Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 05

Sonny Ogawa

Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - Orang ini berpakaian serba hitam, bertubuh pendek akan tetapi besar dan perutnya gendut kedua lengannya yang telanjang memperlihatkan otot-otot di balik kulit yang penuh bulu. Sepasang matanya melotot lebar, dan ketika dia tebelalak, nampaklah giginya yang hitam semua karena dia biasa mengunyah tembakau.

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

“Hua-ha-ha-ha! Anak bagus, engkau yang masih setengah kanak-kanak dan tidak berpengalaman, sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri. Engkau ingin tahu mengapa kami menghentikanmu? Ha-ha-ha! Kami adalah begal!”

“Begal? Apakah itu, Paman?” tanya Joko Handoko dengan sikap masih pura-pura karena dia sedang mencari akal bagaimana dapat lolos dari kepungan orang-orang ini tanpa harus berkelahi dengan mereka.

Mendengar pertanyaan ini, si jenggot pendek kumis tebal itu tertawa semakin keras. Demikian geli dia sampai dia tidak mampu bicara, hanya tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda di atas kudanya itu.

“Ha-ha-ha-ha.....! Kau tidak tahu artinya begal? Perampok! Dan aku adalah kepalnya, namaku Kolowiryo. Kami adalah perampok, begal atau kecu. Serahkan kudamu yang bagus ini, dan buntelan di pinggangmu itu, juga pakaian yang ada di tubuhmu. Ha-ha-ha, dan engkau sendiri boleh menjadi kekasihku, menghiburku di kala kesepian, ha-ha-ha!” Kepala perampok itu tertawa dan tiga belas anak buhnya ikut pula tertawa geli. Apalagi melihat tarikan muka pemuda itu begitu keheranan sehingga nampak bodoh, membuat mereka menjadi semakin geli.

Memang Joko Handoko merasa terheran-heran. Mendengar dia berhadapan dengan kawanan perampok, tentu saja tidak mengherankan hatinya. Sudah banyak dia mendengar penuturan ibunya dan kakeknya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan terdapat pula perampok-perampok yang mengganggu orang-orang di sepanjang jalan yang sunyi.

Akan tetapi, yang membuat dia melongo keheranan sehingga nampak bodoh adalah ketika kepala perampok itu menyatakan keinginannya untuk mengambil dia sebagai kekasih ini merupakan hal baru baginya. Tadinya dia mengira bahwa kepala perampok itu sengaja mempermainkan dan menghinanya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata yang melotot lebar itu ditujukan kepadanya dengan penuh gairah.

Joko Handoko merasa bulu tengkuknya meremeng saking ngerinya. Pemuda itu belum berpengalaman, dan baru saja keluar dari tempat di mana sejak kecil dia mempelajari ilmu. Ibu dan kakeknya tentu saja belum pernah bercerita kepadanya tentang pria-pria yang suka berksih-kasihan dan bermain cinta dengan sesama pria.

“Jangan main-main, Paman. Aku adalah seorang laki-laki sejati,” katanya, heran dan juga memancing karena dia ingin sekali mendengar apakah benar-benar orang itu tidak main-main.

“Ha-ha-ha, siapa main-main, bocah bagus? Engkau begini tampan, kulitmu halus seperti kulit perempuan, tentu nikmat sekali tidur bersama engkau dalam pelukan. Ha-ha, engkau mau, bukan? Jangan khawatir, kalau engkau menjadi kekasihku, tak seorang pun di dunia ini akan berani mengganggumu. Bahkan, aku akan melarang anak buahku untuk mengambil barang-barangmu atau mengganggumu. Mau, bukan? Turunlah dan kesinilah, sayang.”

Joko Handoko bergidik, terang-terangan dia menggerak-gerakkan pundaknya dengan seluruh bulu pada tubuhnya meremang. “Tidak... aku tidak mau...!” katanya tegas.

Wajah si kumis tebal menjadi keruh dan matanya melotot semakin lebar. “Kalau begitu, engkau memilih mampus?”

“Kakang Kolo, seret saja dia dari atas kuda itu!” teriak seorang di antara mereka dan kepungan terhadap Joko Handoko menjadi semakin rapat.

Belasan orang itu kini menghampiri kuda yang ditunggangi Joko Handoko dengan wajah bengis. Agaknya kuda itu pun dapat mencium tanda bahaya dan dia mengangkat kaki depannya ke atas, mengeluarkan suara ringkik ketakuan dan kemarahan.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus. “Perampok-perampok jahat jangan ganggu orang!”

Semua perampok terkejut dan cepat menoleh, Joko Handoko memandang terkejut dan heranlah dia melihat bahwa yang membentak itu seorang gadis yang entah dari mana tiba-tiba sudah muncul di tempat itu. Kepala perampok bernama Kolowiryo segera membalik dan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian lalu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, wah, mimpi apa kalian semalam, kawan-kawan? Baru saja kita mendapatkan seekor kambing gemuk, sekarang muncul seekor kelinci gemuk. Gadis ini biar pun masih amat muda, nampak bersemangat dan kuat, tentu kalian semua bisa mendapatkan bagian, sedangkan pemuda itu untukku seorang, ha-ha-ha!”

Diam-diam Joko Handoko memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang usianya kira-kira lima belas tahun, bertubuh singset, tegap berisi, kulitnya hitam lembut dan halus, wajahnya manis bukan main, dengan mulut yang panas dan mata yang memancarkan sinar tajam penuh keberanian. Pakaiannya mewah dan pinggangnya yang kecil ramping itu diikat dengan sabuk tembaga yang berukir indah.

Diam-diam Joko Handoko mengeluh. Tadi dia masih tenang saja karena yakin akan dapat melindungi dirinya terhadap para perampok ini. Akan tetapi sekarang, muncul seorang gadis yang tentu saja harus dilindunginya. Bagaimana pun juga, dia merasa kagum melihat keberanian anak perawan itu. Gadis-gadis lain tentu sudah menangis ketakutan melihat gerombolan perampok yang bengis dan ganas itu.

“Tikus-tikus pecomberan! Maut sudah menghadang di depan mata dan kalian masih berani membuka mulut besar!” perawan tanggung itu membentak dengan suara penuh tantangan.

Tentu saja belasan orang itu memandang rendah kepadanya. “Kawan-kawan, siapa yang dapat lebih dulu menangkapnya, dialah yang memperoleh bagian pertama!” kata Kolowiryo dan seruan ini disambut suara ketawa dan sorakan, kemudian bagaikan segerombolan anjing serigala, tiga belas orang itu mengepung dan menubruk untuk memperebutkan gadis hitam manis itu.

Joko Handoko sudah siap untuk menolong gadis itu, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi dia menahan diri ketika melihat sikap gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan dia melihat betapa lincah kedua kaki gadis itu menyambut serangan lawan.

Kini dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu memiliki kepandaian maka sikapnya seberani itu dan hal ini menimbulkan keinginan tahunya untuk melihat begaimana gadis itu akan mampu melawan pengeroyokan tiga belas orang yang ganas itu.

Dan dia pun tertegun penuh kagum ketika melihat betapa tubuh yang kecil langsing itu bergerak dengan amat cepatnya, mendahului sebelum para pengeroyok itu datang dekat, melocat ke depan dan empat kaki tangannya bergerak cepat sekali membagi tamparan dan tendangan yang ternyata merupakan serangan-serangan seorang ahli karena tangan dan kaki itu tiba di bagian-bagian tubuh yang lemah.

“Plak! Buk! Plak! Dess....!” Dan empat orang pengeroyok terpelanting sambil mengaduh karena tamparan-tamparan mengenai leher dan pelipis, tendangan-tendangan memasuki lambung dan dada!

Melihat ini, sembilan orang lainnya terkejut, akan tetapi mereka menjadi marah dan kini mereka menerjang dengan maksud bukan hanya untuk menangkap, melainkan menyerang! Betapapun lincahnya, menghadapi sengaran penuh kemarahan dari sembilan orang yang rata-rata memiliki tenaga kerbau, gadis itu merasa kewalahan juga. Ia mengelak sambil berloncatan ke belakang.

Yang membuat ia semakin kewalahan adalah bau keringat dan bau napas para pengeroyoknya. Mereka itu adalah orang-orang kasar yang kotor dan tidak pernah mandi sehingga tubuh mereka mengeluarkan bau yang ledis dan apak, sedangkan mulut yang tak pernah dibersihkan itu bau tuak (arak) sehingga memualkan perut gadis yang dikeroyok.

Tiba-tiba saja nampak sinar berkelebat dan dua orang roboh mandi darah. Semua orang terkejut dan memandang dengan mata terbelakak melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dengan dada dan perut robek! Kiranya gadis hitam manis itu telah melolos sabuk tembaga yang tadi melilit pinggangnya dan sekali sabuk itu bergerak, dua orang pengeroyok telah roboh!

Melihat ini, Kolowiryo terkejut sekali dan juga marah. Tadi, melihat gadis itu merobohkan empat orang anak buahnya dengan tamparan dan tendangan, dia masih merasa yakin bahwa anak buahnya akan mampu membekuk gadis liar itu. Akan tetapi melihat betapa dua orang anak buah roboh lagi dengan luka parah, marahlah dia.

“Setan betina yang bosan hidup, berani kau melukai kawan-kawanku!” bentaknya dan Kolowiryo yang gendut pendek ini sudah mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Dengan gemas dia mengayunkan goloknya mambacok ke arah kepala gadis. Sampai terdengar suara berdesing saking kuatnya golok itu dibacokkan.

Namun dengan gesit gadis itu miringkan tubuh sehingga golok menyambar lewat, dan kaki gadis itu sudah menyambar dari samping dengan sebuah tendangan melintang, mengarah lambung lawan.

“Hehh!” Kolowiryo menggerakkan siku kiri ke bawah untuk menangkis tendangan. Demikian kuatnya gerakan Kolowiryo ini sehingga ketika sikunya bertemu kaki, tubuh gadis itu terdorong dan agak terhuyung. Melihat kemenangan tenaga ini, Kolowiryo terkekeh dan timbul kesombongannya. Dia pun menubruk sambil memutar goloknya, merasa yakin bahwa kini dia akan berhasil menyembeleh gadis yang membuat perutnya merasa panas itu.

Memang sejak muda, Kolowiryo tidak suka kepala wanita, lebih suka kepada pria-pria ganteng untuk menjadi kekasihnya. Karena itu, kini dia sama sekali tidak merasa sayang untuk membantai dan membunuh gadis hitam manis yang akan menggerakkan gairah hati setiap pria biasa itu.

Kembali Joko Handoko yang sejak tadi hanya menjadi penonton di atas kudanya, menjadi tegang dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap siaga untuk menggerakkan tubuhnya menolong gadis itu kalau-kalau terancam bahaya. Namun, sikap gadis itu yang membuat dia menahan diri. Diserang secara hebat, si gadis manis nampak tersenyum dan tetap tenang.

Bahkan kini tubuhnya meluncur ke depan, tubuhnya diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar keemasan yang menyilaukan mata. Kolowiryo terkejut karena bagi dia tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap terbungkus atau tertutup gulungan sinar keemasan. Hal ini membuat dia ragu-ragu dan goloknya menyambar ke depan dengan sinar.

“Trangg.... siingg.....crottt.....!” Kolowiryo mengeluarkan pekikan kesakitan dan dia melotot ke belakang sambil memandang terbelalak ke arah pangkal lengan kirinya yang terluka. Darah mengalir keluar dari baju yang robek di bagian itu.

Sementara itu, anak buahnya sudah menyerang dari belakang. Tujuh orang itu sudah menyerang dengan senjata mereka sehingga keris, golok dan tombak meluncur dan menghujani tubuh gadis hitam manis itu.

“Sing-sing-singgg.....!” Sinar keemasan itu bergulung-gulung dan kadang-kadang, ada sinar mencuat dari dalamnya, disusul robohnya seorang pengeroyok, lalu seorang dan seorang lagi! Tiga orang berturut-turut roboh dengan mandi darah!

“Wah......! Sabuk Tembaga....!” Terdengar teriak seorang diantara sisa pengeroyok, agaknya baru teringat melihat kehebatan sabuk dari tembaga yang dipegang gadis itu.

Mendengar itu, Kolowiryo terkejut bukan main dan mukanya berubah pucat. “Kau... kau... masih terhitung apakah dengan Ki Bragolo ketua Sabuk Tembaga?” tanyanya gagap.

Gadis itu tersenyum berdiri tegak dengan tangan kanan memegang sabuk tembaga yang tipis dan diukir indah itu, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya manis, lucu akan tetapi juga gagah perkasa. “Dia adalah ayahku,” jawabnya tenang saja.

Sepasang mata yang lebar dari Kolowiryo terbelalak dan dia mengeluh, “Celaka...” Kemudian tanpa banyak cakap lagi dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ sambil membantu teman-teman yang terluka.

Gadis itu hanya memandang dengan senyum mengejek dan tidak menghalangi mereka pergi. Tempat itu menjadi sunyi dan tenang kembali setelah para perampok itu melarikan diri. Gadis itu masih tetap berdiri tegak dan Joko Handoko juga masih duduk di atas kudanya.

Pemuda itu tertegun ketika mendengar pengakuan gadis hitam manis itu. Puteri Ki Bragolo! Teringatlah dia akan penuturan mendiang eyangnya bahwa ayah kandungnya yang bernama Ginantoko telah tewas di ujung Nogopasung yang ditusukan oleh Ki Bragolo! Dan gadis itu mengaku puterinya, puteri dari orang yang membunuh ayah kandungnya.

Sejak mendengar nasihat dan penuturan Panembahan Pronosidhi, hatinya sama sekali tidak disentuh oleh dendam terhadap Ki Bragolo. Dia merasa yakin bahwa kematian ayahnya itu adalah akibat ulah ayahnya sendiri. Bukanlah ayahnya telah merusak pagar ayu, menggoda isteri Ki Bragolo bernama Galuhsari yang juga kemudian tewas di ujung keris pusaka Nogopasung?

Biarpun demikian, secara tiba-tiba dia berhadapan dengan puteri Ki Bragolo, sungguh merupakan hal mengejutkan dan membuatnya tertegun. Kalau begitu, gadis ini adalah puteri Ki Bragolo dan Galuhsari! Ibu gadis ini adalah kekasih ayah kandungnya.

“Heii, apakah engkau gagu?” tiba-tiba terdengar suara gadis itu memecah kesunyian dan sekali meloncat, tubuhnya berada di depan kuda yang terlonjat kaget.

“Siapa gagu? Aku tidak gagu,” jawab Joko Handoko dan suaranya tidak ramah karena masih teringat bahwa gadis ini adalah puteri pembunuh ayahnya, dan sikap gadis ini yang galak, yang mengatakan dia gagu membuat hatinya jengkel juga.

“Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi kau terdiam saja di atas kuda? Kenapa sekarang tidak cepat turun dan menghaturkan terima kasih kepadaku?” Gadis itu menyerang dengan kata-kata, alisnya berkerut tanda bahwa hatinya merasa tidak puas dengan sikap pemuda yang sudah dibebaskannya dari melapetaka itu.

“Kenapa aku harus berterima kasih kepadamu?” Joko Handoko bertanya.

“Wah! Bukankah baru saja aku telah menolongmu?”

“Akan tetapi aku tidak pernah minta tolong kepadamu.”

“Ih kiranya engkau seorang yang tak tahu terima kasih! Kalau tadi aku tidak turun tangan, bukankah engkau kini sudah menjadi mayat?”

“Belum tentu!”

“Hemm, engkau angkuh dan sombong, penuh keberanian. Apakah ada yang kau andalkan?”

Joko Handoko menggeleng kepala. “Aku mungkin tidak sepandai dan segagah engkau, akan tetapi belum tentu kalau aku akan mati sekiranya engkau tidak muncul. Mati hidup di tangan para Dewa, bukan di tangan perampok-perampok itu, bukan?”

“Huh, engkau memang pandai berdebat. Aku sudah bersusah payah menolongmu, menyelamatkanmu dari bencana, dari ancaman orang-orang jahat. Dan dalam menolongmu itu aku pun terancam bahaya. Dan sekarang, engkau bersikap angkuh, berterimakasih pun tidak. Kalau tahu begini....”

“Engkau tentu takkan menolongku dan membiarkan aku terbunuh. Bukankah begitu?”

“Mungkin saja...”

“Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apakah ketika engkau turun tangan menyerang mereka itu, engkau berpamrih untuk mendapatkan pernyataan terima kasihku?” Joko Handoko memandang tajam dan sejenak gadis itu termangu-mangu. Kemudian ia menggeleng kepala.

“Tidak, aku tidak mengharapkan apa-apa, hanya merasa bahwa sudah menjadi kewajibanku untuk membela yang lemah dan penentang yang jahat.”

“Nah, kalau begitu, kenapa engkau menuntut terima kasih dariku? Bukankah kalau aku berterima kasih, maka pertolonganmu itu menjadi ternoda oleh pamrih?”

Gadis itu nampak bingung, kemudian manarik napas panjang. “Sudahlah, engkau memang aneh! Tidak berkepandaian, lemah, melakukan perjalanan seorang diri menunggang kuda begini baik, membawa buntalan besar. Tentu saja menarik perhatian kaum perampok! Kemudian, sudah dikepung perampok-perampok ganas engkau masih enak-enak saja duduk di atas kuda, sedikitpun tidak merasa takut. Dan setelah ditolong orang, engkau pun tidak peduli. Orang macam apa sih engkau ini? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?”

Merasa tidak enak bicara dengan seorang gadis muda duduk di atas kudanya, Joko Handoko lalu turun dari atas punggung kuda. Gadis itu memandang, dan sinar kagum memancar dari pandang matanya melihat pemuda tampan yang memiliki bentuk tubuh tegap itu.

“Namaku Joko Handoko dan tempat tinggalku.... ah, aku seperti sehelai daun yang tertiup angin, terbang ke mana saja angin meniupku, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.”

“Hemm, semakin aneh penuh rahasia saja engkau. Akan tetapi namamu indah sekali. Joko Handoko! Biarpun engkau tidak memiliki tempat tinggal, setidak-tidaknya engkau mempunyai tujuan perjalanan. Hendak kemanakah engkau?”

“Aku hendak pergi ke Tumapel,” jawab Joko Handoko sejujurnya dan dia pun semakin kagum kepada gadis ini. Setelah dia turun dari kuda dan berdiri dekat gadis itu, makin jelas nampak betapa manisnya gadis itu, betapa padat dan ramping tubuhnya dan dari tempat dia berdiri dia dapat mencium bau sedap keluar dari tubuh di depannya itu.

Seorang gadis remaja yang luar biasa, pikirnya. Belum pernah dia bertemua dengan seorang gadis seperti ini! Dan memang pemuda itu masih amat hijau dalam pergaulannya dengan wanita. Hanya wanita-wanita dusun saja yang pernah dijumpainya. Bahkan baru sekali ini dia berhadapan langsung dengan seorang gadis dan bercakap-cakap demikian bebasnya!

Mendengar bahwa pemuda itu hendak pergi ke Tumapel, gadis itu nampak girang. “Bagus! Kalau begitu kita dapat jalan bersama karena aku pun akan pergi ke sana. Dengan demikian, aku tidak akan mengkhawatirkan lagi engkau akan diganggu orang di tengah perjalanan. Perjalanan ke Tumapel masih melewati beberapa bukti yang cukup berbahaya.”

Diam-diam Joko Handoko harus memuji bahwa gadis ini memiliki pribadi yang gagah dan baik, suka menolong orang di samping kegagahan dan kecantikannya. “Nanti dulu! Engkau sudah mengenal namaku dan tujuan perjalananku, sedangkan aku hanya mengetahui bahwa engkau adalah puteri Ki Bragolo dari perkumpulan Sabuk Tembaga. Siapakah namamu dan ceritakan tentang dirimu. Dengan demikian baru kita saling mengenal dan patut melakukan perjalanan bersama.”

Gadis itu tersenyum. Sejak tadi dia terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Demikian anggun, akan tetapi lemah dan di dalam kelemahannya, pemuda ini memiliki sikap yang tegas dan keberanian yang luar biasa. “Namaku Wulandari.”

“Wah, indah sekali namamu itu. Wulandari....! Bukankah nama itu artinya Bulan Purnama, bulan yang dikelilingi garis cerah di sekelilingnya? Akan tetapi engkau mengingatkan aku kepada bunga, bukan kepada bulan.”

Wajah Wulandari berseri. Gadis mana yang takkan berseri mukanya mendengar dirinya dipuji orang? Disamakan dengan bunga merupakan pujian yang menyenangkan karena ia pun menyukai bunga!

“Seperti bunga apa menurut pendapatmu?” tanyanya, mendesak dan ingin tahu. Ia suka bunga cempaka yang menjadi lambang kebersihan, bunga kamboja lambang kesucian, bunga melati lambang keharuman dan keluwesan wanita dan mengharapkan pemuda yang menarik hatinya ini akan menyebut satu di antara bunga-bunga itu.

“Engkau mengingatkan aku akan bunga mawar berduri.”

Wulandari mengerutkan alisnya. “Bunga mawar masih bolehlah, akan tetapi mengapa berduri? Tidak enak sekali!”

“Engkau manis seperti bungan mawar, akan tetapi engkau gagah perkasa dan memiliki kepandaian sehingga tidak sembarangan orang boleh menyentuhmu. Siapa berani kurang ajar berusaha memetik dan mengganggu bunga mawar, pasti akan tertusuk duri. Engkau manis dan gagah seperti bunga mawar berduri!”

Wulandari tidak marah. Ia tersenyum dan mukanya yang manis itu menjadi merah agak gelap, tanda bahwa darah naik ke mukanya karena merasa malu-malu senang, “Ih, engkau tukang merayu ya? Engkau pun seorang pemuda aneh, Joko Handoko. Engkau seorang pemuda yang tidak memiliki kepandaian beladiri, aka tetapi engkau penuh keberanian dan ketabahan.”

“Kalau aku tukang merayu, engkau ahli memuji, Wulan.” Joko Handoko tersenyum. Keduanya tersenyum dan merasa akrab.

“Aku suka padamu, Joko,” kata Wulandari dan ucapannya itu demikian terbuka dan jujur, sama sekali, tidak mengandung maksud apa-apa kecuali suatu pernyataan yang apa adanya.

Joko Handoko senang sekali mendengar dan melihat ini. “Dan aku pun suka kepadamu, Wulan.”

“Mari kita lanjutkan perjalanan. Hutan di depan ini cukup lebat dan gelap. Apakah engkau sudah mengenal jalannya?”

Joko Handoko menggeleng kepalanya. “Selama hidup baru pertama kali ini aku ikut lewat di sini.”

“Wah, sungguh engkau sembrono sekali. Aku sendiri yang sudah sering lewat di sini, dan yang memiliki kepandaian cukup untuk mengelola dia, masih harus berhati-hati sekali melewatinya. Hutan besar ini terkenal keangkerannya, bahkan ada yang menggambarkan bahwa siapa berani memasuki berarti menantang maut. Dan engkau enak-enak saja hendak pergi memasukinya dengan segala kelemahanmu. Mari kita berangkat dan jangan khawatir, aku akan melindungimu.”

“Baik, marilah.” Dan Joko Handoko menuntun kudanya. “Eh? Kenapa dituntun? Naiklah ke punggung kudamu.”

“Tidak, aku jalan kaki saja. Kalau engkau mau, engkau boleh menungganginya.”

“Itu kan kudamu.”

“Tapi aku laki-laki. Malu kalau harus menunggang kuda sedangkan engkau perempuan berjalan kaki. Biar kau yang menunggang dan aku yang jalan kaki.”

“Biarpun perempuan, aku lebih kuat darimu,” bantah Wulandari.

“Aku baru mau menunggang kuda kalau bersamamu. Kita menunggang bersama, atau jalan kaki bersama!” Joko Handoko berkeras.

“Engkau ini memang aneh! Kalau tidak ditunggangi sayang. Kuda ini kuat, tidak akan keberatan membawa beban kita berdua. Akan tetapi kalau dilihat orang, bukankah kita akan ditetawakan? Kita bukan apa-apa, tapi menunggang kuda dengan hati bersih, bukan?”

“Baiklah kalau begitu. Nah, kau naiklah, aku akan membonceng di belakangmu,” kata gadis itu.

Joko Handoko lalu menunggang kudanya tiba-tiba, dengan gerakan ringan dan cekatan sekali, gadis itu sudah meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Joko Handoko. Pemuda itu merasa aneh, akan tetapi untuk mengusir perasaan ini, dia lalu membedal kudanya yang lari congklang ke depan.

“Kau ikuti saja jalan setapak ini,” kata Wulandari. “Aku sudah mengenal jalan, jangan khawatir.”

Joko Handoko hanya mengangguk dan mereka pun memasuki hutan yang lebat itu. Mula-mula Joko Handoko merasa canggung sekali. Bagaimanapun juga, dia dapat merasakan ketika kudanya lari congklang, kedua paha gadis itu bersentuhan dengan pinggulnya, dan dua tonjolan payudara kadang-kadang menyentuh punggungnya.

Jantungnya berdebar tidak karuan dan dia bingung sendiri, merasa risi dan canggung, akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan mematikan rasa. Dia sama sekali tidak tahu betapa kadang-kadang gadis di belakangnya itu memejamkan matanya, tidak tahu betapa semenjak saat mereka menunggang kuda berbocengan itu, tertanam perasan cinta kasih yang mendalam di hati gadis itu terhadap dirinya!

* * *

Kita tinggalkan dulu Joko Handoko dan Wulandari yang berboncengan naik kuda menuju ke Tumapel dan mari kita mengikuti keadaan Ken Arok yang telah lama kita tinggalkan.

Seperti telah kita ketahui, Ken Arok bertemu dengan Panji Tito putera Ki Ageng Sahoyo yang menjadi pinisepuh di Sagenggeng. Pendeta di Sagenggeng ini masih terhitung adik seperguruan dari Panembahan Pronosidhi, di Gunung Anjasmoro, maka tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak sehebat Panembahan Pronosidhi.

Namun dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia mengungguli kakak seperguruannya itu. Dan berbeda dengan Panembahan Pronosidhi yang hidup sebagai seorang pertapa yang saleh, Begawan Jumantoko tidak memantang kesenangan duniawi dan behkan terkenal sebagai seorang yang tergila-gila kepada wanita cantik!

Karena kepandaiannya, maka banyaklah wanita muda yang menjadi muridnya, terjatuh ke dalam pelukannya dan banyak sekali wanita muda tinggal di padepokannya, ada yang belajar silat, belajar kesusatraan atau kesenian, akan tetapi juga diam-diam mereka menjadi selir-selir yang tidak sah dari pendeta itu!

Ken Arok dan Panji Tito dengan tekun mempelajari ulah keperajuritan dari Begawan Jumantoko yang merasa girang memperolah murid-murid yang pandai itu. Dan di tempat itu pula Ken Arok memperoleh pelajaran dan pengalaman baru yang amat mengasikkan hatinya, yaitu bergaul dan berdekatan dengan wanita-wanita muda yang cantik dan genit, selir-selir yang juga menjadi murid-murid Begawan Jumantoko.

Berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita-wanita genit itu, Ken Arok seperti seekor harimau kelaparan bertemu dengan sekumpulan domba jinak. Dalam waktu singkat saja dia sudah bermesraan dengan mereka, dengan lahap menerima pelajaran tentang permainan cinta yang mengasikkan dari para selir itu.

Begawan Jumantoko bukan seorang bodoh dan dia sudah dapat menduga akan adanya hubungan antara murid yang tampan dan gagah ini dengan beberapa orang selirnya. Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu saja. Dia pun merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua sehingga tidak mengherankan apabila murid-muridnya itu tertarik kepada Ken Arok.

Akan tetapi, setelah semakin lama para selirnya bersikap semakin dingin terhadap dirinya, dia menjadi marah. Apa lagi ketika selirnya yang paling disayangnya, Lasmini, juga mulai mengadakan hubungan dengan Ken Arok. Sang Begawan merasa kehormatannya dilanggar. Dia sudah menyindirkan kepada Ken Arok dan Lasmini bahwa wanita yang satu ini tidak boleh diganggu.

Dalam kemarahannya, Sang Begawan Jumantoko ingin membunuh Ken Arok dengan diam-diam. Pada suatu malam dia bahkan menangkap basah Ken Arok yang sedang berkasih-kasihan dengan Lasmini di taman bunga. Dia tidak mengganggu mereka dan baru setelah kedua orang yang berjina itu berpisah, diam-diam dia mengikuti Ken Arok ke kamar orang muda itu.

Dia menanti sampai Ken Arok tidur pulas. Dibukanya pintu kamar dengan kepandaiannya dan dengan keris di tangan, dia memasuki kamar, bermaksud membunuh Ken Arok selagi tidur. Tentu saja dia berani menyerang murid ini dalam keadaan sadar, hanya dia tidak sampai hati berbuat demikian. Pula, kalau Ken Arok terbunuh selagi tidur, tidak akan ada yang tahu siapa pembunuhnya, mungkin seorang di antara selir-selir atau murid-murid perempuan yang saling cemburu.

Tiba-tiba kakek itu menghentikan langkahnya dan memandang dengan mata terbelalak ke arah Ken Arok yang tidur mendengkur di atas balai-balai, pulas karena kelelahan. Senyum kepuasan membayang di wajahnya. Yang membuat Begawan Jumantoko tenganga adalah karena dia melihat sinar memancar dari kepala pemuda itu!

“Jagat Dewa Bathoro.....!” Dia berbisik. Dia sudah mendengar dari desas-desus yang ditiup oleh Ken Arok bahwa pemuda itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Kini, melihat cahaya di kepala Ken Arok, timbul rasa takutnya dan dia pun menyembah, lalu mundur dan menutupkan kembali pintu kamar itu, tidak berani mengganggu pemuda yang kini dia yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma itu!

Peristiwa ini mengubah sikap Begawan Jumantoko. Beberapa hari kemudian, setelah membari wejangan-wejangan tentang ilmu bela diri yang rumit-rumit kepada Ken Arok dan Panji Tito, dia memanggil Ken Arok untuk diajak bicara empat mata. “Ken Arok, aku ingin bertanya. Sebenarnya, siapakah nama orang tuamu?”

Ken Arok memandang heran. “Bapa Begawan, bukankah pernah hal itu Paduka tanyakan? Dan saya pun sudah menerangkan bahwa ayah ibu saya adalah Ki Lembong dan Nyi Lembong yang tinggal di dusun Pangkur, dan sekarang menjadi budak di rumah kepala desa Lebak. Kenapa paduka menanyakan lagi?”

Begawan Jumantoko menggelang kepala. “Ceritamu itu tidak benar, muridku. Cobalah engkau tanyakan kepada Ki Lembong dan Nyi Lembong, siapa sebenarnya ayah ibumu. Sekarang engkau telah dewasa, sudah sepatutnya engkau mengenal siapa sebenarnya orang tuamu.”

Ucapan pendeta itu amat mengganggu hati dan pada saat hari itu, dia pamit dari gurunya dan Panji Tito untuk pulang ke Dusun Pangkur mengunjugi Ki Lembong dan Nyi Lembung. Ternyata kedua orang telah kembali ke rumah mereka setelah beberapa tahun lamanya bekerja kepada kepala Desa Lebak untuk menebus hutang mereka, yaitu hewan yang dihabiskan Ken Arok di meja judi.

Tentu saja hati kedua orang tua ini amat girang melihat Ken Arok pulang. Dirangkulnya Ken Arok dan dikaguminya karena kini Ken Arok telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Nyi Lembong yang menganggap Ken Arok sebagai anak kandung sendiri, merangkul sambil menangis dengan terharu.

Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat bahwa Ken Arok bersikap dingin saja. Dan mereka terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok berkata, “Ki dan Nyi Lembung, katakanlah secara terus terang, sebenarnya aku ini anak siapa? Siapakah ayah dan ibuku yang sejati?”

Mendengar ini, dengan muka berubah, suami isteri itu saling pandang dan Nyi Lembong masih mencoba untuk mempertahankan. “Angger Ken Arok anakku! Mengapa engkau mengajukan pertanyaan seaneh itu? Tentu saja kami berdua ini ayah dan ibunya yang sejati!”

Ken Arok mengerutkan alisnya dan memandang kedua orang tua itu dengan bengis. “Tak perlu kalian berbohong lagi! Lihatah baik-baik diriku ini. Pantaslah aku menjadi anak seorang maling biasa? Pantaskah ayahku maling dan ibuku perempuan dusun yang bodoh?”

“Ken Arok! Sudah kami beritahukan bahwa engkau keturunan Sang Hyang Brahma, hanya melalui kami sebagai orang tua yang memeliharamu.....” kata Ki Lembong.

“Sudahlah, Ki Lembong. Tak perlu banyak mengelak lagi. Aku yakin bahwa kalian bukan ayah ibuku yang sejati. Katakan saja yang sebenarnya atau aku akan marah dan lupa bahwa kalian pernah memeliharaku sejak kecil.” Ken Arok yang berwatak keras itu sudah mengancam dengan suara bengis.

Hal ini tentu saja mengejutkan hati dua orang tua itu. Bagaimana pun juga, di lubuk hati suami isteri ini memang sudah mempunyai rasa takut dan hormat kepada Ken Arok yang mereka yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma. Maka Ki Lembung lalu menceritakan kepada Ken Arok tentang riwayat anak itu.

Diceritakannya betapa dia menemukan Ken Arok sebagai seorang bayi di tengah kuburan dan betapa pada keesokan harinya, seorang wanita bernama Ken Endok mengakuinya sebagai anak kandung yang berayah Sang Hyang Brahma.

Girang hati Ken Arok mendengar ini. “Jadi, ibu kandungku bernama Ken Endok? Di mana ia sekarang?”

Ken Endok sudah menikah lagi dan tinggal di dusun Pangkur itu juga, sudah mempunyai dua orang anak lagi dengan suaminya yang baru. Ken Arok lalu pergi mengunjunginya dan berkeras minta jumpa dengan wanita yang bernama Ken Endok. Akhirnya, bertemu jugalah ibu dan anak itu.

Sejenak mereka berdiri saling pandang dan biarpun Ken Endok belum tahu siapa gerangan pemuda tampan yang berdiri di depannya itu, namun dia merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayanglah wajah Ginantoko belasan tahun yang lalu, yang serupa benar dengan pemuda ini. Bahkan hampir dia percaya bahwa bekas kekasihnya itu, titisan Sang Hyang Brahma, kini muncul lagi di depannya!

“Saya Ken Arok,” tiba-tiba pemuda itu berkata, membuyarkan semua lamunan Ken Endok. “Apakah ibu yang bernama Ken Endok?”

“Ken Arok...? Kau... kau... anak Ki Lembong....?”

“Benar, aku anak yang kau titipkan kepada Ki dan Nyi Lembong. Benarkah aku ini anak kandungmu?”

“Ken Arok....!” Ken Endok tak dapat menahan tangisnya dan ia pun merangkul pemuda itu, anak kandungnya sendiri yang terpaksa dipisahkan darinya semenjak bayi itu lahir.

Akan tetapi Ken Arok menyambut keharuan ibu kandungnya itu dengan dingin. Betapa pun juga, wanita yang mengaku ibu kandungnya itu tidak pernah mengasuhnya dan tidak ada perasaan kasih sayang kepadanya. Maka dia dengan lembut melepaskan diri dari pelukan.

“Ibu aku datang untuk bertanya, siapa sebenarnya ayah kandung saya. Saya dikabarkan keturunan Sang Hyang Brahma. Hanya engkau seoranglah yang tahu akan keadaan sebenarnya. Siapakah ayahku?”

Kalau saja Ken Endok belum menyelidiki sebelumnya, tentu ia akan bingung sekali menghadapi pertanyaan yang mendesak dari anaknya sendiri itu. Untung bahwa setelah menjadi isteri suaminya yang sekarang, hidupnya serba kecukupan dan ia mempunyai banyak waktu untuk melakukan penyelidikan.

Dan ia pun dapat mengetahui dari hasil penyelidikannya bahwa pemuda tampan yang menjadi kekasihnya itu, atau titisan Sang Hyang Brahma, adalah seorang pemuda bangsawan dari Tumapel yang bernama Raden Ginantoko. Bahkan ia mendengar berita yang lebih dari itu, ialah bahwa Raden Ginantoko telah tewas oleh seorang bernama Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dari lereng Gunung Kawi ketika pria ganteng itu tertangkap basah berjina dengan isteri Ki Bragolo!

Kini mendengar pertanyaan puteranya, ia lalu bermaksud untuk menceritakan semuanya karena diam-diam di lubuk hatinya mengandung niat agar puteranya ini membalas dendam dan menuntut atas kematian ayah kandungnya! Tentu saja sebagai wanita yang diam-diam masih amat mencintai Ginantoko, hatinya sakit sekali mendengar kekasihnya dibunuh orang.

Selama ini, ia hanya menahan perasaan dendamnya. Sebagai isteri dari suaminya yang sekarang, ia sama sekali tidak berdaya. Mana mungkin ia terangterangan menyatakan sakit hati atas kematian kekasihnya yang dulu? Juga, apa daya suaminya atau ia sendiri terhadap seorang yang bernama Ki Bragolo itu, yang menurut kabar, merupakan kepala sebuah perkumpulan pencak silat yang amat jagoan?

“Anakku Ken Arok, duduklah dan dengarkan ceritaku. Ayahmu yang menjadi titisan Sang Hyang Brahma itu sebenarnya bernama Raden Ginantoko, seorang pria bangsawan yang tampan dan gagah perkasa...”

“Ahh, akhirnya aku tahu juga siapa ayahku!” Ken Arok berseru gembira dan diapun duduk menghadapi ibunya. “Bagaimana selanjutnya, ibu?”

“Ketika itu, terdapat hubungan cinta kasih antara Raden Ginantoko dengan aku, dan walaupun aku dikawinkan dengan seorang bernama Ki Gajahporo, namun aku tidak mau disentuh oleh suamiku karena sejak perawan aku telah jatuh cinta kepada Raden Ginantoko. Akan tetapi, agaknya sudah menjadi kehendak para dewata, anakku. Ketika engkau masih berada di dalam kandungan, ayahmu itu, Raden Ginantoko telah tewas di tangan seorang yang bernama Ki Bragolo, ketua perkumpulan Sabuk Tembogo yang berada di lereng Gunung Kawi....”

Ken Arok mengerutkan alisnya. “Hemmm, Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo? Dan bagaimana aku lalu dapat menjadi anak angkat dari Ki dan Nyi Lembong, pencuri itu?”

“Aku... aku yang menyerahkanmu kepada mereka untuk dipelihara, Nak. Aku... suamiku, Ki Gajahpuro juga tewas dan aku menjanda.... dan aku tidak kuat menahan desas-desus dan omongan orang bahwa aku sebagai janda mempunyai anak tanpa bapak.” Ken Endok menangis.

Ken Arok bangkit berdiri, memandang kepada wanita yang menjadi ibu kandungnya itu dengan muka menyatakan tidak senang. “Dan ibu menikah lagi, kini sudah mempunyai dua orang anak lalu melupakan bayi yang ibu titipkan kepada keluarga maling itu, ya? Baiklah selamat inggal ibu, aku pergi mencari pembunuh ayah kandungku!”

“Ken Arok...!”

Akan tetapi pemuda itu telah lari meninggalkan ibu kandungnya. Ken Endok hanya dapat menangis dengan sedih, akan tetapi diam-diam ia mengharapkan putera kandungnya itu akan berhasil menuntut balas atas kematian mendiang Raden Ginantoko.

Dengan hati yang puas akan tetapi juga marah terhadap ibu kandungnya, Ken Arok lalu meninggalkan Dusun Pangkur dan kembali ke Sugenggeng. Semanjak hari itu, dia melatih diri dengan tekun lagi sehingga memperoleh kemajuan pesat, hal itu yang membuat gurunya semakin mengaguminya.

Sebagai seorang pendeta, Begawan Jumantoko maklum bahwa pemuda yang mencorong kepalanya itu adalah keturunan dewa dan kelak tentu akan menjadi orang besar. Maka diapun tidak pelit untuk mengajarkan semua ilmunya sehingga dalam waktu singkat, tingkat kepandaian Ken Arok dalam hal ilmu kanuragan melonjak cepat dan melampui tingkat panji Tito atau murid-murid lainnya yang telah lebih dahulu menjadi orang digdaya, kini dia belajar dengan ada tujuan.

Pertama, dia ingin membalas dendam kematian ayah kandungnya terhadap Ki Bargolo, dan kedua, dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia benar-benar keturunan Sang Hyang Brama dan akan menguasai dunia!

Saking sayangnya kepada Ken Arok, Begawan Jumantoko bahkan mengajarkan dua macam ilmu yang tidak diajarkannya kepada siapapun juga dan merupakan ilmu simpanannya, yaitu pertama adalah ilmu Silat watak Sakti dan kedua adalah aji Joyo Kawaco.

Yang pertama merupakan ilmu silat yang amat dahsyat berdasarkan kekerasan bagaikan seekor binatang badak sakti yang mangamuk, sedangkan yang kedua merupakan ilmu kekebalan yang hebat, sesuai dengan namanya. Joko Kawoco (Dara berbaju Besi).

Akan tetapi, ganguan Ken Arok terhadap para selir semakin menjadi-jadi, dan para selir itu bahkan secara terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada pemuda itu. Hal ini membuat sang begawan akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri masa belajarnya kepada kedua orang pemuda itu.

“Murid-muridku yang baik, Ken Arok dan Panji Tito,” katanya setelah dia memanggil kedua orang muda itu menghadap. “Tibalah saatnya kalian tamat dari belajar di sini. Kalian sudah mempelajari berbagai ilmu dan bagaikan seekor burung, sudah memiliki sayap yang kuat untuk mengarungi dunia ini memperluas pengetahuan. Kalian sudah cukup dewasa untuk turun gunung dan mempergunakan ilmu-ilmu yang kalian pelajari. Sudah tiba saatnya kalian terjun di dunia ramai dan mencari kedudukan yang tinggi, kemuliaan yang besar. Aku hanya mendoakan semoga kalian berhasil....”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.