Keris Maut Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - GADIS ini telah berusia tujuhbelas tahun, bagaikan bunga mawar sedang mekar semerbak mengharum, mendatangkan rindu dendam dan birahi pada dada setiap teruna yang berada di kampung itu.

Akan tetapi, para pemuda itu hanya berani memandang dengan kagum dan penuh gairah, dengan harapan setipis kulit bawang, karena bagi mereka, merindukan dara juita Mekarsari sama halnya dengan si pungguk merindukan bulan yang mengapung tinggi di awan!
Di samping sifat-sifat Ki Lurah Reksoyudo yang baik, ramah tamah dan adil terhadap rakyat dusun Karangluwih terdapat sifat yang kurang baik, yaitu sifat tamak akan harta benda, pendek kata sifat mata duitan.
"Anakku hanya Mekarsari seorang, cantik jelita, kembang Karangluwih, cantik manis dan denok, tak kalah oleh puteri-puteri Singosari! Maka, sudah sepatutnya kalau Mekarsari menjadi isteri seorang berpangkat tinggi, setidaknya seorang bupati, atau seorang pangeran! Mekarsari cantik, aku berharta, sudah sepatutnya kita memilih menantu yang akan mengangkat derajat kita tinggi-tinggi selagi kita hidup dan kelak mengubur kita dalam-dalam kalau kita mati!"
Demikian berkali-kali ki lurah menyatakan pendapatnya kepada isterinya apa bila isterinya menyatakan bahwa puteri mereka sudah cukup dewasa untuk dinikahkan. Istilah "mikul duwur mendem jero" (memikul tinggi mengubur dalam-dalam) bermaksud dapat mengangkat derajat mereka selagi masih hidup sampai setelah mereka meninggal dunia.
Oleh karena hampir setiap hari semenjak Mekarsari masih belum dewasa, ki lurah selalu mengemukakan idam-idaman hati ini, akhirnya baik Nyi lurah maupun Mekarsari menjadi mabok dan terpengaruh sehingga Nyi lurah juga mengharapkan seorang menantu yang berpangkat tinggi, sedangkan Mekarsari sering kali melamun dan membayangkan betapa senangnya menjadi seorang isteri bupati atau pangeran yang disembah-sembah oleh ribuan orang!
Akan tetapi, sudah menjadi lazimnya bahwa hal yang diharap harapkan itu tak kunjung datang dan yang datang balikan hal yang sama sekali tak pernah diimpikan! Tidak ada seorangpun pemuda dusun yang berani meminang Mekarsari, sungguhpun tiap malam semua pemuda digoda oleh bayangan Mekarsari yang cantik jelita dalam alam mimpi.
Dan yang datang meminang pada suatu hari adalah seorang yang sama sekali tak pernah diharapkan, yaitu seorang kepala gerombolan rampok bernama Klabangsongo yang bersarang di sebuah hutan liar di kaki Gunung Kelud!
Di waktu Sang Prabu Ken Arok masih berkuasa dan belum binasa, Klabangsongo dan anak buahnya tak berani banyak bergerak, hanya bersembunyi di dalam hutan dan menghadang orang-orang yang berani lewat di daerah mereka. Akan tetapi semenjak Sang Prabu Ken Arok meninggal dunia dan keadaan kerajaan di bawah pimpinan Sang Prabu Anusapati amat lemahnya, Klabangsongo mulai memperlihatkan keberanian dan kekejamannya.
Ia memimoin anak buahnya keluar dari hutan itu dan mulai melakukan' perampokan di dusun-dusun sekitar kaki Gunung Kelud. Bahkan akhir-akhir ini ia turun gunung dan menjelaiah di sepanjang Kali Lekso sampai di luar dusun Karangluwih!
Penduduk Karangluwih telah tahu akan adanya gerombolan perampok yang dipimpin oleh Klabangsongo ini, karena sudah banyak orang yang dirampok dan menjadi korban keganasan gerombolan itu. Akan tetapi, selama itu, Klabangsongo belum pernah menyerbu ke dusun Karangluwih, karena ia masih merasa segan dan ragu-ragu, mengira bahwa pertahanan di dusun itu kuat. Ia hanya mengganggu kampung-kampung kecil yang termasuk dalam wilayah Karangluwih.
Ki Lurah Reksoyudo telah mengumpulkan pasukan dusun dan mencoba mengusir gerombolan ini, akan tetapi ternyata bahwa gerombolan yang terdiri dari seratus orang lebih itu amat kuat. Terutama sekali Klabangsongo ternyata adalah seorang yang amat kuat dan digdaya sekali sehingga akhirnya Ki Lurah Reksoyudo terpaksa hanya menjaga keamanan Karangluwih saja dan tidak lagi mengejar-ngejar gerombolan Klabangsongo.
Klabangsongo adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam. Kepalanya yang besar itu menjadi tambah seram kelihatannya karena sepasang matanya yang sebesar jengkol dan kumisnya yang melintang sekepal sebelah. Telah beberapa kali ia bertukar isteri, karena selalu isteri-isterinya itu tidak memperlihatkan sikap mencinta sehingga ia menjadi bosan.
Akhirnya ia mendengar tentang kecantikan Mekarsari, puteri tunggal Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Mendengar pujian orang-orang yang pernah melihat gadis itu. Gandrung-gandrunglah ia dan segera diutusnya seorang pembantunya pergi memasuki dusun Karangluwih untuk meminang gadis itu!
Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya hati Ki Lurah Reksoyudo ketika ia menerima tamunya yang bersikap kasar dan bermata jelilatan itu ke ruang tamu lalu mendengar bahwa tamunya ini adalah utusan dari kepala rampok Klabangsongo!
"Ki sanak," katanya dengan suara dibikin gagah sebisanya, "ada keperluan apakah gerangan maka pemimpinmu Klabangsongo mengutusmu masuk ke dusun ini dan menemui aku?"
Utusan Klabangsongo itu masih muda dan la pernah mendengar tentang kecantikan Mekarsari, maka ketika ia memasuki ruang tamu, sepasang matanya yang liar dan merah itu jelilatan mencari-cari ke dalam rumah, dengan harapan akan dapat melihat si denok ayu Mekarsari!"Ki lurah!" jawabnya dengan suara yang membuat Ki Lurah Reksoyudo merasa punggungnya panas dingin, "hamba diutus oleh kakangmas Klabangsongo untuk meminang puterimu, si denok Mekarsari!"
Seketika itu juga pucatlah wajah ki lurah mendengar pinangan yang kasar dan kurang ajar ini. Kepucatan mukanya berobah menjadi merah karena marah. Hampir saja ia mencabut kerisnya dan menyerang utusan kepala rampok itu, kalau saja ia tidak ingat bahwa betapapun juga orang ini adalah seorang pesuruh yang hanya menyampaikan perintah majikan atau junjungannya.
Bukan utusan ini yang kurang ajar dan bukan pula orang ini yang meminang puterinya. Di dalam kemarahannya ki lurah masih ingat akan peraturan dan ketata-sopanan seorang tuan rumah menerima tamu seorang utusan.
Adapun utusan Klabangsongo itupun dapat melihat betapa tuan rumah menjadi marah, maka buru - buru ia melanjutkan ucapannya, "Ki Lurah Reksoyudo, hamba menyampaikan pinangan kakangmas Klabangsongo disertai syarat dan perjanjiannya. Kalau ki lurah menerima pinangannya, tidak saja kami tidak akan mengganggu Karangluwih, bahkan kakangmas Klabangsongo berjanji akan menjaga keamanan dusun ini, akan memberi kebahagiaan dan harta benda kepada puterimu. Ketahuilah bahwa kakangmas Klabangsongo tidak mempunyai isteri lain, kecuali piaraan di sana sini.
"Dia seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna, dan mempunyai simpanan harta benda yang tidak kalah besarnya dengan kekayaan seorang bupati. Kau mau sawah? Tunjuk saja yang mana, kakangmas Klabangsongo sanggup merampaskannya dari pemiliknya untuk mertuanya.
Kau mempunyai musuh? Tunjukkan yang mana orangnya, dalam sehari saja kakangmas Klabangsongo akan mematahkan batang lehernya dan mempersembahkan kepala musuhmu di depan kakimu. Asalkan jangan minta singgasana kerajaan, kakangmas Klabangsongo sanggup memenuhi segala permintaanmu."
"Bedebah! Keparat! Lekas kau minggat dari sini! Sampaikan kepada Klabangsongo si jahanam bahwa lebih baik dusun ini menjadi lautan api dari pada aku harus menyerahkan puteriku kepadanya” Sambil berkata demikian, ki lurah menuding ke arah pintu depan, mengusir utusan itu yang hanya menyeringai saja dengan tabah sekali.
"Ki lurah, kau telah menentukan nasibmu sendiri. Nah, selamat berpisah sampai bertemu lagi di dalam lautan api!”
Pergilah utusan itu berlari ke luar. Ki Lurah Reksoyudo menjatuhkan dirinya di atas kursi. Nafasnya memburu, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Bedebah, makinya dengan pikiran kusut, pinangan pertama terhadap puterinya datang dari seorang kepala rampok! Tiba-tiba ia teringat akan ancaman Klabangsongo yang diucapkan oleh utusannya tadi, maka cepat-cepat ia berteriak keras, "Penjaga...!!"
Tiga orang penjaga yang memegang tombak dan tadi berdiri di luar kelurahan segera bergegas lari masuk.
"Kumpulkan kepala pasukan, suruh mereka datang ke sini. Cepat!"
Tiga orang penjaga itu lalu berlari ke luar lagi dan segera melakukan perintah ki lurah. Setelah para kepala pasukan datang, ki lurah lalu berkata, "Si keparat Klabangsongo telah mengancam akan menyerang dusun kita. Cepat atur penjagaan yang kuat. Jaga seluruh kampung, kelilingi dengan pasukan-pasukan!"
Ki lurah tidak berani menceritakan tentang pinangan yang amat memalukannya itu, kemudian ia sendiri mengatur barisan penjaga untuk bersiap sedia menyambut serbuan para perampok. Penduduk dusun Karangluwih menjadi gelisah sekali, akan tetapi semua orang laki-laki ikut bersiap sedia menjaga keamanan dengan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, pedang, keris, linggis, pacul dan lain-lain.
Orang-orang perempuan tidak berani keluar dari pintu rumah dan memeluk anak-anak mereka di dalam kamar dengan hati berdebar dan kedua kaki lemas. Setiap kali mendengar suara gaduh di luar rumah, kaki mereka menggigil.
Pak Bejo, petani tua yang tinggal di ujung timur dusun bersama isterinya, biarpun usianya sudah ada limapuluh tahun, namun masih bersemangat. Ia ikut keluar dari pintu rumah membawa sebatang alu besar yang biasanya dipergunakan oleh isterinya untuk menumbuk padi.
"Pakne, kau mau ke mana? Jangan tinggalkan aku, pakne!" kata mbok Bejo dengan suara gemetar. Biarpun mereka tidak pernah punya anak, mbok Bejo selalu menyebut suaminya "pakne" dan suaminya menyebutnya "mbok-ne".
"Aah, kau seperti penganten baru saja, mbokne. Orang laki mau keluar berjaga, kau ribut mulut tak karuan!" Pak Bejo mengomel sambil melepaskan tangannya yang dipegang oleh isterinya.
"Kau sudah tua bangka, mau menjaga apa? Lebih baik di rumah saja, menjaga aku kalau-kalau aku jatuh pingsan karena kaget dan takut!" kata isterinya.
"Biarpun sudah tua, akan tetapi tua-tua kelapa, makin tua makin keras batoknya, makin banyak minyaknya! Lupakah kau bahwa aku adalah bekas cabang atas? Kalau baru sepuluh duapuluh orang perampok saja, terkena sambaran aluku di atas kepalanya, tentu akan remuk kepalanya, menggeletak tak kuasa membuka mulut meminta air minum lagi!" sumbarnya sambil mengayun-ayun alunya yang besar itu di atas kepalanya sehingga nafasnya terengah-engah karena alu itu memang berat.
"Pakne, jangan pergi.... kalau mau berjaga, jagalah didepan pintu rumah sendiri. Bagaimana nanti kalau kau pergi, ada perampok masuk ke dalam rumah? Apa yang harus kulakukan?"
"Jewer telinganya dan jambak rambutnya! Apakah ia tidak tahu bahwa kau adalah mbok Bejo, isteri pak Bejo cabang atas?" jawab pak Bejo seraya mengangkat dada, seolah-olah perampok yang mereka bicarakan itu hanya seorang anak kecil yang nakal saja.
"Jangan pergi, pakne. Aku takut!"
"Aku harus pergi, menggabung dengan para penjaga untuk mengusir perampok kalau mereka berani masuk dusun," kata pak Bejo nekat dan hendak pergi. Akan tetapi isterinya lari memeluknya dan mereka lalu bertarik-tarikan, seorang ingin pergi, yang seorang menahan.
"Baiklah, kalau kau nekat pergi, aku mau ikut ke sana!"
"Ikut? Kau.....? Orang perempuan tua mau ikut berjaga?"
"Biar! Biar aku mati di sampingmu. Bukankah kita dulu sudah bersumpah hidup serumah mati seliang?" Suaranya masih mengandung kemesraan semasa mudanya.
Pak Bejo lemas dan semangatnya bertempur melawan perampok terbang setengahnya. "Baiklah.... baiklah...." ia menarik nafas panjang. "Biar aku menjaga di depan rumah. Kau masuk dan bersembunyilah di dalam kamar."
"Kau betul-betul tidak meninggalkan aku?" tanya mbok Bejo manja.
"Tidak, bagaimana nanti kalau ada perampok mengganggu bidadariku?" kata pak Bejo sambil mengobat-abitkau, alunya di atas kepala. Mbok Bejo segera masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di dalam biliknya.
Sementara itu, hari telah mulai gelap. Hampir setengah hari penduduk Karangluwih menanti aengan hatj berdebar, namun perampok-perampok itu tak juga datang. Makin gelap cuaca, makin gelap pula hati dan piiciran semua orang. Malam yang biasanya aman dan tenteram, kini nampak seakan-akan amat mengerikan. Agaknya para iblis dan setan pada keluar dari tempatnya dan beterbangan di atas dusun itu, siap mencari korban.
Kebetulan sekali diatas rumah pak Bejo terbang seekor burung gagak yang berbunyi tiga kali, "Gaok.... gaok... gaok....!"
Mbok Bejo menjumbul kaget dalam biliknya dan bagaikan seekor kijang melompat, ia lompat turun dari ambennya terus lari keluar. "Pakne...! Pakne....! Tolong...!"
Hampir saja ia bertumbukan dengan suaminya yang dari luar lari ke dalam mendengar jeritnya ini. "Eh, eh, kau kenapakah?" tanya pak Bejo dengan hati tidak enak. Mereka memang tinggal di tempat yang paling ujung dan jauh dari tetangga, di kanan kiri rumah hanya ladang penuh tanaman jagung dan ubi.
"Suara gagak itu.... tiga kali.... alamat tidak baik, dia mencari bangkai...."
"Hush.... jangan bicara yang bukan-bukan, mbokne. Masuklah kembali ke dalam bilik dan kalau kau mendengar sesuatu jangan sekali-sekali keluar. Kalau ada perampok datang, serahkan saja kepadaku, dan kalau aku sedang bertempur melawan puluhan perampok, jangan kau keluar."
Mbok Bejo menggigil. "Aku.... aku takut, pakne. Kau masuk sajalah. Aku takut seorang diri di dalam bilik, takut kalau-kalau kau kenapa-kenapa...."
Di dalam hatinya, pak Bejo memang telah merasa ngeri mendengar ucapan isterinya tentang burung gagak dan bangkai tadi, akan tetapi ia menahan-nahan kengeriannya. Kini ia mendapat alasan untuk masuk ke dalam rumah, maka katanya sambil tersenyum lega,
"Aah, perempuan! Kau memang makhluk lemah dan penakut. Jangan takut, selama ada suamimu di sini, takkan ada orang berani menyentuhmu!" Dengan lenggang seakan-akan Sang Gatotkaca merungrum (mencumbu rayu) Dyah Pergiwa, pak Bejo menggandeng isterinya masuk ke dalam pondoknya. Akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, tiba-tiba terdengar,
"Brak....! Kresek! Kresek.... brak!"
Hampir saja pak Bejo njrantal (melompat anjing) saking kagetnya dan mbok Bejo menjerit sambil memegang baju suaminya.
"Ngeoong....!"
"Bedebah! Keparat! Babo-babo, amuk suramrata jaya-mrata!!" pak Bejo menyambar alunya dan melompat ke luar karena tahu bahwa suara tadi hanya ditimbulkan oleh sepasang kucing yang sedang memadu kasih. "Mana perampoknya? Ayoh keluar, bertanding tebalnya kulit kerasnya tulang melawan jago tua Bejo! Majulah, jangan seorang, keroyoklah sepuluh orang kalau hendak merasakan bagaimana nikmatnya kepala diremuk alu! " Ia petantang-peten-teng (berlagak mengangkat dada) di depan rumah sambil mengobat-abitkan alunya yang besar dan berat.
Mbok Bejo menarik ujung bajunya ke dalam pintu. "Masuklah, pakne, jangan begitu. Itu tadi hanya kucing!"
"Ah, kucing? Kukira perampok-perampok yang datang. Kau penakut sekali, mbokne. Ayoh kuantar masuk bilik."
Keduanya masuk ke dalam bilik dan suasana menjadi sunyi, sunyi yang menakutkan. Bulan sabit muncul membawa cahaya yang remang-remang, menambah keseraman malam.
"Pakne, aku takut...." terdengar suara mbok Bejo perlahan, gemetar.
"Takut apa? Biar aku rengeng-rengeng (bersenandung), kuceritakan tentang Sang Hanoman mengamuk di Ngaleng-kadiraja!"
Maka terdengarlah suara pak Bejo uro-uro (menembang moeopat) mengisahkan perjalanan dan pengalaman Sang Hanoman kera putih perkasa yang menjadi utusan Sang Prabu Raniawijaya ketika mengamuk di Ngalengka (dalam cerita wayang Ramayana). Suara pak Bejo memang empuk dan pulen, maka terdengar enak sekali. Orang-orang yang menjadi tetangga pak Bejo tinggal agak jauh dari situ, akan tetapi ketika mereka mendengar suara pak Bejo uro-uro ini, mereka geleng-geleng kepala.
"Ampun....!" kata seorang tetangga menggelengkan kepala. "Dalam saat seperti ini pak Bejo masih rengeng-rengeng menghibur hati bininya!"
"Mungkin otaknya sudah miring," mencela seorang yang brangasan karena diserang rasa kegelisahan dan ketakutan hebat.
Suara tembang pak Bejo yang merdu itu mengalun di kesunyian malam dan mbok Bejo merem melek karena suara suaminya ini selalu masih mempesona hatinya. Rasa takutnya sudah mengurang dan ia mendengarkan suara uro-uro suaminya yang memang baik itu.
"Sang Hanomam melompat tinggi menantang-nantanya, mengejek berani, Heh kamu Rahwana, raja durhaka! Keluarlah kalau memang perkasa inilah lawanmu, Sang Hanoman sakti keroyoklah, aku takkan lari! Inilah dadaku! Majukan laskarmu Babo babo! Inilah ksatria sejati!"
Tiba-tiba pak Bejo menghentikan mocopatnya karena terdengar suara, "Srek, srek, kletek!” Kemudian disusul oleh suara kaki orang berjalan, lalu sunyi.
"Pakne...."
"Ssst, jangan berisik, tidak ada apa-apa..." balas pak Bejo dengan bisikan menghibur, akan tetapi kedua telapak kakinya telah menjadi dingin sekali. Ia lalu menembang kembali, suaranya dikeras-keraskan, hatinya diberani-beranikan, akan tetapi tetap saja suaranya menjadi sumbang dan kata-kata dalam tembangnya ngawur.
Tiba-tiba keadaan yang sunyi dan suara pak Bejo yang tadinya hanya menjadi suara tunggal di malam sunyi itu terganggu oleh suara bersorak dari jauh.
"Pakne... suara apa itu yang bersorak-sorak...?” bisik mbok Bejo.
"Sst, jangan ribut, dengarkan uro-uroku," sela pak Bejo sambil menekan suaranya yang gemetar karena iapun ketakutan setengah mati. Ia dapat menduga bahwa sorak sorai itu tentulah suara para perampok yang datang menyerbu. Untuk memberanikan hatinya ia melanjutkan tembangnya yang tadi tertunda, dengan suara gemetar,
"Ribuan bala tentara Ngalengka, ratusan para raksasa ganas liar menyerbu! Hanoman trengginas mennyambut, menyambar alu... eh, batu menghantam para perampok.... eh.... menghantam para raksasa gagah perkasa. Sang alu... eh.... alu..."
Pak Bejo tak sanggup melanjutkan tembangnya karena kata-katanya sudah kacau-balau, tercampur dengan pikirannya yang penuh dengan bayangan perampok-perampok ganas dan alunya yang menyambar-nyambar mengamuk!
"Ha, ha, ha!" tiba-tiba terdengar suara ketawa geli dari luar pintu. "Pak Bejo, sejak kapan Sang Hanoman bersenjata alu?"
Mendengar suara yang asing itu di luar pintu, mbok Bejo menggigil seluruh tubuhnya. Ia menarik kaki dan tangannya, membuat tubuhnya menjadi sekecil mungkin, mepet di pojok balai-balai. Pak Bejo memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak. "Si... siappa itu....?" tanyanya.
Akan tetapi suaranya tenggelam di dalam sorak sorai dan derap kaki yang kini telah terdengar riuh, tanda bahwa banyak sekali orang telah memasuki dusun Karangluwih. Suara ini disusul oleh suara pekik kesakitan dan beradunya senjata. Ternyata para perampok telah menyerbu masuk dan telah terjadi perang tanding antara para penjaga dan perampok-perampok itu.
Pak Bejo menyambar alunya dan melompat turun dari balai-balai, siap menyerbu ke luar pintu. Akan tetapi mbok Bejo memegang kakinya, sehingga pak Bejo tak dapat keluar. Tiba-tiba nampak cahaya terang masuk ke dalam bilik itu dan pak Bejo berkata dengan suara serak, "Celaka mbokne. Perampok-perampok itu membakar rumah...."
"Jangan pergi, pakne.... biar kita mati seliang...."
"Baik.... baik.... aduh, kalau rumah kita dibakar, kita mati terpanggang... mbokne, mari kita lari....!" Pak Bejo memegang tangan isterinya dan menyeretnya turun dari balai-balai.
Keduanya berlari keluar dari bilik akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, mbok Bejo menjerit dan lari kembali ke dalam biliknya. Ternyata bahwa di dalam rumah nampak seorang pemuda sedang berdiri bertolak pinggang, sedangkan dari jauh datang menyerbu belasan orang perampok yang tinggi besar dan menyeramkan.
Karena setiap orang perampok memegang sebilah golok yang mengkilat karena tajamnya. Pak Bejo terpaku di ambang pintu dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia menutupkan daun pintu sambil mengintai dari celah-celah daun pintu itu.
Siapakah adanya pemuda yang berdiri di depan rumah pak Bejo itu? Sesungguhnya pemuda ini bukan lain adalah Wisena! Di dalam perjalanannya menuju ke Singosari, Wisena tiba di dusun Karangluwih pada malam hari itu. Ia merasa heran melihat para penduduk mengadakan penjagaan yang demikian rapat dan kuat di sekeliling dusun.
Karena ingin sekali mengetahui apa gerangan yang terjadi, ia lalu menggunakan kepandaiannya memasuki dusun dari sebelah timur tanpa diketahui oleh para penjaga yang hanya melihat bayangan hitam berkelebatan cepat. Wisena berjalan perlahan dan ketika tiba di dekat rumah pak Bejo, ia mendengar percakapan antara pak Bejo dan isterinya.
Maka tahulah Wisena bahwa dusun itu terancam oleh serbuan para perampok. Ia lalu beristirahat di emper rumah pak Bejo. Yang terdengar oleh kedua suami isteri itu tadi adalah suara tindakan kakinya di depan rumah. Kemudian Wisena mendengar pak Bejo bertembang sehingga ia menjadi geli dan suaranya nulalah yang mencela pak Bejo tentang Sang Hanoman bersenjata alu!
Wisena telah mendengar pula sorak sorai dari para perampok yang menyerbu dan ketika ia melihat belasan orang perampok menyerbu masuk dari timur, ia segera menyambut mereka. Ternyata bahwa Klabangsongo telah menyerbu dusun itu dari berbagai jurusan. Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau, dan kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah.
Lebih-lebih lagi kekacauan para penjaga ketika perampok-perampok itu dari luar dusun mempergunakan anak-anak panah yang membawa api. Sudah ada beberapa buah pondok terdekat yang telah terbakar. Jerit minta tolong dari penghuni rumah yang terbakar bercampur dengan pekik orang-orang yang mulai bertempur.
Pertahanan para penjaga bobol dan perampok-perampok yang ganas itu telah menyerbu masuk dusun! Dua-belas orang perampok yang menyerbu dari timur telah merobohkan para penjaga dan kini mereka berlari menuju ke rumah pak Bejo yang berada di paling ujung.
Tiba-tiba muncul sesosok tubuh manusia dari depan rumah pak Bejo dan bayangan ini adalah seorang pemuda yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Ia berdiri menghadang perampok-perampok itu dengan kedua tangan bertolak pinggang. Tentu saja duabelas orang perampok itu menjadi marah dan juga heran melihat seorang pemuda bertangan kosong dan seorang diri berani berdiri menghadang di tengah jalan.
Tiba-tiba pintu pondok pak Bejo terbuka dan pak Bejo sendiri dengan alu di tangan melompat ke luar. Melihat seorang pemuda berdiri di depan rumahnya dan membelakanginya, ia menjadi girang sekali. Ia mengobat-abitkan alunya dan berlari menghampiri Wisena yang masih berdiri tegak. Diangkatnya alu itu dan dipukulkannya ke arah kepala Wisena yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak!
"Duk!" ketika alu itu beradu dengan kepala Wisena, pak Bejo berseru terkejut karena bukan kepala itu yang pecah atau retak, bahkan alunya sendiri yang terlepas dari pegangannya. Pak Bejo memandang kepada belakang tubuh pemuda itu dengan mata terbelalak, kemudian ia melihat rombongan perampok yang telah tiba di depan pemuda itu, maka tanpa menengok lagi ia lalu berlari pontang-panting masuk kembali ke dalam rumah, melemparkan daun pintu dan menubruk mbok Bejo yang masih meringkuk di atas balai-balai.
"Eh, ada apa, pakne?" tanya isterinya ketakutan.
"Celaka.... celaka..... perampok itu sakti sekali kepalanya sekeras batu! Celaka.....!" Kedua orang tua itu berpelukan sambil menggigil ketakutan.
Sementara itu, Wisena menghadapi para perampok dengan senyum menghina. "Perampok-perampok jahat macam kalian ini perlu dihajar!"
Duabelas orang perampok itu menjadi marah sekali mendengar ucapan yang tenang dan menghina ini, maka sambil berseru keras mereka maju mengurung dan menyerang Wisena dengan golok mereka. Wisena membalikkan tubuhnya dan mengambil alu yang tadi dilepaskan oleh pak Bejo.
Ketika ia menggerakkan tubuhnya dan memutar alu itu, terdengar pekik kesakitan dan beberapa batang golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, disusul dengan robohnya tubuh mereka terkena sambaran alu yang besar dan berat itu.
Sekali saja kepala atau dada tercium ujung alu, robohlah seorang perampok tanpa dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih dan bergerak-gerak perlahan. Dalam waktu singkat saja keduabelas orang perampok itu telah menggeletak memenuhi pekarangan rumah pak Bejo dalam keadaan terluka atau pingsan!
"Hm, perampok-perampok macam kalian ini masih berani mengganggu penduduk kampung? Sungguh berani mati!" Wisena berkata sambil menancapkan alunya di atas tanah. Seakan-akan berujung runcing, alu itu menancap di tanah dan berdiri lurus seperti pohon pisang!
Pada saat itu, terdengar jerit seorang wanita. Wisena cepat memandang dan di dalam kegelapan malam ia melihat seorang perampok melarikan seorang dara di atas kudanya yang dibedal keluar dari kampung itu.
"Tolong.... tolong.....! Ayah.... ibu... tolong!" dara itu memekik-mekik ngeri.
"Diamlah, manis. Kau pantas menjadi isteri Klabangsongo... ha, ha. ha, diamlah, denok!" kata laki-laki itu sambil membalapkan kudanya.
"Jahanam!" seru Wisena dan segera pemuda ini melompat mengejar kepala rampok Klabangsongo yang melarikan Mekarsari itu.
Ternyata bahwa Klabangsongo mempergunakan kesempatan selagi para penjaga berperang tanding melawan anak buahnya, ia lalu menyerbu ke dalam rumah ki lurah dan melarikan Mekarsari di atas kudanya. Ketika melihat seorang pemuda yang dapat lari secepat rusa mengejarnya, Klabangsongo mencambuki kudanya yang segera membalap keluar dari dusun menuju ke utara.
Kuda itu ternyata adalah seekor kuda yang baik dan besar, dan dapat berlari cepat sekali sehingga sukarlah bagi Wisena untuk dapat menyusulnya, sungguhpun pemuda ini memiliki kepandaian lari cepat. Namun Wisena telah memiliki keuletan dan kesabaran, ia tidak putus harapan dan terus melakukan pengejaran.
"Keparat, ke manapun juga kau melarikan gadis itu, aku takkan melepaskanmu! " katanya dan terus berlari dengan cepat.
Sementara itu, pada saat para penjaga sudah terdesak hebat dan makin banyak rumah yang terbakar oleh perarnpok-perampok anak buah Klabangsongo tiba-tiba terdengar derap kaKi kuda dan sepasukan perajurit berkuda memasuki dusun itu. Pasukan berkuda ini dipimpin oleh Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa! Perajurit-perajurit yang terlatih ini lalu menyerbu para perampok dan kocar-kacirlah para perampok menghadapi perajurit-perajurit ini.
Para penjaga dan orang-orang dusun yang mengenal perajurit-perajurit Singosari ini menjadi girang sekali. Semangat bertempur mereka bangkit kembali dan dengan hebat mereka mengadakan pembalasan sehingga semua perampok dapat dipukul mundur. Banyak sekali para perampok jatuh menjadi korban, dan sebagian besar yang sudah tak melihat pemimpin mereka lagi, lalu melarikan diri cerai-berai keluar dari dusun Karangluwih.
Setelah fajar menyingsing dan cuaca menjadi agak terang, bersihlah dusun itu dari semua perampok. Korban bertumbuk-tumpuk dan kini orang-orang sibuk memadamkan api yang mengamuk membakar rumah-rumah. Berkat semangat gotong royong para penduduk, penjaga, dan dibantu pula oleh para perajurit di bawah pimpinan Pangeran Tohjaya, maka tak lama kemudian padamlah semua api yang mengamuk itu.
Ketika Pangeran Tohjaya memimpin pasukannya dan diikuti pula oleh para penjaga dan penduduk yang bersorak-sorak girang itu mengadakan pemeriksaan di seluruh dusun, mereka melihat sesuatu yang lucu dan mengherankan terjadi di pekarangan rumah pak Bejo. Orang tua ini tadinya bersembunyi di dalam biliknya beserta isterinya. Kemudian setelah keadaan menjadi sunyi dan diluar tidak terdengar sesuatu, pak Bejo memberanikan dirinya keluar dari pintu.
Alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat betapa di pekarangan rumahnya penuh dengan tubuh para perampok yang terluka dan mengerang kesakitan. Ia melihat alunya berdiri menancap di atas tanah bagaikan batang pisang. Segera ia menghampiri alunya itu dan berusaha mencabutnya, akan tetapi alu itu telah menancap amat dalam dan sukar dicabut.
"Mbokne! Mbokne! Keluar dan bantulah mencabut senjataku ini!" katanya terengah-engah sambil membetot-betot alu itu.
Isterinya keluar dan hampir saja lari lagi ketakutan ketika melihat tubuh para perampok bertumpang tindih dipekarangannya. Akan tetapi melihat snaminya berkutetan dengan alu dan para perampok itu tidak dapat bangun, ia memberanikan hati dan segera membantu suaminya mencabut alu yang menancap di atas tanah.
Biarpun sudah tua, agaknya mbok Bejo masih memiliki tenaga juga. Apa lagi ia memang sering kali mempergunakan alu untuk menumbuk padi, sehingga sudah biasa baginya untuk memegang dan mengangkat alu. Mereka mempersatukan tenaga, membetot, menarik, mendongkrak dan akhirnya tercabutlah alu itu sehingga keduanya terjengkang kebelakang, kerengkangan bagaikan sepasang kura-kura ditelentangkan di atas batoknya!
Pak Bejo melompat bangun. Sambil mengobat-abitkan alunya ia berseru, "Babo, babo! Mana dapat perampok-perampok lemah melawan pak Bejo jago tua!" Sambil berkata demikian, ia mulai mengerjakan alunya, menghantam ke kanan kiri, kepada perampok-perampok yang sudah tak berdaya lagi itu.
Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika alunya bertubi-tubi menghantam perampok-perampok itu berganti-ganti. Perampok-perampok itu hanya bisa mengaduh-aduh, karena sungguhpun tenaga pak Bejo tidak besar dan pukulan itu tidak sampai menghancurkan kepala, akan tetapi masih cukup keras untuk menambah beberapa benjol di kepala, dan beberapa bengkak dan matang biru pada tubuh mereka!
Demikianlah, ketika Pangeran Tohjaya bersama pasukannya dan orang-orang kampung tiba di situ, mereka dengan mata terbelalak melihat betapa pak Bejo bersilat dengan alunya menghantam para perampok dengan gagahnya, sedangkan mbok Bejo berdiri bertolak pinggang, senyum menghias pipinya yang kempot dan sinar bangga menghias matanya yang keriputan!
"Aduh gagahnya pak Bejo!” terdengar seorang penduduk dusun memuji dengan heran, karena ia tahu bahwa biasanya pak Bejo hanya pandai menembang dan membual saja. Dari mana pak Bejo memperoleh kesaktian sedemikian rupa?
Ketika pak Bejo melihat banwa orang-orang dusun datang, ia makin memperhebat lagaknya, menghantam, menyepak, menendang. Sambil mengamuk ia berkali-kali berseru, "Babo, babo! Klabangsongo, jangan maju sendiri, keroyoklah jago tua pak Bejo dengan ratusan anak buahmu!”
Akan tetapi oleh karena ia memang sudah amat lelah mengobat-abitkan alunya yang berat, ketika ia menghantamkan alunya ke atas tubuh seorang perampok dibarengi dengan tendangannya, kakinya kena hantaman alunya sendiri.
"Duk!" kakinya menendang ujung alunya sendiri dan ia terhuyung lalu terpincang-pincang, berputaran sambil mengeluh, "Aduh.... aduh....!"
Tentu saja pemandangan yang amat lucu ini membuat semua orang tertawa bergelak, dan mbok Bejo buru-buru menolong suaminya dan mengelus-elus tulang kering kaki suaminya yang menjadi biru. "Mari kuparami, pakne," katanya menghibur.
Pada saat itu, tiba-tiba dari jurusan rumah kelurahan, datang berlari Ki Lurah Reksoyudo dengan muka pucat. Begitu melihat Pangeran Tohjaya, ia lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah di depan pangeran itu sambil menangis.
"Eh, eh, ki lurah, kau kenapakah? Apakah ada korban jatuh di antara keluargamu?" tanya Pangeran Tohjaya.
"Ketiwasan, kanjeng gusti, ketiwasan...." kata ki lurah sambil menangis. "Puteri hamba, Mekarsari, telah diculik dan dibawa lari oleh Klabangsongo!"
Pangeran Tohjaya terkejut. Sesungguhnya, kedatangannya pada malam hari itu di dusun Karangluwih bukanlah hal yang kebetulan saja. Dari dusun yang berdekatan, ketika ia sedang mengadakan perjalanan dalam usahanya mempertinggi nama dengan menolong rakyat, ia telah mendengar tentang kecantikan Mekarsari yang dipuji-puji orang setinggi gunung.
Untuk menyaksikan kecantikan si juita inilah ia memimpin pasukannya menuju ke dusun Karangluwih dan kebetulan dapat menolong dusun itu dari ancaman anak buah perampok Klabangsongo. "Apa? Puterimu si cantik Mekarsari dibawa lari oleh Klabangsongo? Ke mana larinya si bedebah itu?" tanyanya marah.
"Menurut keterangan orang-orang yang melihatnya, ia melarikan diri menunggang kuda menuju ke utara, gusti. Hamba menyerahkan keselamatan puteri hamba itu ke tangan paduka yang berkuasa!"
Pangeran Tohjaya menghampiri seorang angauta perampok yang masih mengaduh-aduh karena beberapa kali dipentung alu kepalanya oleh pak Bejo tadi. "He, kau!" Pangeran Tohjaya menyepak tubuh orang itu. "Katakan di mana sarang Klabangsongo! Mengakulah terus terang, kalau tidak, akan kusuruh penggal lehermu!"
"Ampun, gusti, ampun.... kalau kakang Klabangsongo pulang, tentu ia akan pergi ke Hutan Waru di kaki Gunung Kelud."
Pangeran Tohjaya lalu memerintahkan tigapuluh orang perajurit pilihan untuk ikut dengan dia mengejar Klabangsongo, sedangkan para perajurit lain disuruh membantu penduduk menolong orang-orang yang menjadi korban perampok. "Mari kita kejar Klabangsongo si bedebah!" serunya sambil melompat naik ke atas kudanya.
"Gusti pangeran, perkenankan hamba ikut mencari puteri hamba!" Ki Lurah Reksoyudo memohon. Permintaannya dikabulkan dan seekor kuda diberikan kepada ki lurah. Maka berangkatlah rombongan ini, membalapkan kuda menuju ke utara. Derap kaki kuda mereka bergemuruh dan debu mengebul ke atas.
Sambil mengepit pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan tangan kanan memegang kendali kudanya, Klabangsongo membalapkan kudanya. Beberapa kali ia menengok ke belakang dan setelah melihat bahwa pengejarnya, pemuda yang pandai berlari secepat rusa itu, tertinggal jauh dan akhirnya tidak nampak lagi, ia menjadi lega.
Mekarsari telah kehabisan tenaga dan suara karena berteriak-teriak sekuatnya. Kini ia hanya menangis terisak-isak di dalam pelukan Klabangsongo.
"Jangan menangisi manis!" Klabangsongo menghibur sambil masih melarikan kudanya sungguhpun tidak membalap seperti tadi, ia merasa yakin bahwa pemuda itu takkan dapat mengejarnya lagi. Mana ada manusia dapat menyusul lari kuda? "Mekarsari, bidadari denok ayu, ketahuilah bahwa untuk mendapatkan dirimu, aku telah banyak berkorban. Telah berhari-hari aku tidak enak makan tak nyenyak tidur....ha, ha, ha, sekarang kau telah berada di tanganku, Mekarsari, kau akan menjadi biniku, sayang....!"
"Bangsat hina dina! Bedebah! Lepaskan aku, lepaskan! Aku tidak sudi menjadi isterimu, lebih baik aku mati...!"
Mekarsari meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi di dalam pelukan tangan kiri Klabangsongo ia tidak berdaya sama sekali. Ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal kecil itu untuk memukul sekenanya, ke arah dada dan muka penjahat itu, akan tetapi diganda ketawa saja oleh Klabangsongo.
"Waduh, tanganmu empuk dan lunak sekali, Mekarsari... biarlah sekarang kaupukul-pukul aku, lain kali kau harus menggunakan tanganmu yang halus dan lunak untuk memijati tubuhku... ha, ha, ha!"
Klabangsongo telah lari jauh dan matahari kini telah naik tinggi. Sama sekali ia tidak mengira bahwa selama itu, semenjak ia melarikan diri, Wisena selalu masih mengikutinya, dan karena ia memperlambat lari kudanya, maka kini pemuda itu telah dapat menyusulnya!
Wisena telah mempergunakan kesaktiannya dan berlari sampai di belakang kuda, akan tetapi tindakan kakinya demikian ringan sehingga sama sekali tidak menerbitkan suara. Apa lagi ketika itu Klabangsongo sedang tenggelam dalam nafsu berahi dan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia sedang menundukkan kepala berusaha mencium muka Mekarsari. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Keparat jahanam!" dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuah tamparan keras menempeleng pilingan Klabangsongo, mendatangkan bunyi bagaikan petir di dalam telinga kepala perampok itu.
"Aduh...!" tubuh Klabangsongo terlempar dari atas kuda. Pelukannya pada pinggang Mekarsari terlepas dan dara itupun terlempar pula ke jurusan lain.
Akan tetapi, sebelum tubuh Mekarsari terbanting di atas tanah yang berbatu, sepasang lengan tangan yang kuat menangkap dan memondongnya. Mekarsari membelalakkan matanya dan ia melihat muka seorang pemuda yang tampan dan cakap bagaikan wajah Sang Arjuna!
Untuk sekejap dua pasang mata bertemu pandang dan merahlah seluruh wajah Mekarsari. Dara ini merasa betapa jantungnya berdebar keras dan dengan amat malu ia meronta-ronta minta diturunkan dari pondongan.
Wisena dapat merasakan gerakan ini dan buru-buru ia menurunkan gadis itu di atas tanah, lalu dengan sigapnya ia menghadapi Klabangsongo yang telah melompat bangun kembali. Kuda tunggangan kepala perampok itu telah melarikan diri saking terkejutnya.
Klabangsongo berdiri dengan sikap yang menyeramkan. Alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya mengeluarkan cahaya seakan-akan berapi, hidungnya kembang kempis dan mulutnya seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat. Dengan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan, ia membentak marah, "Keparat kecil, siapakah kau berani sekali mengganggu Klabangsongo?"
Wisena tetap tenang saja, bahkan kini ia tersenyum mengejeK. Itulah siasatnya untuk menambah rasa amarah dalam dada calon lawannya. Pemuda ini maklum bahwa makin besar amarah lawan, makin mudahlah menghadapinya, karena di dalam setiap perkelahian, orang yang tak dapat menguasai nafsu amarahnya, menjadi mata gelap dan kurang tenang dan waspada.
"Jadi kaukah yang disebut Klabangsongo dan menjadi kepala perampok? Kusangka bahwa Klabangsongo adalah seorang jantan yang gagah perkasa, tidak tahunya hanya seorang penjahat penculik wanita yang hina dan keji! Dengarlah, Klabangsongo, aku bernama Wisena, seorang kelana yang tidak akan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang macam kau melakukan kejahatan."
"Setan alas! Sumbarmu seakan-akan berkepala tiga berlengan enam saja!" teriak Klabangsongo dengan telinga makin merah.
"Habis, kau mau apa?" jawab Wisena acuh tak acuh dan dengan pandang mata merendahkan sekali. "Jangan harap kau akan dapat menculik seorang wanita begitu saja di hadapanku. Kalau belum pecah dada Wisena, kau takkan berhasil, Klabangsongo!"
"Keparat, kalau begitu akan kupecahkan dadamu!" Klabangsongo menubruk maju dengan kedua tangan dipentang-Sikapnya amat mengerikan, bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Ia hendak membuktikan ancamannya, hendak membeset kulit dada pemuda yang berkulit halus itu, hendak meremukkan tulang-tulang dada yang tak berapa besarnya itu.
Akan tetapi biarpun nampaknya pemuda itu lemah lembut, ketika tubrukannya hampir mengenai sasaran tiba-tiba Wisena menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dapat mengelak kekiri. Klabangsongo cepat membalikkan tubuh dan mengirim serangan berikutnya dengan sebuah pukulan ke arah dada Wisena. Kembali Wisena mengelak dan ketika tangan Klabangsongo yang memukul dadanya itu lewat, ia cepat menggerakkan tangan kiri untuk menampar siku lawan.
Klabangsongo adalah seorang perampok yang berkepandaian tinggi dan telah memiliki banyak sekali pengalaman dalam pertempuran, maka ia maklum akan bahayanya tamparan yang dilakukan dari belakang sikunya ini. Kalau saja tamparan ini mengenai sasaran, banyak bahayanya, sambungan sikunya akan terlepas!
Sambil berseru nyaring, ia miringkan tangannya dan mcnyusul dengan pukulan tangan kiri ke arah kepala Wisena. Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Wisena menarik kembali serangannya untuk mengelak.
Klabangsongo mempunyai aji pukulan yang mengerikan dan aji ini terletak di dalam telapak tangan kirinya. Kalau ia mempergunakan aji pukulan ini, maka siapa yang kena pukul akan menjadi bengkak-bengkak seperti terkena bisa dari binatang klabang yang puluhan banyaknya.
Wisena juga dapat menduga akan hal ini oleh karena setiap kali tangan kiri Klabangsongo memukul, ia mencium bau yang amat amis, tanda bahwa tangan kiri itu mengandunq aii yang jahat dan berbisa. Ini pula sebabnya maka ia tidak berani menerima pukulan tangan kiri Klabangsongo sungguhpun ia tidak menakuti datangnya pukulan mengandalkan kekebalannya, namun bisa itu amat berbahaya.
Pertempuran berjalan amat serunya. Klabangsongo kuat dan ganas lagi cepat, sedangkan Wisena memiliki gerakan yang ringan dan gesit sehingga Klabangsongo merasa seakan-akan sedang melawan bayangan!
Sementara itu, dara juita Mekarsari berdiri dengan kedua tangan di depan dada, memandang dengan gelisah dan penuh kekhawatiran, mengharap agar supaya penolongnya yang tampan dan gagah itu akan dapat mengalahkan perampok jahat itu.
Akhirnya Wisena dapat juga mencapai maksud dan usahanya yang semenjak tadi dinanti datangnya kesempatan, yaitu dengan cepat tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Klabangsongo. Kepala perampok itu meronta dan mencoba membetot tangan kirinya, akan tetapi sia-sia belaka, pegangan Wisena benar-benar kuat seakan-akan tangan kirinya itu dipasang belenggu baja yang berat dan tebal...!