Keris Maut Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - KLABANGSONGO marah sekali dan memukul dengan tangan kanannya secara membabi-buta dan bertubi-tubi ke arah muka dan dada Wisena. Pemuda itu menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi masih saja ada beberapa pukulan tangan kanan lawannya mengenai dada dan pipinya. Akan tetapi, pukulan-pukulan itu tidak terasa olehnya, karena semenjak tadi Wisena memang telah mengerahkan aji kekebalannya.

Klabangsongo terkejut sekali ketika tangan kanannya yang memukul merasa betapa keras dan kuat kulit dada dan muka pemuda itu. Ia maklum bahwa lawannya yang masih muda ini kebal dan sakti, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kembali tangan kirinya, oleh karena hanya pada tangan kirinya inilah ia mengandalkan kesaktian pukulannya.
Wisena menahan seberapa dapat, namun tenaga lawannya benar-benar mengagumkan. Pernah Wisena mencoba tenaganya dengan memegang tanduk seekor kerbau jantan dengan sebelah tangannya dan kerbau itu sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi sekarang, biarpun ia telah mengerahkan tenaganya, namun hampir saja ia tidak kuat menahan tangan kiri Klabangsongo yang meronta minta lepas.
Akhirnya pemuda ini lalu mengirim pukulan dengan tangan kirinya yang mengenai leher Klabangsongo sambil melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan lawan. Klabangsongo memekik kesakitan dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak, jatuh bergulingan, akan tetapi segera berdiri lagi dengan terhuyung-huyung ke belakang dan ke depan.
Wisena memandang dengan mata terbelalak kagum. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah sembarang pukulan dan jarang sekali ada orang yang mampu menahannya. Tadinya ia sangka bahwa dengan sekali pukulan penuh tenaga mujijat itu akan dapat menewaskan Klabangsongo, tidak tahunya kepala perampok itu hanya bergulingan dan terhuyung-huyung sebentar saja!
Klabangsongo memandang kepada lawannya dengan wajah makin beringas. Matanya mencorong dan melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke pinggang dan ia telah melepaskan senjatanya yang hebat, yaitu sebatang rantai baja yang dipasangi duri dan ujungnya dipasangi besi bersilang yang runcing pada keempat ujungnya. Panjang rantai ini sedepa lebih dan agaknya amat berat.
"Wisena, terjanganmu seperti banteng terluka!" katanya perlahan, setengah gemas setengah kagum.
"Rasakanlah!" jawab Wisena tenang. "Kerahkan seluruh kesaktianmu, aku takkan mundur setapakpun!"
"Bangsat sombong, sumbarmu seperti telah berhasil merobohkan Gunung Kelud. Lihatlah apa yang kupegang ini?"
Wisena tersenyum mengejek, "Ah, alangkah lucu senjatamu itu, lebih patut kalau dipergunakan untuk mengikat hidungmu seperti kerbau lalu kutuntun ke lumpur!"
"Bangsat, akan kuhancurkan kepalamu dengan ini!"
"Majulah, Klabangsongo, akan kuhadapi serangan senjatamu tanpa berkejap!"
Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau menerkam, Klabangsongo menggerakkan rantainya seperti cambuk, lalu diayunkannya menghantam kepala Wisena.
"Eh, terlampau tinggi, kawan!" Wisena mengejek sambil menundukkan kepalanya sehingga rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, tahu-tahu rantai itu telah menyambar kembali menghantam pinggangnya! Wisena terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya, akan tetapi pemuda ini masih dapat mengelak den.qan mudah, dengan jalan memutar tubuh dan melangkah ke kanan. "Tidak kena!" ia tetap mengejek.
Tingkah laku dan ejekan Wisena ini benar-benar membuat Klabangsongo marah sekali. Hampir gila ia dibuatnya, dan dengan gigi gemeretuk gemas ia lalu menghujani tubuh Wisena dengan serangan yang bertubi-tubi. Serangan-serangannya ini benar-benar berbahaya sekali, karena tidak saja ia menyerang dengan rantainya yang dahsyat, akan tetapi juga tangan kirinya dengan telapakan terbuka ikut pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang tak kalah ampuhnya dari pada senjatanya!
Kini Wisena tidak berani main-main lagi. Ia mengerahkan kelincahan dan kegesitannya, tubuhnya lenyap berkelebatan bagaikan burung walet di antara sambaran - sambaran air hujan. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi karena kalau ia teruskan dan satu kali saja terkena serangan lawan, akan celakalah ia. Sambil berseru keras Wisena melompat mundur, jauh dari lawannya dan turun ke atas tanah sambil berjungkir balik beberapa kali."Ha, ha, ha, belum juga babak-belur kulitmu, belum keluar setetes darahmu, kau sudah mundur! Itukah lakunya seorang ksatria? Ha, ha, ha, Wisena, apakah kau mau mengaku kalah dan mau menyerahkan Mekarsari si denok ayu?"
"Jangan kau tergesa-gesa tertawa dan mengira mendapat kemenangan, Klabangsongo. Aku hanya mundur sebentar karena geli dan jijik menghadapi sepak terjangmu yang kasar seperti celeng buta. Lihatlah, ada apa di tanganku?” Wisena telah mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi.
Klabangsongo tertegun menyaksikan keris yang mencorong cahayanya itu, tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya. "Ha, ha, ha! Kerismu hanya sekilan panjangnya, seperti rumput kecilnya. Keris macam itu hanya pantas untuk permainan anak kecil, dan kalau, kau tusukkan ke dadaku tentu akan menjadi patah atau bengkok!"
"Waspadalah, Klabangsongo, akan kuantar kau ke alam asalmu!" Kini Wisena yang menyerbu dengan kerisnya.
Klabangsongo cepat menangkis dengan rantainya, karena sungguhpun ia menyombong dan menghina keris itu, namun ia tidak berani sungguh-sungguh menerima keris itu dengan dadanya! Pertandingan dilanjutkan lagi lebih dahsyat dan mati-matian dari pada tadi. Akan tetapi, kalau tadi menghadapi Wisena yang bertangan kosong saja Klabangsongo tak dapat mendesak, apa lagi kini Wisena telah mencabut keris pusakanya.
Daya keris pusaka Ki Dentasidi amat luar biasa. Keris ini adalah ciptaan Empu Gandring yang sakti, maka juga mempunyai perbawa atau pengaruh yang luar biasa. Tiap kali Klabangsongo menggunakan rantainya menangkis keris itu, ia merasa seakan-akan telapak tangannya bersentuhan dengan api membara!
Juga bergeraknya keris yang menyambar-nyambar bagaikan hidup itu membuat pandangan matanya kabur dan pikirannya bingung. Akhirnya, setelah bertempur cukup lama, Wisena berhasil menusuk ulu hati Klabangsongo. Sebelum keris itu masuk sampai ke gagangnya, pemuda itu cepat mencabutnya kembali sehingga keris itu hanya menancap sampai setengahnya saja. Akan tetapi itupun sudah cukup.
Klabangsongo menjerit, melemparkan rantainya dan kedua tangannya mendekap luka di ulu hatinya yang serasa dibakar. Ia terhuyung-huyung beberapa kali kemudian roboh telungkup dengan kedua tangan masih mendekap ulu hatinya. Ternyata ia telah tewas pada saat itu juga. Demikian ampuh dan hebat adanya keris pusaka Ki Dentasidi ciptaan Sang Empu Gandring yang sakti!
Semenjak pertama kali melihat wajah Wisena yang tampan dan gagah, hati dara juita Mekarsari telah berdenyut lebih cepat dari biasanya. Kini melihat sepak terjang dan kegagahan pemuda itu yang berhasil membunuh Klabangsongo, makin tertariklah hati dara itu.
"Alangkah tampannya, alangkah gagahnya," demikian ia berpikir dengan kagum, "tak mungkin pemuda seperti ini hanya orang biasa saja. Matanya tajam bercahaya, bulu matanya lentik dan panjang, kulitnya kuning. Ah, tentu ia seorang darah bangsawan, jangan-jangan putera bupati atau seorang pangeran..."
Ketika Wisena telah membersihkan kerisnya dan menyimpannya kembali lalu berjalan perlahan menghampirinya, berdeguplah jantung Mekarsari. Dugaan bahwa pemuda ini seorang pangeran membuat wajahnya kemerah-merahan, lirikannya tajam mengait jantung, senyum dikulum kemalu-mainan menambah kecantikannya yang makin menggiurkan. Diam-diam Wisena juga kagum sekali melihat dara yang cantik jelita ini.
"Pantas saja Klabangsongo tergila-gila. Laki-laki manakah yang takkan menjadi gelap mata dan gandrung-gandrung melihat dara sejelita ini?" pikir Wisena sambil menghampiri gadis itu.
Mekarsari lalu berlutut dan berkata dengan suaranya yang halus dan merdu, "Aduh, raden! Alangkah baiknya nasib saya dapat bertemu dengan raden dan dapat tertolong dari pada bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut! Entah bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu dengan raden......"
Mekarsari memicingkan kedua matanya sebentar dengan gerakan kepalanya yang amat menarik. Aah... tak dapat saya membayangkannya. Tak terkira besarnya rasa syukur i!an terima kasih saya kepada raden, saya tak hanya berhu-iring budi, bahkan berhutang nyawa kepada raden. Ketika dibawa lari oleh keparat itu, saya telah bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menolong saya, kepadanya akan saya serahkan jiwa dan raga...." Ia lalu menunduk dengan muka kemerahan sampai ke telinganya yang berbentuk indah itu.
Wisena tertegun dan dengan suara gemetar karena debar hatinya tak dapat ditekannya lagi, ia melangkah maju, menyentuh kedua pundak gadis itu dan membangunkannya. Alangkah halus kulit pundaknya, pikir pemuda itu dengan gairah.
"Wahai, diajeng, puteri juita yang cantik jelita dan halus manis tutur sapanya, berdirilah diajeng dan jangan memberi penghormatan sebesar itu kepadaku. Kau siapakah dan puteri siapakah? Bagaimana kau sampai dapat terculik oleh Klabangsongo?"
Kini Mekarsari telah berdiri menundukkan kepala di depan pemuda itu. Tubuhnya yang langsing dan tinggi montok itu hanya sampai di dagu Wisena. Sembabat dan sesuai benar sepasang orang muda itu, sedap dipandang di kala mereka berdiri berhadapan itu, bagaikan dewa dan dewi, tak ubahnya seperti Batara Kamajaya dan Dewi Ratih!
"Raden, saya bernama Mekarsari, puteri tunggal dari Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Semalam gerombolan perampok yang dikepalai oleh Klabangsongo menyerbu dusun kami karena.... ayahku telah menolak pinangan Klabangsongo kepadaku."
Wisena mengangguk-angguk. "Pantas, pantas, siapa orangnya yang takkan rindu dendam melihat seorang juita seperti kau? Siapa yang takkan hancur kalbunya kalau pinangannya terhadap kau ditampik?"
Mekarsari melempar senyum sambil miringkan kepalanya dengan gaya yang amat menarik hati. Tidak ada seorangpun wanita di dunia ini, bidadari sekalipun tidak, yang tidak berdebar bangga hatinya apa bila mendapat pujian tentang kecantikannya dari seorang pria, apa lagi kalau pria itu seorang teruna setampan dan segagah Wisena, bahkan yang telah menolongnya pula. "Ah.... raden, kau terlalu memuji....”
Melihat sikap dara yang manis merak ati dan seakan-akan menantang itu, runtuhlah iman Wisena. Ia mengulur tangannya dan memegang lengan kanan Mekarsari. Gadis itu hanya menundukkan kepala, tidak berusaha menarik tangannya yang terpegang. Wisena menariknya lebih dekat dan berbisik,
"Mekarsari, sesungguhnya kalau sumpahmu tadi bahwa kau hendak suwita kepada pria yang telah menolongmu dari tangan Klabangsongo?"
Dengan senyum ditahan dan wajah kemalu-maluan Mekarsari mengangguk. Suaranya hampir tak terdengar ketika ia berbisik kembali, "Mengapa tidak sesungguhnya, raden?"
"jadi.... kalau begitu...." Wisena menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar sehingga ucapannya menjadi gagap, "Kau.... suka menjadi jodohku?"
Saking malunya, Mekarsari tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk saja. Bukan main girangnya hati Wisena. Hatinya membesar sebesar Gunung Kelud. Hal ini sungguh-sungguh tak pernah disangkanya. Telah banyak ia melihat perawan-perawan di sekeliling Gunung Anjasmoro di mana ia dibesarkan, namun belum pernah ia melihat seorang gadis seperti Mekarsari.
Juga belum pernah hati pemuda ini tersinggung oleh panah asmara dan kali ini, secara tiba-tiba, ia telah bertemu dengan Mekarsari yang bersedia untuk menjadi isterinya! Ia tak tahu dan tak mengerti apa artinya cinta, akan tetapi yang sudah pasti, gadis ini cantik dan menarik hatinya, membuatnya segan untuk mengalihkan pandang matanya dari gadis ini.
Dikaguminya seluruh bagian tubuh Mekarsari, dari tumit kaki yang mencekung bagian atasnya, jari-jari kaki yang kecil mungil kemerahan, bersih seakan-akan tidak menginjak tanah sampai ke atas kepalanya di mana rambut yang halus kehitaman itu bergerak-gerak tertiup angin.
Rambutnya agak awut-awutan akibat pergulatannya hendak melepaskan diri dari pelukan Klabangsongo tadi dan banyak gumpalan rambut kecil terlepas dan berjuntai di depan jidatnya. Sinom rambutnya yang halus lemas itu terletak rapi di atas jidat, dan rambut pelipisnya melingkar di depan telinga.
"Diajeng Mekarsari....” bisiknya dan ia hanya dapat memegang kedua tangan gadis itu dan duapuluh buah jari tangan saling remas, membawa getaran hati masing-masing yang mengandung penuh arti. Untuk berbuat lebih dari ini, Wisena tidak berani. Inipun telah membuat seluruh tubuhnya menggigil dan membuat ia merasa serba canggung dan bingung, kedua kakinya lemas dan hampir saja ia terhuyung-huyung, maka cepat-cepat ia melepaskan pegangan tangannya.
"Mari, diajeng, mari kuantar kau pulang. Ayahmu tentu merasa gelisah memikirkan nasibmu."
"Baiklah kakangmas.... eh, siapa pula namamu? Ah, aku terlalu bingung sehingga lupa menanyakan nama ksatria yang telah menolongku...." Mekarsari kembali melempar senyum dan kerling yang mempunyai daya melemparkan semangat Wisena ke sorga ke tujuh!
"Namaku....? Aku adalah Jaka Wisena."
"Indah dan gagah namamu, kangmas Wisena."
"Tidak seindah namamu, diajeng...."
Kedua orang muda itu sambil bergandeng tangan dan saling pandang tiada bosannya, berjalan perlahan menuju ke dusun Karangluwih. Mereka tidak memperdulikan lagi, bahkan, sudah lupa sama sekali, akan mayat Klabangsongo yang masih menggeletak telungkup di atas rumput.
Dalam sekali cinta pertama yang mencengkeram di hati Wisena. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Pohon-pohon di hutan nampak melambai-lambai memberi selamat kepadanya. Daun-daun nampak lebih hijau dan berseri dari pada biasa. Kembang-kembang seakan-akan tersenyum manis kepadanya.
Bahkan sinar sang surya nampak makin gemilang. Suara burung-burung pagi yang berkicau masuk ke dalam telinganya bagaikan gamelan dari sorga, demikian merdu dan indah, namun semua keindahan itu hanya merupakan latar belakang saja dari pada keindahan yang me-nyolok dan khusus, yakni diri Mekarsari, dara yang berjalan di sampingnya!
Juga Mekarsari nampak berbahagia, wajahnya kemerahan, dan sepasang matanya berseri-seri. Di dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Hyang Agung yang sudah mempertemukannya dengan seorang pemuda bangsawan, mungkin seorang pangeran!
"Dia tentu seorang pangeran yang menyamar. Kata orang, banyak sekali pangeran yang berkelana sebagai pemuda biasa, seperti halnya Pangeran Tohjaya yang dikabarkan orang suka masuk keluar kampung dan dusun," demikian gadis ini berpikir dengan girang. "Kata orang, Pangeran Tohjaya cakap dan gagah, akan tetapi tak mungkin secakap dan segagah pangeranku ini..."
Gadis ini makin muluk lamunannya dan sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pemuda yang masih memandangnya itu. Tiap kali pandang mata mereka bertemu, ia merasa malu dan warna merah menjalar di seluruh wajahnya, membuat ia tersenyum - senyum malu dan jari tangannya yang menjadi satu dengan jari tangan pemuda itu* bergerak-gerak.
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dari depan. Tanpa berjanji lebih dulu, tangan mereka saling melepaskan pegangan dan keduanya berdiri di pinggir jalan, memandang ke depan dengan hati menduga-duga. Ternyata bahwa yang datang itu adalah rombongan Pangeran Tohjaya. Ki Lurah Reksoyudo sangat girang ketika melihat puterinya dalam keadaan selamat, akan tetapi ia memandang kepada Wisena dengan penuh curiga.
Sementara itu, Mekarsari juga berseru girang, "Ayah....!" Ketika ayahnya melompat turun dari kuda, Mekarsari berlari dan menubruk ayahnya sambil menangis.
"Mekarsari, yang datang adalah Pangeran Tohjaya yang hendak menolongmu, lekas kau memberi hormat!" bisik ayahnya.
Mekarsari terkejut dan memandang kepada laki-laki yang masih duduk di atas kuda dengan gagahnya itu. Pangeran Tohjaya tidak muda lagi dan juga tidak dapat disebut tua, dan benar-benar ia seorang yang cakap dan gagah. Pakaiannya yang mewah itu membuat ia nampak makin gagah dan agung.
Akan tetapi, Pangeran Tohjaya sedang memandang ke arah Wisena dengan marah dan ia segera mengeluarkan seruan kepada para perajurit, "Tangkap perampok ini!!"
Bukan main marahnya Wisena mendengar perintah ini dan melihat sikap Pangeran Tohjaya yang sombong. "Eh, eh, nanti dulu. Kalian ini siapakah dan mengapa datang-datang hendak menangkapku tanpa bertanya lebih dulu? " tanyanya sambil meraba gagang kerisnya.
Seorang perajurit melompat turun dari kuda, diikuti o'eh empat orang kawannya. "Perampok rendah! Berlutut dan menyembahlah, tak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan Gusti pangeran Tohjaya dari Singosari?"
Terkejutlah Wisena mendengar bahwa orang itu adalah seorang pangeran dari Singosari. Tentu ia seorang saudara dari Pangeran Anusapati yang kabarnya telah menjadi raja di Singosari, pikirnya. Ia hendak bekerja kepada Sang Prabu Anusapati, maka tidak seharusnya kalau ia berlaku kasar terhadap seorang pangeran dari Singosari. Wisena lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada pangeran itu.
"Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kehadapan paduka gusti pangeran."
"Hm, rupamu bagus dan kau masih muda, mengapa berani kau menjadi perampok?"
"Ampun, gusti. Hamba sekali-kali bukan perampok. Hamba adalah seorang kelana yang hendak bersuwita kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari."
Sementara itu, Mekarsari berdiri tertegun melihat sikap Wisena yang demikian merendah terhadap Pangeran Tohjaya. Tak salahkah pendengarannya bahwa pemuda yang menolongnya dan yang merampas kasih hatinya itu hanyalah seorang pemuda gunung biasa saja? Kekecewaan memenuhi kalbunya, akan tetapi ketika melihat betapa Pangeran Tohjaya yang salah sangka dan mengira Wisena seorang perampok, ia laiu berlutut menyembah dan berkata,
”Sesungguhnya, gusti pangeran. Pemuda ini bukanlah perampok, bahkan ia telah menolong hamba dari tangan Klabangsongo!"
Mendengar suara yang halus dan merdu itu, Pangeran Tohjaya menengok dan wajahnya berseri ketika ia melihat dara yang cantik jelita itu. "Aduh, kaukah yang bernama Mekarsari? Ki Lurah Reksoyudo, inikah puterimu?"
"Benar, gusti pangeran. Inilah puteri hamba Mekarsari yang dilarikan perampok."
Pangeran Tohjaya mengangguk-angguk dan sepasang matanya menatap wajah dara itu dengan penuh kekaguman. Melihat senyum dan pandang mata pangeran itu terhadap Mekarsari, perihlah hati Wisena karena cemburu dan seketika itu juga bencilah ia terhadap pangeran itu. Sebagai pemuda gemblengan Begawan Jatadara yang telah mempelajari ilmu batin dan memiliki pandangan waspada, ia maklum bahwa kekaguman pangeran itu terhadap dara itu mengandung nafsu-nafsu kotor.
Kemudian Pangeran Tohjaya berpaling lagi kepadanya dan keningnya berkerut. "Hm, jadi kau bukan perampok, malah penolong Mekarsari? Dan katamu tadi kau hendak bersuwita di Singosari? Baik, kau boleh mengabdi kepadaku. Kembalilah ke Karangluwih dan kalau sudah sampai di sana, kau rawatlah baik-baik kudaku dan kuda para perajurit. Hendak kulihat apakah kau cukup cakap menjadi tukang kuda!"
Wisena menyembah menghaturkan terima kasih sedangkan di dalam hati Mekarsari, makin besarlah kekecewaannya. Penolong dan kekasihnya hanya menjadi tukang perawat kuda? Alangkah rendah dan hinanya!
"Manis, Mekarsari, marilah kau ikut aku naik kuda ini, kembali ke Karangluwih!" Pangeran Tohjaya mengajak gadis itu sambil melompat turun dari atas kuda.
Mekarsari terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan ragu-ragu. Akan tetapi ayahnya tersenyum dan menganggukkan kepala kepadanya. Mekarsari lalu menghampiri pangeran itu yang dengan sikap agung dan cekatan lalu memegang pinggangnya yang ramping lalu mengangkatnya dengan ringan ke atas kuda.
Pangeran Tohjaya mendudukkan dara itu di atas kuda, lalu ia melompat di belakang dara itu. Dipeluknya pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan lengan kanannya memegang tali kendali kuda yang lalu dikepraknya kuda itu menuju kedusun Karangluwih. Para prajurit saling pandang dengan senyum, lalu mengikuti pangeran, demikian pula Ki Lurah Reksoyudo. Tak seorangpun menengok lagi kepada Wisena yang masih duduk bersimpuh di atas tanah.
Ketika hendak berangkat, Mekarsari melempar pandang ke arah Wisena dan melihat pemuda itu duduk bersimpuh sambil menundukkan muka, ia merasa terharu. Di sepanjang jalan terbayanglah wajah pemuda itu. Aduh sayang, mengapa ia hanya seorang biasa saja? Pemuda yang disangkanya pangeran atau bangsawan itu, ternyata hanyalah seorang pemuda gunung dan kini diangkat menjadi tukang kuda, tukang menggosok tubuh kuda dan tukang mencari rumput untuk makan kuda!
Pelukan tangan Pangeran Tohjaya pada pinggang Mekarsari makin erat dan ia mencium harum minyak wangi yang dipakai oleh pangeran itu. Perlahan-lahan wajah Mekarsari yang muram karena memikirkan keadaan Wisena itu menjadi terang kembali. Akhirnya tercapai juga idam-idaman hatinya, dipeluk oleh seorang pangeran asli, dan tak lain tak bukan adalah Pangeran Tohjaya yang terkenal cakap, gagah, dan budiman itu!
"Alangkah beratnya tugas ini...." Wisena berkata seorang diri sambil mengumpulkan rumput hijau yang gemuk. "Betapapun juga... paman begawan sudah memberi pesan yang cukup jelas bahwa aku harus mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari. Hanya sayang.... Mekarsari.... ah, agaknya Pangeran Tohjaya... ah, nasib apakah yang kelak akan menimpa pada diriku...?"
Agar dapat memulai tugasnya dengan baik, sebelum masuk ke dusun Karangluwih, terlebih dahulu Wisena mengumpulkan rumput-rumput sampai sepikul, karena bukankah kuda-kuda itu perlu diberi makan rumput yang gemuk?
Ia takkan mengecewakan hati Pangeran Tohjaya, dan siapa tahu kalau-kalau melalui pangeran ini ia akan dapat mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati. "Keris itu...," pikirnya lagi sambil berjalan memasuki dusun memikul rumput, "menurut paman begawan, keris Margapati pemberian eyang empu gandring yang berada di tangan Ken Arok dan kini tentu berada di tangan Sang Prabu Anusapati itu harus dapat terampas olehku. Harus dapat kusingkirkan dari Singosari agar jangan sampai timbul bunuh-membunuh di antara keturunan Ken Arok!"
Memang sebelum tiba di tempat itu. ia telah mendengar cerita orang betapa Sang Prabu Ken Arok telah terbunuh mati oleh seorang pengawal dan bahwa semenjak itu, Pangeran Anusapati menggantikan kedudukan mendiang Prabu Ken Arok, menjadi raja di Singosari.
Karena belum tahu di mana letak kelurahan dan di mana pula kandang kuda tempat Pangeran Tohjaya dan persilakannya menyimpan kuda dan tidak ada kenalan di dusun Karangluwih, Wisena lalu teringat akan pak Bejo dan segera menuju ke pondok kecil di ujung timur dusun itu. Ketika ia tiba di pondok itu, pak Bejo dan bininya sedang makan besar.
Ternyata bahwa nama pak Bejo menjadi terkenal setelah dengan gagahnya ia merobohkan duabelas orang perampok dengan alunya! la mendapat kiriman makanan dari para tetangganya untuk menyalakan penghormatan mereka dan pak Bejo sedang menghadapi makanan di atas tikar dengan senang, ketika ia mendengar suara Wisena menurunkan pikulan rumputnya di luar pintu.
Ia segera keluar, mengira bahwa itu tentu seorang tetangga lain yang datang untuk mengaguminya dan mengirim hadiah. Akan tetapi ketika ia melihat Wisena, ia menjadi pucat. "Kau....?" katanya sambil berdiri bengong.
Wisena tersenyum. "Benar, pak Bejo. Akulah yang datang, kita sudah berkenalan malam tadi. Namaku Jaka Wisena dan aku... aku telah diterima oleh gusti pangeran, dipekerjakan menjadi tukang merawat kuda."
Makin lebar mulut Pak Bejo terbuka. "Aduh... ketika alu ku terpental kembali mengenai tubuhmu, kusangka kau seorang siluman, kemudian... kemudian aku tahu bahwa kaulah yang merobohkan semua perampok itu. Kukira....."
"Kau kira apa, pak?"
"Kusangka kau seorang bangsawan, seorang pangeran yang menyamar, atau seorang senapati atau kesatria dari kerajaan. Kau gagah sekali, akan tetapi... menjadi tukang kuda?"
Wisena mengangguk dan tersenyum. "Apa salahnya. Tukang kudapun pekerjaan juga, bukan? Dan aku membutuhkan pekerjaan."
"Siapa namamu tadi? Wisena? Tentu Raden Wisena, bukan?"
"Tidak, cukup Wisena saja, bukan raden, Jaka Wisena namaku, pak, anak Gunung Anjasmoro."
"Masuklah, masuklah.... aduh, alangkah anehnya dunia. Kau yang merobohkan penjahat menjadi tukang kuda dan aku... aku mendapat sanjungan dan penghormatan. Mari, mari, kau belum makan, bukan?"
Wisena menggelengkan kepalanya, memang semenjak hari kemarin perutnya belum diisi. Hal ini sesungguhnya merupakan hal biasa baginya. Ia seorang pemuda ahli tapa dan tahan tapa, akan tetapi entah mengapa, pertemuannya dengan Mekarsari tadi membuatnya merasa lapar sekali!
"Bagus, kebetulan sekali. Mari kau makan bersamaku. Ah, sudah menjadi hakmulah itu."
"Terima kasih, pak Bejo. Aku tidak menolak datangnya rezeki."
"Mbokne......! Mbokne.... ambil tikar yang satunya itu, gelar di sini supaya lebar. Ada tamu makan bersama....!"
Mbok Bejo menyambut kedatangan Wisena dengan ramah tamah. ''Duduklah, denmas, duduklah.... seadanya saja, tempat kami bobrok dan makanan itu... makanan itu... sesungguhnya pemberian para tetangga! Biasanya kami hanya makan nasi merah dan sambal!"
"Nasi merah dan Sambal enak sekali, mbok Bejo!"
"Eh, eh, kok sudah tahu nama kami? Kau siapa, denmas?"
"Bukan den dan bukan pula mas, sebut saja Jaka Wisena, itulah namanya. Nama yang bagus, sama seperti orangnya," kata Pak Bejo yang duduk bersila di atas tikar, diturut oleh Wisena.
Gembira hati Wisena melihat kedua orang suami isteri yang sederhana dan ramah tamah ini. la seakan-akan merasa berada di antara keluarga sendiri. Maka makanlah ia dengan lahapnya sambil bercakap-cakap.
"Untung pasukan Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa tiba," kata Pak Bejo. "Kalau tidak, tentu menjadi karang abang (lautan api) dusun ini!"
"Sesungguhnya, siapakah Pangeran Tohjaya ini, pak? Apa hubungannya dengan Sang Prabu Anusapati?"
Pak Bejo memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. "Aduh, sungguh kau ketinggalan zaman, nak Wisena! Hal itu saja kau tidak tahu?"
"Aku berada di gunung semenjak kecil pak, terpisah dari pada pergaulan ramai."
"Pangeran Tohjaya amat terkenal sebagai seorang pangeran yang gagah berani dan budiman. Beliau telah sering kali mengadakan perjalanan ke dusun-dusun untuk menolong rakyat kecil dan membasmi penjahat-penjahat. Sungguh seorang pangeran yang luhur budinya, patut dijadikan teladan. Semoga kelak beliau yang menjadi raja di Singosari!"
Diam-diam Wisena merasa heran mengapa seorang yang mempunyai pandangan sekurang ajar itu terhadap seorang dara bisa menjadi seorang pendekar budiman. "Apakah beliau menjadi pangeran pati Kerajaan Singosari?" tanyanya sambil lalu.
"Sebetulnya bukan, karena sang prabu mempunyai putera, yakni Pangeran Ranggawuni, dan sudah tentu saja Pangeran Ranggawuni yang menjadi pangeran pati. Pangeran Tohjaya sebagai paman pangeran Ranggawuni tentu hanya menjadi walinya saja. Akan tetapi, siapa tahu.....," ia melanjutkan dengan suara berbisik, "bukan rahasia lagi bahwa mendiang Sang Prabu Ken Arok dibunuh oleh Prabu Anusapati yang sekarang."
"Apa....? Bukankah yang membunuh adalah seorang punggawa?"
Pak Bejo mengangguk-anggukkan kepalanya yang setelah dibuka ikat kepalanya ternyata botak dan kelimis. "Memang demikianlah, akan tetapi.... siapa tahu kalau yang menyuruhnya orang lain! Ah, sudahlah, hal ini tak perlu dibicarakan, berbahaya!"
Mendengar penuturan ini, makin sukalah Wisena kepada Sang Prabu Anusapati. Kalau benar dia yang membunuh Ken Arok, berarti Prabu Anusapati telah pula membalaskan dendamnya kepada Ken Arok yang telah membunuh eyang dan ayah bundanya! Sudah sepatutnya kalau ia mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati! Alangkah tepatnya perhitungan paman Begawan Jatadara, pikir Wisena dengan puas.
"Kalau demikian, perkenankanlah aku mengundurkan diri, pak Bejo. Ke manakah kiranya rumput ini harus kuantarkan? Tentu kau lebih mengetahui di mana disimpannya kuda dari sang pangeran itu.’
"Ah, di mana lagi kalau tidak di kandang kuda ki lurah? Di sanalah kandang terbesar karena ki lurah memang suka sekali memelihara kuda. Kudanya banyak dan bagus-bagus. Mari kau kuantar, nak Wisena."
Maka berangkatlah kedua orang itu. Pak Bejo berjalan dengan mengangkat dada karena setiap orang yang bertemu dijalan tentu menyapanya dengan amat hormat. Buru kali ini pak Bejo merasa betapa derajatnya naik sekali, dihormati oleh semua orang karena jasanya merobohkan duabelas orang perampok ganas! Wisena yang memikul rumput itu berjalan di sebelahnya dengan tunduk.
"Lihat, orang-orang menghormatiku karena kau menjatuhkan para perampok itu. Biarlah kuwakili kau menerima hormat mereka."
"Biarlah, pak Bejo. Sesungguhnya kau memang gagah berani dan patut mendapat penghormatan," kata Wisena dengan setulus hatinya, karena ia memang suka sekali kepada pak Bejo yang sederhana dan lucu ini.
Setelah tiba di depan kandang kuda, ternyata dugaan pak Bejo benar, karena kandang itu penuh dengan kuda dan di situ banyak pula perajurit yang merawat kuda. Pak Bejo lalu kembali ke rumahnya dan Wisena masuk ke pekarangan itu.
"Eh, mengapa kau baru tiba?" tanya seorang perajurit kepada Wisena sambil memandang tak senang.
"Maaf, saudara. Aku pergi mencari rumput dulu untuk makanan kuda," jawab Wisena.
Perajurit itu merengut dan mendengus marah. "Apa? Siapa menjadi saudaramu? Awas, jaga mulutmu baik-baik, ya? Kau seorang tukang kuda dan aku seorang perajurit tamtama! Jangan sembarangan menyebut saudar!"
"Habis, aku harus menyebut apakah?"
"Sebut denmas, tahu?"
Wisena menarik napas panjang untuk menekan kegemasan hatinya. "Baiklah, denmas."
"Nah, begitu. Kau harus tahu adat dan penurut kalau mau terpakai oleh gusti pangeran! Ayo kau beri makan semua kuda ini kemudian gosok peluhnya sampai kering. Awas, kalau kain penggosok sudah terlalu basah, jangan dipergunakan lagi, ganti dengan yang kering."
Wisena menerima kain penggosok yang hanya sehelai itu. "Di mana penggantinya, denmas?" tanyanya heran.
"Gantinya? Bodoh, untuk apa bajumu itu? Pakai saja bajumu, kalau sudah bisa dicuci kembali," kata perajurit itu yang segera menghampiri kawan-kawannya.
Setelah tertawa-tawa dan bersendau gurau, seorang di antara mereka berkata, "Kawan-kawan, ayo kita mencari pacar!"
"Ah, Dadap, jangan main-main, bukankah gusti pangeran melarang kita mengganggu wanita?" memperingatkan yang lain.
"Ha, ha, ha, gusti pangeran sendiri telah mendekati kembang dusun ini dan siap untuk memetiknya, mengapa kita tidak? Lagi pula. gusti pangeran melarang kita mempergunakan paksaan dan kekerasan. Kita tak perlu memaksa, gadis-gadis dusun paling gampang dipikat!"
"Akan tetapi, di mana terdapat kembang indah di dusun kecil ini?" kata yang lain pula.
"Bodoh, lihat saja si juita Mekarsari, puteri ki lurah itu! Kalau ada dara secantik itu di sini, tentu masih ada lainnya yang denok ayu, walaupun tidak seindah kembang tanaman ki lurah!"
Terdengar suara mereka tertawa-tawa lagi ketika mereka meninggalkan kandang kuda itu, dan Wisena mengertakkan giginya dengan hati mendongkol dan marah. Seperti ini watak anak-anak buah pasukan Pangeran Tohjaya, dapat dipastikan bahwa pemimpinnya sendiri, sang pangeran itu, tentu seorang Bandot mata keranjang pula.
Akan tetapi, ia sedang berusaha mencari jalan untuk dapat mengabdi kepada sang prabu di Singosari, maka apakah dayanya? Ia harus tunduk dan taat kepada seorang pangeran yang menjadi saudara dari sang prabu. Sambil menekan amarah dan kegemasannya, Wisena memaksa senyum lalu merawat kuda-kuda itu, memberi mereka makan, lalu menggosok-gosok tubuh mereka sehingga peluh mereka kering.
Setelah binatang-binatang itu kenyang dan tenang di dalam kandang, Wisena duduk termenung. Terbayanglah wajah Mekarsari dan ia merasa berbahagia sekali. Bukankah dara itu telah menyatakan cintanya kepadanya? Sungguhpun tidak terucapkan, namun dari sikap dan gerakannya tadi, ia telah yakin akan perasaan hati gadis cantik itu. Alangkah akan berbahagianya kalau ia dapat bersanding dengan dara itu, sebagai suaminya.
Akan tetapi, bagaimanakah caranya meminang kepada ki lurah? Hal ini belum dibicarakan dengan Mekarsari, karena keburu datangnya Pangeran Tohjaya yang merenggut kebahagiaan yang sedang dinikmatinya bersama Mekarsari di hutan itu.
"Aku harus menjumpainya," Wisena mengambil keputusan. "Ya, harus kujumpai Mekarsari dan minta petunjuknya dalam hal pinangan ini. Aku harus bertemu dengan dia, malam ini juga!"
Pekerjaan merawat kuda itu makan waktu lama juga tanpa terasa, karena tahu-tahu hari telah menjadi gelap. Wisena lalu menuju ke sungai, memilih tepi yang sunyi, menanggalkan pakaian lalu melompat ke dalam air. Semenjak kecil ia tinggal di dekat mataair dan setiap hari ia mandi di sumber air yang dalam maka tidak mengherankan apa bila ia pandai sekali berenang.
Bagaikan seekor ikan besar saja tubuhnya yang tegap dan langsing itu berenang hilir-mudik. Ia merasa segar sekali dan untuk membersihkan kulit dari debu dan kotoran di kandang kuda, ia menggosok-gosok kulitnya dengan sepotong batu licin.
Akhirnya ia berenang ke tepi dan duduk di atas batu menanti sampai kulit tubuhnya kering. Lalu dikenakan kembali pakaiannya dan pada saat itu ia mendengar suara gamelan.
"Aneh," pikirnya, "siapa orangnya yang berpesta pada saat seperti ini?" la tidak memperdulikannya lagi, lalu bergegas menuju ke kandang kembali, karena ia hendak mencari Mekarsari melalui taman bunga di belakang rumah ki lurah yang tak berapa jauh dari kandang itu letaknya.
Akan tetapi, makin dekat dengan kandang itu, makin jelas terdengar suara gamelan itu dan akhirnya dengan terheran-heran ia mendapat kenyataan bahwa gamelan itu datangnya dari dalam gedung ki lurah!
"Heran sekali! Bagaimana sih pikiran ki lnrah? Baru saja dusunnya diserbu gerombolan perampok dan penduduknya banyak yang tewas, rumah-rumah banyak yang terbakar. Bagaimanakah dalrm keadaan yang menyedihkan ini ia bisa berpesta dan menabuh gamelan?" pikir Wisena dengan penuh keheranan.
Ia lalu menuju ke pagar bambu yang mengelilingi kebun bunga di belakang rumah ki lurah. Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah dapat melompati pagar bambu itu, masuk ke dalam taman. Karena di situ sunyi saja dan kesibukan terdengar dari dalam gedung, Wisena lalu mencari jalan untuk mengintai ke dalam gedung. Ia tidak berani memasuki gedung itu dari pintu, karena hal ini tentu akan membikin marah ki lurah.
Melihat sebarang pohon jambu yang besar di dekat rumah, ia laki memanjat pohon itu bagaikan seekor kera gesitnya, kemudian dari pohon itu ia merayap ke atas genteng,. Genteng gedung ki lurah istimewa tebalnya, maka dengan kepandaiannya yang tinggi ia dapat maju merayap di aras genteng itu tanpa menerbitkan suara atau merusak genteng. Dengan cepat ia lalu maju sampai ke r tas ruang tengah dari mana terdengar suara gamelan itu. Dibukanya sepoleng genteng dan Wisena mengintai ke dalam.
Kini tahulah ia mengapa ki lurah mengadakan pesta. Ternyata ia tengah menjamu Pangeran Tohjaya dan para pemimpin pasukannya yang berjumlah lima orang juga hadir pula di situ para petugas dusun Karangluwih, yakni pembantu-pembantu ki lurah dan para pemimpin atau kepala penjaga.
Pangeran Tohjaya mendapai tempat kehormatan dan pangeran ini nampak gembira sekali. Hidangan-hidangan memenuhi tikar berkembang yang digelar di alas lantai. Penabuh-penabuh gamelan yang duduk di ujung ruangan memperdengarkan lagu-lagu yang meriah.
Yang membikin hati Wisena merasa tidak enak sekali adalah ketika ia melihat Mekarsari beserta beberapa orang perawan dusun lainnya melayani Pangeran Tohjaya dengan senyum simpul manis sekali. Alangkah menariknya gerakan tubuh Mekarsari ketika gadis ini membawa baki berisi minuman, kemudian dengan berjongkok gadis ini bergerak maju ke arah pangeran itu dan mempersembahkan minuman tadi.
Wisena tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh pangeran itu, akan tetapi ia dapat melihat betapa mesra pandangan mata pangeran itu kepada Mekarsari, menggerakkan bibirnya mengucapkan sesuatu yang membuat Mekarsari tunduk kemalu-maluan dan tersenyum, kemudian ia melihat Pangeran Tohjaya mengulurkan tangan dan mencubit pipi Mekarsari!
Bukan main panasnya hati Wisena melihat hal ini. Ia melihat Mekarsari mengundurkan diri dan duduk bersimpuh di tempat tak berapa jauhnya dari Pangeran Tohjaya dan antara kedua orang ini lalu ada permainan mata, saling lirik dan senyum yang membuat Wisena merasakan tubuhnya panas dingin....