Kisah Si Naga Langit Jilid 23 karya Kho Ping Hoo - DENGAN marah Pek Hong Nio-cu menggerakkan pedangnya untuk membela Thian Liong dari pengeroyokan belasan orang yang semua memiliki tingkat kepandaian silat yang sudah tinggi itu.

Melihat betapa Thian Liong dikeroyok belasan orang dan dibantu oleh Pek Hong Nio-cu yang ia tadi dengar adalah Puteri Moguhai dari Kerajaan Kin, Han Bi Lan tidak tinggal diam dan iapun cepat mencabut pedangnya dan membela Thian Liong. Gerakan Han Bi Lan ini dahsyat bukan main dan ia sengaja menerjang ke arah para pengeroyok dari Siauw-lim-pai karena untuk melawan orang-orang Kun-lun-pai ia masih merasa sungkan.
Biarpun tingkat kepandaian tiga orang muda ini, terutama sekali tingkat kepan-daian Souw Thian Liong dan Han Bi Lan, sudah tinggi dan tangguh sekali, namun mereka menghadapi pengeroyokan tigabelas orang yang rata-rata juga menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Apalagi karena Thian Liong sendiri hanya bertahan, tidak membalas kepada para pengeroyok lain kecuali kepada Cia Song, maka tentu saja tiga orang muda ini terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring dan tampak bayangan hijau berkelebat memasuki perkelahian dan terdengar suara seorang wanita. “Liong-ko (kakak Liong), jangan khawatir. Aku datang membantumu!” teriak seorang gadis berpakaian serba hijau, dan ia sudah memegang Siang-kiam (sepasang pedang) dan mengamuk, membantu Thian Liong menghadapi para pengeroyok!
“In-moi (adik In)!” Thian Liong berseru dan hatinya diliputi kebingungan karena dia telah membuat tiga orang gadis, yaitu Pek Hong Nio-cu, Si baju merah, dan Thio Siang In, terlibat dalam urusannya dengan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, juga aneh sekali, pada saat terdesak dan terancam seperti itu.
Thian Liong teringat akan persamaan wajah antara, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Dan sekarang dia teringat bahwa wajah mereka berdua itu persis sama. Bedanya hanya warna pakaian.
Kalau Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau. Selain pakaian, juga cara menyanggul rambut mereka berbeda. Kalau rambut Pek Hong Nio-cu digelung model Puteri Kin, rambut Ang Hwa Sian-li model gadis Han.
Masih ada lagi perbedaan pada wajah yang dapat membuat dia bisa mengenal mana yang satu dan mana yang yaitu pada letak tahi lalat kecil hitam. Tahi lalat Pek Hong Nio-cu berada di pipi kanan, sedangkan tahi lalat Ang Hwa Sian-li berada di pipi kiri!
“Singgg.... tranggg! Brettt!”
Thian Liong terkejut juga. Dia menangkis dua pedang akan tetapi sebatang pedang lain hampir saja mengenai dadanya. Dia masih dapat mengelak dan bajunya yang terobek. Ini akibat dia melamun dan membayangkan dua orang gadis yang berwajah mirip satu sama lain itu!
Biarpun kini dibantu lagi oleh Ang Hwa Sian-li dan tiga orang gadis jelita itu bersungguh-sungguh melakukan pertawanan untuk membela Thian Liong, tetap saja mereka berempat terdesak hebat. Apalagi setelah Hui Sian Hwesio maju pula menyerang Thian Liong.
Pemuda itu tentu saja merasa sungkan untuk melawan Hui Sian Hwesio dan hanya menghindarkan diri dengan tangkisan dan elakan. Serangan para pengeroyok lain dengan senjata dia hadapi dengan tangkisan Thian-liong-kiam. Maka dia terdesak hebat.
Han Bi Lan yang paling tangguh di antara tiga orang gadis yang membela Thian Liong, tiba-tiba harus berhadapan dengan Hui In Sian-kouw yang menyerangnya dengan pedang. Sesungguhnya, tingkat kepandaian Han Bi Lan pada saat itu masih tidak tertandingi oleh Hui In Sian-kouw, akan tetapi menghadapi serangan ketua Kun-lun-pai bagian wanita ini, Han Bi Lan menjadi rikuh bukan main.
Di antara para pimpinan Kun-lun-pai, hanya dua orang yang dia hormati, yaitu Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Kini Hui In Sian-kouw menyerangnya, maka iapun hanya berani menangkis dan mengelak. Padahal ia dikeroyok banyak orang. Maka seperti Thian Liong, Bi Lan juga hanya mampu bertahan dan terdesak hebat.
Secara tidak disengaja, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li bersatu, saling membelakangi menghadapi pengeroyokan sepuluh orang sehingga mereka terlindung di bagian belakang atau saling melindungi. Akan tetapi mereka berdua juga hanya mampu menangkis dan tidak dapat membalas.
Dalam keadaan terancam bahaya, empat orang itu menjadi nekat. Pada saat itu, terdengar seruan lembut, namun suara itu menggetar udara dan mengguncang jantung semua orang.“Sian-cai (damai)...! Kekerasan sama sekali bukan cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan!”
Hui Sian Hwesio sendiri, seorang yang paling tinggi kedudukan dan tingkat ilmu kepandaiannya, melompat ke belakang karena merasakan getaran yang amat kuat terkandung dalam suara itu. Juga yang merasakan guncangan jantung dan mereka juga melompat ke belakang sambil menoleh dan memandang kepada orang yang mengeluarkan kata-kata itu.
Orang itu berada dalam jarak belasan meter dari situ dan kini dia melangkah dan menghampiri mereka dengan tenang dan bibirnya tersenyum penuh kesabaran dan pengertian. Pakaiannya hanya kain berwarna kuning dilibat-libatkan ke tubuhnya. Rambut yang sudah berwarna dua diikat dengan pita kuning pula. Walaupun pakaiannya amat sederhana, namun tampak bersih.
Mukanya bulat dengan dagu meruncing, matanya tajam mencorong namun lembut dan hidungnya mancung. Laki-laki berusia enampuluh tahun lebih ini menunjukkan bekas ketampanan. Tubuhnya sedang namun masih tampak kuat. Dengan senyum yang khas dia menghampiri mereka dan kata-katanya tenang lembut namun terdengar jelas sekali seolah dia bicara di dekat telinga semua orang.
“Betapa menyedihkan. Kejahatan dan ketidakadilan hampir selalu berada di atas angin tanpa disadari oleh manusia yang bersangkutan!”
“Suhu......!” Thian Liong segera menjatuhkan diri berlutut menghadap laki-laki yang bukan Iain adalah Tiong Lee Cin-jin itu.
“Paman Sie....!” Pek Hong Nio-cu juga berseru dan menghampiri orang itu, wajahnya berseri gembira.
“Bangunlah, Thian Liong. Dan engkau, Moguhai, mundurlah dulu, anak yang baik, biarkan aku menghadapi mereka dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Tiong Lee Cin-jin.
Pek Hong Nio-cu gembira sekali disebut anak yang baik! Ia dan Thian Liong berdiri di dekat Han Bi Lan dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis yang tadi membantu mereka. “Terima kasih atas bantuan kalian berdua,” kata Pek Hong Nio-cu dengan ramah. Akan tetapi ketika ia beradu pandang dengan Ang Hwa Sian-li, mereka berdua terkejut dan terbelalak karena mereka merasa seolah-olah memandang dirinya sendiri dalam cermin.
Keduanya menjadi salah tingkah, bingung dan juga tegang, lalu mengalihkan perhatiannya memandang ke arah Tiong Lee Cin-jin. Sementara itu, Thian Liong memandang kepada Bi Lan dengan alis berkerut dan sinar mata menegur, akan tetapi Bi Lan menyambutnya dengan senyum mengejek!
“Omitohud!” kata Hui Sian Hwesio yang menghampiri dan berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin, “Kelirukah pinceng kalau menduga bahwa yang datang ini adalah Tiong Lee Cin-jin?” Ketua Siauw-lim-pai ini mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi salam dengan sembah.
“Tidak keliru, memang saya yang disebut orang Tiong Lee Cin-jin, Hui Sian Hwesio.”
“Omitohud! Pinceng mendapat kesempatan bertemu muka untuk mengucapkan terima kasih atas pengembalian kitab Sam-jong-cin-keng!” kata ketua Siauw-lim-pai itu.
“Kami juga mengucapkan terima kasih atas pengembalian kitab kami Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, Cin-jin,” kata Hui In Sian-kouw.
Tiong Lee Cin-jin menggoyang tangannya. “Tidak perlu berterima kasih kepada saya, karena sudah sewajarnya dan seharusnya kalau kitab-kitab itu kembali kepada pemiliknya yang sah. Kita bicarakan saja soal lain. Saya melihat tadi betapa para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mengeroyok Souw Thian Liong yang dibantu tiga orang gadis ini. Saya melihat betapa hal itu memalukan, dan tidak pantas. Para pimpinan dua perkumpulan besar mengeroyok empat orang muda!”
Dengan wajah berubah kemerahan karena merasa malu, Hui Sian Hwesio berkata, “Omitohud! Urusan kami dengan Souw Thian Liong merupakan urusan seorang murid dengan perguruannya, Cin-jin.”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum, “Begitukah, Hui Sian Hwesio? Berapa lama Thian Liong diangkat menjadi murid Siauw-lim-pai? Berapa bulan? Harap diingat bahwa Thian Liong menjadi murid saya selama sepuluh tahun! Apakah kenyataan itu tidak membuat saya lebih berhak mengurus persoalan murid saya ini dibandingkan Siauw-lim-pai?”
“Omitohud, ucapan Cin-jin memang tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi, Cin-jin, urusan ini adalah urusan Thian Liong dengan Siauw-lim-pai. Dia telah mencemarkan nama Siauw-lim-pai karena dia telah diaku sebagai murid dan untuk itu tidak mungkin kami mendiamkannya saja. Ada aturan dalam perkumpulan kami bahwa murid yang melakukan perbuatan sesat sehingga mencemarkan nama Siauw-lim-pai harus dihukum.”
“Saya tidak ingin menentang peraturan Siauw-lim-pai, akan tetapi ada peraturan yang menjadi hukum alam semesta, bahwa hanya yang bersalah saja yang harus dihukum. Apakah Siauw-lim-pai hendak melanggar hukum itu dan hendak menghukum orang yang tidak bersalah? Di mana letak keadilan yang katanya selalu dijunjung tinggi oleh para pendekar Siauw-lim-pai?”
“Omitohud, Tiong Lee Cin-jin, selamanya Siauw-lim-pai tidak akan menyalahi hukum itu. Yang dihukum hanya yang bersalah dan Souw Thian Liong jelas bersalah!”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar dan menudingkan telunjuknya kepada Cia Song yang bersembunyi di balik punggung Hui Sian Hwesio. “Yang melaporkan tentang semua kesalahan Thian Liong itu tentu muridmu yang kini bersembunyi di belakang punggungmu itu, bukan? Hui Sian Hwesio dan semua yang hadir, dengarlah. Saya sendiri yang menjadi saksi ketika Cia Song ini mewakili Perdana Menteri Chin Kui membantu para pemberontak di utara, sedangkan Thian Liong hanya membantu Puteri Moguhai untuk menghancurkan pemberontakan!
"Apakah perbuatan itu kalian anggap suatu pengkhianatan terhadap Kerajaan Sung dan mencemarkan nama Siauw-lim-pai? Bahkan Kaisar Sung Kao Tsu sendiri tidak menganggap Thian Liong sebagai pengkhianat, bahkan telah menerima Thian Liong dan Puteri Moguhai sebagai tamu kehormatan yang sudah berjasa!”
Mendengar ucapan ini, Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai lainnya kini memandang kepada Cia Song yang bersembunyi di belakang Hui Sian Hwesio. “Cia Song!” Hui Sian Hwesio berseru, suaranya masih lembut namun nadanya menegur. “Benarkah semua yang pinceng dengar itu?”
Cia Song hanya menunduk dengan wajah merah. Pada saat itu Puteri Moguhai tertawa, suara tawanya nyaring dan bebas. “Heh-heh-heh, kalian para pimpinan Siauw-lim-pai memang seperti kanak-kanak yang mudah dibohongi, seperti kataku tadi. Kalian hendak medengar cerita yang bagus tentang muridmu yang bernama Cia Song itu lebih lanjut?
"Dengar baik-baik. Si jahanam itu telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui dan ikut pula merencanakan pemberontakan! Dan siapa yang menghalangi niat busuknya itu sehingga akhirnya Chin Kui dan antek-anteknya tertangkap dan dijatuhi hukuman?
"Yang membantu adalah suheng Souw Thian Liong dan akulah yang membantunya. Bahkan semua usaha pembelaan kami terhadap Kaisar itu tentu mengalami kegagalan dan mungkin Kaisar sudah terbunuh kalau saja Paman Sie atau Tiong Lee Cin-jin, guru kami ini tidak menolong kami!
"Cia Song menjadi antek Chin Kui, membantu pemberontakan di Kerajaan Kin, kemudian setelah gagal, dia membantu Chin Kui yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Sung! Nah, sekarang siapakah yang menjadi pengkhianat dan pantas dihukum? Suheng Souw Thian Liong ataukah Cia Song?”
Hui Sian Hwesio sendiri sampai membelalakkan mata dan mukanya berubah pucat mendengar ucapan Puteri Moguhai itu. Dia memutar tubuh menghadapi Cia Song yang kini menjadi pucat wajahnya. “Cia Song, katakan, benarkah semua itu?” Hui Sian Hwesio membentak.
Pada saat itu Biauw In Su-thai berkata dengan suara nyaring dan galak. “Souw Thian Liong! Biarpun mungkin engkau tidak bersalah terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!”
“Su-moi, mari kita membalas dendam!” kata Kim Lan kepada Ai Yin.
“Mari, suci!” kata Ai Yin. Dua orang gadis itu dengan penuh kebencian karena dendam sakit hati mereka, sudah menyerang ke arah Thian Liong dengan pedang di tangan.
Akan tetapi berkelebat bayangan hijau dan bayangan putih. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu seperti telah bersepakat saja tahu-tahu telah menyambut serangan dua orang gadis Kun-lun-pai itu dengan pedang mereka. Terdengar suara gemerincing ketika pedang-pedang mereka menangkis pedang dua orang murid Kun-lun-pai yang merasa tangan mereka tergetar oleh tangkisan itu.
Thian Liong melompat ke depan. “Su-moi dan In-moi, tahan dan jangan berkelahi!”
Mendengar suara pemuda itu, Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu melangkah mundur. Pada saat itu, Cia Song yang sudah tidak mendapatkan jalan untuk menghindarkan diri dari ancaman karena rahasianya telah terbongkar itu, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
Melihat Hui Sian Hwesio berdiri di depannya dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh ke arah dada hwesio tua itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar asap hitam karena dia telah mempergunakan ilmu Hek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Hitam) yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, bangsa Hui yang sakti itu.
Hui Sian Hwesio terkejut bukan main melihat serangan itu. “Omitohud......!” Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis. Akan tetapi karena tidak menyangka akan diserang muridnya dari jarak dekat dan menggunakan ilmu pukulan asing pula, maka tangkisannya kurang cepat dan asap hitam itu hanya sebagian saja tertangkis, sebagian masih menyambar ke arah dadanya.
“Omitohud...!” Tubuh ketua Siauw-lim-pai yang gemuk tinggi besar itu terhuyung dan dia lalu duduk bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk menahan gempuran hawa beracun yang memasuki dadanya!
Setelah memukul Hui Sian Hwesio, Cia Song melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi tubuh Thian Liong juga meluncur cepat dan dia sudah menghadang Cia Song. “Manusia jahat hendak lari ke mana engkau!” kata Thian Liong.
Kedua orang muda ini saling berhadapan dengan mata mencorong. Muka Cia Song menjadi merah sekali karena dia merasa benci sekali kepada Thian Liong. Orang inilah yang mencelakakan aku, pikirnya.
Cu Sian Hwesio, Ki Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai marah bukan main melihat Cia Song tadi menyerang Hui Sian Hwesio dan mereka kini menyadari betul bahwa ternyata Cia Song yang menjadi pengkhianat dan melemparkan fitnah kepada Souw Thian Liong, lalu bergerak hendak maju mengeroyok Cia Song.
Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua lengannya dan berkata. “Biarkan mereka berdua menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tidak baik kalau kita orang-orang tua mengeroyok orang muda.”
Ucapan ini membuat para pimpinan Siauw-lim-pai terpaksa menahan amarah mereka terhadap Cia Song. Mereka hanya menonton perkelahian yang akan terjadi antara Cia Song dan Souw Thian Liong.
Sementara itu, melihat betapa Kim Lan, Ai Yin, Biauw In Su-thai merasa penasaran dan tampak sekali mereka itu siap mengeroyok Thian Liong, Han Bi Lan lalu berkata dengan suara membujuk kepada mereka.
“Saya kira sebaiknya Kun-lun-pai membiarkan saja Souw Thian Liong menyelesaikan urusannya dengan Siauw-lim-pai. Nanti masih ada waktu bagi kita untuk menuntutnya, apabila benar-benar ternyata dia bersalah.”
Para pimpinan Kun-lun-pai dapat menerima usul ini karena bagaimanapun juga, mereka merasa lebih kuat kalau Han Bi Lan berdiri di pihak mereka, kalau-kalau terjadi pertentangan dan perkelahian.
Kini semua orang menujukan pandangan mata mereka kepada dua orang muda yang saling berhadapan. Mereka menonton dengan hati tegang, terutama mereka yang sudah mengetahui bahwa Cia Song adalah murid terpandai dari Siauw-lim-pai dan agaknya dia memiliki ilmu lain yang bukan dari Siauw-lim-pai sebagaimana terbukti ketika dia menyerang Hui Sian Hwesio tadi, pukulan jarak jauh dengan kedua telapak tangan mengeluarkan asap hitam!
Yang tampak tenang-tenang saja hanyalah Tiong Lee Cin-jin, Pek Hong Nio-cu, Han Bi Lan, dan Hui Sian Hwesio karena mereka tahu akan kemampuan Thian Liong yang mereka yakin pasti akan mampu mengalahkan Cia Song.
Cia Song sendiri sudah putus harapan untuk dapat meloloskan diri dari situ. Semua tokoh Siauw-lim-pai kini memusuhinya, dan di situ masih ada tiga orang gadis lihai yang membela Thian Liong, juga ada Tiong Lee Cin-jin yang sakti sekali. Keputus-asaan ini membuat dia menjadi nekat dan ingin mengadu nyawa dengan Souw Thian Liong yang dibencinya.
“Sratt!” Tampak sinar berkilauan ketika Cia Song mencabut pedangnya yang beronce merah. “Mampuslah engkau, keparat!” Cia Song tidak memberi kesempatan kepada Thian Liong dan sudah menerjang maju dengan gerakan cepat dan dahsyat.
Thian Liong mengelak ke kiri dengan gerakan ringan dan tidak kalah cepatnya. Namun Cia Song membalik ke kanan dan kembali pedangnya menyambar ke arah leher Thian Liong.
“Tranggg...!!” Bunga api berpijar ketika Thian-liong-kiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan pertama tadi. Setelah menangkis, Thian Liong membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis serangan itu.
Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambar-nyambar sampai terasa oleh mereka yang menonton, padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini dan para penonton ada belasan meter jauhnya.
Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut itu mengamuk, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari Ali Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh yang mengandung tipu muslihat berbahaya.
Namun Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan membalas dengan ilmu pedang Thian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit). Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka seolah berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya suara berdentang dan muncratnya bunga api itu saja yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang bertanding hebat sekali.
Para penonton menahan napas dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat kemajuan muridnya yang telah mematangkan semua ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orang-orang yang tinggi ilmunya.
Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan sama-sama telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah menerima ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia Song.
Akan tetapi dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat mengimbangi lawannya, maka pertandingan itu menjadi seru dan mati-matian. Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan.
Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah lehernya, dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan kirinya menyambar, menotok siku kanan lawan.
“Tukk! Aughh...!!” Tangan kanan Cia Song terus lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Dia terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi, Thian Liong tidak mengejar lawan yang bertangan kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah menyarungkan kembali Thian-liong-kiam!
“Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung pengkhianat itu dengan pedangmu!” seru Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong menyarungkan pedangnya.
“Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri!” kata pula Ang Hwa Sian-li.
“Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong Souw Thian Liong jauh lebih unggul!” kata Han Bi Lan tertawa.
Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai diam-diam kagum akan sikap Thian Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap gagah seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menang.
Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas. Thian Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu kembali bertanding, kini dengan tangan kosong.
Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para penonton yang menonton dengan jantung berdebar tegang saking hebatnya perkelahian itu. Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih tinggi.
Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti akan roboh dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu mengadu nyawa dengan orang yang dibencinya ini.
Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil melompat ke belakang, lalu kedua lengannya bergerak dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak dekat dengan ilmu Hek-in Hoat-sut. Asap hitam menyambar dari kedua telapak tangannya.
Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian Liong lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap hitam itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
“Plakk....!!” Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti untuk saling dorong dan saling mengalahkan!
Ketegangan memuncak di antara penonton menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua maklum bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan saling menempel, mengeluarkan asap hitam, namun sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati-matian dan adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian kepada yang kalah kuat!
Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau Thian Liong tidak mampu menahan panas yang membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio-cu bergerak hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan menghadangnya sambil berkata lembut namun berwibawa.
“Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh curang!” “Paman Sie... suheng... dia....”
“Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya,” kata Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum.
Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan. Entah mengapa, seolah ada daya yang saling menarik antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka berdua sama-sama merasa cemas menyaksikan Thian Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia Song.
Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat. Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati hidupnya setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia Song mengerahkan seluruh tenaga sakti dan tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga yang dikerahkan Cia Song, bajunya terobek, koyak-koyak dan dadanya tampak karena bajunya terbuka.
Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang. Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu.
Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia Song terlempar kebelakang dan roboh terbanting. Dia rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya.
“Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam kaparat ini yang telah memperkosa kita!” teriak Ai Yin dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia Song yang masih rebah tak berdaya.
Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari menghampiri dan dara ini berteriak, “Keparat Cia Song! Engkau yang telah berbuat keji kepadaku!”
Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal ini terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song sudah tercacah-cacah menjadi onggokan daging berdarah-darah!
Tiga orang gadis itu membacoki sambil menangis dan air mata mereka bercucuran, darah korban memercik ke pakaian mereka. Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri!
Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan yang merampas pedang dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat. Orang itu ternyata adalah Kwee Bun To, ayah Bi Hwa.
Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini menangis dalam rangkulan tiga orang yang mencegah mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Sian-kouw dan Kwee Bun To menghibur dan menasihati tiga orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa membunuh diri bukan perbuatan yang patut dilakukan orang-orang gagah.
Seorang pendekar bukan saja harus menentang kejahatan, akan tetapi juga harus berani menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh diri hanya dilakukan para pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri hidupnya.
Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin dan merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak kemerahan karena malu dan pandang matanya sayu karena penyesalan. “Omitohud....! Pinceng telah bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak adil telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw Thian Liong. Tian Liong dan Cin-jin yang mulia, harap maafkan pinceng sekalian.”
'Siancai (damai)...! Manusia berbuat kesalahan, itu biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya dan berhasil menemukan hikmah dari kesalahan itu dan bertaubat, itu adalah bijaksana!” kata Tiong Lee Cin-jin lirih seperti orang membaca sajak.
“Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu sekalian hanya tertipu,” kata Thian Liong sederhana.
Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong. “Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua orang muridku!” kata Biauw In Su-thai.
Kim Lan dan Ai Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga minta maaf. “Souw-taihiap.... maafkan kami....” isak mereka.
“Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah.”
“Tidak bersalah apa?” tiba-tiba Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu berteriak. “Mereka mengadakan aturan gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak bersalah?”
Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah merah sekali. “Untuk itu akulah yang bersalah dan aku telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak bersalah karena mereka hanya menaati perintahku. Akulah yang bersalah...”
Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat ini, Pek Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak berani membantah akan tetapi juga merasa penasaran.
Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee Cin-jin. “Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun-pai, akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada muridmu. Sungguh kami merasa malu dan menyesal sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu.”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar. “Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia yang dikuasai setan, tidak ada yang patut disalahkan, tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee Bun To juga mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis pergi dari situ.
Demikian pula Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai yang lain pergi setelah mereka membawa jenazah Cia Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar untuk diperabukan di tempat yang layak.
Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru mereka mendapat kesempatan untuk saling pandang dengan penuh selidik.
Mereka saling pandang dengan hati tertarik dan semakin menyadari betapa mereka itu mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah memandang bayangan sendiri dalam cermin, hanya bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda!
“Hei, engkau ini siapakah?” Ang Hwa Sian-li akhirnya bertanya lebih dulu.
Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat ia bersikap agak angkuh, menjawab. “Kenapa tidak kau perkenalkan lebih dulu dirimu kepadaku?”
Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah.
Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu segera menyambutnya dengan wajah berseri, “Paman Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat bicara dengan ibuku di taman itu, bukan?”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada mereka berdua. Senyum dan pandang matanya mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua orang gadis itu. “Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan aku akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian berdua tidak akan merasa bingung dan heran lagi. Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan semua hal kepada kalian berdua.”
Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan hutan yang tidak jauh dari situ. Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee Cin-jin.
Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang diceritakan ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin, juga ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan orang sakti itu.
Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum, hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu dan pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda itu, karena dengan bantuan itu berarti ia telah “membayar” kesalahannya mencuri kitab itu dahulu!
“Hei, kita berjumpa lagi!” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat pemuda itu memandangnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Dan tidak menjawab ucapan yang gembira tadi.
“Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet kehilangan ekornya itu!”
Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, membuat dia setengah mati mencarinya ke mana-mana. Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab yang dicurinya itu, juga gadis itu akan dia pukul pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar anaknya yang bengal!
“Gadis jahat!” dia menegur. “Engkau telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu kepadaku!”
Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan tersenyum dan mengerling manja. “Aih, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan kepada para pimpinan Kun-lun pai....”
“Engkau bohong! Engkau maling, penipu, pembohong pula!” bentak Thian Liong.
Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini merupakan peluapan perasaannya kalau ia marah.
“Hemm, kau kira hanya engkau seorang saja yang baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku tidak bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai murid! Kau masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi bersusah payah membela dan membantumu menghadapi mereka? Berarti aku sudah menebus kesalahanku kepadamu!”
Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw kepada gurunya tadi. Ketua Kun-lun-pai itu mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih belum hilang.
“Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau kesengsaraan yang harus kualami karena engkau mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah merantau sampai ribuan lie ke utara dan barat untuk mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu dianggap sudah hilang hanya karena engkau membantuku tadi!”
Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil membanting-banting kaki kiri, ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru lantang. “Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak takut padamu! Mau bunuh? Silakan!”
“Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau aku dapat bertemu denganmu, engkau akan kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!”
“Engkau berani?” Bi Lan menantang. “Coba, kalau engkau berani!!” Setelah berkata demikian, Bi Lan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap menantang sekali, kedua lengan menyilang di depan dada dan jari tangannya memberi isyarat tantangan agar Thian Liong maju menyerangnya kalau berani!
Thian Liong menjadi semakin gemas. Bocah ini sungguh kurang ajar dan tidak tahu diri, pikirnya. “Hemm, kau kira aku hanya menggertak sambal saja? Tentu saja aku berani, mengapa tidak? Heiiittt......!” Thian Liong sudah menerjang untuk menangkap gadis itu.
“Heeeeiiitt!” Bi Lan mengelak dan kakinya mencuat, menyambar dengan tendangan ke arah perut Thian Liong!
Thian Liong terkejut karena dari sambaran tendangan itu, dia tahu bahwa serangan gadis itu sungguh-sungguh dan amat berbahaya. Dia semakin marah. Bocah ini malah menyerangnya dengan serangan maut! “Kurang ajar!” katanya dan dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki yang menendang itu.
“Engkau yang kurang ajar!” bentak Bi Lan yang cepat menarik kembali sehingga tidak dapat ditangkap dan ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Gadis ini sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang pemuda yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, maka begitu menyerang ia langsung saja memainkan ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang menjadi ilmu rahasia dan simpanan para pimpinan Kun-lun-pai.
Thian Liong terkejut sekali. Ini bukan serangan main-mainan dan ilmu silat yang dimainkan gadis ini juga bukan ilmu sembarangan! Cepat seperti kilat menyambar dan membawa tenaga sakti yang amat kuat! Diapun cepat memainkan ilmu silat Sam-jong Cin-keng yang diajarkan Hui Sian Hwesio kepadanya. Kalau dia menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, dia akan pasrah sedemikian rupa sehingga tidak ada serangan lawan yang akan mampu mencelakai dirinya.
Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak mau melakukan ini dan hendak melawan ilmu silat gadis itu dengan ilmu silat lain yang tidak kalah ampuhnya. Diam diam dia merasa kagum sekali kepada gadis ini. Tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu atau Ang Hwa Sian-li!
“Duk-duk-dukkkk!!” tiga kali lengan mereka bertemu dan tubuh Bi Lan terhuyung ke belakang. Ia semakin marah dan tiba-tiba ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Thian Liong. “Wuuuusshhhh!” Angin yang amat dahsyat dan mengandung hawa panas menyambar.
Thian Liong cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Terjadi adu tenaga sakti. Akan tetapi Thian Liong tidak mau mencelakai gadis itu, maka dia menyambut dengan tenaga lunak sehingga akibatnya, tenaga sakti Bi Lan seolah amblas ke dalam air dan hilang tanpa bekas dan tidak menimbulkan kerusakan apapun!
Kembali Bi Lan terhuyung karena tenaganya yang bertemu kekosongan itu membuat ia terdorong. Ia semakin marah dan begitu ia berkemak-kemik, keluarlah asap hitam menyerang Thian Liong. Pemuda itu mengibaskan lengan kirinya dan asap hitam itupun membuyar. Bi Lan lalu mengeluarkan pekik melengking dan Thian Liong merasa betapa pekik itu mengandung getaran amat kuat yang membuat jantungnya terguncang.
Dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Bi Lan bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga menguasai ilmu sihir. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya, dia dapat menenteramkan jantungnya, bahkan dia mendapat kesempatan untuk bergerak mendekat dan secepat kilat tangannya berhasil nenotok jalan darah di pundak Bi Lan.
“Tukkk...!!” Tubuh Bi Lan terkulai dan tentu ia sudah roboh terguling kalau saja Thian Liong tidak cepat menangkap lengannya. Pemuda itu lalu duduk dengan kedua kaki di julurkan dan melintangkan tubuh Bi Lan menelungkup di atas kedua pahanya.
“Nah, bocah nakal, sekarang rasakan hukuman yang sudah kujanjikan!” kata Thian Liong, kemudian dia menggunakan tangan kanannya untuk menampar sepasang bukit pinggul yang menonjol itu sebanyak sepuluh kali, lima di kiri dan lima di kanan.
“Plak-plak-plak....”
“Setan kau! Monyet, anjing, babi, kuda, kucing, tikus busuk kau.:.!!” Bi Lan yang lemas tak mampu meronta itu memaki-maki. Mungkin kedua bukit pinggulnya menjadi merah sekali seperti kedua pipinya saat itu saking marahnya.
Setelah menampar sepuluh kali, Thian Liong melepaskan Bi Lan, bangkit berdiri dan menepuk pundak gadis itu untuk membebaskannya dari totokan. Gadis itu bangkit berdiri dan memandang Thian Liong dengan mata bersinar. Dari pelupuk mata itu turun dua tetes air mata.
“Souw Thian Liong….!” katanya dengan suara mengandung dendam kemarahan. “Awas kau...! Aku akan memperdalam ilmuku dan kau tunggu saja pembalasan Han Bi Lan!” Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi mendengar disebutnya nama ini, Thian Liong terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melewati Bi Lan dan berdiri menghadang di depan gadis itu. Melihat ini, Bi Lan semakin marah dan berdiri dengan mata mencorong. “Kau... namamu.... Han Bi Lan??”
“Kalau benar kau mau apa?”
“Han Bi Lan, ayah ibumu, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi mencari-carimu. Mereka tinggal di dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat)....”
Belum habis Thian Liong bicara, Bi Lan sudah melompat dan berlari cepat meninggalkannya. Sejenak Thian Liong hanya bengong memandang ke arah larinya gadis itu. Hatinya mulai merasa menyesal. Dia memang mendongkol dan gemas kepada gadis itu, akan tetapi andaikata dia tadi tahu bahwa gadis itulah puteri Han Si Tiong, tentu dia tidak akan melaksanakan keinginannya menghajar gadis itu dengan menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali!
Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan dia merasa tidak enak sekali kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia menghela napas panjang lalu duduk di atas batu, menanti munculnya gurunya yang tadi mengajak Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li memasuki hutan di depan itu.
Kalau Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai tidak merasa heran mendengar ajakan Tiong Lee Cin-jin untuk mengikutinya masuk ke dalam hutan, Ang Hwa Sian-li merasa heran dan bingung. Akan tetapi karena ia sudah mendengar akan kesaktian tokoh yang dijuluki orang Yok-sian (Tabib Dewa) itu, iapun mengikutinya tanpa membantah.
Setelah menemukan tempat yang nyaman dalam hutan itu, atas ajakan Tiong Lee Cin-jin, mereka bertiga duduk saling berhadapan di atas batu. Sejenak Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu dan kedua matanya tampak basah. Dia menarik napas panjang beberapa kali seolah hendak menenangkan guncangan hatinya. Kemudian dia mulai berkata,
“Aku mengajak kalian berdua untuk bicara di tempat ini agar jangan sampai terdengar orang lain. Tadinya aku ingin menyimpan rahasia ini dari kalian, akan tetapi mengingat bahwa kalian telah menjadi gadis-gadis dewasa yang telah memiliki ilmu kepandaian yang dapat kalian andalkan, dan melihat kalian berdua tadi saling berpandangan dengan keheranan terbayang di wajah kalian.
Aku tidak mungkin dapat menyimpan rahasia ini. Kalian berhak untuk mengetahuinya. Sebelum aku melanjutkan, hendaknya kalian lebih dulu menceritakan siapa nama kalian yang sesungguhnya dan sedikit tentang orang tua kalian. Pek Hong Nio-cu, engkau mulailah lebih dulu.”
Pek Hong Nio-cu yang menganggap Tiong Lee Cin-jin sebagai paman dan juga gurunya, segera menjawab. “Paman, nama saya yang aseli adalah Moguhai. Ayah saya adalah Raja Kerajaan Kin dan ibu saya seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin.”
“Dan engkau?” tanya Tiong Lee Cin jin kepada Ang Hwa Sian-li.
“Nama saya adalah Thio Siang In. Ayah saya seorang pemburu bernama Thio Ki dan ibu says seorang wanita Uigur bernama Miyana. Menurut cerita ibu, ibu saya adalah seorang puteri kepala suku Uigur.”
Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. “Mungkin kalian akan lebih berbahagia kalau kalian tinggal sebagai apa yang kalian ketahui sekarang, akan tetapi aku akan merasa bersalah kalau tidak menceritakan kepada kalian. Kalian berhak mengetahui dan semoga Tuhan mengampuni aku dan memberkati kalian. Dengarlah ceritaku ini, Siang In dan Moguhai!”
Dua orang gadis itu saling pandang, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan keinginan tahu. Dengan suara tenang dan lembut, Tiong Lee Cin-jin bercerita. “Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu ada sepasang orang muda yang saling jatuh cinta. Akan tetapi karena pemuda itu miskin sekali, kedua orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Bahkan akhirnya gadis itu diminta oleh Raja untuk menjadi selirnya.”
Dia berhenti sebentar dan kembali menghela napas. Agaknya berat sekali rasa hatinya untuk menceritakan apa yang dikatakan rahasia itu. “Akan tetapi, karena gadis itu amat mencinta si pemuda, maka sebelum ia dibawa ke istana raja, ia menyerahkan diri kepada kekasihnya sehingga ketika akhirnya ia dibawa pergi ke istana untuk menjadi selir raja, ia sudah mengandung.”
Dua orang gadis itu merasa terharu, akan tetapi kalau Moguhai merasa jantungnya berdebar tegang, adalah Ang Hwa Sian-li yang merasa tidak mengerti, apa hubungannya cerita itu dengan dirinya.
“Nah, gadis itu menjadi selir terkasih dari raja. Ketika ia melahirkan, sang raja menganggap anak yang dilahirkan itu anaknya sendiri. Akan tetapi dia tidak tahu akan sebuah rahasia lain lagi. Ketika gadis itu melahirkan, ia melahirkn sepasang anak kembar.”
Kini Ang Hwa Sian-li baru terkejut dan tegang, lalu kedua orang gadis itu saling pandang dengan seribu pertanyaan dalam pandang mata mereka.
“Karena tahu bahwa Raja akan menganggap kelahiran kembar itu suatu malepetaka dan mungkin kedua anak akan dibunuh, maka ibu muda itu lalu cepat menghubungi seorang sahabatnya terdekat, yaitu seorang janda muda dan mereka berdua lalu membuat persekutuan. Seorang dari anak kembar itu diserahkan kepada si sahabat yang membawanya lari keluar dari kota raja.
"Dan dilaporkan kepada Raja bahwa selirnya hanya melahirkan seorang anak perempuan. Bidan yang membantu kelahiran ternyata mati beberapa hari kemudian tanpa ada yang mengetahui apa sebabnya. Nah, Raja menganggap bahwa selirnya melahirkan seorang anak perempuan.
"Dan janda muda yang melarikan anak kembar yang kedua itu akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang nenganggap anak bayi bawaan isterinya itu sebagai anaknya sendiri. Diapun tidak tahu akan rahasia anak kembar, hanya menganggap bahwa bayi perempuan itu adalah bawaan janda yang kini menjadi isterinya.”
Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu yang kini tampak pucat. “Kalian berdua dapat mengerti dan menebak siapa sesungguhnya mereka semua itu?”
Dengan wajah pucat dan suara gemetar Puteri Moguhai berkata. “......gadis itu adalah ibu kandungku dan raja itu adalah ayahku, Raja Kin! Akan tetapi dia ternyata hanya ayah tiriku, ayah kandungku adalah kekasih ibuku itu… dia… dia adalah... engkau!”
“Dan gadis kembar yang dibawa janda itu adalah aku, janda itu adalah ibuku yang kawin dengan ayahku. Ternyata ibu dan ayahku bukan orang tuaku. Orang tuaku adalah selir raja itu dan...... engkau......!”
Dua orang gadis itu memandang kepada Tiong Lee Cin-jin dengan sinar mata mencorong penuh selidik lalu keduanya bertanya dengan suara hampir berbareng. “Benarkah itu??”
Kini dua tetes air mata jatuh ke pipi Tiong Lee Cin-jin, dan dia mengangguk angguk. “Benar, kalian adalah anak-anakku.”
“Ayah....!” Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis gagah perkasa dan berilmu tinggi itu mendadak kehilangan kegagahan mereka. Mereka menubruk dan merangkul Tiong Lee Cin jin dari kanan dan kiri sambil menangis seperti dua orang gadis cengeng dan manja!
Dengan mata basah Tiong Lee Cin-jin merangkul dua orang gadis itu dan sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keharuan den kesedihan mengingat akan keadaan mereka yang terpisah-pisah.
“Engkau.... adik atau kakakku....?” Ang Hwa Sian-li kini saling berpelukan dan berciuman dengan Pek Hong Nio-cu.
“Siang In, engkau yang muda karena Moguhai lahir lebih dulu,” kata Tiong Lee Cin-jin. Mereka tenggelam ke dalam keharuan dan kesedihan, akan tetapi juga pada dasarnya merasa bahagia.
“Sekarang bagaimana setelah kami mengetahui rahasia ini, ayah?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil memegangi tangan kanan Tiong Lee Cin-jin.
“Apakah kami harus membuka rahasia ini kepada ayah tiri kami?” sambung Ang Hwa Sian-li, memegangi tangan kiri ayahnya.
“Untuk menjawab itu, aku ingin bertanya dulu kepada kalian yang harus dijawab sejujurnya. Moguhai, apakah Raja Kin dan keluarga di istana menyayangmu?”
Pek Hong Nio-cu mengangguk. “Mereka semua menyayang saya, ayah. Bahkan Raja amat menyayang saya.”
“Bagus! Dan bagaimana dengan engkau, Siang In. Apakah Thio Ki dan Miyana menyayangmu?”
“Mereka amat sayang kepadaku, ayah.”
“Nah, kalau begitu, biarkanlah keadaan seperti itu. Kalau kalian membuka rahasia ini, mungkin akan timbul akibat-akibat yang tidak enak dan tidak baik. Kalian dapat berhubungan seperti sahabat, dapat saling mengunjungi dan tentu saja kalau kalian saling mengunjungi, ibu kalian akan mengenal kalian sebagai saudara kembar. Agar kesamaan kalian tidak terlalu menyolok, tetaplah kalian berpakaian seperti ciri khas kalian sekarang. Rahasia ini hanya diketahui oleh ibu kalian masing-masing, dan oleh kita bertiga. Jangan ada orang lain yang mengetahuinya.”
“Baik, ayah,” kata mereka berbareng.
“Dan jangan panggil ayah kepadaku. Panggil saja Paman Sie, karena namaku memang dahulu Sie Tiong Lee. Akan tetapi dalam hati aku tetap ayah kalian dan kelak aku ingin menurunkan beberapa ilmu lagi kepada kalian secara bergiliran. Sekarang, mari kita keluar dari hutan menemui Thian Liong. Dia tentu sudah menunggu kita.“
Mereka semua bangkit berdiri. “Eh, nanti dulu!” kata Ang Hwa Sian-li sambil tertawa cekikikan dan membuka buntalan pakaiannya mengeluarkan sepasang pakaian serba hijau persis seperti yang dipakainya karena memang yang diambilnya itu pakaian penggantinya. “Nah, kau pakai ini, Pek Hong,” kata Ang Hwa Sian-li.
“Untuk apa, Ang Hwa?” tanya Pek Hong Nio-cu.
“Ha-ha, bagus sekali itu!” tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin tertawa. “Bagus sekali kalau aku memberimu nama baru, menggunakan nama julukan kalian. Moguhai kuberi nama Sie Pek Hong dan Thio Siang In kuberi nama Sie Ang Hwa!”
Ketiganya tertawa senang. “Ang Hwa, untuk apa aku harus memakai pakaian yang sama denganmu? Bukankah ayah.... eh, Paman Sie tadi mengatakan agar kita memakai pakaian kita sendiri agar persamaan antara kita tidak sangat menyolok?”
“Aku ingin menggoda Thian Liong dan melihat apakah dia dapat mengenal kita,” kata Ang Hwa.
Pek Hong tertawa cekikikan dan iapun setuju, lalu dipakainya pakaian itu. Gelung rambutnyapun diubah dan dengan bantuan Ang Hwa, sebentar saja di situ ada dua Ang Hwa Sian-li! Tiong Lee Cin-jin hanya menggeleng geleng kepala sambil tersenyum. Anak anaknya ini menjadi dua orang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, juga lincah jenaka.
Souw Thian Liong masih duduk melamun ketika mereka bertiga menghampiri dari belakang. Mendengar langkah mereka, dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan... menjadi bengong karena di depannya berdiri dua orang Ang Hwa Sian-li. Wajahnya persis, pakaiannya sama, bentuk rambutpun serupa, masing-masing memakai bunga mawar merah di rambutnya dan keduanya tersenyum manis kepadanya! Dia menjadi bengong dan heran.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Thian Liong, kami hanya ingin mengujimu, apakah engkau dapat mengenal yang mana Ang Hwa Sian-li yang aseli dan yang mana Pek Hong Nio-cu?”
Thian Liong tersenyum dan mnghampiri. Tentu saja dia tahu karena dia masih ingat. Yang mempunyai tahi lalat di pipi kiri adalah Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu mempunyai tahi lalat di pipi kanan! Akan tetapi dia tidak mau membuang kesukacitaan dalam hatinya karena dia mengenal rahasia perbedaan mereka, yaitu pada tahi lalat mereka. Biarlah dia disangka tidak tahu. Dia lalu menunjuk kepada Pek Hong Nio-cu dan berkata lantang. “Engkaulah Ang Hwa Sian-li yang aseli! Benar, kan?”
Dua orang gadis itu tertawa girang akan tetapi tidak menjawab. Merekapun merasa senang karena tidak dapat menebak dan ingin menyimpan rahasia mereka.
“Thian Liong, sekarang saatnya kita berpisah. Aku harap engkau memperoleh banyak pelajaran tentang semua pengalamanmu yang lalu dan di masa mendatang akan berlaku hati-hati sekali karena di dunia ini lebih banyak terdapat orang sesat daripada yang benar. Mereka berdua ini akan pergi bersamaku, kembali ke utara. Selamat berpisah, Thian Liong.”
Thian Liong memberi hormat kepada gurunya. “Selamat jalan, suhu. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu, selamat jalan dan terima kasih atas bantuan dan semua kebaikan kalian selama ini kepadaku.”
Dua orang gadis itu tersenyum manis. “Selamat tinggal, Souw Thian Liong!” kata mereka, lalu mereka mengikuti Tiong Lee Cin-jin menuju ke utara.
Thian Liong memandang ke arah mereka pergi, sampai bayangan mereka menghilang di balik pohon-pohon. Tiba-tiba dia merasa kehilangan, merasa kesepian dan sedih! Bayangan tiga raut wajah yang cantik jelita dan memiliki daya tarik khas masing-masing silih berganti muncul dalam ingatannya.
Han Bi Lan, Ang Hwa Sian-Ii, dan Pek Hong Nio-cu. Dan kini mereka semua telah pergi meninggalkannya. Betapa dia sayang kepada mereka. Sekarang dia seorang diri, sebatang kara, kesepian.
“Huh! Cengeng!” Dia menepuk dahi sendiri lalu melangkah pergi, senyumnya muncul kembali dan langkahnya tetap....