terkejut dia ketika mendengar Narasingamurti berkata menyambung keterangan kakaknya,
"Dan ketahuilah bahwa kakakku ini adalah kakangmas Pangeran Ranggawuni, Pangeran Pati Kerajaan Singosari dan aku sendiri bernama Pangeran Narasingamurti!"
Wisena menjadi demikian kaget sehingga sisa-sisa penyakitnya lenyap seketika itu juga. Ia merangkapkan sepuluh jari tangannya, menyembah dengan hormat kepada tiga orang muda yang kini telah bangkit berdiri di hadapannya sambil berkata, "Aduh, gusti pangeran! Yang banyaklah maaf paduka kepada hamba yang telah berani bersikap tidak selayaknya terhadap paduka bertiga oleh karena hamba tidak mengetahuinya."
Senanglah hati kedua orang pangeran muda itu mendengar ucapan yang sopan dan halus serta sikap yang amat baik dari pemuda ini. "Siapakah kau, dari mana dan hendak ke mana? Bagaimana kau sampai terlunta-lunta sengsara seorang diri di sini dan menderita sakit sampai tubuhmu kurus kering?" tanya Ranggawuni.
Akan tetapi tiba-tiba Wisena memejamkan kedua matanya. Pandangan matanya gelap dan selaksa bintang menari-nari di depan kedua matanya, sungguhpun mata itu telah dipejamkannya. Agaknya obat pahit tadi telah mulai bekerja di dalam perutnya dan kerjanya mengusir demam sedemikian kerasnya sehingga perutnya serasa diremas-remas.
Lapar, perih, dan sakit menggeragoti dasar perutnya. Saking hebatnya rasa sakit, Wisena menggunakan kedua tangannya menekan bawah ulu hatinya dan menggigit bibirnya sampai berdarah! Kemudian, sambil mengeluh perlahan ia terguling dan pingsan!
Kedua orang pangeran itu terkejut sekali dan buru-buru mereka berlutut di dekat tubuh Wisena. "Dewi, kau telah memberi obat apakah tadi? Jangan-jangan daun itu mengandung bisa!"
"Tak mungkin, kakangmas Ranggawuni. Mungkin ada lain penyakit di dalam perutnya."
"Periksalah, periksalah lekas! Lihat, mukanya sudah menjadi pucat Kebiruan. Lekas!"
Dewi Murtiningsih lalu berlutut dan kedua tangannya ditekankan ke ulu hati dan perut Wisena. Getaran perasaan yang mengalir memenuhi ujung-ujung jari tangannya yang terlatih itu seakan-akan mencari-cari, meresap ke dalam tubuh Wisena untuk melihat apakah yang menyebabkan pemuda itu demikian menderita. Kedua orang saudaranya memandang dengan penuh perhatian, menahan nafas.
Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tertawa perlahan dengan geli, lalu bangkit berdiri. Masih saja senyum manis menghias bibirnya dan sepasang matanya yang indah itu berkilat.
"Eh, eh, mengapa kau malah mentertawakannya, Dewi?" tanya Ranggawuni heran dan penasaran.
Kembali Dewi Murtiningsih tertawa sehingga nampaklah dua deret giginya yang putih berkilau, berbentuk indah dan teratur rapi itu di antara bibir dan mulutnya yang merah. "Dia tidak sakit apa-apa, hanya...."
"Hanya apa?"
"Lapar! Perutnya kosong sama sekali, agaknya telah berpekan-pekan ia tidak makan sesuatu!"
"Aduh kasihan...." kata Ranggawuni pula. "Dimas Narasingamurti, berikan bekal nasiku kepadanya. Suapkanlah nasi itu ke dalam mulutnya, kasihan sekali teruna ini...”
Narasingamurti mengambil bungkusan nasi dan lauk-pauknya dari atas kuda, kemudian ia berusaha menyuapkan nasi itu ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi gerakannya kaku dan canggung sekali sehingga lebih banyak nasi yang jatuh di tanah dari pada yang dapat masuk ke mulut Wisena. Bahkan ada yang hampir masuk ke lubang hidung pemuda itu!
Melihat ini, Ranggawuni berkata, "Ah, dimas Narasingamurti, kau canggung sekali. Dewi, kaulah yang menyuapkan nasi itu."
"Ah, kakangmas, aku malu.... bagaimana aku harus menyuapkan nasi ke mulut seorang yang tak kukenal sama sekali...?"
"Dewi, memang seharusnya kita, terutama sekali kau sebagai seorang wanita, menjaga baik-baik tata susila dan kesopanan. Bukan semestinya kalau kau menyuapkan nasi ke dalammulut seorang asing, terutama kalau orang itu seorang pria. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain lagi. Biarpun kita belum mengenalnya, akan tetapi ia adalah seorang yang sedang menderita sengsara, seorang yang tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan.
"Kau sendiri menyatakan bahwa dia kelaparan dan perlu diberi makan, sedangkan ia masih pingsan tak dapat makan sendiri. Kalau dibiarkan saja tentu ia akan mati. Dalam hal ini, berlakulah sebagai seorang manusia menolong manusia lain, dan dalam prikemanusiaan tiada perbedaan antara pria maupun wanita, bangsawan besar maupun rakyat kecil."
Dewi Murtiningsih terpaksa menurut perintah pangeran pati yang bijaksana ini dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu menyuapkan nasi ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi, baru. saja sekepal nasi disuapkan oleh puteri itu ke dalam mulut Wisena, pemuda ini telah siuman kembali. Dengan bergegas ia lalu duduk dan sungguhpun tubuhnya masih gemetar, namun ia memaksa diri duduk dengan sopan.
"Kau makanlah dulu, jangan banyak cakap," kata Pangeran Ranggawuni.
Wisena adalah seorang pemuda yang terdidik oleh pamannya dan sungguhpun ia semenjak kecil berada di atas gunung, namun ia tahu akan sopan-santun dan kini disuruh makan nasi di hadapan seorang puteri, ia merasa malu sekali. Diam-diam ketiga orang putera-puteri bangsawan itu maklum akan hal ini, maka Dewi Murtiningsih lalu memutar tubuhnya dan berdiri membelakangi Wisena.
Pemuda ini lalu mulai makan. Sungguhpun ia amat lapar dan agaknya dapat menghabiskan nasi itu dengan sekali dua kali telan, namun ia makan dengan sopan, tidak tergesa-gesa dan mengunyah nasi dengan bibir rapat. Kedua orang pangeran itu makin suka kepadanya. Setelah Wisena selesai makan, ia menyembah kepada mereka dan berkata lagi.
"Telah sering kali hamba mendengar berita akan kebijaksanaan dan kemuliaan hati para bangsawan tinggi di Singosari. Kini bertemu dengan paduka bertiga, hamba tidak ragu-ragu lagi bahwa berita itu sesungguhnya benar belaka. Hal ini lebih meyakinkan hati hamba dan lebih mempertebal tekad hamba untuk mengabdi kepada Kerajaan Singosari."
"Kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Kuulangi lagi, siapakah kau dan datang dari mana?"
"Hamba bernama Jaka Wisena dan semenjak kecil hamba tinggal di puncak Gunung Anjasmoro bersama paman hamba, Begawan Jatadara. Hamba sedang dalam perjalanan menuju ke Singosari untuk menghambakan diri kepada Gusti Sinuhun Sang Prabu Anusapati. Akan tetapi, malang nasib hamba, setibanya di hutan ini hamba terserang penyakit, sungguhpun kemalangan nasib itu hanya menjadi awal kebahagiaan hamba, karena buktinya hamba dapat bertemu dengan paduka yang bijaksana. Oleh karena itu, hamba mengecap syukur dan terima kasih kepada Dewata yang telah memberi kehormatan kepada hamba untuk diperjumpakan dengan paduka."
"Hm, jadi kau hendak mengabdi kepada ramanda prabu? Kebetulan sekali, Jaka Wisena. Besok pagi diadakan pemilihan abdi-abdi baru. Kau dapat bekerja apakah?"
"Apa saja yang dititahkan kepada hamba, akan hamba usahakan sedapat mungkin."
"Bukan demikian maksudku. Kau hendak mencari pekerjaan halus atau kasar? Apakah kau ingin menjadi pamong kerajaan yang mengurus pekerjaan sehari-hari, ataukah kau ingin menjadi seorang perajurit?"
"Hamba adalah seorang bodoh dan kasar dan hanya mengandalkah sepasang tangan dan sepasang kaki hamba. Maka apa bila gusti sinuhun sudi menerima hamba, hamba hendak mengabdi sebagai seorang perajurit untuk menjaga keselamatan Kerajaan Singosari."
"Bagus, agaknya tak keliru dugaanku bahwa kau tentu seorang ksatria! Kebetulan sekali kalau begitu, Jaka Wisena. Besok pagi datanglah kau ke alun-alun Singosari, di sana rama prabu hendak mengadakan pemilihan calon senapati dan pengawal. Kalau kau memang mempunyai kedigdayaan dan dapat menempuh ujian dengan baik, aku akan senang sekali melihat kau diangkat menjadi senapati atau kepala pasukan."
Dengan wajah berseri girang Wisena menyembah. "Beribu terima kasih hamba haturkan, gusti pangeran, tidak saja karena pertolongan paduka, akan tetapi juga untuk penerangan ini. Hamba akan mentaati pesan paduka dan besok pagi pasti hamba akan berada di alun-alun. Sekali lagi terima kasih kepada paduka bertiga, semoga para Dewata selalu melindungi paduka dan semoga pada suatu waktu hamba diberi kesempatan untuk membalas budi."
"Jangan sibuk memusingkan hal itu, Jaka Wisena. Sudah semestinya manusia saling tolong-menolong, tak perduli dia seorang raja, seorang pangeran, maupun seorang ksatria atau sudra. Manusia dilahirkan sama, hanya nasib yang menentukan di mana ia akan dilahirkan, pada keluarga tinggi ataukah rendah."
"Sungguh tepat sabda paduka, gusti."
"Nah, kami hendak kembali ke keraton, Jaka Wisena. Semoga kau akan? berhasil besok."
"Terima kasih, gusti."
Berkat hasutan-hasutan yang dijalankan oleh Ken Umang dan Tohjaya, banyak senapati dan pembesar yang tidak senang kepada Pangeran Anusapati yang kini telah menjadi raja. Para senapati dan juga banyak bupati dan adipati yang mendengar dari Pangeran Tohjaya bahwa pembunuhan atas diri Sang Prabu Ken Arok adalah atas usaha Pangeran Anusapati yang kini menjadi raja, pada mengundurkan diri.
Bupati-bupati memisahkan diri dan mereka bersiap untuk melakukan pemberontakan. Hal ini masih terjadi diam-diam, karena mereka masih takut dan segan terhadap Sang Prabu Anusapati yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai cukup banyak pengikut.
Para senapati tua, pahlawan-pahlawan aseli berasal dari Tumapel dahulu, kesemuanya berpihak kepada Sang Prabu Anusapati, demikian pula rakyatnya, oleh karena mereka ini masih setia terhadap Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok.
Sungguhpun amat dirahasiakan, namun para senapati sepuh banyak yang' tahu bahwa ketika Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok, ia telah berada dalam keadaan mengandung. Maka tentu saja mereka merasa yakin bahwa sesungguhnya Sang Prabu Anusapati bukanlah putera Ken Arok, melainkan putera Tunggul Ametung.
Sementara itu, Sang Prabu Anusapati diam-diam juga dapat menduga bahwa para senapati merasa kurang senang ia naik takhta kerajaan, maka ia lalu membuat persiapan. Hilang dan mundurnya para senapati itu tidak menyusahkan hatinya, bahkan ia lalu sering kali mengadakan sayembara-sayembara pemilihan senapati dan panglima-panglima baru.
Pada hari itu, alun-alun Kerajaan Singosari amat ramai, karena pada hari itu sebagaimana sering kali terjadi, sang prabu hendak memilih orang-orang gagah untuk dijadikan pengawal sang prabu. Tentu saja dalam kesempatan ini, banyak orang-orang gagah mencoba kesaktiannya untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu.
Banyak orang muda murid-murid pertapa sakti turun gunung, banyak panglima-panglima perang yang gagah perkasa mencoba untuk merebut pangkat yang lebih tinggi dan banyak harapan ini, karena menjadi pengawal sang prabu tentu saja amat mulia, selalu berdekatan dengan raja, menjadi orang kepercayaannya dan dihormati oleh semua pembesar.
Sang Prabu Anusapati sendiri terkenal sebagai seorang yang digdaya dan pandai sekali bermain segala macam senjata, juga amat kuat tenaganya. Di Kerajaan Singosari terdapat dua orang jago yang bernama Lembuseta dan Lembusena. Mereka ini adalah dua orang yang bertubuh bagaikan raksasa, tenaganya melebihi gajah, kulitnya tebal dan keras seperti kulit badak, akan tetapi sayang sekali otak mereka amat tumpul.
Oleh karena itu, maka kedua orang kakak beradik yang berasal dari Madura ini oleh Sang Prabu Anusapati dijadikan jago penguji orang-orang gagah yang hendak menjadi senapati. Jarang ada orang yang dapat menandingi kedua jago ini, maka siapa yang dapat menghadapi seorang di antara kedua jago ini selama satu lagu dimainkan sampai habis oleh gamelan yang ditabuh sewaktu pertandingan berlangsung, dan orang itu tidak sampai pingsan atau tewas selama itu, maka ia dianggap sudah digdaya dan dapat diterima karena dinyatakan lulus ujian!
Oleh karena itu, tidak banyak orang yang mengikuti ujian berat ini. Sungguhpun pertandingan menghadapi seorang di antara kedua raksasa ini dilakukan tanpa mempergunakan senjata, namun kalau orang tidak memiliki tubuh kuat dan tenaga besar, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Sekali terkena pukulan kepalan tangan yang sebesar buah kelapa itu, dada dapat remuk dan tulang iga dapat patah-patah. Sekali terkena dipiting (dijepit) lehernya oleh sepasang lengan yang sebesar paha manusia biasa dan yang penuh dengan lingkaran urat dan otot menggembung itu, batang leher bisa patah dan orang dapat mati karena sesak napas!
Apa lagi kalau sampai tertangkap dan dibanting, kepala bisa remuk dan otaknya keluar berhamburan. Dan syarat untuk dipilih menjadi calon pengawal pribadi Sang Prabu Anusapati kali ini lebih berat lagi, karena peserta harus menghadapi dua orang raksasa itu seorang sekali!
Tentu saja dalam pemilihan ini, yang amat gembira hatinya adalah penonton. Pertandingan-pertandingan seperti itu selalu menarik hati, maka lama sebelum sang prabu sendiri keluar dari keraton dan datang di alun-alun, penduduk ibu kota telah berdesak-desak memenuhi alun-alun, mengelilingi panggung yang khusus dibuat untuk keperluan ini.
Panggung itu lebar dan hanya berpayon di bagian tempat duduk sang prabu dan para pengiringnya. Di bagian depan dibiarkan terbuka, berbentuk bundar dan lebar, tingginya hampir dua tombak. Oleh karena itu, para penonton dapat melihat pertandingan itu dengan nyata dan enak, sambil duduk berjubel di bawah panggung.
Pada masa itu, permainan adu ayam sudah menjadi kegemaran rakyat, bahkan sang prabu sendiri terkenal sebagai &hli adu ayam yang amat suka akan permainan itu. Maka, dalam pertandingan ini, tidak sedikit para penonton yang bertaruh sehingga suasana menjadi makin menggembirakan.
Ketika Sang Prabu Anusapati keluar dari keraton dan menuju ke alun-alun diikuti oleh para bayangkari, suasana yang tadinya berisik itu menjadi sunyi. Semua orang menunduk menyembah ke arah sang prabu yang naik ke atas panggung dengan langkah tenang. Gamelan yang telah tersedia di situ ditabuh perlahan menyambut kedatangan sri baginda.
Setelah sang prabu mengambil tempat duduk dan memberi tanda dengan anggukan kepalanya, maka perwira yang bertugas mengatur pertandingan itu lalu memberi isyarat. Seorang jago keraton yang bertubuh seperti taksasa itu ke atas panggung, disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai oleh para penonton. Lembuseta dan Lembu-sena dengan mengangkat dadanya yang bidang itu mengangguk-angguk ke arah penonton dengan senyum bangga.
Perwira itu lalu memberi laporan kepada Sang Prabu Anusapati, "Gusti sinuhun, hamba melaporkan bahwa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian berat kali ini hanya ada lima orang saja."
Sang prabu tersenyum, kemudian menarik napas panjang. "Agaknya makin berkurang saja orang-orang gagah di Singosari, biarlah, suruh mereka seorang demi seorang menghadapi Lembuseta dan Lembusena."
"Sendika (baik), gusti, hamba akan menjalankan perintah paduka." Ia lalu mengundurkan diri dan memberi tanda kepada seorang di antara lima peserta yang duduk di pojok panggung sambil bersila, kemudian ia memberi tanda kepada Lembusena untuk mengundurkan diri dari panggung. Kini yang berdiri di atas panggung hanya Lembuseta seorang, siap menanti datangnya penantangnya.
Orang pertama yang naik ke atas panggung adalah seorang laki-laki berkulit hitam dan bercambang bauk, nampaknya kuat sekali- Ketika ia naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton. Si cambang.bauk ini lebih dulu bersujud kepada sri baginda raja, dan berkata, "Hamba yang rendah bernama Surawahana dari lereng Gunung Bromo, menghaturkan sembah bakti, gusti sinuhun."
Sang Prabu Anusapati mengangkat tangan kanannya dan menjawab, "Maju dan lawanlah Lembuseta, Surawahana."
Si cambang bauk yang bernama Surawahana itu lalu menyembah lagi dan masuk ke dalam gelanggang. Sang prabu menengok ke kiri di mana duduk puterinya yang terkasih, yakni Dewi Murtiningsih. Di dalam rombongan sang prabu, selain para pelayan, tidak ada puteri lain yang suka menonton pertandingan itu, kecuali Dewi Murtiningsih yang memang semenjak kecil suka akan olah raga dan olah keperwiraan.
Sang prabu tersenyum dan berkata perlahan, "Dewi, Surawahana itu takkan dapat melawan Lembuseta. Lihatlah saja."
"Benar, ramanda prabu, ia memiliki kegesitan, akan tetapi, tenaganya masih jauh untuk menghadapi Lembuseta." Dari pembicaraan ini saja, dapat diduga bahwa sang puteri telah.banyak mempelajari ilmu sehingga sekali pandang saja ia telah dapat menaksir kepandaian seorang peserta.
Selain Sang Puteri Dewi Murtiningsih, di situ nampak juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingarnurti. Mereka ini, juga Dewi Murtiningsih, agak kecewa karena tidak melihat Jaka Wisena yang mereka harapkan ikut serta, dalam sayembara ini.
Begitu Sura wahana memasuki gelanggang dan telah berhadapan dengan Lembuseta, maka berbunyilah gamelan, tanda bahwa pertandingan boleh dimulai. Kalau suara gamelan ini nanti berhenti lagi dan sebuah tembang telah habis dimainkan, maka berarti Habislah pertandingan sebabak ini. Apa bila Sura wahana dapat mempertahankan diri selama itu, maka ia akan dianggap menang, sungguhpun ia tidak merobohkan Lembuseta.
"Awas....!" tiba-tiba Lembuseta berseru garang dan tubuhnya yang besar itu bergerak maju dengan cepatnya, mendorong dada Surawahana dengan tangan kiri. Surawahana bertubuh cukup besar, akan tetaoi di dekat raksasa itu nampak kecil. Dengan cekatan sekali, Surawahana mengelak dan melompat ke kiri lalu mengirim pukulan tangan kanan dari kiri.
"Blek!" pukulan itu tepat mengenai pundak Lembuseta karena cepatnya gerakan, dan riuhlah suara penonton bersorak, memuji kedua orang itu. Surawahana dipuji karena dalam segebrakan saja sudah berhasil memberi pukulan, dan Lembuseta dipuji oleh karena tubuhnya yang terpukul itu tak bergeming sedikitpun juRa, seolah-olah yang menyambar, pundaknya bukan kepalan Surawahana yang keras, melainkan seekor lalat!
Surawahana terkejut sekali, akan tetapi iapun merasa penasaran. Pertandingan dilanjutkan dengan serunya. Setiap serangan Lembuseta dihindarkan oleh Surawahana dengan gerakan lincah dan gesit, tepat sebaeaimana yang diduga oleh Puteri Dewi Murtiningsih tadi. Akan tetapi sebaliknya Surawahanapun tidak mampu merobohkan lawannya. Beberapa kali tamparan, dorongan dan pukulannya yang mengenai tubuh Lembuseta hanya diterima dengan tertawa bergelak saja oleh Lembuseta!
Penonton makin menjadi tegang melihat kehebatan pertandingan ini dan agaknya Surawahana akan dinyatakan menang karena sudah cukup lama mereka bertempur, belum juga Lembuseta dapat merobohkan Surawahana. Akan tetapi, gamelan masih berbunyi dan pertandingan belum habis. Lembuseta maklum bahwa kalau ia tak berhasil menyerang lawannya, ia akan kehabisan waktu dan akan malulah ia kalau tak dapat merobohkan Surawahana sebelum gamelan berhenti.
Maka ia lalu merobah siasat. Biarpun ia bodoh, akan tetapi pengalaman pertandingan yang banyak membuat ia mengerti beberapa macam akal. Ia selalu menyerang dengan mengandalkan tenaga saja dan menerima pukulan mengandalkan kerasnya kulit, karena ia tidak faham ilmu perkelahian. Kini ia sengaja berlaku lambat dan jarang-jarang menyerang, akan tetapi memperhatikan serangan lawan.
Surawahana dapat tertipu dan mengira bahwa lawannya telah lelah dan putus asa. Ia tidak puas kalau mendapat kemenangan tanpa merobohkan lawan, maka pada suatu saat yang baik, ketika lawannya nampak lengah, ia cepat menghantam sekuat tenaga ke arah lambung raksasa itu. Biarpun ia takkan dapat merobohkannya setidaknya lawannya tentu akan terdorong, dan terhuyung-huyung.
Akan tetapi, saat inilah yang dinanti-nanti oleh Lembuseta. Ia.membiarkan saja lambungnya dipukul, akan tetapi begitu puKulan Surawahana mengenai lambungnya, ia menubbruk maju mengirim tamparan keras dengan telapak tangan kanan yang selebar kipas ke arah kepala Surawahana!
"Blek! Plak!" demikian suara pukulan lambung dan tamparan kepala itu berbunyi hampir berbareng dan terdengar suara ketawa Lembuseta untuk menyatakan bahwa pukulan pada lambungnya itu hanya terasa bagaikan dipijat saja. Akan tetapi akibat tamparan pada kepala Surawahana itu hebat sekali. Bagaikan kena sambaran petir, tubuh Surawahana terputar-putar beberapa kali lalu robohlah ia tak sadarkan diri, sama sekali tak dapat bergerak lagi!
Gegap-gempita sorak-sorai para penonton menyambut kemenangan Lembuseta ini. Tubuh Surawahana yang tak berdaya lagi itu lalu digotong turun oleh dua orang penjaga dan dibawa pergi.
Peserta ke dua dipersilahkan naik. Seperti halnya Surawahana tadi, peserta inipun memberi hormat kepada sri baginda dan memperkenalkan namanya. Ia masih muda dan tubuhnya juga besar dan tinggi, hampir menyamai Lembusena lawannya yang kali ini mendapat giliran. Akan tetapi, Lembusena lebih pandai bertempur dari pada Lembuseta dan pemuda tinggi besar ini belum juga setengah babak telah dapat tertangkap dan dilemparkan ke bawah panggung! Ia kuat dan tidak terluka, akan tetapi saking malu dan tiada harapan, ia lalu lari meninggalkan tempat itu. Kembali para penonton bersorak ramai.
Peserta ke tiga dan ke empat yang bertubuh kuat dan tinggi besar, juga tidak berdaya menghadapi kedua orang raksasa itu. Mereka inipun dirobohkan dengan mudah sebelum gong mengakhiri babak pertandingan. Semua penonton mulai merasa kecewa dan Sang Prabu Anusapati mengeluh,
"Mengapa hanya ada lima orang calon dan lemah-lemah belaka?" katanya kecewa kepada Dewi Murtiningsih.
"Nanti dulu, ramanda prabu, coba periksalah calon ke lima itu. Agaknya ia tidak mudah dirobohkan!"
Sri baginda cepat memandang dan peserta ke lima itu bersujud menyembah. Suaranya terdengar nyaring ketika ia berkata, "Hamba Jaka Lumping dari Belambangan menghaturkan sembah sujud dan mohon pangestu paduka agar supaya hamba berhasil mengabdikan jiwa raga hamba di bawah kaki paduka.
"Hemm, baik, Jaka Lumping, maju dan lawanlah Lembuseta. Mudah-mudahan kau berhasil..."