Jodoh Si Naga Langit Jilid 12

Sonny Ogawa
12.1. PENGADILAN RAKYAT DUSUN BE-SAN!

“Keparat, engkau yang memimpin pemberontakan ini, ya?” Komandan penjaga itu menggerakkan cambuk di tangannya. “Tar-tarrr......!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Laki-laki yang bicara lantang tadi melindungi mukanya dengan kedua tangan. Cambuk melecuti tubuhnya dan dia pun terpelanting roboh, bajunya robek tercabik-cabik sengatan ujung cambuk dan tampak darah di sana sini keluar dari kulit yang ikut pecah.

Penduduk yang berkerumun di situ menjadi panik dan mereka bergerak mundur. Komandan gerombolan penjaga itu menyeringai dan melihat wajah para penduduk yang ketakutan, merasa mendapat angin. Dengan bengis dia lalu maju dan mengangkat cambuknya untuk menghajar laki-laki yang sudah roboh itu.

“Mampuslah engkau, pemberontak!” bentaknya. Akan tetapi sebelum cambuknya menyambar ke bawah, tiba-tiba saja cambuk itu direnggut orang. Renggutan itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu mempertahankan cambuk dan tahu-tahu sudah terlepas dari pegangannya dan dirampas orang.

Ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, ternyata yang merampas cambuknya itu seorang pemuda asing yang berpakaian sederhana. Pemuda itu jelas bukan penduduk dusun Be-san itu karena dia tidak mengenalnya.

“Jahanam busuk, siapa kamu berani merampas cambukku? Hayo kembalikan, cepat!” Dia maju dan hendak merampas kembali cambuknya yang berada di tangan Souw Thian Liong.

Pemuda yang merampas cambuk kepala pasukan penjaga itu adalah Thian Liong. Tadi dia marah sekali melihat perbuatan kepala jaga itu mencambuki orang yang tidak dapat melawan, maka dia lalu merampas cambuk itu. Kini melihat tukang pukul itu memakinya dan hendak merampas kembali cambuknya, Thian Liong menangkis dengan tangan kirinya dan begitu lengan mereka bertemu, tukang pukul itu pun terpelanting roboh.

Dia marah bukan main. Cepat dia bangkit berdiri, mencabut goloknya dan membacok ke arah kepala Thian Liong. Thian Liong menggerakkan tangan sambil mencondongkan tubuh ke kiri mengelak. Ketika golok meluncur lewat, tangan kirinya menyambar dan dia pun sudah merampas golok penyerangnya.

Dengan mudah seperti orang mematahkan sebatang ranting kecil saja, Thian Liong mematah-matahkan golok itu lalu membuang ke atas tanah. Kemudian dia menggerakkan cambuk rampasan itu sehingga terdengar ledakan-ledakan cambuk yang menari-nari di atas tubuh kepala jaga itu. Tukang pukul itu mengaduh-aduh dan roboh menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan berlepotan darah.

Melihat ini, timbul keberanian para penduduk. Mereka berdesakan maju dan dengan wajah beringas mereka hendak mengeroyok komandan jaga yang galak itu. Kalau hal ini dibiarkan, tentu komandan jaga itu akan dihujani pukulan dan tak dapat ditolong lagi. Akan tetapi Thian Liong menghadang dan mengayun cambuknya ke atas sehingga terdengar meledak-ledak.

“Mundur! Ada urusan dapat dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan!” bentaknya dan para penduduk itu lalu menghentikan niat mereka menghajar komandan jaga itu. Setelah Thian Liong tidak mencambuki lagi, komandan jaga itu tertatih-tatih bangkit berdiri dan ditolong oleh beberapa orang temannya.

Pada saat itu muncul seorang laki-laki dari dalam gedung. Karena pendapa rumah besar itu lebih tinggi daripada pekarangan, maka semua orang dapat melihatnya, seolah dia berdiri di atas panggung. Kalau tadinya para penduduk itu saling bicara dengan suara riuh, kini mereka berhenti mengeluarkan suara sehingga suasananya hening.

Thian Liong sendiri memandang ke arah pendapa dan melihat laki-laki itu melangkah dengan tenang sampai ke tepi pendapa menghadapi orang-orang yang berdiri di pekarangan, di bawah pendapa. Laki-laki itu sudah tua, sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua dan wajahnya mengandung senyuman, sikapnya tampak lembut sehingga Thian Liong diam-diam merasa heran.

Kakek ini tampaknya baik hati dan penuh kesabaran. Mengapa kini penduduk ribut-ribut dan dari teriakan-teriakan mereka tadi seolah merasa penasaran dan menuntut? Kakek inikah yang tadi dimaki sebagai pembesar lalim, munafik dan penipu?

Sejenak kakek itu melayangkan pandang matanya kepada semua orang dan kini Thian Liong melihat bahwa di balik kelembutannya, kakek itu memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati. Semua penduduk diam dan tampak gelisah. Lalu terdengar suara kakek itu, suaranya juga terdengar lembut namun cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

“Hei, para penduduk Be-san. Kalian ini mau apa ribut-ribut di sini? Kalau ada urusan, siapa pun boleh menghadap padaku untuk membicarakannya, bukan ribut-ribut datang ke sini seperti perampok. Kalau kalian menggunakan kekerasan, aku pun dapat memerintahkan para pengawalku untuk membasmi kalian!” Setelah berkata demikian, kakek itu menggapai ke dalam dan muncullah lima orang laki-laki tinggi besar yang berwajah menyeramkan.

“Lihat, kalian semua tahu bahwa Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar) ini adalah para pengawal pribadiku. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan dan hendak memberontak, aku dapat memberi perintah kepada mereka untuk membunuh kalian!” Kini suara yang lembut itu mengandung ancaman.

Lima orang tinggi besar itu berdiri tegak sambil tersenyum simpul, mengangkat dada dan memandang rendah semua orang yang berdiri di pekarangan. Laki-laki yang tadi dicambuk berdiri di depan. Dia berseru dengan lantang.

“Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo), kami sama sekali tidak ingin memberontak, hanya ingin menuntut hak kami dan menagih semua janji Chung-cu kepada kami beberapa tahun yang lalu. Kami merasa dibohongi!”

“Apa?” Lurah Mo itu membelalakan matanya dan kini wajahnya berubah merah. “Kamu berani menuduh kami membohongimu? Aku sudah mati-matian berjuang demi kemakmuran desa dan rakyat dan kamu bilang aku berbohong? Pengawal, tangkap pemberontak itu!” Lurah Mo menuding ke arah laki-laki yang menjadi wakil pembicara penduduk dusun itu.

Seorang di antara lima pengawal itu menyeringai dan melangkah maju hendak turun dari atas pendapa, tangannya meraba gagang golok dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi sebelum dia turun, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Liong sudah berdiri di depannya.

Ketika Thian Liong menghajar kepala penjaga tadi, Lurah Mo dan lima orang pengawalnya tidak melihat hal itu. Maka kini melihat seorang pemuda asing, bukan penduduk dusun Be-san, tiba-tiba muncul, Lurah Mo membentak marah. “Hei, siapa kamu berani naik ke sini tanpa kami panggil?”

Sementara itu, lima orang Twa-to Ngo-houw sudah bergerak mengepung Thian Liong dengan sikap mengancam. Thian Liong bersikap tenang saja dan dia berkata dengan suara lantang.

“Saya bernama Souw Thian Liong dan kebetulan saja saya lewat di dusun Be-san ini dan melihat para penduduk hendak menyatakan isi hati mereka kepada Mo-chungcu. Tadi engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalau ada urusan, mereka boleh bicara denganmu, akan tetapi mengapa, setelah kini ada yang mewakili para penduduk untuk bicara, malah kau ancam dan hendak menggunakan anjing-anjingmu untuk menggonggong dan menggigit penduduk?”

Tentu saja Lurah Mo marah sekali mendengar ucapan itu. Juga Twa-to Ngo-houw yang disebut anjing-anjing oleh pemuda asing sederhana ini. “Tangkap bocah lancang mulut ini!” bentak Lurah Mo.

Karena mereka memang marah terhadap Thian Liong, maka tanpa diperintah dua kali, lima orang tukang pukul itu segera menerjang, ada yang menubruk, ada yang mencengkeram, ada yang memukul atau menendang. Agaknya mereka berlima berlumba untuk lebih dulu merobohkan pemuda itu.

Para penduduk dusun yang menonton dari bawah pendapa, memandang dengan cemas karena mereka semua tahu betapa lihai dan kejamnya lima orang jagoan andalan Lurah Mo itu. Akan tetapi, terjadilah hal yang membuat semua orang terperangah. Tiba-tiba tubuh Thian Liong berpusing seperti gasing dan tangannya berubah banyak, membagi-bagi tamparan kepada lima orang penyerangnya.

“Plak-plak-plak-plak-plak......!!”

Dan lima orang tinggi besar itu berpelantingan roboh di atas lantai pendapa! Lima orang jagoan itu sendiri terbelalak, heran dan juga pening. Akan tetapi mereka kini menjadi marah sekali, maklum bahwa pemuda itu bukan seorang lemah. Tanpa menanti komando lagi mereka sudah mencabut golok besar mereka dan kembali mereka mengepung Thian Liong.

“Hemm, orang-orang yang mengandalkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain adalah siauw-jin (orang berbudi rendah) dan menjadi permainan iblis yang akan menyeretnya ke neraka jahanam!” kata Thian Liong. “Mundurlah kalian sebelum terlambat dan bertaubatlah!”

Akan tetapi ucapan ini bahkan menjadi minyak yang disiramkan ke api, membuat lima orang itu menjadi semakin marah. Mereka membentak nyaring dan golok mereka berkelebatan, diputar menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan sinar-sinar golok mencuat dan menyambar ke arah Thian Liong!

Thian Liong maklum bahwa lima orang yang menggunakan julukan Lima Harimau Bergolok Besar ini tentu merupakan ahli-ahli golok yang tangguh dan berbahaya, maka dia pun sudah mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) dan sekali dia berseru, pedangnya menjadi sinar panjang menyilaukan mata.

“Trang-trang-trang-trang-trang……!!”

Tampak api berpijar-pijar, disusul robohnya lima orang pengeroyok itu. Kejadian itu berlangsung amat cepatnya, tak dapat diikuti pandang mata dan tahu-tahu ketika semua orang memandang lagi, Thian Liong berdiri santai dan pedangnya sudah kembali ke tempatnya.

Lima orang itu mengaduh-aduh, lengan kanan mereka berdarah karena terluka goresan pedang yang cukup dalam pada pangkal lengan kanan. Golok-golok besar mereka berserakan di atas lantai dalam keadaan patah menjadi dua potong!

Pada saat itu dari dalam gedung bermunculan empat orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh lima tahun, dan seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Lima orang laki-laki ini bukan tukang pukul. Pakaian mereka mewah dan mereka berdiri di belakang Lurah Mo dengan wajah pucat pula, seperti wajah Lurah Mo yang pucat dan matanya terbelalak, jerih memandang kepada Souw Thian Liong.

Akan tetapi, agaknya karena sudah banyak pengalaman, Lurah Mo dapat bersikap tenang dan dia lalu berkata kepada Thian Liong dengan suara yang lembut ramah dan membujuk setelah tahu bahwa pemuda ini tidak dapat dilawan dengan kekerasan.

“Souw-sicu (orang gagah Souw), sebetulnya apakah yang kau inginkan? Kalau engkau menginginkan uang, katakanlah berapa kebutuhanmu? Akan kami cukupi. Atau engkau menghendaki kedudukan? Akan kami beri kedudukan yang layak dan terhormat.”

“Tidak, Chung-cu, aku tidak butuh apa-apa. Aku hanya minta agar sekarang juga engkau mendengarkan tuntutan rakyat dusun yang kau pimpin ini.”

Setelah berkata demikian, Thian Liong lalu berdiri menghadapi penduduk dan berkata dengan suara lantang. “Saudara-saudara sekalian, sekarang bicaralah, ceritakan semua isi hati dan tuntutanmu. Jangan takut, bukalah semua, aku yang menanggung bahwa tidak akan ada orang yang mengganggu kalian!”

Laki-laki yang menjadi juru bicara para penduduk itu lalu melangkah maju dan berkata dengan suara lantang. “Saya Liu Cin mewakili seluruh penduduk Be-san menyampaikan rasa penasaran dan tuntutan kami kepada Lurah Mo. Beberapa tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan lurah baru untuk dusun ini, Lurah Mo berjanji kepada kami untuk berjuang memajukan dusun dan mendatangkan kemakmuran bagi kami semua.

"Untuk usaha itu, Lurah Mo mengadakan peraturan-peraturan yang memberatkan kami seperti pajak-pajak, sumbangan-sumbangan, dan lain-lain. Kehidupan kami selama bertahun-tahun menjadi semakin berat. Hasil sawah ladang kami memang subur dan banyak, namun semua itu sebagian besar habis untuk membayar pajak dan sumbangan-sumbangan yang mencekik sehingga kami hidup melarat. Untuk memberi makan semua keluarga pun terkadang kurang, apalagi untuk membeli pakaian dan membetulkan rumah.”

“Akan tetapi, bukankah sudah sering kami katakan bahwa untuk mendatangkan kesejahteraan, kita harus prihatin? Bukankah sudah sering kami katakan bahwa ada pribahasa: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Kita berprihatin sekarang ini untuk membangun desa, untuk mempersiapkan kehidupan yang makmur bagi anak keturunan kita?” Demikian Lurah Mo membantah dengan suaranya yang khas, lembut namun lantang.

Tiba-tiba para penduduk menjadi gaduh lagi. Ada yang berteriak-teriak. “Munafik...!”

“Penipu......!”

Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas. “Saudara-saudara harap tenang dan dengarkan saja pembicaraan yang dilakukan wakil kalian dan Lurah Mo!” Semua orang lalu diam.

“Itulah yang selalu dikatakan Lurah Mo kepada kami seluruh penduduk dusun. Kami harus prihatin, hidup sederhana seadanya, demi pembangunan dusun, demi kemakmuran anak cucu. Kami menaati semua nasihat dan petunjuknya karena menganggap dia benar-benar berjuang demi kesejahteraan dusun dan penduduknya, akan tetapi apakah kenyataannya?

"Mungkin Lurah Mo sendiri tidak menonjolkan kekayaannya, akan tetapi lihatlah! Gedung-gedung besar dibangun oleh anak-anaknya dan saudaranya! Itu mereka berdiri di belakang Lurah Mo! Anak-anaknya dan saudaranya menjadi kaya raya, rumah gedung, memiliki ratusan ekor ternak, membeli hampir semua sawah ladang sehingga kami yang terpaksa menjual tanah untuk makan kini hanya menjadi buruh tani.

"Dan ke mana larinya semua hasil pajak yang kami bayar, semua sumbangan-sumbangan yang amat banyak diambil dari hasil keringat kami? Mana pembangunan untuk dusun ini? Yang ada hanya pembangunan untuk Lurah Mo sekeluarganya yang menjadi kaya raya. Demikian kayanya sampai gandum di lumbung mereka membusuk. Mereka sering mengadakan pesta pora dengan para hartawan dari kota.”

Laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun yang berdiri di belakang Lurah Mo dan yang mengenakan pakaian mewah itu menjawab dengan suara lantang dan sikap gagah-gagahan. “Heh, kalian orang-orang bodoh. Jangan menuduh sembarangan dan seenaknya saja! Kami memang kaya raya, akan tetapi kekayaan kami adalah hasil kami berdagang dengan para saudagar di kota!”

Empat orang Iaki-laki yang lebih muda juga berseru marah. “Itu betul! Kami berdagang dan apa salahnya menjadi kaya karena keberhasilan kami berdagang?”

“Kalian hanya iri karena kalian tidak becus mencari uang! Karena kalian ini orang-orang desa yang bodoh! Kalau kami menjadi kaya karena pandai berdagang, dan kalian miskin karena kalian bodoh dan tidak becus, mengapa mau menyalahkan kami?”

Mendengar alasan-alasan keluarga lurah itu, kembali terjadi kegaduhan dan sekali lagi Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas. “Tenanglah, biarlah wakil kalian yang bicara!”

Setelah suasana menjadi hening, wakil pembicara penduduk itu lalu berkata lagi dengan, lantang. “Kami semua sudah mendengar ucapan keluarga Mo, putera-puteranya dan saudaranya. Jadi kalian menjadi kaya raya karena pandai dan berdagang sedangkan kami menjadi miskin karena bodoh? Memang kami akui, kami bodoh karena mudah saja dibodohi kalian. Kami masih ingat, ketika Lurah Mo dan keluarganya, anak-anaknya, saudaranya, dahulu sebelum Lurah Mo menjadi lurah, kalian semua tidak ada bedanya dengan kami!

"Kalian dulu juga hanya orang desa, kalian juga dulu miskin tidak punya apa-apa. Akan tetapi setelah Lurah Mo menjadi lurah di sini, kalian menjadi pedagang dan tuan tanah yang kaya raya dan berlebih-lebihan. Coba terangkan, dari mana kalian mendapatkan itu semua? Darimana kalian mendapatkan modal untuk berdagang secara besar-besaran, membeli ratusan ekor hewan ternak dan tanah yang luas sekali?”

Empat orang anak lurah dan seorang saudaranya itu menjadi pucat wajahnya dan tidak mampu menjawab, kini mereka semua memandang kepada Lurah Mo seolah minta pertolongan agar Sang Lurah yang menjawab. Melihat enam orang itu diam saja, mulailah penduduk ramai lagi saling bicara dan kata-kata keras dilontarkan mereka kepada keluarga itu.

Thian Liong mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang, kemudian dia berkata kepada sang Lurah. “Mo-chungcu, silakan menjawab pertanyaan mereka. Dari mana keluargamu itu mendapatkan uang begitu banyak untuk dipakai modal berdagang? Kalau kalian tidak mau menjawab terus terang, terpaksa aku akan membiarkan para penduduk ini menggunakan kekerasan dengan cara mereka sendiri!”

Wajah Lurah Mo menjadi pucat dan wajahnya kini tampak lebih tua daripada biasanya. Berulang kali dia menghela napas panjang, memandang kepada anak-anak dan saudaranya, lalu berkata, “Mereka mendapatkan... dari... dari aku....”

Wakil pembicara para penduduk itu cepat bertanya lantang. “Dan engkau mendapatkan uang demikian banyaknya itu darimana, Mo-chungcu?!?”

“Dari... dari penghasilan kelurahan...!”

Thian Liong merasa betapa dadanya panas mendengar ini semua. Jelaslah baginya bahwa kepala dusun ini telah mempergunakan kesempatan selagi dia berkuasa di dusun itu untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa memperdulikan penduduk yang hidupnya di bawah garis kemiskinan.

Padahal seluruh harta yang mereka miliki itu berasal dari hasil perahan keringat penduduk dusun Be-san. Maka, setelah mengerti dengan jelas permasalahannya, Thian Liong kini mewakili penduduk dan bertanya dengan suara mengguntur.

12.2. PEMBALASAN TAMPARAN PANTAT!

“Mo-chungcu, penghasilan kelurahanan yang kau maksudkan itu adalah hasil tarikan pajak dan sumbangan dari penduduk, sebagian besar hasil sawah ladang mereka dan dari tanah mereka yang terpaksa dioperkan kepadamu karena kekurangan makan. Begitukah? Tidak perlu berbohong lagi, jawablah!”

Mo-chungcu tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk.

“Mo-chungcu, engkau telah menyalahgunakan kekuasaanmu untuk memperkaya diri sendiri dan keluargamu, tanpa memperdulikan rakyat dusun ini! Seluruh harta kekayaanmu dan keluargamu berasal dari hasil sawah ladang yang disiram keringat para penduduk. Sadarkah engkau akan hal itu?”

Kembali Lurah itu mengangguk. Dan dia tampak lemah sekali, tubuhnya menggigil, mukanya pucat. Kemudian dia terhuyung-huyung lalu tangannya bergerak, telunjuknya menuding ke arah empat orang anaknya dan seorang saudaranya itu sambil berkata, “Kalian.... bodoh.... kalian terlalu pamer....”

Dia lalu terguling roboh ke atas lantai dan ketika diperiksa, ternyata Lurah Mo telah tewas. Mungkin rasa takut, malu, dan tegang telah menekan jantungnya dan menewaskannya.

Thian Liong tidak mau kepalang tanggung dalam menolong penduduk dusun Be-san itu. Dia bermalam di situ beberapa hari lamanya dan melakukan pembenahan. Atas keputusan orang-orang yang dianggap menjadi sesepuh dan pemuka di dusun itu.

Setelah mengadakan musyawarah, lalu diputuskan bahwa semua harta kekayaan Lurah Mo dan semua keluarganya, sanak kerabatnya yang kebagian harta tidak halal itu, disita oleh kepala dusun dan para pembantunya yang baru atas pilihan rakyat.

Harta sitaan itu dipergunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk, dan untuk pembangunan dusun yang diperuntukkan kesejahteraan penduduk. Sawah ladang penduduk dikembalikan kepada pemilik lama. Rumah besar itu menjadi rumah kelurahan dari lurah yang baru, dan rumah-rumah gedung yang tadinya milik para putera dan saudara mendiang Lurah Mo, kini menjadi gedung-gedung yang dipergunakan untuk penduduk melakukan berbagai kegiatan kesenian dan lain-lain.

Akan tetapi, atas usul Thian Liong yang dianggap sebagai pahlawan dan penolong penduduk Be-san, keluarga mendiang Lurah Mo tetap diperbolehkan tinggal di Be-san dan menempati rumah yang tidak banyak bedanya dengan perumahan penduduk. Mereka disadarkan dan mengakui bahwa selama ini mereka dibutakan oleh pengaruh harta dan kekuasaan.

Setelah hidup sebagai penduduk biasa, sederajat dengan para penduduk lainnya, mereka malah merasa tenteram dan damai. Para tukang pukul yang memiliki kekejaman diusir dari dusun itu dan bagian keamanan dusun diserahkan kepada para pemuda.

“Dengar baik-baik,” kata Thian Liong ketika hendak meninggalkan dusun itu. “Kalian seluruh penduduk harus bersatu padu bergotong-royong saling bantu, bersama-sama menghadapi dan menentang kekuasaan yang sewenang-wenang hendak menindas kalian. Sama sekali bukannya jahat dan tidak boleh untuk menjadi orang berharta, asalkan harta itu didapatkan dengan cara yang wajar dan baik, bukan hasil pemerasan, pencurian, atau penipuan.

"Yang kaya membantu yang miskin, yang miskin juga dibutuhkan yang kaya. Kaya maupun miskin tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bantuan orang lain. Ingatlah kata-kata bijaksana. Guru Besar Khong Cu : Se-hai-ce-nei-cai-syung-ti-ye (Di empat penjuru lautan semua adalah saudara).

"Karena itu kita harus tolong menolong seperti saudara, jangan berpesta pora di depan orang-orang yang kelaparan, jangan bermewah-mewah, berfoya-foya di depan orang-orang yang miskin dan papa.”

Setelah memberi nasihat kepada penduduk, dan berpamit kepada lurah baru dan para pembantunya, Thian Liong juga meninggalkan pesan kepada mereka, terutama kepada lurah baru itu.

“Ingatlah selalu bahwa kedudukan kalian ini diberi oleh rakyat dusun ini. Kalian dapat menjadi pemimpin karena mereka yang memilih dan menentukan. Kalian dipilih untuk mengatur dusun ini agar rakyatnya hidup sejahtera. Tanpa rakyat dusun ini, kalian ini bukan apa-apa. Karena itu, bekerjalah sebaik mungkin demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

"Kalau kalian menjadi penguasa yang bijaksana dan mencinta rakyat, tentu rakyat akan mencinta kalian dan kalau sudah begitu, setiap perintah dan petunjuk kalian pasti akan ditaati dan dilaksanakan rakyat dengan senang hati dan patuh. Bukannya tidak boleh seorang penguasa hidup makmur, bahkan sudah sewajarnya seorang pemimpin hidup berkecukupan sebagai imbalan jasanya menyejahterakan rakyatnya, dan sudah menjadi kewajiban rakyatnya membagi sebagian dari penghasilannya kepada para pimpinan sebagai imbalan jasa.

"Akan tetapi sama sekali tidak benar kalau para pemimpin lain mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak wajar. Janganlah diulang lagi kesalahan pemimpin seperti yang sudah. Keluarga sendiri menumpuk harta sampai berlebihan, sedangkan sebagian besar rakyatnya hidup miskin sekali, padahal merekalah yang telah memilih pemimpin mereka.

"Penguasa seperti ini, yang mengandalkan kekuasaan dan mencari kesempatan memperkaya diri sendiri, bersenang-senang dan menari-nari di atas kepala rakyatnya, pasti tidak akan diberkati Thian dan akan terkutuk sehingga akhirnya mencelakakan diri dan keluarganya sendiri.”

Setelah memberi banyak nasihat, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Be-san dan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja Lin-an (Hang-chouw), yaitu kota raja Sung Selatan.

* * *

Thian Liong melakukan perjalanan menuju Lin-an. Hatinya masih merasa risau dan pilu kalau dia memikirkan Bi Lan, yang sudah berbulan-bulan meninggalkan dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Dia merasa iba kepada gadis itu, juga merasa bersedih mendengar akan kematian Han Si Tiong.

Mudah-mudahan saja dugaannya benar bahwa Bi Lan dan ibunya pergi ke kota raja Lin-an, ke rumah keluarga Panglima Kwee dan mungkin kini telah menjadi isteri Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee dan hidup berbahagia di kota raja. Kalau sekiranya dibutuhkan, dia akan membantu gadis itu mencari para pembunuh ayahnya.

Ketika dia memasuki wilayah kota raja, dia mendengar berita tentang Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) yang mengamuk di kota-kota besar, terutama di kota Cin-koan. Menurut kabar itu, Ang I Mo-li ini mengamuk, menghajar banyak laki-laki bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelesir.

Wanita itu kabarnya amat lihai dan para laki-laki hidung belang itu ia lukai dan diberi cacat mukanya, akan tetapi tidak dibunuh. Rumah-rumah pelesir itu dirusak. Agaknya wanita itu mendendam dan membenci para pria yang suka berkeliaran dan bersenang-senang di rumah-rumah pelesir itu! Sungguh aneh, pikirnya.

Ketika dia mencari keterangan lebih lanjut dan mendengar bahwa Ang I Mo-li itu selain lihai juga masih muda dan cantik jelita, pikirannya melayang dan membayangkan Han Bi Lan. Gadis itu juga selalu berpakaian merah! Apakah Ang I Mo-li, Si Iblis Betina Baju Merah itu Han Bi Lan?

Akan tetapi kalau benar, mengapa gadis itu mengamuk di rumah-rumah pelesir dan membikin cacat para pria yang berpelesir di situ? Rasanya tidak masuk akal. Apa hubungannya Han Bi Lan dengan mereka yang berpelesir? Ayahnya dibunuh seorang pemuda dan seorang gadis, demikian menurut penjaga rumah Han Si Tiong yang telah ditinggalkan keluarga itu.

Akan tetapi kalau memang Ang I Mo-li itu Han Bi Lan, mengapa ia membenci para pria yang berada di rumah pelesir? Apakah dua orang pembunuh Han Si Tiong itu ada hubungannya dengan rumah pelesir? Hal ini meragukan hati Thian Liong. Kalau begitu agaknya Si Iblis Betina Baju Merah itu bukan Han Bi Lan.

Thian Liong melamun dan membayangkan wajah Han Bi Lan. Terbayang olehnya betapa Han Bi Lan mati-matian membelanya ketika dia difitnah dan hendak menerima hukuman dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai karena fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh Cia Song.

Kemudian betapa dia yang ketika itu merasa penasaran dan marah kepada gadis yang mencuri kitab untuk Kun-lun-pai dari tangannya itu, dia tampari pinggulnya sampai sepuluh kali seperti yang dia janjikan dalam hatinya. Sejak pertemuan terakhir itu, setahun lebih telah lewat.

Pada pagi hari itu, Thian Liong menuruni sebuah bukit di puncak di mana dia melewatkan malam yang dingin. Tidak tampak dusun di sekitar bukit itu. Akhirnya dia menemukan jalan umum yang kasar dan dia ingat bahwa jalan ini menuju ke kota raja di sebelah timur, walaupun masih sekitar sehari penuh perjalanan dari tempat itu ke kota raja.

Jalan umum itu memasuki sebuah hutan yang lebat. Matahari pagi hanya mampu menyusup di antara daun-daun yang rimbun sehingga membentuk sinar-sinar putih menembus keremangan hutan. Indah sekali pemandangan itu. Thian Liong merasa seperti dalam dunia yang aneh dan asing, berjalan melalui berkas-berkas sinar putih itu.

Sunyi bukan main di jalan itu, tak tampak seorang pun manusia. Akan tetapi suasananya cukup riang dengan adanya kicau burung-burung yang berloncatan di dahan dan ranting pohon.

Tiba-tiba Thian Liong berhenti melangkah. Di antara suara kicau burung-burung itu, dia mendengar suara lain yang aneh. Isak tangis tertahan! Dia memejamkan mata mengerahkan pendengarannya. Tak salah lagi. Ada orang menangis dengan isak ditahan-tahan.

Agak jauh dan lirih, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara itu dan dia lalu melangkah perlahan dan hati-hati menuju ke arah suara. Dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang menangis itu, hanya ingin melihat apa yang terjadi maka dia berjalan perlahan agar jangan sampai diketahui orang yang sedang menangis dan dia hampiri.

Tak lama kemudian dia melihat seorang gadis duduk bersandar pada batang pohon dan dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia menangis terisak-isak akan tetapi jelas bahwa ia menahan agar tangisnya tidak terlalu nyaring.

Jantung dalam dada Thian Liong berdebar keras, hatinya merasa tegang sekali. Melihat bentuk tubuhnya, gadis itu masih muda dan pakaiannya serba merah muda! Han Bi Lan? Ah, dia tidak dapat melihat mukanya, maka dia masih ragu, tidak yakin apakah gadis itu Han Bi Lan.

Seingatnya, gadis itu lincah jenaka galak dan bukan model wanita yang cengeng. Akan tetapi mengapa kalau gadis itu Bi Lan ia menangis, dan lebih aneh lagi mengapa ia berada di hutan ini seorang diri? Semestinya ia berada di kota raja Lin-an bersama ibunya! Dengan hati-hati Thian Liong menghampiri dan dia sengaja batuk-batuk setelah berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak dari gadis itu.

“Ugh-ugh-ugh...!” Tiba-tiba gadis itu menghentikan tangisnya, menggunakan kedua tangan menggosok kedua matanya untuk menghapus sisa air mata lalu menurunkan kedua tangan memandang. Dua buah mata bintang menatapnya dengan tajam dan Thian Liong terbelalak.

“Kau.... eh, kau.... Nona Han Bi Lan....?”

Gadis itu memang Han Bi Lan. Sama sekali tidak pernah diduganya seujung rambutpun bahwa orang yang dicari-carinya selama ini, orang yang membuatnya mengertakan gigi saking gemas dan penasaran, membuat hatinya panas sekali setiap kali mengingatnya, tahu-tahu kini berada di depannya! Kalau tahu bahwa Souw Thian Liong datang, sudah pasti ia tidak akan memperlihatkan tangisnya.

Ia merasa malu bukan main telah dilihat orang bahwa ia menangis, apalagi yang melihatnya adalah Souw Thian Liong! Perasaan malu ini bagaikan minyak dituangkan ke dalam api, membuat hatinya menjadi semakin bernyala panas! Ia segera meloncat bangkit berdiri dengan cekatan sekali dan kini mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak sekitar tiga tombak (lima meter), saling pandang dengan penuh perhatian.

Diam-diam Thian Liong merasa kagum akan tetapi juga kasihan melihat Han Bi Lan. Gadis itu masih cantik jelita seperti dulu walaupun kini rambutnya kusut dan wajahnya tidak berseri. Akan tetapi ia masih tampak jelita dan manis sekali. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan agak kurus, rambutnya yang panjang hitam digelung sederhana dan sebagian terurai lepas, anak rambutnya semakin binal bermain di dahi dan pelipisnya.

Dahi yang berkulit halus putih kemerahan itu kini terhias dua ga¬ris melintang tanda bahwa gadis ini menderita batin. Alisnya hitam kecil dan tebal, matanya yang seperti sepasang bintang itu berkilauan, namun Thian Liong dapat menangkap kesayuan membayang dalam mata itu. Dia ingat betapa dahulu mata itu tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat.

Hidung yang mancung itu sesuai sekali dengan bibirnya yang berbentuk indah penuh dan tipis kemerahan. Lesung pipi di kedua ujung mulut itu masih tampak. Dagunya agak meruncing seperti menantang. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya yang ramping padat itu agak kurus.

“Nona Han Bi Lan, mengapa Nona menangis?” tanya Thian Liong dengan lembut, karena dia tidak tahu harus bicara apa. Begitu berhadapan dengan gadis itu, dia seolah menjadi gugup dan bingung.

“Bukan urusanmu!” Bi Lan menjawab dengan suara membentak marah dan melanjutkan. “Sungguh kebetulan sekali, sudah lama aku mencarimu, Souw Thian Liong!”

Thian Liong tersenyum, hatinya gembira mendengar ucapan itu. “Ah, aku juga girang sekali dapat bertemu denganmu secara tidak tersangka-sangka seperti ini, Nona. Aku sedang mencari dan hendak menyusulmu ke kota raja Lin-an.”

“Hemm, mau apa engkau mencari dan menyusulku?” pertanyaan ini keluar dengan ketus.

“Aku mau menyatakan ikut berduka cita kepada engkau dan lbumu atas kematian Ayahmu, dan aku.... aku hendak minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepadamu dahulu itu....” Lalu disambungnya, “dan engkau mencariku dengan keperluan apakah, Nona?”

“Enak saja sudah menghina orang minta maaf begitu saja! Aku mencarimu untuk membalas dendam atas penghinaanmu dahulu! Bersiaplah engkau, Souw Thian Liong! Aku akan menebus kekalahanku dan membalas penghinaanmu dengan menampar mukamu sebanyak duapuluh kali!”

Setelah berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda. Aneh kuda-kudanya ini, tubuhnya berdiri tegak, kedua lengannya tergantung lurus ke bawah, kaku seperti patung atau seperti... mayat karena wajahnya yang agak pucat itu kini benar-benar seperti wajah mayat dengan mata yang “mati” dan kulit muka kaku!

Inilah ilmu silat Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menaklukkan Langit) yang terdiri hanya dari tigabelas jurus yang ia pelajari dari gurunya yang baru, Si Mayat Hidup. Pembukaannya adalah seperti itu, kaku menyeramkan!

Thian Liong terbelalak heran dan juga merasa seram. Dia mengira bahwa tentu ilmu andalan gadis itu adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai itu, dari kitab yang dulu dicurinya, akan tetapi setelah ia menguasainya dan mengembalikan kitab itu kepada Kun-lun-pai, ia bahkan diterima menjadi murid. Akan tetapi kuda-kuda aneh menyeramkan itu jelas bukan dari ilmu silat Kun-lun-pai.

“Bersiaplah!”

Thian Liong semakin terkejut dan seram ketika mendengar bentakan itu seolah keluar dari dalam perut Bi Lan tanpa gadis itu membuka mulut! Dia memang tidak ingin berkelahi dan tidak mau melawan.

“Tidak, Nona. Aku dahulu telah bersalah kepadamu. Kalau sekarang engkau hendak membalas dan hendak menampari aku, jangankan hanya duapuluh kali, biarpun sampai seratus kali aku akan menerimanya dan tidak akan melawan.”

Mendengar ucapan ini, Bi Lan mengurungkan kuda-kuda ilmu silatnya dan ia menghampiri Thian Liong dengan kedua pipi kini berubah merah saking marahnya. “Engkau harus melawanku! Aku ingin mengalahkanmu lalu membalas tamparanmu dahulu itu. Hayo lawan aku!”

Thian Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak, Nona Han Bi Lan. Engkau adalah puteri Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati, dan aku pernah bersalah kepadamu. Maka, kalau engkau hendak membalas, tamparlah aku sesukamu, aku tidak akan membalas.”

“Keparat kau! Engkau hendak membuat aku menjadi seorang pengecut curang yang menyerang orang yang tidak mau melawan? Engkau telah menghinaku, dan sekarang engkau ingin membuat aku menjadi seorang pengecut pula?”

“Tidak, Nona, bukan itu maksudku. Kalau engkau merasa terhina dahulu, sekarang engkau boleh menghinaku kembali dan kalau engkau hendak membalas tamparanku, engkau boleh menampar sesuka hatimu. Ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyesali perbuatanku kepadamu dahulu itu. Tamparlah, Nona, engkau berhak melakukan itu!”

Bi Lan yang marah sekali kalau mengingat betapa pinggulnya telah ditampari sehingga kalau ia teringat, sampai sekarang kedua bukit pinggulnya masih terasa panas dan pedas, lalu melangkah maju dan kedua tangannya menampar dari kanan kiri.

“Plak-plak!” Tamparan itu kuat sekali, mengenai kedua belah pipi Thian Liong. Kepala pemuda itu sampai terguncang ke kanan kiri oleh kerasnya tamparan. Karena ia hendak menampar sedikitnya sepuluh kali untuk membalas, Bi Lan melanjutkan tamparannya, bertubi-tubi.

“Plak-plak-plak......!” Tiba-tiba Bi Lan menahan gerakan tangannya dan terbelalak memandang Thian Liong yang terhuyung-huyung ke belakang sampai belasan langkah dan darah mengalir dari kedua ujung bibir pemuda itu!

Bi Lan terkejut bukan main. Ia memang tidak menggunakan sin-kang (tenaga sakti) ketika menampar karena bukan maksudnya hendak mencelakai pemuda itu, akan tetapi ia telah menggunakan tenaga kasar yang cukup kuat. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengerahkan tenaga untuk melindungi kedua pipinya.

Akan tetapi ternyata Thian Liong sama sekali tidak melindungi kedua pipinya dengan tenaga sehingga ketika dia menerima tamparan-tamparan itu begitu saja, bibirnya pecah, mulutnya berdarah dan matanya berkunang-kunang, kepalanya berpusing sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memejamkan kedua matanya.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul dua orang. Yang seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun lebih, membawa sebatang tongkat hitam berkepala ular, dan orang kedua seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tinggi besar berkumis tebal. Tahu-tahu mereka muncul dari balik pohon besar dan berada dekat Thian Liong yang terhuyung-huyung dengan mata terpejam.

Dan tanpa berkata apapun juga, orang yang muda menggerakkan tangan yang memegang pedang, lalu dia membacok ke arah leher Thian Liong yang terhuyung-huyung mundur di dekatnya. Ketika itu, Thian Liong merasa kepalanya pening karena terguncang oleh tamparan Bi Lan yang lima kali itu. Karena dia menerima tamparan tanpa melindungi dengan tenaga.

Maka selain bibirnya pecah, juga kepalanya terguncang sehingga dia terhuyung kebelakang. Akan tetapi ketika ada pedang menyambar ke arah lehernya, pendengarannya yang peka tajam itu dapat menangkap desingan pedang. Dia mencoba untuk mengelak dengan membuang tubuh ke kiri.

“Sing.... crott...!!” Pedang itu masih menyambar bahu lengan kanannya sehingga darah muncrat dari bahunya yang terluka cukup parah. Akan tetapi tubuh Thian Liong telah memiliki gerakan otomatis. Biarpun kepalanya masih pening dan pangkal lengannya terluka parah, terasa panas dan pedih, namun secara otomatis tubuhnya memutar ke kanan dan tangannya menampar ke depan, ke arah orang yang membacoknya.

“Wuuuttt.... dessss......!” Tubuh pemegang pedang itu terlempar ke belakang, akan tetapi pada saat itu juga tubuh Thian Liong terpelanting karena sebuah pukulan dengan telapak tangan mengenai punggungnya. Ternyata laki-laki yang tua itu yang memukulnya dari belakang dan pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

Melihat Thian Liong terbacok pedang dan terpukul secara dahsyat Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah melayang ke depan, menyambar ke arah tubuh kakek yang tadi memukul punggung Thian Liong.

Melihat serangan yang hebat datangnya itu, kakek berambut putih yang berpakaian jubah tosu terkejut sekali dan dia pun mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan Bi Lan.

“Wuuuttt... dessss....!!”

Dua tenaga sakti bertemu dengan dahsyatnya di udara dan akibatnya, tubuh Bi Lan yang masih berada di udara itu terpental ke belakang. Akan tetapi tubuh gadis itu membuat pok-sai (salto), berjungkir balik lima kali dan turun ke atas tanah dengan ringannya.

Sebaliknya, tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan wajahnya yang kurus menjadi pucat. Dia terkejut bukan main karena pertemuan tenaga itu telah mendatangkan guncangan dalam dadanya dan ini menunjukkan bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. Apalagi melihat Thian Liong sudah bangkit kembali sambil menyeringai dan menahan rasa nyeri, dia menjadi semakin kaget.

Padahal pukulannya tadi hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Lawan yang tangguhpun akan tewas terkena pukulannya seperti itu. Akan tetapi pemuda itu masih mampu bangkit! Ini juga membuktikan bahwa pemuda itu pun lihai bukan main. Kalau pemuda dan gadis itu maju bersama, dia pasti kalah.

12.3. HM, BAGAIMANA CERITANYA?!

“Hemm.... Pak-sian (Dewa Utara) ternyata seorang yang curang,” kata Thian Liong.

Dan mendengar ini, kakek berambut putih dengan tubuh tinggi kurus berjubah seperti tosu itu semakin jerih. Ternyata pemuda ini mengenalnya. Maka tanpa banyak cakap lagi Pak-sian Liong Su Kian, datuk besar dari utara itu berkata kepada laki-laki berkumis itu. “Mari kita pergi!”

Keduanya lalu melompat jauh dan melarikan diri. Bi Lan hendak mengejar, akan tetapi ia melihat Thian Liong terhuyung lalu roboh telentang di atas tanah. Ia tidak jadi melakukan pengejaran dan segera menghampiri Thian Liong dan berjongkok di dekatnya, memeriksanya. Bi Lan terkejut bukan main ketika memeriksa dengan teliti. Tamparan-tamparannya sendiri tidak mendatangkan luka parah, hanya membuat kedua bibir pemuda itu pecah-pecah.

Luka bacokan pedang pada pangkal lengan kanan itu jauh lebih parah, dan ketika ia memeriksa punggung, wajah Bi Lan berubah pucat. Thian Liong telah menderita luka dalam yang amat parah terkena pukulan kakek tadi. Pukulan itu selain amat dahsyat juga mengandung hawa beracun yang berbahaya.

Kalau tidak cepat hawa beracun itu dikeluarkan dari rongga dadanya, nyawa pemuda itu takkan dapat diselamatkan lagi. Melihat wajah pemuda yang telentang itu amat pucat, di kedua ujung mulutnya berlepotan darah dan kedua matanya terpejam, napasnya agak terengah dan lemah, Bi Lan merasa jantungnya seperti diremas.

“Thian Liong......!” Ia berbisik, merasa menyesal sekali. Kalau ia tidak menampar pemuda yang sama sekali tidak melindungi dirinya itu sehingga terhuyung dan pening, tidak mungkin dia akan terluka bacokan pedang dan menerima pukulan yang amat dahsyat tadi.

Ia yang menyebabkan pemuda itu sampai begini. Hatinya yang sejak tadi amat gundah sehingga tadi ia menangis, kini menjadi semakin sedih. Dan sambil menyusut darah dari kedua ujung bibir Thian Liong dengan saputangannya, Bi Lan mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan.

Kemudian ia membuka kancing baju pemuda itu, menanggalkan baju itu dan kini Thian Liong bertelanjang bagian atas badannya. Bi Lan mendorong tubuh pemuda itu sehingga miring, hampir menelungkup, lalu sambil duduk bersila di belakang tubuh itu ia menempelkan tangan kanannya pada punggung Thian Liong yang terdapat tanda telapak tangan menghitam.

Bi Lan menyalurkan tenaga saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa beracun itu dari rongga dada Thian Liong. Akan tetapi ia harus berhati-hati sekali karena kalau salah perhitungan dan menggunakan tenaga terlalu besar, bukan tidak mungkin tenaganya itu malah akan merusak jantung dan paru-paru!

Sampai beberapa lamanya, Bi Lan melihat bahwa usahanya itu belum juga berhasil. Ia menjadi bingung, dan serba salah. Mengerahkan tenaga terlalu besar, ia takut kalau akan mendatangkan luka pada isi rongga dada. Kalau terlalu lemah, tidak kuat untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dada Thian Liong.

“Ah.... Thian Liong.....” Ia mengeluh lagi dengan bingung dan panik karena melihat betapa pernapasan pemuda itu semakin melemah. Memandang wajah itu, kembali jantungnya seperti diremas dan kembali matanya menjadi basah dan dua butir air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya, jatuh menetes pada punggung pemuda itu.

Tiba-tiba saja Bi Ian merasa betapa sesungguhnya, wajah yang berada di depannya ini belum pernah hilang dari kenangannya. Wajah ini selalu terbayang dan ia memaksa hatinya menganggap bahwa ia mengenang pemuda itu karena sakit hati, karena merasa terhina, karena jengkel dan marah.

Akan tetapi sesungguhnya, di balik itu semua, terdapat perasaan rindu dan sakit hatinya itu lebih disebabkan kekecewaan mengapa pemuda yang dikaguminya itu malah menampari pinggulnya. Mengapa pemuda itu membencinya! Padahal ia mengharapkan pemuda itu memperlihatkan keramahan kepadanya. Kini bagaikan sinar kilat memasuki kesadarannya bahwa sesungguhnya, sejak pertemuan pertama, tanpa disadarinya, ia mencinta Thian Liong!

“Thian Liong....!” Ia mencoba lagi, berusaha sedapatnya untuk mengusir hawa beracun itu dengan menambah tenaganya, namun dengan hati-hati sekali sambil memperhatikan wajah Thian Liong. Kalau ada tanda sedikit saja bahwa tenaganya terlalu besar sehingga pemuda itu kesakitan, tentu akan dihentikannya. Ia melihat sepasang mata itu bergerak, berkedip, akan tetapi wajah yang pucat itu tidak tampak kesakitan. Hatinya menjadi girang sekali, Thian Liong telah siuman!

Pemuda itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepalanya, menoleh agar dapat melihat siapa yang berada di belakang tubuhnya yang miring. Dia bertemu pandang dengan Bi Lan yang menyalurkan sin-kang melalui tangan kanan yang ditempelkan di punggungnya.

Dengan heran Thian Liong melihat wajah itu, bibirnya tersenyum akan tetapi mata bintang itu basah air mata! Lalu dia teringat bahwa dia terkena pukulan ampuh dan Bi Lan sedang berusaha mengobatinya dengan penyaluran sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dadanya. Bi Lan mengobatinya? Tidak mimpikah dia?

“Nona Han Bi Lan, engkau.... engkau mengobati aku....?”

“Diamlah, Thian Liong. Engkau terkena pukulan beracun yang berbahaya, mudah-mudahan aku akan dapat mengusir hawa beracun dari dadamu.”

Thian Liong tersenyum! Hatinya girang bukan main melihat sikap Bi Lan. Gadis itu berusaha menolongnya, berarti telah memaafkan dia. “Nona cabutlah pedangku... Thian-liong-kiam.... tempelkan dipunggungku....” katanya terengah karena rongga dadanya terasa panas yang membuat ia sesak napas.

Bi Lan mengerti. Ia tadi menanggalkan pedang dari punggung Thian Liong ketika melepas baju pemuda itu. Pedang itu ia letakkan di atas tanah. Ia lalu mencabut pedang itu dari sarungnya dan kagum melihat pedang itu berkilau. Kemudian ia menempelkan pedang itu di punggung Thian Liong.

Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) adalah sebatang pedang pusaka yang amat langka. Pedang ini mengandung daya untuk menyedot hawa beracun, bahkan air rendamannya dapat mengobati segala macam luka yang mengandung racun. Pedang ini pemberian Tiong Lee Cin-jin kepada muridnya itu.

Tak lama kemudian setelah pedang itu menempel di punggung Thian Liong, tampak asap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari punggung itu! Bi Lan memandang dengan kagum sekali, juga hatinya merasa girang karena tak lama kemudian, warna telapak tangan hitam di punggung itu perlahan-lahan menipis dan makin menghilang.

Thian Liong mulai dapat bernapas dengan longgar. Dia lalu bangkit duduk dan membantu daya sedot pedang itu dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir bersih semua hawa beracun. “Cukup, Nona. Bahaya yang mengancam nyawaku telah lewat. Terima kasih atas pertolonganmu, Nona. Engkau sungguh mulia.”

“Jangan banyak bicara dulu, lukamu di pangkal lengan perlu diobati dulu.” Bi Lan lalu mengambil obat bubuk dari buntalan pakaiannya. Ia memang selalu membawa obat bubuk itu untuk mengobati luka. Setiap orang kang-ouw selalu membawa obat seperti ini. Setelah menaruh obat bubuk pada luka menganga di pangkal lengan kanan Thian Liong, Bi Lan lalu mengambil sehelai pita rambutnya dari buntalan itu dan membalut pangkal lengan Thian Liong.

“Cukup, Nona Han Bi Lan. Sungguh aku merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali padamu,” kata Thian Liong yang lalu mengenakan kembali bajunya.

“Akan tetapi bibirmu......” Bi Lan hendak menyentuh kearah muka Thian Liong, akan tetapi ditariknya kembali tangan itu karena merasa tidak pantas. Ia memandang bibir yang pecah itu dengan hati penuh penyesalan.

“Ah, bibir begini saja tidak mengapa, Nona. Nanti akan sembuh sendiri. Hanya lecet sedikit saja.”

“Curang sekali Pak-sian Liong Su Kian tadi. Akan tetapi aku tidak tahu siapa orang berkumis yang membacok lenganku tadi,” kata Thian Liong.

“Aku mengenalnya. Dia adalah Jiu To, seorang dari Sam-pak-liong yang pernah bentrok dengan aku. Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) menjadi pengawal Hiu Kan, putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong. Mereka berempat menggangguku dan mereka kubunuh semua, hanya Jiu To yang kubiarkan hidup karena dia mau memberitahu kepadaku di mana adanya Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.”

“Ah, dan engkau sudah dapat bertemu dengan musuh besarmu itu? Aku sudah mendengar dari orang tuamu bahwa dulu yang menculikmu adalah Ouw Kan.”

“Aku sudah membunuhnya!” kata Bi Lan singkat.

Diam-diam Thian Liong merasa ngeri dan menyesal mengapa gadis yang sesungguhnya amat baik ini dapat begitu liar dan kejam. “Aku mendengar tentang Ang I Mo-li yang mengamuk melukai banyak bangsawan dan hartawan......”

“Akulah yang disebut Ang I Mo-li!” Bi Lan berkata pula, singkat.

Thian Liong merasa semakin menyesal sehingga dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata Iagi. Juga Bi Lan tampak termenung. Mereka duduk di atas rumput tebal di bawah pohon besar itu. Matahari sudah naik agak tinggi sehingga cuaca dalam hutan lebat itu semakin terang. Beberapa kali Thian Liong menghela napas panjang dan kebetulan sekali gadis itu pun menarik napas panjang.

Suasana menjadi kaku. Gadis itu diam seperti patung, seolah tidak mengacuhkan segala sesuatu, membuat Thian Liong menjadi salah tingkah dan merasa hatinya tidak nyaman. Dia memaksa diri membuka percakapan untuk mencairkan suasana yang seolah membeku itu. “Nona.....”

“Tidak usah menyebut Nona padaku!” Bi Lan memotong cepat. “Engkau tahu, namaku Bi Lan, Han Bi Lan.”

Thian Liong tertegun, akan tetapi dia lalu tersenyum. Pembukaan percakapan yang baik, pikirnya. “Baiklah, Bi Lan. Aku ingin mengulang permintaan maafku kepadamu atas perbuatanku yang sungguh tidak pantas terhadap dirimu beberapa waktu yang lalu.”

“Tidak perlu minta maaf karena aku pun tidak minta maaf kepadamu. Aku malah telah melakukan dua kali kesalahan terhadap dirimu. Aku sudah mencuri kitab darimu, dan tadi... aku telah menamparimu tanpa engkau melawan sehingga hampir saja aku menyebabkan kematianmu.”

“Tidak, Bi Lan. Engkau berhak menampari atau memukuli aku! Aku memang telah menghinamu. Dan engkau telah berkali-kali menolongku. Pertama engkau membantuku ketika aku difitnah dan diserang para tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kedua kalinya, tadi kalau tidak ada engkau yang menolongku, pasti aku sudah mati oleh serangan gelap Pak-sian. Sungguh, aku berhutang nyawa, berhutang budi padamu, Bi Lan.”

“Sudahlah, jangan bicara tentang hal itu lagi. Aku malu mengingat betapa aku memukuli orang yang sama sekali tidak membela diri. Perbuatanku itu curang dan aku menjadi pengecut. Kita bicara urusan lain saja, Thian Liong.”

“Kalau begitu, sudah tidak ada lagi dendam permusuhan di antara kita?”

“Kalau engkau mau, kita lupakan saja semua itu dan menganggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi tentu saja kalau engkau mendendam dan hendak membalas......” suaranya menantang.

“Ah, sama sekali tidak, Bi Lan. Aku merasa bahagia sekali kalau kita lupakan semua itu. Sekarang kalau aku boleh bertanya, mengapa engkau tadi menangis?”

“Aku tadi sedih sekali.”

“Aku tahu, Bi Lan. Ayahmu meninggal dunia setelah dilukai orang. Aku ikut bersedih karena mendiang Ayahmu adalah seorang sahabat baikku yang kukagumi dan kuhormati. Akan tetapi, aku mendengar bahwa engkau pergi ke kota raja bersama Ibumu. Mengapa engkau berada di sini?”

“Aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan yang menyerang Ayah, akan tetapi aku belum mendapatkan keterangan di mana mereka berada.”

“Dan engkau mencari mereka di daerah Kerajaan Kin ini?”

“Mereka itu murid-murid Ouw Kan, tentu saja aku mengira bahwa mereka berada pula di daerah ini. Pula, aku memang sudah berada di daerah ini untuk mencari Ouw Kan. Setelah berhasil membunuh Ouw Kan, aku juga menyusup ke istana kaisar dengan maksud untuk membunuhnya.”

“Ah......? Mengapa, Bi Lan?”

“Aku mendengar dari Ibuku bahwa yang mula-mula menjadi penyebab Ayah Ibuku dimusuhi Ouw Kan adalah karena Ayah dan Ibu membunuh seorang Pangeran Kin dalam perang. Kaisar Kin marah dan mengutus Ouw Kan untuk mencari Ibu dan Ayah dan membunuh mereka. Karena Ouw Kan tidak menemukan Ayah dan Ibu, maka dia menculik aku. Demikianlah, kuanggap Kaisar Kin yang menjadi musuh besar yang mengutus Ouw Kan, maka aku pergi ke istananya untuk membunuhnya.”

Thian Liong terbelalak. “Dan engkau..... engkau berhasil?”

Bi Lan menggeleng kepala. “Aku dihadapi Puteri Moguhai dan dibujuk, dan akhirnya aku mendengar darinya bahwa Kaisar Kin tidak menyuruh Ouw Kan membunuh orang tuaku. Adalah Ouw Kan sendiri yang memusuhi orang tuaku karena dia kecewa dan malu tidak berhasil membunuh mereka, bahkan gagal pula menculik aku karena guruku Jit Kong Lhama merampas aku dari tangannya. Aku menyadari, apalagi Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibuku dari kematian.”

“Hemm, bagaimana ceritanya?”

“Begini, dulu pernah orang tuaku diserang oleh Ouw Kan, akan tetapi Puteri Moguhai.... dan engkau sendiri menyelamatkan mereka. Lalu Puteri Moguhai meninggalkan tulisan di atas kain yang diberikannya kepada Ayah agar tulisan itu diperlihatkan kalau Ouw Kan berani mengganggu lagi.”

Thian Liong mengangguk-angguk. “Ya, ya, aku ingat itu......”

“Tentu saja engkau ingat, Thian Liong. Engkau akrab sekali dengannya dan selalu bersamanya. Ia memang seorang puteri yang anggun, cantik jelita, dan lihai ilmu silatnya. Siapa tidak terkagum-kagum dibuatnya?”

Thian Liong memandang heran. Salah dengarkah dia kalau menangkap kepanasan hati dan kecemburuan dalam ucapan Bi Lan itu? “Ah, kami hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama, Bi Lan. Teruskan ceritamu tadi.”

“Ketika dua orang murid Ouw Kan itu muncul, nama mereka Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, mereka merobohkan Ayah yang terluka berat dan ketika mereka juga hendak membunuh Ibuku, mereka melihat tulisan pemberian Puteri Moguhai itu terselip di ikat pinggang Ibu. Mereka membaca tulisan itu lalu melarikan diri tanpa mengganggu Ibu. Surat Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibu.”

“Bi Lan, ketika aku mendengar keterangan A Siong di rumah Paman Han Si Tiong bahwa engkau dan Ibumu pergi ke kota raja, aku mengira bahwa engkau tentu pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Benarkah itu?”

Gadis itu mengangguk, lalu menundukkan mukanya karena hatinya perih ketika Thian Liong bicara tentang kunjungannya ke kota raja. Kunjungan itulah yang menjadi permulaan ia menghadapi kehancuran hatinya.

“Aku tahu, engkau dan Ibumu tentu ke sana karena bukankah engkau telah menjadi calon keluarga Panglima Kwee?”

Bi Lan mengangkat mukanya dan sepasang matanya seolah berubah menjadi dua sinar terang yang menyoroti wajah Thian Liong dengan penuh selidik. “Apa maksudmu, Thian Liong?”

“Maksudku.... eh, ketika dulu aku bersama Pek Hong Niocu......”

“Pek Hong Niocu......?”

“Maksudku, Puteri Moguhai. Ketika kami berada di rumah keluarga Panglima Kwee, mereka membicarakan tentang engkau dan...... dan...... mereka mengatakan bahwa mereka hendak menjodohkan putera mereka, Kwee Cun Ki, denganmu......”

“Cukup! Aku tidak mau bicara tentang hal itu!” tiba-tiba Bi Lan berkata dengan ketus dan marah.

Thian Liong melihat betapa kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu, melainkan merah karena marah. Sepasang matanya berkilat. Dia merasa heran dan terkejut. “Ah, maafkan aku, Bi Lan. Sekarang, di manakah Bibi Liang Hong Yi?”

“Aku tidak mau bicara tentang dirinya!”

“Tapi...... tapi ia Ibumu......!”

“Cukup, jangan bicara tentang mereka atau pergilah tinggalkan aku!” Bi Lan membentak.

“Maaf, Bi Lan. Baiklah, sekarang ke mana engkau hendak pergi?”

“Sudah kukatakan aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan itu.”

“Kalau begitu, aku akan membantumu, Bi Lan. Mari kita mencari mereka bersama.”

“Aku tidak butuh bantuanmu atau bantuan siapapun juga!”

“Aku percaya bahwa engkau akan mampu menghadapi mereka sendiri, Bi Lan. Akan tetapi aku pun berhak mencari mereka. Mendiang Paman Han Si Tiong adalah sahabat baikku, bahkan kami bersama-sama menghadapi fitnah dan bahaya ketika kami menentang Menteri Chin Kui, sama-sama ditahan dalam penjara. Aku pun ingin menghajar dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang dan melukainya sehingga dia meninggal. Selain itu, aku juga hendak mencari guruku, Tiong Lee Cin-jin.”

“Sudah banyak aku mendengar nama Tiong Lee Cin-jin.”

“Ketahuilah, Bi Lan. Suhu Tiong Lee Cin-jin terancam bahaya. Empat Datuk Besar kini bersekutu dan melatih seorang murid secara khusus untuk membunuh Suhu Tiong Lee Cin-jin. Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu bersama murid istimewa dan para murid mereka akan mengeroyok Suhu. Kalau engkau tidak keberatan, aku mengharapkan bantuanmu untuk bersama Suhu menghadapi mereka.”

Diam sejenak. Bi Lan mengerutkan alisnya. Biarpun sama sekali tidak terbayang pada wajahnya yang jelita, namun di lubuk hatinya ia merasa gembira sekali membayangkan bahwa ia akan melakukan perjalanan bersama Thian Liong, pemuda yang selama ini tak pernah ia lupakan, dengan berbagai macam perasaan.

Ada kagum, ada suka, ada marah, penasaran dan kecewa. Akan tetapi sekarang semua perasaan marah dan mendendam sudah tidak ada sama sekali dalam hatinya sehingga yang tinggal hanya rasa kagum dan suka...!

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.