Keris Pusaka Nogo Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - Ginantoko menjadi murid Empu Gandring sejak berusia sepuluh tahun dan dia sesungguhnya masih terhitung keponakan Empu Gandring sendiri. Seperti tercatat dalam sejarah, Empu Gandring adalah seorang pembuat keris yang kenamaan di Kerajaan Tumapel.

Akan tetapi selain ahli pembuat keris, dia juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan seorang yang sakti mandraguna. Ginantoko mempelajari pembuatan keris sekedarnya saja akan tetapi lebih tekun mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian.
Karena dia seorang yang mata keranjang, tampan dan pandai merayu wanita, maka banyak wanita, baik gadis maupun sudah bersuami, yang pernah menjadi kekasihnya secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak terpaksa sekali, jarang dia memperkenalkan namanya yang asli, seperti ketika merayu Ken Endok, dia pun bahkan mengatakan sebagai titisan Sang Hyang Brahma.
Akan tetapi, agaknya sudah lazim di dunia ini bahwa seorang pria yang memiliki watak mata keranjang, dia bukan seorang yang pecinta sejati dalam arti kata dia tidak mengenal apa yang dinamakan kesetiaan. Dia mudah bosan dan melupakan yang lama begitu dia mendapatkan yang baru.
Demikian pula halnya dengan Ginantoko. Dia selalu menghubungi seorang wanita untuk beberapa bulan saja, atau paling lama setelah wanita itu mengandung, maka dia pun tentu akan meninggalkannya! Apalagi kalau matanya yang berminyak sudah memperoleh seorang calon mangsa baru.
Kalau dikaji benar, sifat mata keranjang agaknya memang sudah menjadi pembawaan setiap pria di dunia ini, atau bahkan mungkin menjadi pembawaan setiap makluk jantan di dunia ini yang condong untuk berwatak poligami, yaitu ingin memiliki lebih dari satu kawan hidup atau istri. Hanya saja, manusia mengenal cinta atau kesetiaan dan inilah yang menjadi pengekangnya.
Hanya mereka yang tidak mempunyai cinta dan kesetian, maka dia akan menjadi liar dan condong oleh sifatnya yang mata keranjang. Dalam hal ini, pria yang bernama Ginantoko tidak sadar bahwa kebiasaannya itu amat buruk. Bahkan tidak menjadikannya merasa malu. Sebaliknya malah, dia akan merasa bangga merasa seperti menjadi seorang Arjuna yang digilai banyak wanita. Betapa tidak?
Bukankah Sang Arjuna yang di dunia pewayangan dijuluki “lelananging jagat” (jantan dunia) juga seorang pria mata keranjang dan mempunyai banyak sekali istri dan kekasih gelap? Jahatkah sifat mata keranjang seperti yang dimiliki Ginantoko atau Sang Arjuna sekalipun itu?
Ini pun tergantung pada diri penilai. Kalau saja dia berhubungan dengan wanita atas dasar suka sama suka dan wanita itu masih bebas, siapa dapat menyalahkan dia atau wanita itu? Asalkan dia tidak diperk0sa, mempergunakan kekerasan memaksa wanita, atau asal tidak menggoda wanita yang sudah bersuami sehingga rumah tangga suami istri itu jadi hancur.
Di sinilah letak kesalahan Ginantoko, seperti juga yang sering dilakukan oleh Sang Arjuna, Ginantoko tidak lagi memperhitungkan apakah wanita itu bersuami ataukah tidak. Kalau bertemu seorang cantik yang berkenan di hatinya, lalu wanita itu membalas lirikannya, membalas senyumnya, tentu dia merayu sampai wanita itu berhasil tidur dalam pelukannya, tanpa memperdulikan apakah wanita itu istri orang atau bukan.Dan hal ini tentu saja berakibat panjang Ginantoko dimusuhi banyak suami yang merasa cemburu! Akan tetapi Ginantoko seorang murid Empu Gandring yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga ketika melihat Ken Endok hendak dipukul suaminya saja, dia yang memang melakukan pengamatan lalu turun tangan dan memukul roboh suami wanita itu!
Dan masih banyak suami-suami terdahulu yang dirobohkannya kalau berani menyerangnya karena cemburu. Kalau sudah demikian, maka tentu saja petualangan asmaranya itu sudah termasuk jahat karena merugikan orang lain.
Pernah Empu Gandring menegur dan memberi nasihat kepada murid dan juga keponakannya ini, “Ginantiko, kenapa engkau masih juga belum mau mengubah sepak terjangmu dalam hidup yang penuh dengan penyelewengan itu? Kemarin aku menerima pelaporan Ki Demang Gawangan yang mengabarkan bahwa seorang selirnya kau ganggu.”
Ginantoko tersenyum menghadap gurunya dan juga pamannya itu, “Paman, kalau selir Demang itu sendiri yang suka kepada saya, lalu melayani hasratnya, bukankah berarti saya yang telah menolongnya, juga membantu Ki Demang agar selirnya itu tidak menjadi terluka dan sakit hati karena Ki Demang yang sudah tua tidak mampu melayani hasratnya yang bernyala-nyala?”
Mau tidak mau Empu Gandring tersenyum juga. Keponakannya ini memang pandai bicara, dan teringatlah dia akan nasib adiknya, ayah dari Ginantoko, yaitu Empu Krepo. Adiknya itupun memiliki watak yang sama dengan Ginantoko, hanya karena adiknya itu tidak setampan Ginantoko.
Maka banyak wanita yang menolaknya sehingga pada suatu hari dia melakukan pemaksaan atas diri seorang wanita dan akibatnya dia harus menebus dengan nyawa karena dia dikeroyok oleh suami dari wanita itu bersama teman-temannya.
“Jangan begitu, Nantoko. Kalau kau lanjutkan, akhirnya engkau pun akan terancam bahaya maut, karena pria mana yang tidak akan merasa sakit hatinya kalau melihat istrinya diganggu pria lain? Musuhmu menjadi bertambah banyak dan engkau tahu diri, ilmu kadigdayaan itu ada batasnya. Setinggi-tingginya Gunung Mahameru, masih ada langitnya dan bintang yang tak terhitung yang jauh lebih tinggi lagi. Sepandai-pandainya orang, tentu akan ada yang lebih pandai lagi.”
Ginantoko mengerutkan alisnya, “Maaf, Paman. Saya kira mati bukanlah urusan kita, setiap orang pada akhirnya pasti mati. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki, saya tidak akan mati biar dikeroyok seribu orang sekalipun. Akan tetapi kalau Sang Hyang Syiwa sudah menghendaki, biar saya bersembunyi di lubang semut, maut akan datang juga menjemput. Ada yang mati dalam perang karena dia perajurit, mati dalam perkelahian karena pendekar, dan kalau saya mati karena urusan perempuan yang memang menjadi kesukaan saya, maka saya pun sudah rela.”
Mendengar bantahan itu, Empu Gandring hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Kehendak Hyang Widhi tak dapat diubah oleh siapa pun juga....” keluhnya.
Bagi Ginantoko, ucapan itu dikiranya membenarkan pendapatnya tadi, padahal maksud Empu Gandring adalah lain. Dia melihat dengan indra ke enamnya bahwa pemuda itu akhirnya akan mengalami nasib yang sama seperti mendiang ayahnya. Dia sudah mencoba untuk mengingatkan. Nasib seorang bergantung di dalam tangannya sendiri. Kalau orang mau mengubah kebiasaan yang buruk, tentu nasibnya akan berubah pula.
Semenjak Ken Endok bercerai dari suaminya dan wanita yang sudah mengandung ini tinggal di Dusun Pangkur dan bekas suaminya Gajahporo tinggal di Dusun Cempoko, terdengar berita bahwa lima hari setelah perceraian itu, Gajahporo meninggal dunia! Hal ini sebenarnya terjadi karena luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pukulan dan tendangan Ginantoko yang sakti.
Akan tetapi karena berita bahwa Ken Endok dipilih Sang Hyang Brahma sebagai istri dan telah mengandung keturunan dewa itu, maka ramailah orang mempercakapkan kematian itu. Sebagian besar mengatakan bahwa tentu Gajahporo telah melakukan pelanggaran, hendak menggauli istrinya, terkena kutuk dan kualat!
Dan malanglah bagi Ken Endok, sejak bercerai dan kematian bekas suaminya. Sang Arjuna tidak pernah muncul lagi! Agaknya setelah ia mengandung. Laki-laki tampan itu tidak berminat lagi mendekatinya dan jadilah Ken Endok seorang janda yang mengandung tua tanpa suami!
Mulailah penyesalan datang dalam hati wanita ini. Penyesalan yang sudah terlambat. Dan memang sesal kemudian tidak ada gunanya sama sekali, hanya mengundang kedukaan dan kekeruhan pikiran yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang sesat pula.
Kadang-kadang, kesenangan sekelumit yang dinikmati akan mendatangkan penyesalan selama hidup. Oleh karena itu, sekali lagi, orang bijaksana tidak akan MENGEJAR KESENANGAN, walaupun hal ini bukan berarti menolak kesenangan yang sudah menjadi hak setiap manusia untuk menikmatinya.
Kandungannya semakin tua dan hatinya semakin trenyuh. Pria yang diidamkannya tak kunjung datang biar pun setiap malam ia sudah bersembahyang memohon kepada Sang Hyang Brahma agar berkenan mengunjunginya. Tentu saja sebagai seorang yang percaya penuh akan anggapan bahwa ayah anak yang dikandungnya adalah Sang Hyang Brahma, Ken Endok tidak berani marah dan hanya tenggelam dalam kesedihannya saja.
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tentu saja tidak lepas dari pada ikatan sebab dan akibat. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan ada sebab tentu saja ada akibatnya.
Pada suatu pagi, dua pasang manusia sedang berkasih-kasihan di tepi Sungai Brantas, di lembah yang hijau subur. Mereka berdua saling berangkulan dengan asyik masyuk, lupa akan keadaan di sekeliling mereka. Seolah-olah di dalam dunia hanya ada mereka berdua yang perempuan adalah seorang muda paling banyak dua puluh lima tahun, berkulit agak hitam, akan tetapi hitam manis.
“Ihh, kau nakal, Kakangmas!” si perempuan menepiskan tangan Ginantoko yang jahil dan mengakibatkan kemben wanita itu terlepas.
Ginantoko merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra, membuat si wanita hanya dapat merintih, “Kenapa nakal? Bukankah kita sudah sering melakukan?”
“Benar, akan tetapi di malam hari, dan di tempat yang tersembunyi. Bukan pagi-pagi hari begini.”
“Apa bedanya? Di sini pun sunyi dan pagi ini cerah sekali, hawanya sejuk menimbulkan selera....”
“Ihh, kau tak puas-puasnya!”
“Mana bisa puas menghadapi seorang wanita sepertimu, Diajeng Galuhsari? Kalau bisa, kau ingin kutelan agar selamanya berada dalam diriku.”
“Hiiih, apa kau mau menjadi Buto Ijo?” Wanita itu cemberut dan mereka tertawa-tawa sambil bermesraan.
Dua insan itu sama sekali tidak mengira bahwa agak jauh dari tempat itu, di balik semak belukar, terdapat lima pasang mata yang mengintai semua gerak-gerik mereka. Lima pasang mata yang semakin lama semakin merah menyala saking marahnya.
Andaikata dua insan itu tidak sedang tenggelam dalam nafsu bir4hi, tentu mereka akan dapat mengetahui bahwa mereka sedang diintai bahaya. Ginantoko adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan pendengaran dan penglihatannya sudah terlatih dengan amat baik sehingga kedatangan orang yang mendatangkan sedikit suara saja sudah akan dapat ditangkapnya.
Juga wanita hitam manis itu bukan sembarangan. Wanita yang bernama Galuhsari itu adalah istri dari ketua perkumpulan Sabuk Tembaga yang terkenal sebagai perguruan pencak silat yang terkenal. Dan sebagai istri ketua perkumpulan itu, tentu saja Galuhsari juga pandai ilmu bela diri dan tidak sembarang orang, biar dia laki-laki, mampu mengalahkannya.
Kalau dia sampai jatuh hati dan mau saja dipermainkan dalam cinta oleh Ginantoko adalah karena pertemuan mereka yang pertama kali amat terkesan di hatinya karena ia dikalahkan oleh Ginantoko!
Pertemuan itu terjadi di dalam hutan ketika Galuhsari sedang memburu kijang. Ketika ia melepaskan anak panah, tiba-tiba saja anak panahnya itu disambar orang dan Ginantoko menangkapkan kijang itu hidup-hidup untuknya. Mula-mula Galuhsari marah dan terjadi perkelahian di antara mereka, namun Ginantoko mempermainkan wanita itu yang akhirnya terjatuh ke dalam pelukannya!
Siapakah lima orang yang sedang mengintai dari balik semak belukar itu? Bukan lain adalah Ki Bragolo sendiri, ketua dari perkumpulan Sabuk Tembaga! Dan yang empat orang adalah murid kepala yang sudah memiliki tingkat paling tinggi di antara para murid Sabuk Tembaga.
Mudah saja dibayangkan betapa perasaan hati Ki Bragolo menyaksikan istrinya bermain cinta begitu bebasnya di alam terbuka, tanpa malu-malu sama sekali! Dan yang membuat dia semakin panas hatinya, belum pernah istrinya bersikap seberani dan segairah itu apabila bermain cinta dengan dia, suamiya!
Galuhsari telah menjadi istrinya selama hampir sepuluh tahun, ketika wanita itu baru menginjak usia enam belas tahun dan dia sendiri sudah lima puluh tahun, Kini usianya sudah enam puluh tahun. Namun Ki Gragolo adalah seorang kakek yang betubuh tinggi besar seperti raksasa, dengan tenaga gajah dan senjatanya yang ampuh, yaitu sabuk tembaga, yang juga menjadi nama perguruannya, amat ditakuti orang!
Tentu saja Ki Bragolo tidak kuasa menahan lagi kesabaran hatinya. Dia tidak rela membiarkan istrinya itu menikmati permainan cinta liar itu sampai puas, dan dengan penuh kemarahan dia meloncat keluar diikuti oleh empat orang muridnya, yaitu empat laki-laki yang usianya rata-rata sudah tiga puluh tahun lebih. Mereka berempat juga merasa panas hatinya melihat betapa istri guru mereka bermain cinta demikian mesranya dengan Ginantoko.
Mereka semua diam-diam juga tergila-gila pada istri guru mereka yang cantik, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah memperoleh kesempatan mencicipi madu kembang itu yang sama sekali memperlihatkan sikap ramah atau mesra kapada pria lain. Dan kini tahu-tahu bermain cinta sedemikian mesranya dengan laki-laki lain.
Tentu saja Ginantoko dan Galuhsari terkejut bukan main melihat keluarnya lima orang itu, apalagi ketika mengenal bahwa yang keluar itu Ki Bragolo sendiri bersama empat orang murid cabang atas. Wajah Galuhsari menjadi pucat, akan tetapi cepat ia membereskan pakainnya.
Ginantoko sendiri memperlihatkan sikap seorang petualang asmara yang tulen. Dengan amat tenangnya, sambil tersenyum, dia membereskan pakaiannya, bahkan sempat membereskan gelungan rambutnya sebelum menghadapi lima orang itu sambil tersenyum ramah! “Kiranya paman Ki Bragolo yang datang. Selamat pagi, Paman.”
Dapat dibayangkan betapa dada raksasa tua itu seperti akan meledak! Dengan mata melotot seperti akan keluar dari pelupuknya, Ki Bragolo membentak, “Ginantoko, jahanam keparat! Engkau telah merusak pagar ayu, mengganggu istriku dan engkau masih bersikap seperti ini dan tidak lekas berlutut minta ampun?”
Ginantoko tersenyum lebar dan mengusap keringat di leher dan dahinya. Permainan asyik dan masyuk bersama kekasihnya tadi membuat dia berkeringat. “Paman Ki Bragolo, seorang laki-laki tidak akan melarikan diri dari kenyataan, tidak akan melarikan diri dari tanggung jawab. Memang aku dan Diajeng Galuhsari saling mencintai. Itulah kenyataan dan sekarang terserah kepada Paman. Untuk apa aku minta ampun?”
“Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan batu hitam! Ginantoko, perbuatanmu yang laknat itu hukumannya hanya satu yaitu hukuman mati!”
“Hemmm, begitukah, paman? Dan siapa gerangan orang yang akan menghukum aku?”
“Akulah yang akan membunuhmu, keparat!” bentak seorang di antara murid Ki Bragolo, dan dia sudah menerjang ke depan setelah dia tadi melolos sabuknya.
Setiap murid perguruan Sabuk Tembaga selalu memakai sebuah sabuk terbuat dari tembaga di pinggangnya, dan tingkat mereka dapat diukur dari tebal tipis dan berat ringannya sabuk itu. Kini penyerang yang tingkatnya sudah paling tinggi di antara murid-murid itu, sabuknya tebal dan besar, tidak kurang dari lima kilo beratnya.
“Wirr......!” Sabuk yang berat dan panjangnya tidak kurang dari satu meter itu diayun di atas kepalanya lalu turun menyambar ke arah kepala Ginantoko. Pemuda itu masih tersenyum, lalu dengan sedikit miringkan kepala, sambaran sabuk itu pun luput.
Penyerangnya penasaran dan sabuk itu tidak berhenti, terus membuat gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar ke arah dada Ginantoko. Ginantoko tidak beranjak dari tempat dia berdiri hanya kini tangan kirinya menangkis sambaran sabuk tembaga itu. Sungguh perbuatan yang berani sekali, menangkis sambaran senjata itu dengan tangan kosong saja.
“Plakk! Desss!” Dan tubuh murid pertama itu pun terpelanting. Kiranya lengan kiri Ginantoko kebal dan dapat menangkis senjata itu dan berbareng dia sudah mengirim tendangan yang mengenai perut lawan, membuat lawan terjengkang dan terpelanting.
Marahlah Ki Bragolo. Dia menggereng seperti seekor beruang marah, dan sabuknya yang beratnya belasan kilo itu pun sudah merada di tangan kanannya. Juga tiga orang murid lainnya sudah marah dan mereka pun menyerbu. Murid yang tadi tertendang jatuh juga bangkit lagi.
“Aha, kiranya ketua Sabuk Tembaga hanyalah seorang kakek yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan!” Ginantoko berseru mengejek sambil melakukan pengelakan dengan loncatan ke kanan dan ke kiri dengan amat lincahnya, kadang-kadang menangkis dengan kedua lengannya. Memang hebat pemuda ini. Hantaman sabuk tembaga di tangan Ki Bragolo yang beratnya belasan kilo pun berani dia menangkisnya.
Sementara itu, Galuhsari hanya nonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia memang benar istri Ki Bragolo, sudah sepuluh tahun, akan tetapi mereka tidak mempunyai anak, dan pula, ia tidak pernah dapat mencintai suami yang sepak terjangnya seperti raksasa, kasar dan tidak pernah memperlihatkan kemesraan itu. Di tangan Ki Bragolo, ia merasa seperti menjadi boneka yang dipermainkan saja.
Berbeda kalau ia bercinta dengan Ginantoko, ia benar-benar merasakan kenikmatan karena ia bukan hanya dicintai dan dipermainkan, melainkan ia pun mencinta dan memparmainkan, permainan cinta mereka bukan sepihak saja, melainkan permainan mereka bersama dan dinikmati bersama. Hanya kini ia merasa menyesal karena ia telah menyeret Ginantoko ke dalam kesulitan.
Menghadapi suaminya kini, apalagi masih dibantu empat orang murid, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya dan berat. Namun, semakin lama ia menjadi semakin kagum terhadap kekasihnya. Ginantoko benar-benar hebat. Kini bukan saja ia dapat mengelak dan menangkis, bahkan mulai membalas. Ketika ada sabuk tembaga menyambar ke arah perutnya dari samping, dia malah tersenyum dan tidak menangkis, membiarkan sabuk itu mengenai lambungnya.
“Bukk!” Dan si pemegang sabuk itu menjerit kesakitan karena telapak tangannya sendiri lecet. Seolah-olah sabuknya tadi menghantam lambung baja saja. Ki Bragolo maklum bahwa pemuda murid Empu Gandring ini memang kebal, maka dia pun berseru, “Serang kepalanya!”
Memang Ki Bragolo yang sudah tua itu, banyak pengalamannya. Orang boleh kebal badannya, akan tetapi sukar untuk mempelajari ilmu kekabalan kepala! Di kepala terdapat otak yang mudah terguncang, apalagi di bagian muka terdapat bagian-bagian lemah seperti mata, hidung, mulut, dan telinga.
Setelah kini lima batang sabuk tembaga menghujamkan serangan ke arah kepalanya, Ginantoko mulai terdesak. Pukulan mengenai leher, pundak ke bawah, diterimanya dengan perlindungan kekebalan, akan tetapi yang menyerang kepala terpaksa harus ditangkis atau dielakkan.
Dia pun mulai marah dan sambil mengeluarkan pekik panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan dua orang murid Sabuk Tembaga jatuh terseungkur dan tidak ada yang mampu bangkit kembali terkena pukulan kedua tangan yang ampuh dari pemuda itu.
Melihat ini, Ki Bragolo terkejut, Ginantoko mendapat hati, dan kini ia mendesak lagi dua orang murid lainnya. Dipikirnya, kalau empat orang murid mudah roboh, akan mudah baginya untuk menghadapi dan mengalahkan Ki Bragolo yang tangguh itu. Melihat itu, Ki Bragolo khawatir kehilangan semua muridnya.
Pada saat Ginantoko melancarkan serangan dahsyat ke arah dua orang muridnya, diam-diam dia melolos sebatang keris dari pinggangnya dan menusukkan keris itu ke dada Ginantoko. Pemuda itu masih tersenyum dan menerima tusukan keris itu sambil mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya untuk membuat bagian dada yang tertusuk itu menjadi kebal. Keris itu meluncur dan menghujam dada.
“Crapp.....!”
“Aduuuuuhhh... heiiii, aduh.....!” Ginantoko mengeluh keheranan dan ketika keris itu dicabut, darah muncrat-muncrat keluar dari dadanya karena ujung keris mengenai jantungnya.
“Kakangmas....!” Galuhsari menjerit dan lari menubruk kekasihnya, kemudian ia pun melompat dan melolos sabuk tembaga dari pinggangnya. “Engkau... engkau... curang, mengeroyok dan membunuhnya.” Dan istri ini pun seperti seekor singa betina telah menerjang suaminya sendiri.
Akan tetapi, karena Ki Bragolo adalah guru juga dari Galuhsari, dengan mudah Ki Bragolo mengelak, lalu dengan keris yang masih basah oleh darah Ginantoko itu meluncur dan memasuki dada Galuhsari. Wanita itu menjerit dan roboh terguling.
Ginantoko merangkak duduk dan memandang ke arah keris di tangan lawan. Dia melihat sebatang keris panjang dengan lekukan lima belas, sebatang keris yang mengeluarkan sinar aneh dan melihat keris itu, dia menjadi pucat. “Empu... Empu Gandring...”
“Ha-ha-ha-ha, manusia hina. Memang benar, aku meminjam pusaka Nogopasung ini dari gurumu sendiri, ha-ha-ha-ha!”
“Ah, paman Empu Gandring...... aku mati oleh kerismu... semoga engkau pun akan mati oleh kerismu sendiri.....” dan Ginantoko pun terkulai dan menghembuskan napas terakhir, hampir bersamaan dengan kekasihnya.
“Kakang Empu, terima kasih atas pemberian pinjam keris pusaka Nogopasung ini. Terima kasih dan ini saya kembali dalam keadaan utuh,” Kata Brogolo kepada Empu Gandring yang duduk dikelilingi cantriknya.
Empu Gandring menerima keris itu dan mencabutnya dari sarungnya. Melihat betapa di ujung keris itu ada darah yang sudah kering, sepasang alis kakek itu berkerit dan Ki Bragolo cepat berkata,
“Maafkan saya, Kakang Empu. Sudah saya usahakan untuk mencuci bersih noda darah itu, namun tidak berhasil.”
Kakek itu manarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Kalau yang menodai hanya darah pria saja, atau darah wanita, tentu mudah dibersihkan. Akan tetapi kalau yang menodai darah campuran antara darah pria dan darah wanita, tak mungkin dilenyapkan, Adi Bragolo. Sekarang katakan saja terus terang, darah siapakah yang telah menodai Kyai Nogopasung ini?”
Ketika melihat Ki Bragolo nampak ragu-ragu dan wajahnya pucat, Empu Gandring berkata lagi, ”Tak usah ragu-ragu atau khawatir, Adi Bragolo. Segala peristiwa yang terjadi sudah dikehendaki oleh Hyang Widhi Wasa, yang penting kita berada dipihak yang benar. Tanpa kau ceritakan aku dapat mengetahui, akan tetapi aku tidak ingin mendahului kenyataan.”
Mendengar ini, Ki Bragolo mengusap air matanya. "Ampun beribu ampun, Kakang Empu, terus terang saja, ketika meminjam keris pusaka itu, saya sudah mempunyai niat untuk membunuh murid dan keponakan Kakang sendiri, yaitu Ginantoko! Dia telah berjina dengan istri saya, maka tidak ada jalan lain bagi saya kecuali membunuh mereka.”
Sang Empu Gandring menarik napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia amat mencintai Ginantoko, akan tetapi pemuda itu memang tewas oleh ulahnya sendiri dan hal ini beberapa bulan yang lalu pernah ia peringatkan. “Ahh, engkau tidak bijaksana menjadi suami. Akan tetapi, mengapa untuk membunuhnya engkau harus meminjam pusakaku?”
“Maaf, Kakang Empu. Ginantoko adalah murid Kakang, memiliki kekebalan yang ampuh dan saya menduga bahwa kekebalannya itu hanya akan punah kalau diterjang pusaka ciptaan Empu Gandring. Bukan begitu, Kakang Empu?”
Empu Gandring menarik napas panjang. “Dugaanmu yang tepat itu menjadi tanda bahwa memang sudah tiba saatnya Ginantoko harus meninggalkan dunia ini. Dan memang dia sudah mengatakan bahwa dia akan puas kalau tewas dalam melaksanakan kesukaannya dan dia tewas diujung keris yang sama dengan kekasihnya yang terakhir. Aduhhh, dunia penuh dengan kesengsaraan yang dibuat oleh manusia sendiri.”
Setelah Ki Bragolo dan murid-muridnya meninggalkan padepokan Empu Gandring, kakek ini lalu mengutus cantrik-cantriknya untuk mengambil jenazah Ginantoko dan Galuhsari, mengurus jenasah dengan seperlunya. Untuk pembakaran kedua jenazah itu, dia memberi tahu kepada istri Ginantoko yang masih mengandung.
Istri Ginantoko juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Dyah Kanti, puteri tunggal dari panembahan Pronosidhi yang bertapa di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika pertama kali bertemu dengan Dyah Kanti yang menjadi istrinya itu, Ginantoko masih menjadi murid Empu Gandring dan belum nampak sifatnya yang mata keranjang. Baru setelah dia menikah dan istrinya mulai mengandung, penyakit mata keranjang itu menghinggapinya dan makin lama makin meghebat.
Dyah Kanti menangis dan kalau saja ia tidak sedang mengandung, tentu akan ikut mati obong (bunuh diri dalam api) bersama jenasah suaminya. Akan tetapi Empu Gandring, dan juga Panembahan Pronosidi yang hadir, menasehatinya. Bahkan ketika wanita itu menyatakan kemarahan dan dendamnya kepada Ki Bragolo, ayahnya sendiri menegurnya.
“Angger Kanti, anakku. Tenangkan dulu batinmu dan jernihkan pikianmu. Orang tidak harus melihat akibat saja tanpa menjenguk sebabnya. Kematian suamimu dibunuh orang hanyalah akibat, dan sebabnya terletak pada diri suamimu sendiri. Menuruti perasaan dan dendam hanya akan meracuni batinmu. Sekarang duduklah engaku dengan tenang dan bayangkan dirimu sendiri. Andaikata engkau seorang suami lalu melihat istrimu digoda pria lain, apa yang akan kau lakukan?”
Dyah Kanti tak mampu menjawab. "Andaikata aku, anakku, yang mengalami musibah seperti yang menimpa diri Ki Bragolo, aku akan mengalah dan membiarkan saja, bahkan aku akan menganjurkan mereka untuk bersatu menjadi sepasang suami istri. Akan tetapi mungkin hanya beberapa orang seperti aku dan Adi Empu Gandring saja yang mampu melakukan hal itu. Sebagian besar orang tentu akan dihinggapi amarah yang mebuat mata gelap dan terjadilah permusuhan dan pembunuhan. Kematian suamimu sudah wajar, karena perbuatannya sendiri. Dan ingat baik-baik, aku berpesan agar kelak engkau tidak menanamkan dendam dalam batin anakku!”
“Sadhu-sadhu-sadhu....! Apa yang diucapkan Kakang Panembahan itu sungguh tepat sekali. Lihat, angin pun berhenti besilir untuk mendengarkan wejangan yang amat suci itu, anakku yang baik. Dyah Kanti, engkau taatilah pesan ayahmu dan keris pusaka Nogopasung ini kuberikan kepadamu, agar kelak kau serahkan pada anakmu. Akan tetapi ingat, kalau sampai dipergunakan untuk mebalas dendam, akibatnya bisa mengutuk sendiri,” berkata demikian, Empu Gandring lalu menyerahkan keris pusaka yang panjang berlekukan lima belas itu.
Diingatkan oleh dua orang kakek sakti yang bijaksana itu, luluh semua kekerasan hati Dyah Kanti dan ia pun lalu ikut bersama ayahnya kembali ke padepokan ayahnya di lereng Gunung Anjasmoro.
Ken Endok mengalami penderitaan batin yang sama berat. Memang masih ada yang percaya bahwa anak dalam kandungannya itu keturunan Sang Hyang Brahma, akan tetapi ada pula mulut usil para tetangga, terutama sekali para wanita, yang mulai menyindir-nyindir karena ia seorang janda muda yang mengandung tanpa ayah!
Karena merasa menderita batin, hampir saja ia tewas ketika melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Untung ia ketulungan oleh seorang dukun beranak yang pandai dan teringat akan pesan “Sang Hyang Brahma”, anak itu lalu diberi nama Ken Arok!
Sebelum pengarang melanjutkan cerita ini, patut kiranya diketahui oleh para pembaca bahwa cerita tentang Ken Arok - Ken Dedes dianggap sebagai dongeng dan hanya terdapat dalam kitab Pararaton yang barasal dari Pulau Bali. Dalam Kitab Negerakertagama nama Ken Arok tidak disebut-sebut.
Pengarang sengaja menggubah lagi tentang kisah Ken Arok ini setelah mempelajari banyak kitab kuno, antara lain Negarakertagama, Babat Tanah Jawi, Sarwasastra, Sejarah Kerajaan Majapahit dan lain-lain.
Lalu pengarang olah dengan hasil khayal sendiri. Adapun cerita mengenai Ken Arok ini, hanya merupakan latar belakang sejarah saja, dan tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita ini hanya khayali pengarang semata.
Mungkin karena malu melahirkan seorang anak tanpa bapak yang jelas, Ken Endok lalu membawa anak yang baru lahir itu ke kuburan di mana terdapat pula makam mendiang suaminya, Gajahpuro. Bagaimanapun juga, yang menyebabkan keributan adalah mendiang suaminya itu.
Yang dengan tidak percayaan dan kecemburuannya telah mendatangkan aib pada dirinya dan agaknya memarahkan Sang Hyang Brahma sehingga tidak pernah muncul kembali! Ia lalu meninggalkan bayi itu ditengah-tengah tanah kuburan pada malam hari.
Kalau segala hal terjadi seperti biasa, dapat dipastikan bahwa bayi Ken Arok itu akan meninggal dunia, ditinggalkan seorang diri saja di dalam kuburan seperti itu. Namun, mati hidup manusia merupakan rahasia yang sampai kini belum juga terpecahkan oleh manusia. Ken Arok ditakdirkan untuk tidak mati di waktu bayi.
Tanpa disengaja, seorang gembong pencuri yang biasa melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi seperti sawah-sawah, hutan-hutan dan kuburan-kuburan, lewat tengah malam sehabis melakukan pencurian, lewat di kuburan itu dan dia mendengar suara tangis bayi.
Cepat dihampirinya suara itu, sebagai seorang maling yang sudah biasa melakukan perjalanan malam melalui tempat-tempat yang keramat dan angker, dia tidak merasa takut. Padahal bagi orang biasa, berjalan di malam hari melalui kuburan lalu mendengar suara bayi menangis, sembilan di antara sepuluh orang tentu akan lari tunggang langgang mencari teman untuk menjenguknya!
Lembong, demikian nama gembong maling itu, menemukan seorang bayi yang montok sehat dan dia pun girang sekali. Dia sendiri sudah mendambakan seorang anak dan kini dia menmukan seorang bayi mungil di kuburan. Dibawanya bayi itu pulang dan diakui sebagai anaknya.
Sekejam-kejamnya harimau, takkan makan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya hati seorang ibu, tak mungkin ia dapat melupakan anaknya. Setelah meninggalkan anaknya di kuburan, semalam suntuk Ken Endok tak mampu memejamkan matanya. Ia merasa menyesal sekali, merasa berdosa. Akan tetapi ada keyakinan di hatinya. Bukankah anak itu keturunan Sang Hyang Brahma?
Kalau benar, tentu Sang Hyang Brahma tidak akan membiarkan anaknya mati kedinginan atau kelaparan atau dimakan hewan galak di kuburan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kuburan itu untuk melihat apa yang telah terjadi dengan bayi yang ditinggalkan semalam. Dan bayi itu kini telah tiada! Hati Ken Endok diliputi pertanyaan dan kecemasan, lalu ia pun pergi mencari di dusun-dusun yang terdekat.
Akhirnya ia mendengar bahwa seorang bernama Ki Lembong telah memungut seorang anak laki-laki. Bukan main girang rasa hati Ken Endok dan semakin tebal kepercayaannya bahwa “bapak” anaknya itu ternyata tidak tinggal diam dan menolong anak itu. Ditemuinya Ki Lembong.
Ki lembong dan istrinya menyambut kedatangan wanita muda yang jelita itu dengan penuh keheranan karena mereka tidak mengenalnya. Setelah dipersilakan duduk, sambil memandang bayi yang dipondong Nyi Lembong dan dengan kedua mata basah, Ken Endok lalu berkata,
“Ki dan Nyi Lembong, ketahuilah bahwa namaku adalah Ken Endok dari Dusun Pangkur dan bahwa anak bayi itu adalah anakku.”
“Ken Endok dari Dusun Pangkur...? Ah aku, pernah mendengar tentang andika! Puteri yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma...?” Dan tiba-tiba saja Gembong maling itu menoleh kepada istrinya dan memandang jabang bayi yang malam tadi dibawanya pulang.
Ken Endok mengangguk, “Benar, Ki Lembong, dan anak inilah yang kulahirkan. Dia bernama Ken Arok, keturunan langsung dari Sang Hyang Brahma. Sudah menjadi kehendak Sang Hyang Brahma bahwa Ken Arok kini menjadi anak asuhmu. Periharalah baik-baik, karena anak ini akan mendatangkan berkah bagi keluargamu.”
“Tapi... tapi.... Andika...?”
“Oleh ayahku, aku akan dinikahkan lagi dan aku tidak ingin Ken Arok dipelihara oleh ayah tiri.” Ken Endok lalu menghampiri Nyi Lembong dan diciuminya anaknya untuk terakhir kalinya. Ia lalu berpamit dan pergi sambil manahan isak tangisnya. Tentu saja keluarga Lembong menjadi girang dan bangga bukan main dan Ken Arok menjadi kekasih mereka.
Demikianlah, mulai saat itu, Ken Arok menjadi anak KI Lembong dan Nyi Lembong, dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh keluarga yang pekerjaannya sebagai pencuri itu.
Ada orang yang mengatakan bahwa seorang manusia itu ketika masih bayi, bagaikan sebuah buku tulis yang masih bersih, belum ada tulisan atau gambarannya. Apa akan jadinya dengan buku tulis itu kelak, atau apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak setelah dewasa, ditentukan oleh isinya dan yang mengisi buku tulis kosong putih bersih itu adalah keadaan sekelilingnya, masyarakatnya, terutama sekali yang paling dekat dengannya, yaitu orang tuanya, saudara-saudaranya dan kawan-kawan dekatnya.
Kiranya pendapat seperti itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Seorang bayi yang sejak kecil dibiarkan di antara kelompok monyet, dididik oleh monyet, tentu setelah dewasa akan bertingkah seperi monyet pula! Karena itu, dapat dibayangkan apa jadinya dengan Ken Arok yang sejak kecil dipelihara oleh keluarga maling!
Setelah pengertian mulai memasuki batinnya, Ken Arok tahu bahwa pekerjaan orang tuanya adalah mencuri harta milik orang lain. Tentu saja hal ini tidak dianggap buruk karena ayah ibunya juga menganggap bahwa “pekerjaan” itu adalah suatu usaha untuk dapat mencari makan guna menjaga kehidupan mereka. Dan lebih celaka lagi bagi anak ini, setelah anak ini berusia tujuh tahun, dia pun diajak pergi oleh ayahnya untuk melakukan pencurian!
Memang amat berguna seorang anak kecil yang cerdik diajak pergi untuk mencuri. Pertama, andaikata dia ditugaskan untuk berjaga di luar, tidak akan ada orang mencurigai seorang anak kecil menjadi maling. Dan kalau dia ditugaskan ke dalam, mudah baginya memasuki lubang-lubang kecil atau memanjat genteng tanpa membuat banyak gaduh karena tubuhnya yang ringan, orang-orang akan tidak sekejam kalau yang ditangkap itu seorang dewasa yang melakukan pencurian.
Akan tetapi, karena lingkungan hidup, karena pergaulan, bukan hanya pekerjaan mencuri yang dikenal Ken Arok, melainkan terutama sekali juga perj*dian. Anak ini sejak ada pengertian, mulai gemar berj*di. Bukan berj*di di antara kanak-kanak, memang demikian permulaannya, kecil-kecilan, akan tetapi karena Ken Arok pandai sekali, tak lama kemudian anak-anak tidak ada yang berani berj*di melawan dia dan mulailah dia terjun ke dalam kalangan perj*dian yang lebih luas, di mana orang-orang dewasa yang bermain.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan mencuri itu tentu saja tidak banyak. Yang dimasuki adalah rumah-rumah orang dusun yang miskin sederhana dan yang dicuri pun hanyalah terbatas pada bahan-bahan makanan dan pakaian saja yang dipakai sendiri dan sebentar saja setelah Ken Arok gemar berj*di, ludeslah barang-barang ayah ibunya di meja perj*dian.
Orang-orang tua memang banyak yang belum memperhatikan tentang pendidikan. Orang-orang tua menyatakan cinta kasihnya terhadap anak-anaknya melalui pemberian-pemberian dan kemanjaan-kemanjaan.
Kalau mereka sudah mampu menuruti semua permintaan anak-anak, mereka menanggap bahwa mereka telah memenuhi kewajiban mereka sebagai orang tua dan mereka mengatakan bahwa mereka telah membuktikan cinta kasih mereka kepada anak-anak mereka.
Mereka jarang sekali memperhatikan pertumbuhan jiwa anak-anak mereka, yang diperhatikan hanyalah pertumbuhan badan dan mereka saja. Yang terpenting, beri makan secukupnya, beri pakaian secukupnya, dan sudah selesailah tugas mereka.
Orang-orang tua seperti itu lupa bahwa pakaian robek kelak dapat ditukar dengan yang baik, dan perut yang agak kurang makan bahkan kadang-kadang mendatangkan kekuatan badan. Akan tetapi budi pekerti robek, sekali watak rusak, sukarlah untuk mengubah atau memperbaikinya.
Bukan hanya makanan badan yang amat penting, melainkan juga makanan jiwa amat penting, bahkan lebih penting. Keindahan budi pekerti dibawa sebagai modal sampai mati. Kalaupun ada di antara kita yang katanya menyayang anak, dan melakukan pendidikan, maka kita mendidik anak-anak kita seperti mendidik anjing-anjing pemburu atau monyet-monyet untuk dipertontonkan dalam sirkus saja!
Kita mendidik anak-anak agar menurut semua kata-kata kita, mendidik mereka agar menjadi seperti bayangan yang kita ciptakan sehingga anak-anak itu banyak yang kenal menjadi manusia seperti robot! Tidak boleh begini, harus begitu, lakukan ini, jauhkan diri dari ini dan itu, dan sebagainya.
Dan kalau kita berhasil, kalau anak itu menurut segala kehendak kita, kita menjadi bangga dan menganggap anak itu seorang ANAK YANG BAIK. Benarkah anak itu menjadi anak yang baik? Kita lupa bahwa anak-anak bukanlah benda mati, melainkan makhluk-makhluk hidup, calon-calon manusia dewasa yang memiliki dunia sendiri, memiliki akal budi sendiri, selera-selera dan pikiran-pikiran sendiri.
Akan tetapi kita hendak mengekang itu semua, hendak mengurungnya dalam sangkar emas yang kita ciptakan dengan nama “pendidkan” yang sesungguhnya keliru. Biasanya, kita mendidik anak BUKAN DEMI SI ANAK, walaupun malu bersumpah demikian, melainkan DEMI KESENANGAN DIRI SENDIRI.
Kalau anak itu menurut kata-kata kita, kitalah yang senang. Sedang anak itu? Belum tentu senang. Walaupun untuk menyenangkan orang tuanya, seperti yang diharuskan dan ditanamkan dalam jiwanya, dia akan memperhatikan muka senang agar orang tuanya senang! Kalau anak itu tidak menurut?
Lalu di maki, dipukul, dianggap anak kurang ajar, tidak patut, murtad,tidak berbakti, dan sebagainya. Mengapa? Karena tidak menurut berarti TIDAK MEMBIKIN SENANG HATI ORANG TUA! Biarpun anak itu sendiri senang, kalau tidak membuat hati orang tua senang, dia dianggap salah!
Kiranya inilah yang menimbulkan celah atau jurang di antara generasi muda dan generasi tua, walaupun tidak boleh dikatakan bahwa kesalahan selamanya kesalahannya selamanya berada di pihak orang tua, karena keadaan lingkungan atau pergaulan juga mempengaruhi pembentukan watak seseorang.
Lalu bagaimana caranya untuk menjadi pendidik yang baik, menjadi orang tua yag baik agar anak-anak itu menjadi calon manusia-manusia baik pula?
Pendidikan orang tua terhadap anaknya adalah suatu tindakan yang berdasarkan cinta kasih. Di mana ada cinta kasih, maka segala tindakannya pasti benar! Cinta kasih berarti memaksa si anak menjadi seperti dirinya atau seperti apa yang dikendakinya. Cinta kasih berarti membiarkan orang yang dicintai itu berbahagia! Bukan bahagia kelak, melainkan bahagia sekarang ini, saat ini, detik demi detik!
Nah, kalau sudah ada cinta kasih seperti ini di hati orang tua, maka pendidkan pun tidak perlu dibicarakan lagi secara mulukmuluk, karena CINTA KASIH ITULAH PENDIDIKAN. Kalau kita melarang anak kita memaki dengan hardikan dan makian, apakah itu cinta kasih? Kalau kita melarang anak melakukan apa yang kita juga lakukan, apakah itu juga cinta kasih? Jelaslah, cinta kasih itu menyeluruh!
Setelah agak besar, Ken Arok lalu disuruh bekerja di sawah ladang, menggembala kerbau dan sebagainya. Akan tetapi, saking gemarnya berj*di, Ken Arok bahkan menghabiskan semua raja-kaya (hewan ternak) milik orang tuanya ini, dihabiskan di meja j*di pula.
Gembong maling Lembong jatuh miskin. Kini dia sudah lanjut usia, untuk melakukan pekerjaan maling sudah merasa kurang kuat. Kurang kuat membongkar rumah, pintu atau jendela, kurang kuat pula kalau harus membela diri, dan kurang cepat kalau terpaksa harus melarikan diri.
Dan semua hartanya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, hasil pencurian, kelebihan dari yang dimakan sehari-hari,kini diludeskan oleh Ken Arok! Apakah ini yang dikata orang bahwa uang yang mudah didapat akan mudah pula lenyap? Entahlah.
Ki Lembong lalu mencari pekerjaan yang halal. Dia menghadap Ki Lurah Lebak untuk minta agar dipercaya untuk menggaduh (memelihara kerbau orang dengan bagi hasil kalau kerbau itu sudah melahirkan anak-anak) ternak, yaitu sepasang kerbau yang baik dan gemuk.
Sepasang kerbau itu diserahkan oleh Ki Lembong kepada Ken Arok. “Anakku yang bagus, engkau hati-hatilah, Nak. Sepasang kerbau ini milik Ki Lurah Lebak. Jangan sampai sakit apalagi hilang, dan engkau bertobatlah Nak, jangan berj*di lagi. Apalagi kerbau-kerbau ini bukan milik kita, jangan diperj*dikan.“ Demikian pesan ayah dan ibu itu.
Akan tetapi, cerita lama pun terulang lagi. Ken Arok yang sudah gila j*di itu tidak mampu menahan godaan nafsunya sendiri. Sepasang kerbau itu pun diperj*dikan dan dia pun kalah lagi! Dua ekor kerbau milik Ki Lurah Lebak itu pun hilang ke tangan orang lain!
Di antara segala kebiasaan atau kesenangan yang oleh masyarakat umum dinamakan kemaksiatan, yang paling berbahaya adalah perj*dian! Ada lima kemaksiatan yang dinamakan dalam Bahasa Jawa sebagai MA lima, yaitu: m4dat, m4bok, maling, madon, dan main atau dalam bahasa indonesianya: menghisap m4dat, berm4buk-m4bukan, mencuri, main perempuan dan berj*di.
Untuk menghisap m4dat dan m4buk-m4bukan, kalau tidak mempunyai uang tidak akan mampu melakukannya. Dan kalau sampai rusak, yang rusak adalah tubuh sendiri. Mencuri, kalau tertangkap, yang celaka juga dirinya sendiri. Main perempuan juga membutuhkan uang, kalau tidak punya uang, tidak akan bisa, dan kalau sampai dirinya terkena penyakit, maka yang menanggung adalah dirinya sendiri pula.
Akan tetapi j*di? Wah, perj*dian itu benar-benar merupakan suatu kemaksiatan yang dapat mencelakakan semua orang. Satu orang saja berj*di, sekeluarga bisa berantakan. Dan untuk dapat berj*di, tak perlu pakaian yang baik bahkan kadang-kadang, tanpa uang sepersen pun dapat saja berj*di karena meminjam uang untuk berj*di jauh lebih mudah daripada meminjam uang untuk berdagang.
Apalagi kalau sampai rakyat sudah dijangkiti penyakit perj*dian ini, wah, sukarlah memberantasnya dan banyak keluarga akan menjadi sengsara karenanya.
Habislah sepasang kerbau milik Ki Lurah Lebak itu, diperj*dikan pula oleh Ken Arok. Tentu saja Ki Lembong dan Nyi Lembong menjadi marah dan berduka sekali. Mau diapakan anak mereka yang satu-satunya ini? Kerbau-kerbau itu sudah habis dan untuk menggantinya, mereka tidak punya uang. Semua barang sudah habis dijual untuk makan, dan sebagian besar diperj*dikan anak mereka. Padahal, menurut perhitungan Ki Lurah di Dusun Lebak, sepasang kerbau itu dihargai delapan ribu keping uang!
“Aduh, anakku, Ken Arok. Bagaimana pula ini? Celakalah kita sudah!”
“Kita minggat saja meninggalkan Pungkur, Pak,” kata Ken Arok.
“Hemm, ke mana? Dan pula, Ki Lurah Lebak tentu akan menyuruh tukang-tukang pukulnya untuk mencari kita dan kalau kita tersusul, kita akan celaka. Tidak ada jalan lain, kita harus berpisah anakku. Biarlah kita tidak menyuruh kamu pergi dari sini, akan tetapi kami berdua yang akan meninggalkan kamu. Kami harus pergi ke Dusun Lebak untuk menghambakan diri kepada Pak Lurah Lebak, bekeja untuk melunasi hutang dua ekor kerbau itu yang kita hilangkan.”
Ken Arok hampir menangis mendengar ini, akan tetapi dia seorang yang amat tabah dan keras hati. Sejak kecilnya, setelah timbul pengertian, hampir tak pernah dia menangis. Biar dalam perkelahian mengalami babak bundas dan kesakitan, dia tidak pernah menangis, bahkan tidak mau mengeluh. Kini pun hatinya menangis dan ada pula penyesalan besar di dalam hatinya bahwa dia telah membikin celaka ayah ibunya. Akan tetapi dia tidak memperhatikan tangisnya itu.
“Kalau ayah dan ibu tidak mau pergi bersamaku, biarlah aku pergi sendiri.”
“Ke mana, Ken Arok? Kau hendak pergi ke mana anakku?”
“Aku akan pergi mencari uang pengganti kerbau Pak Lurah Lebak!” katanya dan dia pun larilah meninggalkan rumahnya.
Ki dan Nyi Lembong tak dapat menahannya, apalagi memang mereka pun harus pergi cepat-cepat berangkat ke Lebak sebelum Pak Lurah mengambil tindakan. Lebih baik mendahuluinya menghadap ke Lebak, mengakui kesalahan dan menyediakan tenaga mereka untuk bekerja bakti membayar kerugian yang diderita Pak lurah.
Di dalam sebuah gua yang terpencil sunyi di daerah hutan Rabut Jalu, duduk seorang laki-laki yang sedang bertapa. Dia bertapa bukan mencari kesaktian, juga bukan mencari kesucian atau kemajuan batin, melainkan dia bertapa karena putus asa...