“Sudahlah, kita lupakan saja semua itu. Kita sama-sama merasa bersalah, ya sudahlah, kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita.”

“Engkau benar, Han. Akan tetapi, bagiku, mendapatkan maaf darimu saja masih belum cukup. Aku ingin sekali mengakui kesalahanku itu kepada Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Akan tetapi... sayang Ayahmu terbunuh orang dan engkau tidak mau mengatakan di mana Ibumu berada.”
“Sudah kukatakan, cukup dan jangan bicarakan lagi!”
“Maafkan aku. Engkau benar, membicarakannya hanya akan membangkitkan kenangan sedih tentang kematian Ayahmu.”
Kedua orang muda itu melakukan perjalanan ke barat. Tujuan perjalanan mereka adalah Pegunungan Gobi karena Thian Liong ingin menghadap gurunya, Tiong Lee Cin-jin yang tinggal di Puncak Pelangi, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Gobi-san. Namun, di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan tentang keberadaan Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Ouw Kan yang telah menewaskan Han Si Tiong.
Mereka melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah, namun atas nasihat Thian Liong, mereka melakukan perjalanan secara santai karena selain hal ini akan memudahkan mereka mencari keterangan tentang dua orang murid Ouw Kan itu, juga tidak akan terlalu banyak menguras tenaga. Kalau malam tiba, mereka menginap di rumah penginapan sebuah kota, dan kalau terpaksa perjalanan tertunda waktu malam selagi mereka berada di hutan, mereka pun bermalam di tengah hutan.
Selama melakukan perjalanan ini, keduanya saling tertarik. Han Bi Lan atau Han melihat kenyataan bahwa Souw Thian Liong adalah seorang pemuda yang sederhana, rendah hati, lembut dan baik budi. Sebaliknya Thian Liong juga melihat bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang biarpun wataknya keras namun memiliki jiwa pendekar yang gagah. adil, pembela kebenaran dan...
Entah mengapa, segala gerak geriknya, cara ia bicara, memandang, semua itu tampak amat menarik hati, membuat dia terkagum-kagum dan terpesona. Dalam lubuk hatinya Thian Liong membandingkan gadis ini dengan para gadis lain yang pernah dekat dengannya seperti Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, Ang Hwa Sian-li atau Thio Siang In, dan banyak lagi gadis lain yang pernah bertemu dengannya.
Pada suatu siang mereka tiba di sebuah hutan di lereng bukit yang tidak terlalu besar. Thian Liong mengerling ke samping dan melihat gadis yang menyamar pria itu melangkah dengan tegap di sampingnya. Caping lebar dan mantel longgar yang menutup kepala dan badannya, menyembunyikan keaslian dirinya sebagai wanita.
Thian Liong menghela napas panjang. Mengapa dia tertarik dan berpikir yang bukan-bukan terhadap Bi Lan? Dia mencela pikirannya sendiri. Dia tahu bahwa Han Bi Lan oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan Kwee Cun Ki pemuda yang gagah dan tampan, putera Panglima Kwee yang terkenal, setia kepada Kaisar, bijaksana dan jujur itu! Dia harus membuang jauh-jauh khayalan hampa itu!“Apa yang kau katakan?”
Tiba-tiba Thian Liong seperti terseret turun ke alam kenyataan dari lamunannya tadi. Dia menoleh kepada Han dan balas bertanya. “Mengatakan apa? Aku tidak bicara….”
“Hemm, aku mendengar engkau tadi berkata-kata dengan bisikan.”
Thian Liong terkejut. Jangan-jangan jalan pikirannya dalam lamunan tadi terucapkan olehnya! “Oo.... itu? Aku.... aku tadi hanya bicara kepada diri sendiri bahwa perutku lapar sekali....”
“Gila!” Han tertawa. “Perut lapar mengapa bicara kepada diri sendiri? Katakan saja dan kita dapat mencari makanan untuk perutmu yang gembul itu!”
“Ah, aku malu untuk bilang bahwa perutku lapar.”
“Nah itu sudah bilang! Mengapa tidak malu?”
“Ini namanya sudah terlanjur ketahuan!”
Mereka berdua tertawa. Akan tetapi suara tawa itu terhenti ketika tiba-tiba belasan orang muncul di hadapan mereka. Agaknya mereka itu tadi bersembunyi dan ketika Thian Liong dan Han tiba di situ, mereka berlompatan keluar dari balik semak dan pohon. Semua ada tigabelas orang, dipimpin seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih yang tinggi besar dan mukanya hitam.
Laki-laki itu memegang sepasang golok besar, sedangkan duabelas orang kawannya semua memegang sebatang golok! Melihat penampilan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan penjahat, mungkin perampok.
Han tersenyum kepada Thian Liong. “Nah, ini sudah datang para pelayan yang akan mencarikan makan untuk perutmu!”
Thian Liong tersenyum. Gadis ini memang pemberani dan di balik kekerasan hatinya, ia itu sebetulnya periang, jenaka dan nakal walaupun selama dalam perjalanan dia sering melihat Han bermuram durja tanpa mau mengatakan apa yang merisaukan hatinya.
Kepala perampok itu tertawa bergelak melihat dua orang pemuda yang tampaknya lemah itu. Dia tidak dapat mendengar jelas ucapan Han kepada Thian Liong karena Han hanya berbisik saja. “Hoa-ha-ha, dua ekor anak ayam ini tidak banyak bulunya! Akan tetapi lumayan, dari pada ini hari kosong tidak ada pemasukan sama sekali!”
“Twako, siapa tahu dalam buntalan mereka itu terdapat apa-apa yang berharga!” kata seorang di antara para anak buah perampok.
“Ha, benar juga! Hei, kalian dua orang bocah! Cepat tanggalkan buntalan dari pundakmu dan juga tanggalkan pakaian luar kalian dan sepatu kalian di sini. Barulah kami melepaskan dan membolehkan kalian melanjutkan perjalanan!”
“Eh, muka hitam buruk kaya lutung! Kalau kami tidak mau, bagaimana?”
Muka yang sudah hitam itu menjadi semakin hitam, mungkin kalau bagi orang lain yang kulit mukanya agak bersih akan tampak merah saking marahnya mendengar ucapan Han yang amat merendahkan dan mengejek itu. Duabelas orang temannya juga menjadi marah dan juga heran merasa heran sekali ada orang muda lemah berani bicara sedemikian kurang ajarnya kepada pemimpin mereka.
“Bangsat kurang ajar kamu! Kawan-kawan, tangkap dia! Kita gantung di pohon!” Si Muka Hitam membentak dan memerintahkan kawan-kawannya.
Karena mereka juga marah, duabelas orang anak buah perampok itu lalu mengepung Han yang menjauhkan diri dari Thian Liong sehingga yang dikepung hanya dia. Thian Liong sendiri sambil tersenyum lalu duduk di atas akar pohon yang tersembul di permukaan tanah dan menonton. Orang-orang jahat itu mencari penyakit, pikirnya. Dan dia hendak melihat apakah nasihat-nasihatnya diturut oleh Han, yaitu bahwa amat tidak baik membunuh orang.
Duabelas orang itu dengan wajah bengis, mengancam dan menyeringai menakutkan, kini serentak maju menjulurkan tangan-tangan yang berotot dan besar untuk menangkap pemuda itu. Mereka hendak menangkap Han dan menggantungnya di pohon seperti yang diperintahkan pemimpin mereka tadi.
Si Muka Hitam berdiri bertolak pinggang sambil tertawa, ingin segera melihat pemuda yang menghinanya tadi tergantung sampai mati di pohon. Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika dia melihat betapa duabelas orang anak buahnya yang seolah berebut hendak menangkap pemuda itu, tiba-tiba berpelantingan ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kaget.
Mereka semua terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Kini tampak pemuda yang akan ditangkap dan digantung itu berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.
Melihat ini, selain kaget dan heran, kepala perampok itu juga menjadi marah dan penasaran sekali. Karena tadi tidak melihat bagaimana anak buahnya dapat berpelantingan seperti itu, dia berseru nyaring. “Bunuh dia! Bunuh!!”
Duabelas orang itu memang penasaran juga. Tadi ketika mereka hendak menangkap, pemuda itu hanya berputar dan tahu-tahu mereka terjengkang seolah diterpa angin yang amat kuat. Kini mendengar aba-aba itu, mereka berloncatan berdiri dan mencabut golok masing-masing. Tanpa menanti komando lagi mereka menyerbu ke arah pemuda yang masih berdiri bersedakap sambil tersenyum-senyum itu.
Melihat ini, Thian Liong tenang saja karena dia yakin bahwa mereka tidak akan mampu menyakiti Han dan tadi dia sudah melihat betapa Han hanya membuat mereka berpelantingan dan tidak mencederai mereka, apalagi membunuh. Andaikata kawanan perampok ini bertemu Han Bi Lan sebelum gadis itu bergaul dengan Thian Liong, sudah dapat dipastikan bahwa pada waktu pertama kali mereka tadi menyerang, kini mereka tentu sudah tewas semua.
Akan tetapi, ternyata Han tidak mau mencederai mereka. Hal ini adalah karena ia yakin bahwa perbuatan membunuh itu adalah amat kejam dan tidak baik, dan terutama sekali karena dia merasa malu terhadap Thian Liong kalau dia melakukan pembunuhan. Kini, melihat duabelas orang itu malah menggunakan golok menyerangnya, hatinya menjadi panas dan ingin memberi hajaran yang lebih keras lagi.
Karena duabelas orang itu menyerang dengan kepungan ketat, maka kepala perampok itu tidak dapat melihat apa yang terjadi. Akan tetapi dia semakin terkejut ketika orang-orangnya berteriak dan kini terlempar ke belakang satu demi satu dengan tubuh terluka! Walaupun luka-luka itu tidak terlalu berat sehingga tidak mematikan.
Namun mengeluarkan banyak darah sehingga pakaian mereka berlepotan darah mereka sendiri. Ada yang terluka pundaknya, ada yang terbacok pahanya, ada yang tergores lengannya dan sebagainya dan semua luka itu diakibatkan oleh golok mereka sendiri yang tiba-tiba membalik dan menyerang diri mereka sendiri! Melihat betapa duabelas orang roboh dan mengaduh-aduh, Si Muka Hitam cepat melarikan diri dari tempat itu.
“Heh, Muka Hitam, berhenti engkau!” Han berteriak dan teriakannya itu melengking, mengandung getaran kuat dan kepala perampok itu pun tiba-tiba berhenti berlari seolah-olah berubah menjadi arca! “Muka Hitam, berbaliklah dan merangkaklah engkau ke sini!” kembali terdengar suara yang penuh wibawa dari Han.
"Thian Liong tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar nakal seperti anak kecil. Mempermainkan Si Muka Hitam dengan kekuatan sihir! Si Muka Hitam itu memang seperti seorang perajurit mendengar perintah jenderalnya. Dia memutar tubuh menghadap ke arah Han, lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkak menghampiri Han!
Setelah tiba di depan kaki Han, kepala perampok itu berhenti. Semua anak buahnya yang masih kesakitan kini juga memandang heran dan seolah lupa akan rasa nyeri di tubuh mereka ketika melihat pemimpin mereka merangkak-rangkak seperti itu.
Han tidak dapat menahan tawanya. “He-he-heh-hi-hik, engkau benar-benar seperti seekor lutung besar!”
Karena dia tertawa maka pengerahan tenaga sihirnya juga terhenti dan Si Muka Hitam terkejut bukan main ketika melihat dirinya berlutut di depan kaki pemuda itu. Dia melompat dan mencabut sepasang goloknya, lalu menyerang dengan marah. Melihat gerakan sepasang goloknya, Si Muka Hitam ini bukan seorang lawan yang lemah.
Namun bagi Han tentu saja dia bukan apa-apa. Dengan gerakan ringan sekali dia dapat mengelak dari serangan sepasang golok yang bertubi-tubi datangnya itu. Betapapun cepatnya sambaran sepasang golok yang membentuk dua gulungan sinar itu, gerakan Han lebih cepat lagi.
Tiba-tiba saja Si Muka Hitam berteriak mengaduh dan dia roboh terkulai dan sepasang goloknya sudah berpindah tangan. Han menggerakkan sepasang golok itu dan “crat-crat!” kedua pundak Si Muka Hitam terluka sehingga darah mengucur membasahi bajunya.
“Han, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru.
Sambil menodongkan sepasang golok itu ke leher Si Muka Hitam, Han menoleh, memandang Thian Liong dan tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Kemudian dia menghardik Si Muka Hitam. “Kau dengar itu? Aku akan membunuhmu kalau engkau tidak cepat memenuhi permintaanku!”
Si Muka Hitam tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh terkena totokan yang Iihai dari Han. Akan tetapi dia dapat bicara. “Ampun, Taihiap (Pendekar Besar), saya akan melaksanakan semua perintah Taihiap!” katanya dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan.
“Nah, hayo cepat perintahkan anak buahmu untuk menyediakan makanan dan minuman untuk kami berdua. Kami lapar sekali! Hayo cepat!”
Si Muka Hitam segera memerintahkan anak buahnya untuk memenuhi permintaan itu. Biarpun dia tidak mampu bergerak, namun suaranya masih lantang ketika dia memerintahkan para anak buahnya. “Hayo cepat laksanakan perintah Tai-hiap!”
“Akan tetapi di sini tidak ada penjual masakan?“
“Goblok!” Si Muka Hitam membentak. “Carikan makanan seadanya yang terbaik. Panggang daging binatang hutan, petik buah-buahan, ambilkan arakku dalam tempat penyimpanan. Apa saja keluarkan semua. Hayo cepat!”
Han menghampiri Thian Liong dan duduk di dekat pemuda itu sambil ter-senyum-senyum. “Nah, laparmu akan terobati, bukan?”
Thian Liong tertawa dan memandang Si Muka Hitam yang masih rebah tak mampu berkutik. “Engkau bocah nakal! Mengapa dia dibiarkan seperti itu? Kalau, dia dapat bergerak pun tidak akan berani melawan atau melarikan diri. Bukalah totokan itu, Han.”
Sambil tersenyum Han mengambil dua buah kerikil dan dua kali dia melontarkan kerikil-kerikil itu ke arah tubuh Si Muka Hitam. Dengan tepat sekali kerikil itu mengenai jalan darah di punggung atas dan bawah tubuh Si Muka Hitam dan seketika orang itu terbebas dari totokan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani melarikan diri dan hanya bangkit duduk sambil membalut luka di kedua pundaknya.
Tak lama kemudian, anak buah perampok itu berbondong datang membawa berbagai makanan untuk dua orang pemuda itu. Ada panggang daging kijang, arak, air teh, buah-buahan. Tanpa rikuh lagi Han lalu mengajak Thian Liong makan. Setelah merasa kenyang dia iseng-iseng bertanya kepada Si Muka Hitam.
“Heh, Muka Hitam, apakah engkau dan anak buahmu mengetahui di mana adanya seorang pemuda bernama Bouw Kiang dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan? Apakah dua orang itu pernah lewat di sini? Kalau engkau tahu hayo cepat katakan kepadaku sebagai penebus nyawa kalian yang sudah kuampuni!”
Si Muka Hitam memandang kepada anak buahnya yang berkumpul dan berjongkok tidak jauh dari situ. “Kalian dengar apa yang ditanyakan Tai-hiap? Kalau ada yang mengetahui, cepat laporkan!” kata Si Muka Hitam.
Duabelas orang itu berbisik-bisik dan seorang dari mereka yang matanya buta sebelah, berkata, “Kami tidak mengenal dua orang yang dicari Tai-hiap itu, akan tetapi kemarin kami melihat lima orang yang amat mencurigakan dan amat lihai sehingga kami tidak berani memperlihatkan diri, hanya mengintai dari jauh. Kami sempat mendengar percakapan mereka dan dengan suara lantang seorang dari mereka, kakek yang berpakaian tambal-tambalan berkata bahwa dia akan senang sekali melihat musuh mereka tewas di depan kakinya.”
“Hemm, bagaimana kalian tahu bahwa mereka itu lihai sekali?” tanya Han tertarik.
“Mereka menerabas hutan dan apa pun yang menghalang di depan mereka, mereka singkirkan dengan cara yang luar biasa sekali. Pohon-pohon yang batangnya sebesar orang dewasa, sekali tendang tumbang. Batu-batu sebesar kerbau mereka lempar-lemparkan seolah ringan saja.”
“Kelima-limanya sekuat itu?” tanya Han penasaran.
“Benar, Taihiap. Kami berani bersumpah, karena itu kami hanya mengintai tidak berani keluar.”
“Hemm, dan siapa musuh yang mereka ingin lihat mati di depan kaki mereka itu?”
“Kakek berpakaian tambal-tambalan yang kurus pucat akan tetapi lihai sekali itu hanya menyebut nama Yok-sian (Dewa Obat).”
“Yok-sian....?” Kini Thian Liong bangkit berdiri dan menghampiri Si Mata Sebelah itu. “Mereka berlima itu hendak membunuh Yok-sian?”
Si Mata Satu terkejut melihat Thian Liong menghampirinya dan dia sudah ketakutan. “Begitulah.... yang kami dengar dari pembicaraan mereka yang tidak begitu jelas karena mereka melempar-lemparkan batu besar yang menghalang dan menumbangkan pohon-pohon sehingga gaduh sekali.”
“Hemm, coba gambarkan keadaan lima orang itu, mulai dari Si Kakek berpakaian tambal-tambalan,” kata Thian Liong dan Han juga semakin tertarik mendengar bahwa yang hendak dibunuh lima orang itu adalah Yok-sian, nama julukan Tiong Lee Cin-jin guru Souw Thian Liong!
Melihat sikap Thian Liong tidak galak seperti sikap Han, Si Mata Satu itu menjadi tenang kembali. Dia menoleh kepada kawan-kawannya dan berkata, “Kalian bantulah aku kalau keteranganku keliru. Taihiap, kakek kurus bermuka pucat itu berusia sekitar enampuluh tahun, mukanya yang pucat dan kurus sekali itu seperti tengkorak. Matanya mencorong menakutkan dan di punggungnya terdapat sebatang pedang.”
“Hemm, Lam-kai....” kata Thian Liong. “Coba gambarkan empat orang yang lain.”
Si Mata Satu melanjutkan. “Kakek kedua bertubuh tinggi besar, mukanya menyeramkan seperti singa dan dia membawa tombak... dia menakutkan, tampak buas. Sekali ayun, tombaknya dapat mematahkan sebatang pohon besar dan suaranya menggereng seperti seekor singa...”
“Ah, itu Tung-sai!” kata pula Thian Liong dan Han mengangguk-angguk. “Dan tiga orang yang lain, bagaimana?”
Si Mata Satu berkata kepada kawan-kawannya. “Hayo, siapa yang dapat menceritakan tentang tiga orang muda itu? Aku tidak begitu ingat.”
Seorang yang mukanya brewok berkata dengan suaranya yang besar. “Mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis. Yang seorang bertubuh sedang dan tegap, wajahnya bulat dan putih, matanya mencorong seperti mata harimau, rambutnya dikuncir dan di pungungnya tergantung sebatang pedang.”
“Dia pasti Can Kok,” kata pula Thian Liong.
“Pemuda yang kedua bertubuh tinggi besar, mukanya tampan akan tetapi hitam...”
“Dia membawa tongkat hitam?” Han memotong.
“Benar, Taihiap.”
“Ah, jangan-jangan dia Bouw Kiang yang kucari!” kata Han dengan hati tegang. “Dan gadisnya bagaimana? Hayo cepat ceritakan!” dia membentak sehingga Si Brewok menjadi gugup dan cepat bercerita.
“Gadis itu cantik, matanya lebar, tubuhnya ramping....”
“Dan senjatanya?” tanya Han.
“Kalau tidak salah, di punggungnya terdapat sepasang pedang.”
“Tak salah lagi, ia tentu Bong Siu Lan!”
“Aneh, apa hubungan dua orang murid Ouw Kan dengan para datuk itu?” Thian Liong bertanya heran.
“Apa anehnya? Ouw Kan juga seorang datuk, tentu mengenal dan mempunyai hubungan dengan para datuk lain. Mereka sama-sama sesatnya.”
“Ke arah mana mereka pergi dan sejak kapan?” tanya Thian Liong kepada Si Mata Satu.
“Mereka lewat kemarin, Tai-hiap, dan menuju ke arah sana. Mudah mengikuti jejak mereka karena mereka merobohkan pohon-pohon dan menyingkirkan batu-batu besar.” Orang itu menunjuk ke barat.
“Mari kita pergi, Han!” Setelah berkata demikian, Thian Liong dan Han berkelebat dan lenyap dari depan gerombolan perampok itu sehingga mereka terkejut dan ketakutan. Akan tetapi mereka merasa beruntung tidak sampai dibunuh dua orang muda yang memiliki kesaktian demikian hebat.
“Jelas bahwa lima orang itu akan pergi ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi untuk mencari dan menyerang Suhu,” kata Thian Liong yang berlari bersama Han.
“Hemm, kalau hanya mereka berlima saja, kiraku tidak perlu khawatir. Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin pasti akan mampu menandingi mereka.”
“Mereka itu orang-orang jahat yang lihai dan juga licik curang. Biarpun Suhu dapat mengatasi mereka, namun aku sebagai muridnya harus membelanya.”
“Engkau benar, dan aku pun sudah berjanji akan membantumu. Apalagi dua orang yang kucari, pembunuh-pembunuh ayahku berada di sana pula. Dengan begini dapat dikatakan kita tepuk satu kali dapat dua ekor lalat!”
Dua orang itu melanjutkan perjalanan dan betul seperti keterangan anak buah perampok bermata satu tadi, mereka dengan mudah dapat mengikuti jejak lima orang itu karena mereka mengambil jalan pintas dengan menyingkirkan semua perintang dengan kekerasan.
Ketika Siang In berpamit kepada Thio Ki dan Miyana, suami isteri yang ia anggap sebagai ayah ibunya sendiri, suami isteri itu segera menyetujui karena biarpun Siang In berpamit untuk mengunjungi Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, mereka tahu bahwa anak mereka itu sesungguhnya juga akan bertemu dengan ibu kandungnya sendiri.
Walaupun gadis itu masih belum mengetahui akan rahasia ini. Tentu saja suami isteri itu sama sekali tidak menduga bahwa Siang In sudah mengetahui segalanya, dan bahwa ia memang ingin sekali bertemu dengan Tan Siang Lin, selir Kaisar Kin yang menjadi Ibu kandungnya itu!
“Jaga dirimu baik-baik dan berhati-hatilah, anakku. Dan jangan lupa, kalau engkau mengunjungi Puteri Moguhai dan kebetulan bertemu dengan Ibunya, selir Kaisar, sampaikan salam hormatku kepadanya karena dahulu aku menjadi sahabat baiknya.”
Diam-diam Siang In tersenyum dalam hati. Tentu saja ia sudah tahu bahwa ibunya ini, Miyana, dahulu adalah sahabat baik selir kaisar yang sesungguhnya adalah ibu kandung anak kembar, ia dan Moguhai!
“Baik, Ibu. Aku tidak akan melupakan pesan Ibu,” jawabnya. Ia lalu berkemas, membawa buntalan pakaian dan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Setelah memperoleh pesan dan restu Thio Ki dan Miyana, Thio Siang In atau Ang Hwa Sian-li lalu menjalankan kudanya keluar dari pekarangan rumah orang tuanya, menuju ke pintu gerbang utara.
Akan tetapi sebelum tiba di pintu gerbang ia bertemu dengan Cin Han yang berjalan seorang diri. Melihat Siang In berkuda, Cin Han menegurnya dengan ramah. “Hai, Adik Siang In!” tegurnya sambil menghampiri.
Siang In menahan kudanya lalu melompat turun. Tidak enak rasanya kalau dia bercakap-cakap dengan pemuda itu dengan duduk di atas kuda sedangkan Cin Han berdiri di atas tanah. “Han-ko (Kakak Han), engkau hendak ke manakah?” tegurnya.
Cin Han tersenyum dan wajahnya tampak tampan dan lembut kalau tersenyum. Putera pangeran ini memang halus budi pekertinya dan ramah. “Aku hendak berkunjung ke rumahmu, In-moi (Adik. In).”
“Ah, maaf, Han-ko. Aku hendak pergi maka tidak dapat menyambutmu.”
“In-moi, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Tentu saja boleh, Han-ko. Aku hendak pergi mengunjungi Puteri Moguhai di kota raja.”
“Berapa lama engkau akan tinggal di sana?” tanya pemuda itu sambil memandang ke arah buntalan pakaian yang berada di punggung kuda yang besar itu.
“Entahlah, Han-ko, aku belum dapat menentukan. Mungkin bisa seminggu atau sebulan, tergantung keadaan.”
Cin Han mengangguk. “Baiklah, In-moi, harap engkau berhati-hati dalam perjalanan. Aku mendengar bahwa ada beberapa orang bekas sekutu Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak dulu, membentuk gerombolan dan suka mengacau. Akan tetapi aku percaya, engkau tidak mudah diganggu penjahat. Nah, selamat jalan, In-moi.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Han-ko!” kata Siang In dan ia segera melompat ke atas punggung kudanya dan menuju ke pintu gerbang utara, diikuti pandang mata Cin Han yang memandang kagum.
Dulu dia tertarik sekali kepada Thio Siang In, setelah bergaul dekat, dia kini yakin bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang berjuluk Ang Hwa Sian-li itu. Sambil tersenyum gembira Cin Han lalu kembali ke rumah orang tuanya.
Sementara itu, Siang In sudah keluar dari kota Kang-cun dan membalapkan kudanya ke utara, ke arah Kota Raja Peking di mana saudara kembarnya, Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu tinggal bersama ibu mereka di istana kerajaan. Akan tetapi ketika ia membalapkan kudanya, terbayanglah di depan matanya wajah Cin Han.
Pemuda itu sungguh lembut, tampan dan juga telah memperlihatkan wibawa dan kecerdikannya ketika dulu membawa pasukan menolong ia dan Pek Hong Niocu. Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengagumkan. Dan pemuda itu pernah melamarnya akan tetapi ia menolak keras padahal ia belum pernah melihat orangnya.
Kini ia telah berkenalan dengan Cin Han dan kagum kepada pemuda yang pernah ditolak lamarannya itu. Ia menghela napas. Beruntunglah seorang gadis kalau dipersunting oleh pemuda tampan lembut putera seorang pangeran itu! Siang In menghela napas panjang dan berbisik kepada diri sendiri.
“Sayang.... dia seorang siu-cai (sastrawan) yang lemah dan tidak pandai ilmu silat...” Siang In menghela napas lagi dan tiba-tiba saja wajah Thian Liong terbayang dalam benaknya. “Ah, kalau saja Cin Han memiliki kelihaian seperti Thian Liong....”
Ia sadar dari lamunannya dan menggebrak kudanya sehingga binatang itu terkejut dan berlari cepat sekali, membuat rambut dan pakaian Siang In berkibar.
Di sepanjang perjalanan itu Thio Siang In mendengar berita dari penduduk bahwa memang benar apa yang dikatakan Cin Han kepadanya bahwa di daerah-daerah banyak terjadi gangguan terhadap penduduk, yang dilakukan oleh gerombolan yang merampok dan membunuhi pejabat-pejabat kerajaan yang bertugas di dusun-dusun. Jelas bahwa gerombolan itu memang bersikap anti dan memberontak terhadap Kerajaan Kin.
Akan tetapi Siang In tidak mengalami gangguan seperti yang ia harapkan karena ia ingin bertemu dan membasmi gerombolan pengacau itu. Ia tiba di kota raja dan langsung saja menuju ke istana. Kepada perajurit pengawal yang berjaga di pintu gapura istana dan yang terheran-heran melihat ia begitu mirip Puteri Moguhai, Siang In mengatakan bahwa ia bernama Thio Siang In dan ingin bertemu dengan Puteri Moguhai yang menjadi sahabat baiknya.
Perajurit kepala jaga yang bersikap hormat mendengar bahwa gadis ini sahabat baik Puteri Moguhai yang mereka hormati dan takuti, segera memberitahu bahwa Puteri Moguhai tidak berada di istana.
Mendengar ini, Siang In merasa kecewa. Akan tetapi sesungguhnya kedatangannya ini terutama untuk mengunjungi ibu kandungnya, maka ia pun lalu berkata dengan sikap lembut. “Kalau begitu, saya akan menghadap Ibunda Puteri Moguhai karena saya ada pesan yang amat penting dari Puteri Moguhai untuk disampaikan kepada Ibundanya.”
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Ah, Nona. Untuk menghadap Beliau kami harus melaporkan dulu kepada pengawal istana dan mereka yang akan melaporkan ke dalam istana. Kalau beliau bersedia menerimamu, barulah Nona akan diperkenankan dan dikawal oleh pengawal dalam istana. Mari kami antar Nona menemui kepala pengawal istana.”
Siang In lalu diantar oleh kepala jaga itu memasuki pekarangan istana yang luas dan segera ia dihadapkan kepada pengawal yang mengenakan seragam indah dan yang sikapnya angkuh. Akan tetapi kepala pengawal ini pun memandang heran melihat Siang In yang demikian mirip dengan Puteri Moguhai.
Kepala jaga pintu gapura melapor bahwa gadis itu mohon menghadap Ibunda Puteri Moguhai. Kepala pengawal yang memandang kepada Siang In dengan penuh perhatian itu lalu bertanya kepada Siang In.
“Siapakah engkau, Nona dan apakah keperluanmu hendak menghadap Beliau?”
“Nama saya Thio Siang In dan saya adalah sahabat baik dan saudara seperguruan Puteri Moguhai,” Siang In memperkenalkan diri, sengaja mengaku sebagai saudara seperguruan Moguhai karena ia tahu betapa Moguhai sudah terkenal sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi.
Benar saja dugaannya. Kepala pengawal itu berubah sikap dan dengan hormat dia bertanya. “Thio-siocia, kami akan melaporkan ke dalam. Akan tetapi kalau kami ditanya apa keperluan Nona mohon menghadap Beliau, bagaimana kami harus menjawab?”
“Saya adalah anak dari Ibu Miyana yang dahulu menjadi sahabat baik beliau dan juga tinggal di istana ini. Saya membawa pesan dari Puteri Moguhai dan dari Ibu Miyana yang sangat penting untuk disampaikan kepada Beliau.”
“Akan tetapi, Nona. Kami takut kalau mendapat marah karena tidak boleh sembarangan orang memasuki istana, apalagi bagian puteri. Beritahukan saja kepada kami pesan itu dan kami yang akan menghaturkan kepada Beliau.”
“Tidak mungkin. Puteri Moguhai akan marah sekali kalau saya tidak dapat menyampaikan pesannya itu kepada Ibundanya.”
Ucapan ini manjur. Kepala pengawal itu tentu saja takut sekali kalau nanti Puteri Moguhai yang dia kenal amat keras itu marah kepadanya kalau dia melarang saudara seperguruannya ini masuk.
“Baiklah, Nona. Silakan tunggu sebentar dan silakan duduk, saya sendiri yang akan melaporkan ke dalam.” Setelah berkata demikian kepala pengawal yang bertubuh tinggi besar itu meninggalkan Siang In di situ.
Siang In duduk di atas bangku dan para pengawal yang melakukan penjagaan tidak berani memandang kepadanya secara langsung. Ini berkat nama besar Moguhai yang ditakuti semua orang, pikir Siang In. Ia merasa heran, ke mana perginya Moguhai?
Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul dan dengan muka berseri dia berkata, “Beliau memerintahkan saya mengantar Nona menghadap beliau. Mari, Nona.”
Dengan jantung berdebar tegang Siang In dikawal kepala pengawal itu memasuki istana bagian puteri dan langsung membawanya ke dalam sebuah ruangan tertutup. Pengawal itu mengajak ia masuk dan setibanya di dalam, pengawal itu memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya.
“Nona Thio Siang In datang menghadap!”
Wanita setengah tua yang duduk seorang diri di ruangan itu memberi isyarat kepada pengawal itu dengan tangan. “Keluarlah!”
Pengawal itu keluar dan menutupkan kembali pintu ruangan itu. Siang In memandang dengan jantung berdebar-debar. Wanita itu berusia sekitar empatpuluh tahun, masih tampak cantik dan sikapnya lemah lembut. Wanita itu segera bangkit berdiri dan kedua orang wanita itu saling pandang.
Lalu wanita yang bukan lain adalah Tan Siang Lin selir Kaisar dan Ibu Moguhai itu perlahan-lahan melangkah menghampiri. Ia berhenti setelah berada dalam jarak satu tombak dari Siang In. Mereka saling pandang dan mata wanita itu mengeluarkan air mata yang perlahan menetes ke atas kedua pipinya.
Siang In seketika merasa bahwa wanita ini adalah ibu kandungnya. Ada sesuatu pada diri wanita ini yang menggetarkan jantungnya sehingga ia pun tak dapat menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya.
“....engkau... engkau Thio Siang In... anak... Miyana?” Wanita itu menelan ludah dan melanjutkan, “Moguhai.... tidak berada di sini, ia keluar kota raja beberapa hari yang lalu....”
“Saya.... saya datang untuk bertemu dengan Ibu....” kata Siang In dengan suara gemetar.
“Ibu?? Engkau... engkau... sudah tahu....??” Selir kaisar itu berkata lirih dan tergagap.
Siang In mengangguk-angguk. “....aku tahu... engkau Ibu kandungku....”
Seperti ditarik sembrani, dua orang wanita itu menubruk ke depan dan saling rangkul. “Anakku....!”
“Ibu……!!”
Keduanya menangis sesenggukan dan saling cium dengan muka basah air mata. “Anakku.... maafkanlah Ibumu ini, Nak... terpaksa... terpaksa sekali... begitu terlahir engkau kuberikan kepada Miyana....”
“Ibu tidak bersalah,” kata Siang In sambil merangkul erat, “Ibu terpaksa berbuat begitu karena... karena Kaisar....”
“Anakku, Kaisar juga tidak bersalah,” kata selir kaisar itu sambil menarik tangan Siang In dan diajaknya gadis itu duduk di sampingnya. “Sejak ratusan tahun, bangsa Yu-cen yang mendirikan Kerajaan Kin (Cin), memiliki kepercayaan bahwa anak kembar mendatangkan malapetaka. Kaisar juga percaya akan hal itu maka mereka tidak berani membiarkan anak kembar hidup.
"Aku terpaksa memisahkan engkau dari Moguhai agar kalian berdua selamat, karena kalau tidak, kalian berdua tentu akan dibunuh begitu ketahuan terlahir kembar. Kebetulan Miyana yang menjadi sahabat baikku, yang telah menjadi janda karena suaminya, seorang pangeran telah meninggal dunia, bersedia menolongku dan membawamu keluar istana.”
Siang In merangkul ibunya dan mengusap air mata dari pipi ibunya dengan saputangan. “Sudahlah, Ibu. Harap jangan bersedih. Aku sudah mengetahui akan semua itu, mendengar cerita dari Ayah Sie Tiong Lee sendiri.”
Setelah dapat menguasai keharuan hati mereka dan menjadi tenang kembali, ibu dan anak ini duduk bersanding dan saling berpegangan tangan dengan hati merasa bahagia sekali.
“Ibu, ke manakah perginya Pek Hong?”
“Pek Hong? Ah, ya, aku ingat sekarang. Ayahmu memberi nama Sie Pek Hong kepada Moguhai! Dan engkau menjadi Sie Siang In! Ah, aku gembira sekali. Kalian berdua berdarah Han aseli karena Ayah dan Ibu kandungmu adalah orang-orang Han. Pek Hong baru beberapa hari pergi, katanya hendak pergi mencari orang-orang yang telah membunuh Han Si Tiong akan tetapi aku tahu bahwa selain itu juga ada hal-hal lain yang membuat ia pergi.
"Ia dimarahi Ayahnya karena ia selalu menolak pinangan para pangeran dan pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi. Kaisar juga melarang ia bergaul dengan Souw Thian Liong walaupun pemuda itu pernah membantu Kerajaan Kin membasmi pemberontak. Kaisar bukan tidak suka Thian Liong, hanya dia ingin menjodohkan Moguhai dengan seorang bangsa Yu-cen. Karena itulah, Pek Hong pergi.”
“Ah, sayang Kaisar berpendirian demikian, Ibu. Souw Thian Liong adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana, dan aku melihat keakraban antara Thian Liong dan Pek Hong.”
“Engkau tentu lebih mengetahui, sebenarnya bagaimanakah hubungan antara Souw Thian Liong dan Pek Hong? Ketika aku bertanya, Pek Hong menjawab bahwa ia memang kagum dan tertarik kepada pemuda itu, akan tetapi ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta Thian Liong atau hanya kagum.”
Sejenak Siang In termenung. Ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia sendiri amat kagum dan tertarik kepada Thian Liong dan kalau ada kesempatan, bukan mustahil ia pun akan jatuh cinta kepada pemuda itu. “Aku sendiri tidak tahu pasti, Ibu.”
Selir Kaisar itu menghela napas panjang. “Mudah-mudahan saja Pek Hong dapat melupakan Thian Liong dan dapat mencinta seorang pemuda lain yang sesuai dengan keinginan Kaisar. Kalau tidak, tentu akan terjadi kesulitan besar. Kau tahu, Siang In, Kaisar mengira bahwa Pek Hong adalah darah dagingnya sendiri dan ia amat menyayangnya. Kalau sampai terjadi ia mencinta Thian Liong, tak dapat aku membayangkan apa yang terjadi. Tentu semua orang akan menderita.
"Kaisar yang amat mencinta puterinya itu akan berduka dan marah, Pek Hong sendiri akan mengalami kesusahan dan mungkin akan diusir dari istana dan terpisah dariku, dan aku sendiri tentu akan merana. Ah, akan tetapi kalau Thian menghendaki, segala dapat terjadi. Bukankah jodoh, seperti juga kelahiran dan kematian, berada sepenuhnya di tangan Thian dan tak seorang pun dapat mengubahnya?”
“Ibu benar, biarlah kita berdoa saja agar semuanya akan berjalan dengan baik sehingga membahagiakan semua orang.”
“Terima kasih, anakku. Ucapanmu itu sungguh membesarkan hatiku. Sekarang, coba ceritakan semua pengalamanmu menjadi anak Miyana.”
Dengan singkat Siang In menceritakan keadaannya sebagai puteri Thio Ki dan Miyana, menjadi murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang wataknya sama sekali berlawanan dengan hatinya, sampai pengalamannya yang terakhir, bertemu dengan Pek Hong, kemudian mereka berdua diajak oleh ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin ke tempat pertapaan di Puncak Pelangi dan mempelajari ilmu yang lebih tinggi.
Mendengar semua itu, Tan Siang Lin menghela napas panjang dan wajahnya berseri ketika ia memandang kepada puterinya. “Ah, aku merasa berbahagia sekali. Ternyata sepasang anak kembarku sekarang telah menjadi pendekar-pendekar wanita sakti. Sekarang, anakku, kalau Pek Hong kini menghadapi persoalan karena Ayahnya, Kaisar, menghendaki ia berjodoh dengan seorang bangsa Yu-cen, lalu bagaimana dengan engkau sendiri?
"Tentu saja untuk urusan perjodohanmu, yang lebih berhak menentukan tentu saja ayah ibumu Thio Ki dan Miyana karena merekalah yang mengasuh, merawat dan mendidikmu sejak engkau masih bayi. Akan tetapi usiamu kini sudah duapuluh tahun, sudah sepatutnya engkau menjadi isteri dan ibu. Apakah oleh orang tuamu di Kang-cun engkau sudah dijodohkan? Aku hanya ingin tahu, anakku, bukan ingin mencampuri.”
“Ibu, agaknya tanpa disengaja, ada persamaan keadaanku dengan keadaan Pek Hong. Ayah dan Ibu di Kang-cun membujukku untuk segera memilih dan menerima pinangan seorang di antara mereka yang melamar aku. Akan tetapi aku selalu menolak karena masih belum ingin terikat rumah tangga, masih ingin bebas.”
“Hemm, dan bagaimana dengan hatimu? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan sendiri?”
Siang In menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah Cin Han dan Thian Liong berganti-ganti. “Belum, Ibu, aku masih bingung.”
“Ah, kalian berdua memang serupa benar, badan dan batinnya. Aku tidak dapat memaksa kalian, hanya mendoakan semoga segera menemukan jodoh kalian yang cocok dan dapat hidup berbahagia.”
“Ibu, sayang Pek Hong tidak ada. Saya akan menyusulnya karena kalau ia seorang diri mencari pembunuh seperti yang Ibu ceritakan tadi, mungkin ia perlu bantuan. Apakah ia menceritakan ke mana ia hendak mencari pembunuh itu dan siapakah Han Si Tiong yang dibunuh, siapa pula pembunuhnya?”
“Han Si Tiong adalah sahabat baik Pek Hong dan menurut apa yang diceritakan Pek Hong, Han Si Tiong tewas terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan....”
“Ah, Ibu, mengapa Toat-beng Coa-ong membunuh Han Si Tiong dan siapakah Han Si Tiong yang dibela sedemikian rupa oleh Pek Hong?”
“Aku pun hanya mendengar dari cerita Pek Hong. Han Si Tiong dan isterinya dahulu adalah perwira Kerajaan Sung Selatan, memimpin Pasukan Halilintar dan ketika terjadi perang antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Kin (Cin), Pasukan Halilintar terkenal dan ditakuti karena kehebatan pemimpinnya. Bahkan ketika seorang pangeran Kerajaan Kin yang bernama Pangeran Cu Si maju memimpin pasukan melawan Pasukan Halilintar, Pangeran Cu Si tewas di tangan Han Si Tiong dan isterinya.
"Kematian seorang perwira dalam perang merupakan hal wajar dan bukan merupakan urusan pribadi, maka sebetulnya Kaisar Kin juga tidak mendendam kepada Han Si Tiong, walaupun Beliau merasa berduka atas kematian anggauta keluarganya. Akan tetapi ketika itu mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang kemudian memberontak dan tewas, membujuk Kaisar untuk membalas dendam kepada Han Si Tiong dan isterinya. Kaisar, lalu mengutus Ouw Kan untuk pergi ke kota raja Sung dan membunuh Han Si Tiong dan isterinya.”
“Hemm, sungguh tidak kusangka. Aku tidak mendengar sama sekali akan hal itu,” kata Siang In lirih. Ia sebagai murid Ouw Kan maklum bahwa gurunya itu adalah seorang datuk sesat dan seringkali ia bertentangan dengan gurunya dalam berbagai hal. Akan tetapi ia tidak pernah mendengar bahwa gurunya menjadi utusan Kaisar untuk membunuh seorang perwira Sung hanya karena perwira itu merobohkan seorang pangeran dalam perang!
“Akan tetapi Ouw Kan gagal membunuh suami isteri itu karena tidak menemukan mereka di kota raja. Hal ini membuat Ouw Kan merasa malu kepada Kaisar dan setelah kaisar melupakan hal itu, bahkan telah sadar bahwa dendam atas gugurnya Pangeran Cu Si dalam perang merupakan suatu kesalahan, dan membatalkan perintahnya kepada Ouw Kan, agaknya Ouw Kan melanjutkan usaha pembunuhan itu karena dendam pribadi.
"Bahkan ketika dia berusaha membunuh Han Si Tiong dan isterinya, Pek Hong muncul dan membela suami isteri itu, mengusir Ouw Kan. Kemudian Pek Hong yang menjadi sahabat baik Han Si Tiong dan isterinya, meninggalkan tulisan yang isinya melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu. Pek Hong tidak membenarkan dendam seperti itu, tidak membenarkan membawa kematian dalam perang menjadi dendam pribadi.”
“Pek Hong memang bijaksana, Ibu.” Siang In memuji. “Kemudian bagaimana, Ibu?”
“Nah, belum lama ini terdengar berita bahwa Ouw Kan dibunuh oleh seorang yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li. Beberapa hari kemudian pada suatu malam, Ang I Mo-li masuk menyusup ke istana ini untuk membunuh Kaisar! Ia menganggap Kaisar sebagai musuhnya karena ia mengira bahwa Kaisar Kin yang mengutus Ouw Kan dan murid-muridnya membunuh Han Si Tiong.
"Pek Hong menyambutnya dan ternyata Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) itu adalah seorang gadis puteri Han Si Tiong bernama Han Bi Lan dan sudah mengenal Pek Hong. Pek Hong berhasil membujuknya dan menyadarkannya bahwa Kaisar sama sekali tidak mengutus Ouw Kan untuk membunuh ayahnya. Han Bi Lan itu bercerita kepada Pek Hong bahwa ayahnya, Han Si Tiong telah terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan yang bernama... ah, aku sudah lupa lagi nama mereka......”
“Tentu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!”
“Ya, benar! Eh, Siang In, bagaimana engkau bisa mengetahui nama dua orang pembunuh murid Ouw Kan itu?”
“Tadi sudah kuceritakan bahwa aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong, dia adalah Ouw Kan, Ibu. Maka aku dapat menduga bahwa yang melakukan pembunuhan itu tentulah dua orang muridnya yang lain, yang bernama Bouw Kiang dan seorang murid perempuan bernama Bong Siu Lan. Aku tidak akrab dengan mereka karena tempat tinggal kami berbeda kota dan hanya beberapa kali saja aku pernah bertemu dengan mereka. Juga aku pernah mendengar berita yang tidak baik tentang mereka.”
“Begitulah, Siang In. Han Bi Lan dapat menerima penjelasan Pek Hong dan ia pun membatalkan niatnya membunuh Kaisar.”
“Gadis berpakaian merah bernama Han Bi Lan? Rasanya pernah aku bertemu dengan gadis itu ketika kami membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, akan tetapi ketika itu aku belum mengetahui namanya. Akan tetapi mengapa Pek Hong mati-matian membela kematian Han Si Tiong dan pergi mencari pembunuhnya, Ibu?”
“Menurut Pek Hong, Han Si Tiong dan isterinya adalah orang-orang yang gagah perkasa dan baik, dan ia sudah mengenal mereka dengan akrab. Yang membuat Pek Hong merasa penasaran adalah bahwa ia telah meninggalkan tulisan yang melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu, akan tetapi nyatanya dua orang murid Ouw Kan masih juga menyerang mereka sehingga Han Si Tiong tewas. Karena itu, Pek Hong lalu hendak mencari dua orang itu, ditambah lagi karena ia dimarahi Kaisar karena belum mau menikah.”
“Ibu, kalau begitu aku harus cepat menyusul Pek Hong. Dua orang pembunuh itu adalah orang-orang yang lihai dan licik. Pek Hong perlu bantuanku, Ibu.”
'Akan tetapi ke mana engkau hendak mencarinya, Siang In?”
“Aku kira ia tentu mencari dua orang pembunuh itu di tempat tinggal Suhu Ouw Kan. Aku akan menyusul ke sana. sekarang juga, Ibu.”
Wanita itu merangkul Siang In. “Tidak, engkau baru saja datang, bagaimana tega untuk meninggalkan aku lagi. Aku masih rindu padamu, Siang In. Besok pagi saja engkau pergi. Malam ini engkau harus berada di sini dan kita bicara melepas kerinduanku!”
Siang In balas merangkul. Ia tidak tega untuk menolak permintaan ibu kandung itu. Maka ia pun menunda perjalanannya menyusul Pek Hong dan bermalam di kamar ibunya di mana keduanya semalam suntuk bercakap-cakap dengan penuh kebahagiaan. Barulah pada keesokan harinya selir kaisar itu mengijinkan puterinya meninggalkan istana.
Pek Hong Niocu atau Sie Pek Hong atau juga Puteri Moguhai mendaki bukit menuju kota Ceng-goan. Kota itu letaknya di daerah perbukitan yang berpemandangan indah. Bukan kota dagang yang besar, namun lebih merupakan kota pariwisata yang hawanya sejuk dan peman-dangannya indah. Penduduknya bertani dan berdagang bunga-bunga yang dapat tumbuh dengan subur di daerah perbukitan itu.
Puteri Moguhai pernah datang ke Ceng-goan dan dia langsung menuju ke sebuah rumah mungil, yaitu rumah tinggal Ouw Kan pemberian Kaisar. Ia sudah mendengar dari Bi Lan bahwa Ouw Kan telah tewas di tangan Puteri Han Si Tiong itu. Akan tetapi ke mana lagi ia dapat mencari dan menyelidiki di mana adanya dua orang murid Ouw Kan itu kalau tidak ia mulai dari tempat tinggal mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?
Ia melihat rumah itu sunyi dan pintu depannya tertutup. Lalu diketuknya daun pintu depan karena ia mendengar dari keterangan Bi Lan bahwa rumah itu dijaga seorang wanita setengah tua yang tidak diganggu oleh Bi Lan.
Tak lama kemudian, setelah tiga kali ia mengulang ketukannya, terdengar langkah ringan dan daun pintu dibuka dari dalam. Begitu janda tua penjaga rumah itu melihat seorang gadis muda berdiri di depan pintu, langsung saja ia menjatuhkan diri dan menangis.
“Ampun, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Ampunkan saya yang tidak bersalah apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Ampun dan harap jangan bunuh saya, Ang I Mo-li......!”
Moguhai tersenyum. Agaknya nenek ini mengira bahwa ia Bi Lan yang memperkenalkan diri sebagai Ang I Mo-li sehingga ia ketakutan dan minta ampun. “He, Bibi yang bodoh. Lihat baik-baik siapa aku! Apakah pakaianku merah? Apa engkau tidak mengenal aku?”
Wanita itu kini mengangkat mukanya. Tadi saking ketakutan ia tidak berani melihat langsung secara teliti, langsung saja minta ampun. Setelah mengangkat muka ia melihat seorang gadis yang pakaiannya dari sutera halus putih bersih dan ketika ia mengenal wajah Puteri Moguhai, ia cepat berlutut menyembah-nyembah.
“Aduh, ampunkan hamba, Yang Mulia Puteri! Hamba tidak mengira bahwa Paduka yang datang maka bersikap tidak semestinya. Ampunkan hamba.” Biarpun hatinya terasa tegang, namun rasa takutnya hilang setelah melihat bahwa gadis itu bukan si pembunuh majikannya.
“Sudahlah, aku tidak marah. Sekarang duduklah yang baik, Bibi, duduk di bangku itu. Aku ingin bicara denganmu dan aku minta agar engkau dapat memberi semua keterangan yang kuminta.”
“Hamba tidak berani....” Pelayan tua itu tetap berlutut.
“Aku perintahkan engkau duduk dan engkau masih tidak mau mentaati?” Pek Hong membentak agar nenek itu ketakutan dan taat.
“Ampun... ah, baik-baik, hamba menaati perintah Paduka.” Ia lalu bangkit dan duduk di atas bangku sambil menundukkan muka dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.
“Engkau tentu mengetahui bahwa mendiang Ouw Kan mempunyai dua orang murid, bukan?”
“Bukan dua, malah murid-murid yang dekat dengan almarhum ada tiga orang.”
“Tiga orang? Coba sebutkan siapa saja mereka!”
“Yang seorang adalah murid wanita yang kalau tidak salah bertempat tinggal di kota Kang-cun dan namanya Thio Siang In....”
Pek Hong mengangguk. Tentu saja ia sudah tahu karena saudara kembarnya itu pernah bercerita ia pernah menjadi murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. “Lalu yang dua lagi siapa namanya?”
“Yang seorang adalah murid laki-laki bernama Bouw Kiang dan yang seorang lagi murid perempuan bernama Bong Siu Lan.”
“Engkau tahu di mana dua orang murid itu tinggal?”
“Aduh, Tuan Puteri yang mulia, hamba sungguh tidak tahu di mana kedua orang murid itu tinggal. Dulu, Ang I Mo-li yang membunuh Tuan Besar, juga menanyakan hal itu. Akan tetapi hamba sungguh tidak tahu. Mereka hanya kadang-kadang saja datang, bermalam sehari dua hari lalu pergi lagi. Hamba tidak berani bertanya di mana mereka tinggal. Mereka itu galak-galak, tidak seperti Thio-siocia (Nona Thio) yang ramah dan mau memberi tahu di mana tempat tinggalnya.”
“Coba engkau ingat-ingat, Bibi. Ketika Bouw Kiang dan Bouw Siu Lan datang ke sini dan bercakap-cakap dengan Ouw Kan, mungkin engkau mendengar sedikit pembicaraan mereka secara kebetulan.”
Nenek itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Hanya sedikit yang hamba ingat, Tuan Puteri. Ketika secara kebetulan hamba menghidangkan makan minum, mereka menyebut-nyebut tentang Empat Datuk Besar yang katanya menghubungi mereka berdua. Dan Tuan Besar Ouw Kan mengatakan boleh saja bekerja sama dengan Empat Datuk Besar, akan tetapi tugas terpenting mereka harus dilakukan dulu. Nah, hanya itulah yang hamba ingat, akan tetapi hamba tidak tahu apa yang mereka maksudkan.”
Pek Hong dapat menduga. Tugas penting yang harus diselesaikan dulu itu tentulah tugas membunuh Han Si Tiong. Akan tetapi ia tidak tahu apa maksud mereka berhubungan dengan Empat Datuk Besar.
“Bibi, siapkan kamar yang bersih untukku. Aku akan tinggal di sini selama beberapa hari untuk melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini tentang kedua orang itu.”
“Baik, Tuan Puteri, akan hamba persiapkan.”
“O ya, Bibi. Coba gambarkan dulu bagaimana rupanya dua orang murid itu.”
“Yang bernama Bouw Kiang itu adalah seorang pemuda berusia sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar berwajah tampan dengan kulit yang gelap agak hitam dan dia selalu membawa sebatang tongkat hitam yang terselip di pinggangnya. Adapun yang bernama Bong Siu Lan adalah seorang gadis berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya bulat telur, matanya lebar, mulutnya agak lebar namun ia cantik sekali. Biasanya ia membawa sepasang pedang di punggungnya.”
Demikianlah, setelah mendapat keterangan dari pelayan itu, Pek Hong tinggal di bekas rumah Ouw Kan selama beberapa hari dan setiap hari ia melakukan pencarian dan penyelidikan di sekitar daerah itu dengan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada hasilnya.
Akhirnya, ia merasa yakin bahwa dua orang murid Ouw Kan itu pasti tidak berada di daerah itu. Mengingat akan keterangan pelayan, mungkin sekali kedua orang itu mengadakan hubungan dengan Empat Datuk Besar. Akan tetapi di mana?
Selagi ia berjalan perlahan-lahan menuju rumah Ouw Kan sambil termenung karena bingung ke mana harus mencari dua orang itu, ketika ia tiba di pintu gerbang kota Ceng-goan, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang dan terdengar suara nyaring. “Pek Hong...!!”
Puteri Moguhai cepat membalikkan tubuhnya dan wajahnya berseri, mulutnya tersenyum ketika ia mengenal siapa penunggang kuda itu. “Siang In...!”
Thio Siang In menghentikan kudanya dan melompat turun. Mereka saling berpegang tangan dengan gembira. “Wah, beruntung sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini, Pek Hong.”
“Engkau mencari aku? Dari manakah engkau, Siang In?”
“Aku dari kota raja, mengunjungi Ibu kita.”
“Ah, engkau sudah bertemu dengan Ibu?”
Siang In mengangguk. “Aku mendengar dari Ibu bahwa engkau sedang keluar meninggalkan kota raja, katanya engkau hendak mencari dua orang murid Suhu Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Aku sudah mendengar semua dari Ibu! Aku lalu mencari ke sini.”
“Mari kita bicara di rumah saja. Aku Sementara ini tinggal di rumah bekas... gurumu itu, Siang In.”
Siang In tersenyum mendengar Pek Hong agak ragu menyebut Ouw Kan sebagai gurunya. Ia menepuk pundak saudara kembarnya itu dan berkata, “Mari kita bicara di sana, lebih leluasa.”
Wanita setengah tua yang menjaga rumah itu, terbelalak melihat kedatangan mereka berdua. Tadinya ia memang sudah merasa heran melihat persamaan wajah Puteri Moguhai dengan wajah Nona Thio, akan tetapi sekarang persamaan itu lebih menyolok lagi walaupun tatanan rambut dan dandanan pakaian mereka berdua itu saling berbeda. Akan tetapi ia segera mengenal Siang In.
“Ah, Thio-siocia! Sudah lama Siocia tidak datang ke sini. Guru Siocia telah……”
“Cukup, Bibi Alun, aku sudah mengetahui semua. Engkau yakin benar bahwa engkau tidak mengetahui di mana adanya suheng (kakak seperguruan pria) Bouw Kiang dan suci (kakak seperguruan wanita) Bong Siu Lan? Kalau engkau tahu, katakanlah kepadaku.”
Nenek itu mengerutkan alis sambil memandang kepada Pek Hong. “Semua yang saya ketahui telah saya ceritakan kepada Tuan Puteri Moguhai, Nona, akan tetapi baru tadi saya teringat bahwa dulu sekali pernah datang seorang Hwesio yang sudah tua, tubuhnya gemuk sekali seperti arca Ji-lai-hud, suara tawanya menggelegar dan mengagetkan.
"Karena suaranya nyaring, dari dapur saya dapat mendengar ketika dia mengatakan bahwa Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Bong-siocia (Nona Bong) diharapkan kehadirannya di Puncak Pelangi. Nah, hanya itulah yang saya lupa menceritakannya kepada Sang Puteri.”
“Aih! Justru itu amat penting, Bibi!” teriak Pek Hong dan Siang In berbareng. Tentu saja kedua orang gadis ini terkejut karena yang disebut Puncak Pelangi adalah tempat pertapaan ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin!
“Tidak salah lagi, mereka pasti pergi ke sana!” kata Pek Hong.
“Kalau begitu, kita harus kejar mereka, sekarang juga!” 'kata Siang In.
Kedua orang gadis itu lalu berangkat meninggalkan kota Ceng-goan menuju ke barat. Karena jalan menurun bukit itu cukup terjal dan berbatu-batu, maka keduanya menjalankan kudanya dengan santai sambil bercakap-cakap.
“Pek Hong, dulu telah kuceritakan kepadamu bahwa biarpun aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun aku sama sekali tidak setuju dengan wataknya. Seringkali aku bahkan mencelanya sehingga dia merasa tidak suka kepadaku dan aku selalu akan menentang setiap perbuatan jahat, oleh siapa pun perbuatan itu dilakukan. Maka, engkau tidak perlu merasa rikuh menentang dua orang murid Suhu Ouw Kan itu. Aku akan membantumu!”
“Ah, aku senang sekali mendengar kata-katamu ini, Siang In. Engkau tidak mengecewakan menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin dan aku bangga mempunyai saudara kembar sepertimu.”
“Aku lebih bangga lagi kepadamu, Pek Hong. Biarpun engkau sejak kecil hidup dalam istana, akan tetapi engkau tetap menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin, menjadi seorang pendekar wanita yang gagah dan gigih menentang kejahatan. Bahkan namamu terkenal karena engkau telah membela Kerajaan Kin dan juga Kerajaan Sung Selatan dari para pemberontak.”
“Ah, jasaku tidak banyak. Souw Thian Liong yang sungguh berjasa dalam menantang para pemberontak di dua kerajaan itu. Dialah yang sepatutnya menerima pahala, akan tetapi dia seorang yang sungguh rendah hati, tidak tergoda kemilaunya harta dan kedudukan, dan bijaksana sekali.”
Siang In menghela napas panjang. Ia tahu bahwa saudara kembarnya ini bergaul akrab dengan Souw Thian Liong. Ia sendiri juga sudah mengenal baik pemuda itu dan diam-diam merasa kagum juga kepadanya. “Pek Hong, engkau... cinta padanya, bukan?”
“Eh? Mengapa engkau bertanya demikian?”
“Pek Hong, Ibu telah menceritakan semuanya kepadaku. Menurut cerita Beliau, engkau dimarahi Kaisar karena engkau menolak semua pinangan dari para pangeran dan putera bangsawan, dan Kaisar melarang engkau berjodoh dengan Souw Thian Liong karena Beliau menghendaki engkau menikah dengan seorang bangsa Yu-cen. Nah, katakan padaku, Pek Hong, apakah engkau benar-benar mencinta Souw Thian Liong...?”