Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - Ken Arok dan Panji Tito lalu menghaturkan terima kasih dan berpamit. "Kalau sampai saya berhasil, saya tidak akan melupakan jasa-jasa bopo guru begawaan yang mulia," kata Ken Arok.

Dan janji ini membuat Begawan Jumantoko merasa girang bukan main. Dia merasa yakin bahwa Ken Arok inilah yang kelak akan menjunjung tinggi namanya dan menariknya ke atas, ke tempat yang mulai.
Kepergian Ken Arok mengundang tangis dan keluh kesah para murid perempuan. Banyak di antara mereka yang menyatakan hendak ikut, akan tetapi tentu saja semua ditolak oleh Ken Arok. Bagaimanapun juga, Ken Arok berjina dengan mereka bukan karena jatuh cinta, melainkan hanya karena dorongan nafsunya yang dikobarkan oleh para gadis genit pengejar cinta itu.
Selain mempelajari ilmu silat dan kesusasteraan, di tempat tinggal Begawan Jumantoko itu Ken Arok juga telah mempelajari ilmu bermain cinta dengan guru-gurunya yang pandai, yaitu murid-murid perempuan sang begawan itu sendiri! Akan tetapi, kalau saja Begawan Jumantoko tahu apa yang terjadi dengan murid-muridnya yang diharapkannya itu, tentu dia akan kecewa bukan main.
Setelah pergi meninggalkan Sagenggeng dan berpamit pula kepada diri Ki Bango Samparan yang memberi bekal secukupnya kepada Panji Tito dan Ken Arok, kedua orang pemuda itu lalu pergi ke timur dan akhirnya keduanya membuka sebuah pedukuhan, yaitu dusun yang kecil, di sebelah timur yang diberi nama Dusun Sanja. Dan apa yang yang mereka kerjakan menjadi penyamun!
Mula-mula Panji Tito memang merasa tidak setuju dan tidak cocok dengan pekerjaan menyamun ini. Akan tetapi Ken Arok menekannya. "Kakang Panji, apa salahnya menjadi perampok? Kita merampok dengan melihat siapa yang kita rampok, bukan sembarangan merampok. Dan lihat, betapa banyaknya rakyat dusun yang hidup serba kekurangan. Kita merampok dari para hartawan yang kuat, kemudian hasil rampokan kita bagibagikan kepada orang-orang dusun yang miskin! Bukankah itu merupakan pekerjaan yang baik dan gagah?"
Panji Tito tidak berani membantah lagi karena sejak lama dia sudah kalah pengaruh oleh Ken Arok. Dia kalah wibawa, kalah pula dalam tingkat kepandaian sehingga seolah-olah menjadi pembantu dan bawahan Ken Arok. Setelah tinggal di Sanja selama beberapa bulan, terkenallah Ken Arok sebagai seorang perampok yang ditakuti orang.
Pernah serombongan pedagang dengan iringan pengawal yang belasan orang jumlahnya, dihadang oleh Ken Arok dan Panji Tito, dan biarpun para pengawal itu mengeroyok mereka, tetap saja para pengawal dihajar cerai berai dan barang-barang bawaan para pedagang itu dirampok habis-habisan!
Akan tetapi, bagi para penduduk dusun-dusun di sekitarnya yang miskin, Ken Arok dianggap sebagai dewa penolong karena pemuda ini suka membagi-bagikan harta yang dirampoknya kepada para fakir miskin. Akan tetapi, nafsu keserakahan Ken Arok bukan hanya ditujukan untuk merampok harta benda. Nafsu birahinya juga berkobar, sebagai akibat permainannya dengan para selir atau murid perempuan Begawan Jumantoko.
Setiap dia melihat wanita cantik, biarpun wanita itu masih perawan atau sudah menjadi isteri orang-orang di dusun itu, dia selalu mengganggunya. Hampir semua wanita yang menarik hatinya, akhirnya terjatuh dalam pelukannya. Hal ini adalah karena suami atau ayah takut menghadapinya, pula karena memang para wanita itu kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini.
Pada suatu hari, ketika Ken Arok pergi seorang diri ke dalam hutan dengan maksud berburu binatang, dia melihat seorang kakek pencari tuak, yaitu minuman dari pohon aren sedang mencari tuak di dalam hutan, diikuti oleh seorang perawan remaja, puteri tunggalnya. Melihat anak perawan ini, tersirap darah Ken Arok dan dia langsung tergila-gila.Dihampirinya kakek dan anak perempuannya itu dan disapanya dengan halus. "Paman, siapakah adik manis ini?" langsung saja Ken Arok bertanya.
Kakek itu sudah mendengar akan watak pemuda ini yang mata keranjang, maka jantungnya berdebar gelisah. Dia tidak ingin anak perempuannya menjadi korban pemuda yang gila perempuan ini. "Ia Witri, anak saya, Raden. Permisi, kami hendak pulang agar tidak kemalaman di jalan."
"Dimanakah rumah andika, Paman?"
"Di dusun Lahat, sebelah barat sungai."
"Aih, jauh juga. Kasihan anak perempuan diajak bekerja sejauh ini. Kalian tentu lelah, marilah singgah di pondokku dan sebaiknya bermalam di sana saja, besok baru kalian pulang."
"Terima kasih, Raden. Kami hendak langsung pulang saja, karena ibunya Witri tentu akan merasa khawatir kalau kami tidak pulang. Mari, genduk Witri, kita pulang." Ayah itu lalu menggandeng tangan puterinya untuk diajak pergi secepatnya dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Ken Arok meloncat dan menghadang di depan mereka. "Paman, kalau paman tidak mau mampir juga tidak mengapa, akan tetapi adik Witri ini harus singgah di pondokku semalam. Biarlah besok kuantar ia pulang." Berkata demikian, Ken Arok mengulur tangan untuk menangkap lengan perawan itu.
"Jangan, Raden. Jangan ganggu anakku....!" Kakek itu menarik anaknya yang menjadi ketakutan dan merangkulnya. "Harap jangan ganggu anakku....!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan senyumnya menjadi bengis. "Paman, tahukah paman siapa aku?"
Orang tua itu mengangguk. "Engkau adalah Raden Ken Arok.....!"
"Nah, kalau sudah mengenal aku, tentu tahu bahwa kehendakku tidak mungkin dapat dibantah. Bukankah aku penolong rakyat miskin di dusun-dusun? Bukankah aku selalu memperoleh wanita mana saja yang kusenangi? Dan bukankah wanita yang kusenangi mendapat kehormatan besar?"
"Tapi.... tapi.... maafkan kami, harap jangan ganggu anakku, Raden...." orang tua itu meratap, tidak mampu membantah semua kata-kata Ken Arok.
Ken Arok menjadi marah karena merasa malu bahwa dirinya ditolak oleh seorang kakek penyadap aren. "Hemm, tua bangka tak tahu diri! Berani engkau membantah dan menolak keinginanku? Gadis ini harus menemaniku untuk malam ini, baik engkau setuju atau tidak!" Dan dengan cepat dia menubruk maju, menangkap lengan Witri dan merenggutnya dengan sentakan kuat. Gadis itu menjerit dan terlepas dari pelukan ayahnya.
"Jangan ganggu anakku! lepaskan anakku" Kakek itu mencoba untuk merampas kembali anaknya, akan tetapi Ken Arok mengerakkan kakinya, menyamping, dengan kekuatan penuh.
"Dukkkk!" Tubuh kakek itu terjengkang dan terbanting keras. Dia hanya menggeliat kesakitan dan tak mampu bengkit kembali.
Melihat ini, Witri menjerit. "Bapak....!!"
Akan tetapi Ken Arok sudah menariknya. Ketika gadis remaja itu meronta-ronta hendak melepaskan tarikan tangannya, Ken Arok lalu memondongnya dan mambawanya pergi dari situ.
"Lepaskan aku... ohh, lepaskan...." Ia meronta-ronta, akan tetapi apa dayanya manghadapi dekapan kedua lengan Ken Arok yang berotot dan kuat itu? Ia melakukan perlawanan sejadi-jadinya, namun akhirnya ia harus menyerah dan hanya menangis ketika Ken Arok memaksa dan menggagahinya, memperkosanya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ayahnya masih merintih kesakitan.
Pada keesokan paginya, sambil menangis, dengan rambut awut-awutan, pakaian tidak karuan, muka pucat. Witri terhuyung-huyung menghampiri ayahnya yang masih mengaduh-aduh lemah. Mereka bertangisan dan Witri yang mengalami penderitaan hebat lahir batin itu membantu ayahnya, sedapat mungkin mereka tertatih-tatih pulang ke dusun mereka.
Akan tetapi, hanya dua hari setelah peristiwa itu, ayah Witri meninggal dunia. Witri dengan hati yang sakit lalu menceritakan kejahatan Ken Arok sehingga orang-orang semakin takut akan tetapi mulai merasa benci kepada pemuda itu.
Memang benar Ken Arok suka menderma dan membagi-bagikan harta, akan tetapi agaknya semua itu bukan dilakukan karena memang hatinya penuh welas asih, melainkan untuk mencari nama. Buktinya dia dapat berbuat keji dan kejam sekali terhadap Witri dan ayahnya.
Karena semakin ditakuti dan merasa betapa pengaruh dan kekuasaannya semakin meluas, Ken Arok bersikap semakin ganas dan jahat. Kalau tadinya dia masih memilih korban, kini dia tidak peduli lagi. Banyak sudah orang dusun yang sudah menjadi korban keganasannya. Juga beberapa kali dia memperkosa wanita yang tidak mau melayaninya, membunuh keluarga wanita yang tidak mau menyerahkan isterinya atau anak perempuannya.
Barulah Ken Arok menjadi terkejut. "Ah, kenapa engkau hendak meninggalkan aku, Kakang Panji? Aku mengerti, engkau tidak setuju dengan sepak terjangku tentang.... tentang wanita. Aku tidak berdaya, karena memang itu kesukaanku. Ah, sebelum engkau pergi meninggalkan aku, aku ingin minta bantuan dulu, Kakang."
"Bantuan apakah, Dimas Ken Arok? Tentu saja aku mau membantu kalau memang tidak berlawanan dengan hatiku."
"Ketahuilah bahwa ayah kandungku telah terbunuh oleh orang dan kini aku ingin membalas dendam terhadap orang itu. Hanya engkau yang kiranya dapat membantuku menghadapi musuh yang tangguh itu."
"Ayah kandungmu? Bukankah ayahmu Sang Hyang..."
"Benar!" Ken Arok memotong dengan wajah serius. "Ayah kandungku adalah titisan Sang Hyang Brahma. Karena sudah menitis menjadi manusia, maka tentu saja ayahku tidak terlepas dari maut. Dia dibunuh oleh Ki Bragolo ketua dari perkumpulan Sabuk Tembogo yang bertempat tinggal di lereng Gunung Kawi. Nah, sekarang aku hendak mencarinya dan membalas dendam atas kematian ayah. Maukah engkau membantuku, Kakang Panji?"
Betapapun juga, Ken Arok adalah anak angkat ayahnya dan dia sendiri memang sayang kepada Ken Arok yang menjadi sahabat dan saudaranya selama bertahun-tahun. Kalau disuruh membantu melakukan hal-hal yang jahat, seperti menganggu penduduk dusun yang memperkosa wanita, tentu dia tidak sudi. Akan tetapi sekarang, adik angkatnya itu hendak membalas dendam atas kematian ayah kandungnya yang terbunuh orang. "Tentu saja aku akan membantumu, Dimas Ken Arok!"
Maka berangkatlah kedua orang muda itu meninggalkan dusun mereka, yaitu Dusun Sanja, menuju ke Gunung Kawi untuk mencari musuh besar Ken Arok. Dusun itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi aman untuk sementara. Lega hati para penghuni dusun-dusun itu ketika mereka melihat bahwa Ken Arok telah meninggalkan tempat itu.
Berita tentang Witri dan ayahnya sudah tersebar luas, ditambah lagi berita-berita kejahatan lainsehingga nama Ken Arok semakin dikenal sebagai seorang penjahat muda yang ganas. Bahkan nama ini tersebar sampai jauh memasuki tapal batas Kadipaten Tumapel.
"Nah, kau lihat, buktinya hutan itu kita lewati dengan selamat tidak ada gangguan apa-apa, Wulan," kata Joko Handoko.
Wulan tersenyum. Mereka sudah turun dari kuda dan jalan berdampingan, Joko Handoko menuntun kudanya. Mereka turun karena kasihan kepada kuda yang selama ini telah mereka tunggangi berdua.
"Agaknya peruntunganmu memang baik, Joko. Biasanya, hutan ini penuh dengan perampok jahat. Akan tetapi, begitu kau lewat, mereka tidak memperlihatkan batang hidung mereka."
"Hem, atau barangkali karena mereka sudah tahu bahwa aku melakukan perjalanan dengan puteri ketua Sabuk Tembogo?"
Beralasan juga ucapan Joko Handoko itu dan Wulandari mengangguk. Ia lalumengangkat muka memandang wajah Joko Handoko. "Kita sudah dekat dengan Kadipaten Tumapel. Lihat di depan sana itu, tembok-temboknya sudah nampak."
Joko Handoko memandang ke depan. Di bawah lereng itu memang nampak tembok-tembok,samar-samar tertutup pohon-pohon jati. "Ah, betapa aku ingin segera sampai ke sana," katanya gembira.
"Akan tetapi, kita.... akan segera saling berpisah......"
"Apakah engkau tidak merasa kecewa dan.... sedih, Kakang Handoko?"
Joko Handoko memandang wajah gadis itu, agak heran mendengar perubahan dalam penggilan gadis itu. Agaknya Wulandari sadar akan hal ini. Wajahnya menjadi kemerahan dan disambungnya pertanyaannya tadi.
"Engkau tentu tidak keberatan kalau aku menyebutmu Kakang Handoko, bukan? Bagaimanapun juga, engkau lebih tua dariku sehingga tidak patut rasanya kalau aku menyebut namamu begitu saja."
Joko Handoko tersenyum senang. "Tentu saja tidak, Wulan. Akan tetapi mengapa aku harus kecewa dan bersedih?"
"Karena kita akan saling berpisah. Aku merasa sedih membayangkan harus bepisah darimu, Kakang. Aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu."
Joko Handoko tersenyum, menganggap ucapan gadis itu kekanak-kanakan. "Ah, Wulan, di dunia ini mana ada yang abadi? Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Akan tetapi, di Tumapel engkau hendak melakukan apakah? Hendak pergi ke mana?"
"Aku hendak mencari dan mengunjungi Eyang Empu Gandring," jawab Joko Handoko dengan jujur.
Wulandari terkejut dan memandang tajam. "Empu Gandring? Apamukah dia dan mau apa engkau mencarinya?"
"Bukan apa-apa, hanya beliau adalah seorang kenalan baik mendiang kakekku. Aku ingin menyampaikan kematian kakekku kepadanya," Joko Handoko yang tidak ingin menonjolkan diri tidak mau mengaku bahwa mendiang ayahnya adalah murid Empu Gandring.
Setelah mereka tiba di pintu gerbang Kadipaten Tumapel yang ramai, keduanya berhenti. Wulandari memandang kepada pemuda itu dengan tajam. Ia merasa berat sekali harus berpisah dari Joko Handoko. Wajah yang tampan, tubuh yang tegap dan biarpun pemuda itu tidak memiliki kepandaian namun ia berwatak satria yang gagah dan tabah, membuat gadis ini jatuh cinta. Ditambah lagi pengalaman berboncengan kuda yang takkan terlupakan selamanya oleh Wulandari.
"Kakang, kapan kita akan saling berjumpa lagi?" tanyanya dengan suara memelas.
"Kalau memang kita berdua dalam keadaan sehat, lain waktu tentu kita akan dapat saling berjumpa."
"Aku ingin sekali mengajakmu mengunjungi tempat tinggal kami di lereng Kawi, Kakang. Maukah engkau berkunjung ke sana?"
Joko Handoko mengangguk-angguk, dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang akan menjadi sikap gadis ini kalau mengetahui bahwa ayah gadis ini adalah pembunuh ayahnya! "Kalau saja semua urusanku sudah selesai aku tidak keberatan untuk berkunjung ke tempatmu, Wulan."
"Kalau begitu, mengapa tidak setelah engkau mengunjungi Empu Gandring? Kita pergi bersama dan... ah, aku harus menyelesaikan tugasku dulu!" katanya memotong ucapannya sendiri dengan nada menyesal.
Hati Joko Handoko tertarik. Dia memang tidak mempunyai urusan lain kecuali mengunjungi Empu Gandring. Dia memang bermaksud merantau untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Mengapa dia tidak pergi mengunjungi Sabuk Tembogo untuk melihat bagaimana keadaan orang yang menjadi pembunuh ayahnya itu?
Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengenal orang itu dan melihat begaimana keadaan dan wataknya. Melihat Wulandari yang gagah perkasa dan baik hati, kesan dalam hatinya terhadap Sabuk Tembogo sudah menjadi lebih baik.
"Kalau begitu, mengapa tidak melakukan tugasmu itu bersamaku, kemudian kita berdua mengunjungi Empu Gandring dan baru bersama menuju ke tempat tinggalmu di Kawi?"
Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala. "Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. "Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko Handoko, lalu berkata, "Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula." Setelah berkata demikian, dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi, mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput dibawah pohon. Kemudian tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari dengan diam-diam.
Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis perkasa itu. Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumahrumah penduduk dan pohon-pohon.
Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang pejabat atau bengsawan tinggi.
Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara berisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu, tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu meloncat naik ke atas wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai dia melihat Wulandari muncul dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar tegang ketika dia melihat gadis ini.
Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang berbeda dari Wulandari seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih, wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya awut-awutan, juga pakaiannya kusut.
Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko, kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas. Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun penghuni rumah itu yang tahu.
Dan Joko Handoko dapat menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang sedang dikerjakan gadis itu? Perbuatan jahat ataukah baik?
Gadis cantik itu terpaksa mengikuti Wulandari keluar dari dalam rumah, dan setelah keluar dari pintu belakang, Wulandari lalu menariknya dekat pagar kebun itu dan tiba-tiba Wulandari memondong gadis itu dan membawanya loncat keluar pagar.
Gadis itu mengeluarkan suara menjerit kecil karena ngeri ketika dibawa loncat, akan tetapi ia segera diturunkan lagi dan setengan diseret, diajak berlari oleh Wulandari, menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan rumah-rumah menuju ke pintu gerbang kota Kadipaten Tumapel.
Ketika Wulandari yang menggandeng tangan gadis itu keluar dari pintu gerbang dan tiba agak jauh dari tembok kota Kadipeten Tumapel, di dalam cuaca yang remang-remang itu tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki yang menuntun kuda menghadang di depan perjalanannya. Mula-mula dara itu terkejut, akan tetapi hatinya berubah girang ketika ia mengenal siapa adanya pria itu.
"Kakang Handoko! Engkau di sini?" teriaknya girang.
"Wulan, aku girang dapat bertemu dengan engkau disini. Eh, siapakah gadis ini?"
"Panjang ceritanya, Kakang. Kenapa engkau bisa berada di sini? Bukankah engkau akan pergi mengunjungi Empu Gandring?"
"Aku sudah pergi ke sana dan beliau sedang pergi ke luar kota, aku lalu kembali ke sini untuk mencarimu." Joko Handoko membohong.
"Bagus sekali! Dan engkau mau melakukan perjalanan bersamaku ke Kawi?"
"Memang aku ingin ke sana. Akan tetapi siapakah gadis ini?"
"Nanti dulu. Ia seorang gadis lemah, biar menunggang kudamu. Nanti kuceritakan semua ini kepadamu, Kakang Handoko."
"Silahkan," kata Joko Handoko.
Wulandari lalu berkata kepada gadis itu. "Naiklah ke punggung kuda agar tidak lelah, perjalanan kita masih jauh."
Gadis itu memandang kepada Wulandari, kemudian kepada Joko Handoko. Biarpun ia nampak lemah tak berdaya, namun kini ia tidak memperlihatkan rasa takut. Sikapnya masih lembut dan suaranya amat halus ketika ia bertanya, "Kalian hendak membawaku kemanakah?"
"Sudahlah, naik dan jangan banyak bertanya. engkau adalah tawananku dan engkau harus melakukan semua perintahku." Wulandari membentak.
Gadis itu menarik napas panjang lalu naik ke atas punggung kuda. Ternyata ia seorang gadis yang biasa menunggang kuda karena biar pun tubuhnya kelihatan lemah, cekatan juga ia dapat naik ke punggung kuda yang besar itu. Melihat ini, Wulandari cepat memegang kendali kudanya.
"Awas, jangan coba untuk melarikan diri. Kakang, sebaiknya engkau duduk di atas punggung kuda pula bersamanya untuk mencegah agar ia jangan melarikan diri."
"Tidak!" kata gadis di atas punggung kuda itu." Kalau aku harus menunggang kuda bersama dia, lebih baik aku jalan kaki!"
"Ihh, banyak lagak kau! Apa salahnya menunggang kuda berboncengan dengan Kakang Joko Handoko?" bentak Wulandari marah. Ia sendiri senang sekali berboncengan naik kuda dengan pemuda itu dan kini gadis ini, sebagai seorang tawanan, banyak lagak menolaknya.
"Biarkan ia sendiri menunggang kuda, Wulan. Bukankah kendalinya berada di tanganmu? Tanpa kendali, ia tidak akan dapat menguasai kuda. Dan pula, aku sudah biasa berjalan kaki."
"Nah, sekarng ceritakan, Wulan. Siapa gadis ini dan mengapa pula engkau menawannya?" Joko Handoko bertanya dengan tidak sabar. Dia merasa tidak puas dengan perbuatan Wulandari kali ini. Gadis itu demikian lemah lembut, sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Kenapa Wulandari menawannya? Dia sudah merasa kasihan kepada gadis itu.
"Gadis ini puteri Raden Pamungkas, seorang senopati dari Tumapel," Wulandari mulai bercerita. "Aku menawannya untuk ditukar dengan tiga orang saudara seperguruanku yang kini ditawan oleh ayahnya."
"Hemm, kenapa tiga orang murid Sabuk Tembogo itu ditawan oleh Senopati Pamungkas?" Joko Handoko menjadi semakin penasaran.
Seorang senopati adalah seorang perwira tinggi dan kalau sampai tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu ditawan, tentu mereka telah melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sehingga tidak layak kalau Wulandari kini menculik puterinya untuk ditukar dengan tawanan itu.
"Kami difitnah!" Wulandari berkata lantang. "Dari kesaksian Puteri Pusporini inilah yang menjadi gara-garanya. Karena itu ia kutawan karena ia yang menjadi biang keladi sehingga tiga orang anggota kami ditangkap. Mula-mula, rombongan keluarga senopati itu bersama Pusporini ini melakukan perjalanan. Mereka dihadang olah tiga orang perampok dan dirampok habis-habisan, juga beberapa orang perajurit pengawal tewas oleh tiga orang itu. Senopati Pamungkas marah, apa lagi mendengar keterangan dari Pusporini bahwa yang merampok adalah tiga orang yang bersenjata sabuk Tembogo. Ketika tiga orang kakak seperguruanku pergi ke Tumapel, mereka langsung ditangkap dan dijebloskan penjara dengan tuduhan merampok, Kami difitnah!"
"Wuladari, siapakah yang melakukan fitnah" Dan untuk apa aku melakukan fitnah terhadap murid-murid ayahmu yang selama ini menjadi sahabat dan pembantu yang baik dari Kadipaten Tumapel? Aku sendiri mengenal ayahmu, mengenalmu sebagai orang-orang yang selalu membela kebenaran dan sudah banyak berjasa terhadap Tumapel.
"Akan tetapi, ketika terjadi perampokan. Aku melihat sendiri bahwa tiga orang perampok yang menutupi muka dengan topeng itu memainkan sabuk-sabuk tembaga mereka. Siapa lagi kalau bukan murid-murid ayahmu yang melakukan penyelewengan?
"Karena itulah, ketika mereka bertiga muncul di Tumapel mereka ditangkap. Apakah sekarang engkau hendak membela orang-orang yang bersalah, walaupun orang-orang itu saudara-saudara seperguruanmu sendiri?" Gadis bernama Dewi Pusporini itu bicara dengan suara lembut dan merdu, walaupun ditujukan untuk menegur Wulandari.
"Aku tidak pecaya!" Wulandari membentak. "Tiga orang kakak seperguruanku itu terkenal sebagai orang gagah yang tidak akan sudi melakukan perampokan. Pendeknya, engkau harus menjadi tawananku dan tadi aku sudah meninggalkan sepucuk surat pemberitahuan kepada ayahmu bahwa engkau baru akan kubebaskan setelah tiga orang saudaraku itu pun dibebaskan!"
Dewi Pusporini tidak menjawab dan tidak bicara lagi, melainkan menunggang kuda sambil termenung. Diam-diam Joko Handoko mempertimbangkan percakapan itu dan dia pun menjadi ragu-ragu dan bingung. Jelas bahwa tindakan Wulandari ini bukan suatu kejahatan, akan tetapi bagaimana kalau gadis yang halus lembut itu bicara benar?
Bagaimana kalau memang tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu melakukan penyelewengan? Berarti gadis lembut itu menjadi korban. Bagaimanapun juga, dia harus melindungi gadis yang sama sekali tidak berdosa ini! Dan gadis itu kelihatan demikan tenang, sama sekali tidak takut! Joko Handoko mendekati kudanya, memandang wajah puteri itu dan berkata, "Apakah Andika tidak merasa takut menjadi tawanan?" tanyanya sambil lalu.
"Kenapa mesti takut?" jawab Dewi Pusporini. "Aku tidak bersalah, dan ayahku memiliki banyak pembantu yang sakti sehingga aku yakin mereka akan membebaskan aku, mungkin sebelum aku tiba di sarang Sabuk Tembogo."
"Hemm, justru karena ayahmu mempunyai pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti maka aku menawanmu, Dewi! Hendak kulihat mereka akan mampu berbuat apa kalau engkau terjatuh ke tangan kami," kata Wulandari sambil tersenyum mengejek.
Joko Handoko mengerti dan dia kagum. Siasat Wulandari memang cerdik menghadapi Senopati Tumapel memang bukan main-main. Maka Wulandari menggunakan siasat ini lebih dulu puteri senopati itu untuk melumpuhkan semangat perlawanan Sang Senopati, memaksanya menukar tawanan.
Akan tetapi dia pun tahu bahwa tindakan Wulandari ini sembrono sekali, karena berarti telah menanam bibit permusuhan dengan Tumapel. Bagaimana kalau kelak, setelah tawanan ditukar, Senopati Pamungkas melakukan tindakan kekerasan, menggunakan pasukannya menyerang Sabuk Tembogo? Hal ini agaknya tidak diperhitungkan oleh gadis perkasa itu.
Dewi Pusporini tidak menjawab ucapan Wulandari tadi, akan tetapi tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang agaknya mewakili gadis itu untuk menjawab. Joko Handoko terkejut dan Wulandari meloncat dan mencabut sabuk Tembogonya.
"Kakang Handoko, tolong kau awasi gadis itu agar jangan sampai melarikan diri. Aku akan menghadapi mereka!" katanya dengan sikap gagah sekali, berdiri menghadang di belakang kuda.
Tak lama kemudian muncullah belasan orang berkuda yang melakukan pengejaran dan ternyata mereka itu memang pasukan dari Tumapel, para perajurit pengawal Senopati Pamungkas yang melakukan pengejaran. Senopati Pamungkas melakukan pengejaran dengan pasukanya yang dipencar-pencar dan kebetulan sekali pasukan yang terdiri dari lima belas orang ini berhasil menyusul Wulandari di tengah hutan itu.
Mereka berada di bagian hutan yang terbuka sehingga memperoleh sinar bulan secukupnya, membuat cuaca di situ cukup terang. Pemimpin pasukan, seorang laki-laki yang tinggi kurus berseru, menghentikan pasukannya dan diapun sudah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh anak buahnya.
Sekali pandang saja dia dapat mengenal Dewi Pusporini di atas kuda yang dituntun oleh seorang pemuda, sedangkan Wulandari berada di depannya dengan sabuk Tembogo di tangan kanan, berdiri tegak dengan sikap menantang.
Tentu saja para perajurit itu sudah mengenal Wulandari karena selama ini perkumpulan Sabuk Tembogo yang dipimpin oleh Ki Bragolo merupakan sahabat baik dari Sang Senopati, bahkan perkumpulan itu banyak membantu Tumapel. Wulandari dikenal sebagai seorang gadis perkasa puteri ketua Sabuk Tembogo.
Dan juga kepala pasukan itu tadi sudah mendengar bahwa penculik Dewi Pusporini menghendaki penukaran tawanan maka tahulah dia bahwa orang Sabuk Tambogo yang melakukan penculikan.
"Wulandari!" bentak perwira itu. "Kiranya engkau telah menculik Sang Putri. Hayo engkau menyerah untuk kami tangkap atau kau serahkan kembali Sang Puteri kepada Kanjeng Senopati!"
"Tidak akan kuserahkan Dewi Pusporini sebelum kalian membebaskan tiga orang saudaraku yang ditawan!" Wulandari membentak dengan penuh tantangan.
"Kau... Kau berani menentang dan melawan perajurit-perajurit Tumapel?"
"Akan kulawan siapa saja yang mengganggu perkumpulan kami. Saudara-saudaraku itu tidak berdosa, kami difitnah, maka kami menuntut agar mereka dibebaskan!"
"Kepung dan serbu! Tangkap pemberontak ini!" Perwira tinggi kurus itu membentak dan pasukannya lalu menyerbu. Akan tetapi, mereka disambut oleh gulungan sinar yang keluar dari sabuk Tembogo yang diputar dengan dahsyat oleh Wulandari.
Terjadi perkelahian yang hebat. Wulandari mengamuk, dikeroyok oleh belsan orang itu. Akan tetapi, biarpun ia sedang marah dan mengamuk, Wulandari agaknya masih ingat bahwa ia tidak boleh membunuh perajurit-perajurit Tumapel karena hal ini hanya akan memperhebat kesalah-pahaman di antara perkumpulannya dengan Kadipaten Tumapel.
Sabuk Tembogo di tangannya hanya dipergunakan untuk menangkis senjata lawan, sedangkan ia merobohkan para pengeroyok hanya dengan tamparan-tamparan tangan kirinya, cukup membuat lawan terpelanting akan tetapi tidak sampai membunuh.
Sementara itu, melihat betapa para perajurit pengawal ayahnya sudah menyusul sampai di situ dan mengepung Wulandari, Dewi Pusporini lalu berkata kepada Joko Handoko, "Mendengar percakapanmu dengan Wulandari tadi, engkau tentu bukan anggota Sabuk Tembogo. Orang muda, kenapa engkau ikut-ikut melakukan dosa terhadap Tumapel? Engkau dapat terlibat pemberontakan. Oleh karena itu, bebaskanlah aku dan aku akan mengatakan kepada ayah bahwa engkau tidak berdosa."
Suara itu demikian lembut dan ramah, juga mengandung kebenaran, memiliki daya tarik yang kuat sehingga hampir saja Joko Handoko menanti atau memenuhi permintaannya. Betapa mudahnya baginya untuk membebaskan puteri dan membiarkannya pulang menunggang kudanya.
Akan tetapi, setelah tadi bercakap-cakap dengan Wulandari, hatinya tertarik, dan ingin dia melihat apa yang sebanarnya terjadi. Dia telah dimintai tolong oleh Wulandari untuk menjaga gadis ini agar tidak melarikan diri. Kalau sampai dia membiarkan gadis ini pergi, tentu akan terjadi hal yang tidak enak antara dia dan Wulandari.
"Sang Puteri, memang aku bukan anggota Sabuk Tembogo dan aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan permusuhan di antara Sabuk Tembogo dan Kadipaten Tumapel. Akan tetapi justeru karena tidak tersangkut dan tidak tahu urusannya, maka aku tidak boleh memihak. Aku telah mendapat kepercayaan Wulandari untuk menjaga agar Andika tidak akan melarikan diri, oleh karena itu, maaf bahwa aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu itu. Akan tetapi, percayalah bahwa aku akan menjaga agar engkau tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun juga."
Puteri itu tidak membantah lagi, maklum bahwa percuma saja ia membujuk pemuda ini. Dan ia memandang ke arah pertempuran dengan hati gelisah. Wulandari sungguh hebat.
Biarpun dikeroyok belasan orang, ia dapat menandingi mereka dan berkali-kali terdengar suara berdenting keras ketika senjata-senjata tajam para pengeroyok bertemu dengan sabuk Tembogonya, dan sudah ada beberapa orang yang terpelanting roboh oleh tamparannya, mengaduh-aduh dan untuk sementara tak mampu melanjutkan pengeroyokan. Akan tetapi, karena gadis perkasa itu tidak membunuh lawan pengeroyokan menjadi semakin ketat.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terpelanting roboh. Nampak dua orang yang mengenakan topeng tahu-tahu sudah mengamuk dan memukuli para pengeroyok dengan tamparan-tamparan keras.
Melihat ini, Wulandari terkejut. Ia tidak mengenal siapa dua orang bertopeng itu, akan tetapi melihat betapa tamparan-tamparan mereka demikian kuatnya, ia merasa takut kalau-kalau orang-orang yang membantunya itu melakukan pembunuhan.
"Hai, tahan! Jangan membunuh orang?" bentaknya dan ia menerjang ke depan menghadapi dua orang yang datang membantunya itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu membalikkan dirinya dan lennyap di antara pohon-pohon. Dan para prajurit yang juga gentar menghadapi dua orang pendatang baru yang tangguh, yang mereka anggap tentu teman-teman Wulandari, cepat melarikan diri, meninggalkan empat orang yang telah roboh dan tidak dapat bergerak kembali akibat tamparan-tamparan yang ampuh dari dua orang bertopeng tadi.
Wulandari tidak melakukan pengejaran, bahkan cepat menghampiri empat orang yang roboh itu untuk memeriksa. Alangkah kaget hatinya melihat betapa empat orang itu telah tewas semua, dengan mulut mengeluarkan darah! "Ahhh..... Hastorudiro....!"
Wulandari menengok dan ternyata Joko Handoko telah berdiri di belakangnya dan pemuda inilah yang mengeluarkan ucapan itu. "Apa maksudmu?"
"Lihat itu.....!" kata pula pemuda itu sambil menunjuk kearah dada sesosok mayat.
Wulandari memandang dan melihat bahwa baju dada itu robek dan nampak kulit dadanya di mana terdapat bekas telapak tangan merah darah. Gadis itu teringat dan terkejut. "Kau maksudkan Hastorudiro, perkumpulan Tangan Berdarah itu?"
Joko Handoko termenung, teringat akan kematian kakeknya dan para cantrik yang juga tewas di tangan orang-orang dari Hastorudiro. Dia mengangguk.
Wulandari makin terkejut dan heran, lalu bengkit. "Eh, kami tidak pernah berhubungan dengan mereka, bagaimana mereka itu tiba-tiba membantuku? Dan mereka telah melakukan pembunuhan. Sungguh celaka... tentu kami akan semakin dianggap pemberontak oleh Kadipaten Tumapel!"
"Jangan khawatir Wulan. Engkau sendiri tidak pernah melakukan pembunuhan, dan dua orang Hastorudiro itu datang membantumu tanpa kau minta. Bahkan engkau mencegah mereka melakukan pembunuhan. Hal ini disaksikan oleh aku dan juga sang puteri itu!"
Akan tetapi Dewi Pusporini berkata halus, "Hemm, kalian adalah pemberontak-pemberontak dan kini telah membunuh empat orang perajurit. Dua orang bertopeng tadi jelas membantu kalian dan bisa saja kalian pura-pura tidak mengenal mereka!"
Mendengar ini, Wulandari nampak gelisah "Ayah tentu akan marah sekali mendengar ini. Aku menculik Dewi Pusporini tanpa sepengetahuan ayah, dalam usahaku untuk memaksa Senopati Raden Pamungkas membebaskan tiga orang saudara seperguruanku. Dan kini terjadi pembunuhan, bukan olehku, akan tetapi mereka itu bermaksud membantuku. Sungguh celaka!"
"Keadaan sudah terlanjur begini," kata Joko Handoko. "Sesal kemudian tiada gunanya. Sebaiknya sekarang melaporkan semua ini kepada ayahmu, lihat apa yang akan beliau lakukan... "