Kisah Si Naga Langit Jilid 21

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 21 karya Kho Ping Hoo - AKAN tetapi pada saat itu, lima orang panglima dan lima orang pembesar sipil turun dari kursi mereka dan maju lalu berlutut menghadap kaisar.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Sri Baginda Yang Mulia,” kata seorang pembesar sipil, Menteri Kebudayaan, yang sudah tua dan dihormati kaisar, berkata mewakili sembilan orang rekannya. “Hamba para abdi setia paduka bertanggung jawab kalau Kwee-ciangkun mempunyai niat jahat atau memberontak. Mohon paduka sudi mendengarkan dulu semua penjelasan sebelum menjatuhkan perintah menangkap mereka. Hamba semua hanya merupakan abdi paduka yang setia dan yang selalu menjaga keselamatan paduka dan Kerajaan Sung.”

“Wah, ini pengkhianatan besar! Mereka semua merupakan persekutuan pemberontak! Sri Baginda, sebelum terlambat, mereka harus ditangkap dari dihukum gantung!” teriak Perdana Menteri Chin Kui.

Akan tetapi Kaisar Sung Kao Tsu, biarpun amat percaya dan sudah berada dalam pengaruh perdana menterinya yang dia anggap amat setia dan pandai, meragukan ucapan itu sekali ini.

“Kami kira mereka tidak akan memberontak. Bukan begini sikap orang-orang yang hendak memberontak. Biar kami memeriksa mereka.”

Mendengar ucapan kaisar, itu, Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya tampak bergembira, akan tetapi Perdana Menteri Chin Kui mengerutkan alisnya dan wajahnya tampak muram dan penasaran sekali. Akan tetapi dia tidak takut karena merasa betapa kaisar tentu lebih percaya kepadanya daripada kepada yang lain, apa lagi mengingat betapa kuat kedudukannya.

Kaisar Sung Kao Tsu memandang Thian Liong dengan tajam lalu berkata, suaranya membentak. “Hei, orang muda. Kami mendengar bahwa engkau telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dengan membantu Kerajaan Kin. Kamu menjadi mata-mata Kerajaan Kin untuk menyelidiki kerajaan kami, benarkah itu?”

Souw Thian Liong menjawab dengan hormat. “Berita itu hanya fitnah, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba memang berada di utara, daerah Kerajaan Kin, dalam perjalanan hamba mencari seorang maling yang mencuri sebuah kitab pusaka dari hamba. Di sana hamba melihat usaha pemberontakan terhadap Kaisar Kin.

"Pemberontaknya adalah Pangeran Hiu Kit Bong dan melihat ini hamba lalu membantu Kaisar Kin untuk menghancurkan pemberontak. Hamba memang telah membantu Kaisar Kerajaan Kin, akan tetapi bantuan itu hanya untuk melawan pemberontakan di sana. Sama sekali hamba tidak menjadi kaki tangan Kerajaan Kin, apalagi untuk menjadi mata mata di sini.”

“Dia bohong, Sri Baginda! Hamba mendengar jelas bahwa Souw Thian Liong ini telah menjadi kaki tangan Kerajaan Kin, bahkan hamba mendengar keterangan dari penyelidik hamba bahwa Souw Thian Liong bergaul akrab dengan puteri Kaisar Kin!”

“Hei, Perdana Menteri Chin Kui! Siapa penyelidikmu itu? Tentu dia bernama Cia Song, penjahat busuk itu, bukan? Cia Song itu utusanmu dalam persekutuanmu dengan pemberontak Pangeran Hiu Kit Bong, bukan?” Pek Hong berteriak.

“Perempuan jahat! Jaga mulut busukmu! Sri Baginda, perempuan ini telah menghina hamba, berarti merendahkan paduka. Berani ia berteriak-teriak di depan paduka. Tentu ia ini jahat sekali dan tentu dia tokoh di utara yang menjadi mata-mata, teman baik pengkhianat Souw Thian Liong.”

Kaisar Sung Kao Tsu mengerutkan alisnya. Sudah biasa dia mempercaya semua omongan perdana menterinya, dan diapun merasa agak tersinggung dan tidak senang melihat sikap Pek Hong yang begitu berani seolah tidak perduli bahwa ia sedang berada di tengah persidangan dalam istana, bukan dalam pasar atau di jalan umum.

Akan tetapi kaisar itu juga terkejut mendengar ucapan gadis itu yang menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekongkol dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak terhadap Kaisar Kin.

“Sri Baginda Yang Mulia, apakah paduka lebih percaya obrolan kosong gadis berlidah utara ini, mata-mata Kin ini, daripada keterangan hamba yang selalu setia kepada paduka? Hamba bersumpah tidak pernah berhubungan dengan pangeran manapun juga dari kerajaan Kin, apalagi dengan pemberontak. Untuk apa hamba bersekutu dengan pemberontak? Apa keuntungan hamba? Harap paduka memberi hukuman kepada perempuan yang menjatuhkan fitnah dan amat jahat ini, juga kepada Souw Thian Liong ini!”

Melihat kaisar bimbang, Panglima Kwee cepat berkata, “Mohon ampun Sri Baginda Yang Mulia. Kalau memang kedua orang muda ini mempunyai niat jahat, untuk apa mereka berdua berani datang menghadap paduka? Hamba yang bertanggung jawab. Harap paduka suka mempertimbangkan dan tidak tergesa gesa menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak berdosa.

"Kalau paduka masih meragukan kebersihan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, hamba usulkan agar mereka berdua ini untuk sementara ditahan dulu dalam penjara istana, kemudian paduka selidiki siapa yang bersalah dan siapa yang benar, baru paduka menjatuhkan keputusan hukuman kepada yang bersalah. Harap paduka ampunkan hamba yang berani mengajukan saran, akan tetapi semua ini hamba lakukan demi mempertahankan kebijaksanaan dan keadilan paduka.”

Menteri Kebudayaan Pui yang tua itu mewakili teman-temannya yang kesemuanya masih berlutut bersama Panglima Kwee segera berkata, “Hamba semua abdi paduka yang setia mendukung saran dari Kwee-ciangkun, Yang Mulia.”

“Wah, kalian semua pengkhianat dan pemberontak! Berani sekali kalian bersikap kurang ajar kepada Sri Baginda Yang Mulia? Sejak kapan pejabat-pejabat macam kalian boleh memberi perintah kepada Sri Baginda Yang Mulia? Ini penghinaan namanya! Aku akan membasmi para pengkhianat dan pemberontak! Para pengawal, tangkap mereka para pengkhianat ini!”

Perdana Menteri Chin Kui berteriak-teriak dengan marah sekali, kemarahan yang timbul dari rasa gelisah melihat betapa orang-orang itu berani hendak membongkar rahasia dan kesalahannya di depan Sri Baginda Kaisar.

Sebagian dari para perajurit pengawal itu ada yang telah dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan menerima sogokan, akan tetapi karena Kaisar tidak memberi tanda untuk bergerak menangkap, tentu saja mereka tidak berani bergerak, menanti tanda dari Kaisar.

“Hentikan semua perdebatan ini! Memusingkan kami saja!” kata Kaisar Sung Kao Tsu sambil mengerutkan alisnya. “Pengawal, tangkap Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong ini dan tahan mereka dalam penjara! Kami akan mengambil keputusan kelak!”

Empat orang pengawal memberi hormat, lalu mereka maju menghampiri Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong dan dengan tertib mereka berempat menyuruh kedua orang muda itu berdiri dan mengawal mereka berdua keluar dari ruangan itu. Karena memang sebelumnya sudah direncanakan oleh Kwee-ciangkun.

Maka Thian Liong dan Pek Hong tenang-tenang saja ketika dikawal menuju ke penjara istana yang terletak di bagian belakang bangunan istana yang luas itu. Bahkan ketika meninggalkan ruangan itu, Pek Hong cengingisan, senyum-senyum dan ketika melihat Perdana Menteri Chin Kui memandang kepadanya, ia melotot dan menjulurkan lidahnya kepada perdana menteri itu.

Chin Kui yang merasa diejek di depan para pejabat tinggi, sukar sekali menahan kemarahannya dan dia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Hong yang dibalas oleh gadis ini dengan meruncingkan bibirnya ke arah Chin Kui.

Semua orang melihat hal ini dan diam diam mereka heran akan keberanian gadis itu. Hanya Kwee Gi, Han Si Tiong, dan Liang Hong Yi saja yang tidak merasa heran karena mereka maklum bahwa gadis itu adalah puteri Kaisar Kin, tentu saja tidak merasa rendah diri atau takut menghadap semua penghuni istana termasuk kaisarnya sendiri!

Biarpun belum ada keputusan hukuman Kaisar, namun hati Chin Kui sudah merasa lega bahwa dua orang itu telah ditahan dalam penjara. Untuk sementara dia aman dan bukan merupakan pekerjaan sukar baginya untuk membunuh dua orang muda berbahaya itu setelah mereka berada dalam penjara.

Kini Kaisar Sung Kao Tsu memandang kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, lalu bertanya. “Kalian suami isteri yang dulu menjadi pimpinan Pasukan Halilintar, kami ingat bahwa setelah perang berhenti, kalian mengundurkan diri dari jabatan. Sekarang apa kehendak kalian, berani ikut Kwee-ciangkun menghadap dalam persidangan ini tanpa kami panggil?”

“Ampunkan hamba berdua, Sri Baginda Yang Mulia. Duabelas tahun yang lalu, hamba berdua mengundurkan diri karena hamba berdua hendak mencari puteri hamba yang diculik orang. Kemudian, karena merasa rindu kepada para sahabat hamba di kota raja, hamba berdua kembali ke sini untuk berkunjung kepada para sahabat, terutama kepada Kwee-ciangkun yang sudah hamba anggap sebagai saudara sendiri.

"Akan tetapi dalam perjalanan, tiba-tiba saja hamba berdua diserang hendak dibunuh oleh tiga orang jagoan yang diutus oleh Perdana Menteri Chin Kui. Hamba berdua tidak melakukan kesalahan apapun terhadap dia, akan tetapi kemudian hamba mengetahui bahwa Perdana Menteri Chin Kui memang hendak membasmi semua orang yang pernah berjuang membela negara di bawah pimpinan mendiang Jenderal Gak Hui.”

“Bohong, itu fitnah! Sri Baginda, harap jangan percaya fitnah itu. Hei, orang she Han, apa buktinya bahwa aku menyuruh orang untuk membunuh kalian? Mana buktinya? Hayo tunjukkan buktinya, jangan bicara bohong dan menyebar fitnah!” bentak Chin Kui.

“Buktinya memang tidak ada, akan tetapi saksinya banyak. Pertama, saksinya adalah Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong tadi karena dua orang muda itulah yang menyelamatkan kami berdua dan membuat para pembunuh melarikan diri. Kemudian, ada lagi saksinya, yaitu Kwee-ciangkun yang bertemu dengan tiga orang pembunuh itu, yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko, jagoan-jagoan yang engkau kirim untuk membunuh kami!” kata Liang Hong Yi dengan berani.

“Bohong! Semua saksi itu adalah komplotan kalian yang sengaja mengatur muslihat untuk menjatuhkan aku! Sri Baginda Yang Mulia, Han Si Tiong dan isterinya ini adalah dua orang yang jahat sekali. Paduka tentu sudah mendengar bahwa Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, Ciang Ban, telah dibunuh orang. Paduka tahu siapa yang membunuh mereka? Bukan lain pembunuhnya adalah seorang gadis bernama Han Bi Lan, puteri dari suami isteri jahat ini!”

Kaisar Sung Kao Tsu terkejut juga mendengar ucapan Perdana Menteri Chin Kui ini. Dia memandang kepada suami isteri itu dan bertanya, “Han Si Tiong, benarkah puterimu membunuh Jenderal Ciang dan puteranya?”

“Benar, Yang Mulia. Jenderal Ciang dan puteranya menipu puteri hamba. Mereka menjamu dan meracuni puteri hamba, maka puteri hamba lalu membunuh mereka yang jahat itu,” jawab Han Si Tiong dengan tenang.

“Nah, laporan hamba benar, Sri Baginda. Kalau puterinya pembunuh kejam, orang tuanya tentu bukan orang baik baik dan mereka berdua ini harus dihukum!” teriak Perdana Menteri Chin Kui.

Kaisar Sung Kao Tsu benar-benar menjadi bingung dan pusing. Baru sekali ini dalam persidangan terjadi perbantahan dan percekcokan saling tuduh seperti itu.

“Ampun, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba menjadi penanggung jawab akan kebenaran keterangan Han Si Tiong. Mendiang Jenderal Ciang Sun Bo adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui, maka dia hendak mencelakai puteri Han Si Tiong itu. Mohon kebijaksanaan paduka untuk menyelidiki kebenaran laporan hamba ini,” kata Panglima Kwee dan sepuluh orang pejabat tinggi itupun mengeluarkan pendapat mereka melalui Menteri Kebudayaan Pui.

“Hamba semua mendukung kebenaran laporan Panglima Kwee Gi!”

Kaisar dengan pusing mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa semua orang harus diam, kemudian dia berkata. “Kami akan menyelidiki siapa yang bersalah dan siapa yang benar dalam hal ini. Untuk sementara, Han Si Tiong dan isterinya ditahan seperti dua orang muda tadi. Pengawal, tahan Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam penjara, pisahkan dari dua orang muda tadi!”

Empat orang pengawal maju dan suami isteri itu lalu digiring keluar dari ruangan itu menuju ke penjara istana. Setelah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dibawa pergi para pengawal, mulailah para pejabat tinggi, dipimpin oleh Panglima Kwee Gi, berganti-ganti dan bersambungan, membuat pelaporan kepada Sri Baginda.

Semua memberi laporan yang membongkar keburukan Perdana Menteri Chin Kui, ada yang melaporkan tentang penindasan Chin Kui dan kaki tangannya terhadap rakyat jelata dengan tindakan yang sewenang-wenang, pemerasan melalui pajak yang berlebihan, sogok menyogok, dan berbagai korupsi.

Semua laporan itu membongkar kenyataan yang sangat jauh bedanya dengan laporan Chin Kui kepada Kaisar yang selalu baik-baik saja. Kwee-ciangkun sendiri melaporkan betapa kehidupan Chin Kui amat berlebihan, istananya bahkan lebih mewah daripada istana kaisar sendiri, kekayaannya amat besar dan semua itu adalah hasil korupsi dan pemerasan terhadap rakyat.

Tentu saja Perdana Menteri Chin Kui dengan kemarahan meluap-luap berteriak-teriak menyangkal semua tuduhan itu. “Sri Baginda Yang Mulia. Mereka semua ini, Kwee Gi dan konco-konconya, adalah orang-orang yang tidak senang dengan kekuasaan paduka sebagai raja! Mereka tidak berani terang-terangan menyerang paduka, maka mereka alihkan kepada hamba yang merupakan abdi paling setia dari paduka.

"Mereka sengaja menjatuhkan fitnah-fitnah keji untuk mengadu domba antara paduka dengan hamba, semua itu ditujukan untuk melemahkan kedudukan paduka. Kalau muslihat mereka berhasil menjatuhkan hamba, barulah tiba giliran paduka karena hamba sudah tidak ada lagi untuk membela paduka. Mereka ini jelas bermaksud untuk memberontak dan menggulingkan kekuasaan paduka, Sri Baginda!”

Setelah Perdana Menteri Chin Kui berteriak demikian, para sekutunya juga mendukung dan membenarkannya. Sebaliknya, Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya membantah. Terjadi perbantahan dan masing-masing bahkan sudah menjadi panas dan hampir terjadi perkelahian di depan Kaisar!

Kaisar Sung Kao Tsu bangkit berdiri, memegangi kepala dengan kedua tangan dan membentak. “Semua diam! Apakah kalian semua sudah tidak menganggap aku sebagai junjungan kalian lagi? Di dalam persidangan, di depanku, kalian berani membikin ribut seperti dalam pasar!”

Semua pejabat lalu menjatuhkan diri berlutut dan hampir berbareng mulut mereka, baik pihak Perdana Menteri Chin Kui dan sekutunya, maupun pihak Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya, berseru memohon ampun kepada Sri Baginda Kaisar.

“Sudah, aku sudah cukup pusing! Persidangan ditunda sampai satu minggu, baru aku akan mengambil keputusan!”

Setelah berkata demikian, Kaisar Sung Kao Tsung dengan kasar lalu bangkit dan melangkah keluar dari ruangan sidang itu, diikuti para thaikam dan pengawal pribadi. Agaknya kaisar memerintahkan dari sebelah dalam kepada para perwira pengawal pribadi karena setelah kaisar pergi, tak lama kemudian semua perajurit pengawal berkumpul di ruangan sidang itu, melakukan penjagaan kalau-kalau para pejabat tinggi itu membuat ribut lagi.

Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya cepat meninggalkan istana, demikian pula Perdana Menteri Chin Kui keluar bersama kelompoknya yang terdiri dari beberapa panglima dan menteri, berjumlah sekitar lima belas orang. Para pejabat lainnya yang tidak memihak, akan tetapi sebagaian besar adalah pejabat yang setia kepada kaisar, juga bubaran.

Kedua pihak yang bertentangan itu masing-masing berunding dengan kelompoknya. Pihak yang menentang Chin Kui, dipimpin Kwee-ciangkun, segera membuat persiapan dengan pasukan mereka, berjaga-jaga kalau pihak lawan menggunakan kekerasan. Adapun Chin Kui yang penasaran dan marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kekhawatiran, segera berunding pula dengan sekutunya.

Mereka semua merasa terancam. Kalau para penentang itu berhasil, berarti kedudukan mereka goyah dan penghasilan besar yang mengalir masuk secara berlimpahan ke kantung mereka tentu saja akan berhenti atau terganggu. Tak seorangpun di antara mereka rela kehilangan kedudukan mereka yang tinggi.

Kedudukan atau jabatan tinggi berarti kekuasaan, dan kekuasaan berarti melancarkan mengalirnya harta yang memasuki kantung mereka. Kemuliaan, kemewahan, dan kekuasaan yang membuat mereka selalu menang selalu benar itu menjadi sebab utama kemelekatan pinggul mereka kepada kursi kedudukan sehingga mereka akan mempertahankan kursi kedudukan itu dengan cara apapun juga, kalau perlu dengan kekerasan, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun!

Setelah berunding semalam suntuk, Chin Kui mengumpulkan saran-saran dari para sekutunya, kemudian dia mengambil keputusan dengan suara tegas.

“Kita semua mengetahui bahwa kedudukan kita terancam bahaya dengan adanya tuduhan dari Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga dari Han Si Tiong dan isterinya. Celakalah kita kalau sampai Kaisar mendapat bukti akan keterlibatan kita dengan pemberontakan di Kerajaan Kin. Semua ini karena keteledoran Cia Song sehingga mereka sampai mengetahui bahwa aku mengirim Cia Song ke utara.

"Karena itu, jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri adalah membunuh empat orang tahanan itu. Setelah mereka berada dalam tahanan, tidak begitu sukar untuk membunuh mereka. Dan engkau, Cia Song, engkau harus menebus keteledoranmu di utara itu. Engkau yang harus melakukan pembunuhan terhadap mereka berempat. Engkau boleh membawa bantuan dan jangan sampai tugas itu gagal!”

Cia Song yang memang telah merasa betapa dia yang menyebabkan perdana menteri itu diketahui mengadakan persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin, hanya dapat mengangguk menyanggupi.

“Akan tetapi apa artinya kalau hanya membunuh empat orang itu saja? Tentu Kaisar sudah kehilangan kepercayaan kepada anda, Chin-taijin (pembesar Chin)!” kata seorang panglima yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam.

“Anda benar, Lo-ciangkun. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa orang saudara tadi, sekali ini kita tidak boleh bekerja kepalang tanggung. Selain menugaskan Cia Song untuk membunuh empat orang tahanan yang berbahaya bagiku itu, kita juga harus pada malam itu juga membunuh kaisar. Kalau usaha itu berhasil baik, kita harus menggunakan pasukan yang telah dipersiapkan untuk menyerbu dan menduduki istana.

"Kalau kaisar sudah tewas, tentu mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kalau usaha membunuh kaisar gagal kita harus bersabar, tidak boleh menyerbu istana dan mencari jalan dan kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Bagaimanapun juga, kurasa kaisar masih menaruh kepercayaan kepadaku karena semua yang dituduhkan gerombolan pengacau itu belum dapat dibuktikan.”

Setelah berunding dengan matang, para pemberontak ini bubaran untuk mempersiapkan diri dengan tugas masing masing. Cia Song juga membuat persiapan. Karena dia ketahuan sebagai penghubung Chin Kui dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan perdana menteri itu menyangkal.

Maka dia tidak boleh memperlihatkan diri kepada umum dan diharuskan bersembunyi di dalam ruangan rahasia dalam istana Perdana Menteri Chin Kui. Cia Song mengajak empat orang kaki tangan Chin Kui yang telah diselundupkan dan menjadi perajurit dalam pasukan pengawal istana untuk menemaninya melaksanakan tugas pembunuhan terhadap empat orang tahanan itu.

Dia tidak mau mengajak jagoan-jagoan yang berada di rumah Chin Kui karena kemungkinan ketahuan lebih besar. Kalau mengajak empat orang itu, tentu akan mudah menyusup ke dalam penjara istana dan dia dapat menyamar sebagai seorang dari mereka.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko yang ditugaskan untuk melakukan pembunuhan terhadap kaisar! Tiga orang ini memang merupakan jagoan jagoan kepercayaan Chin Kui dan ilmu kepandaian mereka cukup tinggi sehingga perdana menteri itu menganggap bahwa mereka cukup kuat untuk melakukan tugas itu dengan berhasil baik.

Perdana Menteri Chin Kui adalah seorang yang licik dan cerdik sekali. Dia selalu mendahulukan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap tugas yang diberikan kepada kaki tangannya, dia selalu menjaga agar kalau tugas itu gagal, jangan sampai namanya tersangkut. Oleh karena itu, ketika memberi tugas kepada Cia Song untuk membunuh empat orang tawanan di dalam penjara istana.

Juga memberi tugas kepada Hwa Hwa Cin-jin dan kedua Siang Mo-ko untuk membunuh kaisar dalam istana, diam-diam dia menugaskan orang-orangnya yang telah ditanam di istana sebagai pengawal-pengawal, untuk membayangi mereka yang bertugas itu.

Dua orang diharuskan membayangi Cia Song dan dua orang pula membayangi Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko dengan pesan bahwa kalau sampai para petugas itu gagal dan tidak mampu lolos dari dalam istana, maka para petugas itu harus dibunuhnya. Tidak boleh sekali-sekali ada yang tertangkap sehingga akan mengaku bahwa mereka disuruh oleh Chin Kui!

Malam kedua setelah persidangan dalam istana yang kacau dan penuh perdebatan dan percekcokan sehingga membuat kaisar menjadi pusing dan marah itu adalah malam yang sepi, gelap dan dingin. Hujan baru saja berhenti setelah turun lebat sejak sore.

Di luar rumah basah semua dan udara menjadi bersih namun dingin bukan main sehingga orang orang segan keluar rumah dan membuat malam itu terasa sepi. Dalam cuaca seperti itu, yang paling nyaman adalah tidur.

Di kompleks bangunan istana juga tampak sepi. Para penjaga yang merupakan pengawal istana bagian luar berjaga di gardu masing-masing dan agak malas melakukan perondaan di malam yang dingin itu. Pula, selama ini tidak pernah terjadi sesuatu di istana. Tidak mungkin ada pencuri berani memasuki kompleks istana yang terjaga oleh tiga lapis pasukan.

Pertama, pasukan pengawal luar istana, lalu ada pasukan pengawal dalam istana dan pasukan pengawal keluarga kaisar. Masih ada lagi pasukan pengawal bagian keluarga wanita istana dan para perajurit di sini adalah para thai-kam (sida-sida, kebiri).

Cia Song yang menyamar, berpakaian sebagai perajurit pengawal bagian dalam, bersama empat orang perajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Chin Kui, berhasil masuk dengan mudah. Dia lalu bersama empat perajurit itu melakukan perondaan.

Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko, yaitu Bu-tek Mo-ko dan Bu-eng Mo-ko, masuk secara menggelap. Mereka sudah mendapat keterangan lengkap tentang jalan masuk ke taman istana melalui pintu kecil di bagian belakang, setelah mereka dapat melewati pintu gerbang benteng istana yang dijaga oleh para perajurit kaki tangan Chin Kui yang memang dipersiapkan malam itu bertugas jaga di situ.

Malam yang gelap dan sunyi amat membantu calon-calon pembunuh itu. Dengan mudah mereka dapat mendekati sasaran masing-masing. Dengan jalan meronda, Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu akhirnya mengambil jalan menuju ke belakang di mana terdapat sebuah bangunan yang menjadi tempat tahanan istana yang penting.

Tepat seperti yang dikatakan Panglima Kwee, empat orang yang ditahan di penjara istana itu mendapat perlakuan baik sekali dari kepala penjara itu yang mendukung perjuangan Panglima Kwee dan rekan-rekannya dalam menentang Perdana Menteri Chin Kui. Kepada anak buahnya kepala penjara itu memperingatkan.

“Para tahanan ini adalah orang-orang gagah, pendekar-pendekar dan mereka hanya ditahan selama urusan mereka masih dipertimbangkan oleh Sri Baginda Kaisar. Mereka belum dinyatakan bersalah, belum dihukum. Maka kalau kalian memperlakukan mereka berempat secara kasar, aku tidak akan mengampuni kalian karena tentu Sri Baginda akan menyalahkan aku. Aku yang bertanggung jawab di sini. Mengerti?”

Tentu saja para anak buahnya takut untuk membantah. Bagaimanapun juga, ucapan kepala penjara itu benar. Oleh karena itu, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong diperlakukan dengan baik. Memang, kamar tahanan mereka itu kokoh sekali, terbuat dari baja tebal dengan jeruji yang kokoh dan tidak mungkin dipatahkan begitu saja.

Akan tetapi mereka diperlakukan dengan baik, tidak ada yang berani mengejek atau menghina dan mereka tidak kekurangan makanan dan minuman. Thian Liong dan Pek Hong berada dalam satu kamar tahanan dan Han Si Tiong berdua dengan isterinya.

Thian Liong merasa rikuh juga berada dalam satu kamar dengan Pek Hong. Akan tetapi gadis itu bersikap biasa. Juga dalam setiap kamar terdapat dua bangku batu sebagai tempat tidur dan setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus lengkap. Biarpun para penjaga bersikap baik, namun para tahanan itu tetap waspada dan di waktu malam, tidur merekapun tidak pulas benar. Sedikit suara saja cukup membangunkan mereka.

Pada malam kedua yang sepi dan dingin itu, Thian Liong duduk di atas pembaringan batu, bersila dan menenangkan hati dan pikiran, mengumpulkan hawa murni agar dia dapat selalu siap menghadapi segala kemungkinan, baik ataupun buruk. Tiba-tiba dia mendengar Pek Hong bersenandung. Lirih saja, akan tetapi suaranya merdu dan lagunya terdengar asing, akan tetapi indah. Thian Liong membuka mata dan memandang.

Gadis itu duduk di atas pembaringan batunya yang berada di dekat dinding seberang, kedua kakinya digantung dan wajahnya tampak tenang saja. Diam-diam dia merasa kagum. Gadis ini memang luar biasa. Menjadi tahanan, dikeram dalam kamar penjara, sama sekali tidak tampak sedih atau khawatir, malah bersenandung, seperti orang yang sedang santai dan gembira.

Padahal, ia itu seorang puteri yang biasa hidup di dalam istana yang indah dan mewah! Akan tetapi, Thian Liong segera teringat bahwa Puteri Moguhai ini juga Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang tentu saja biasa merantau dan hidup dalam keadaan seadanya, bahkan tentu pernah kekurangan makan dan tidur di mana saja, mungkin di dalam hutan. Maka hilanglah rasa herannya walaupun dia tetap saja masih merasa kagum.

“Hong-moi kenapa engkau begini gembira?” tanya Thian Liong.

Gadis itu memandang kepadanya dengan senyum manis sekali. “Habis, apakah engkau lebih suka melihat aku menangis, Liong-ko?”

Mau tak mau Thian Liong tersenyum juga. "Tentu saja tidak, Hong-moi. Akan tetapi aku merasa kagum akan ketenanganmu, dalam keadaan terancam begini engkau masih dapat bersenandung dan tersenyum!”

“Karena aku yakin bahwa keadaan ini pasti tidak akan selamanya dan hanya sementara saja.”

“Engkau yakin bahwa perjuangan Paman Kwee dan rekan-rekannya akan berhasil? Kulihat Chin Kui itu benar-benar telah mempengaruhi Kaisar.”

“Aku percaya kepada Paman Kwee, akan tetapi bukan kepadanya dan para rekannya saja. Akupun yakin bahwa ayahku tidak akan diam saja membiarkan aku terancam bahaya, Liong-ko.”

“Eh? maksudmu?”

“Ayah percaya akan kemampuanku, akan tetapi dia juga amat sayang kepadaku. Mengingat bahwa aku pergi ke selatan, ke wilayah Kerajaan Sung, aku yakin bahwa ayah tentu tidak akan melepaskan aku begitu saja dan diam-diam tentu mengirim orang-orang untuk mengawasi dan menjagaku sehingga kalau aku mendapatkan kesulitan mereka akan dapat menolongku.”

“Hemm, kau pikir begitukah, Hong moi?”

“Bukan itu saja Liong-ko. Kau ingat ketika kita terancam bahaya sewaktu kita tertawan kaki tangan pemberontak di utara itu? Paman Sie menolong kita...”

“Maksudmu, suhu Tiong Lee Cin-jin?”

“Bukan, maksudku Paman Sie, sahabat ibuku dan juga guruku! Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku celaka.”

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara demikian penuh keyakinan sehingga Thian Liong terpengaruh dan percaya juga. Diapun percaya bahwa gurunya adalah seorang sakti yang dapat melakukan hal hal yang luar biasa. Dia tidak mau berdebat dengan Pek Hong tentang siapa penolong mereka dahulu itu.

Apakah gurunya Tiong Lee Cin-jin ataukah paman gadis itu yang disebut Paman Sie, ataukah keduanya itu memang sama orangnya. Maka, diapun diam saja tidak mau membantah dan keduanya kini duduk diam, seolah tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Karena keduanya diam, maka terasa sunyi sekali.

Hawa dingin menembus dinding tebal dan menyusup ke dalam kamar tahanan itu. Thian Liong memandang gadis itu. Gadis yang begitu cantik jelita, begitu lihai dan juga gagah perkasa dan pemberani, seorang puteri kaisar lagi! Dan sekarang, gadis itu meringkuk dalam kamar tahanan duduk di tempat tidur batu yang dingin! Semua ini karena gadis itu hendak membantunya untuk membela Kerajaan Sung menentang Chin Kui!

“Hong-moi, maafkan aku. Aku menyesal sekali, Hong-moi.” Setelah menghela napas berulang-ulang, Thian Liong berkata lirih.

Gadis yang tadinya menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka memandang. “Apa maksudmu, Liong-ko? Maaf? Menyesal?”

“Ya, aku merasa menyesal sekali dan minta maaf padamu karena sekarang engkau menderita dan terancam bahaya hanya karena aku! Kalau engkau tidak ikut dan membantuku, tentu engkau sekarang berada di kamarmu sendiri, di istana ayahmu yang indah.”

Sepasang alis hitam melengkung itu berkerut. Sepasang mata bintang itu bersinar marah. “Liong-ko, apakah dahulu ketika engkau membantu aku menghadapi pemberontak di utara lalu kita tertawan dan terancam maut, aku juga minta maaf dan menyatakan menyesal karena engkau membantuku? Kalau begitu engkau merasa menyesal bahwa aku membantumu, berarti engkau menyesal pula dahulu pernah membantu aku!”

“Wah, sama sekali tidak, Hong-moi! Bukan begitu maksudku....”

“Kalau tidak begitu, syukurlah dan jangan kita bicarakan lagi hal itu!” Pek Hong lalu memutar duduknya, menghadap ke arah pintu baja di mana terdapat jeruji baja yang kokoh dan mereka dapat memandang keluar pintu melalui celah celah jeruji.

Thian Liong tahu bahwa gadis itu marah. Diapun tidak berani lagi bicara dan merasa bahwa memang dia tadi telah salah omong. Semestinya, penyesalan itu untuk diri sendiri saja, disimpan di hati tidak dikeluarkan melalui omongan. Diapun memandang ke luar pintu.

Malam makin larut. Penjara istana itu dijaga ketat oleh lima orang secara bergiliran. Lima orang penjaga yang baru saja mendapat giliran menggantikan lima orang perajurit yang berjaga sejak sore tadi, masih tampak segar dan belum mengantuk. Melakukan tugas jaga di penjara itu, di waktu penjara ada penghuninya, bukan merupakan pekerjaan berat.

Penjara itu kokoh kuat. Orang yang ditahan dalam ruangan penjara itu tidak mungkin dapat membobol pintu untuk melarikan diri. Juga teramat sukar bagi orang luar untuk dapat memasuki penjara ini guna membebaskan mereka yang ditahan. Penjagaan dari pintu gerbang benteng istana sampai ke penjara itu melalui penjagaan yang berlapis-lapis.

Maka, lima orang perajurit pengawal yang melakukan penjagaan inipun santai saja. Selama ini belum pernah terjadi ada tahanan dapat kabur meloloskan diri. Apalagi sekarang penjara itu hampir kosong, hanya terdapat dua pasang tahanan. Itupun, menurut kepala penjara, bukan merupakan orang tahanan berbahaya dan harus diperlakukan dengan sikap baik.

Jadi, lima orang itupun tidak mengkhawatirkan sesuatu. Empat orang dari mereka segera asyik bermain kartu, sedangkan yang seorang duduk melakukan penjagaan kalau-kalau ada atasan mereka melakukan pemeriksaan, agar dia dapat memperingatkan kawan-kawan yang sedang bermain kartu.

Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu berjalan dengan tenang menghampiri tempat penjagaan di depan bangunan penjara. Perajurit yang melakukan penjagaan segera berbisik ke arah teman-teman yang sedang berjudi. “Ssstt... ada yang datang!”

Empat orang itu segera menyembunyikan kartu dan mereka duduk seolah sedang melakukan penjagaan ketat. Ketika perajurit yang menjadi kepala regu melihat bahwa yang datang adalah lima orang perajurit pengawal, dia bertanya heran.

“He, kawan-kawan! Kami baru saja datang dan belum waktunya diganti!”

Cia Song yang berpakaian sebagai seorang perajurit pengawal mendekati kepala regu dan berkata dengan ramah, “Kami hanya ditugaskan untuk melihat apakah keadaan di sini baik-baik dan aman saja.”

Empat orang perajurit pengawal yang menemani Cia Song, seperti telah diatur sebelumnya, juga mendekati para penjaga itu dengan ramah bersahabat. Lima orang penjaga itupun tidak merasa curiga dan mereka menjadi lengah. Tiba-tiba Cia Song menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali.

Berturut turut dia menotok roboh tiga orang penjaga tanpa mereka sempat berteriak karena mereka bertiga telah terkena totokan ampuh sehingga mereka roboh dalam keadaan pingsan. Dua orang penjaga lainnya terkejut bukan main. Saking kagetnya, mereka tidak mampu mengeluarkan suara dan pada saat itu, empat batang golok menyambar dan merekapun roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak.

Empat orang perajurit itu lalu mengayun golok mereka, membunuh tiga orang perajurit penjaga yang tadi roboh tertotok oleh Cia Song. Setelah yakin bahwa lima orang penjaga itu tewas, Cia Song lalu memasuki lorong di luar kamar-kamar tahanan, diikuti oleh empat orang perajurit pengawal yang telah mengeluarkan gendewa dan kantung penuh anak panah berukuran kecil.

Semua ini memang telah dipersiapkan dengan baik oleh Cia Song. Dia tahu betapa lihai Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dari keterangan Perdana Menteri Chin Kui bahwa Souw Thian Liong ditemani seorang gadis cantik yang bicaranya seperti orang utara, dia seorang yang dapat menduga bahwa gadis itu tentulah Puteri Kerajaan Kin yang juga mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu silat itu.

Dia sekali ini tidak mau gagal lagi, maka dia telah mempersiapkan diri dengan baik. Dia maklum biarpun dua orang itu telah berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan tidak akan mampu keluar, namun membunuh mereka bukan merupakan hal yang mudah.

Karena itu, tahu bahwa empat orang perajurit yang menemaninya itu pandai mempergunakan senjata panah, dia lalu membekali mereka dengan gendewa kecil dan anak panah yang mengandung racun yang amat kuat.

Kalau dua orang yang berada dalam ruangan itu di berondong anak panah oleh empat orang perajurit dan diapun membantu menyerang dari luar, mustahil bagi Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu untuk dapat menyelamatkan diri! Dia sudah memperhitungkannya dengan matang.

Dia menduga bahwa dua orang itu pasti tidak membawa senjata untuk melindungi diri mereka dari hujan anak panah dan di dalam kamar penjara itupun tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan perisai.

Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi dia sudah memperhitungkan bahwa Souw Thian Liong sendiri tidak akan dapat mengelak terus. Tidak mungkin menghindarkan diri dari serbuan anak-anak panah dan sebatang saja mengenai tubuhnya, cukup untuk membunuhnya.

Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong yang kebetulan sedang menghadap dan memandang ke arah pintu yang berjeruji, melihat munculnya lima orang yang berpakaian perajurit itu di depan pintu. Tadinya mereka mengira bahwa mereka adalah para penjaga yang melakukan perondaan, akan tetapi ketika mereka melihat Cia Song, keduanya terkejut bukan main.

“Ha-ha-ha!” Cia Song tertawa. “Bersiaplah kalian untuk mampus!”

“Jahanam busuk kau!” Pek Hong memaki.

Akan tetapi Cia Song sudah memberi isyarat kepada empat orang yang memang sudah mempersiapkan anak panah mereka. Begitu mereka berempat bergerak, sinar-sinar hitam meluncur masuk ke dalam ruangan tahanan itu dan menyambar ke arah tubuh Thian Liong dan Pek Hong yang masih duduk di atas pembaringan batu masing-masing.

Dua orang muda ini cepat melompat dan mengelak. Akan tetapi empat orang perajurit yang memang sudah tahu akan kelebihan dua orang yang harus mereka bunuh, melepas lagi anak panah secara bertubi-tubi. Thian Liong dan Pek Hong tidak dapat berbuat lain untuk menghindarkan diri kecuali dengan mengelak.

Mereka berloncatan ke sana-sini dengan cekatan sekali. Dari bau anak panah hitam itu keduanya maklum bahwa anak panah itu beracun, maka tentu saja mereka tidak ingin terluka oleh senjata kecil beracun itu.

Melihat betapa dua orang itu dapat mengelak, Cia Song berseru. “Arahkan kepada seorang saja!”

Empat orang perajurit itu mengerti. Kalau mereka berempat hanya menyerang seorang saja, maka akan sukar sekali, bahkan tidak mungkin orang itu akan mampu menghindarkan diri dari hujan anak panah mereka berempat.

Akan tetapi sebelum penyerangan kepada seorang saja ini dilakukan, tiba tiba ada angin menyambar dari kanan. Angin itu demikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu tidak dapat bertahan dan mereka roboh bergulingan.

Cia Song sendiri juga terkejut, cepat menengok ke kanan dan melihat betapa ada seorang laki-laki mendorongkan tangan kirinya ke arah para perajurit itu. Dia cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah orang itu untuk menyambut pukulannya dan membuat orang itu roboh.

“Wuuuttt.... blarrr....!” Dua tenaga sinkang bertemu dan akibatnya, tubuh Cia Song terpental seperti daun kering tertiup angin dan dia harus berjungkir balik sampai lima kali agar tidak sampai terbanting jatuh. Cia Song terkejut bukan main. Celaka, pikirnya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri.

Dia melihat orang itu berkelebat seperti bayang-bayang saja cepatya, menghampiri empat orang perajurit yang roboh dan yang kini sedang merangkak bangun. Cepat sekali bayangan itu bergerak di antara mereka dan empat orang perajurit itu tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Suhu....!” Thian Liong berseru.

“Paman Sie...!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.

Cia Song terkejut setengah mati mendengar Thian Liong menyebut suhu kepada orang itu. Jadi inikah tokoh besar bernama Tiong Lee Cin-jin yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa yang dijuluki Yok-sian (Dewa Obat) itu? Pantas dia memiliki tenaga sakti sehebat itu. Cia Song menjadi ketakutan dan dia segera melompat dan melarikan diri.

Bayangan yang ternyata seorang laki laki berpakaian kuning berusia sekitar enampuluh dua tahun itu segera membuka pintu tahanan dengan sebuah kunci yang agaknya tadi dia ambil dari gardu penjaga penjara. Daun pintu kamar tahanan itu terbuka dan Pek Hong Nio-cu melompat keluar dan berseru penasaran.

“Mari kita kejar jahanam itu!” Begitu keluar dari kamar tahanan, Thian Liong segera menjatuhkan diri di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.

“Jangan kejar! Yang terpenting sekarang, cepat kalian ikut aku menyelamatkan kaisar!” kata Tiong Lee Cin-jin dan dia sudah berkelebat dan berlari keluar dari rumah penjara, diikuti oleh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

Sebentar saja mereka sudah memasuki istana dan mendengar suara ribut ribut orang-orang berkelahi di ruangan sebelah dalam. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat berlari masuk dan setelah tiba di ruangan dalam yang menjadi ruangan keluarga kaisar, mereka melihat terjadi perkelahian seru di tempat itu. Tiga orang mengamuk, dilawan oleh belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu tek Mo-ko Teng Sui dan Bu-eng Mo-ko Gui Kong atau yang dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang Iblis). Tiga orang ini mengamuk dan sudah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal dan sisanya sudah terdesak hebat.

Di sudut ruangan itu tampak kaisar berdiri dengan muka pucat dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi kaisar yang hanya mengandalkan para perajurit pengawal untuk melindungi dirinya. Karena sisa perajurit pengawal sudah terdesak dan semakin mundur ke arah kaisar yang berdiri di sudut, keadaan gawat sekali bagi keselamatan kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat mengambil pedang para perajurit yang tewas, lalu mereka berdua menyerbu ke depan dengan pedang mereka. Tiga orang yang mengamuk dan yang bertugas membunuh kaisar itu terkejut bukan main ketika melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu menyerang mereka.

Menurut keterangan Perdana Menteri Chin Kui, dua orang itu telah ditahan dalam penjara. Kenapa kini tiba-tiba muncul di situ? Hwa Hwa Cin-jin yang merasa jerih terhadap Thian Liong, segera mendahului dan maju menyerang dengan pedangnya sambil mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.

Akan tetapi Thian Liong sudah memutar pedang dan menutup semua jalan keluar. Sinar pedangnya bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar dan Hwa Hwa Cin-jin tidak dapat berbuat lain kecuali melawan mati-matian.

Pek Hong Nio-cu yang marah melihat tiga orang itu mengancam keselamatan nyawa kaisar, segera menerjang dan menyerang Bu-tek Mo-ko (lblis Tanpa Tanding) Teng Sui yang tinggi kurus dan yang mengamuk dengan pedangnya. Melihat pedang menyambar cepat dan kuat, Bu-tek Mo-ko terkejut dan menangkis.

“Tranggg....!” Bunga api berpijar dan orang pertama dari Siang Mo-ko itu terhuyung ke belakang. Dia terkejut dan gentar, akan tetapi Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dan mendesak dengan pedangnya.

Orang kedua dari Siang Mo-ko, yaitu Bu-eng Mo-ko (Iblis Tanpa Bayangan), tidak dapat membantu kedua orang rekannya karena dia sendiri kini dikeroyok para perajurit pengawal yang masih bersisa sembilan orang itu. Tadi, ketika mereka bertiga menghadapi para perajurit pengawal.

Mereka bertiga menang di atas angin dan selain merobohkan enam orang perajurit pengawal, mereka juga mendesak sembilan orang perajurit yang lain. Akan tetapi kini Bu-eng Mo-ko harus menghadapi sembilan orang perajurit itu seorang diri saja, maka diapun terdesak hebat.

Pek Hong Nio-cu mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakannya cepat sekali dan juga tenaga saktinya masih lebih kuat dibandingkan Bu-tek Mo-ko Teng Sui sehingga Iblis Tanpa Tanding ini terus mundur dan hanya mampu menangkis saja. Setiap kali menangkis, dia pasti terdorong dan terhuyung ke belakang. Dia menjadi panik dan setelah mendapat kesempatan, dia melempar diri ke atas lantai dan melompat untuk melarikan diri.

Akan tetapi Pek Hong Nio-cu membentak. “Hendak lari ke mana kamu? Makanlah pedang ini!” Ia melontarkan pedang itu yang meluncur bagaikan sebatang anak panah menuju sasarannya, yaitu punggung lawan.

“Singgg.... cappp!!” Pedang itu tepat mengenai punggung Bu-tek Mo-ko Teng Sui, begitu kuatnya lontaran itu sehingga pedang menancap di punggung dan menembus ke dada! Tubuh Bu-tek Mo ko terjungkal dan dia tewas seketika.

Bu-eng Mo-ko juga mengalami nasib tidak lebih baik daripada rekannya. Dia sudah melawan mati-matian, akan tetapi musuh terlalu banyak dan diapun semakin panik ketika rekannya roboh. Pada saat itu, sebatang pedang membacok betisnya dan diapun mengaduh dan terpelanting roboh.

Para perajurit itu menghujaninya dengan pedang sehingga sebentar saja tubuh Bu-eng Mo-ko Gui Kong yang pendek gendut itu tercabik-cabik dan diapun tewas dalam keadaan mengerikan!

Hwa Hwa Cin-jin menjadi semakin panik melihat dua orang rekannya roboh dan tewas. Karena merasa tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, dan tidak ingin tewas di tangan para perajurit yang tentu akan mencabik-cabik tubuhnya, Hwa Hwa Cin-jin menggerakkan pedang di tangannya ke arah lehernya sendiri. Diapun roboh mandi darah dengan leher hampir putus!

Melihat tiga orang pembunuh itu telah tewas, kaisar lalu menghampiri Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda ini memberi hormat dengan membungkuk.

“Kalian telah menyelamatkan kami. Kami tidak akan melupakan jasa kalian,” kata kaisar yang lalu diungsikan ke ruangan lain oleh perajurit pengawal.

“Mari kita tangkap mereka yang hendak membunuh kita tadi untuk menjadi saksi!” kata Thian Liong kepada Pek Hong Nio-cu, sambil mencari-cari dengan pandang matanya.

Akan tetapi yang dicarinya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, sudah tidak tampak bayangannya lagi. Mereka berdua segera berlari, kembali ke penjara untuk menangkap empat orang yang tadi membantu Cia Song menghujani mereka dengan anak panah dan mereka dirobohkan oleh Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka melihat betapa empat orang itu telah tewas terkena senjata rahasia pisau beracun yang menancap di tubuh mereka.

“Hemm, tentu mereka ini dibunuh agar tidak membuka mulut,“ kata Thian Liong dengan gemas.

Ternyata musuh amat licik. Mengirim empat orang pembunuh ini dan agaknya telah diikuti orang lain yang bertugas membunuh mereka kalau pekerjaan itu gagal. Dengan demikian, tidak ada yang dapat menjadi saksi untuk mengatakan siapa yang menyuruh mereka untuk membunuh tawanan.

Juga sayang sekali, tiga orang datuk yang berusaha membunuh kaisar juga sudah tewas sehingga dalang semua ini tetap dalam gelap, tidak ada saksi yang dapat membongkar rahasianya.

“Ah, sayang sekali. Jahanam Cia Song dapat lolos dan tadi aku hendak menangkap Hwa Hwa Cin-jin, maka aku sengaja tidak menurunkan serangan yang mematikan. Sayang sekali diapun membunuh diri, tentu agar tidak dipaksa mengaku siapa dalangnya. Sungguh cerdik dan licik majikan mereka!” kata Thian Liong.

“Kalau tidak licik dan cerdik, tidak mungkin dapat menjadi perdana menteri sampai sekian lamanya dan dapat mempengaruhi kaisar,” kata Pek Hong Nio-cu.

“Kau pikir yang menjadi dalang adalah Chin Kui?”

“Siapa lagi kalau bukan tikus busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu, gemas dan benci kepada Perdana Menteri Chin Kui yang telah bersekongkol dengan pemberontakan yang terjadi di kerajaan ayahnya.

Pada saat itu, terdengar suara gedobrakan dan cepat mereka menengok. Ternyata ada tubuh seseorang agaknya dilempar dari luar pintu penjara. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat melompat dan mendekati orang itu.

Ternyata dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian serba hitam dan dia dalam keadaan tertotok sehingga, tidak mampu bergerak. Di baju bagian dadanya terpasang sehelai kertas yang ada tulisannya. Thian Liong cepat mengambil surat itu dan membacanya bersama Pek Hong Nio-cu.

“Hui-to-kui (Setan Pisau Terbang) inilah yang membunuh empat orang itu.”

“Suhu....!” Thian Liong cepat melompat keluar penjara, akan tetapi tidak melihat bayangan gurunya yang dia tahu pasti yang menangkap penjahat berjuluk Setan Pisau Terbang ini.

Dia kembali ke dalam dan mengambil kunci dari gardu penjaga, lalu menyeret orang berpakaian hitam itu dan bersama Pek Hong Nio-cu mereka menghampiri kamar tahanan di mana Han Si Tiong dan isterinya dikeram. Pek Hong Nio-cu membuka kunci pintu penjara itu dan Thian Liong menyeret tawanannya ke dalam kamar penjara, melemparnya ke sudut kamar.

“Ah, Thian Liong, sejak tadi kami merasa tegang dan khawatir melihat orang-orang menghujankan anak panah ke kamar tahanan kalian. Apakah yang terjadi? Dan siapa orang ini?” tanya Han Si Tiong sambil menunjuk ke arah orang yang berjuluk Hui-to-kui itu.

Dengan singkat Thian Liong menceritakan tentang serangan kepada mereka berdua oleh Cia Song dan empat orang temannya. Lalu betapa mereka ditolong gurunya. “Suhu merobohkan mereka dan menyelamatkan kami, paman.”

“Yang menyelamatkan kami adalah Paman Sie,” kata Pek Hong Nio-cu.

“Siapakah Paman Sie itu, tuan puteri.... eh, nona Pek Hong?” tanya Liang Hong Yi yang hampir lupa bahwa Puteri Kaisar Kin itu sedang menyamar sebagai gadis Han bernama Pek Hong.

“Dia adalah suhu Tiong Lee Cin-jin!” kata Thian Liong.

Pek Hong Nio-cu menoleh dan memandang kepada Thian Liong yang juga sedang memandang kepada gadis itu. Dua pasang sinar mata bertemu dan bertaut, akan tetapi keduanya lalu tersenyum dan untuk sementara mereka berdua menerima saja dulu bahwa Paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin, jadi yang berulang menolong mereka itu adalah Paman Sie alias Tiong Lee Cin-jin!

“LaIu bagaimana?” tanya Han Si Tiong dan isterinya.

“Kami diberi tahu bahwa kaisar sedang terancam bahaya. Kami lari ke sana dan melihat kaisar diancam tiga orang tokoh sesat, yaitu Hwa Hwa Cin jin dan Siang Mo-ko yang sedang mengamuk dilawan belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar. Kami segera turun tangan dan berhasil membunuh tiga orang itu.”

“Ah, syukurlah, Sri Baginda selamat!” kata Han Si Tiong. “Akan tetapi siapakah yang mengirim para pembunuh itu, yang hendak membunuh kalian berdua dan juga membunuh Sri Baginda?”

“Kami menduga bahwa dalangnya tentu Chin Kui, akan tetapi tidak ada bukti dan saksinya. Empat orang anak buah Cia Song yang ditotok roboh, tahu-tahu dibunuh orang, demikian pula tiga orang tokoh yang hendak membunuh kaisar telah tewas. Akan tetapi untung sekali, kembali suhu Tiong Lee Cin-jin atau Paman Sie telah membantu kami, menangkap orang ini. Dia ini Hui-to-kui dan dialah yang membunuh empat orang itu. Maka kami lalu membawanya ke sini agar paman berdua dapat menjaganya agar dia tidak sampai lolos atau bunuh diri karena dia merupakan saksi yang penting sekali.”

Han Si Tiong mengangguk-angguk mengerti. “Baik, akan kami jaga baik-baik orang ini.”

Tiba-tiba seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi orang kepercayaan kaisar, seorang pelayan dalam, datang dan menyampaikan perintah kaisar bahwa Souw Thian Liong dan Pek Hong malam itu juga dipersilakan pindah ke sebuah kamar tamu di istana, dan besok pagi-pagi akan dijemput pelayan untuk menghadap kaisar!

Thian Liong dan Pek Hong menghaturkan terima kasih dan Thian Liong memesan kepada Han Si Tiong dan isterinya agar menjaga baik-baik tawanan itu. Suami isteri itu menerima tugas itu dengan gembira dan mereka lalu mengikat kedua kaki tangan Hui-to-kui erat erat sehingga penjahat itu tidak mungkin dapat meloloskan diri.

This Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan tentu saja mereka dapat mengaso dan tidur dengan pulas dalam kamar yang indah bersih itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, yaitu pakaian yang oleh utusan kaisar diambil dari rumah Kwee-ciangkun untuk dua orang muda itu, Thian Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam yang menjemput mereka untuk menghadap Sri Baginda.

Mereka memasuki ruangan rahasia yang merupakan kamar duduk pribadi kaisar dan dua orang muda itu merasa heran akan tetapi juga girang bahwa selain kaisar yang duduk di atas kursi kebesarannya, di situ terdapat pula Kwee-ciangkun yang sudah lebih dulu menghadap kaisar.

Thian Liong dan Pek Hong lalu memberi hormat dengan berlutut dan duduk di atas kursi yang lebih rendah, sejajar dengan Kwee-ciangkun karena kaisar menghendaki mereka duduk di atas kursi.

“Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, kami panggil kalian berdua di sini untuk menceritakan dengan sejujurnya apa yang telah terjadi tadi malam. Kwee-ciangkun sengaja kami panggil untuk menjadi saksi mendengar keterangan kalian berdua,” kata Kaisar sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan wajah cerah karena dia ingat benar bahwa tanpa adanya dua orang itu yang membelanya, mungkin dia sudah tewas di tangan tiga orang pembunuh lihai itu.

“Ijinkan hamba yang menjadi pembicara menceritakan apa yang telah terjadi semalam, Sri Baginda,” kata Thian Liong karena dia khawatir kalau Pek Hong membuka suara, akan ketahuan bahwa ia bukan seorang gadis Han.

“Baik, ceritakanlah,” kata kaisar.

“Malam tadi, muncul Cia Song, pembantu Perdana Menteri Chin Kui bersama empat orang anak buahnya. Mereka menyerang hamba berdua dengan anak panah dari luar kamar penjara dan ternyata mereka telah membunuh lima orang perajurit yang berjaga di penjara. Hamba berdua tidak dapat melawan dan hanya menghindar dari serangan anak panah beracun yang menghujani hamba.

"Untung dalam keadaan amat gawat itu, muncul suhu hamba yang merobohkan empat orang pemanah dan Cia Song melarikan diri dan lolos. Suhu lalu membuka pintu penjara dan minta kepada hamba berdua untuk cepat-cepat melindungi paduka yang terancam bahaya. Hamba berdua lalu lari memasuki istana dan melihat betapa tiga orang jahat itu mengamuk. Hamba berdua lalu turun tangan sehingga tiga orang itu dapat dibinasakan.”

“Tahukah engkau siapa tiga orang yang menyerang dan hendak membunuh kami itu?”

“Hamba dan Sie Pek Hong pernah bentrok dengan tiga orang itu, Sri Baginda. Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang ketika itu hendak membunuh Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi.”

“Ampunkan hamba kalau hamba mohon diperkenankan menambah sedikit keterangan Souw Thian Liong, yang mulia,” kata Kwee-ciangkun.

“Boleh, katakanlah, Kwee-ciangkun,” kata kaisar.

“Tiga orang itu memimpin pasukan melakukan pengejaran dan mencari empat orang pelarian, yaitu Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong yang bersembunyi di rumah hamba. Ketika hamba keluar, tiga orang itu mengatakan bahwa mereka mencari empat orang penjahat atas perintah Perdana Menteri Chin Kui.”

Kaisar mengangguk-angguk. Mulai goyah kepercayaannya terhadap perdana menteri yang selalu dipercayanya itu. “Baiklah, hal itu akan kami urus nanti. Sekarang, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Untuk itu kalian berdua boleh minta, imbalan jasa apa yang ingin kalian dapatkan dari kami.”

Sie Pek Hong menggeleng-geleng kepala menandakan bahwa ia tidak minta apa-apa, akan tetapi Thian Liong berkata, “Sri Baginda yang mulia, sekiranya paduka berkenan, hamba mohon, demi keselamatan paduka dan kerajaan paduka, agar Perdana Menteri Chin Kui diadili dan dijatuhi hukuman.”

Kaisar menghela nepas panjang. Dia teringat, betapa beberapa tahun yang lalu, dia menjatuhkan hukuman kepada tiga orang pejabat tinggi karena mereka berani mengajukan permintaan yang sama, yaitu agar Perdana Menteri Chin Kui diadili! Pada waktu itu, kepercayaan terhadap Chin Kui demikian besarnya sehingga dia menganggap mereka itu melempar fitnah keji!

Akan tetapi sekarang, yang mohon agar Chin Kui diadili adalah orang-orang muda yang baru saja menyelamatkan nyawanya dari serangan orang-orang yang menjadi anak buah Chin Kui sehingga kepercayaannya terhadap perdana menteri itu goyah.

“Kita lihat saja nanti dalam persidangan,” katanya. “Akan tetapi lepas dari persoalan yang menyangkut Perdana Menteri Chin Kui, kami ingin memberi hadiah kepada kalian berdua atas jasa kalian semalam. Nah, apakah yang kalian minta?”

Karena Thian Liong tidak mengharapkan imbalan apapun, dia memberi isyarat dengan gerakan sikunya kepada Pek Hong, barangkali gadis itu yang hendak mohon sesuatu. Pek Hong lalu berkata dengan suara lantang sehingga dialek utara terdengar jelas. Akan tetapi karena ia seorang puteri kaisar, tentu saja kata-katanya teratur baik sekali.

“Hamba berdua menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas kebijaksanaan paduka yang berkenan hendak memberi hadiah kepada hamba berdua. Namun hamba juga mohon ampun beribu ampun bahwa hamba berani menolak segala macam hadiah karena sesungguhnya, apa yang telah kami lakukan itu sudah merupakan kewajiban hamba, yaitu membela yang benar dan menentang yang jahat, Sri Baginda yang mulia.”

Kaisar tersenyum dan memandang kagum, akan tetapi lalu bertanya. “Sie Pek Hong, bicaramu menunjukkan bahwa engkau orang dari daerah utara, benarkah?”

“Yang Mulia, hamba memang dilahirkan dan tumbuh dewasa di daerah Utara."

Kaisar mengangguk-angguk. Hatinya merasa gembira sekali dapat bicara leluasa dan akrab begini dengan dua orang muda itu, suatu hal yang jarang sekali terjadi karena biasanya dia hanya bicara dengan formal dengan orang-orang sehingga suasananya menjadi kaku. Dia memandang kepada dua orang muda itu dan berkata dengan sikap ramah.

“Souw Thian Liong, tadi engkau bercerita bahwa kalian berdua diserang penjahat dan diselamatkan gurumu dan gurumu pula yang membebaskan kalian dari kamar tahanan agar kalian dapat menolong kami yang terancam bahaya. Kalau begitu, jasa gurumu itu bahkan lebih besar. Katakanlah, siapa gurumu itu...?”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.