Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 03

Sonny Ogawa

Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - Pria berusia lima puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus, berkumis lebat, matanya tajam agak kemerahan dan sikapnya seperti orang yang suka melakukan kekerasan. Akan tetapi pada saat itu, dia putus asa dan nasibnya hampir sama dengan nasib yang menimpa diri anak belum dewasa Ken Arok.

Cerita silat Indonesia karya Kho Ping Hoo

Dia telah kalah j*di habis-habisan di Dusun Karuman. Demikian besar kekalahannya sehingga bukan hanya uangnya yang habis, juga semua harta bendanya, rumah dan sawah. Yang tinggal hanya keluarga, dua orang istri dan beberapa orang anak yang tidak sehari pun boleh berhenti makan!

Maka, saking bingung dan kesal hatinya,juga putus asa, pergilah dia tanpa pulang lebih dahulu, ke gua Rabut Jalu yang terkenal angker, keramat dan jarang ada orang berani datang memasuki gua itu. Tekadnya, kalau di tidak memperoleh petunjuk dewa dan menemukan jalan keluar untuk mengatasi keadaannya, biarlah dia mati di situ.

Berprihatin atau bertapa, juga berpuasa, amatlah baik bagi kejernihan batin. Dalam keadaan bertapa, orang tidak memikirkan apa-apa lagi dan batin menjadi kosong, sehingga jernih dan waspada. Berbeda dengan keadaan sehari-hari di mana batin selalu dibisingkan oleh pikiran.

Pada hari ke tiga setelah Ki Bango Samparan bertapa, pada suatu malam dia teringat kepada Ken Arok! Dia mengenal anak itu karena sama-sama tukang j*di! Dan dia pun sudah mendengar desas desus tentang anak itu bahwa anak itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Jarang dia melihat anak seperti itu, masih belum dewasa akan tetapi telah pandai bermain j*di, bahkan melawan penj*di-penj*di ulung yang sudah dewasa.

Kalau anak itu kalah, hanya karena para penjudi dewasa yang ulung itu menipunya dalam permainan j*di. Akan tetapi sesungguhnya anak itu mempunyai bakat yang baik dan juga mempunyai peruntungan yang baik sekali dalam perj*dian.

Bango Samparan merasa terheran-heran mengapa semalam itu wajah Ken Arok selalu terbayang di depan matanya. Seorang keturunan Sang Hyang Brahma, mustahil kalau tidak luar biasa dan tidak mendatangkan berkah, demikian bisikan hatinya.

Setelah malam lewat, pada keesok harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar meninggalkan gua itu dengan wajah yang cerah, walaupun agak pucat karena perutnya terasa lapar setelah tiga hari tiga malam tidak kemasukan apa-apa. Pikirannya tentang Ken Arok itu dianggapnya sebagai bisikan para dewa! Itulah jalan keluarnya. Dia harus mendekati dan menggandeng Ken Arok, keturunan Sang Hyang Brahma!

Dan setelah mengisi perut sekedarnya, mulailah dia pergi mencari Ken Arok. Akan tetapi baik di Dusun Pangkur maupun di Cempoko, dia tidak dapat menemukan Ken Arok, bahkan ia mendengar bahwa orang tua Ken Arok telah menghambakan diri kepada Lurah Lebak, sedangkan anak itu sendiri entah pergi ke mana.

Dalam hati penuh keprihatinan Bango Samparan mulai mencari-cari dan akhirnya pada suatu malam, bertemulah di dengan anak itu di tengah jalan! Bukan main girang rasa hati Bango Samparan. Perjumpaan ini dianggapnya pula sebagai petunjuk para Dewata!

“Ken Arok, engkaukah itu?” tergurnya ketika mereka berpapasan di jalan.

“Paman Bango Samparan? Hendak ke manakah, Paman?”

“Mencarimu, anakku. Sudah beberapa hari mencarimu ke Pangkur dan Cempoko, kiranya bertemu di sini.”

“Ada keperluan apakah Paman mencariku?” tanya Ken Arok, kedua kakinya siap untuk melarikan diri kalau orang ini diutus Pak Lurah Lebak untuk menangkapnya.

Bango Samparan bukan seorang bodoh. Dia sudah mendengar tentang kekalahan-kekalahan Ken Arok yang menyebabkan Ki dan Nyi Lembong terpaksa menghambakan diri ke di Lebak. “Aihh, anakku yang baik. Aku sudah mendengar tentang nasibmu yang amat buruk. Aku merasa kasihan kepadamu dan aku sudah bertemu dengan kedua orang tuamu. Mereka menyerahkan engkau kepadaku untuk memelihara dan mendidikmu. Marilah, Nak, kau ikut bersamaku ke rumahku dan mulai sekarang engkau kuanggap sebagai anakku sendiri.”

Hampir Ken Arok tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Dia sudah berkeliaran ke sana sini, sudah sampai ke Dusun Kapundungan, mencari pekerjaan. Akan tetapi siapa memberi pekerjaan kepada seorang anak kecil yang tenaganya belum beberapa kuat? Seringkali dia menderita lapar dan haus, dan hanya batinnya yang kuat dan tabah sajalah yang membuat dia masih dapat tertahan.

Dan kini, dalam perjalanannya menuju ke Dusun Karuman, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Ki Bango Samparan, juga seorang penjudi besar, yang tiba-tiba saja menawarkan diri untuk memelihara dan mendidiknya, mengambilnya sebagai anak. Serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Terima kasih Paman, terima kasih atas kebaikan hati paman kepada aku, anak yang malang ini...”

“Paman? Engkau sekarang menjadi anakku, harus menyebut bapak kepadaku, ibu kepada istriku dan saudara kepada anak-anakku!” kata Bango Samparan dengan girang, membangkitkan Ken Arok dan menggandengnya, membawanya pulang ke Karuman.

Ki Bango Samparan mempunyai dua orang istri. Yang pertama bernama Genuk Buntu. Nyi Genuk Buntu tidak mempunyai anak, oleh karena itu ketika suaminya membawa pulang Ken Arok menjadi anak angkat, Nyi Genuk girang sekali. Apalagi Ken Arok adalah seorang anak yang berwajah tampan dan bertubuh sehat. Tidak kalah oleh anak-anak tirinya.

Istri ke dua Bango Samparan bernama Tirtoyo dan istri muda inilah yang mempunyai banyak anak. Ada lima orang anaknya, empat pertama laki-laki bernam Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal dan Panji Kenengkung, sedangkan yang bungsu seorang anak perempuan bernama Cucupuranti, yang sudah menjadi perawan cilik yang manis, sebaya dengan Ken Arok yang sudah berusia empat belas tahun.

Entah kebetulan, memang para dewa memberkahi Bango Samparan lewat Ken Arok, buktinya, ketika ada perj*dian besar-besaran, Bango Samparan mengajak Ken Arok dan diapun memperolah kemenangan yang amat besar! Memang tak dapat disangkal bahwa perjalanan hidup manusia ini banyak sekali dipengeruhi oleh “Hal-hal yang kebetulan!"

Yang dinamakan hal yang kebetulan adalah hal-hal yang terjadi di luar persangkaan kita, di luar perhitungan akal, bahkan kadang-kadang merupakan hal yang agaknya tidak mungkin. Banyak manusia mengalami perubahan hidup yang amat besar hanya karena “kebetulan” itulah!

Dan yang kebetulan ini, yang tak dapat diperhitungkan dengan akal ini, itulah yang mujijat, yang gaib, yang tak terjangkau oleh akal pikiran, seolah-oleh sudah “ada yang mengeturnya”. Padahal, semua yang terjadi itu, betapa pun penuh rahasia, sesungguhnya bersumber dari diri pribadi. Ada orang bicara tentang rejeki.

Orang boleh mencari makan, boleh mencari uang, akan tetapi rejeki orang tidaklah sama. Seolah-olah pada diri setiap manusia sudah ada takaran dan ukurannya sendirisendiri. Betapapun banyaknya kita mendapatkan hasil, kalau memang takarannya hanya segelas kecil, maka selebihnya akan tumpah dari gelas itu, meluap dan meluber akhirnya yang tinggal hanya satu gelas itu saja, entah melalui pembiayaan karena sakit, entah karena kehilangan, kebakaran dan lain lagi.

Kalau takarannya itu segentong besar, biar nampak air rejeki mengalir sedikit-sedikit, akhirnya akan penuh juga segentong besar karena tidak ada yang tumpah. Dan besar kecilnya takaran atau ukuran inilah yang terletak pada diri sendiri! Dengan cara hidup kita, dengan isi batin kita yang lahir menjadi perbuatan-perbuatan, maka “takaran” ini bisa saja membesar maupun mengecil!


Hasil yang diperoleh Bango Samparan dan yang dapat menolong keadaannya yang serba sulit itu mebuat dia dan istri pertamanya semakin cinta kepada Ken Arok. Akan tetapi, hal ini menimbulkan iri dalam hati para anak istri muda itu, kecuali Cucupuranti tentu saja karena setelah berkenalan, segera nampak keakraban antara Cucu puranti yang manis dengan Ken Arok yang ganteng.

Justru keakraban agak mesra inilah yang membuat hati istri muda Bango Samparan semakin tidak suka. Mulailah terjadi perselisihan dan bentrokan karena Ken Arok dalam keluaga Ki Bango Samparan.

Sejak kecil Ken Arok adalah anak yang miskin, hanya anak keluarga maling. Akan tetapi justru dalam kemiskinannya itu tumbuh suatu keangkuhan yang bukan bersifat kesombongan melainkan harga diri yang tinggi, tidak mau tunduk dan tidak mau merendah terhadap orang lebih kaya. Demikianlah watak Ken Arok. Melihat betapa keluarga istri muda ayah angkatnya itu tidak suka kepadanya, pada suatu malam dia minggat dari rumah itu.

“Kakang Arok....!”

Tiba-tiba terdengar bisikan halus ketika dia sudah meninggalkan rumah itu dengan diam-diam, di sebuah jalan tikungan yang sunyi. Dia berhenti dan menoleh. Kiranya Cucupuranti yang memanggilnya dan dia pun membalikkan tubuhnya menghadapi perawan remaja itu.

“Kau kah itu, Puranti? Kenapa kau menyusulku? Katakan saja kepada Bapak Bango Samparan bahwa aku tidak mau lagi kembali ke sana, aku ingin merantau.”

“Aku tidak disuruh oleh Bapak, Kakang.”

“Habis, mau apa kau menyusulku?”

“Kakang Arok, aku mau ikut kalau kau pergi.”

“Ikut? Ehhh... kenapa? Bukankah kau tinggal senang-senang di rumah bersama saudara-saudaramu?”

“Tapi aku..... aku tidak mau kau tinggalkan, Kakang.”

Sesuatu yang aneh terjadi dalam dada Ken Arok. Jantungnya berdebar keras dan dia pun melangkah maju. “Puranti, kenapa begitu?”

“Kakang... aku akan bersedih kalau kau tidak ada. Aku.... aku senang sekali bersamamu, Kakang Arok.” Dan anak itu pun menangis.

Ken Arok merangkulnya dan Cucupuranti menangis di pundaknya. Ken Arok mengelus rambut yang panjang halus itu. “Aku pun suka kepadamu, Puranti. Akan tetapi aku harus pergi merantau. Tak baik aku makan nasi orang begitu saja tanpa bekerja yang berarti. Aku akan merantau mencari pekerjaan, dan kalau kelak aku sudah menjadi orang yang berhasil, aku akan datang, menjumpaimu.”

“Benar, Kakang? Dan kau akan mengajakku untuk hidup bersamamu?”

Ken Arok terkejut. “Hidup.... bersamaku? Maksudmu.... maksudmu menjadi.... istriku?”

Dari atas dada Ken Arok, dara itu mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah. Ia mengangguk. “Apa engkau tidak mau, kakang? Katakanlah engkau suka padaku?”

“Yaaa..... ya.... aku suka, tapi..... ah, bagaimana nanti sajalah, Puranti. Pendeknya, aku berjanji bahwa kelak aku akan menjemputmu.”

“Kau tidak akan lupa kepadaku?” tanya dara itu manja.

“Aku? Lupa padamu? Ah, siapa bisa melupakan perawan manis seperti engkau ini?” Dan entah apa yang menggerakkan, tahu-tahu Ken Arok menundukkan mukanya dan bibirnya menyentuh bibir gadis itu, hidungnya menyentuh pipi. Akan tetapi hanya sebentar saja lalu diangkatnya lagi mukanya yang menjadi merah dan dadanya gemetar.

“Kenapa, Kakang? Lagi, Kakang......!” bisik Cucupuranti.

Ken Arok tidak menjawab, lalu kini mencium dengan hidungnya pada pipi kedua gadis itu dengan penuh kasih sayang, lalu melepaskan pelukannya. “Aku pergi, Puranti!” Dan seperti dikejar setan dia pun lari dari situ.

“Kakang Arok......!” Puranti berteriak mengejar, akan tetapi Ken Arok tidak perduli dan berlari semakin cepat sampai lenyap dan gadis itu tidak mampu mengejarnya lagi, melainkan menangis dan pulang memberi laporan bahwa Ken Arok telah minggat.

Setelah lari agak jauh, Ken Arok berhenti. Napasnya terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan hal lain. Dia merasa terheran-heran dan tidak sadar bahwa dia mulai menginjak akhil balik, masa remaja yang mulai dewasa, sudah menginjak masa bir4hi.

* * *

Ken Arok yang melarikan diri itu sampai ke Dusun Kapundungan. Hari sudah siang ketika memasuki dusun itu dan di sebuah tegalan yang sunyi dia melihat sebuah perkelahian. Seorang pemuda remaja sedang dikeroyok olah enam pemuda lain, bahkan di antara para pengeroyok itu ada yang sudah besar dan dewasa.

Akan tetapi anak yang bertubuh tinggi kurus itu melakukan perlawanan dengan gigih. Pakaiannya sudah robek-robek dan tubuhnya sudah babak-belur, akan tetapi dia masih terus melawan pengeroyokan enam orang itu.

“Tangkap dia!”

“Hantam saja pencuri itu!”

“Mentang-mentang anak pinisepuh desa mau main curi milik orang saja!”

Biarpun Ken Arok mendengar ucapan-ucapan itu yang menyatakan bahwa anak yang sedang dikeroyok itu agaknya mencuri sesuatu, namun jiwa keadilannya memberontak melihat seorang anak dikeroyok begitu banyak orang. Apalagi kalau hanya mencuri, dia sendiri pernah melakukannya karena dia pun anak pencuri! Maka timbul jiwa setia kawan dan tanpa banyak cakap lagi Ken Arok terjun ke gelanggang perkelahian iu membela anak tinggi kurus.

Semua anak yang mengeroyok tidak mengenal Ken Arok, akan tetapi Ken Arok yang tadi sudah memungut sepotong kayu dan kini mengamuk, mengejutkan dan membuat mereka gentar karena di antara mereka ada yang terkena pukulan di kepalanya sampai benjol-benjol dan larilah mereka berhamburan meninggalkan Ken Arok dan anak yang tadi dikeroyok.

“Terima kasih, Kawan,” Kata anak tinggi kurus itu sambil tersenyum.

Ken Arok merasa semakin suka. Anak ini tabah sekali, pikirnya. Sudah pakaiannya robek-robek, badannya babak belur, hidungnya dan bibirnya berdarah, masih dapat tersenyum dan berterima kasih padanya.

“Tidak mengapa sobat. Sebetulnya kau mencuri apa sih sampai mereka itu begitu marah mengeroyokmu?”

Wajah pemuda kurus itu berubah agak khawatir dan sampai lama dia tidak menjawab, hanya memandang wajah Ken Arok penuh selidik.

Melihat ini, Ken Arok tertawa. “Jangan khawatir, aku pun kadang-kadang mencuri kalau terpaksa dan kalau kelaparan.”

Wajah pemuda itu nampak lega dan tersenyum kembali. “Aku tidak kelaparan dan keluargaku cukup mampu. Ketahuilah bahwa ayahku adalah Ki Ageng Sagenggeng, buyut (ketua dusun) di Sagenggeng.”

Ken Arok membelalakkan matanya. “Wah ini baru namanya aneh sekali! Anak seorang buyut kok nyolong! Apa sih yang kau curi?”

“Aku mencuri bukan karena kelaparan akan tetapi karena tidak dapat manahan keinginan mulutku. Aku mencuri ini......!” Dia lalu lari ke balik semak dan keluar kembali membawa sebuah paha kambing yang sudah dikuliti, paha yang gemuk bergajih.

“Ha-ha-ha!” Ken Arok tertawa bergelak. “Aku setuju seratus persen kau mencurinya. Baru melihatnya saja sudah keluar air liurku. Mari kita cepat panggang dan makan bersama, sobat baik!”

Keduanya tertawa cekikikan dan segera membuat api unggun dan memanggang paha kambing itu lalu makan bersama tanpa banyak cakap lagi.

Setelah merasa puas, kenyang dan paha itu tinggal tulangnya saja, barulah ia bertanya, “Sobat yang gagah, siapakah engkau?”

“Namaku Ken Arok.”

“Dan namaku Tito, panjangnya Panji Tito.”

“Namamu gagah seperti orangnya. Kau berani menghadapi pengeroyokan enam orang tanpa lari, sungguh gagah sekali.”

“Kau lebih gagah lagi. Setelah kau mengamuk dengan kayu itu, tikus-tikus itu lari tunggang langgang, ha-ha-ha,” Panji Tito tertawa girang lalu disambungnya, “Eh, Ken Arok, engkau dari mana dan hendak ke manakah? Di mana rumahmu?”

“Rumahku?” Ken Arok membentangkan kedua tangannya sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terentang. “Semua inilah rumahku, lihat, langit itu atapku. Tanah ini lantai rumahku, pohon-pohon dan gunung-gunung itu dinding rumahku!”

Panji Tito tertawa geli. “Wah, katakan saja engkau ini seorang gelandangan yang tak mempunyai rumah. Eh, Ken Arok, kalau begitu, mari ikut saja dengan aku. Akan kuhadapkan kau kepada ayahku dan akan kuminta agar dia suka menerimamu.”

Tentu saja ini sangat menyenangkan hati Ken Arok dan berangkatlah kedua orang pemuda itu menuju ke rumah Panji Tito di Dusun Sagenggeng, sebuah dusun yang agak jauh juga dari tempat itu.

Ki Ageng Sahoyo, yaitu pinisepuh Dusun Sagenggeng menerima Ken Arok dengan senang hati. Anaknya, Panji Tito, dikabarkan nakal di luaran maka ia mengharap agar Ken Arok, pemuda yang nampaknya pendiam dan cerdik itu, akan dapat menemaninya dan membawanya menjadi seorang anak yang baik.

Sama sekali dia tidak menduga bahwa Ken Arok adalah anak seorang pencuri, bahkan seorang penjudi besar! Dia seolah-olah memasukkan seekor harimau untuk menghajar seekor kucing!

Di Dusun Sagenggeng itu terdapat seorang pendeta yang berjuluk Begawan Jumantoko seorang kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan terkenal sebagai seorang ahli sastra, juga ahli pencak silat yang sakti mandraguna. Bagawan ini hanya mempunyai sebuah cacat saja, yaitu dia suka sekali kepada wanita yang cantik sehingga sudah terkenallah kalau ada wanita yang cantik berguru kepadanya tentu wanita itu akan digodanya.

Dan akhirnya, berkat kepandaiannya dan kesaktiannya, wanita itu menjadi kekasihnya. Di padepokannya yang luas itu entah terdapat berapa wanita-wanita muda yang menjadi murid, juga pelayan, juga kekasihnya! Namun karena pendeta itu memang pandai dan suka menolong orang, wanita-wanita itu dengan rela menyerahkan diri kepada pendeta itu, bukan karena paksaan.

Begawan Jumantoko ini memang bukan sembarangan orang. Dia masih terhitung kadang (saudara seperguruan) dari Panembahan Pronosidi yang bertapa di Lereng Gunung Anjasmoro, dan sungguh pun dalam hal ilmu kanuragan dan kesaktian dia belum dapat menandingi kakak seperguruannya itu, namun dalam hal sastra dia jauh lebih menang.

Setelah Ken Arok menjadi anak angkat Ki Ageng Sahono, pinisepuh Dusun Sagenggeng, Ki Ageng Sahono lalu membujuk puteranya untuk suka menjadi murid dan mengabdi kepada Begawan Jumantoko. Sudah berkali-kali dia membujuk tapi anak itu tidak suka berguru kepada kakek yang gila peerempuan itu.

Akan tetapi setelah kini Ken Arok menemaninya, akhirnya Panji Tito mau juga menerima bujukan itu. Ken Arok sendiri merasa gembira bukan main ketika diajak pergi berguru. Dia memang ingin memperlihatkan bahwa dia sesungguhnya keturunan Sang Hyang Brahma, pandai dan sakti, tidak kalah oleh orang lain!

Demikanlah, mulai hari itu, mereka berdua diterima menjadi murid dan atau cantrik dari Begawan Jumantoko yang tentu saja merasa girang memperoleh bantuan tenaga dua orang pemuda yang akan meringankan pekerjaan para pelayan atau muridnya.

Dan di tempat inilah, berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita genit, Ken Arok menjadi semakin dewasa dan cepat matang berkat asuhan dan bimbingan para murid perempuan yang cantik-cantik dan genit-genit itu...!

* * *

"Angger, Joko Handoko, bukan begitu caraya melakukan jurus itu. Masih kurang "isi", karena yang kau mainkan itu hanya kulitnya saja, hanya nampak indah namun tanpa memiliki daya serang yang besar. Lihat pohon di depanmu itu hanya bergoyang daunnya saja."

Ucapan itu keluar dari mulut Panembahan Pronosidhi yang duduk bersila di atas batu hitam, sedangkan di depannya, seorang pemuda yang berkulit kuning putih dan berwajah tampan sedang memperlihatkan latihan ilmu pencak silat.

Sejak tadi, panembahan itu hanya menonton saja, kadang-kadang mengangguk-angguk karena cucunya ini ternyata telah mampu mewarisi hampir seluruh ilmu pencak silat yang diajarkannya semenjak anak itu masih kecil sekali. Joko Handoko adalah cucunya, putera dari anak perempuannya, Dyah Kanti.

Seperti yang kita ketahui, ayah anak ini adalah mendiang Ginantoko yang tewas ketika anak itu masih dalam kandungan ibunya. Oleh Panembahan Pronosidhi, Dyah Kanti yang menjadi janda itu diajak pulang ke padepokannya di lereng Pegunungan Anjasmoro. Setelah anak itu telahir, oleh kakeknya diberi nama Joko Handoko dan anak ini memang tampan sekali, seperti mendiang ayahnya.

Karena menerima gemblengan dari kakeknya sendiri penuh kasih sayang, apalagi karena memang Joko Handoko memiliki bakat yang amat baik, maka setelah kini berusia delapan belas tahun, Joko Handoko telah menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna, bukan hanya pandai memainkan jurus-jurus ampuh dari pencak silat aliran Hati Putih dari kakeknya, akan tetapi juga memiliki kekuatan sakti di dalam tubuhnya berkat latihan semadhi dan bertapa.

Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran karena hanya mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia ketikia dia masih dalam kandungan tanpa diketahuinya apa sebab kematiannya karena baik ibunya maupun kakeknya tidak pernah bercerita tentang kematian ayahnya itu.

"Eyang Panembahan, jurus yang paling akhir Eyang berikan kepada saya ini memang sukar bukan main," Pemuda itu mengakhiri gerakan silatnya dan menyeka keringat yang membasahi leher, dada dan mukanya.

Sang panembahan tersenyum dan mengelus jenggotnya yang sudah putih semua walaupun usianya baru enam puluh tahun. Ketika dia tersenyum, nampak bahwa giginya masih utuh dan putih bersih, tanda bahwa panembahan ini menjaga baik-baik kesehatan tubuhnya.

"Angger, cucuku, jangan merasa heran kalau jurus itu tidak mudah, karena jurus itu, walaupun pada dasarnya masih bersumber kepada aliran Hati Putih, yaitu aliran silat kita, akan tetapi jurus itu adalah ciptaanku sendiri yang kuberi nama Jurus Nogopasung!"

"Nogopasung...." Pemuda itu terperanjat. "Eyang, bukankah Nogopasung itu nama keris pusaka milik ibu yang katanya merupakan peninggalan dari ayah, dan ciptaan atau empaan dari Eyang Empu Gandring?"

Kakek itu menarik napas panjang. "Tidak keliru, Joko Handoko. Eyangmu Empu Gandring adalah seorang empu yang sukar dicari tandingannya di jagat raya ini dalam keahliannya membuat keris pusaka. Karena aku sendiri merasa tidak ada se-kuku hitamnya dibandingkan dengan dia dalam hal pembuatan keris, maka aku mencoba untuk mengimbangi keampuhan keris yang telah diberikan kepada ibumu untuk kelak menjadi milikmu itu dengan sebuah jurus yang kuberi nama Nogopasung."

Tentu saja Joko Hamdoko merasa gembira bukan main. "Wah, pantas sekali begitu sukar kiranya menguasai jurus ini. Eyang. Kiranya Eyang sengaja membuatkan untuk saya."

"Selama hampir setahun aku mutih (makan nasi dan air putih saja), baru berhasil. Dan engkau pun baru berlatih selama tiga bulan. Sedikitnya setahun baru engkau akan mampu menguasai jurus ini. Itupun harus kau lakukan dengan jalan mutih dan juga berpuasa sepekan sekali."

"Hal itu sudah kutaati dan saya lakukan sejak mempelajarinya, Eyang. Akan tetapi hasilnya ternyata menurut Eyang masih kurang memuaskan."

"Jurus itu dapat dimainkan dengan tangan kosong sebagai pengganti keris, juga tentu saja amat tepat kalau dimainkan dengan menggunakan keris, terutama keris Kyai Nogopasung sendiri. Belajarlah dengan giat, latihlah jurus itu dengan tekun dan perkuat batinmu. Perbanyak samadhi menghimpun tenaga batinmu, kurangi makan dan tidur."

"Baik, Eyang, akan saya taati perintah Eyang. Akan tetapi Eyang, kalau boleh saya memohon....."

Kakek itu memandangnya dengan tersenyum. "Apakah yang kau inginkan, Cucuku?"

"Saya masih penasaran karena selama tiga bulan ini saya sudah berlatih dengan sekuat tenaga. Kalau sampai sekarang masih belum baik hasilnya, lalu sampai yang bagaimanakah baiknya, Eyang. Sudilah Eyang memperlihatkan kepada saya jurus itu sampai pada puncak kesempurnaannya?"

"Heh-heh-heh, orang muda selalu memang ingin tahu. Akan tetapi memang demikianlah seharusnya. Kalau orang muda tidak memiliki keinginan tahu yang besar untuk mengerti segala hal di dunia ini, maka hidupnya seperti mandeg dan dia seperti sudah mati sebelum hayat meninggalkan badan. Hanya, kau nakal sekali, aku yang sudah setua ini masih disuruh menjual lagak! Ha-ha-ha!"

"Tapi, Eyang. Yang melihat hanya saya sendiri, tidak ada orang lain lagi, mana bisa dibilang menjual lagak?"

"Nah, nah, di sini letak kekuranganmu, cucuku. Jangan terlalu membiarkan dirimu terseret oleh suatu arus yang menyita seluruh kewaspadaanmu sehingga engkau tidak melihat datangnya dua orang menuju ke sini." Kakek itu memandang arah kiri dan Joko Handoko juga memandang.

"Ibuuuu....!" serunya, akan tetapi seruan yang disertai wajah gembira itu tiba-tiba saja ditahannya ketika dia melihat bahwa ibunya tidak datang sendirian, melainkan bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pria yang dalam usia setengah tua itu masih nampak gagah dan tampan, dengan pakaian sebagai seorang priyayi, dengan sikap yang ramah dan senyumnya selalu menghias wajahnya yang tampan.

"Ah, Raden Pringgoloyo, sudah lamakah Raden mengunjungi padepokan kami yang sederhana ini? Baik-baik sajakah keadaan Raden?"

Pria yang bernama Raden Pringgoloyo itu tersenyum, melirik ke arah Dyah Kanti lalu menoleh kepada Joko Handoko yang masih berdiri dengan kepala menunduk. "Terima kasih Paman, dengan berkah dan doa restu paman panembahan, saya berada dalam keadaan selamat dan semoga paman sudi menerima sembah bakti saya. Paman selalu menyebut padepokan ini sederhana, buruk dan sebagainya, padahal yang saya kunjungi bukanlah padepokannya, melainkan orangnya, Paman. Saya baru saja tiba dan kebetulan bertemu Diajeng Kanti di luar pintu padepokan." Lalu dia menoleh kepada Joko Handoko.

"Wah, keringatmu masih membasahi tubuh. Agaknya engkau baru saja berlatih. Sudah memperoleh kemajuan pesat, anakku Handoko?"

Makin sebal rasa hati Handoko mendengar sebutan "anak", mengingatkan bahwa orang ini akan menjadi ayah tirinya. Ibunya sudah mengambil keputusannya untuk menerima pinangan Raden Pringgoloyo ini, menjadi istri ke dua, dan kakeknya juga sudah menyetujuinya! Akan tetapi dia sendiri, yang tidak pernah ditanya pendapatnya, diam-diam merasa iri dan tidak senang. Bagaimana ibunya, seorang yang begitu lama menjanda, kini tiba-tiba saja ingin kawin lagi, dan menjadi istri ke dua?

Akan tetapi karena ditanya, dan karena dia sejak muda sekali sudah diajar sopan santun oleh eyangnya, lalu menjawab, "Lumayan saja, Paman."

"Tidak seperti biasanya, Raden berkunjung begini pagi, biasanya di waktu senja. Apakah hanya akan anjang sono ataukah ada keperluan lain, Raden?" tanya Panembahan Pronosidhi dengan suaranya yang selalu halus dan sabar.

"Pertama untuk beranjang sono, dan kedua kalinya juga ada keperluan, paman panembahan. Saya datang untuk memohon persetujuan paman agar diperkenankan mangajak diajeng Dyah Kanti ke kadipaten hari ini karena saya akan memeperkenalkan kepada keluarga saya, sebelum pernikahan dilangsungkan dengan resmi."

Wajah kakek itu nampak berseri. "Ah, suatu tindakan yang bijaksana sekali, raden. Akan tetapi perjalanan dari sini ke kadipaten bukan dekat."

"Kami mau naik kuda, Ayah," kata Dyah Kanti cepat. Ia adalah seorang keturunan pendekar sakti, biarpun wanita, ia memiliki kesaktian dan juga kesigapan. Menunggang kuda bukan merupakan hal yang sukar atau asing baginya.

"Jadi kau telah membawa dua ekor kuda, Raden? Baiklah, hati-hati di jalan dan jangan terlalu malam pulangnya nanti."

Dyah Kanti lalu menghampiri Joko Handoko dan mengelus kepala anaknya. "Handoko, ibu mau pergi dulu ke kadipaten. Engkau minta dibawakan oleh-oleh apakah, anakku?"

"Kalau ibu hendak pergi, pergilah saja, aku tidak ingin dibawakan apa-apa Ibu. Terima kasih," kata Joko Handoko dan dia pun mulai bersilat lagi untuk latihan tanpa memperdulikan ibunya dan calon ayahnya itu.

Ibunya saling pandang dengan calon suaminya, lalu tersenyum masam dan berpemit dari ayahnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki dua ekor kuda yang membalap keluar dari padepokan, menuruni Lereng Gunung Anjasmoro menuju Kadipaten Wonoselo, di mana Raden Pringgoloyo adalah keponakan dari adipati di Wonoselo.

Setelah derap kaki kuda itu tidak terdengar lagi, barulah Panembahan Pronosidhi menegur cucunya. "Joko Handoko, hentikan latihanmu. Eyang mau bicara denganmu sebentar."

Pemuda itu menghentikan silatnya dan duduk bersimpuh di atas rumput, di depan batu hitam. "Ada perintah apakah, Eyang?"

"Aku ingin bicara denganmu tentang ibumu, Cucuku!"

Wajah yang biasanya ceria dan penuh senyum itu kini menjadi muram. "Apa lagi yang hendak dibicarakan, Eyang? Ibu akan menikah lagi dengan Raden Pringgoloyo keponakan Sang Adipati di Wonoselo, dan Eyang sudah memberi restu. Mau apa lagi?"

Sungguh pahit sekali nada yang terkandung di dalam ucapan sederhana itu dan sang panembahan menarik napas panjang, akan tetapi tetap tesenyum. "Joko, baru saja aku melihat sikapmu tadi yang tak ramah terhadap ibumu dan terhadap Raden Pringgojoyo, hal itu menujukkan bahwa engkau pada hakekatnya tidak setuju kalau ibumu menikah dengan dia. Bukankah demikian, Cucuku?"

"Ampun, Eyang. Saya hanya anak-anak tidak tahu apa-apa. Akan tetapi sesungguhnya, saya kira tidak patut kalau ibu menikah, baik dengan Raden Pringgoloyo maupun dengan pria manapun juga!" Suaranya berapi-api, tanda bahwa ucapan itu merupakan pendaman perasaan di dalam hatinya yang selama ini ditekan-teannya.

Kakek itu mengengguk-angguk, maklum apa yang terpendam di dalam hati cucunya. "Cucuku, kenapa engkau berpendapat demikian?"

"Tentu saja, Eyang! Sejak saya dalam kandungan, ayah kandung saya telah meninggal dunia dan bagaimana dia meninggal dunia, masih belum saya ketahui sebabnya karena agaknya ibu maupun eyang masih merahasiakannya. Tak mungkin ayah mati begitu muda tanpa sebab. Dan sekarang, setelah ibu menjadi janda selama delapan belas tahun, tiba-tiba saja ibu hendak kawin lagi, menjadi selir! Bukankah hal itu amat memalukan?"

"Memalukan? Malu kepada siapa, Cucuku?"

"Malu kepada orang-orang tentu saja, Eyang."

"Ee, Lhadalah! Mengapa begini aneh pendapatmu, cucuku? Urusan kawin adalah urusan pribadi antara dua orang, kenapa harus ada rasa malu kepada orang lain? Apakah kehidupan kita, termasuk pernikahan, harus diatur oleh orang-orang lain? Siapa yang berhak mengatur dan menentukan?"

"Memang, merupakan urusan pribadi dan diri sendiri yang mengatur dan menentukan. Akan tetapi ada pendapat umum bahwa janda yang sudah tua, tidak patut kawin lagi. Dan andaikata tidak malu kepada orang lain, setidaknya juga malu kepada diri sendiri!"

"Wah-wah-wah, lebih aneh lagi ini, cucuku. Orang harus malu kepada diri sendiri kalau dia melakukan sesuatu yang tidak baik, kalau dia melakukan seuatu yang jahat dan jahat ini berarti merugikan orang lain, bagaimana ia harus malu terhadap diri sendiri?"

"Ampun, Eyang, bukan saya ingin berbantah-bantahan dengan Eyang atau tidak mentaati petunjuk Eyang. Akan tetapi, setidaknya ibu harus merasa bahwa sayalah orang yang dirugikan kalau ibu menikah lagi!"

"Aha! Begitukah? Ah, jadi itukah gerangan yang membuat engkau tidak senang hati, dan menggangap ibumu melakukan sesuatu yang salah, yang jahat karena merugikan dirimu? Sekarang jelaskan, kerugian apakah yang kau derita dengan kawinnya ibumu dengan Raden Pringgojoyo, cucuku" Suara Panembahan itu masih penuh dengan kehalusan sehingga cucunya tidak merasa dimarahi dan tidak menjadi gugup atau takut.

"Tentu saja saya rugi karena menjadi anak tiri!"

"Bukankah malah menguntungkan karena engaku mendadak saja, engkau yang sudah tidak mempunyai seorang ayah, tiba-tiba kini mempunyai seorang ayah, walaupun ayah tiri?"

"Ayah tiri mana bisa menggantikan ayah kandung, Eyang? Ayah tiri, mana ada yang baik?"

"Calon Ayah tirimu itu, Raden Pringgoloyo, adalah seorang yang baik, cucuku. Kalau aku tidak yakin akan kebaikannya, mana mungkin aku merestui rencana perkawinan mereka? Dia pernah menjadi muridku ketika masih muda, aku tahu wataknya. Dan ingatlah, ayah kandung sendiri belum tentu baik, Cucuku!"

Pendeta itu termangu, teringat akan keadaan mantunya, Ginantoko, seorang yang biarpun tadinya amat baik, kemudian menjadi seorang mata keranjang yang mendatangkan banyak permusuhan dan bencana.

"Maksud Eyang... apakah mendiang ayah kandung saya tidak baik?"

Kakek itu sudah terlanjur bicara dan memang kini dianggap sudah saatnya untuk memperkenalkan cucunya kepada mendiang ayahnya, karena Joko Handoko sudah berusia delapan belas tahun, sudah cukup dewasa. Maka dengan suara tenang, dengan halus dan sabar, kakek itu bercerita tentang petualangan Ginantoko sampai kemudian dia meninggal di tangan musuhnya.

Sejak tadi Joko Handoko mendengarkan dengan wajah yang tidak berubah. Memang pemuda itu sudah menerima gemblengan yang hebat dari eyangnya sehingga apa yang terasa di hatinya tidak samapi mengguncang batin dan tidak nampak pada wajahnya. Setelah eyangnya selesai bercerita, barulah dia berkata,

"Jadi, pembunuh mendiang ayah kandung saya adalah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembaga dari lembah Gunung Kawi, Eyang?"

"Benar, akan tetapi dia tidak mampu menewaskan ayahmu kalau saja dia tidak mempergunakan keris pusaka yang dipinjamnya dari eyangmu Empu Gandring, yaitu keris pusaka Nogopasung....."

"Apa....!!" Kini pemuda itu terkejut akan tetapi segera dapat menguasai hatinya. "Jadi keris pusaka peninggalan ayah itu.... keris itu malah yang telah membunuh ayahku?"

"Dengarlah baik-baik, cucuku. Mendiang ayahmu, Ginantoko, telah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia mengejar-ngejar wanita, bahkan tidak segan-segan mempermainkan wanita yang sudah menjadi bini orang. Dia merayu dan menjinai isteri Ki Bragolo, dan itulah sebabnya maka terjadi permusuhan sehingga ayahmu tewas di ujung keris Nogopasung. Akan tetapi bersama dengan darah ayahmu, keris itu pun ternoda darah Galuhsari, sehingga percampuran darah pria dan wanita itu tidak dapat lenyap dan tetap menodai keris pusaka itu."

"Galuhsari.....?"

"Yaa, isteri Ki Bragolo sendiri."

"Ahh....!" kini Joko Handoko termangu-mangu, kehilangan akal. Ayahnya memang bersalah dan agaknya banyak hal yang perlu dibuat penasaran kalau Ki Bargolo membunuh ayahnya, bahkan orang itu telah kehilangan isterinya pula. Akan tetapi yang membuat dia penasaran, kenapa justeru keris Nogopasung itu yang membunuh ayahnya? Bukankah keris itu ciptaan Empu Gandring, dan bukankah ayah kandungnya itu keponakan dan murid Empu Gandring sendiri?

"Eyang, apakah eyang Empu Gandring demikian marah kepada mendiang ayahku sehingga beliau menyerahkan keris pusaka itu kepada Ki Bragolo agar ayah dapat dibunuhnya?"

"Hushh...! Jangan bicara yang bukan-bukan, cucuku! Eyangmu Empu Gandring adalah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Semua itu sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, tidak ada dosa tak terhukum dan segala hal yang kebetulan itu hanya nampaknya saja kebetulan, akan tetapi sesungguhnya sudah ada yang mengaturnya.

"Karena itu, semua ini kuceritakan kepadamu agar engkau mengerti duduknya perkara. Kalau tidak, dan engkau mendendam kepada Ki Bragolo yang membunuh ayahmu, hal itu berarti engkau hendak membela yang bersalah, cucuku. Dan kini engkau tentu maklum betapa lama ibumu menderita. Ibumu telah menahan derita selama belasan tahun. Biarpun banyak sekali pria yang datang meminang, ibumu selalu menolak karena mengingat bahwa engkau masih kecil.

"Ibumu tidak ingin menyerahkan pendidikanmu ke dalam tangan ayah tiri. Akan tetapi, sekarang engkau telah dewasa dan ibumu hanya seorang manusia biasa saja, yang membutuhkan kasih sayang seorang pria. Apakah engkau kini tega hati untuk mencegah ibumu menikmati hidupnya setelah belasan tahun merana...?"

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.