Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - Mendengar ucapan ini, Ken Arok sadar dan diapun membuang kerikil-kerikil itu. Selama ini dia telah menyia-nyiakan waktu dan usianya. Maka dia lalu berlutut dan menyembah kepada Danyang Lohgawe. "Paman panembahan, saya mohon petunjuk."

Danyang Lohgawe lalu menyentuh pundaknya, menariknya bangkit berdiri. "Mulai detik ini, engkau menjadi anak angkatku. Aku ada Danyang Lohgawe."
"Nama saya Ken Arok dan saya akan menaati semua petunjuk Bopo Danyang!"
"Mari ikut bersamaku, Ken Arok anakku, tempatmu bukan di sini, melainkan di dekat para bangsawan tinggi."
Hari itu juga, Danyang Lohgawe mengajak Ken Arok pergi ke Tumapel. Tentu saja Ken Arok terkejut setengah mati dan hampir membangkang karena mana mungkin dia pergi ke Tumapel? Bukankah itu sama artinya seperti harimau masuk perangkap? Akan tetapi, bersama Danyang Lohgawe, dia dapat memasuki Kadipaten Tumapel dengan selamat.
Mungkin karena aji kesaktian Danyang Lohgawe, atau memang karena Ken Arok jarang dapat dilihat oleh perajurit dan selama ini yang mengejar-ngejarnya adalah orang Daha, maka dia dapat masuk ke Tumapel dengan selamat. Tak seorangpun dapat mengenalnya sebagai perampok muda yang selama ini dikejar-kejar.
Di Tumapel, pendeta Brahmana dari india itu segera terkenal kepandaiannya mengobati, meramal dan ilmu kesaktian lain. Kepandainnya terkenal sekali sampai ke istana Sang Akuwu Tunggal Ametung, Ken Arok bekerja sebagai murid pendeta ini dan pada suatu hari, Tunggal Ametung mengundang Danyang Lohgawe untuk mengobati seorang di antara selir-selirnya yang menderita sakit berat.
Bersama Ken Arok, Danyang Lohgawe segera menghadap dan dengan pengetahuannya yang luas, akhirnya dia berhasil menyembuhkan selir Tunggal Ametung. Tentu saja Sang Akuwu menjadi girang dan berterima kasih dan kesempatan ini dipergunakan oleh Danyang Lohgawe untuk memintakan pekerjaan bagi anak angkatnya, Ken Arok.
Melihat pemuda yang tampan, tegap dan cekatan itu, Tunggal Ametung merasa suka dan segera diterimanya Ken Arok sebagai seorang perajurit pengawal. Bahkan Danyang Lohgawe juga diberi kedudukan sebagai tabib dan pensehat dan mereka diberi pondok yang cukup mewah tak jauh dari istana Sang Akuwu sendiri.
Mulailah keadaan hidup ini Ken Arok meningkat, tepat seperti yang dilihat oleh Danyang Lohggawe, dan merasa yakin bahwa anak angkatnya itu akan meningkat lebih tinggi lagi kedudukannya.
Joko Handoko dan Wulandari yang sedang sarapan di sebuah warung di dusun itu, menoleh ketika menderap derap kaki dua ekor kuda berhenti di depan warung. Ketika Joko Handoko melihat dua orang penunggang kuda itu, cepat dia membayar harga makanan dan minuman teh, menyambar tangan Wulandari diajak menyelinap keluar dari pintu samping warung. Mereka lalu bergegas keluar dari samping sehingga tidak terlihat wajah mereka oleh dua orang penunggang kuda yang memasuki warung sambil bercakap-cakap.
"Kita masih banyak waktu dan dusun Memeling sudah tidak jauh lagi. Perutku lapar, mari kita sarapan dulu," kata seorang. Temannya mengangguk setuju dan keduanya sambil bercakap-cakap memasuki warung itu dan memesan makanan ketan kelapa dan air the panas.
Sementara itu, Joko Handoko dan Wulandari sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh tak jauh dari warung, sambil mengintai. Kini Wulandari juga mengenal dua orang itu, itu bukan lain adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, dua orang yang pernah membantu Tumapel dan hampir saja membikin malu dan merusak nama dan kehormatan Sabuk Tembogo kalau saja tidak ada Joko Handoko yang hadir dan mengalahkan mereka.
Wulandari merasa heran mengapa temannya itu menyingkir dan kelihatan seperti takut menghadapi mereka. Padahal, ia tahu benar bahwa dua orang itu bukanlah lawan Joko Handoko. Agaknya, pemuda itu dapat membaca isi hatinya.
"Wulan, kita harus membayangi mereka dengan diam-diam. Siapa tahu mereka akan membawa kita kepada pemecahan rahasia yang kita selidiki."
Wulandari mengangguk. Ia seorang gadis cerdik dan tahulah ia sekarang. Memang tepat sekali. Dua orang itu muncul bersama pasukan Tumapel dan menyudutkan Sabuk Tembogo. Sikap mereka itu seolah-oleh hendak mengadu domba antara Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel. Mereka patut dicurigai. Apalagi kalau diingat betapa mereka muncul lagi bersama guru mereka. Ki Danyang Bagaskoro, yang bermaksud menculik, bahkan membunuh Dewi Pusporini.
"Mereka tadi bilang hendak pergi ke Dusun Memeling, sebaiknya kita mendahului mereka ke sana dan di sana kita membayangi mereka," bisiknya.
Joko Handoko mengangguk dan merasa kagum akan kecerdasan Wulandari. Memang tidak mudah membayangi dua orang berkuda dan mereka berkuda pula. Tentu akan mudah ketahuan. Tadi, tanpa disengaja mereka mendengar Gajah Putih mengatakan kedua orang itu hendak pergi ke Tumapel, maka sebaiknya kalau mereka mendahului ke sana dan membayangi dua orang itu di sana.
Dengan hati-hati mereka lalu mengambil kuda yang tadi mereka tambatkan di pohon tak jauh dari warung itu, dan mereka lalu menunggangi kuda mereka, menuju ke utara, ke Dusun Memeling yang tidak begitu jauh lagi. Wulandari sudah mengenal daerah ini, maka ia tahu di mana Dusun Memeling.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar Dusun Memeling. Joko Handoko lalu menitipkan dua ekor kuda pada seorang petani yang miskin dan tinggal di dusun itu dengan memberi upah yang cukup banyak. Kemudian mereka berjalan kaki menuju ke pintu gerbang dusun dan bersembunyi, mengintai dan menanti datangnya dua orang yang akan mereka bayangi.
Dusun itu berada di tapal batas antara Tumapel dan Kerajaan Daha, sebuah dusun yang cukup besar, dikelilingi hutan lebat dan di tepi sebuah sungai yang menjadi anak Sungai Brantas. Penghuni dusun itu sudah dikuasai oleh pengaruh Kerajaan Daha dan hal ini tidak diketahui oleh Joko Handoko dan Wulandari.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Daha atau Kediri adalah Sang Prabu Dandang Gendis, nama lain dari Sang Prabu Kertajaya. Sang Prabu Dandang Gendis mendengar akan sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung yang hidup seperti seorang raja muda di Tumapel, dan di dalam hatinya tidak rela tunduk kepada Kerajaan Daha.
Akan tetapi karena Tunggal Ametung tidak terang-terangan menentangnya, dia mengingat bahwa Kadipaten Tumapel cukup kuat, terutama dibantu oleh orang yang memiliki kesaktian, maka raja Kediri itu masih bersikap sabar. Diam-diam Sang Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya berunding dengan para penasehatanya, kemudian diambil keputusan untuk rahasia berusaha melemahkan Tumapel dengan jalan mengadu domba.
Dipilihlah orang-orang sakti di bawah pimpinan seorang senopati untuk melakukan serangan gelap terhadap Tumapel. Usaha-usaha itulah yang mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang kini sedang diselidiki oleh Joko Handoko dan Wulandari dan tanpa mereka sadari, mereka kini mendekati sarang persekutuan rahasia dari kerajaan Daha atau Kediri itu!
Joko Handoko dan Wulandari tidak usah menunggu terlalu lama. Segera terdengar derap kaki kuda dan mereka melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng menunggang kuda mereka menuju ke pintu gerbang dusun itu. Setelah tiba di pintu gebang, mereka menahan kuda dan memasuki dusun itu dengan perlahan-lahan.
Setelah mereka masuk agak jauh, Joko Handoko dan Wulandari cepat menyelinap keluar dan membayangi mereka dari jauh. Mudah saja membayangi dua orang yang masuk dusun dengan menunggang kuda itu, apalagi kuda mereka lari congklang dengan lambat.
Melihat sikap para penduduk dusun menyambut dua orang penunggang kuda itu dengan senyum lambaian tangan, Joko Handoko dapat menduga bahwa hubungan antara dua orang itu dengan penduduk dusun amat baik. Hal ini membuat dia lebih hati-hati lagi. Dari jauh mereka melihat betapa dua orang itu memasuki perkarangan sebuah rumah besar yang berada di ujung dusun.
Giranglah hati Joko Handoko karena rumah itu berdiri agak terpencil dan keadaannya cukup sunyi sehingga akan memudahkan dia dan Wulandari untuk melakukan pengintaian. Mereka terus berjalan melewati depan pekarangan itu dan melihat betapa dua ekor kuda yang masih berpeluh itu ditambatkan di dalam pekarangan depan. Akan tetapi pekarangan itu sunyi, tidak nampak ada seorang pun manusia.
Tentu saja mereka sama sekali tidak menduga bahwa keadaan mereka kini sudah berbalik sama sekali. Bukan mereka yang membayangi orang, melainkan gerak-gerik merekalah yang dibayangi orang! Sama sekali mereka tidak menduga bahwa pada saat mereka menitipkan kuda mereka kepala petani di luar dusun, mereka telah terperangkap.
Petani dusun yang miskin itu yang menerima titipan dua ekor kuda dengan menerima upah yang cukup banyak, sudah mengkhianati mereka! Kiranya petani itu adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Daha, bahkan dia bertugas sebagai mata-mata persekutuan rahasia yang bersarang di dusun Memeling.
Petani atau mata-mata Daha itu sudah lebih dahulu melapor kepada para pimpinan yang berada di dusun Memeling tentang munculnya seorang pemuda dan seorang gadis yang gerak-geriknya mencurigakan.
"Mereka menitipkkan kuda kepada saya dengan memberi upah yang cukup besar, lalu memasuki dusun ini dengan berjalan kaki dan dengan sikap yang berhati-hati. Mereka patut dicurigai." demikian antara lain petani itu melapor, mendahului Joko Handoko dan Wulandari dengan mengambil jalan memotong yang lebih dekat.
Laporan itu menarik perhatian para pimpinan, apalagi mengingat bahwa pada saat itu datang pula dua orang tokoh yang menjadi utusa mereka, yaitu Gajah Putih dan Gajah Ireng.
Demikianlah, tanpa diketahui Joko Handoko dan Wulandari, kedatangan mereka ke dusun itu, yang tadinya bermaksud untuk membayangi dua orang bekas musuh itu, kini berbalik merekalah yang dibayangi dan diintai setiap gerak-gerik mereka.
Dan itu pula sebabnya ketika mereka memasuki pekarangan rumah itu, mereka hanya melihat dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Gajah Putih dan Gajah Ireng tertambat di pekarangan itu, dan tidak melihat dua orang itu sedangkan keadaan di situ sunyi sekali.
Pada saat itu, Kerajaan Daha atau Kediri yang dipimpin oleh Sang Prabu Dandang Gendis atau Sang Prabu Kertajaya, sedang kuat-kuatnya. Sang Prabu Dandang Gendis memerintah negaranya dengan tangan besi, akan tetapi harus diakui bahwa dia adalah seorang raja yang pandai dan kuat. Selain dia memiliki kesaktian, juga dia dibantu oleh dua orang kakak beradik yang tadinya merupakan pertapa-pertapa yang tekun.
Begawan Sarutomo, yang tua telah berusia enam puluh lima tahun dan dialah yang diangkat oleh Sang Prabu Dandang Gendis menjadi puruhita (pendeta keraton) di Kerajaan Daha, sebagai penasehat dan juga guru terakhir dari Sang Prabu Dandang Gendis.
Sang Begawan Sarutomo ini dibantu oleh adiknya yang bernama Begawan Buyut Wewenang, pada waktu itu berusia enam puluh tahun, seorang pertapa yang sakti mendraguna, bahkan cerdik sekali.
Dua orang pendeta inilah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada Sang Prabu, juga menjadi penasehat dan semua nasihat mereka dipenuhi dan dituruti belaka oleh Sang Prabu Dandang Gendis sehingga tentu saja kekuasaan mereka semakin besar.
Adalah dua orang pedeta ini pula yang memberi nasihat dan membujuk Sang Prabu Dandang Gendis dari Kediri untuk melakukan siasat adu domba di antara kekuatan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan kedudukan Tumapel yang dianggap memperlihatkan tanda-tanda tidak menghargai kedaulatan kerajaan besar Kediri.
Dan Sang Begawan Buyut Wewenang-lah yang mendapatkan tugas membentuk suatu kekuatan untuk mengatur siasat memecah belah dan mengadu domba untuk mengacaukan dan melemahkan kedudukan Tumapel. Begawan Buyut Wewenang memilih dusun Memeling untuk menjadi pusat kegiatannya, karena dusun itu terlatak di tapal batas antara wilayah aha dan Tumapel.
Dalam tugas ini dia dibantu oleh banyak orang pandai dari Kediri, dan di antara mereka, yang menjadi kepercayaannya adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bersama guru mereka, yaitu Ki Danyang Bagaskoro yang kemudian tewas ketika bertanding melawan Joko Handoko.
Demikian keadaan di dusun Memeling pada saat itu. Ketika petani yang merangkap menjadi mata-mata yang banyak disebar oleh Buyut Wewenang itu datang melapor, yang berada di dalam dusun itu adalah Begawan Buyut Wewenang sendiri bersama tiga orang lain yang juga merupakan orang-orang sakti yang menjadi pembantu-pembantu pendeta ini.
Mereka adalah Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, dan Ki Banyakluwo, jagoan-jagoan dari Kerajaan Kediri pada waktu itu. Begitu mendengar pelapoan petani, Begawan Buyut Wewenang lalu mengajak mereka bertiga untuk melakukan pengintaian.
Joko Handoko dan Wulandari yang merasa kehilangan dua orang yang mereka bayangi, dengan berani lalu menyelinap ke samping bangunan itu di mana terdapat sebuah kebun yang luas. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu,mendekati bangunan dan mengintai. Namun, keadaan sunyi saja dan tidak nampak seorangpun di sekitar bangunan itu.
"Hemm, sunyi benar seperti tidak ada penghuninya," bisik Wulandari.
"Tidak mungkin kosong," bisik Joko Handoko kembali. "Jelas bahwa dua orang itu telah masuk ke dalam dan agaknya mereka sedang melakukan perundingan di dalam. Penting sekali bagi kita untuk dapat melihat siapa yang berunding dan apa yang sedang dipercakapkan."
"Kalau begitu, mari kita masuk dari pintu belakang itu." Wulandari menuding ke arah sebuah pintu belakang dan kecil.
Joko Handoko mengangguk dan mereka berloncatan dengan gerakan seperti dua ekor kucing saja menuju ke pintu itu. Joko Handoko mendorong daun pintu dan ternyata tidak terkunci. Mereka masuk ke dalam, berindap-indap. Tiba-tiba keduanya berhenti dan cepat bersembunyi ke balik ruangan yang ada di situ.
Dua orang yang mereka bayangi tadi, Gajah Putih dan Gajah Ireng, muncul dari sebuah pintu ke dalam ruangan besar di depan mereka keduanya nampak bicara perlahan, lalu keduanya berpencar. Gajah Putih melalui pintu kiri dan Gajah Ireng masuk melalui pintu kanan!
Tentu saja Joko Handoko dan Wulandari menjadi bingung. "Kau ikuti dia, dan aku akan membayangi yang lain," kata Joko Handoko. Gadis itu mengangguk berani, lalu mereka berpencar, menyelinap ke kanan dan kiri.
Joko Handoko membayangi Gajah Putih sedangkan gadis itu mengikuti Gajah Ireng. Mudah bagi Joko Handoko untuk memabayangi Gajah Putih tanpa dapat diketahui oleh orang itu. Dan dia mendapatkan kenyataan bahwa bangunan itu sungguh luas sekali.
Gajah Putih telah keluar masuk ruangan-rungan yang luas dan belum juga nampak ada manusia lain. Selagi Joko Handoko yang terus mengikutinya itu merasa heran dan mulai menduga bahwa mungkin ruang besar ini memang kosong dan yang ada hanya dua orang yang mereka bayangi tadi, tiba-tiba Gajah Putih memasuki sebuah ruangan dan lenyap!
Joko Handoko terkejut. Dia tidak melihat jelas ke arah mana lenyapnya orang yang dibayanginya, maka dia pun cepat masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah rungan yang lebarnya tidak kurang dari empat daun pintu di situ. Dia tidak tahu ke pintu mana Gajah Putih tadi menghilang.
Joko Handoko berdiri di tengah ruangan itu, bingung menduga-duga ke mana Gajah Putih pergi dan tiba-tiba saja ke empat daun pintu dari empat jurusan itu terbuka dan muncullah dari masing-masing pintu seorang kakek yang diikuti oleh lima orang pengawal. Mereka menghadang di depan pintu dan dengan demikian Joko Handoko telah terkepung.
Dari pintu yang dilaluinya tadi, muncul seorang kakek yang agaknya menjadi pemimpin mereka,karena kakek ini mengeluarkan suara ketawa yang meringkik sepertikuda sedangkan yang lain hanya diam saja, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.
"Hi-heh-heh-heh! Orang semuda ini berani masuk ke sini sebagai maling? Orang muda, apakah engkau sudah bosan hidup?" bentak kakek yang memiliki suara seperti meringkik kuda itu.
Joko Handoko membalikkan tubuhnya untuk menghadapi kakek itu. Dia memandang penuh perhatian dan merasa belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar kakek yang memiliki suara seperti ringkik kuda. Kakek ini buruk sekali. Tubuhnya kurus dan agak bongkok, usianya tentu sudah enam puluh tahunan, mukanya hitam dan saking kurusnya nampak seperti tengkorak dengan kedua mata yang cekung dalam menghitam.
Tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular. Pakiannya juga serba hitam akan tetapi terbuat dari kain yang halus dan potongannya juga indah, dihias benang emas dan kancing emas dengan batu permata. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan Begawan Buyut Wewenang, orang kedua setelah Begawan Sarutomo yang yang berkuasa di Keraton Daha sebagai guru dan penasehat raja!
Joko Handoko memperhatikan tiga orang kakek yang lain. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan berbadan kokoh kuat seperti raksasa, mukanya yang hitam kasar itu penuh cambang bawuk, kelihatan menyeramkan. Kakek ini berusia sekitar lima puluh tahun dan dia adalah Ki Bajulbiru, senjata ruyungnya yang berat selalu tergantung di pinggang kanan.
Orang kedua juga berusia sebaya, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya seperti pakaian seorang penggembala. Di pinggang belakang terselip gagang sebatang pecut yang ujungnya dipasangi besi kaitan! Kakek ini bernama Ki Surodoyo.
Orang ketiga yang usianya juga lima puluhan, bernama Ki Banyakluwo, tubuhnya gendut bundar, mukanya selalu tersenyum menyeringai seperti orang mengejek, gerak-geriknya lucu akan tetapi dia kejam sekali dan mudah mengayun golok besarnya untuk membunuh orang.
Tiga ini adalah para pembantu Begawan Buyut Wewenang dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi karena mereka bertiga ini tunggal guru dengan Ki Danyang Bagaskoro, dari perguruan Blambangan.
Melihat mereka, Joko Handoko merasa tidak enak hatinya dan malu. Bagaimana pun juga dia tidak mengenal mereka, tidak tahu rumah siapa yang dimasukinya dan yang jelas, dia telah bersalah, memasuki rumah orang tanpa ijin, seperti seorang pencuri! Oleh karena itu, dia merendahka diri, membungkuk dengan hormat kepada kakek bongkok di depannya itu.
"Harap para paman yang terhormat suka memaafkan saya. Saya bukan seorang pencuri dan tidak bermaksud mencuri walaupun benar saya telah memasuki rumah ini. Akan tetapi saya masuk kerena membayangi seorang yang pernah mengacau di padukuhan Sabuk Tembogo. Dia bernama gajah Putih dan seorang temannya lagi bernama Gajah Ireng ang tadi saya lihat masuk ke dalam rumah ini."
"Tidak perlu banyak alasan lagi! Engkau sudah masuk seperti maling, dan karena itu berlutut dan menyerahlah untuk kami tangkap," kata pula Begawan Buyut Wewenang yang belum mengenal adannya pemuda ini, hanya tahu dari padepokan patani bahwa pemuda ini dan gadis temannya amat mencurigakan.
Keika Gajah Putih dan Gajah Ireng memasuki rumah itu, dia dan para pembantunya tahu betapa pemuda dan gadis itupun membayangi, maka cepat dia memberi isyarat kepada Gajah Putih dan Gajah Ireng untuk berpencar agar pemuda dan gadis itupun melakukan pengejaran, secara berpisah.
Joko Handoko mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, pikirnya. Mereka ini tentulah teman-teman Gajah Putih dan dia memang dipisahkan dari Wulandari timbul kekhawatiran hatinya terhadap keselamaan Wulandari.
"Saya tidak bermaksud buruk, tidak ingin mencuri dan tidak ingin bermusuhan. Karena itu, harap paman suka memaafkan saya dan biarlah saya keluar lagi dari rumah ini" katanya dengan sikap masih hormat.
"Ha-ha-ha, waaahh, enaknya! Berkeliaran di rumah orang tanpa ijin lalu minta maaf begitu saja dan hendak pergi. Heh-heh, boleh, boleh, boleh asal mau merasakan dulu tajamnya golokku!" kata Ki Banyakluwo sambil terkekeh.
"Biar kuhajar dia dengan pecutku!" kata Ki Suryudo dan dia pun sudah mencabut Pecutnya, memutar pecut di udara dan terdengar bunyi pecut meledak-ledak.
"Berikan saja kepadaku, biar kuhantam kepalanya dengan ruyungku, hendak kulihat hanya bujat ataukah pecah berantakan!" kata pula Ki Bajulbiru dengan suaranya yang gemuruh seperti auman harimau.
Melihat sikap mereka, Joko Handoko malklum bahwa dia telah berada di gua harimau, dan agaknya akan sedikit sekali harapan untuk dapat keluar dari situ dengan damai.
"Nah, engkau mendengar sendiri pendapat teman-temanku, orang muda. Maka, berkutut dan menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!" kata pula Begawan Buyut Wewenang yang segera menduduki sebuah kursi yang dibawa datang oleh seorang pengawal.
Kakek ini memandang rendah kepada Joko Handoko dan dia sendiri sebagai pemimpin tertinggi tidak pernah atau jarang sekali turun tangan sendiri. Cukup dengan para pengawal dan anak buahnya, atau para pembantunya saja.
Mendengar ucapan ini, Joko Handoko berdiri tegak dan kini suaranya terdengar mantap dan tegas ketika dia berkata, "Sekali lagi aku mohon agar paman membiarkan aku keluar dari tempat ini dengan aman dan damai."
"Dan sekali lagi kami tekankan agar engkau berlutut dan menyerah!" bentak Begawan Buyut Wewenang.
"Kalau aku tidak menyerah?" tanya Joko Handoko, suaranya menetang.
Kini Begawan Buyut Wewenang sudah kehabisan kesabaran. "Tangkap bocah ini!" katanya kepada para pengawalnya.
Sepuluh orang perajurit pengawal berlompatan maju mengepung dan berlomba hendak menangkap pemuda itu yang nampaknya hanya seorang pemuda yang lemah lembut gerak-geriknya. Akan tetapi, Joko Handoko yang maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya ditangkap maka nyawanya akan terancam bahaya, sudah dengan cepat sekali mengerakkan kaki tangannya dan sekali dia menyambut terjangan mereka itu, empat orang perajurit terpelanting ke kanan dan sambil mengaduh-aduh!
Melihat ini, sisa para perajurit yang jumlahnya ada enam belas orang lagi itu menjadi marah dan mereka tanpa dikomando lagi lalu menerjang ke dalam ruangan itu. Empat orang kakek itu hanya nonton saja, membiarkan para perajurit menangkap pemuda kendel itu karena betapa pun juga mereka, terutama sekali Begawan Buyut Wewenang merasa sungkan dan malu kalau turun tangan sendiri menghadapi seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja mereka harus menjaga nama kedudukan mereka sebagai jagoan-jagoan Kerajaan Daha.
Ruangan itu memang luas, akan tetapi kalau ada belasan orang mengeroyok, tentu saja menjadi sempit. Dan para perajurit itu seperti serombongan nyamuk menerjang lilin saja layaknya. Setiap kali menerjang dan disambut oleh Joko Handoko, mereka tentu terpelanting dan tersungkur atau terjengkang karena tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Suara mereka mengaduh-aduh memenuhi ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan Gajah Ireng dari luar pintu. "Para paman yang berada di dalam. Dia adalah Joko Handoko yang telah membunuh Bopo Guru Ki Danyang Bagaskoro!"
Tiga orang kakek itu, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo adalah saudara-saudara seperguruan dari mendiang Ki Danyang Bagaskoro. Mereka berempat adalah jagoan-jagoan dari perguruan Blambangan yang dalam perantauan mereka ke barat lalu menetap di Daha dan diterima sebagai pembantu-pembantu oleh Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang.
Kedudukan empat orang dari Blambangan ini sudah cukup tinggi. Ketika mereka mendengar bahwa pemuda inilah yang membunuh saudara mereka, tentu saja mereka menjadi marah bukan main.
"Babo-babo....! Jadi inikah jahanam itu?" bentak Ki Baju biru sambil mengambil ruyung besar yang tergantung di pinggangnya.
"Dojleng-dojleng iblis laknat. Aku harus membalaskan kematian kakang Bagaskoro!" teriak Ki Suroyudo yang melolos pula pecut yang tadi telah diselipkannya lagi ke ikat pinggangnya.
"Para perajurit mundurlah! Kami akan menghadapi tikus ini!" Ki Banyakluwo juga membentak. Sambil mencabut golok besarnya.
Tadi tiga orang ini merasa sungkan dan malu menandingi pemuda itu karena mereka memandang rendah dan menurunkan derajat mereka kalau mengeroyok seorang pemuda hijau. Akan tetapi setelah mendengar bahwa pemuda itu adalah pembunuh saudara mereka, merekapun tahu bahwa pemuda itu memiliki kesaktian, dan kemarahan membuat mereka tidak malu-malu lagi untuk maju bersama melakukan pengeroyokan terhadap seorang lawan yang begitu masih muda.
Para perajurit pengawal cepat mundur sambil menarik teman-teman yang terluka keluar dari ruangan itu. Hati merasa lega karena mereka tadi masih belum roboh sebelumnya mereka merasa gentar sekali mengahapi amukan pemuda perkasa itu. Pemuda itu demikian kuatnya, bahkan menangkisi senjata tajam dengan kedua tangan begitu saja tanpa terluka sedikitpun. Kini mereka keluar dan hanya berjaga di luar pintu untuk mengepung pemuda itu.
Begawan Buyut Wewenang hanya nonton, masih duduk di kursinya, sikapnya tenang seolah-olah kehebatan pemuda itu bukan apa-apa baginya. Dia ingin melihat apakah tiga orang pembantunya akan berhasil mengalahkan pemuda perkasa ini.
Kini tiga orang kakek itu sudah melangkah maju dengan senjata masing-masing, mengepung Joko Handoko dengan membentuk segi tiga. Seorang, yaitu Ki Bajulbiru, langsung berhadapan dengan pemuda itu sedangkan dua orang temannya. Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo datang diri kanan kiri agak ke belakang Joko Handoko dkepung dari tiga penjuru dan dia berdiri tegak dengan sikap tenang.
Dia maklum bahwa bicara lagi tidak ada gunanya. Agaknya merek ini merupakan komplotan dari Gajah Putih dan Gajah Ireng bersama guru mereka. Dia sudah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, maka tentu saja mereka tidak akan mau melepaskan dia begitu saja. Yang membuat dia merasa gelisah adalah kalau dia teringat kepada Wulandari. Bagaimana nasib gadis itu?
Gadis itu tadi membayangi Gajah Ireng dan kini Gajah Ireng sudah muncul di situ, ketika berteriak memperenalkan dirinya. Akan tetapi, dalam keadaan gawat seperti itu, Dia menyingkirkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Wulandari dan bersikap waspada menghadapi pengepungan tiga orang lawannya. Dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang memiliki tingkat seperti Ki Danyang Bagaskoro.
Karena itu, melihat betapa tiga orang lawan sudah memegang senjata masing-masing, diapun cepat maraba gagang kerisnya dan segera, nampak sinar berkilat ketika Keris Pusaka Nogopasung sudah telanjang dalam genggaman tangan kanannya.
"Tar-tar-taaaarrrr....!" Cambuk berujung kaitan besi di tangan Ki Suroyudo meledak-ledak di atas kepala Joko Handoko. Akan tetapi garakan itu hanya merupakan gertak saja Joko Handoko tetap berdiri tegak, tidak menjadi panik.
"Aaahhhhhhh....!" Ki Baju biru menggereng dan tiba-tiba tubuhnya yang tinggi dan besar itu menerjang ke depan, ruyung di tanga kanannya menyambar.
Ruyung itu beratnya tidak kurang dari dua puluh lima kati, digerakkan oleh tenaga yang kuat maka menyambar dahsyat sekali ke arah kepala Joko Handoko dalam serangan pertama yang langsung datang dari depan itu. Joko Handoko dengan sikap tenang menggeser kaki dan memutar tubuhnya miring ke kiri.
"Wuutttttt...." Ruyung itu menyambar di samping kepala Joko Handoko. Angin pukulan yang dahsyat itu masih bertiup dan membuat rambut pemuda itu berkibar.
"Singgggg....!" Golok menyambar ke arah lambung Joko Handoko ketika Ki Banyakluwo menyambut elakannya dari sambaran ruyung tadi, disusul oleh suara ledakan pecut dari atas.
"Syuuuuuuuttt....!" Ujung cambuk itu menyambar turun, seperti patuk seekor burung menyerang ubun-ubun kepala pemuda itu!
Menghadapi dua serangan susulan yang amat berbahaya ini, Joko Handoko memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Dengan langkah cepat dan menyelinap sehingga ujung pecut tidak mengenai sasaran melainkan lewat saja di dekat telinganya, dan dia pun sambil membalik, mengerakkan kerisnya menyambut golok yang mengancam lambung.
"Cringggggg.....!" Bunga api berpijar dan Ki Banyakluwo yang bertubuh bundar berperut gendut itu terhuyung, tidak kuat dia bertahan ketika goloknya bertemu dengan Keris Pusaka Nogopasung. Ada hawa panas yang aneh menyusup ke tangannya yang memegang golok dan tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki sebatang keris yang amat ampuh.
Pada saat itu, untung baginya, Ki Bajulbiru sudah menyerang lagi dengan menghantamkan ruyungnya ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini terpaksa tidak dapat menyusulkan seranga kepada Ki Banyakluwo yang sudah terhuyung, dan tenaganya dikerahkan ke arah lengan kirinya ketika dia menangkis ruyung yang datangnya telalu cepat untuk dapat dielakkan dengan baik.
"Dukk!" Lengan pemuda itu bertemu ruyung, namun ruyungnya yang terpental seperti bertemu dengan lengan baja. Ia dan Ki Bajulbiru mengeluarkan seruan marah karena telapak tangannya seperti hampir lecet rasanya. Dia menjadi marah dan memutar ruyungnya, lalu menyerang kalang kabut seperti seekor kerbau mengamuk.
Penyerangannya yang bertubi-tubi itu diikuti oleh Ki Suroyudo yang memutar-mutar pecutnya, menyerang dari atas dan dari samping, dibarengi pula dengan gerakan golok di tangan Banyaklawo. Tiga buah senjata para pengeroyok itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya tiga gulungan sinar yang mengepung dan membungkus tubuh Joko Handoko!
Akan tetapi, pemuda yang maklum akan kesaktian tiga orang lawannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melindungi dirinya, dengan elakan-elakan, tangkisan-tangkisan, dan benturan kerisnya. Akan tetapi karena tiga orang lawannya itu menghujankan serangan, dia pun tidak sempat untuk membalas dan dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mempergunakan Ilmu Sakti Nogopasung untuk membalas serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh itu.
Dan kesempatan itu tiba setelah dia mempertahankan diri selama kurang lebih seperempat jam! Biarpun dia mampu melindungi dirinya dan tidak sampai roboh oleh serangan bertubi-tubi ini sedikitnya tiga kali dia terkena gebukan ruyung dan celananya robek pada bagian paha kanannya kena sambaran golok, namun kehebatan tubuhnya masih melindungi sehingga dia belum terluka!
Dan kesempatan itu pun tiba. Ketika itu, cambuk Ki Suroyudo untuk kesekian kalinya menyambar dan ujung cambuk dari kaitan-kaitan besi itu menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Bagian ini tentu akan tertembus dan terkait ujung cambuk kalau saja dia tidak bertindak cepat. Padahal beberapa detik kemudian, ruyung Ki Bajulbiru sudah menyambar lagi ke arah kepalanya juga.
Untuk menangkis tidak mungkin karena pada saat itu, kerisnya sedang menangkis golok Ki Banyakluwo. Dalam keadaan yang amat genting itu, Joko Handoko memperlihatan kegesitannya. Tangan kirinya menyambar dan dia berhasil menangkap ujung cambuk, lalu dengan gerakan kuat sekali, dengan sentakan tiba-tiba, dia menarik dan dengan cambuk itu dia berhasil melibat ruyung yang menyambar!
Dengan demikian, sekaligus dia membuat cambuk dan ruyung yang saling libat dan itu tidak dapat menyerangnya dirinya. Kakinya menendang dengan cepat sekali pada saat Ki Banyakluwo yang agak lambat gerakannya itu termangu melihat betapa senjata kedua orang temannya saling libat.
"Desss.......!" Tubuh yang bundar gendut itu terguling-guling dan inilah kesempatan baik yang ditunggu-tunggu oleh Joko Handoko. Selagi Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo belum dapat menyerangnya karena ujung cambuk masih melibat ruyung, dan selagi Ki Banyakluwo terguling, dia lalu cepat mengerahkan aji Nogopasung.
Dan sambil mengeluarkan pekik dahsyat diapun menggerakkan keris pusaka Nogopasung ke depan, menyerang Ki Banyakluwo dengan dahsyat. Kalau seorang di antara tiga pengeroyoknya roboh dan tewas lebih dulu, tentu akan mudah baginya mengatasi dua orang pengeroyok lainnya.
Hebat bukan main serangan Joko Handoko yang ditujukan kepada Ki Banyakluwo yang masih belum sempat bangun setelah tadi terguling itu. Sinar keris pusaka itu menyambar dengan ganasnya, dibarengi hawa pukulan sakti yang amat dahsyat, menyerbu ke arah tubuh Ki Banyakluwo yang karena gendutnya tidak dapat cepat bangkit kembali itu. Pada saat itu nampak sinar hitam menyambar dari samping, menangkis sinar keris pusaka Nogopasung.
"Tranggg......!!" Terjadi pertemuan antara dua senjata dan dua tenaga yang amat kuat, yang membuat Joko Handoko terkejut sekali karena serangannya terhenti di tengah jalan, seolah-olah bertemu dengan benteng baja yang menghadang di depan. Akan tetapi, penangkisnya juga mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan antara dua senjata itu membuatnya tergetar hebat.
Ketika Joko Handoko memandang, kiranya yang menangkis keris itu adalah sebatang tongkat hitam yang berbentuk ular, yang dipegang oleh Begawan Buyut Wewenang sendiri! Kakek kurus bongkok ini tadi melihat betapa seorang di antara para pembantunya terancam bahaya maut, maka dia turun tangan menangkis serangan maut yang dilakukan Joko Handoko.
Dan dari pertemuan tongkat ular hitam dengan pusaka Nogopasung, pemuda perkasa itupun maklum bahwa kakek kurus bongkok itu ternyata memang sakti dan tangguh sekali, lebih tangguh dibandingkan tiga orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tangkisan itu pun membuat dia menjadi marah. "Kakek licik, engkau boleh mengeroyokku! Jangankan hanya engkau, keluarkan seluruh pembantumu untuk mengeroyokku, aku tidak akan mundur selangkah!"
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara keras membentak, "Joko Handoko, lihat siapa yang sudah kami tangkap ini! Hentikan perlawananmu atau ia akan kucekik mampus di depan matamu!"
Joko Handoko memutar tubuh di kanan dan wajahnya seketika berubah ketika dia melihat munculnya Gajah Putih yang mendorong tubuh Wulandari yang sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang pinggilnya. Gadis itu telah tertawan!
"Jangan pedulikan aku, kakang! Bunuh tikus-tikus ini!" Wlandari berteriak dan beusaha meronta. Akan tetapi belenggu itu terlampau kuat dan Gajah Putih juga sudah memegang pergelangan tangannya dengan kuat.
Ia tadi juga terperangkap ketika mengejar bayangan Gajah Ireng yang memancingnya memasuki sebuah ruangan di samping bangunan besar itu dan ketika ia tiba di dalam ruangan, Gajah Ireng muncul bersama belasan orang perajurit yang mengepungnya. Tentu saja ia melawan matimatian.
Akan tetapi sabuk tembogo di tangannya tidak dapat menandingi pengeroyokan mereka. Baru menghadapi Gajah Ireng saja ia pernah kalah, apa lagi kini Gajah Ireng dibantu oleh belasan orang perajurit. Setelah melawan mati-matian, akhirnya ia pun tertawan dan dibelenggu, lalu di bawa ke tempat di mana Joko Handoko masih mengamuk.
Melihat kehebatan pemuda itu, Gajah Putih menggunakan akal, membawa Wulandari yang sudah terbelenggu ke dalam dan mengancam akan membunuh gadis itu kalau Joko Handoko tidak mau menyerah.
Tentu saja Joko Handoko menjadi bingung dan biar pun gadis itu minta agar dia tidak memperdulikannya dan terus mengamuk, dia tidak berani melakukan hal ini. Orang-orang macam Gajah Putih itu kejam sekali dan mungkin saja akan melaksanakan ancamannya lebih dahulu membunuh Wulandari, baru kemudian mengeroyoknya. Diapun maklum bahwa kalau pengeroyokan itu ditambah majunya Begawan Buyut Wewenang yang ternyata amat sakti itu, diapun akhirnya akan kalah juga.
Melihat keraguan pada wajah Joko Handoko, Begawan Buyut Wewenang terkekeh. "Ha-ha-ha, bocah bagus, menyerahlah kalau ingin selamat bersama gadis itu."
Mengingat akan keselamatan Wulandari, Joko Handoko manarik napas panjang lalu menyarangkan keris pusaka Nogopasung. "Baiklah, aku menyerah, akan tetapi bebaskan gadis itu, ia tidak bersalah."
"Tidak, kami maju berdua. Aku tidak mau dibebaskan kalau dia ditawan!" Wulandari berseru.
"Heh-heh-heli!" Begawan Buyut Wewenang terkekeh dan berkata kapada Gajah Putih dan Gajah Ireng. "Belenggu juga pemuda itu!"
Dua orang bekas lawan Joko Handoko itu bergerak ke depan dan Joko Handoko tidak melawan ketika kedua lengannya ditelikung ke belakang seperti halnya Wulandari dan dibelenggu dengan kulit kerbau yang amat kuat. Akan tetapi ketika Begawan Buyut Wewenang merampas keris pusaka Nogopasung dia memandang dengan mata menyala.
"Kembalikan kerisku!" Akan tetapi kakek itu hanya menyeringai dan mencabut keris pusaka Nogopasung, diamatinya dengan kagum lalu mengangguk-angguk. "Orang-orang Tumapel memang pandai membuat keris yang baik. Keris ini baik sekali, heh-heh-heh!" Dan kakek itupun menyelinapkan keris dengan sarungnya ke ikat penggang sendiri.
Joko Handoko tidak berdaya, terpaksa menahan kemarahannya. "Siapakah kalian dan mengapa kalian menawan kami berdua?" tanyanya.
"Hemm, pemuda tinggi hati! Engkaulah yang menjadi tawanan dan engkaulah yang memperkenalkan diri dan maksudmu membayangi Gajah Putih dan Gajah Ireng," kata Begawan Buyut Wewenang yang kini berdiri di dekat Wulandari, keduanya terbelenggu kedua tangan mereka.
"Tentu engkau sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng siapa kami," jawab Joko Handoko. "Gadis ini adalah Wulandari, puteri ketua Sabuk Tembogo mendiang Ki Bragolo dari lereng Kawi. Adapun aku, aku bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro."
"Ada hubungan apa antara engkau dan Sabuk Tembogo maka engkau membela, perkumpulan itu?" tanya, pula Begawan Buyut Wewenang yang tentu saja telah mendengar penuturan Gajah Putih dan Gajah Ireng tadi tentang pemuda perkasa ini, yang bahkan telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, seorang di antara para pembantunya yang boleh diandalkan.
"Aku hanya sahabat dari Sabuk Tembogo, kebetulan aku berada di sana ketika Gajah utih dan Gajah Ireng datang mengacau, kemudian melihat Ki Danyang Bagaskoro, guru mereka, hendak membunuh puteri kanjeng Senopati Pamungkas, aku mencegahnya sehingga dia tewas. Karena itu, ketika kami melihat dua orang ini, kami menjadi curiga dan kami lalu membayangi mereka,"
Joko Handoko sengaja membuat pengakuan itu karena di dapat menduga bahwa tanpa dia menceritakan, tentu kakek ini sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng yang jelas merupakan anak buahnya.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menatap wajah Joko Handoko dan wajah Wulandari dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali kepada pemuda perkasa ini. Seorang pemuda yang benar-benar tangguh dan kalau saja dia dapat menarik pemuda itu menjadi pembantunya, tentu kedudukannya menjadi semakin kuat dan dia dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi. Bukankah dengan memiliki seorang pembantu orang Tumapel, berilmu tinggi lagi, maka akan lebih mudah baginya untuk mengadu domba dan melemahkan Tumapel?
"Joko Handoko, engkau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Apalagi engkau tidak ingin memperoleh kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan? Engkau bantulah kami, dan engkau bersama gadis ini akan diampuni, bahkan akan meperoleh kedudukan yang mulia."
Tentu saja Joko Handoko merasa terkejut dan heran mendengar ini, tetapi semua itu tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia seorang cerdik tidak mudah terbujuk kata-kata manis. Dia memandang tajam dan penuh selidik kepada kakek bongkok bermuka hitam buruk itu, lalu bertanya dengan suara tenang.
"Siapakah paman yang bepakaian seperti seorang pendeta ini, dan bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada paman sekalian?"
Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa itu adalah Ki Banyakluwo yang bertubuh gendut bundar, "Ha-ha-ha, orang-orang Tumapel memang bodoh dan tidak tahu apa-apa sampai tidak mengenal orang! Joko Handoko, engkau berhadapan dengan seorang di antara mereka yang berkuasa, di Kerajaan Daha dan engkau masih belum mengenal beliau. Beliau ini adalah Sang Begawan Buyut Wewenang, penasihat Sang Prabu Dandang Gendis!"
Terkejut juga hati Joko Handoko mendengar ini. Memang dia belum pernah mengenal tokoh-tokoh Daha, bahkan pergi kemanapun belum, akan tetapi, dia pernah mendengar dari kakeknya bahwa di Daha terdapat banyak orang pandai dan seorang di antaranya adalah Begawan Buyut Wewenang dan menjadi pensihat raja di samping kakaknya yang paling berkuasa di bawah raja, yaitu Begawan Sarutomo, puruhito/pendeta istana, Daha.
Joko Handoko kini menatap tajam wajah kakek yang buruk rupa itu, lalu menolah memandang ke kanan kiri, menatap wajah tiga orang kakek yang tadi mengeroyoknya, lalu berkata, "Ah kiranya andika bertiga tentu bukan orang-orang sembarangan pula." Pemuda ini memang ingin mengenal mereka agar dia tahu dengan siapa mereka berhadapan.
Ki Banyakluwo geli. "Ha-ha kami bertiga adalah saudara seperguruan dengan Ki Danyang Bagaskoro. Kami dari Blambangan dan kini menjadi pembantu-pembantu Sang Begawan Buyut Wewenang. Namaku Ki Banyakluwo, dan kedua saudaraku ini adalah Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo."
Joko Handoko diam-diam mencatat nama-nama itu,kemudian bertanya kepada Begawan Buyut Wewenang, "Sang Begawan, andika sekalian adalah tokoh-tokoh Daha yang berkedudukan tinggi. Sedangkan kami berdua hanyalah rakyat dari Tumapel. Bantuan apa yang andika harapkan dari kami?"
"Hemm, Tumapel hanya sebuah daerah yang kecil saja, akan tetapi sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung amat tinggi hati. Sang Prabu Kertajaya di Daha masih bersikap sabar, akan tetapi kalau singa itu dibiarkan meliar dan tumbuh tanduk dan sayap, tentu akan menjadi semakin ganas. Karena itu, tugas kami adalah mematahkan tanduk dan sayap itu, agar Tumapel tidak menjadi semakin sombong saja."
"Maksud andika.... Daha hendak menggempur Tumapel?"
"Ahh, tidak sama sekali! Kami melihat Tumapel menjadi lemah dengan sendirinya tanpa kami menggempurnya. Kami ingin membiarkan kekuatan-kekuatan di Tumapel saling gempur sendiri, bermusuhan sendiri sehingga ahirnya Tumapel akan menjadi lemah dengan sendirinya. Kalau engkau mau membantu kami, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk mengadu dombakan antara mereka, menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di daerah Tumapel."
"Ahhh......" Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak kepada kakek bermuka hitam buruk itu. Kini mengertilah dia akan segala fitnah yang dijatuhkan pada pihak Sabuk Tembogo.
"Aku mengerti sekarang!" Wulandari berseru marah. "Keparat-keparat inilah yang telah mengadu domba antara Sabuk Tembogo dengan kadipaten dan dua orang bertopeng yang membunuh perajurit-perajurit dengan pukulan Hastorudiro itu... ah tentu untuk mengadu domba pihak perkumpulan Hastorudiro dengan pemerintah Tumapel, seperti juga orang-orang yang mempergunakan ilmu dan sabuk tembaga untuk menjatuhkan fitnah pada perkumpulan kami...!"