Kisah Si Naga Langit Jilid 22

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 22 karya Kho Ping Hoo - "GURU hamba seorang pertapa kelana yang bernama Tiong Lee Cin-jin yang mulia,” jawab Thian Liong.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Kaisar membelalakkan kedua matanya. “Tiong Lee Cin-jin? Kami pernah mendengar nama besarnya! Bukankah dia yang dijuluki Yok-sian?”

“Benar, yang mulia?”

“Ah, pantas engkau yang masih begini muda berkepandaian tinggi dan berwatak bijaksana, Souw Thian Liong! Kiranya engkau murid Dewa Obat itu! Dan bagaimana dengan engkau, Sie Pek Hong? Apakah engkau juga murid Dewa Obat?”

“Guru hamba adalah Paman Sie, yang mulia.”

“Paman Sie? Siapa dia?”

“Paman Sie adalah orang yang telah membebaskan hamba berdua dari kamar tahanan dan menyelamatken hamba dari serangan panah penjahat dan yang menyuruh hamba berdua cepat menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya,” kata Pek Hong dengan lantang dan dia menengok kepada Thian Liong dengan pandang mata menantang!

“Hei? Bagaimana ini? Bukankah tadi Souw Thian Liong mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin? Sekarang engkau mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah Paman Sie, guru Sie Pek Hong!”

“Ampun, yang mulia, hamba berdua tidak berbohong!” kata Thian Liong cepat-cepat. “Sesungguhnya, ketika suhu Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu kepada Sie Pek Hong, beliau memakai nama Paman Sie.”

“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Keterangan Souw Thian Liong itu kurang tepat dan terbalik. Yang benar, ketika Paman Sie mengejarkan ilmu kepada Souw Thian Liong, beliau memakai nama Tiong Lee Cin-jin!” kata Sie Pek Hong dan kembali ia mengerling kepada Thian Liong dengan sinar mata menantang dan tidak mau kalah!

Mendengar ucapan dua orang muda itu dan melihat betapa mereka saling berpandangan dengan sinar mata tidak mau kalah, membuat kaisar tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda yang lucu! Ingin sekali kami melihat bagaimana sikap guru kalian itu kalau mendengar dirinya diperebutkan dengan dua nama, ha-ha-ha!”

Dalam kesempatan itu, kaisar tampak gembira dan dia menyuruh dua orang muda itu tinggal di kamar-kamar tamu dan menjadi tamu istana sambil menanti datangnya saat persidangan dan menanti panggilan. Ketika Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong mohon agar mereka diperkenankan membawa senjata mereka yang kemarin dulu ditinggalkan dan disimpan di rumah Panglima Kwee, kaisar segera mengijinkan.

Setelah pertemuan itu selesai, Kwee-ciangkun pulang dan tak lama kemudian dia mengutus pengawalnya menyerahkan pedang Thian-liong-kiam dan pedang bengkok kepada Thian Liong dan Pek Hong.

Panglima Kwee Gi dan para panglima lain yang setia kepada kaisar dan yang menentang Perdana Menteri Chin Kui, diam-diam telah mempersiapkan pasukan yang kuat untuk melindungi istana kalau-kalau Chin Kui dan sekutunya mengadakan pemberontakan dengan menggunaken pasukan dari para panglima yang bersekutu dengannya.

Hari dan saat yang ditunggu-tunggu oleh kedua pihak yang bersengketa itu akhirnya tiba. Kaisar Sung Kao Tsu memerintahkan mereka yang bersengketa menghadap di persidangan. Tidak seperti biasa, sekali ini ketika Perdana Menteri Chin Kui mohon menghadap sebelum persidangan dimulai, kaisar tidak mau menerimanya dan memerintahkan agar Chin Kui langsung menghadap di ruang persidangan seperti para pejabat tinggi lainnya.

Hal ini tentu saja membuat Chin Kui curiga dan merupakan tanda bahaya baginya. Maka diapun menghubungi sekutunya untuk bersiap siaga melaksanakan rencana mereka kalau-kalau dia kalah dalam persidangan itu.

Semua pejabat tinggi sudah berkumpul di ruangan persidangan dan ketika kaisar muncul, semua orang memberi hormat seperti biasa. Dengan sendirinya kedua pihak berikut sekutu mereka sudah mengambil tempat yang berpisah, Kwee-ciangkun dan sekutunya berada di bagian kanan sedangkan Chin Kui dan sekutunya berada di bagian kiri ruangan itu.

Kaisar membuka persidangan itu dengan mempersilakan Kwee-ciangkun yang bertindak sebegai penuduh untuk bicara. Kwee-ciangkun tetap dengan tuduhan semula, yaitu menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekutu dengan para pemberontak di Kerajaan Kin untuk menggulingkan Kaisar Kin dengan pamrih agar kelak kaisar yang baru Kerajaan Kin akan membantunya menggulingkan pemerintah Kerajaan Sung.

“Apa yang hamba laporkan ini bukan merupakan tuduhan kosong, Sri Baginda yang mulia. Jelas bahwa Perdana Menteri Chin Kui mengirim wakilnya yang bernama Cia Song untuk bersekongkol dengen Pangeran Hiu Kit Bong untuk mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin.”

Setelah diberi kesempatan, Perdana Menteri Chin Kui kukuh membantah dengan sikap angkuh. “Semua itu fitnah belaka, Yang Mulia. Hamba selalu setia kepada paduka, siap mengorbankan nyawa demi paduka dan Kerajaan Sung. Bagaimana mungkin hamba berkhianat? Siapa itu Cia Song? Hamba tidak mengenalnya.

"Kalau memang benar hamba mengirim orang bernama Cia Song ke utara, silakan paduka memanggil orang itu untuk menjadi saksi! Panglima Kwee dan kawan-kawannya ini berani melempar fitnah kepada hamba, hal itu berarti hendak mengadu domba dan jelas mereka hendak memberontak terhadap paduka!”

Pada saat itu, seorang pengawal memasuki ruangan dan setelah memberi hormat kepada kaisar, dia melaporkan bahwa telah datang seorang utusan dari Kaisar Kin yang mohon untuk menghadap kaisar. Sebetulnya utusan ini adalah Pangeran Kuang, adik tiri Kaisar Kin dan kedatangannya sudah kemarin. Akan tetapi telah diatur oleh kaisar sendiri agar utusan itu menghadap pada saat persidangan itu.

“Bawa dia masuk!” perintah kaisar kepada pengawal.

Tak lama kemudian, Pangeran Kuang sudah memberi hormat di depan kaisar, memperkenalkan diri sebagai utusan Kaisar Kin dan menyerahkan segulung surat. Surat diterima dan dibaca sendiri oleh kaisar. Kemudian kaisar menyerahkan gulungan surat itu kepada seorang thai kam yang melayaninya dalam urusan surat menyurat dan memerintahkan thai-kam itu untuk membacanya kuat-kuat agar semua orang mendengarnya.

Dengan suara lantang thai-kam itu membacakan surat dari Kaisar Kin. Surat itu jelas menyatakan bahwa Perdana Menteri Chin Kui telah bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dengan mengirim seorang utusan bernama Cia Song.

Dikatakan bahwa menurut pengakuan para pemberontak, Perdana Menteri Chin Kui bersekongkol dangan para pemberontak dengan pamrih kalau pemberontakan itu berhasil, kelak para pemberontak akan membantu Perdana Menteri Chin Kui merampas tahta Kerajaan Sung!

Suasana menjadi sunyi sekali ketika thai-kam yang bersuara lantang itu membacakan surat itu sampai habis. Kaisar Sung Kao Tsu lalu memandang kepada Chin Kui. “Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana tanggapanmu dengan surat dari Kaisar Kin ini?”

“Sri Baginda yang mulia! Semua ini adalah fitnah yang sudah direncanakan lebih dulu oleh Panglima Kwee dan sekutunya. Jelaslah bahwa justeru Panglima Kwee yang bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menjatuhkan hamba sehingga Panglima Kwee dan Kaisar Kin kini mengeroyok hamba dengan fitnah keji. Hamba dituduh bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin. Tidak masuk akal dan fitnah belaka.

"Mengapa hamba harus membantu pemberontakan di sana? Apa untungnya bagi hamba? Mereka melempar fitnah keji bahwa hamba mengutus wakil yang bernama Cia Song ke utara. Apa buktinya? Kenapa tidak ditangkap saja itu Cia Song dan diseret ke sini agar dia dapat menceritakan hal yang sebenarnya? Hamba tidak mengenalnya!

"Selama ini hamba selalu setia dan tidak pernah berbohong kepada paduka, Sri Baginda. Hamba berani bersumpah bahwa hamba tetap setia dan jujur. Mereka sengaja menjatuhkan fitnah!”

Setelah Chin Kui selesai bicara, kaisar menoleh kepada Panglima Kwee. “Kwee-ciangkun, sekarang giliranmu untuk memberi tanggapan.”

“Sri Baginda yang mulia, pembelaan diri Perdana Menteri Chin Kui itu hanya dibuat-buat. Telah terbukti nyata bahwa dia adalah seorang pengkhianat yang berhati palsu, pada lahirnya bersikap baik dan setia kepada paduka, akan tetapi dalam batinnya dia seorang pengkhianat besar.

"Hal ini telah dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, terjadi di dalam istana. Perdana menteri yang khianat ini telah mengirim orang-orang untuk membunuh Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga mengirim pembunuh yang nyaris dapat membunuh Sri Baginda Kaisar!”

Semua orang yang mendengar tuduhan ini menjadi terkejut dan terbelalak. Tentu saja Kaisar tidak terkejut karena sudah mengetahui akan peristiwa yang memang dirahasiakan itu.

“Penasaran!” Chin Kui berteriak. “Sri Baginda yang mulia, apakah paduka dapat menerima dan mendiamkan saja fitnah-fitnah keji dan jahat yang mereka lontarkan kepada hamba? Hamba menolak semua tuduhan itu karena hamba tidak merasa melakukannya! Apa buktinya, siapa saksinya untuk membenarkan semua fitnah keji itu? Orang she Kwee, berani benar engkau menyebar kebohongan keji di depan Sri Baginda yang mulia!”

Chin Kui tidak merasa kalah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang yang bertugas membunuh akan tetapi telah gagal itu telah mati semua, kecuali Cia Song yang dapat meloloskan diri dan sekarang telah pergi entah ke mana. Karena yakin bahwa tidak mungkin ada bukti dan saksinya, maka Chin Kui merasa tenang dan menantang para penuduhnya.

Kwee-ciangkun berkata kepada kaisar, “Ampun, Sri Baginda yang mulia. Mohon perkenan paduka agar hamba dapat mendatangkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong sebagai saksi.”

Kaisar mengangguk dan Panglima Kwee lalu memberi isyarat kepada pengawal. Pengawal mengiringkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong memasuki ruangan dan kedua orang muda itu segera menghadap kaisar dan memberi hormat.

Pangeran Kuang memandang dengan mata terbelalak kepada Sie Pek Hong dan tanpa disadari dia berseru dengan girang. “Puteri Moguhai…”

Pek Hong Nio-cu yang memakai nama Sie Pek Hong dan nama aselinya adalah Puteri Moguhai itu tersenyum. “Paman Pangeran Kuang!” katanya.

Kaisar Sung Kao Tsu memandang heran. “Apa artinya ini?” tanyanya kepada Pangeran Kuang.

“Maafkan hamba, Sri Baginda. Gadis ini adalah keponakan hamba. Ia adalah Puteri Moguhai, puteri Sri Baginda Kaisar Kerajaan Kin.”

“Ahh...! Puteri Moguhai, kenapa engkau menggunakan nama Sie Pek Hong dan tidak berterus terang kepada kami bahwa engkau puteri Kaisar Kin?”

“Ampun, Sri Baginda, ceritanya agak panjang....” kata Pek Hong Nio-cu sambil tersenyum manis kepada kaisar.

“Sri Baginda, sekarang jelas sudah! Souw Thian Liong ini datang bersama puteri Kaisar Kin, apa lagi maksudnya kalau bukan hendak bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menjatuhkan paduka? Mereka sudah mengatur semuanya. Mula-mula menyerang hamba, untuk kemudian menjatuhkan paduka dan merampas tahta!” teriak Chin Kui yang merasa mendapat kemenangan.

Kaisar mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar mereka semua diam dan tidak ribut. Setelah suasana menjadi tenang, Kaisar menoleh kepada Panglima Kwee. “Kwee-ciangkun, coba jelaskan dan ceritakan tentang laporanmu mengenai usaha pembunuhan di istana tadi!”

Panglima Kwee dengan suara lantang, “Sri Baginda, yang lebih mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa itu adalah Souw Thian Liong dan... eh, Puteri Moguhai ini, maka hamba rasa seyogianya mereka yang menceritakan terjadinya peristiwa itu sebenarnya.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum mendengar ini. Kaisar mengangguk-angguk dan berkata kepada puteri itu. “Puteri Moguhai, sekarang ceritakanlah semuanya. Mengapa engkau terlibat dalam urusan ini dan apa yang telah terjadi beberapa malam yang lalu di dalam istana.”

Pek Hong Nio-cu memberi hormat kepada Kaisar. “Hamba siap, Sri Baginda dan biarlah semua orang, terutama Chin Kui si pengkhianat itu, mendengarkan baik-baik!” Suaranya lantang dan jelas biarpun kata-katanya berdialek utara.

“Seperti telah dilaporkan dalam persidangan yang lalu, di Kerajaan Kin kami terjadi pemberontakan dan di sana muncul orang yang bernama Cia Song yang menjadi utusan Chin Kui untuk berhubungan dengan pemberontak dan membantu usaha pemberontakan itu. Saya, dibantu Souw Thian Liong berhasil menghubungi Paman Pangeran Kuang yang mengerahkan pasukan dan menghancurkan pemberontak. Sayang Cia Song dapat meloloskan diri. Mengingat akan bantuan Souw Thian Liong kepada kerajaan kami, juga karena ingin menentang Chin Kui yang telah membantu pemberontakan di utara, saya mengambil keputusan untuk membantu Souw Thian Liong. Karena itulah maka saya ikut dengan dia datang ke Lin-an ini.”

“Bohong! Kami tidak mencampuri urusan pemberontakan di Kerajaan Kin!” teriak Chin Kui.

“Diam!” bentak kaisar yang marah melihat Chin Kui yang berulang kali bersikap lancang. “Lanjutkan, Puteri Moguhai.”

“Sampai di sini kami dikejar-kejar anak buah Chin Kui dan kami bertemu Paman Han Si Tiong dan isterinya, lalu kami berempat bersembunyi di rumah Paman Panglima Kwee. Setelah berunding, kami memutuskan untuk menghadap Sri Baginda yang mulia untuk membongkar pengkhianatan, kecurangan dan kejahatan Chin Kui.

"Beberapa malam yang lalu, Cia Song dan empat orang anak buahnya memasuki penjara dan membunuh lima orang penjaga lalu menyerang kami berdua dengan anak panah beracun yang dihujankan ke arah kami dari luar pintu kamar tahanan. Untung muncul Paman Sie...”

Sampai di sini Pek Hong Nio-cu mengerling ke arah Thian Liong yang mengerutkan alisnya akan tetapi pemuda itu diam saja. “Untung muncul Paman Sie yang merobohkan dan menotok empat pemanah itu. Sayang kembali Cia Song dapat meloloskan diri. Manusia iblis yang licik itu memang lihai. Kami mendapat petunjuk dari Paman Sie, guruku, untuk menyelamatkan Sri Baginda yang terancam bahaya.

"Setelah kami berdua tiba di ruangan dalam, kami melihat tiga orang datuk sesat, yaitu Hwa Hwa Cin-jin dan kedua orang Siang Mo-ko, mengamuk dan hendak membunuh Sri Baginda. Para perajurit pengawal sudah banyak yang tewas dan mereka terdesak, Sri Baginda terancam. Kami berdua lalu melawan tiga orang itu dan berhasil merobohkan mereka.

"Ketika kami hendak menawan Hwa Hwa Cin-jin, dia membunuh diri. Tiga orang itu adalah orang-orangnya Chin Kui yang tadinya mengejar-ngejar kami berempat sebelum kami bersembunyi di rumah Panglima Kwee. Kami lalu kembali ke penjara untuk menangkap empat orang pemanah yang tadinya ditotok oleh guruku.

"Akan tetapi ternyata mereka telah tewas, tentu terbunuh oleh orangnya Chin Kui agar mereka tidak dapat mengaku dan membocorkan rahasia bahwa Chin Kui yang mendalangi semua usaha pembunuhan itu! Hemm, Chin Kui iblis tua yang khianat, hayo sangkal kalau kamu bisa!” kata Puteri Moguhai kepada Perdana Menteri Chin Kui.

“Sri Baginda, semua yang diceritakan itu isapan jempol belaka. Andaikata benar ada pembunuh di istana, jelas itu bukan hamba yang mendalanginya. Mungkin buatan mereka saja untuk menjatuhkan hamba. Mana bukti dan saksinya? Hamba menyangkal semua itu. Hamba tidak tahu menahu dengan usaha pembunuhan itu!”

Kini Kaisar Sung Kao Tsu sudah tidak sabar lagi mendengar bantahan dan penyangkalan Chin Kui yang sudah jelas bersalah itu. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali dan berseru kepada pengawal. “Bawa masuk saksi terakhir itu!”

Semua orang menengok ke arah pintu memandang dua orang perajurit pengawal yang membawa masuk seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan kedua lengan orang itu dibelenggu ke belakang tubuhnya. Orang itu didorong dan jatuh berlutut di depan Sri Baginda Kaisar.

Melihat masuknya orang ini sebagai saksi, Perdana Menteri Chin Kui terbelalak dan mukanya seketika berubah pucat. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa jagoan yang diutus membunuh para petugas pembunuhan itu kalau mereka gagal, ternyata tertawan! Dia mengira bahwa orang ini juga sudah tewas ketika tidak datang melapor karena tidak ada berita dari para mata-matanya di istana bahwa orang itu tertawan.

“Siapa namamu?” bentak kaisar.

“Nama hamba Lui Ki, Sri Baginda yang mulia,” kata orang tinggi kurus itu.

“Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana, ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau berbohong, hukumanmu akan semakin berat!”

“Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk mengawasi mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua orang tawanan, yaitu Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau usaha pembunuhan itu gagal. Hamba diselundupkan sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi lima orang pembunuh itu dengan mudah.

"Ternyata mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang ditotok roboh oleh seorang kakek yang sakti. Ketika ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba membunuh empat orang pemanah akan tetapi petugas utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak mungkin membunuhnya karena ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kemampuan hamba.

"Setelah melakukan pembunuhan terhadap empat orang itu, sebelum hamba dapat melarikan diri, hamba roboh oleh kakek sakti itu sehingga hamba tertawan. Demikianlah, Sri Baginda, keterangan hamba yang sejujurnya dan hamba berani bersumpah bahwa semua keterangan hamba itu benar dan tidak bohong.”

“Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting, Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yang mengutus engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh tiga orang datuk itu mencoba untuk membunuh kami?”

Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar namun cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam ruangan persidangan itu. “Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua adalah Perdana Menteri Chin Kui!”

Kini semua orang menoleh dan memandang kepada Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi menyangkal. Akan tetapi tiba-tiba dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha!” Dia bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang berkuasa. “Pasukan-pasukan pendukungku saat ini telah mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri Baginda dan semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan dan membantai kalian semua. Ha-ha-ha!”

Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar istana, suara tambur dan genderang dipukul gencar menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak pasukan!

Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para perajurit menggiring masuk belasan orang panglima pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan kedua tangan terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan rekannya sudah lebih dulu mengadakan pembersihan dan menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum mereka sempat bergerak dengan pemberontakan mereka!

Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya, mengguncang hatinya dengan hebat, memporak-porandakan semua harapan dan cita-citanya dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam kepalanya. Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya dan mengacaukan hatinya.

“Ha-ha-ha-ha....!” Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

“Hu-hu-hu-huuhh...!” Tiba-tiba tawanya yang bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu. Semua orang menarik napas panjang. Perdana menteri Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah menjadi gila!

Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga, kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee untuk melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang tadinya menjadi sekutu Chin Kui.

Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa yang mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu menolak dengan hormat. Setelah semua selesai, mereka berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi meninggalkan istana.

Suami isteri ini berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, dan mereka mengulang permintaan mereka kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada Han Bi Lan di mana mereka tinggal kalau kebetulan dapat berjumpa dengan gadis itu.

Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke dusun Kian cung di dekat Telaga Barat. Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu gerbang kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong Nio-cu, “Nio-cu, sekarang engkau hendak pergi ke mana?”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus mengikuti Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.

Bahkan kemarin ketika Pangeran Kuang, pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan mengatakan bahwa ia akan pulang sendiri. Penolakan itu ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari Thian Liong yang dianggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali.

“Aku hendak pulang ke utara,” katanya dengan nada suara datar. “Dan engkau sendiri, hendak ke manakah, Thian Liong?”

Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu dan membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi kitab kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya, masih ada satu yang belum dapat dia kembalikan.

Yaitu kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai yang dicuri gadis baju merah itu. Tugas utama sekarang adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali kitab untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Kun-lun-pai.

“Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?” Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras.

Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu tadi mengajukan pertanyaan kepadanya. “Apa? O ya, aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah tugas penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan kembali kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas kembali kitab itu dan mengembalikannya kepada Kun-lun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu kepadaku belum kulaksanakan dengan baik.”

“Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab, ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai!” kata Pek Hong Nio-cu berkelakar.

“Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya kepadamu, bukan?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu bertanya dengan nada serius. “Thian Liong, katakan sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang menjadi sahabat ibuku dan juga yang memberi kitab-kitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu juga, Tiong Lee Cin-jin?”

“Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat pamanmu itu. Akan tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika dia membebaskan kita dari kamar tahanan. Dia itu benar-benar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada guruku sendiri yang telah mendidik aku selama sepuluh tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia menolongku dan menyuruh aku menolong Kaisar.”

“Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu ketika dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah dapat melupakan wajahnya. Yang menolong kita di utara dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!”

“Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong. Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga guruku, dan suhu Tiong Lee Cin-jin itu juga pamanmu.”

“Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu, engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku).”

“Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!” “Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!” “Dan aku akan menyebutmu sumoi!”

“Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu? Ke mana engkau hendak mencarinya?”

“Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia berada.”

“Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama di Tibet. Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut pendapatku, ia pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kun-lun-pai dan daerah Tibet. Kukira engkau harus mencarinya ke sana, suheng!”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Kurasa pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya di daerah barat itu, sumoi.”

“Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah berseri.

“Ahh?” Thian Liong memandang gadis itu dengan heran. “Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke utara, sumoi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu. Pula, perjalananku mencari maling itu belum pasti berapa lamanya!”

Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. “Suheng, engkau merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau keberatan katakan saja!”

Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak pernah merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan gadis yang baik budi, gagah perkasa dan menyenangkan ini membuat perjalanannya tidak membosankan.

Bahkan menggembirakan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin pula. Tentu saja hal ini akan dipandang orang-orang sebagai hal yang tidak pantas!

“Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau merasa keberatan katakan saja sejujurnya!” Pek Hong Nio-cu membentak sehingga Thian Liong terkejut dan sadar dari lamunannya.

“Eh.... ohh.... tidak sama sekali, sumoi. Aku senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi engkau harus pulang dan....”

“Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya melalui daerah barat. Aku ingin membantumu menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya berada di sana dan kita minta bantuannya agar dia mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan mencari gadis pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu itu.

"Persoalannya sekarang hanya, engkau memutuskan boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu. Kalau tidak boleh, sekarang juga kita berpisah dan aku kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan saling bertemu lagi...”

“Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi!” potong Thian Liong.

“Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita. Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet!” Suara Pek Hong Nio-cu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga Thian Liong terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali.

Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee-ciangkun itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini seperti berlumba berlari cepat menuju ke barat laut.

Setelah melakukan perjalanan berkuda selama beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang cerah mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang indah di daerah pegunungan itu.

Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cin-ling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya dan memandang ke bawah di mana terbentang pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari yang putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan kudanya berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat wajah gadis itu berseri, matanya berbinar dan mulutnya tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga memandang ke arah yang dipandang Pek Hong Nio-cu.

“Aahhh….” gadis itu menarik napas panjang setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum menyaksikan pemandangan indah itu. “Alangkah indahnya... bukan main... sungguh luar biasa, suheng, lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan bukit-bukit itu...... ah, semuanya seolah tersenyum, begitu hidup...”

Thian Liong tersenyum. “Su-moi, tahukah engkau di mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?”

“Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar matahari, lihat burung-burung kecil beterbangan.... ah, semua inilah tempat keindahan!”

“Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam hatimu!” “Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?”

“Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia, tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka segala sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu hujan atau dalam keadaan apa dan bagaimanapun, akan tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan ciri yang khas. Keindahan itu pencerminan kebahagiaan. Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak indah.

"Sebaliknya, kalau hati tidak tenteram bahagia, terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah, benci, dengki, iri, khawatir, takut, bingung, sedih dan sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek dan sama sekali tidak menyenangkan!”

Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan ucapan Thian Liong, kemudian berkata, “Hemm, aku mulai dapat mengerti apa yang kau maksudkan, suheng. Akan tetapi berilah contoh agar jelas!”

“Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja, tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang tenteram bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti sahabat yang menyenangkan.

"Sebaliknya kalau hati diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi, hujan maupun panas tampak mengganggu, siang maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu orang, siapa saja, tampak menjengkelkan seperti musuh. Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing mendekat, kita ingin membelainya dengan hati sayang, sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada kucing mendekat, kita ingin menendangnya dengan benci.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Wah, sekarang aku dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng! Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah menyenangkan?”

“Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung atau rugi, hati kita akan selalu tenteram bahagia.”

“Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat merasa tenteram bahagia?” gadis itu membantah.

“Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan apapun juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita yakin bahwa Thian beserta kita, kesengsaraan badan tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah sebulatnya berdasarkan iman kepadaNya.”

“Hebat...! Dari mana engkau mendapatkan pengertian seperti itu, suheng?”

“Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk, akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang membimbing sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mustahil, tidak ada yang sukar bagi Thian. Di dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram bahagia, dalam keadaan apa dan bagaimanapun juga.”

“Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?”

Thian Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja juga dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati.

"Kita manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi dengan segala kelemahanku pula. Bukan Thian yang menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret oleh nafsu nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sumoi.

"Yang Maha Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula adalah sempurna, namun kesempurnaan itu dicemari oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, su-moi, belajar dan mengajar diri sendiri agar selalu mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa.”

Mereka turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau segar. Tempat mereka berhenti itu merupakan padang rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka duduk di atas batu gunung.

Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru, “Hei, itu ada banyak orang mendaki ke sini, suheng!”

Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja, dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu ke arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa mereka bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit berdiri dan berseru, “Hei, mereka adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!”

Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru, “Dan itu adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis Kun-lun-pai tak tahu malu itu!”

Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan Ai Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio, dan juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang dan para tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa lagi ini, pikirnya.

Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu berbisik kepada Thian Liong. “Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song membuat ulah lagi!”

Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil ketua Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis berkerut di depan kedua orang muda itu sedangkan di samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai yang dari wajahnya dapat diketahui bahwa mereka marah sekali.

Cia Song berdiri di belakang pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka. Delapan orang tokoh lain sudah mengambil posisi mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka Thian I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk kepada kakek itu. “Suhu...” katanya dengan hormat.

“Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!” bentak Cu Sian Hwesio. “Engkau tidak pantas menjadi murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan murid, melainkan musuh Siauw-lim-pai.”

“Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan teecu (murid) maka pimpinan Siauw-lim-pai begini marah kepada teecu?” tanya Thian Liong, sikapnya masih tenang karena dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai.

“Engkau masih ada muka untuk bertanya apa kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat! Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan Kaisar Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan Sung! Itu semua masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai, dosamu tidak dapat diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai, maka, kami datang sendiri untuk menghukummu!” kata Cu Sian Hwesio.

“Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun-lun-pai yang suhu anggap perbuatan keji itu?” Thian Liong masih bersikap tenang dan ia menggeleng kepala terhadap Pek Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya merah, sinar matanya berapi-api karena marah.

“Keparat busuk kau!” tiba-tiba Biauw In Su-thai yang terkenal galak itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong. “Engkau telah melakukan perbuatan keji terhadap dua orang muridku ini dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa sama sekali? Perbuatan yang terkutuk itu harus dihukum dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!”

Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah, memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan kata-kata tajam.

“Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang terkenal besar itu? Kalian ini kakek-kakek dan nenek-nenek ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali tidak mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian tidak pantas menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!”

Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lun-pai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata yang keras dan tajam menusuk perasaan itu.

“Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin,” bisik Cia Song kepada dua orang gurunya.

“Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona?” tanya Cu Sian Hwesio. “Pantas saja Souw Thian Liong mau menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh kecantikanmu.”

“Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima penghinaan dari seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti kamu!”

“Su-moi...!” Thian Liong mencegah dan menyentuh lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian Hwesio dengan marah.

Cu Sian Hwesio berdiri dalam jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia juga marah mendengar omongan gadis itu. “Kau anak perempuan jahat!” katanya dan tangan kirinya dijulurkan ke depan.

Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio-cu. Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis tangan itu sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang menangkis.

“Wuuuuttt... plakkk!” Dua tangan bertemu dan dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali tangannya yang mulur. Dia terkejut bukan main karena tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat mengimbangi tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio menegurnya.

“Sute, hentikan itu!”

Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri dengan alis berkerut. “Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?” tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut.

Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas. Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga lembut.

“Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan Ayahanda Kaisar kepadaku.” Setelah berkata demikian, ia menyimpan kembali pedang bengkoknya. “Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai?” Ia pernah mendengar cerita Thian Liong tentang ketua ini.

“Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan menghukum seorang murid kami kalau tidak ada bukti dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan menjadi orang-orang berdosa kalau kami menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.”

“Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti dan saksi bahwa dia benar bersalah?”

“Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!” Thian Liong mencegah Puteri Moguhai.

“Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?” bentak Cu Sian Hwesio penasaran.

Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya. “Tentu saja aku mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!”

Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu kuat menolak serangannya.

“Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan-tuduhan tadi,” kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan suaranya yang lembut.

“Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai adalah saksi hidup karena aku mengalami semua peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw Thian Liong. Suheng sama sekali bukan pengkhianat seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia membantu aku untuk menentang dan menghancurkan persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan ayahanda kaisar. Kami berhasil menghancurkan pemberontak.

"Jadi, suheng Souw Thian l.iong hanya membantu Kerajaan Kin untuk menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat diartikan bahwa dia mengkhianati Kerajaan Sung? Selain itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum mengetahui! Sekarang dengarkan baik-baik. Para pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui.

"Kami berdua melihat dan bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke utara untuk mendukung pemberontakan itu. Dan kalian mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?” Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di belakang Hui Sian Hwesio. “Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!”

Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai menoleh ke belakang, memandang Cia Song. Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Sian Hwesio.

“Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan berbalik melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela Thian Liong yang menjadi kekasihnya. Teecu menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu lebih percaya omongan puteri Kaisar Kin dan hendak menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi murid Siauw-lim-pai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauw-lim-pai sampai mati.”

Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song. “Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja. Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu yang sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan Thian Liong menjadi murid hanya dalam beberapa bulan saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.”

“Hemm….!” Pek Hong Nio-cu mendengus dengan nada mengejek. “Aku sering mendengar bahwa orang kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh. Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi pikun sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis cilik seperti Cia Song itu!”

“Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai?” Cu Sian Hwesio membentak dan ia sudah menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu.

“Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus mampus!” Cia Song juga sudah menerjang maju.

Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu Sian Hwesio. Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah saling serang.

“Tahan….!” Hui In Sian-kouw berseru dan suara wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa. “Kami yang berhak menghukum Souw Thian Liong!”

“Sute dan Cia Song, mundurlah!” Hui Sian Hwesio juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa mundur dan perkelahian berhenti.

Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak. Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil menangis melaporkan kepada para pimpinan Kun lun-pai bahwa mereka berdua telah diperkosa Souw Thian Liong.

Kui Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk menemani Hui In Sian-kouw turun gunung mencari pemuda itu dan menghukumnya. Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio yang juga mencari Souw Thian Liong untuk menghukumnya.

Karena pemuda yang sudah dianggap murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang berarti mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan Siauw-lim pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya dapat berhadapan dengan Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

“Souw Thian Liong! Engkau harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!” Biauw In Su-thai berseru dan wanita galak ini sudah mencabut pedangnya. “Perbuatanmu yang terkutuk itu harus ditebus dengan nyawamu!”

“Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang murid Su-thai itu?” tanya Souw Thian Liong tenang sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata berapi-api karena marah.

Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya, perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu demikian akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah maju dan mencabut pedangnya pula, diikuti oleh Ai Yin.

“Keparat keji!” Kim Lan menudingkan pedangnya dengan sikap galak. “Engkau masih pura-pura bertanya? Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap kami berdua!”

Thian Liong memandang heran. “Perbuatan terkutuk? Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?”

“Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang-cu itu, engkau menotok kami berdua lalu... lalu... dengan biadab engkau memperkosa kami!” Setelah berkata demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai Yin.

“Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu! Apa buktinya? Siapa saksinya?” kata Thian Liong penasaran.

“Buktinya?” kata Kim Lan dengan suara parau karena bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai surat dari saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas. “Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja kamar penginapan. Engkau bukan saja telah memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat menghina Kun-lun-pai!”

“Saksinya adalah aku!” Tiba-tiba Cia Song berkata lantang. “Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu dua orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiang-cu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri Kin itu juga berada di sana!”

Biauw In Su-thai berteriak, “Kim Lan! Ai Yin! Tak perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini!” Tokoh Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan tiga orang wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu Pedang Kilat Guntur) itu.

Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya dan melompat ke depan Thian Liong untuk melindungl pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut pedangnya itu. Pek Hong Nio cu bersiap melawan tiga orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin marah.

“Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat Guntur)!” kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah bergerak dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tampak sesosok bayangan merah berkelebat.

“Tahan senjata!” Dan di dekat Pek Hong Nio-cu, berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai, sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang mata indah yang mencorong dan bentuk mulut yang menggairahkan, Thian Liong terkejut.

“Engkau...?” dia membentak karena segera dia mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari tangannya!

Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum kepada Thian Liong berkata, “Ya, aku! Aku pernah bersalah kepudamu dan sekarang aku hendak menebus kesalahan itu dengan membelamu!”

Biauw In Su-thai membentak. “Apa yang kaulakukan ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah menodai dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh dia!”

Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran. Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik membelanya?

“Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu kebenarannya!” Gadis baju merah itu membantah.

Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun mengandung teguran. “Tuduhan itu sudah ada bukti dan saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi murid yang ikut mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai.”

“Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan Kun-lun-pai tidak bertindak salah menghukum orang yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw Thian Liong adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-lun-pai yang hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepadanya sebelum jelas bukti-buktinya,” gadis itu membantah.

“Bagus!” Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji. “Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li (punya aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai!” Lalu Pek Hong Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw. “Apakah engkau pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?”

“Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua bagian murid wanita Kun-lun-pai,” jawab pendeta wanita itu.

“Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu. Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama sekali. Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian Liong karena surat itu adalah tulisanku yang sengaja kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan tulisan suheng Souw Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong? Baik, akan kubacakan apa yang kutulis itu karena aku masih ingat. Bunyinya tentu begini :

„Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu. Memaksa seorang lalaki-laki menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?‟ Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan kata-kataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar diketahui bahwa surat itu aku yang menulis!”

“Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kun-lun-pai!” bentak Biauw In Su-thai sambil mengelebatkan pedangnya.

“Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai, bukan?” Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari cerita Thian Liong. “Jadi engkau ini guru dua orang murid perempuan itu, engkau yang memaksa mereka untuk memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami muridmu dan kalau suheng menolak harus dibunuh? Oh, aturan mana itu?”

“Jahanam......!” Biauw In Su-thai hendak menyerang akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya.

“Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi kesaksian murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau dan Souw Thian Liong berada di kota Kiang-cu ketika peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu terjadi,” kata Hui In Sian-kauw.

“Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan mereka itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian Liong malam itu sama sekali tidak keluar dari kamarnya, sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng malam itu tidak keluar dari kamarnya.”

“Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh mereka!” teriak Cia Song.

“Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya ketika dia mengejek dengan kata-kata: “Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong”, lalu dia tertawa lirih,” kata Kim Lan.

“Teecu juga mendengar suaranya itu!” kata pula Ai Yin.

Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari serangan Cia Song yang dahsyat.

Thian Liong masih merasa ragu untuk menggunakan pedangnya karena dia berhadapan dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang dia hormati dan dia tahu bahwa mereka itu hanya terkena hasutan Cia Song saja.

“Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh!” kata Hui Sian Hwesio.

Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja yang tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah terpengaruh kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin maka mereka menyerang dengan dahsyat untuk membunuh Souw Thian Liong...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.