Jodoh Si Naga Langit Jilid 13

Sonny Ogawa
13.1. PENYAMARANMU DALAM BAHAYA!

“Bagaimana Bi Lan? Engkau tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersamaku, bukan?” Thian Liong ingin sekali melakukan perjalanan bersama Bi Lan terdorong oleh keinginan untuk membalas kebaikan gadis itu dan, untuk membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menghina atau merendahkan gadis itu. Apalagi kalau dia teringat bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri yang dia hormati.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akhirnya gadis itu mengangguk. “Akan tetapi bukan berarti aku ikut engkau atau engkau ikut aku, Thian Liong, melainkan hanya kebetulan saja kita melakukan perjalanan bersama.”

Thian Liong tersenyum, ingat akan ucapannya tentang dia melakukan perjalanan bersama Puteri Moguhai. “Tentu saja, Bi Lan.”

“Dan mulai sekarang, di depan semua orang, engkau jangan menyebut Bi Lan kepadaku.”

“Eh? Lalu menyebut apa?”

“Sebut saja Han, tanpa embel-embel apa pun.”

“Lho, mengapa begitu?”

“Akan kau lihat nanti. Tunggu sebentar di sini!” Setelah berkata demikian, Bi Lan menyambar buntalan pakaiannya dan berkelebat lenyap ke balik pohon-pohon.

Thian Liong menggerakkan bahunya, sehingga terasa nyeri pada bahu kanannya, mengingatkan dia akan lukanya dan teringat betapa tadi Bi Lan dengan sungguh-sungguh berusaha mengobatinya. Teringat dan terasa olehnya betapa lembut dan hangatnya jari-jari tangan gadis itu menyentuh lengannya ketika ia membalut luka di pangkal lengan kanannya itu.

Kini gadis itu bersikap aneh, minta dipanggil Han saja dan minta dia menunggu lalu menghilang di balik pohon-pohon. Apa maunya? Akan tetapi dia sabar menunggu. Tidak lama kemudian Thian Liong melihat seorang pemuda muncul dari balik pohon-pohon dan dia terkejut, juga merasa heran. Dia bangkit berdiri, siap menghadapi ancaman. Siapa tahu pemuda itu juga seorang musuh tangguh yang hendak menyerangnya.

Akan tetapi pemuda itu melangkah, menghampirinya dan tersenyum. “Thian Liong, perkenalkan, aku adalah Han.”

Biarpun suara pemuda itu wajar sebagai suara seorang pemuda, namun kata-kata itu tentu saja menyadarkan Thian Liong dengan siapa dia berhadapan. “Bi Lan......!” serunya kagum bukan main.

Gadis itu benar-benar pandai sekali menyamar. Pakaian pria yang agak longgar itu menyembunyikan lekuk lengkung tubuh gadisnya, dan hebatnya, gadis itu dapat mengubah penampilannya, menata rambutnya sehingga dia sendiri pun tidak akan mengenalnya kalau tadi tidak bicara.

“Wah, engkau hebat sekali, Bi Lan. Sungguh aku sama sekali tidak mengenalmu. Engkau benar-benar menjadi seorang pemuda, tidak akan ada orang dapat menduga bahwa engkau seorang gadis!”

“Engkau yang akan membuka rahasiaku kalau engkau masih menyebut namaku seperti itu. Aku bernama Han, jangan lupakan itu.”

Thian Liong tertawa. “Baiklah, Han kalau ada yang bertanya, engkau menjadi apaku?”

“Sahabat, apa lagi? Nah, mari kita berangkat.”

“Ke mana?”

“Mencari makanan, perutku lapar sekali.”

Mereka lalu keluar dari hutan itu, menggendong buntalan pakaian masing-masing. Setelah keluar dari hutan, jalan umum itu membawa mereka memasuki sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Ketika mereka mencari keterangan, mereka diberitahu bahwa itu adalah kota Leng-an dan kota itu terletak di sebelah selatan Telaga Kim-hi yang luas. Kim-hi-ouw (Telaga Ikan Emas) terkenal mengandung banyak ikan emas yang lezat dagingnya.

Thian Liong dan Bi Lan, atau lebih baik kita sebut saja Han seperti yang dikehendaki gadis itu, memasuki sebuah rumah makan yang besar dan ramai dikunjungi orang. Mereka mendapatkan meja di sudut dan Han segera memesan masakan ikan emas yang membuat kota Leng-an terkenal.

Setelah pesanan masakan dihidangkan dan mereka mulai makan, mereka membuktikan sendiri kelezatan, masakan ikan emas telaga itu seperti yang disohorkan orang. Setelah makan minum dengan puasnya, Han dan Thian Liong duduk santai dan baru mereka memperhatikan sekeliling.

Tak jauh dari meja mereka, terdapat tiga orang pemuda yang makan minum sambil bercakap-cakap. Mendengar mereka bicara tentang seorang gadis sedang mencari jodoh dengan cara bertanding ilmu silat, mereka tertarik sekali. Memang pada waktu itu, peristiwa seperti ini merupakan hal yang biasa. Banyak gadis dunia persilatan, oleh ayahnya dicarikan jodoh dengan jalan pi-bu (mengadu ilmu silat), semacam sayembara!

“Sayang aku tidak mempunyai kepandaian silat. Betapa akan senangnya menyunting bunga yang demikian indahnya!” kata seorang di antara mereka.

“Ah, kalau hanya mempunyai ilmu silat sedang-sedang saja, siapa berani mencoba-coba? Gadis itu lihai bukan main. Kemarin saja sudah ada tiga orang calon yang dikalahkan. Kalau kalah, selain sakit badan dan juga sakit hati karena malu,” kata orang kedua.

“Memang sayang sekali. Gadis itu demikian cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, kulitnya putih mulus, akan tetapi ternyata bunga indah itu mempunyai duri yang tajam dan berbahaya. Kabarnya hari ini ia dan ayahnya tidak lagi mengadakan pertunjukan silat. Apa mereka sudah meninggalkan kota ini?” kata orang ketiga.

“Ah, tidak. Aku mendengar bahwa besok pagi gadis itu akan memberi kesempatan lagi kepada yang berminat untuk pi-bu. Kalau kabar ini sudah tersiar dan datang jago-jago dari kota lain, tentu akan ramai sekali.”

“Di mana akan diadakan pi-bu itu?”

“Di mana lagi kalau bukan di tempat yang kemarin, di tepi telaga itu. Besok kita harus nonton, tentu menarik sekali. Aku ingin melihat berapa orang laki-laki lagi yang dirobohkannya dan siapa yang akhirnya beruntung menyunting bunga itu.”

“Ah, kalau aku ogah mempunyai bini seperti itu. Biar cantik jelita, akan tetapi lihai ilmu silatnya. Jangan-jangan setiap hari aku akan dipukul dan ditendangnya!”

Tiga orang itu berhenti bicara. Thian Liong dan Han segera membayar harga makanan. Han mendahului membayarnya sehingga Thian Liong hanya tersenyum saja. Melihat dua orang pemuda ini membawa buntalan pakaian yang ditaruh di atas meja, pelayan rumah makan itu lalu berkata, setelah menerima pembayaran.

“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) agaknya datang dari luar kota. Kalau ji-wi (kalian berdua) membutuhkan pondokan, silakan bermalam di rumah penginapan kami, di belakang itu. Kami mempunyai kamar-kamar yang bersih.”

Thian Liong menoleh kepada Han, menyerahkan keputusannya kepada te¬mannya itu. Sebetulnya, tadi mereka memasuki Leng-an hanya untuk mencari makanan, dan tidak ada rencana untuk menginap.

“Baik, kami akan menginap di sini semalam. Sediakan dua buah kamar yang bersih,” kata Han kepada pelayan.

“Dua buah, Kongcu (Tuan Muda)?”

“Ya, dua buah!” kata Han singkat dan suaranya agak ketus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan pertanyaan pelayan itu.

“Baik, baik, Kongcu. Mari silakan!”

Thian Liong dan Han mengikuti pelayan itu yang mengajak mereka ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakangnya luas dan ada bangunan rumah penginapan yang memiliki belasan buah kamar. Mereka senang melihat kamar untuk mereka itu cukup bersih, biarpun perabotnya sederhana.

Setelah pelayan yang mengantar mereka pergi, Thian Liong bertanya, “Apa yang menarik hatimu sehingga ingin bermalam di kota ini, Han?”

Han memandang wajah Thian Liong dan tersenyum. Hemm, pikir Thian Liong. Penyamaran itu sudah baik sekali, akan ada satu hal yang agaknya terlupa. Kalau tersenyum lebar, lesung yang manis itu muncul di kanan kiri mulut Han, membuat wajah itu menjadi terlampau tampan sehingga akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan orang.

Maka sebelum Han menjawab pertanyaan tadi, dia sudah cepat berkata, “Han, jangan tersenyum lebar, penyamaranmu dalam bahaya kalau engkau tersenyum.”

Han mengerutkan alisnya. “Mengapa?”

“Terlalu...... terlalu cantik, tidak jantan.”

Han mengangguk. “Akan kuingat itu.”

“Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang menarik hatimu untuk bermalam di sini?”

“Sama dengan yang menarik hatimu, Thian Liong. Engkau juga ingin sekali nonton pi-bu (adu silat) yang diadakan gadis di tepi telaga itu, bukan? Eh, Thian Liong, siapa tahu engkau yang akan dapat mengalahkannya dan menjadi jodohnya.”

Digoda begitu, Thian Liong tidak mau membantah, bahkan berkata sambil tersenyum. “Yah, siapa tahu?” Dia terheran melihat betapa tiba-tiba wajah Han menjadi keruh, alisnya berkerut dan mulutnya merengut!

“Aku mau mengaso!” katanya singkat dan dia hendak memasuki kamarnya.

“Sore nanti kita melihat-lihat kota dan telaga, Han,” kata Thian Liong.

“Bagaimana nanti sajalah!” Han memasuki kamar dan menutup daun pintunya agak keras.

Thian Liong menggerakkan pundak dengan hati merasa heran atas sikap Han yang tidak dimengertinya itu. Dia pun memasuki kamarnya, mele-paskan buntalan dan meletakkannya di atas meja lalu dia pun merebahkan diri mengaso.

* * *


Pada keesokan harinya, pagi-pagi, setetah mandi dan tukar pakaian, Han mengajak Thian Liong keluar dan mereka berdua segera menuju ke tepi telaga. Kemarin sore mereka sudah berjalan-jalan ke sini, bahkan sempat naik perahu sewaan berputar-putar di telaga. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa gadis yang mengadakan pi-bu itu kemarin mengambil tempat di bagian tepi telaga yang tanahnya agak tinggi.

Setelah tiba di tempat itu, tepi telaga sudah mulai ramai. Bukan saja ramai dengan mereka yang hendak berangkat dengan perahu mereka menangkap ikan, ada pula yang baru pulang dari mencari ikan semalam dan kini membawa hasil tangkapan mereka untuk dijual ke dalam kota.

Ada juga yang hendak pesiar, dan banyak orang-orang muda yang sengaja datang hendak nonton gadis yang mencari jodoh dengan jalan mengadakan pi-bu. Akan tetapi agaknya gadis dan ayahnya itu belum datang.

Akan tetapi Thian Liong dan Han tidak perlu menunggu lama. Ketika suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang yang menujukan pandang mata ke satu jurusan, Thian Liong dan Han juga memandang ke arah sana. Tampak seorang gadis dan seorang laki-laki setengah tua datang ke tepi telaga yang tanahnya tinggi itu.

Thian Liong memandang penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar delapanbelas tahun. Tak dapat disangkal bahwa gadis itu memang cantik menarik, dengan bentuk tubuh yang denok padat, kulitnya yang putih mulus. Yang menarik adalah sepasang matanya yang lebar dan indah.

Laki-laki yang berjalan di sampingnya itu berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning, wajahnya muram seperti orang yang tidak bahagia. Dengan langkah lebar mereka berdua menuju ke atas tanah yang tinggi tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang memandang kepada mereka.

Setelah tiba di atas tanah tinggi itu, mereka menurunkan buntalan kain dari punggung mereka dan meletakkannya di atas batu-batu yang berada di atas tanah. Mereka juga melepaskan pedang berikut sarungnya dari pinggang dan meletakkan pedang mereka itu di atas buntalan pakaian.

Setelah dua orang itu berada di situ, mereka yang memang datang hendak nonton, berbondong-bondong datang tanpa diatur, mereka sudah membentuk lingkaran yang cukup luas sehingga kedua orang itu seperti berdiri di atas panggung tanah tinggi itu merupakan gundukan tanah yang lumayan luasnya. Mereka yang nonton berdiri mengelilingi gundukan tanah itu.

Setelah di situ berkumpul lebih dari limapuluh orang, sebagian besar adalah pemuda-pemuda, laki-laki tinggi kurus itu lalu maju ke tengah lapangan itu dan menjura ke empat penjuru.

“Kami kira Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah tahu atau sudah mendengar bahwa kami sedang mengadakan sayembara pi-bu (adu silat) untuk memilih jodoh. Siapa saja dipersilakan memasuki sayembara ini apabila berminat. Adapun syarat-syaratnya seperti berikut: Pengikut sayembara haruslah seorang laki-laki yang belum menikah. Pengikut sayembara harus disetujui dulu oleh anak kami sebelum bertanding.

"Pengikut sayembara harus dapat mengalahkan anak kami dalam pertandingan silat dengan tangan kosong dan setelah dapat mengalahkannya, dia harus dapat bertahan melawan kami selama duapuluh jurus. Perkenalkan, nama kami adalah Ouwyang Kun, sedangkan ini anak kami satu-satunya bernama Ouwyang Siu Cen yang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Nah, kalau ada yang berminat, silakan maju!”

Ouwyang Kun lalu memberi hormat lagi dan kembali duduk di atas batu dekat puterinya. Para penonton mulai berisik saling bicara sendiri. Akan tetapi belum juga ada yang maju memasuki lapangan.

“Thian Liong, gadis itu cantik jelita. Mengapa engkau tidak coba-coba?” bisik Han yang berdiri di samping pemuda itu.

“Mengapa tidak engkau saja yang maju dan mengalahkannya, Han?” Thian Liong menjawab sambil tersenyum.

Han hampir saja tersenyum lalu teringat dan dia cemberut. “Gila kau!” bisiknya.

Melihat belum juga ada yang' memasuki lapangan, Ouwyang Kun berbisik kepada puterinya. Siu Cen mengangguk dan ia lalu bangkit dan menuju ke tengah lapangan, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan matanya yang lebar dan indah, lalu berkata dengan suara lembut.

“Sambil menanti munculnya pengikut sayembara yang pertama, untuk mengisi kekosongan saya akan memainkan sebuah tarian pedang! Kalau tarianku jelek dan banyak kesalahannya, harap Cu-wi suka memaafkan dan memberi petunjuk.”

Setelah berkata demikian Siu Cen mencabut pedangnya dan mulailah ia dengan tarian pedangnya. Tarian itu sesungguhnya adalah ilmu silat pedang yang diberi gerakan kembangan sehingga tampak indah dan lemah gemulai. Siu Cen memang memiliki tubuh yang lentur dan gerakannya mengandung seni tari yang indah.

Akan tetapi di balik kelemasan, kelenturan dan keindahan itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan. Daya tahan dan daya serang yang kokoh. Kalau semua gerakan kembangan dan variasi itu dihilangkan, maka gerakan-gerakan pedang itu akan menjadi berbahaya sekali bagi lawan.

“Hemm, cantik dan indah sekali, Thian Liong,” Han berbisik pula.

“Ilmu silatnya cukup tangguh. Kuda-kudanya seperti yang biasa dipergunakan para hwesio (pendeta Buddhis) kalau mengajarkan silat kepada muridnya. Kokoh dan mantap.”

Tarian itu tidak lama. Tentu saja Ouwyang Siu Cen tidak mau menghamburkan banyak tenaga karena ia menghadapi pertandingan silat kalau ada yang maju mengikuti sayembara. Ayahnya, Ouwyang Kun memang bijaksana. Di antara syarat-syarat bagi calon jodohnya itu, adalah syarat bahwa ikutnya seorang calon harus atas persetujuannya.

Berarti ayahnya hanya mau menjodohkannya dengan seorang pemuda kalau Siu Cen menyetujuinya. Hal ini untuk mencegah agar gadis itu tidak terpaksa menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak disukanya hanya karena laki-laki itu dapat mengalahkannya dalam pi-bu.

Setelah Siu Cen menghentikan tariannya, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun masuk ke dalam gelanggang, disambut tepuk tangan para penonton karena selain mereka mengenal pemuda itu sebagai putera guru silat Ciang di kota Leng-an, juga semua orang sejak tadi sudah tidak sabar menanti munculnya orang yang memasuki sayembara itu agar mereka dapat menonton pertandingan silat.

Melihat ada seorang pemuda memasuki gelanggang, Ouwyang Kun lalu bangkit dan menghampiri sehingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sedangkan Ouwyang Siu Cen mundur dan berdiri di belakang ayahnya sambil memandang kepada pemuda itu. Ciang Lun adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng, tubuhnya sedang dan dia berdiri di depan Ouwyang Kun dengan tegak.

“Apa kehendakmu masuk ke sini, orang muda?” tanya Ouwyang Kun.

“Kalau boleh, saya ingin mencoba kelihaian Nona Ouwyang.”

Ouwyang Kun menoleh dan memandang kepada puterinya. Siu Cen mengangguk, tanda bahwa ia mau berpi-bu melawan pemuda itu. “Orang muda, siapa namamu?”

“Nama saya Ciang Lun.”

“Baik, kami mempersilakan engkau untuk saling menguji kepandaian dengan Siu Cen.” Setelah berkata demikian, Ouwyang Kun mundur dan duduk kembali ke atas batu. Kini Siu Cen berhadapan dengan pemuda itu.

“Silakan mulai, Nona. Aku telah siap!” kata Ciang Lun yang segera memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak, kedua kaki merapat dan kedua tangan direntangkan, yang kanan menunjuk ke atas, yang kiri menunjuk ke bawah.

“Pembukaan Thian-te-sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi),” bisik Thian Liong.

“Tapi rapuh,” bisik pula Han.

13.2. PEMBUNUH JIT KONG LHAMA

Thian Liong juga maklum bahwa pasangan kuda-kuda dari pemuda bernama Ciang Lun itu tidak cukup kokoh dan melihat gerakan kaki Siu Cen ketika menari silat pedang tadi dia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini tidak akan menang melawan gadis itu. Tingkat kepandaian mereka berselisih jauh.

“Kami tuan rumah dan engkau tamunya, silakan menyerang lebih dulu,” kata Siu Cen yang juga memasang kuda-kuda dengan menekuk kedua lututnya, menghadap ke samping dan memutar kepala ke arah lawan, kedua tangan dikepal di pinggang.

“Hemm, kalau tidak salah kuda-kuda itu dari aliran Kwan-im-kun (Silat Dewi Kwan Im),” kata Han lirih.

“Atau silat Dewa Ji-lai-hud, ilmu silat yang biasanya dimainkan para pendeta,” kata Thian Liong.

Mendengar ucapan gadis itu, Ciang Lun tersenyum. “Baiklah, maaf, sambut seranganku, Nona!”

Pemuda itu mulai menyerang dan dia mainkan ilmu silat Langit Bumi yang sebetulnya merupakan ilmu silat yang cukup ampuh karena gerakan serangannya berganda, serangan ke bagian atas tubuh lawan disusul dengan hampir berbarengan dengan serangan dari bawah. Kalau saja dia sudah menguasai dengan baik dan memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, dia akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Akan tetapi, Siu Cen bergerak cepat dan gerakannya ringan sekali. Tubuhnya berkelebatan ketika mengelak dari serangkai pukulan pemuda itu. Ia pun balas menyerang dan Ciang Lun dapat menangkis serangan balasan itu dengan baik pula. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu silat, atau yang hanya mengenal kulitnya saja tentu menganggap bahwa pertandingan itu seru dan seimbang.

Telah lebih dari tigapuluh jurus mereka bertanding dan tampaknya belum ada yang lebih unggul sehingga kelihatan seru dan seimbang. Akan tetapi Han berbisik kepada Thian Liong. “Wah, engkau terlambat, Thian Liong. Gadis itu agaknya telah memilih calon suaminya.”

“Engkau benar dan aku ikut girang, mereka memang serasi untuk menjadi pasangan hidup.”

Sementara itu, Ouwyang Kun juga maklum apa yang terjadi pada puterinya. Dia tahu benar bahwa kalau dikehendaki, dalam belasan jurus saja puterinya itu akan mampu mengalahkan lawannya. Akan tetapi agaknya Siu Cen tidak mau melakukan hal itu. Ia mengalah dan hal ini hanya mempunyai arti bahwa puterinya itu jatuh cinta kepada Ciang Lun itu!

Bagi dia mempunyai seorang mantu yang ilmu silatnya lebih rendah daripada tingkat puterinya tidak menjadi soal. Yang penting Siu Cen mencintanya dan mantunya itu bukan seorang jahat. Melihat betapa pertandingan itu berlangsung sampai hampir limapuluh jurus, Ouwyang Kun merasa cukup dan dia pun melompat ke tengah. “Cukup, harap kalian berhenti!”

Dua orang itu mundur dan Siu Cen menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Clang Lun memandang kepadanya dengan mulut terseyum, tampak dia girang sekali.

“Cu-wi, sayembara ini sudah selesai. Kami telah menemukan pilihan calon suami puteri kami.”

“Tidak bisa! Ini tidak adil!” terdengar teriakan dan seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya hitam bopeng (bekas cacar) melompat ke tengah lapangan.

“Kemenangan bocah ini sama sekali tidak sah!” Dia berseru dengan suaranya yang parau dan terdengar logat bicaranya kaku dan asing.

“Hemm, dia itu orang dari barat, suku Tibet,” bisik Han kepada Thian Liong.

Pemuda ini juga sudah menduga demikian karena pernah dia bertemu dengan beberapa orang pendeta Lhama dari Tibet ketika mereka datang mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin.

Ouwyang Kun menghadapi orang itu dengan alis berkerut, akan tetapi dia menahan marah dan bertanya, “Sobat, menentukan pilihan calon suami untuk puteriku merupakan hak kami, orang luar sama sekali tidak berhak mencampuri.”

“Ho-ho-ha-ha! Enak saja engkau menentukan begitu! Akan tetapi tanyalah kepada semua penonton ini. Kalian berdua telah melanggar peraturan yang kalian adakan sendiri. Bukankah tadi engkau sendiri mengumumkan bahwa yang berhak berjodoh dengan puterimu adalah orang yang dapat mengalahkan puterimu dan dapat bertahan pula melawanmu selama duapuluh jurus? Hai, saudara-saudara, bukankah dia tadi berjanji demikian?”

Para penonton yang juga merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil Ouwyang Kun dan mereka menginginkan sebuah pertandingan berikutnya yang lebih seru, segera berseru, “Benar......!!”

Mendengar seruan orang banyak ini, Ouwyang Kun lalu bertanya dengan lantang. “Sobat, katakan siapa namamu!”

“Ho-ho, namaku Golam!” kata Si Tinggi Besar Muka Hitam. Dia berbangsa Mongol akan tetapi sudah belasan tahun tinggal di Tibet sehingga logat bicaranya seperti orang Tibet.

“Sekarang, apa kehendakmu maka engkau mencampuri urusan kami memilih jodoh ini?”

“Tentu saja engkau harus memegang janjimu, dan aku ingin memasuki sayembara, hendak mengalahkan puterimu dan menghadapimu selama duapuluh jurus. Kalau aku berhasil, maka puterimu ini harus menjadi isteriku!”

Ouwyang Kun mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang bopeng dan berwarna hitam itu. “Golam, melihat usiamu, engkau tentu sudah mempunyai isteri dan anak, bukan?”

“Ho-ho, punya anak isteri atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan sayembara ini. Pendeknya, aku memasuki sayembara dan kalian harus memenuhi janji dan melawan aku. Kecuali, tentu saja, kalau kalian Ayah dan anak merasa takut padaku! Kalau begitu, lebih baik kalian mengaku terus terang di depan semua orang ini bahwa kalian takut melawan aku, lalu cepat gulung tikar dan tinggalkan kota ini sebagai pengecut!”

Beberapa orang penonton mengeluarkan suara tawa dan semua orang menjadi tegang karena mereka mengharapkan terjadinya pertandingan yang sungguh-sungguh dan sikap Golam itu memancing ketegangan.

Ouwyang Kun menjadi merah mukanya dan matanya mencorong marah. “Golam!” suaranya membentak. “Sombong sekali engkau! Mendengar namamu, engkau tentu seorang Mongol dan suaramu menunjukkan bahwa engkau lama tinggal di Tibet! Aku mengerti betapa banyaknya orang Mongol yang terusir dari negaranya karena kejahatannya lalu berkeliaran di Tibet! Kami tidak pernah takut menghadapi orang-orang macam engkau ini. Guruku See-ong Hui Kong Hosiang tidak mempunyai murid pengecut!”

“Ho-ho-ha! Kiranya engkau murid See Ong (Raja Barat)? Bagus kalau kalian bukan pengecut. Suruh puterimu maju melawan aku, baru nanti engkau sendiri yang maju!”

Ouwyang Kun meragu, akan tetapi Siu Cen sudah bangkit berdiri dengan marah. Pada saat itu, Ciang Lun yang sejak tadi berdiri di pinggiran melangkah maju dan berkata kepada Golam dengan suara keras. “Sobat, minggirlah dan jangan mencampuri dan mengganggu urusan orang lain!”

Golam menyeringai melihat pemuda itu berdiri di depannya dengan sikap menantang. “Pergi kau!” Dia membentak dan tangannya yang berlengan panjang itu menampar ke arah kepala Ciang Lun. Pemuda itu cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

“Dukk......!!” Tubuh Ciang Lun terpelanting dan jatuh bergulingan saking kuatnya tenaga yang membentur tangkisannya. Golam tertawa bergelak sambil menengadah dengan sikap sombong sekali.

“Manusia sombong!” tiba-tiba Ouwyang Siu Cen membentak dan ia sudah menghadapi Golam dan memasang kuda-kuda ilmu silat Kwan-im-kun. Ayah gadis ini, Ouwyang Kun memang murid See-ong Hui Kong Hosiang yang merangkai ilmu silat Ji-lai-hud dan ilmu silat yang dimainkan oleh Siu Cen adalah ilmu silat berdasarkan Ji-lai-hud-kun, khusus untuk wanita dan dinamakan Kwan-im-kun.

Akan tetapi Golam tertawa mengejek. “Nona manis, aku akan malu kalau engkau bertangan kosong. Pergunakanlah pedangmu itu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Itu baru adil namanya dan lebih seru!”

Akan tetapi Siu Cen sudah membentak nyaring dan maju menerjang dengan cepat dan kuat. “Lihat seranganku!”

Akan tetapi, Golam menangkis dan begitu lengan Siu Cen bertemu dengan tangannya, tenaga tangkisan itu begitu kuatnya sehingga tubuh Siu Cen terputar dan pada saat itu, tangan kiri Golam menyambar dan dengan kurang ajar sekali tangan itu telah mengelus dan membelai dagu dan leher.

Siu Cen menjerit kecil sambil melompat jauh ke belakang dengan terkejut dan marah sekali. “Ha-ha-ho-ho, sudah kukatakan. Pergunakanlah pedangmu, Nona manis!”

Siu Cen cepat mengambil pedangnya, melompat ke depan Golam dan membentak. “Keluarkan senjatamu!” tantangnya.

“Ho-ho, tidak seru kalau aku menggunakan senjata. Aku tidak mau melukai kulitmu yang putih mulus itu, Nona. Tangan kakiku ini sudah lebih dari cukup untuk melayanimu main-main. Majulah!”

“Sombong, sambut pedangku!” Siu Cen membentak dan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali.

Akan tetapi ternyata lawannya memang hebat. Biarpun bertubuh tinggi besar, namun orang Mongol itu dapat bergerak cepat dan lebih hebat lagi, dia berani menangkis pedang Siu Cen dengan lengannya! Kalau pedang itu bertemu lengan Golam yang menangkis, terdengar bunyi seolah pedang itu bertemu sepotong baja yang amat kuat.

Kini para penonton mulai merasa tegang dan khawatir. Yang mereka tonton kini bukan lagi pertandingan adu kepandaian untuk mengukur tingkat masing-masing, melainkan pertandingan perkelahian sungguh-sungguh yang menggunakan senjata, yang dapat merobek tubuh dan merenggut nyawa!

Maka, banyak di antara para penonton yang mulai mundur menjauhkan diri dan menonton dari jarak agak jauh yang aman. Tinggal sedikit saja yang menonton di tempat semula, di antara mereka termasuk Thian Liong dan Han.

Setelah pertandingan antara Siu Cen yang memegang pedang melawan Golam yang bertangan kosong itu berjalan lewat duapuluh jurus, terdengarlah Golam terkekeh dan diseling jerit-jerit kecil Siu Cen karena kini Golam yang lebih tinggi tingkatnya itu mulai mempermainkan Siu Cen. Tangannya secara kurang ajar sekali menowel pipi, meraba dada, dan mencubit pinggul. Siu Cen menjerit-jerit kecil dan merasa malu dan marah sekali.

“Jahanam busuk, biar kubunuh dia!” Han berbisik dengan muka berubah merah karena marahnya.

“Ssstt, jangan, Han. Ouwyang Kun adalah murid See Ong, seorang di antara Empat Datuk Besar. Dia pasti tidak membiarkan puterinya diganggu,” kata Thian Liong.

Baru saja Thian Liong habis bicara, terdengar Ouwyang Kun membentak lantang. “Golam bangsat kurang ajar!”

Thian Liong memandang dan dia melihat betapa Golam sudah merampas dan mematahkan pedang Siu Cen dan kini dia menangkap dan merangkul gadis itu.

Ouwyang Kun melompat dan langsung menyerang Golam dengan tamparan tangannya. Golam melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh Siu Cen sehingga gadis itu terpelanting. Kemudian dia mengangkat tangan menangkis.

“Desss...!!” Pertemuan dua tenaga itu dahsyat sekali dan akibatnya tubuh Golam terpelanting dan roboh bergulingan. Pada saat itu terdengar suara nyaring.

“Omitohud! Golam, bawa gadis itu. Engkau berhak memilikinya!”

Tampak bayangan berkelebat dan bayangan itu ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kekar dan mukanya penuh brewok akan tetapi kepalanya gundul dan dari jubahnya dapat diketahui bahwa dia itu seorang pendeta Lhama dari Tibet.

Dengan gerakan yang cepat sekali pendeta itu mendorongkan kedua tangannya ke arah Ouwyang Kun. Hawa pukulan dahsyat disertai uap hitam menyambar ke arah Ouwyang Kun bagaikan angin badai.

Ouwyang Kun terkejut sekali dan dia menyambut dengan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) karena dia maklum bahwa pendeta Lhama itu menyerangnya dengan pukulan yang amat kuat dan ampuh.

“Blaaaarrrr....!” Bukan main dahsyatnya pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Semua penonton merasa betapa tanah yang mereka injak tergetar oleh benturan hebat itu.

Tubuh Ouwyang Kun terpental ke belakang dan sebelum dia dapat bangkit, tubuh pendeta Lhama itu sudah meluncur dekat dan ketika tampak kilat menyambar, pedang di tangan pendeta itu telah memasuki dadanya! Ketika pedang dicabut, Ouwyang Kun mendekap luka di dadanya darimana darah mengucur dan dia memandang terbelalak kepada penyerangnya.

“Kau... kau... mengapa menyerangku?”

“Hemmm, engkau yang curang mengeroyok muridku!” kata pendeta Lhama itu.

Ouwyang Kun roboh terkulai dan tewas. “Ayaaahhh......!” Siu Cen yang tadi terpelanting, sebelum sempat menghindar Golam sudah menubruk dan menotok pundaknya sehingga ia tidak mampu melawan lagi. Tubuhnya terasa lemas tiada tenaga dan ia pun tidak dapat melawan ketika tubuhnya dipondong Golam. Akan tetapi ia melihat ayahnya tertusuk dan roboh maka ia menjerit. Golam melompat dan membawa gadis itu lari sambil terkekeh senang.

“Thian Liong, tolong gadis itu, biar kuhajar keledai gundul ini!” kata Han.

“Akan tetapi dia lihai sekali, Han!”

“Dulu aku pernah menghajarnya, jangan khawatir. Cepat kejar buaya darat yang melarikan Siu Cen itu!”

Thian Liong tidak membantah lagi dan dia sudah berkelebat cepat melakukan pengejaran terhadap Golam yang membawa lari Siu Cen.

Sementara itu, pendeta Lhama itu terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang amat tampan.

“Goat Kong Lhama, engkau memang seorang yang jahat dan kejam!”

“Omitohud! Engkau sudah mengenal nama pinceng (aku)? Siapakah engkau? Siapa namamu, orang muda?” tanya Goat Kong Lhama dengan heran.

Dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet yang namanya asing di wilayah Kerajaan Kin maupun Kerajaan Sung Selatan. Kemunculannya ini baru yang kedua kalinya. Dulu, kurang lebih dua tahun yang lalu, dia pun pernah keluar dari Tibet untuk mencari Jit Kong Lhama, seorang tokoh Lhama yang dianggap murtad dan dicari oleh para Lhama di Tibet. Goat Kong Lhama menjadi utusan para Lhama untuk mencari dan menangkap Jit Kong Lhama.

Ketika itu, Jit Kong Lhama yang menjadi guru Han Bi Lan, sudah meninggalkan wilayah Sung dan kembali ke Tibet. Goat Kong Lhama tidak dapat bertemu dengan orang yang dicarinya dan dia bertemu dengan Bi Lan yang membela Kun-lun-pai karena Goat Kong Lhama menuduh Kun-lun-pai menyembunyikan Jit Kong Lhama.

Terjadi perkelahian dan Bi Lan dapat mengalahkan Goat Kong Lhama dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Thian Liong. Setelah Goat Kong Lhama kalah, dia diberi tahu bahwa Jit Kong Lhama sudah kembali ke Tibet dan dia pun lalu kembali ke barat.

“Tidak perlu engkau tahu siapa aku!” jawab Han dengan ketus. “Sekarang katakan, di mana adanya Jit Kong Lhama?”

Goat Kong Lhama membelalakkan matanya. “Mengapa engkau menanyakan Jit Kong Lhama? Apa hubunganmu dengan dia?”

“Tak perlu engkau tahu. Katakan saja di mana dia!”

“Omitohud……, ha-ha-ha, orang muda, engkau ingin mengetahui di mana adanya Jit Kong Lhama? Sebentar lagi engkau akan dapat bertemu dengan dia di neraka!”

Han atau Bi Lan terkejut. “Apa.... apa maksudmu?”

“Ha-ha, kami sudah membunuh murid murtad itu, dan sekarang engkau akan menyusulnya!” Tiba-tiba Goat Kong Lhama sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya, pedang yang masih bernoda darah dari dada Ouwyang Kun tadi.

Akan tetapi mendengar bahwa gurunya, Jit Kong Lhama dibunuh oleh pendeta Lhama ini, Han sudah menjadi marah sekali dan dengan cepat dia sudah miringkan tubuhnya dan gerakannya menjadi kaku dan aneh karena dia sudah mainkan ilmu silat aneh Sin-ciang Tin-thian yang dia pelajari dari Si Mayat Hidup. Biarpun gerakannya kaku sekali, akan tetapi dengan tangan telanjang dia berani menangkis pedang Goat Kong Lhama.

“Cringgg......! Tranggg……!!”

Goat Kong Lhama terkejut bukan main ketika pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya. Bagaimana mungkin pemuda itu kuat menangkis pedangnya? Dia sendiri memiliki kekebalan dan berani menangkis senjata tajam lawan, akan tetapi bukan pedangnya ini!

Pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang dapat memotong sepotong besi baja seperti memotong kayu lunak saja. Dan gerakan pemuda itu mengerikan! Bukan seperti orang bergerak dalam ilmu silat, melainkan seperti setan atau mayat berjalan, kaku dan menyeramkan!

Goat Kong Lhama mengeluarkan seluruh jurus simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa lihai lawannya yang masih muda itu. Padahal selama ini dia sudah mem-perdalam ilmu-ilmunya. Bagaimana mungkin dia yang bersenjatakan sebatang pedang pusaka ampuh tidak akan dapat mengalahkan seorang pemuda yang bertangan kosong?

Saking penasaran, pendeta Lhama itu menyerang dengan hebat, mengamuk sambil mulutnya mengeluarkan suara bacaan mantram yang dapat mendatangkan kekuatan sihir yang ampuh. Namun, Han agaknya tidak terpengaruh dan terjadilah pertandingan mati-matian karena sambaran tangan dan kaki Han juga merupakan cengkeraman-cengkeraman maut bagi lawannya.

Sementara itu, Thian Liong sudah berlari cepat mengejar Golam yang melarikan diri sambil memondong Ouwyang Siu Cen. Orang Mongol ini lari ke arah telaga dan dia melepaskan tali sebuah perahu, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di belakangnya.

“Lepaskan gadis itu!”

Golam cepat membalikkan tubuhnya, lengan kiri masih memanggul tubuh Siu Cen di atas pundaknya dan tangan kanannya yang besar dan panjang itu menyambar ke arah Thian Liong. Tamparan itu kuat sekali. Akan tetapi Thian Liong yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu, takut kalau dia menggunakan kekerasan Siu Cen akan terluka, tidak menangkis melainkan mengelak dan secepat kilat tangan kirinya menotok ke arah pundak kiri Golam.

“Tukk!!” Golam mengeluh karena tiba-tiba lengan kirinya terasa lumpuh dan sebelum dia dapat menguasai dirinya, tahu-tahu tubuh Siu Cen sudah terlepas dari pondongannya. Dia menjadi marah bukan main, mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kelumpuhan sementara pada lengan kirinya itu menghilang.

Dengan suara menggereng seperti seekor srigala, dia menubruk ke arah Thian Liong. Akan tetapi pemuda yang masih memondong tubuh Siu Cen yang dirampasnya tadi memutar tubuh setengah lingkaran dan kaki kanannya mencuat dengan amat cepat dan kuatnya, merupakan sebuah tendangan kilat.

“Syuuuuttt.... desss!” Tubuh Golam terlempar jauh dan jatuh kedalam telaga. Air muncrat dan Golam yang terkejut dan merasa dadanya nyeri dan napasnya sesak maklum bahwa pemuda itu lihai bukan main. Dia tidak akan menang melawan pemuda itu, maka takut kalau dikejar dan diserang, dia lalu menyelam ke dalam air.

Akan tetapi Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengejar. Dia hanya memandang ketika orang Mongol itu muncul di permukaan air, sudah jauh di tengah lalu berenang dengan cepat ke arah menjauh. Lalu dengan hati-hati Thian Liong menurunkan tubuh Siu Cen di atas tanah dan menggunakan jari tangannya membuka totokan yang dilakukan Golam atas diri gadis itu.

13.3. PEMBALASAN SANG MURID

Begitu terbebas dari totokan, Siu Cen bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan mengeluh, “Ayah.....!”

Tiba-tiba Ciang Lun, pemuda yang tadi menjadi orang pertama memasuki sayembara, dan yang tadi ikut mencoba mengejar ketika melihat Siu Cen dilarikan Golam, sudah mendekati gadis itu dan memegang lengannya agar tidak jatuh.

“Nona, tenangkan hatimu......” Setelah Siu Cen tidak terhuyung lagi, Ciang Lun melepaskan pegangannya.

“Ahh...... bagaimana dengan Ayahku......?” Ia melihat Thian Liong yang tadi menolongnya sudah berlari cepat ke tempat dilakukan pi-bu tadi.

“Ayahmu terluka oleh pendeta jahat itu, akan tetapi sekarang seorang pemuda sedang berkelahi dengannya.”

“Ayah......!” Siu Cen menoleh ke arah tempat tadi lalu ia lari sambil terisak-isak. Ciang Lun juga lari mengikuti.

Perkelahian antara Goat Kong Lhama dan Han berlangsung seru. Pendeta Lhama itu makin terkejut ketika menghadapi serangan-serangan aneh dari Han, dengan gerakan kaku namun setiap gerakan itu mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa.

Di lain pihak, Han atau Bi Lan sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalannya karena ia mengambil keputusan untuk membunuh pendeta Lhama yang tadi mengatakan telah membunuh gurunya, yaitu Jit Kong Lhama. Selain itu, juga dia tadi melihat betapa jahat dan kejamnya Goat Kong Lhama yang membantu Golam dengan membunuh Ouwyang Kun dan membiarkan orang Mongol itu menculik Siu Cen.

“Mampuslah……!!” Goat Kong Lhama menyerang dengan dahsyat sekali, menusukkan pedangnya ke arah dada Han sambil mengeluarkan teriakan menggelegar. Bagi lawan yang sin-kangnya tidak kuat, baru menghadapi serangan suara menggelegar ini saja sudah dapat menewaskannya atau setidaknya melumpuhkannya.

Akan tetapi Han tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan ketika pedang itu meluncur ke arah dadanya, dia hanya miringkan tubuhnya sedikit saja namun cukup untuk menghindarkan diri. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan tepi dada sebelah kiri.

Han membarengi tusukan pedang itu dengan hantaman tangan kanannya, dengan gerakan kaku, lengannya menusuk seperti sebatang kayu. Gerakannya aneh namun tepat sekali karena pada saat itu Goat Kong Lhama sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pedang yang hampir menusuk dada pemuda itu.

“Han, jangan......!” Tiba-tiba terdengar Thian Liong yang baru datang di tempat itu. Dia terkejut melihat serangan Han kepada pendeta Lhama itu karena dia melihat bahwa serangan itu adalah pukulan maut. Dia dapat melihat sinar meluncur dari tangan Han yang memukul. Akan tetapi Han tidak menarik kembali atau menahan pukulannya. Bahkan dia menambahkan tenaga.

“Wuuuuttt...... blarrr......!” Tubuh Gwat Kong Lama terpental lalu terbanting, terjengkang di atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan ilmu dari Si Mayat Hidup!

“Han......!” Thian Liong menghampiri dan menengur dengan lembut namun nada suaranya mengandung penyesalan. “Mengapa engkau membunuhnya?”

“Mengapa aku membunuhnya? Tentu saja aku membunuhnya. Dia jahat dan kejam. Tidakkah engkau melihat sendiri betapa dia membantu Golam menculik Siu Cen dan dia membunuh Ouwyang Kun? Mengapa masih bertanya dan suaramu mencela kalau aku membunuh orang kejam ini?”

“Han, engkau menganggap dia kejam karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi engkau sendiri membunuh Goat Kong Lhama! Lalu apa bedanya dengan dia dan engkau yang sama-sama menjadi pembunuh?”

“Thian Liong, mengapa engkau seolah membela dia?”

“Bukan membela, Han. Akan tetapi, setidaknya dia harus ditanya dulu mengapa dia membunuh Ouwyang Kun. Ketahuilah, seperti sudah kukatakan tadi, Ouwyang Kun adalah murid datuk besar yang sesat dari barat, jadi kita belum tahu ada urusan apa diantara mereka dan siapa tahu sebagai murid See Ong, Ouwyang Kun itu juga bukan orang baik-baik.”

“Dan engkau tidak mengerti, Thian Liong. Aku membunuh Goat Kong Lhama bukan hanya karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi lebih dari itu, dia telah membunuh guruku, Jit Kong Lhama! Aku membalas dendam atas kematian Suhu di tangannya.”

Thian Liong mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. Dia teringat akan wejangan gurunya, Tiong Lee Cin-jin bahwa dalam dunia persilatan terdapat banyak permusuhan, bunuh membunuh karena saling mendendam. Bunuh membunuh karena dendam ini tidak akan ada habisnya. Yang kalah mendendam lalu berusaha membalas, kalau dapat membunuh lawannya.

Maka lawan itu pun akan berganti menjadi pendendam dan berusaha membunuh musuhnya. Demikian tiada habisnya. Terhentinya dendam mendendam ini berada di tangan kita sendiri, kalau kita menghentikan mata rantai dendam itu ketika tiba pada bagian kita, maka rantai dendam mendendam itu menjadi putus.

Bi Lan adalah seorang manusia biasa, apalagi ia memang memiliki watak yang keras. Tidak terlalu aneh kalau ia mendendam kepada Goat Kong Lhama yang telah membunuh gurunya. Apalagi gadis itu melihat betapa jahat dan kejamnya pendeta Lhama itu membunuh Ouwyang Kun dan membantu Golam menculik Siu Cen. Mungkin juga kematiannya itu merupakan hukuman sebagai buah kejahatannya dan jatuhnya hukuman itu melalui diri Bi Lan.

Terdengar suara jerit tangis. Ketika Han dan Thian Liong menengok, ternyata yang menangis adalah Ouwyang Siu Cen yang berlutut dekat jenazah ayahnya. Ciang Lun berlutut di dekatnya dan pemuda ini mengucapkan kata-kata menghibur.

“Sudahlah, Nona, harap tenangkan hatimu. Ayahmu telah meninggal dunia, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, pembunuhnya juga sudah menerima hukumannya dan terbunuh. Lebih baik mengurus jenazah ayahmu, kasihan kalau dibiarkan menggeletak di sini.”

Siu Cen memandang ke arah mayat Goat Kong Lhama yang menggeletak tidak jauh dari situ, kemudian ia memandang jenazah ayahnya dan berkata lirih, suaranya parau karena tangis.

“Akan tetapi...... bagaimana mengurusnya......? Aku...... aku tidak mempunyai keluarga atau kenalan di sini......”

“Nona Ouwyang, biarlah aku yang akan mengurus, dari upacara persembahyangan sampai pemakaman selesai. Aku yakin Ayah Ibuku akan membantu dengan rela dan senang hati. Ketahuilah, Ayahku adalah seorang guru silat yang dikenal di kota ini. Mari, Nona, biar kuatur pengangkutan jenazah Ayahmu ke rumah kami.”

“Nanti dulu, Twako (Kakak). Aku harus mengucapkan terima kasih lebih dulu kepada dua orang pemuda yang tadi membela kami.”

Akan tetapi ketika Siu Cen dan Ciang Lun bangkit dan mencari-cari, Han dan Thian Liong telah pergi meninggalkan tempat itu. Ciang Lun lalu mendatangkan sebuah kereta untuk mengangkut jenazah Ouwyang Kun ke rumah orang tuanya.

Siu Cen yang tadinya merasa rikuh sekali harus mengganggu keluarga Ciang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, menjadi lega setelah bertemu dengan Ciang-kauwsu (Guru Silat Ciang) dan isterinya yang menyambutnya dengan ramah sekali.

Kiranya ayah dan ibu Ciang Lun merasa setuju sepenuhnya ketika Ciang Lun menceritakan hubungannya dengan Siu Cen dan betapa dalam pi-bu (adu silat) tadi dia telah diterima sebagai jodoh gadis itu. Jenazah Ouwyang Kun lalu diurus sebaik-baiknya sampai selesai dimakamkan.

Tentu saja Siu Cen sangat berterima kasih dan karena memang sejak pi-bu tadi ia sudah tertarik dan suka kepada Ciang Lun, maka ia setuju ketika orang tua Ciang Lun dengan resmi mengangkatnya menjadi mantu.

* * *

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Bi Lan atau yang kini menyamar sebagai seorang pemuda dengan nama Han, meninggalkan rumah penginapan lalu melanjutkan perjalanan keluar dari kota Leng-an. Mereka melangkah perlahan-lahan di atas jalan umum yang menuju utara. Pagi itu masih sepi dan mereka berjalan sambil bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang mereka alami kemarin di dekat telaga.

“Engkau agaknya sudah mengenal pendeta Lhama itu, Han. Bagaimana engkau bertemu dengannya?”

“Nanti dulu. Engkau juga agaknya mengenal See Ong, datuk besar yang menjadi guru Ouwyang Kun itu. Ceritakan dulu tentang pertemuanmu dengan datuk itu, baru nanti giliranku bercerita.”

Thian Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mengintai pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis yang terdapat di tengah Telaga Barat. “Hemm, mau apa Empat Datuk Besar itu berkumpul di sana?”

“Mereka itu secara bersama menggembleng seorang murid sehingga murid itu kini menjadi seorang yang lihai dan berbahaya sekali. Ilmu-ilmu dari Empat Datuk Besar itu telah digabung. Dia menjadi luar biasa kuatnya sehingga ketika mereka berempat menguji, mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu.”

“Wah, hebat pemuda itu! Siapa dia?”

“Namanya Can Kok dan dia adalah keponakan dari Tung-sai Kui Tong, datuk sesat dari timur, majikan Pulau Udang. Demikianlah, Han, pertemuanku dengan Empat Datuk Besar itu, atau lebih tepat bukan pertemuan karena ketika mereka muncul di pulau itu, aku hanya mengintai sambil bersembunyi. Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat mengenal pendeta Lhama tadi.”

Han tersenyum, lalu tiba-tiba cemberut karena teringat akan pesan Thian Liong agar dia jangan tersenyum yang akan memperlihatkan kecantikannya sebagai wanita. Melihat ini, Thian Liong tertawa.

“Ha-ha-ha, kalau tidak ada orang lain yang melihatnya, tentu saja engkau boleh tersenyum, bahkan senyumlah yang banyak karena aku senang melihatnya!”

“Tidak perlu memuji! Engkau mau mendengarkan atau tidak?”

“Ya-ya, maafkan aku, Han. Ceritakanlah, aku mendengarkan.”

“Ketika itu aku pergi ke Kun-lun-pai untuk bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai. Di sana aku melihat Goat Kong Lhama sedang mengacau dan menantang para pimpinan Kun-lun-pai. Beberapa orang pemimpin Kun-lun-pai telah dikaIahkan. Aku lalu membela Kun-Iun-pai dan setelah bertanding, aku berhasil mengalahkan dia berkat... berkat perbuatanku dulu mencuri kitab dari buntalan pakaianmu itu!”

“Eh? Bagaimana bisa demikian?”

“Ketika aku mendapatkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, aku lalu mempelajarinya dan tekun berlatih di bawah bimbingan guruku, Jit Kong Lhama. Setelah aku menguasai ilmu itu, aku lalu pergi ke Kun-lun-pai dengan niat mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Nah, aku melihat Goat Kong Lhama mengacau di sana. Dia utusan para Lhama di Tibet untuk mencari guruku, Jit Kong Lhama yang dianggap murtad.

"Nah, dengan ilmu yang kucuri dari Kun-lun-pai itu aku mengalahkan Goat Kong Lhama. Para pimpinan Kun-lun-pai memaafkan aku, menerima kembali kitab itu bahkan mengakui aku sebagai murid Kun-lun-pai. Dan tadi ketika aku bicara dengan Goat Kong Lhama dia mengaku bahwa dia dan para Lhama telah membunuh guruku.”

“Hemm, kalau begitu pantas engkau mendendam kepadanya,” kata Thian Liong sambil mengangguk-angguk.

“Apa maunya Empat Datuk Besar itu bergabung dan menurunkan ilmu mereka kepada pemuda bernama Can Kok itu? Engkau belum menceritakan hal itu.”

“Mereka mempunyai niat yang keji, yaitu agar murid mereka yang digembleng secara khusus itu dapat mewakili mereka untuk membunuh guruku, Tiong Lee Cin-jin.”

“Hemm, mengapa harus bersusah payah mendidik murid itu yang memakan waktu lama? Mengapa tidak langsung saja mereka melaksanakan niat mereka itu?”

Thian Liong tersenyum. “Mereka semua pernah dikalahkan Suhu dan mereka tidak berani. Karena itu, masing-masing membuang waktu dua tahun untuk bergantian melatih Can Kok dan kukira, dengan adanya Can Kok tentu saja mereka akan menjadi kuat sekali dan keselamatan Suhu terancam. Karena itu aku hendak menghadap Suhu dan menceritakan tentang bahaya yang mengancamnya itu.”

“Hemm, engkau sudah menceritakan hal itu kepadaku. Kukira tidak perlu dipusingkan benar. Kalau tingkat kepandaian para Datuk Besar itu hanya seperti itu, melihat tingkat Ouwyang Kun murid seorang dari mereka, apa yang perlu ditakuti? Tiong Lee Cin-jin pasti akan dapat mengalahkan mereka. Aku mendengar bahwa Tiong Lee Cin-jin memiliki kepandaian seperti dewa! Guruku, Jit Kong Lhama sendiri yang memuji-mujinya.”

Thian Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Engkau tidak mengerti, Han. Suhu Tiong Lee Cin-jin sudah semakin tua dan aku mengetahui benar wataknya. Dia tidak suka bermusuhan dan kalau para datuk ditambah Can Kok dan murid-murid mereka yang lain, Suhu pasti mengalahkan dan tidak mau membunuh. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan mereka, apalagi dengan adanya Can Kok yang lihai, Suhu yang sudah tua sukar untuk dapat mengatasi mereka.”

Thian Liong memandang wajah Han dan melanjutkan, “Karena itu, sekali lagi aku minta, maukah engkau membantu suhu untuk menghadapi Empat Datuk Besar dan murid-murid mereka itu?”

“Ah, apa yang dapat kubantukan? Kepandaianku masih rendah....”

“Wah, kalau tingkat ilmu silatmu masih rendah, lalu yang bagaimana tingkat yang tinggi itu? Kepandaianmu tidak rendah, Han, tetapi engkaulah yang merendah. Aku kagum sekali padamu. Selain engkau menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, engkau juga kebal terhadap serangan sihir seperti yang kulihat ketika engkau melawan Goat Kong Lhama tadi.

"Selain itu.... aku masih terkejut, terheran, dan kagum sekali melihat gerakanmu ketika menyerang tadi. Gerakanmu begitu aneh, kaku dan…. menyeramkan. Akan tetapi daya serangannya luar biasa hebatnya. Terus terang saja, karena mendapat bimbingan Suhu Tiong Lee Cin-jin, aku mengenal hampir semua dasar gerakan ilmu silat dari bermacam aliran.

"Akan tetapi melihat gerakanmu tadi, aku sama sekali belum pernah melihat atau mendengarnya. Kalau engkau tidak ingin merahasiakannya, ingin aku mengetahui, dari mana engkau mempelajari ilmu aneh menyeramkan dan amat lihai itu?”

Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu termenung. Dia terbayang dan terkenang masa lalu ketika menjadi murid Si Mayat Hidup. Selama satu tahun ia digembleng dengan ilmu silat “mayat hidup” yang aneh itu dan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) itu memesan agar setelah belajar setahun dia harus mengubur gurunya itu hidup-hidup!

Akan tetapi dia tidak melakukan pesan ini dan setelah selesai belajar selama setahun, dia kabur dan pergi tanpa pamit. Kini Thian Liong bertanya tentang gurunya itu. Dia sudah percaya betul kepada pemuda itu dan mengharapkan dapat bekerja sama dengannya.

“Aku mau menceritakan, akan tetapi engkau harus berjanji untuk merahasiakan hal ini, tidak mengatakan kepada siapapun juga.”

“Aku berjanji!”

“Sumpah?”

“Aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu itu kepada siapapun juga!”

“Eh, sumpah macam apa itu?” Han mengomel.

“Habis bagaimana?”

“Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar sumpahmu, akan terjadi sesuatu padamu.”

“Oo, begitu? Baiklah, aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu kepada siapapun juga, kalau aku melanggar sumpahku ini biarlah.... selamanya aku tidak akan berpisah lagi denganmu!”

“Wah, enak betul kamu!”

“Han, kau anggap bahwa kalau kita berkumpul terus takkan pernah berpisah merupakan hal yang enak dan menyenangkan?”

“Kubilang kau yang enak dan senang.”

“Dan engkau sendiri? Tidak senangkah?”

“Sudahlah, jangan macam-macam. Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar, engkau akan mengalami hal yang tidak enak, seperti misalnya... tidak bisa tidur dan tidak bisa makan!”

“Wah, kau biarkan aku ngantuk dan kelaparan?”

“Jangan bergurau, cepat bersumpah atau aku tidak akan sudi menceritakannya kepadamu.”

“Baiklah, Han. Nah, aku mengulang sumpahku. Kalau aku menceritakan rahasiamu kepada orang lain, biarlah aku tidak bisa tidur kalau makan dan tidak bisa makan kalau tidur!”

Sejenak Han mengerutkan alisnya, bingung mendengar kata-kata yang dibolak-balik itu. Akan tetapi ketika akhirnya dia mengerti, dia melotot dan marah-marah. “Enak saja kau! Sumpah macam apa itu? Tentu saja kalau tidur tidak bisa makan dan bagaimana mungkin makan sambil tidur? Engkau mau mempermainkan aku, ya?”

“Maaf, Han, terus terang saja aku memang belum pernah bersumpah, jadi tidak mengerti bagaimana seharusnya.”

“Katakan kalau engkau melanggar, kepalamu membengkak, rambutmu rontok gundul, telingamu besar kecil, matamu juling, hidungmu pesek rata, mulutmu sumbing, perutmu busung…“

“Cukup, jangan panjang-panjang, repot aku mengingatnya. Baiklah, kalau aku melanggar, kepalaku bengkak, rambutku rontok, telingaku besar, mataku juling, hidungku pesek, mulut sumbing, perut busung, akan tetapi bertambah tampan!”

“Dasar brengsek! Aku tidak mau menceritakan!”

“Aih, Han, begitu saja marah? Sudahlah, biar aku mohon ampun sebanyaknya kepadamu.” Thian Liong merangkap kedua tangan depan dada dan memberi hormat berulang-ulang.

Han tertawa melihat ulah ini. “Sudah, sekali ini kumaafkan. Awas lain kali kalau berani mempermainkan aku. Nah, dengarlah, guruku yang kedua itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok.”

Sekali ini Thian Liong tidak main-main lagi. Dia malah terbelalak, kaget dan heran. “Ah, Heng-si Ciauw-jiok? Suhuku pernah menyebut nama itu yang kabarnya telah tewas dikeroyok banyak datuk lain.”

“Benar, dialah guruku kedua yang membimbingku selama satu tahun. Suhu Jit Kong Lhama juga pernah bercerita kepadaku seperti itu. Akan tetapi kenyataannya dia masih hidup biarpun lebih pantas kalau disebut mayat hidup. Dia pesan agar setelah aku belajar ilmu selama setahun, aku harus mengubur dia hidup-hidup! Tentu saja aku tidak mau melakukan perbuatan kejam itu, apalagi selama setahun dia menjadi guruku! Maka, setelah belajar setahun lamanya, aku lalu meninggalkannya tanpa pamit.”

“Wah, hebat sekali! Pantas engkau begitu lihai, Han!”

“Apanya yang lihai? Buktinya aku masih tidak mampu mengalahkanmu. Padahal aku belajar mati-matian dengan niat untuk mengalahkanmu!”

Thian Liong menghela napas panjang. “Aku masih ingat semuanya itu, Han, dan selama ini aku selalu menyesali perbuatanku terhadap dirimu. Masih terus terngiang dalam telingaku kata-katamu bahwa engkau akan membalas penghinaanku kepadamu. Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas sepenuhnya, baru menampar beberapa kali saja sudah berhenti, bahkan engkau menyelamatkan aku ketika aku diserang Pak-sian dan muridnya?”

“Karena... karena... ah, sudahlah! Semua itu merupakan sebab akibat yang sambung menyambung dan ruwet. Aku ingin sekali memperdalam ilmu, maka aku mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat darimu. Sebetulnya aku menyesal maka melihat engkau dikeroyok orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, aku membantumu. Kemudian engkau membalas dan menampari aku.

"Aku merasa sakit hati, lalu memperdalam ilmu lagi untuk membalasmu. Kita saling bertemu dan engkau mengalah sehingga aku pun setengah hati membalas tamparanmu. Lalu muncul Pak-sian dan muridnya menyerang engkau yang tak berdaya. Tentu saja aku membelamu! Semua itu wajar, kecuali kalau engkau menganggap aku orang sesat seperti Empat Datuk Besar itu.”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Aku pun merasa menyesal bukan main setelah dulu menamparmu dan baru aku ketahui bahwa gadis baju merah yang mencuri kitabku itu adalah Han Bi Lan, puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati. Kalau aku tahu sebelumnya, tidak mungkin aku berani melakukan hal itu kepadamu...”

Selanjutnya,
JODOH SI NAGA LANGIT JILID 14
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.