Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 07

Sonny Ogawa

Wulandari mengangguk dengan lemas. "Usahamu memang baik dan agaknya tidak ada jalan lagi." Tiba-tiba ia memandang tajam kepada Joko Handoko seperti teringat seuatu berseru. "Heii, Kakang Joko Handoko! Bagaimana engkau bisa mengetahui ini semua?"

Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak. "Mengetahui apa maksudmu?"

"Engkau segera mengenal korban pukulan orang-orang Hastorudiro! Padahal engkau seorang lemah yang asing tentang ilmu silat...."

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

Joko Handoko tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikan Wulandari. Dia harus bersikap hati-hati terhadap gadis yang cerdik ini, pikirnya. "Ah, apa anehnya? Di dalam perantauanku, aku pernah melihat korban pembunuhan seperti ini dan orang-orang mengatakan bahwa para pembunuhnya adalah orang-orang dari perkumpulan Hastorudiro. Apa sukarnya melihat tanda tapak tangan darah itu?"

Wulandari mengangguk-anggukdan termenung. "Aku hanya pernah mendengar saja tentang Hastorudiro, akan tetapi belum pernah berhubungan. Menurut berita perkumpulan Hastorudiro adalah perkumpulan orang-orang gagah yang seperti juga kami, biasanya setia dan membantu Tumapel. Heran sekali mengapa mereka kini tanpa Tanya-tanya telah turun tangan membantuku dan membunuh perajurit Tumapel, padahal kami dari Sabuk Tembogo sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memusuhi Tumapel?"

Percakapan itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Dewi Pusporini dan diam-diam gadis ini pun merasa heran. Ia merasa bahwa Wulandari tidak berpura-pura. Mengapa para pembunuh perajurit ketika rombongan keluarganya dirampok itu pun mengenakan topeng walaupun mereka itu membunuh dengan senjata sabuk Tembogo?

Dan sekarang, dua orang yang membunuh empat orang perajurit dengan meninggalkan tanda pukulan dari orang-orang Hastorudiro, juga mengenakan topeng. Mengapa ada persamaan dengan pembunuhan terdahulu dan seolah-olah semua ini diatur agar ia menyaksikannya?

"Sudahlah, lebih baik kita berangkat cepat-cepat agar tidak ada gangguan lagi di tengah perjalanan," kata Joko Handoko.

"Kalau begitu, engkau naiklah ke atas punggung kuda, berboncengan dengan Dewi Pusporini. Aku akan berlari cepat mengikuti kuda agar kita dapat segera tiba di tempat tinggal kami di lereng Kawi."

Joko Handoko memandang kepada Dewi Pusporini dan gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Gadis itu tidak membantah seperti tadi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu akan merasa malu dan sungkan sekali kalau harus duduk berdua dengan dia. Dia merasa tidak tega untuk membikin malu Sang Puteri. "Biarlah aku juga lari saja, Wulan."

"Mana engkau kuat mengikuti larinya seekor kuda kalau aku sudah biasa berlari cepat dan untuk itu sudah kupelajari suatu ilmu berlari cepat." Bantah Wulandari. "Kau jangan hiraukan puteri itu. Kalau engkau berboncengan dengannya, hal itu bukan berarti kau mau kurang ajar, melainkan karena keadaan mendesak. Pula, apa salahnya duduk berbocengan kuda begitu saja? Kita juga sudah melakukannya, kan tidak apa-apa!"

Dewi Pusporini menoleh dan memandang kepada Joko Handoko dengan sepasang matanya yang indah itu penuh teguran dan penolakan. Joko Handoko kembali berkata, "Sudahlah, aku akan mencoba sekuatku!"

Terpaksa Wulandari lalu memegang kendali kuda dan berlari. Kuda itu berlari congklang dengan cepat. Joko Handoko mengikuti dari belakang. Wulandari tidak terlalu cepat karena takut pemuda itu tertinggal, akan tetapi biarpun demikian, nampak betapa pemuda itu berlari dengan susah payah dan napasnya terengah-engah, kadang-kadang tersandung batu dan tersuruk-suruk.

Terpaksa Wulandari sering menghentikan lari mereka untuk membiarkan Joko Handoko beristirahat memulihkan pernapasannya yang memburu. Bagaimanapun juga, dengan berlari-larian seperti itu, tentu saja jauh lebih cepat daripada kalau hanya berjalan seenaknya.

* * *


"Wulandari! Apa yang kau lakukan ini!" bentak Ki Bragolo dengan mata melotot kepada puterinya ketika Wulandari datang menghadap padanya pada hari itu bersama Joko Handoko dan tawanannya, yaitu Puteri Dewi Pusporini. Tentu saja kakek itu segera mengenal, Sang Puteri dan dia terkejut bukan main melihat anaknya telah menawan puteri Senopati Raden Pamungkas.

Sementara itu dengan jantung berdebar Joko Handoko memandang kepada kekek itu dengan penuh perhatian. Ini kiranya orang yang telah menikam dada ayah kandungnya dengan pusaka Nogopasung yang kini berada padanya. Inilah pembunuh ayahnya. Akan tetapi dia merasakan dengan jelas betapa hatinya tidak diliputi kebencian atau dendam, dan dia pun merasa lega.

Di bawah gemblengan Panembahan Pronosidhi, dia senatiasa mengamati keadaan hatinya sendiri dan sekarang pun, di samping mengamati keadaan Ki Bragolo dia pun melakukan pengamatan terhadap dirinya sendiri. Seorang kakek yang gagah perkasa, tinggi besar dan usinya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun.

Rambutnya sudah hampir putih semua, bahkan kumis dan jenggotnya, juga alisnya, sudah berwarna putih. Akan tetapi wajahnya masih segar penuh semangat dan harus diakui bahwa wajah itu gagah dan berwibawa. Seluruh tubuh dan pembawaannya membayangkan kekuatan besar yang menggiriskan.

Juga banyak laki-laki tua muda yang hadir di situ, para anggota Sabuk Tembogo ratarata nampak gagah perkasa dan walaupun mereka itu membayangkan watak yang kasar namun mereka itu gagah dan terbuka. Hal ini dapat dilihat dari sinar mata mereka ketika mereka memandang kepada Wulan atau Dewi Pusporini. Tidak terdapat pandang kurang ajar seperti orang-orang kasar yang menjadi hamba nafsu dan sudah biasa melakukan kejahatan.

"Ayah, aku sudah tidak tahan lagi membayangkan betapa tiga orang saudara seperguruanku yang tidak bedosa itu ditawan oleh Senopati Pamungkas, mungkin disiksa atau dibunuh! Karena itu, setelah ayah gagal meminta mereka dibebaskan dengan jalan membujuk dan minta kepada senopati, aku lalu mengambil keputusan ini. Harap ayah maafkan, akan tetapi aku tidak melihat jalan lain untuk memaksa Sang Senopati untuk membebaskan tiga orang anggota kita kecuali menculik puterinya."

"Bodoh! Ini merupakan pemberontakan dan perang terbuka terhadap Tumapel! Apa kau kira Sang Akuwu Tunggal Ametung akan tinggal diam saja mendengar betapa kita memusuhi Senopati Pamungkas yang berarti juga memusuhi Tumapel? Kita akan dianggap pemberontak dan ke mana kita akan menyelamatkan diri kalau begitu? Engkau tahu bahwa pendirian Sabuk Tembogo adalah membela kebenaran dan mengabdi kepada Tumapel!" Kakek itu marah sekali. "Hayo, kembalikan sekarang juga Sang Puteri kepada ramandanya dan engkau harus minta maaf kepada Sang Senopati!"

"Akan tetapi, Ayah...."

"Tidak ada tapi! Jangan engkau menambah kesalah-pahaman antara kita dengan senopati menjadi semakin parah dan menjadi permusuhan! Hayo kembalikan Sang Putri ini sekarang juga dan sampaikan maafku kepada Sang Senopati!"

Wulandari cemberut. "Ayah, enak saja ayah bicara. Keadaannya tidak sesederhana itu. Ada empat orang perajurit senopati yang tewas, bagaimana aku dapat menghadap ke sana?"

"Apa?" Kakek itu membanting kaki dan mengepal tinju dengan marah, memandang anaknya dengan mata terbelalak. "Kau.... kau malah membunuh empat orang perajurit Tumapel?"

"Tidak, Ayah. Peristiwanya begini. Tanpa menjatuhkan korban, bahkan tanpa ketahuan aku mempergunakan aji penyirepan, aku berhasil melarikan Dewi Pusporini keluar dari gedung senopati. Aku bertemu dengan Joko Handoko ini yang kukenal dalam perjalanan dan dia pun membantuku dan meminjamkan kudanya. Kami melarikan Sang Puteri dan ketika kami tiba di hutan, muncul sepasukan perajurit Tumapel yang melakukan pengejaran.

"Aku melayani mereka akan tetapi sudah kujaga benar agar aku tidak sampai membunuh mereka. Tiba-tiba muncul dua orang yang membantuku dan mereka berdua itulah yang menurunkan tangan maut membunuh empat orang perajurit. Aku mencegahnya dan mereka melarikan diri. Melihat tanda tapak tangan berdarah, aku tahu bahwa mereka adalah orang-orang Hastorudiro, Ayah."

"Ah....!! Adi Kebosoro membantu kita melawan Tumapel? Rasanya tidak mungkin! Adi Kebosoro yang menjadi ketua Hastorudiro selamanya setia kepada Tumapel. Siapa mau percaya keteranganmu itu? Tetap saja disangka engkau yang menculik sang puteri. Celaka... celaka... engkau anak celaka, mendatangkan malapetaka kepada kita semua!"

Melihat Wulandari hanya menundukan muka dengan sedih dan bingung, Joko Handoko merasa kasihan. "Maaf, paman. Saya sendiri melihat sebagai saksi bahwa Wulandari sama sekali tidak membunuh orang."

Kakek itu mengangkat muka memandang kepada Joko Handoko dan agaknya baru sekarang ia memperhatikan pemuda itu karena tadi seluruh perhatiannya, didorong kemarahan ditujukan kepada putrinya. Dan tiba-tiba dia terbelalak, memandang dengan muka berubah. Sampai lama dia menatap wajah Joko Handoko kemudian terdengar suara perlahan dan lrih," Kau.... kau....., Siapakah engkau....?"

"Nama saya Joko Handoko, paman," jawab pemuda itu dengan hati tidak enak karena sikap tuan rumah itu sungguh aneh.

"Joko Handoko.....? Belum pernah aku mendengar nama itu, akan tetapi di mana kita sudah pernah saling jumpa?"

"Belum pernah, Paman, baru pertama kali ini....."

"Tidak! Pernah kita saling bertemu.... entah di mana...."

"Ayah, aku bertemu dan berkenalan di tengah hutan ketika aku menolongnya dari kepungan perampok. Joko Handoko ini tidak pernah bertemu dengan ayah."

"Sudahlah!" Kakek itu teringat lagi akan perbuatan Wulandari. Sekarang, engkau cepat kembali ke Tumapel, mengembalikan sang puteri."

"Tapi.... Mereka tentu akan menangkapku, ayah."

"Salahmu sendiri. Biar menjadi pelajaran bagimu!"

Kini Dewi Pusporini yang sejak tadi menaruh perhatian dan mendengarkan, mulai berubah pandangan terhadap keluarga Sabuk Tembogo. Ia mengerti bahwa agaknya memang telah terjadi rahasia yang aneh di balik semua peritiwa itu yang seolah-olah hendak menaruh Sabuk Tembogo di tempat gelap dan tersudut sehingga dimusuhi oleh Tumapel. Dari percakapan itu dan sikap ayah dan anak itu, ia merasa yakin bahwa Sabuk Tembogo sama sekali tidak berniat memberontak atau memusuhi Tumapel.

"Sudahlah, Paman Ki Bragolo. Saya sudah mendengar semuanya dan saya yakin bahwa terjadi kesalah-pahaman antara Sabuk Tembogo dan kami. Memang benar bahwa aku melihat sendiri orang-orang bertopeng mempergunakan senjata Sabuk Tembogo merampok keluarga kami, akan tetapi kini aku mulai ragu-ragu apakah benar mereka adalah orang-orang Sabuk Tembogo, ada orang golongan lain yang menyamar. Biarlah aku di sini dulu, nanti kalau pasukan Tumapel datang, aku yang akan memberi penjelasan kapada mereka. Aku akan minta, kepada ayah untuk melakukan penyelidikan seksama dan tidak menimpakan kepada Sabuk Tambogo begitu saja."

Mendengar ucapan Sang Puteri ini, wajah Ki Bragolo menjadi berseri. Hatinya lega sekali. "Ah, sungguh Andika seorang putri yang bijaksana sekali. Terima kasih, dan kami setuju sekali dengan pendapat Andika. Hayo, Wulandari, ajak Sang Puteri ke dalam, beri kamar terbaik dan layani dengan baik sebagai tamu agung kita!"

"Baik Ayah, dan Joko Handoko ini sudah banyak membantuku, Ayah. Biar dia mengaso dan menjadi tamu kita pula. Marilah, Raden Ajeng Dewi," kata Wulandari dengan sikap hormat dan bersukur karena bagaimana pun juga, Dewi Pusporini telah menolongnya dari kemarahan ayahnya tadi.

Setelah mereka berdua itu memasuki rumah, Joko Handoko lalu diajak oleh murid kepala menuju ke pondok di sekeliling rumah besar Ki Bragolo, diberi sebuah kamar untuk beristirahat dan kudanya pun dimasukkan ke dalam kandang kuda dan diberi makan.

Semantara itu, di Kadipaten Tumapel, Senopati Raden Pamungkas menjadi marah bukan main mendengar pelaporan para prajurit yang berhasil menyusul penculik puterinya. Laporan itu mengatakan bahwa yang menculik puterinya adalah Wulandari, puteri Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo.

Lebih marah lagi dia ketika laporan itu mengatakan bahwa ketika pasukannya telah berhasil menyusul Wulandari dan mengeroyoknya, muncul dua orang berkedok yang mempergunakan ilmu pukulan berdarah membunuh empat orang perajurit. Pasukan itu telah menemukan empat mayat teman mereka dan melihat tapak tangan merah yang menewaskan mereka.

"Keparat! Sabuk Tembogo dan Hatorudiro telah berbalik haluan dan menjadi pemberontak? Kita harus menghajar mereka!" bentaknya dan dia pun memerintahkan perwira bawahannya, membagi pasukan menjadi dua, dan masing-masing pasukan disuruh menyerbu ke sarang perkumpulan Sabuk Tambogo di lereng Kawi dan perkumpulan Hastorudiro yang berada di kaki Pegunungan Arjuna.

Dia sendiri tidak ikut dalam penyerbuan itu, karena selain hal itu menurunkan derajatnya sebagai senopati, juga dia harus cepat-cepat membuat pelaporan tentang pemberontakan dua perkumpulan itu kepada Sang Akuwu Tunggul Amentung yang menjadi atasannya.

Yang melakukan penyerbuan menuju ke lereng Kawi berjumlah lima puluh orang perajurit, dikepala oleh seorang perwira bernama Ranunilo, seorang perwira berusia empat puluh tahun yang memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat. Oleh sang senopati, Ranunilo diberi tugas khusus untuk menyelamatkan puterinya yang tertawan di sarang Sabuk Tambogo.

"Kalau mereka mau membebaskan Dewi, dan Ki Bragolo beserta puterinya mau menyerahkan diri, maka Sabuk Tambogo akan diampuni dan tidak perlu dibasmi. Akan tetapi kalau mereka tidak mau menyerahkan Dewi, gempur dan habiskan mereka!" demikian pesan Sang Senopati dengan marah.

Pagi-pagi hari sekali, pasukan di bawah pimpinan komandan Ranunilo telah tiba di kaki Gunung Kawi. Selagi perwira itu mengatur pasukan untuk mendaki gunung dengan berpencar arah mereka langsung mengepung sarang Sabuk Tembogo kalau sudah tiba di lereng, tiba-tiba muncul dua orang, laki-laki yang menarik perhatian karena mereka itu langsung dating menghadap Ranunilo.

"Kami mendengar tentang pemberontakan Sabuk Tembogo terhadap Tumapel, maka kami kakak beradik seperguruan siap untuk membantu pasukan Tumapel, untuk menghajar Sabuk Tambogo," kata mereka.

Ranunilo mengerutkan alisnya dan mengamati dua orang laki-laki itu penuh perhatian. Yang bicara adalah orang pertama yang bertubuh seperti raksasa, bermuka putih dan halus tanpa kumis, berjenggot pendek. Adapun orang ke dua yang lebih muda, bertubuh tinggi kurus dan bemuka hitam. Usia mereka kurang lebih empat puluh dan tiga puluh lima tahun.

"Hem, kami tidak membutuhkan bantuan. Siapakah kalian?" Tanya perwira itu dengan pandang mata curiga.

"Kami adalah dua orang kakak beradik dan datang dari pantai Segoro Kidul. Nama saya Gajah Putih dan adik seperguruan saya ini bernama Gajah Ireng. Kami berdua meninggalkan pantai untuk bekerja dan mengabdi kepada Kadipaten Tumapel. Mendengar bahwa Sabuk Tembogo kini memberontak, kami menjadi penasaran dan ingin membantu," kata Gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.

"Hemm, kami pasukan Tumapel tidak membutuhkan bantuan dan kalau kalian ingin mengabdi, sebaiknya datang saja ke Tumapel dan menghadap yang bertugas di sana," kata pula Ranunilo.

"Maafkan kami berdua," kata Gajah Putih sambil tersenyum. "Andika akan menyesal kalau tidak meneria bantuan kami, karena kami sudah mengenal siapa adanya Ki Bragolo dan perkumpulannya Sabuk Tembogo. Dia seorang yang sakti dan murid-muridnya pun rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau sampai Andika gagal menyerbu Sabuk Tambogo, selain Andika akan menerima kemarahan dari Sang Senopati dan Sang Akuwu, juga Tumapel akan merasa malu sekali."

Ranuniro memandang dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan alis berkerut. "Hemm, kalau kalian mengira aku akan kalah, apakah kalian berdua akan mampu mengalahkan Ki Bragolo?"

"Tentu saja kami berdua akan mampu mengalahkan Ki Bragolo!" jawab Gajah Putih dengan tersenyum lebar dan sombong. "Kalau tidak, kami tidak akan berani mengajukan diri membantu pasukan Tumapel."

"Bagaimana aku dapat yakin bahwa kalian berdua memiliki kemampuan sebesar itu?" perwira itu mendesak, tertarik juga.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa andika akan minta bukti!" katanya kepada adiknya.

Gajah Ireng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dan menyerahkan kepada kakak seperguruannya menjadi juru bicara. Gajah Ireng lalu berkata kepada Ranunilo. "Apakah andika melihat burung emprit di puncak pohon itu?"

Ranulniro mengangkat muka dan melihat adanya seekor burung emprit yang berloncatan dari ranting ke ranting di puncak sebatang pohon randu alas yang tinggi. Dia mengangguk. "Ya, aku melihatnya."

"Saya akan menangkap burung itu untuk andika seperti saya akan menangkap Ki Bragolo untuk andika." Berkata demikian, tiba-tiba kedua kaki Gajah Ireng menekan dan menendang tanah dan.... tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan cepatnya, seperti seekor burung garuda saja tubuh itu melayang ke arah puncak pohon.

Ranuniro memandang dengan mata terbelalak ketika tubuh Gajah Ireng sudah meloncat turun dan memperlihatkan emprit yang menggelempar di telapak tangannya! "Hebat......! Engkau hebat.....!" katanya penuh takjub.

Orang ini memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa, pikirnya. Kalau kecepatan seperti itu dipakai dalam perkelahian, tentu menggiriskan sekali. Gerakannnya sukar diikuti saking cepatnya dan berbahaya sekali melawan orang yang memiliki ketangkasan seperti ini. Melihat kecepatannya saja, maklumlah dia bahwa dia sendiri bukanlah lawan Gajah Ireng itu.

"Ha-ha-ha, memang adik seperguruanku itu memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Dan untuk mengalahkan Ki Bragolo, urusan mudah saja. Saya akan menumbangkan kekuasaan Sabuk Tembogo seperti ini." Kata Gajah Putih sambil menghampiri pohon randu alas tadi. Dia menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar untuk memeluk batang pohon sebesar dua kali tubuh orang itu, mengerahkan tenaga dan menarik.

Terdengar suara keras dan pohon itupun jebol sampai akar-akarnya dan tumbang, mengeluarkan suara gemuruh dan para prajurit cepat berloncatan dan berlarian agar jangan sampai tertimpa pohon itu! Kini para prajurit bersorak memuji karena demontrasi yang diperlihatkan Gajah Putih ini sungguh amat menganggumkan hati mereka.

Bukan main girangnya hati Ranunilo. Tadinya dia memang sudah agak gentar dan ragu-ragu ketika mengatur pasukannya untuk mendaki dan mengepung sarang Sabuk Tembogo. Dia sudah mengenal Ki Bragolo dan tahu bahwa kakek itu sakti mondroguno.

Kini, tiba-tiba muncul dua orang kakak beradik seperguruan yang memiliki kesaktian hebat dan ingin membantunya. Hal ini meyakinkan hatinya bahwa dia pasti akan berhasil membawa kembali Dewi Pusporini dan menaklukkan Ki Bragolo.

Setelah menerima kakak beradik itu, dengan hati lapang dan semangat besar, Ranunilo lalu memimpin pasukannya untuk mendaki naik dan tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo, dilereng Gunung Kawi.

Tentu saja Ki Bragolo sudah tahu akan kedatangan pasukan Tumapel ini, maka dengan sikap tenang diapun keluar menyambut ke pintu gerbang. Dia sudah memesan kepada para murid Sabuk Tembogo yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang agar berdiam saja di dalam dan tidak menimbulkan keributan dengan pasukan Tumapel.

Dia hanya keluar bersama Wulandari, Joko Handoko, dan Dewi Pusporini. Kehadiran puteri Senopati Pamungkas itulah yang membesarkan hatinya.

Dan memang, Ranunilo tertegun melihat betapa puteri atasannya itu keluar pula menyambut bersama Ki Bragolo dan sama sekali tidak kelihtan sebagai seorang tawanan! Akan tetapi, dia bersikap angkuh dan begitu berhadapan, segera dia berkata dengan suara lantang.

"Heh, Ki Bragolo yang memberontak! Kami diutus oleh Sang Senopati Raden Pamungkas agar engkau menyerahkan kembali Sang Puteri Dewi Pusporini dan engkau sekeluargamu menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa sebagai tawanan ke Tumapel. Kalau sudah begitu, barulah tempat ini tidak akan kami ganggu. Sebaiknya kalau kalian membangkang, terpaksa kami akan membuat tempat ini menjadi lautan api dan seluruh penghuninya kami bunuh!"

"Ranunilo, semenjak dahulu engkau mengenal Ki Bragolo bukan sebagai pemberontak! Agaknya terjadi kesalah-pahaman dan biarlah Sang Puteri Dewi Pusporini sendiri yang akan menjelaskan kepadamu," jawab Ki Bragolo dengan sikap tenang.

Jawaban ini tentu saja tidak disangka-sangka oleh Ranunilo yang menduga bahwa hanya ada dua jawaban, yaitu Ki Bragolo melawan atau menyerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang puteri dan terpaksa dia harus hormat mendengar penuh perhatian.

"Paman Ranunilo," kata Dewi Pusporini dengan suara Halus dan karena semua orang menahan napas untuk mendengarkan penuh perhatian, biarpun suaranya lembut namun terdengar jelas. "Apa yang dikatakan oleh paman Ki Bragolo itu memang benar. Ada kesalah-pahaman antara Sabuk Tembogo dan Tumapel. Aku datang ke sini bukan sebagai tawanan melainkan sebagai seorang tamu agung yang dihormati. Karena itu, janganlah bersikap keras. Aku akan pulang dan paman Ki Bragolo, juga Wulandari, akan ikut bersamaku menghadap kanjeng romo."

Tentu saja hal ini tidak disangka-sangka oleh Ranunilo. Dia merasa kurang puas karena setelah kini memiliki dua orang jagoan, dia ingin menunjukkan kemampuannnya. Akan tetapi di situ terdapat Dewi Pusporini, tentu saja dia tidak berani membantah.

"Baik, baiklah, saya akan mentaati perintah Paduka," jawabnya.

Ki Bragolo tertawa gembira. "ha-ha-ha, girang sekali hatiku, adi Ranunilo. Andika pun bersama pembantu-pembantu andika menjadi tamu agung kami. Marilah masuk dan kita makan bersama!"

Ranunilo terpaksa pula memenuhi undangan Ki Bragolo. Bersama Gajah Putih dan Gajah Ireng yang nampak tidak puas dengan hasil penyerbuan itu, dia masuk ke dalam ruangan makan yang luas di mana telah disediakan hidangan-hidangan yang mewah.

Sang Puteri Dewi Pusporini mengundurkan diri ke ruangan dalam bersama Wulandari, akan tetapi Wulandari keluar lagi untuk menemani ayahnya menjamu para tamu itu. Juga Joko Handoko hadir di samping murid-murid kepala Sabuk Tembogo dan pembantu-pembantu perwira yang jumlahnya bersama Ranunilo.

Dan dua orang pembantu barunya itu seluruhnya ada dua belas orang. Ki Bragolo ditemani oleh puterinya dan Joko Handoko bersama tujuh orang murid itu bekerja sebagai pelayan-pelayan walaupun mereka juga ikut berpesta.

Setelah diberi kesempatan berkumpul tanpa kehadiran Dewi Pusporini, Gajah Putih yang suka bicara dan berwatak sombong itu, tidak dapat menahan lagi hatinya yang sejak tadi diliputi perasaan tidak puas karena dia dan adik seperguruannya sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mencari jasa dan memamerkan kepandaian.

"Ah, suasana begini gembira! Kalau di waktu dahulu, di dalam pertemuan antara orang-orang yang menjujung tinggi kegagahan, setiap peserta makan minum tentu saja disertai pameran ilmu kesaktian. Apa lagi kalau yang mengadakan pesta seorang gagah perkasa dan sakti seperti Ki Bragolo, ketua dari Sabuk Tembogo. Ha-ha-ha!"

Ranuniro agaknya maklum ke mana tujuan ucapan pembantu barunya itu. Di lubuk hatinya, dia pun amat tidak puas dengan hasil tugasnya. Walaupun sang puteri akan diajaknya kembali bersama Ki Bragolo dan Wulandari, namun kedua orang ini bukan ikut sebagai tawanan. Hal ini tentu saja menurunkan nilai jasanya. Maka, tahu bahwa pembantunya barunya yang pandai bicara itu sedang "cari-cari", dia pun lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, kakang Gajah Putih, dalam suasana damai ini, mana ada kesempatan untuk mencoba ilmu kepandaian masing-masing?"

Gajah Ireng yang pendiam itupun menyambut. "Kakang Putih, tuan rumah telah bersembunyi dan berlindung di balik bayangan sang puteri, awas kau jangan mengganggunya. Salah-salah dia bisa melapor kepada sang puteri dan engkau dihukum!"

"Ha-ha-ha-ha!" Gajah Putih tertawa, pura-pura mabuk, lalu menuangkan tuak ke dalam mulutnya. Suaranya menggelogok ketika tuak itu melewati kerongkongannya. "Aku sudah lama mendengar bahwa Ki Bragolo adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa. Sayang, hari ini dia lebih suka mengambil jalan aman dan damai." Lalu dia bangkit berdiri. "Heh! Menggunakan wanita untuk berlindung sama sekali bukan tindakan laki-laki perkasa!"

Ki Bragolo adalah seorang laki-laki kasar yang sejak muda berkecipung di dalam dunia kekerasan dan kegagahan. Wataknya gagah perkasa dan sifat pengecut atau penakut merupakan pantangan besar baginya. Kini, mendengar ucapan tiga orang itu, telinganya sudah berubah menjadi merah dan melihat Gajah Putih bangkit, diapun kini bangkit berdiri, memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata berkilat.

“Gajah Putih, jangan engkau sembarangan bicara! Apakah engkau sengaja hendak mencari keributan di sini? Jangan sekali-kali menyangka bahwa kami takut kepadamu atau kepada siapa saja! Kami tidak minta perlindungan sang puteri, melainkan beliau sendiri yang tidak menghendaki kesalahpahaman ini menjadi berlarut-larut!”

Melihat kesempatan ini Ranunilo lalu bangkit berdiri. “Maafkan kami, Ki Bragolo! Sama sekali kami tidak bermaksud untuk membantah perintah sang puteri. Hanya saja engkau tentu mengerti betapa kecewa perasaan orang-orang gagah yang pada saat berada di tepi gelanggang pertempuran, lalu dihentikan begitu saja. Tidak biasa bagi kami untuk bermanis-manis dan berdamai begini saja.

"Karena itu, biarpun kini permusuhan tiada lagi untuk sementara, di antara orang-orang yang suka mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit, bagaimana kalau pesta ini diramaikan dengan adu ilmu secara persahabatan? Tidak perlu sampai ada korban, cukup untuk melihat siapa yang kalah dan siapa yang menang, siapa yang kuat dan siapa lemah. Bagaimana pandapatmu?”

Ki Bragolo juga merupakan orang yang biasanya mengunggulkan diri sendiri dan percaya akan kepandaian sendiri. Maka, tentu saja tantangan ini sempat membuat perutnya menjadi panas. “Ranunilo, engkau adalah seorang perwira yang sudah cukup mengenal watak Ki Bragolo yang pantang mundur menghadapi tantangan adu ilmu. Apakah engkau sendiri yang ingin mengadu ilmu?”

Ki Bragolo belum mengenal Gajah Putih dan dia, maka tentu saja dia mengira bahwa di antara semua tamunya, Ranunilo merupakan orang yang paling tangguh karena dialah pemimpin pasukan itu.

“Adimas perwira Ranunilo adalah pemimpin pasukan. Sebelum dia sendiri yang turun tangan, di sini masih ada kami dua orang pembantunya yang akan maju menjadi jagoan-jagoannya. Nah, kami berdua maju, siapakah di antara perkumpulan Sabuk Tembogo yang akan maju?” kembali Gajah Putih berseru. “Kalau kami berdua keok, barulah dimas Ranunilo yang akan turun tangan sendiri!”

“Manusia sombong, sebelum ketua dan guru kami maju, biarlah kami yang akan maju lebih dulu mewakili Sabuk Tembogo!” Terdengar bentakan keras dan dua orang laki-laki berusia empat puluh tahun bangkit berdiri.

Mereka tadi memimpin para murid Sabuk Tembogo yang menjadi pelayan dan juga tuan rumah, dan mereka ini bernama Sentono dan Sentanu dua orang murid kepala dari Ki Bragolo, mereka berdualah yang memiliki tingkat tertinggi. Hanya Wulandari seoranglah kiranya yang mampu mengungguli ilmu kepandaian mereka.

“Ha-ha-ha!” Gajah Putih tertawa bergelak. “Di dalam pertandingan adu ilmu persahabatan ini, harus diajukan lawan-lawan yang sepadan kepandaiannya agar lebih seru dan menarik. Tingkat kepandaian dua orang saudara anggota Sabuk Tembogo ini agaknya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat adikku. Adi Ireng, majulah menghadapi mereka!”

Gajah Ireng hanya mengangguk dan tersenyum mengejek, lalu dengan sekali menggerakkan tubuh, tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu yang kosong dan merupakan ruang yang baik sekali untuk mengadu ilmu.

Melihat ini, semua orang memandang dan kini, para anak buah Sabuk Tembogo dan pasukan tamu yang sudah mendengar bahwa akan diadakan adu ilmu, sudah ramai memenuhi luar pintu dan jendela-jendela ruangan makan itu untuk menonton.

“Kalian berdua majulah, mari kita main-main sebentar!” kata Gajah Ireng dengan berdiri tegak dan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya sombong sekali.

Sentono dan Sentanu saling pandang. Tentu saja mereka tidak sudi maju berdua untuk melakukan pengeroyokan. Pertandingan adu ilmu adalah suatu peristiwa di mana orang di dunia persilatan memperlihatkan kegagahan. Mengeroyok berarti akan membuat mereka hina dan dapat dianggap pengecut. Agaknya pihak lawan sengaja menantang agar mereka mengeroyok, hanya untuk melontarkan ejekan dan hinaan saja.

Sentanu lalu melangkah ke arah tengah ruangan itu setelah memperoleh anggukan setuju dari Ki Bragolo. Tuan rumah inipun merasa amat penasaran dan untuk mempertahankan nama dan kehormatan perguruannya, tentu saja dia tidak dapat menolak tantangan para tamu yang mengajak mengadu kepandaian. Dan memang tidak ada yang lebih tepat untuk melayani dua orang pembantu Ranunilo itu kecuali Sentono dan Sentanu. Dua orang murid kepala yang sudah boleh diandalkan kepandaiannya itu.

Setelah berhadapan dengan lawan, Sentanu lalu melolos sabuk tembogo yang menjadi ikat pinggangnya. Sabuk itu beratnya ada sepuluh kati, menunjukkan bahwa dia merupakan murid Sabuk Tembogo yang sudah mahir dan tangguh.

“Karena aku merupakan murid Sabuk Tembogo yang sedang mempertahankan nama dan kehormatan perkumpulan Sabuk Tembogo, maka untuk menguji kepandaian, aku harus mempergunakan sabuk ini yang menjadi lambang perguruan kami,” kata Sentanu, memperlihatkan senjatanya itu kepada calon lawannya.

Gajah Ireng tersenyum. “Bagi aku, Gajah Ireng, lawan bersenjata apapun tidak ada bedanya, dan kalian berdua maju bersama atau maju satu demi satu juga tidak ada bedanya. Akan tetapi perlu aku mengetahui nama dari calon lawanku.”

“Hemm, engkau agak besar mulut, sobat. Namaku Sentanu dan aku murid kedua dari guruku, juga ketua perguruan kami. Nah, aku sudah siap, engkau majulah!” Sentanu memasang kuda-kuda dan sabuk tembaga itu sudah diputar-putarnya dengan tangan kanan.

Di antara para anak buah Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel terjadi kesibukan sendiri karena ada pula yang bertaruhan! Mereka memang sudah saling mengenal karena sudah sering anak buah Sabuk Tembogo membantu Kadipaten Tumapel. Bahkan ketika beberapa tahun yang lalu terdapat kerusuhan yang diakibatkan oleh merajalelanya para bajak Kali Berantas, para pendekar Sabuk Tembogo berjasa besar, berkelahi bahu-membahu dengan pasukan Tumapel untuk membasmi para bajak.

Tadinya memang ada ganjalan di antara mereka sehubungan ditawannya tiga orang anggota Sabuk Tembogo, akan tetapi setelah kini di antara mereka ada perdamaian berkat perintah sang puteri, mereka bercakap-cakap dengan akrab dan kini meraka menganggap adu ilmu itu suatu kegembiraan yang bersahabat. Karena itu mereka lalu saling bertaruh.

Para anak buah Sabuk Tembogo yang percaya penuh akan ketangguhan Sentanu, berani mempertaruhkan semua uang saku mereka, sedangkan para perajurit juga tadi sudah menyaksikan kehebatan Gajah Ireng yang dapat “terbang”, tentu saja berani mempertaruhkan uang mereka.

Gajah Ireng yang tadinya memakai ikat kepala berwarna ungu, kini melolos ikat kepalanya itu dan agaknya hendak mengimbangi senjata lawan yang terbuat dari tembaga itu dengan senjata kain ikat kepala! Hal ini oleh Sentanu dianggap suatu sikap yang amat memadang rendah kepadanya dan sombong sekali.

“Lihat senjata!” bentaknya dan Sentanu sudah menyerang dengan gerakan ganas dan dahsyat sekali ke depan. Senjata sabuk tembaga itu diputarnya dengan cepat bagaikan kitiran sehingga tidak nampak lagi bentuknya melainkan berubah menjadi segulungan sinar dan tiba-tiba saja ada sinar mencuat ke arah dada Gajah Ireng.

Akan tetapi, Sentanu mengeluakan seruan kaget ketika tiba-tiba saja lawannya itu lenyap! Hanya nampak bayangannya berkelebat dan tahu-tahu lawan itu lenyap dan tib-tiba ada angin menyambar ke arah tengkuknya dari belakang. Dia seorang murid kepala Sabuk Tembogo, tentu saja sudah banyak pengalaman dalam bertanding.

Tahulah dia bahwa lawannya memiliki ajian kecepatan yang sangat hebat dan tentu angin yang bertiup itu merupakan serangan lawan. Cepat dia memutar tubuh dan menggerakkan senjatanya menangkis.

"Tukk!" benar saja dugaannya. Ikat kepala yang merupakan kain lemas itu ternyata dapat menyambar ke arah tengkuknya tadi dan berubah menjadi benda yang keras. Bukan main hebatnya lawan itu. Ketika sabuknya menangkis, terjadi bentrokan tenaga melalui kedua macam senjata itu dan sabuk tembaga di tangan Sentanu terpental.

Terdengar Gajah Ireng tertawa kecil. Sentanu menjadi penasaran dan dia pun mempercepat gerakan sabuk di tangannya sehingga nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata, yang melindungi seluruh tubuh Sentanu dan kadang-kadang dari gulungan sinar itu mencuat sinar yang merupakan serangan ujung sabuk ke arah lawan. Namun, Gajah Ireng memang memiliki kecepatan yang laur biasa. Setiap kali diserang, tubuhnya berkelebat lenyap dan diapun membalas serangan lawan dari tempat-tempat yang tidak terduga.

Tentu saja Sentanu yang jauh kalah cepat itu menjadi kewalahan dan setelah lewat dua puluh jurus, dia menjadi repat dan bingung karena gerakan cepat lawan membuat dia tidak tahu kemana harus menyerang sedangkan serangan lawan datang bertubi-tubi dari segenap penjuru secara tidak terduga sama sekali.

Bagi para penonton, jelas nampak betapa Gajah Ireng mempermainkan Sentanu. Para penonton dapat melihat gerakan Gajah Ireng karena jarak mereka dari orang itu agak jauh, tidak seperti Sentanu yang berada dekat sekali. Nampak oleh mereka betapa Gajah Ireng berloncatan dengan cepat bukan main mengintari Sentanu, selalu tak terjangkau oleh gulungan sinar sabuk di tangan murid Ki Bragolo itu, sebaliknya dari sudut-sudut bebas dia menyerang lawan dengan lecutan kain kepalanya.

Melihat betapa Gajah Ireng mempermainkan lawan dan berada di pihak yang selalu mendesak, para perajurit Tumapel, terutama mereka yang bertaruhan, mulai bersorak-sorak gembira sebaliknya para murid Sabuk Tembogo memandang dengan hati gelisah. Mereka pun dapat melihat bahwa kakak seperguruan mereka terdesak dan berada di ambang kekalahan.

Joko Handoko yang berdiri di pinggiran juga melihat semua ini. Dia menandang ke arah Wulandari yang berdiri di samping ayahnya. Gadis itu, juga Ki Bragolo, memandang ke arah perkelahian sambil mengepal-ngepal tinju. Jelas bahwa ayah dan anak itu merasa penasaran sekali.

"Pergilah!" tiba-tiba terdengar bentakan Gajah Ireng disusul bunyi ledakan kain ikat kepalanya yang menyambar dengan kecepatan kilat.

Sentanu tidak mampu mengelak atau menangkis lagi dan terdengar bunyi kain robek ketika letusan itu mengenai pundak dan dadanya, merobek baju dan juga merobek sedikit kulit dada dan pundak. Nampak guratan merah pada pundak dan dada itu. Walaupun tidak terluka parah, hanya lecet-lecet pada kulit itu, namun ini merupakan bukti bahwa Sentanu telah kalah. Dia pun tahu akan kekalahannya dan segera mengundurkan diri.

Kini Sentono melangkah maju menghadapi Gajah Ireng. "Adikku telah kalah, biarlah aku minta sedikit petunjuk darimu!" berkata demikian, Sentono memutar sabuk tembaga di tangannya. Dibandingkan dengan Sentanu, Sentono yang menjadi murid kepala itu hanya sedikit lebih tinggi tingkatannya, yaitu dalam hal tenaga saja. Ilmu silatnya tiada bedanya dengan Sentanu.

Dia sendiri tadi telah menyaksikan perkelahian antara Sentanu dengan Gajah Ireng, maklum bahwa dia sendiri takkan menang menghadapi lawan ini. Namun dia tidak takut, bahkan merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahan adiknya, walaupun dia tahu hal itu sama sekali tidak mudah.

"Hem, sudah kukatakan, kalian lebih baik maju bersama!" Gajah Ireng berkata dengan nada mengejek. Ucapan ini membuktikan kesombongannya.

Sentono tidak menjawab, melainkan memutar senjatanya dan menubruk ke depan. "Lihat sabukku!" namun seperti halnya adiknya tadi, tiba-tiba tubuh lawannya berkelebat lenyap. Dia tadi sudah menonton pertandingan antara adiknya dan lawan ini, maka dia sudah memutar dan menggerakkan sabuknya, menyerang ke bagian belakang dan kanan kiri dengan cepat.

Akan tetapi kembali Gajah Ireng dapat mengelak dengan amat mudahnya dan balas menyerang. Pasar taruhan di luar ruangan itu kini sepi. Para anak buah Sabuk Tembogo tidak ada yang berani bertaruh karena mereka semua jerih melihat gerak cepat yang luar biasa dari Gajah Ireng dan memang rasa khawatir mereka beralasan.

Sebentar saja, seperti halnya Sentanu tadi, Sentono juga hanya mampu melindungi dirinya, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan bahkan agaknya Gajah Ireng ingin cepat mengakhiri pertandingan itu. Lewat lima belas jurus, tiba-tiba ujung sabuk tembaga itu terlihat ujung kain ikat kepala dan selagi Sentono berusaha manarik kembali sabuk tembaganya, tiba-tiba kaki Gajah Ireng meluncur dan menendang.

"Dess....!" tubuh Sentono terpelanting keras dan biarpun dia juga tidak terluka parah, namun karena tubuhnya sudah terbanting, berarti dia sudah kalah. Dia bangkit dengan muka merah dan tanpa berkata apa-apa lagi dia mengundurkan diri.

"Biarlah aku yang mewakili Sabuk Tembogo!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Wulandari telah meloncat ke tengah ruangan menghadapi Gajah Ireng.

Ki Bragolo hendak mencegah namun tidak keburu sehingga terpaksa diam saja, hanya memandang dengan hati gelisah. Dia tahu bahwa puterinya itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari Sentono, dan terutama sekali memiliki garakan yang jauh lebih lincah. Akan tetapi dia masih meragukan apakah puterinya akan mampu menandingi Gajah Ireng yang tangguh itu.

Akan tetapi, tiba-tiba Gajah Putih melangkah maju. "Adi Ireng, engkau sudah cukup berjasa mengalahkan dua orang jagoan lawan. Mengasolah dan biarkan aku yang menghadapi anak perempuan yang manis itu."

Gajah Ireng tersenyum lalu mengundurkan diri dan gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang lebar, berhadapan dengan Wulandari yang nampak kecil. Wajah gadis ini sudah menjadi merah mendengar ucapan Gajah Putih yang mengatakan ia seorang anak perempuan yang manis dengan demikian mengejek.

"Kalau tidak salah, andika adalah puteri Ki Bragolo. Sungguh bahagia sekali Ki Bragolo memiliki seorang anak yang begitu cantik manis dan gagah perkasa." kata Gajah Putih dengan wajah penuh senyum menyeringai. "Akan tetapi, anak manis. Lebih baik engkau mundur saja. Sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu lecet atau tubuhmu yang kecil ramping dan padat ini terbanting babak bundas. Engkau sama sekali bukan lawanku!"

"Manusia sombong! Kamu yang tadi mengusulkan pertandingan adu ilmu secara persahabatan, antara tuan rumah dan tamunya yang dihormati. Akan tetapi kata-katamu kotor dan beracun melebihi senjata seorang musuh. Majulah dan jangan kira aku takut menghadapi kebesaran tubuhmu dan kelebaran mulutmu!"

Ucapan Wulandari ini sungguh pedas dan tajam menusuk, akan tetapi Gajah Putih tetap tersenyum menyeringai. Dia memang seorang mata keranjang dan kini menghadapi seorang dara remaja yang demikian manisnya, hatinya gembira sekali. Apalagi dia memperoleh kesempatan untuk mengadu ilmu dengan gadis ini, hatinya senang bukan main.

Inilah kesempatan baik baginya untuk bersentuhan kulit, dan mempermainkan gadis ini sesuka hatinya tanpa ada yang dapat melarang karena bukankah mereka itu akan bertanding mengadu ilmu? Pula, andaikata ada yang melarang, diapun tidak takut.

"Ha-ha-ha, sungguh andika seperti seekor kuda betina liar yang amat cantik. Semakin liar semakin menarik untuk ditundukkan! Kalau tidak salah, nama andika tadi adalah Wulandari. Nama yang amat manis, semanis orangnya."

Wulandari, sebagai puteri Ki Bragolo, aku yakin bahwa semua ilmu dari Sabuk Tembogo tentu telah kau warisi sehingga dengan melihat ilmu silatmu, sama saja dengan menjajagi tingginya tingkat kepandaian ketua Sabuk Tembogo. Nah, perlihatkan kepandaianmu, manis!"

Ki Bragolo merasa betapa dadanya panas dan hampir saja dia melompat ke depan untuk memaki dan menyerang raksasa bermuka putih itu. Akan tetapi, keadaan tidak mengijinkan karena mereka itu tidak saling bermusuhan, melainkan sebagai tamu yang hendak menguji ilmu kepandaian pihak tuan rumah. Maka diapun menekan saja kemarahannya, menahan sabar dan memandang ke arah puterinya dengan hati penuh kekhawatiran.

Joko Handoko mengerutkan alisnya.Sejak tadu diapun diam saja dan menganggap bahwa adu ilmu ini hanya merupakan pelampiasan kecewa dari pihak pemimpin pasukan Tumapel. Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan adu ilmu itu. Betapapun juga, melihat sikap Gajah Ireng dan kini sikap Gajah Putih yang terlalu menghina dan teramat sombong, diam-diam dia mendongkol bukan main.

Diapun mengerti bahwa melihat tingkat kepandaiannya, Wulandari tidak akan mampu mengalakan Gajah Ireng, apalagi Gajah Putih yang sabagai kakak Gajah Ireng tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi lagi. Akan tetapi, dia sendiri hanya seorang tamu, dan dia telah menyembunyikan kepandaiannya sehingga pihak tuan rumah sendiri tidak tahu dan menganggap dia seorang sahabat baik yang tidak memiliki kepandaian silat.

Bagaimana dia dapat mencampuri kalau pihak tuan rumah maju sendiri menghadapi tantangan para tamu? Kalau dia campur tangan, hal itu tentu akan menimbulkan perasaan malu terhadap pihak tuan rumah. Maka biarpun diam-diam dia merasa khawatir sekali, dia tetap diam saja, hanya siap siaga menjaga segala kemungkinan dan diam-diam diapun bersiap-siap untuk melindungi Wulandari kalau-kalau gadis itu terancam bahaya.

Kini Gajah Putih sudah mengeluarkan sepasang sarung tangan hitam dan mengenakan sepasang sarung tangan itu untuk melindungi kedua tangannya. Itulah senjatanya, sepasang sarung tangan yang amat kuat, tahan menghadapi bacokan senjata tajam.

Banda itu terbuat dari semacam sutera yang amat ulet dan kuat merupakan benda kuno yang datang dari Negeri Cina dan di tangan Gajah Putih yang bertenaga raksasa itu, sarung tangan ini menjadi senjata yang amat ampuh.

Sementara itu, Wulandari sudah tidak sabar lagi. Begitu lawannya sudah selesai mengenakan sarung tangan, ia mengelebatkan sabuk tembaganya sambil membentak nyaring, sebagai tanda bahwa ia mulai dengan serangannya. Akan tetapi yang diserang tidak menggerakkan tubuhnya, hanya kedua tangannya saja bergerak.

"Tak-tring-trang....!"

Bekali-kali sabuk tembaga itu bertemu dengan kedua tangan yang berlindung sarung tangan dan selalu sabuk itu terpental. Makin keras Wulandari mengayun senjatanya, semakin kuat pula senjatanya terpental sehingga ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan perih.

Ia merasa terkejut bukan main dan ia pun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengitari tubuh lawan dan mengayun sabuk tembaganya untuk menyerang bagian-bagian yang berbahaya seperti tengkuk, ubun-ubun kepala, lambung, pusar, sekitar muka, pergelangan tangan, siku, lutut dan sebagainya. Gadis ini memang memiliki gerakan lincah, walaupun tidak secepat gerakan Gajah Ireng, namun cukup cepat sehingga tubuhnya nampak berkelebatan.

Sebaliknya, Gajah Putih hanya mengeluarkan suara ketawa-ketawa dan tubuhnya tetap tegak hanya kakinya yang bergeser maju mundur, sehingga tubuhnya berbalik ke sana sini, menghadapi lawan ke mana saja lawan meloncat dan menangkis setiap lecutan sabuk tembaga dengan kedua tangannya yang dilindungi sarung tangan. Terdengar lagi suara nyaring berdentingan ketika sabuk itu bertemu sarung tangan.

"Ha-ha-ha, engkau hebat juga, anak manis!" Gajah Putih mengejek dan tiba-tiba saja tangan kanannya menangkap ujung sabuk tembaga, tangan kiri mencengkeram ke arah siku kanan Wulandari....

Jilid selanjutnya,
KERIS PUSAKA NOGO PASUNG JILID 08
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.