Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - Bragolo menarik napas panjang. Diam-diam membandingkan antara Ken Arok ini dan Joko Handoko. Keduanya mengaku putera kandung Ginantoko, tetapi alangkah jauh bedanya antara mereka berdua. Joko Handoko yang sudah pasti tahu akan keadaan dirinya, sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.

Melainkan justru malah menyembunyaikan diri dan tidak memperkenalkan ayahnya, selain itu juga malah melakukan pembelaan dan menyelamatkan nama dan kehormatan Sabuk Tembogo! Sedangkan orang muda ini datang-datang menantangnya dan terus terang mengatakan hendak membalas dendam atas kematian Ginantoko.
Kini terbukalah mata Ki Bragolo. Dia dan pemuda ini sama, keduanya menjadi hamba nafsu dendam. Dan betapa jauh bedanya dengan Joko Handoko. Dia baru melihat sekarang betapa sikapnya kepada Joko Handoko memang keterlaluan. Dia malah menyuruh anak buahnya menawan Joko Handoko yang terluka dalam usahanya menolong sang putri dan menyelamatkan pula Sabuk Tembogo.
“Baik orang muda. Aku membunuh ayahmu Ginantoko karena merusak pagar ayu, kini engkau hendak membunuhku untuk membalas dendam. Dendam mendendam, tidak akan ada habisnya di antara orang-orang yang bermusuhan. Yang kalah akan selalu menyimpan dendam, yang menang akan selalu mempertahankan kemenangannya. Silakan!”
Dia pun terpaksa mencabut sabuk tembaganya dan terasa olehnya betapa berat sabuk yang beratnya hanya belasan kati itu. Jelaslah bahwa kesehatannya terganggu dan dadanya semakin nyeri saja.
“Ki Bragolo, bersiaplah engkau untuk menebus kematian Raden Ginantoko!” Ken Arok berseru dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan, sedangkan tangan kirinya siap untuk menampar kalau kerisnya ditangkis atau dilelakkan. Menghadapi lawan yang dia tahu tentu memiliki kepandaian tinggi, Ken Arok segera memainkan ilmunya Warak Sakti.
“Hemm....!” Ki Bragolo menggereng dan sabuk tembaganya menyambar ke depan, untuk menangkis keris.
“Tranggg.....!!” Keris itu bertemu dengan ujung sabuk tembaga, akan tetapi sabuk itu sudah mencelat ke samping dan terus menyambar ke arah pundak Ken Arok. Demikian hebatnya kakek ini, walaupun kesehatannya terganggu, namun gerakan sabuknya memang amat kuat dan aneh.
“Ehhhhh.....!” Ken Arok tidak sempat menggunakan tangan kirinya untuk melanjutkan serangan, bahkan tidak sempat pula menangkis. Kalau dia mau, dengan melempar tubuh ke belakang, tentu dia dapat mengelak dari sambaran sabuk tembaga. Akan tetapi orang muda itu tidak mengelak, bahkan menerima hantaman sabuk tembaga itu dengan pangkal lengannya menggantikan pundaknya.
“Bukkk.....!” Sabuk tembaga itu terpental dan kakek itupun terhuyung. Wulandari terkejut melihat ayahnya terhuyung. Tahulah bahwa tubuh pemuda itu memiliki kekebalan yang amat kuat. Ia mengkhawatirkan ayahnya maka ia pun melompat ke tengah gelanggang perkelahian. Wulandari tidak berani membantah karena ia melihat betapa ayahnya marah sekali. Dan ayahnya kini sudah saling terjang lagi dengan orang muda putera Raden Ginantoko itu.
Ia melihat betapa pemuda itu, seperti Joko Handoko, memiliki gerakan yang amat gesit dan kuat dan walaupun bertangan kosong, pemuda itu mampu menandingi Ki Bragolo, bahkan berani menangkis sabuk tembaga di tangan kakek itu dengan lengannya yang mengandung aji kekebalan.Memang satu di antara ilmu yang dikuasai Ken Arok dari Begawan Jumantoko adalah Aji Jojokawoco. Sebetulnya ilmu itu hanya merupakan kekebalan bagian dada, akan tetapi Ken Arok telah melatihnya sedemikian rupa sehingga dia sangup membuat kedua lengannya juga kebal.
Hati Wulandari merasa khawatir sekali. Apalagi melihat betapa wajah ayahnya amat pucat, gerakannya juga tidak sesigap biasanya, bahkan kedua kakinya agak terhuyung. Ingin membantu, ayahnya tentu menolaknya dan menjadi marah. Ia lalu teringat pada Joko Handoko dan cepat ia berlari menuju ke pondok di mana Joko Handoko ditawan.
Beberapa orang murid Sabuk Tembogo yang berjaga di situ, cepat menyambutnya. “Ada terjadi apakah?” tanya mereka melihat Wulandari tergesa-gesa berlari masuk.
“Minggir......!” Wulandari menerobos di antara mereka dan memasuki pondok itu. Ketika ia tiba di ambang pintu yang terbuka, tiba-tiba ia terhenti dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak dan muka berubah menjadi merah. Kiranya di situ telah terjadi pertemuan antara Joko Handoko dan Dewi Pusporini!
Pamuda itu masih duduk bersila dan menundukkan mukanya, sedangkan Dewi Pusporini bersimpuh di depannya di atas lantai yang bertikar. Ia masih sempat mendengar kata-kata Dewi Pusporini yang terdengar halus. “....jangan khawatir, aku mempunyai cara untuk memaksa paman Bragolo untuk membebaskanmu....”
Sampai di sini, sang puteri mendengar kedatangan Wulandari dan ia pun menengok dan mukanya berubah merah sekali ketika ia melihat Wulandari berdiri terbelalak memandang kepada mereka berdua. “Diajeng Wulan....!” Katanya lembut namun jelas puteri itu merasa canggung dan malu-malu. “Kau kelihatan tegang, ada terjadi apakah?”
Akan tetapi Wulandari tidak memperdulikan Dewi Pusporini, melainkan cepat ia bersimpuh di dekat Joko Handoko dan berkata, “Kakang Handoko, cepat bangun dan tolonglah ayah. Dia sedang berkelahi melawan seorang pemuda yang mengaku putera Raden Ginantoko dan datang untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.”
“Hemmm....?” Joko Handoko yang tadinya menundukkan mukanya seketika terbangun dan mengangkat muka. Sepasang matanya mencorong sehingga dua orang gadis itu terkejut dan takut.
Memang pada saat itu, di tubuh Joko Handoko penuh hawa sakti yang dikumpulkan selama semalam itu untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kini kekuatannya pulih kembali, bahkan tubuhnya penuh dengan hawa murni sehingga kedua matanya nampak mencorong. Dia terkejut bukan main mendengar ucapan Wulandari, terkejut dan juga penasaran.
“Criiiingggg......!” belenggu kaki tangannya yang terbuat dari besi itu patah-patah ketika tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya dan sebelum dua orang gadis itu hilang kagetnya tubuh Joko Handoko sudah melesat keluar dari tempat itu bagaikan seekor burung yang baru saja terlepas dari kurungan.
Ketika dia tiba di luar pintu gebang, perkelahian antara Ken Arok dan Ki Bragolo masih berlangsung dengan dengan serunya, akan tetapi Joko Handoko dapat melihat betapa kakek itu mulai terdesak hebat. Dia merasa heran melihat betapa gerakan kakek itu jauh lebih lemah daripada biasanya, bahkan kedua kakinya seperti selalu terhuyung.
Ketika dia menatap ke arah wajah kakek itu, Joko Handoko terkejut sekali karena dari jauh saja dia dapat melihat bahwa wajah itu pucat seperti orang sakit, dan mulut itu menyeringai seperti menahan rasa nyeri yang sangat. Tidak pernah dikenalnya pemuda yang perkasa yang menyerang Ki Bragolo mati-matian itu, akan tetapi terdengar ucapan Wulandari bahwa pemuda itu mengaku sebagai putera Ginantoko yang datang membalas dendam, hal ini amat menarik hatinya.
“Tahan....!” katanya dan tubuhnya sudah meloncat ke tengah lapangan perkelahian itu.
“Hemm, jangan mengeroyok!” tiba-tiba Panji Tito yang sejak tadi nonton perkelahian itu dan melihat betapa Ken Arok mulai mendapat kemenangan meloncat dan menyambut kemunculan Joko Handoko dengan serangan dahsyat. Dia tidak ingin Ken Arok dikeroyok, dan memang kehadirannya di situ untuk membantu sahabatnya itu. Melihat kesigapan orang yang baru datang, dia khawatir kalau-kalau sahabatnya dikeroyok maka dia mendahului dengan serangan kilatnya.
“Dessss...!” Joko Handoko menangkis dan akibatnya, Panji Tito terlempar dan terbanting keras. Terkejutlah Panji Tito karena tak tak disangkanya lawan memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Juga Ken Arok terkejut melihat betapa sahabatnya itu, sekali bentrok, telah terbanting roboh oleh pemuda yang baru muncul.
Maka ketika Joko Handoko tanpa memperdulikan Panji Tito meloncat ke depannya, menghadang agar dia tidak dapat menyerang Ki Bragolo lagi, Ken Arok menjadi ragu-ragu untuk menyerang pemuda itu.
“Siapakah engkau yang mencampuri urusan pribadi antara aku dan Ki Bragolo? Sungguh tidak tahu malu untuk melakukan pengeroyokan!” bentak Ken Arok dengan keris masih di tangan.
“Namaku Joko Handoko. Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku. Siapakah engkau yang mengaku sebagai putera Raden Ginantoko?”
Ken Arok terkejut dan memandang tajam. “Raden Ginantoko memang ayah kandungku, dan ibuku adalah Ken Endok, sekarang masih hidup untuk menjadi saksinya! Engkau yang mengaku-ngaku ayah kandungku!”
“Hemm, ibuku Dyah Kanti. Dahulu adalah isteri syah dari Raden Ginantoko. Aku adalah puteranya yang sah. Buktinya, kini keris pusaka Nogopasung yang dahulu membunuh ayahku kini diwariskan kepadaku.” Joko Handoko menepuk ganggang keris yang terselip di pinggangnya.
Ken Arok mengerutkan alisnya. Dari ibunya dia mendengar bahwa ibunya bukan isterinya Raden Ginantoko, melainkan isteri orang lain yang dipilih oleh Raden Ginantoko sebagai titisan sang Hyang Brahma untuk menjadi kekasihnya. Jadi dia bukan putera yang sah! Hal ini menjengkelkan hatinya dan dia menatap wajah pemuda di depannya dengan marah.
“Joko Handoko! Kalau benar engkau ini putera Ramanda Ginantoko, putera macam apakah engkau ini? Apakah engkau tidak tahu begaimana matinya ayah kandung kita itu?”
“Aku tahu. Ayah kita tewas karena ulahnya sendiri.”
“Keparat!” Ken Arok membentak. “Ayah tewas di tangan Ki Bragolo......”
“Benar akan tetapi karena dia merayu dan menggauli isteri Ki Bragolo.”
“Tidak peduli! Ayah mati karena Ki Bragolo dan aku Ken Arok sebagi anaknya harus membalas dengan atas kematian itu!” Dan dia menatap wajah Joko Handoko dengan tajam, mulutnya tersenyum dan dia menambahkan,
“Apakah engkau yang mengaku anak Ginantoko malah terbalik hendak melindunginya? Tidak malukah engkau kepada Ramanda Ginantoko? Joko Handoko, apakah engkau akan menjadi seorang anak murtad, hanya karena.... mungkin sekali menaksir anak perempuan musuh besar kita?”
“Ken Arok harap jangan menyangka yang bukan-bukan, ketahuilah, Eyang Penembahan Pronosidhi sendiri, ayah dari ibuku, melarangku untuk membalas dendam. Ayah kita tewas karena ulah sendiri, merupakan pelaksanaan hukum karma yang langsung diterimanya pada waktu itu juga. Kalau kita membalas, berarti kita memperpanjang rangkaian hukum karma itu, karena tentu kelak keturunan Ki Bragolo atu murid-muridnya akan mengusahakan balas dendam pula kepada kita, atau kepada keturunan kita. Apakah engkau menghendaki demikian? Kita bisa mematahkan hukum karma itu sekarang juga, dengan menghentikan permusuhan, menghentikan dendam mendendam ini."
Ken Arok tetegun mendengar ucapan yang dikeluarkan penuh wibawa itu. Dia tidak pernah melihat ayahnya, juga tidak suka kepada ibunya yang telah memberikan dia kepada orang lain sejak dia masih bayi. Kalau dia ingin membalas dendam, buka sekali-kali karena cintanya kepada ayahnya yang tak pernah dilihatnya, melainkan menurutkan dorongan nafsu dan darah muda.
Merasa malu kalau tidak membalas kamatian ayah. Dia tidak pernah menyelidiki atau peduli mengapa ayahnya dibunuh orang kini, mendengar ucapan Joko Handoko yang begitu penuh wibawa dan juga lembut tanpa kemarahan, dia termenung. Akan tetapi dia masih penasaran.
“Aku ingin melihat bukti bahwa engkau tidak membunuh Ki Bragolo karena kesadaran seperti yang kau katakan tadi, bukan karena takut. Nah sambutlah ini!”
Ken Arok kini menerjang dengan keris di tangannya, memainkan silat Warak Sakti dengan hebatnya. Dia ingin menguji kepandaian orang yang menjadi saudara tirinya ini. Kalau memang benar Joko Handoko memiliki ilmu yang tinggi, berarti Joko Hamdoko akan mampu membunuh Ki Bragolo kalau dikehendakinya, jadi sama sekali tidak mungkin merasa takut kepada musuh. Akan tetapi kalau Joko Handoko tidak memiliki kepandaian tinggi, biarlah dia akan membunuhnya lebih dulu, baru membunuh Ki Bragolo.
Joko Handoko maklum akan isi hati adik tirinya ini. Maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Seketika dia menggerakkan tenaga dan membuka kuda-kuda Nogopasung, ketika tubuh Ken Arok menerjang dengan kerisnya, dia pun menyambut dengan gempuran jurus Nogopasung, dengan tangan kosong.
“Desss.....! Keris itu terpental dari tangan Ken Arok dan tubuh Ken Arok terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh. Tentu saja Ken Arok terkejut bukan main. Tahulah dia bahwa Joko Handoko ini memang hebat bukan main. Kecerdikannya membuat dia tersenyum setelah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, memungut kerisnya dan menyimpan keris itu.
“Joko Handoko, engkau pantas menjadi saudaraku dan memang alasanmu tadi berisi. Aku tidak begitu bodoh membiarkan diriku terseret dalam lingkaran karma hanya untuk urusan kecil saja.”
Joko Handoko girang bukan main, kiranya adiknya inipun seorang pemuda yang gagah perkasa dan cerdik, tidak hanya menurutkan hawa amarah belaka. Dia menghampiri dan merangkulnya. “Adikku yang baik, terima kasih atas pengertianmu. Percayalah bahwa kelak dalam urusan lain, aku tidak akan menentangmu, bahkan akan membantumu.”
“Ayah...!” Tiba-tiba terdengar jerit Wulandari dan semua orang menengok.
Joko Handoko terkejut sekali ketika melihat Ki Bragolo rebah terguling ditubruk oleh Wulandari yang menangisi ayahnya. Juga Dewi Pusporini telah berada di situ, memandang bingung. Tadi, ketika bersama Wulandari ia keluar, ia melihat perdebatan antara Joko Handoko dan Ken Arok. Dengan kagum sekali terhadap Joko Handoko ia melihat betapa Ken Arok dapat ditundukan oleh pemuda itu.
Dan selama itu, Ki Bragolo juga berdiri menjadi penonton, tidak jauh dari tempat ia dan Wulandari berdiri. Kakek itu terluka, hanya agak pucat dan napasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara keluhan panjang dan roboh terkulai.
Joko Handoko cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh kakek itu. Dia memeriksa dan mendapat kenyataan yang mengejutkan sekali. Kakek itu sudah amat lemah, jantungnya berdetak lemah sekali dan napasnya terengah-engah. Tahulah ia bahwa kakek yang usianya sudah lanjut ini telah mendekati ajal.
Mungkin karena ketegangan-ketegangan yang dihadapinya mengguncang jantungnya dan dia tidak kuat menahan lagi. Melihat Joko Handoko, kakek yang sudah terengah-engah itu mencoba untuk menoleh ke arahnya dan mengeluarkan kata-kata lirih terputus-putus.
“Anakmas.... Joko Handoko,... maafkan aku.... dan.... dan Wulandari....” Dia tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang. Agaknya dia ingin bicara tentang Wulandari yang ingin dia jodohkan dengan Joko Handoko akan tetapi merasa malu karena sikapnya terhadap pemuda itu, maka dia tidak melanjutkan dan keburu napasnya terhenti.
Jerit tangis terdengar karena pada saat itu, ibu Wulandari yang diberitahu sudah berlari keluar. Kini ibu dan anak itu menjerit dan menangis, menimbulkan suasana menyedihkan yang membuat Dewi Pusporini terpaksa harus mengusap air mata yang membanjir keluar.
Melihat ini, Ken Arok diam-diam merasa girang dan lega. Bagaimana pun juga, musuh besar itu telah tewas. Memang bukan tewas di tangannya, akan tetapi setidaknya tewas karena setelah berkelahi melawan dia. Biarpun tidak langsung, serangan-serangannya tadi telah membantu tewasnya orang tua itu. Mudah-mudahan arwah ayah kandungnya akan puas, pikirnya.
Dia lalu berpamit pada Joko Handoko. Kedua saudara se-ayah kandung ini hanya saling pandang dan berpisah setelah sekali lagi Joko Handoko mengatakan bahwa dia girang akan kesadaran adik tirinya bahwa kelak, kalau dibutuhkan, dia tentu akan membantu adiknya itu, bukan menentang seperti ketika menghadapi Ki Bragolo. Maka pergilah Ken Arok dan Panji Tito meninggalkan lereng Gunung Kawi.
Setelah membantu Wulandari dan ibunya mengurus jenazah Ki Bragolo, Joko Handoko bersama Wulandari lalu mengantar Dewi Pusporini pulang ke Tumapel. Mereka mempergunakan tiga ekor kuda dan kedatangan mereka di Tumapel disambut oleh Senopati Raden Pamungkas dengan ramah. Senopati ini sudah mendengar pelaporan perwira Ranunilo, apalagi di sudah mendengar akan kematian Ki Bragolo.
“Kanjeng Romo, menurut pendapat saya, tidak mungkin kalau orang-orang Sabuk Tembogo yang melakukan penghadangan dan perampokan terhadap kita. Saya telah mengenal Ki Bragolo, diajeng Wulandari dan para anggota Sabuk Tembogo. Mereka adalah orang-orang yang gagah yang selalu setia terhadap Tumapel. Karena itu saya yakin bahwa dalam hal ini tentu saja ada rahasianya, dan bukan tidak boleh jadi kalau Sabuk Tembogo hanya terkena fitnah.”
Senopati itu mengangguk-angguk. "Memang terjadi keanehan-keanehan. Para perajurit kita dibunuh oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Sabuk Tembogo, sehingga tentu saja aku suruh tangkap dan tahan tiga orang murid Sabuk Tembogo itu. Kemudian, terjadi pula pembunuhan terhadap perajurit-perajurit Tumapel oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Ilmu Pukulan Hastorudiro (Tangan Berdarah).
"Tentu saja aku pun mengirim pasukan untuk menghajar perkumpulan Hastorudiro. Akan tetapi, Ki Kebosoro, juga menyangkal walaupun tetap saja pasukanku menyerbu dan membuat mereka lari cerai berai. Sungguh aneh sekali semua peristiwa ini. Baik aliran Sabuk Tembogo maupun aliran Hastorudiro selamanya setia terhadap Tumapel, kenapa sekarang berbalik memusuhi kita?”
“Maaf, kanjeng senopati,” tiba-tiba Joko Handoko yang masih menghadap bersama Wulandari, berkata dengan halus. “Saya pun merasa curiga, apalagi dengan adanya peristiwa ketika pasukan paduka dibantu oleh Gajah Putih dan Gajah Ireng yang agaknya sengaja hendak membangkitkan permusuhan antara Sabuk Tembogo dan pasukan Kadipaten Tumapel.
"Bahkan, dua orang itu kembali lagi bersama seorang pendeta sakti untuk membunuh sang puteri. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada pihak ketiga hendak mengeruhkan suasana dan mengadu domba. Oleh karena itu, saya akan melakukan penyelidikan tentang rahasia ini dan kalau sudah memperoleh keterangan, tentu saja akan saya laporkan hasilnya kepada paduka.”
Senopati Raden Pamungkas mengangguk-angguk dengan muka girang. “Kami mendengar dari para perajurit tentang kemampuanmu, Joko Handoko. Coba ceritakan apa yang terjadi, dan siapa pula itu pendeta yang hendak membunuh puteri kami.”
Joko Handoko lalu bercerita, dibantu oleh Dewi Pusporini sehingga senopati itu merasa yakin akan kebenaran cerita itu. Setelah mendengar semua, dia mengangguk-angguk lagi.
“Kini makin yakinlah hati kami bahwa memang ada hal-hal aneh yang perlu diselidiki. Baiklah, tiga orang anggota Sabuk Tembogo akan kami bebaskan dan kami perbolehkan pulang ke lereng Kawi bersama andika berdua. Dan kami mengharapkan pelaporanmu. Kami pun akan menyebar penyelidik untuk melakukan penyelidikan.”
Girang sekali hati Wulandari ketika tiga orang kakak seperguruannya yang tidak berdosa itu dibebaskan dan mereka boleh kembali ke lereng Kawi bersama ia dan Joko Handoko. Mereka berpamit.
Dan Dewi Pusporini menjadi terharu sekali ketika harus berpisah dari mereka. Ia merangkul Wulandari. “Diajeng Wulan setelah engkau pulang, jangan lupa, kadang-kadang datanglah berkunjung ke Tumapel agar aku tidak terlalu rindu padamu.”
“Baiklah, mbak ayu Dewi dan terima kasih atas kebaikan-kebaikanmu.”
Dewi Pusporini memandang kepada Joko Handoko yang juga kebetulan sekali sedang menatap wajahnya. Dua pasang mata bertemu dan muka gadis itu menjadi merah sekali, jantungnya berdebar dan ia terpaksa menundukkan mukanya. Hatiya merasa tegang karena terasa sekali oleh gadis ini betapa pandang mata Joko Handoko mengandung pernyataan hati yang demikian jelas!
Tidak ada pernyataan cinta kasih yang lebih jeas dari seorang pria kepada wanita dari pancaran kasih melalui pandang matanya! Dan gadis ini pun tiba-tiba saja mempunyai keinginan untuk memperkanalkan siapa adanya Joko Handoko kepada ayahnya.
“Kanjeng Romo, sebetulnya kakangmas Joko Handoko ini bukan orang lain. Dia adalah putera kandung mendiang Raden Ginantoko.”
“Ahh....?” Senopati Raden Pamungkas membelakkan mata memandang kepada Joko Handoko. “Jadi andika ini putera kakangmas Ginantoko? Dan ibumu...? Maaf, kakangmas Ginantoko mempunyai banyak isteri... yang manakah ibumu, anakmas?”
Diam-diam Joko Handoko merasa rikuh ketika ayahnya diperkenalkan dan agaknya ada hubungan antara ayah kandungnya dan senopati ini. Teringalah dia akan cerita ibunya bahwa ayahnya seorang keponakan dari senopati di Tumapel, maka tidak mengherankan apabila senopati ini mengenal ayahnya. “Ibu saya benama Dyah Kanti....”
“Ah, puteri dari Anjasmoro, puteri Panembahan Pronosidhi?”
Joko Handoko mengangguk. “Aha, kalau begitu, pantas engkau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan! Ayahmu adalah murid Empu Gandring, dan ibumu puteri panembahan Pronosidhi. Kiranya engkau adalah putera sahabatku sendiri, anakmas Joko Handoko!” kata senopati itu dengan girang.
Joko Handoko mengerling ke arah Dewi Pusporini. Kiranya gadis ini sudah tahu akan semua ini akan tetapi diam saja, dan barulah sekarang, di depan ayahnya ia menceritakan keadaan Joko Handoko, bahkan justeru pertama kali gadis itu menyebutnya kakangmas Joko Handoko! Hal ini dilakukannya karena mengingat bahwa derajat mereka, mengingat akan darah ningrat Raden Ginantoko, adalah sama. “Terima kasih atas keramahan kanjeng Senopati...”
“Anakmas, mengingat ayahmu, andika tidak perlu bersikap sungkan dan merendahkan diri. Aku seperti pamanmu sendiri dan sebut saja paman.”
“Terima kasih, kanjeng paman.”
Joko Handoko tidak melihat betapa Wulandari yang berada di sampingnya mengerutkan alisnya dan pandang mata gadis itu menjadi suram ketika ia mendengar dan melihat semua. Mereka lalu berpamit, dan keluar dari istana senopati, bersama tiga orang murid Sabuk Tembogo yang sudah dibebaskan.
Ketika mereka tiba di kaki Gunung Kawi, tiba-tiba dari depan datang sebuah kereta yang dikawal oleh puluhan orang perajurit. Karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak enak, Joko Handoko mengajak Wulandari dan tiga orang murid Sabuk Tembogo untuk bersembunyi. Mereka menyembunyikan kuda dan mengintai dari balik semak-semak.
Nampaklah kerata itu, sebuah kereta yang mewah dan gagah, dikawal oleh oleh empat puluh orang perajurit di depan dan dibelakang kereta. Jendela kereta terbuka dan nampaklah seorang laki-lki berusia empat puluh lima atau lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah.
Di sebelahnya duduk seorang gadis yang amat cantik, dan tengah terisak-isak dan agaknya pria di sebelahnya itu mencoba untuk menghiburnya dengan kata-kata yang penuh kesabaran. Hanya sebentar saja kereta itu lewat. Joko Handoko tidak mengenal siapa pria dalam kereta itu.
Akan tetapi Wulandari mengenalnya dan terdengar gadis ini menggerutu setelah rombongan itu lewat. “Huh, si tua bangka mata keranjang Tunggal Ametung itu agaknya mendapatkan korban baru!”
Joko Handoko terkejut. Tunggal Ametung adalah yang disebut Sang Akuwu Tunggal Ametung, adipati di Tumapel yang hidup sebagai raja muda yang penuh kekuasaan. “Wulan, apa maksudmu....?”
Gadis itu tersenyum. “Aku sudah banyak mendengar tentang dia. Seorang penguasa yang gila perempuan. Aku berani bertaruh bahwa gadis yang menangis dalam kereta tadi tentu seorang gadis yang dirampasnya dan dipaksanya untuk menjadi selirnya yang baru.”
Tiga murid Sabuk Tembogo membenarkan cerita Wulandari. Mendengar ini, timbul rasa tidak senang dalam hati Joko Handoko. “Ah, kenapa ada penguasa bersikap seperti itu? Seorang penguasa sepatutnya melindungi rakyatnya, bukan mengganggu rakyat. Mari kita selidiki, siapakah gadis itu.”
Mereka lalu mengikuti jejak dari mana kereta itu datang sambil bertanya-tanya di tengah perjalanan, akhirnya mereka di dusun Ponowijen dan di situ mereka mendengar bahwa gadis yang berada di kereta bersama Tunggal Ametung tadi adalah puteri tunggal Empu Purwo, seorang pendeta Agama Budha aliran Mahayana.
Puteri ini bernama Ken Dedes, seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari. Kecantikan Ken Dedes amat terkenal, sampai di seluruh daerah gunung Kawi sebelah timur, bahkan berita tentang kecantikan sampai pula ke Kadipaten Tumapel.
Mendengar berita tentang kecantikan gadis di Ponowijen itu, hati Tunggal Ametung yang memang berwatak mata keranjang tertarik dan berangkatlah dia bersama pasukan pengawalnya ke Ponowijen untuk mengunjungi pendeta Empu Purwo dan menyaksikan sendiri berita tentang kecantikan Ken Dedes.
Ketika dia tiba di pondok sang pendeta, dia hanya bertemu dengan Ken Dedes yang menyambutnya dengan ketakutan, seperti lazimnya seorang gadis dusun menyambut kedatangan seorang raja. Pada waktu itu, Ken Purwo sedang pergi bertapa di tegal di mana didirikan sebuah sanggar pemujaan.
Melihat Ken Dedes yang ternyata memiliki kecantikan yang melebihi semua berita yang pernah didengarnya, seketika Sang Akuwu Tunggal Ametung menjadi tergila-gila. Dia sudah tidak sabar lagi menanti sang pendeta, ingin segera memboyong dan memiliki wajah ayu, maka dengan jalan kekerasan, dia pun membawa pergi Ken Dedes. Dilarikannya gadis itu dengan keretanya, dikawal empat puluh orang perajuritnya dan dibawanya gadis itu menuju Tumapel.
Mendengar berita ini, Joko Handoko dan Wulandari hanya menarik napas panjang. Apalagi ketika mendengar betapa sang pendeta itu meninggal dunia karena terkejut, sedih dan marah, dan menurut penduduk setempat, sang pendeta sempat mengeluarkan sumpahnya.
Menyumpahi Tunggal Ametung agar kelak mati diujung keris, bahkan sumur-sumur di Ponowijen agar tidak mengeluarkan air lagi karena penduduknya tidak ada yang berani membela Ken Dedes ketika dilarikan Sang Akuwu Tunggal Ametung.
Joko Handoko merasa penasaran sekali. Akan tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Tunggal Ametung adalah penguasa Tumapel, kekuasanya seperti raja dan dia dilindungi olah puluhan ribu perajurit! Maka dengan hati berat, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Sabuk Tembogo.
Setelah tiba di lereng gunung Kawi, Joko Handoko berpamit dari Wulandari untuk melanjutkan perjalanan yaitu melakukan penyelidikan tentang fitnah yang dijatuhkan kepada Sabuk Tembogo dan Hastorudiro. Dia pun diam-diam ingin melakukan penyelidikan kepada aliran Hastorudiro, karena bukanlah eyangnya tewas oleh Hastorudiro pula?
Dia harus menyelidiki mengapa ayahnya mereka serbu dan dibunuh di samping melakukan penyelidikan apakah benar orang-orang Hastorudiro membunuhi perajurit Tumapel, ataukah ada pihak lain yang menggunakan nama mereka seperti terjadi pada Sabuk Tembogo.
Akan tetapi Wulandari menahannya. "Kakang Handoko, aku minta dengan sangat agar kakang suka menagguhkan keberangkatan kakang meninggalkan kami. Tunggulah sampai aku membenahi Sabuk Tembogo. Setelah ayah tiada, maka harus diadakan pemilihan seorang ketua baru, dengan demikian maka Sabuk Tembogo akan tetap menjadi perkumpulan yang terpimpin."
Karena permintaan yang sangat dari Wulandari, Joko Handoko merasa tidak tega dan dia pun menanti sampai tiga hari lagi. Pagi-pagi sekali, seluruh murid Sabuk Tembogo sudah berkumpul di ruangan belakang yang luas, di mana biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Hampir lima puluh orang berkumpul di situ, dipimpin oleh Wulandari. Dan ketika Wulandari bangkit berdiri dan bicara, Joko Handoko menjadi terkejut sekali.
"Saudara-saudara sekalian! Dengan terjadinya peristiwa yang menyedihkan kita semua, yaitu kematian ayahku, kita kehilangan pimpinan. Untuk menegakkan kembali Sabuk Tembogo agar memiliki seorang pemimpin, kita pagi ini berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru, menggantikan ayahku yang telah tiada.
"Seorang pemimpin, selain memiliki ilmu dan aji kesaktian yang lebih tinggi dari kita semua, juga harus bijaksana dan budiman. Kita semua tahu bahwa sifat-sifat itu dimiliki oleh kakang Joko Handoko, oleh karena itu, aku mengusulkan agar kakang Joko Handoko sudi menjadi pemimpin Sabuk Tembogo!"
"Setuju sekali"
"Akurr...!"
Hampir semua orang bersorak dan bertepuk tangan menyambut usul ini, menyatakan kegembiraan hati mereka kalau Joko Handoko mau menjadi pemimpin mereka. Hanya ada beberapa orang murid tertua saja yang menyambut dengan tenang.
Setelah menenangkan hatinya yang berdebar karena tidak menyangka-nyangka dan tekejut mendengar usul Wulandari itu, Joko Handoko lalu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan ke atas, minta kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang terdiam dia lalu berkata, suaranya tetap lembut akan tetapi cukup lantang sehingga terdengar jelas oleh mereka semua.
"Saudara-saudara sekalian! Saya merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kepercayaan besar yang diberikan oleh diajeng Wulandari dan saudara sekalian. Akan tetapi, dengan menyesal terpaksa saya tidak dapat menerima penghormatan yang diberikan kepada saya itu. Bukan karena saya tidak mau membantu saudara sekalian melainkan karena hal ini sama sekali tidak tepat.
"Perkumpulan kalian adalah aliran Sabuk Tembogo, oleh karena itu, ketuanya tentu saja haruslah seorang tokoh Sabuk Tembogo. Saya adalah seorang luar, orang asing yang sama sekali tidak mengenal ilmu-ilmu dari Sabuk Tembogo, bagaimana mungkin saya dapat menjadi seorang pemimpin perkumpulan silat aliran Sabuk Tembogo?"
Kini Sentono, murid kepala dari Ki Bragolo, bangkit berdiri. "Saudara-saudara sekalian. Alasan yang dikemukakan oleh anak mas Joko Handoko itu memang tepat sekali. Tentu saja dia cukup berharga menjadi pemimpin kita, dan dengan ilmunya kita bahkan akan memperoleh kemajuan kalau kita belajar darinya.
"Akan tetapi dengan demikian, aliran Sabuk Tembogo menjadi tidak murni lagi. Tepat sekali bahwa pemimpin haruslah seorang murid Sabuk Tembogo dan menurut pendapat saya, dilihat dari ketinggian ilmu dalam aliran kita, juga dari segi keturunan dan kebijaksanaan, maka kami mengusulkan agar Diajeng Wulandari saja yang menjadi pemimpin Sabuk Tembogo."
Kembali terdengar soak-sorai, kini lebih gemuruh, menyambut usul ini sebagai tanda setuju. Sentono adalah kakak seperguruan Wulandari, maka diapun menyebut diajeng kepada gadis itu. Setelah jelas semua orang memilihnya, Wulandari tidak dapat menolak.
Memang ialah satu-satunya keturunan Ki Bragolo dan dalam hal ilmu silat aliran Sabuk Tembogo, ia masih mengungguli tingkat Sentono, murid kepala ayahnya. Setelah diadakan perundingan, akhirnya Wulandari diangkat menjadi ketua Sabuk Tembogo, diwakili dan dibantu oleh Sentono dan Sentanu.
Akan tetapi setelah pemilihan itu selesai, Wulandari lalu menyerahkan kekuasaan sementara kepada Sentono dan Sentanu dan ia sendiri, setengah memaksa menyatakan ingin ikut bersama Joko Handoko untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang telah melakukan fitnah kepada Sabuk Tembogo sehingga perkumpulan itu dimusuhi oleh pasukan Tumapel.
"Kakang Handoko, sudah menjadi tugas kewajibanku untuk membersihkan nama Sabuk Tembogo dari fitnah itu. Maka kuharap kakang tidak akan menolakku ikut melakukan perjalanan dan penyelidikan bersamamu," desaknya.
Joko Handoko terpaksa tidak mampu menolak walaupun hatinya merasa kurang enak. Dia merasa bahwa gadis ini telah jatuh cinta kepadanya dan hal inilah yang membuat dia merasa kurang enak berdekatan terlalu lama dengan Wulandari.
Setelah meninggalkan sarang Sabuk Tembogo, Panji Tito segera berpisah dari Ken Arok. Putera Ki Ageng Sahoyo itu tidak betah lagi hidup dekat Ken Arok yang kini menjadi liar dan ganas. Dia pulang ke Sagenggeng untuk membantu pekerjaan ayahnya.
Ken Arok kini sendirian, akan tetapi hal ini bahkan membuat dia semakin ganas. Kalau sudah ada Panji Tito di sampingnya, setidaknya masih ada yang menegurnya. Kini bagaikan seekor kuda, dia terlepas sama sekali dari kendali, bebas melakukan apapun yang dikehendaki dan disukainya.
Karena seringnya dia melakukan perampokan tanpa pilih bulu, maka perbuatan-perbuatannya itu diberitakan orang sampai ke Kerajaan Daha dan kerajaan itu cepat memerintahkan Sang Akuwu Tunggal Ametung untuk menangkap perampok muda yang mengacau daerah Tumapel itu.
Karena diserbu ratusan orang perajurit, terpaksa ia melarikan diri dari dalam hutan dan mulailah menjadi seorang buruan yang terus-menerus malarikan diri dari satu ke lain tempat. Dia tidak pernah merasa aman lagi. Kemana pun dia pergi, dia selalu diserbu.
Namun, agaknya para dewata masih melindunginya. Belum pernah dia tertangkap, dan selalu dia dapat meloloskan diri pada saat yang terakhir. Menurut catatan dalam kitab Pararaton, banyaklah tempat yang dijelajahi oleh Ken Arok dalam pelariannya itu, antara lain Dusun Rabun Gorontol, dusun Wayang dan Tegal Sekomenggolo. Sambil melarikan diri, kalau membutuhkan sesuatu, dia tidak segan-segan merampok lagi.
Dari Sukomenggolo dia melarikan diri ke Rabut Katu, kemudian ke Junwatu tempat kediaman para pendeta. Sambil melarikan diri dia merampok, dia pun selalu memperdalam ilmunya. Ketika dia mengungsi ke dusun Lululambang, dia mondok di rumah seorang keturunan perajurit bernama Gagak Inget.
Agak lama dia tinggal di Lululambang, akan tetapi karena pekerjaannya merampok, dia selalu dikejar-kejar dan merasa tidak aman. Dia pergi lagi ke Kapundungan dan ketika dia melakukan pencurian di dusun Pamalantenan, dia ketahuan lalu dikejar penduduk dan dikepung. Akan tetapi biar pun hampir saja tertangkap, Ken Arok berhasil pula meloloskan diri secara unik.
Ketika dikepung, dia memanjat pohon yang besar dan akhirnya para pengejar menemukannya di atas pohon. Pohon itu dikepung dan karena pohon itu berada di tepi sungai, Ken Arok hampir putus asa, tak tahu harus bagaimana menyelamatkan diri. Akan tetapi dia menemukan akal.
Dengan dua helai daun tal yang lebar, dia melayang turun, menggunakan dua helai daun tal itu seperti sayap dan dia pun dapat melompat turun dan melayang sampai ke seberang timur sungai itu, meninggalkan para pengejar di seberang sungai yang menjadi bengong terlongong. Dari situ, Ken Arok terus melarikan diri ke Nagamasa, lalu ke daerah Orang dan kembali lagi ke daerah Kapundungan.
Perajurit dari Daha yang dikirim oleh Kerajaan Daha terus melakukan pengejaran terhadap Ken Arok, karena Ken Arok pernah merampok seorang pembesar dari Daha, maka dia dimusuhi dan dikejar-kejar oleh pasukan Daha.
Ada pun Tungal Ametung sendiri tidak begitu peduli, pertama karena memang sudah lama dia menganggap diri sebagai raja muda dan ingin melepaskan kekuasaan Kerajaan Daha terhadap Tumapel, kedua kalinya karena semenjak memperoleh Ken Dedes sebagai selirnya, dia tidak begitu peduli lagi terhadap urusan luar dan selalu mengeram di dalam kamar bersama Ken Dedes!
Ken Arok terus belari dari satu ke dusun lain. Dari Kapundungan, dia lari ke dalam hutan Patangtangan, lalu terus ke dusun Ano dan masuk ke hutan Terwag. Sementara itu, kesukaannya merampok tak juga dihentikan, bahkan makin menjadi-jadi. Anehnya, kemana pun dia pergi ada saja orang yang menolongnya. Hal ini mungkin sekali karena pembawaannya yang baik, wajahnya yang tampan dan sikapnya yang pandai mengambil hati orang.
Pada suatu hari, seorang pandai emas bernama Empu Palot yang tinggal di dusun Turyantopodo, melakukan perjalanan ke dusun Kebalon. Karena dia membawa emas sebanyak lima tail dan mendengar desas-desus akan adanya perampok yang berkeliaran, dan hari sudah menjelang senja, dia merasa khawatir juga ragu-ragu untuk pulang dusunnya. Kebetulan dia melihat seorang yang bukan lain adalah Ken Arok.
Melihat kakek itu seorang diri saja di tepi jalan, Ken Arok bertanya, "Paman hendak pergi kemanakah?"
"Saya baru saja pulang dari Kebalon dan hendak pulang kembali ke Turyatopodo, akan tetapi saya mendengar bahwa di perjalanan tidak akan aman karena munculnya seseorang perampok muda yang ganas."
Ken Arok tesenyum, maklum siapa yang dimaksudkan. Wajah kakek ini mendatangkan kesan baik dalam hatinya. Dia membutuhkan bantuan orang yang akan menampungnya untuk bersembunyi, apalagi kakek ini memiliki wajah yang membayangkan orang berilmu. "Harap paman jangan khawatir. Mari saya antar paman ke Turyantopodo, kalau muncul perampok itu akan saya hajar dia!"
Karena pemuda itu berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap membayangkan kekuatan, maka Empu Palot girang sekali menerima penawaran itu dan mereka pun melakukan perjalanan menuju ke Turyantopodo. Di sepanjang perjalanan, Ken Arok mendengar bahwa kakek ini adalah seorang pandai emas yang mahir.
Maka timbul niat di hatinya untuk berguru kepada Empu Palot. Hal ini dikemukakannya dan Empu Palot yang merasa berhutang budi, menerimanya dengan gembira. Mulailah Ken Arok hidup di Dusun Turyantopodo sebagai murid Empu Palot. Pada suatu hari Empu Palot menyuruh Ken Arok pergi ke Kabalon untuk memperdalam ilmu membuat perhiasan dari emas kepada seorang pendeta sahabatnya di Kebalon.
Pergilah Ken Arok ke sana. Akan tetapi ternyata dia tidak disambut manis oleh penduduk Kabalon, bahkan dicurigai. Marahlah Ken Arok dan dia pun mengamuk, merobohkan beberapa orang yang berani memperlihatkan sikap tidak manis dan curiga kepadanya. Dia pun dikeroyok dan dikepung dan muncul pula orang-orang Daha yang segera melakukan pengejaran.
Ken Arok melarikan diri lagi, sampai ke Tunggaran. Akan tetapi, kepala dusun Tunggaran juga mencurigainya dan tidak mau menerimanya tinggal di dusun itu. Hal ini amat menyakitkan hati Ken Arok. Ketika Ken Arok berada di luar dusun, dia bertemu dengan seorang gadis yang sedang bertanam kacang di ladang.
Ketika oleh Ken Arok diketahui bahwa gadis itu adalah puteri Kepala Desa Tunggaran, terbukalah kesempatan baginya untuk membalas dendam atas penolakan kepala desa terhadap dirinya. Ditangkapnya gadis itu dan diperkosanya, lalu ditinggalkannya untuk melanjutkan pelariannya.
Setelah menjadi buruan lagi, lari dari hutan ke hutan, dari dusun ke dusun, bertemulah dia dengan seorang nenek dari dusun Panitikan dan nenek yang arif ini menasehatinya untuk bertapa di Gunung Lejar. Maka pergilah Ken Arok ke gunung itu dan bertapa. Baru dia telepas dari pengejaran orang-orang Daha.
Setelah merasa aman dan bebas dari pengejaran, Ken Arok berani meninggalkan tempat pertapaannya dan segera dia menjadi langganan tempat perjudian di dusun Kaloka. Dan di tempat inilah bintangnya mulai terang. Pada suatu hari, seorang pendeta Brahmana dari India yang bernama Danyang Lohgawe, bertemu dengannya di tempat perjudian itu.
Sampai lama pendeta itu menatap wajah dan bentuk tubuh Ken Arok dan pendeta yang arif dan bijaksana ini maklum bahwa dalam diri Ken Arok terdapat wahyu yang akan mengangkat pemuda itu kelak menjadi orang yang besar. Setelah merasa yakin akan bisikan hatinya, dia lalu mendekati dan menegurnya!
"Orang muda, tempatmu bukan di sini. Tinggalkan meja perjudian ini dan marilah ikut bersamaku."
Ken Arok yang sedang kalah itu terkejut melihat ada orang yang berani menegurnya, dan dia memandang kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek itu bertubuh jangkung, berkulit kehitaman dan wajahnya asing. Hidungnya mancung sekali. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti memandang bara api yang panas. Diam-diam Ken Arok kagum dan dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang pendeta yang pandai. Pakaiannya demikian sederhana, hanya kain dilibat-lihatkan tubuhnya yang jangkung.
"Siapakah engkau, paman? Pergilah dan jangan menggangguku. Aku sedang berjudi mengejar kekalahanku." Jawab Ken Arok sambil mengibaskan tangannya dengan hati sebal.
"Hemm, engkau mengejar kemenangan? Mengejar uang? Mari keluar bersamaku kalau engkau mengejar kemenangan uang!" Berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari rumah perjudian, seolah-olah merasa yakin bahwa orang muda itu tentu akan mengikutinya.
Dan benar saja. Ken Arok meninggalkan arena perjudian, biar pun dia sudah menderita kalah sampai hampir habis uang bekal yang dipakai modal berjudi tadi. Ada sesuatu dalam suara pendek itu yang menarik hatinya dan membuatnya ingin tahu sekali. Dia lalu mengikuti pendeta itu keluar.
"Apa maksudmu dengan kemenangan dan uang paman?" setelah tiba di luar, Ken Arok bertanya.
Danyang Lohgawe tertawa. "Kau pungut batu-batu itu dan lihat!"
Ken Arok masih tidak mengerti, akan tetapi dia lalu mengambil kerikil yang bertebaran di bawah kakinya. Diambil dan dikepalnya kerikil-kerikil itu dan ketika dilihatnya, matanya terbelalak. Kerikil-kerikil yang tadi merupakan batu-batu tak berharga itu kini nampak olehnya telah menjadi emas, benda berkilau yang indah!
"Emas...!" serunya dan diperiksanya kerikil itu. Dia pernah berguru kepada Empu Palot dan dia pandai membedakan mana emas mana bukan dan benda-benda yang berada di tangannya itu benar-benar emas!
"Demikianlah, anakku. Di dalam tangan orang yang mengandung wahyu, batu pun dipegang berubah menjadi emas. Akan tetapi apa gunanya semua emas itu? Kalau tidak pandai-pandai engkau mengusahakan dan menempatkan diri sesuai dengan wahyu itu, semua emas itu pun akan mudah habis dan engkau kembali ke asalmu...."