Jodoh Si Naga Langit Jilid 11

Sonny Ogawa
11.1. PUTERI KESAYANGAN DATUK SESAT

“Kui Tung adalah murid Suhu Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin dan kami berdua bertanding melawan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin. Sebetulnya kami sudah hampir dapat menundukkan mereka ketika tiba-tiba muncul sekitar seratus orang pasukan pemerintah. Sayang sekali, Paman. Aku tidak berhasil menangkap atau membunuh mereka.”

“Bagaimana tingkat kepandaian mereka?”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Sudah cukup tinggi. Murid Suhu Lam-kai masih kalah setingkat dibandingkan seorang di antara mereka. Akan tetapi aku masih dapat mengungguli mereka kalau bertanding satu lawan satu. Karena aku belum berhasil menemukan di mana adanya musuh besar kita itu, Paman, maka aku datang untuk minta petunjuk Paman.

"Dan pula, mengingat bahwa Tiong Lee Cin-jin mempunyai murid-murid lihai, maka setelah kita mengetahui di mana dia berada, agar jangan sampai gagal, sebaiknya Paman dan ketiga Suhu lainnya bersama aku menyerbu agar dia dapat kita bunuh.”

“Kui Tong mengangguk-angguk. “Hemm, memang Tiong Lee Cin-jin memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Engkau benar, Can Kok. Kita semua harus bekerja sama. Aku mengundang See-ong (Raja Barat), Pak-sian (Dewa Utara) dan Lam-kai (Pengemis Selatan) untuk datang dan berkumpul di sini.

"Siapa tahu di antara mereka ada yang sudah dapat mengetahui di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Kalau sudah diketahui tempat tinggalnya, kita semua beramai-ramai menyerbu ke sana dan membunuhnya. Akan tetapi Sementara itu, aku hendak membicarakan hal yang amat penting denganmu, Can Kok.”

Can Kok menatap wajah Paman tuanya. “Ada urusan apakah, Paman?”

“Begini Can Kok. Engkau sejak kecil telah ikut denganku di sini dan kami semua sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Katakan, Can Kok, bagaimana pendapatmu tentang Leng Hwa, anakku?”

“Hemm, apa maksudmu Paman? Pendapatku tentang Adik Leng Hwa? Ah, mengapa? Ia baik sekali.”

“Maksudku, menurut pandanganmu, apakah ia cukup cantik menarik?”

“Wah, Paman ini aneh. Tentu saja Leng Hwa cantik sekali dan menarik. Jarang aku bertemu seorang gadis secantik Leng Hwa!”

“Dan cukup pandai?”

“Pandai dan cerdik.”

“Can Kok, begini maksud aku dan Bibimu. Kami ingin menjodohkan Leng Hwa denganmu. Bagaimana pendapatmu?”

Sepasang mata itu mencorong dan terbelalak sejenak, lalu biasa kembali. “Wah, Paman, tentu saja aku merasa girang sekali! Memang sejak dulu aku merasa kagum kepada Adik Leng Hwa dan alangkah senangnya kalau ia menjadi isteriku!” kata Can Kok dan ucapannya ini saja sudah menunjukkan bahwa sikapnya memang sudah luar biasa. Agaknya dia tidak lagi mempunyai perasaan rikuh terhadap datuk yang menjadi gurunya dan juga pengganti orang tuanya itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Tung-sai Si Singa Timur tertawa bergelak dan suara tawanya bergema di pulau itu, menggetarkan hati orang yang mendengarnya. “Bagus! Bagus sekali!”

Dia lalu bertepuk tangan. Ini merupakan isyarat bagi para pelayan yang berada di dalam rumah bahwa majikannya itu memanggil mereka. Seorang pelayan wanita yang kebetulan berada di luar ruangan itu dan mendengar panggilan ini, segera memasuki ruangan dengan sikap hormat.

“Cepat panggil Toanio (Nyonya Besar) dan Siocia (Nona) ke sini!” perintah Tung-sai Kui Tong yang masih menyeringai tanda gembira hatinya.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki lembut dan muncullah Nyonya Kui, memasuki ruangan itu dengan alis berkerut dan sinar mata menunjukkan kegelisahan.

“Mana Leng Hwa? Aku minta ia datang ke sini. Kami ingin membicarakan urusan perjodohannya!”

Can Kok yang melihat bibinya, hanya mengangguk saja tanpa bangkit dari kursinya. “Bibi, harap undang Adik Leng ke sini, aku sudah merasa rindu padanya,” katanya.

Nyonya Kui menekan rasa tidak senangnya dan ia tidak memperdulikan ucapan pemuda itu, melainkan berkata kepada suaminya. “Leng Hwa tidak berada dalam kamarnya.”

“Eh? Ke mana ia pergi?”

“Aku tidak tahu. Sejak tadi sudah kucari-cari di seluruh ruangan dan taman, akan tetapi ia tidak ada. Dan ketika aku memeriksa kamarnya, aku menemukan bahwa sebagian dari pakaiannya yang baru telah tidak ada.”

“Apa? Keparat! Ia minggat?” bentak Tung-sai sambil bangkit berdiri, lalu dia melangkah lebar keluar dari ruangan itu menuju ke kamar puterinya, diikuti oleh Can Kok yang tidak berkata apa-apa.

Nyonya Kui berlari kembali ke kamarnya dan menahan tangisnya. Setelah tiba di kamar Leng Hwa, Tung-sai menggeledah kamar itu dengan marah-marah. Lalu dia berteriak memanggil pelayan yang biasa melayani puterinya. Pelayan itu, seorang wanita berusia empatpuluh tahunan, masuk dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.

“Hayo katakan ke mana Nona pergi!” bentak Singa Timur itu.

“Saya..... saya tidak tahu, Tuan Besar..... sejak sore tadi Nona mengeram diri dalam kamar dan melarang siapa pun memasuki kamarnya.”

“Bodoh! Sejak kapan ia tidak berada dikamarnya?” Si Singa Timur membentak.

“Sa..... saya tidak tahu..... kami semua baru tahu bahwa Nona tidak berada lagi dalam kamarnya ketika Nyonya Besar membuka pintu kamar dan ternyata Nona sudah tidak berada dalam kamar. Kami semua mencarinya akan tetapi Siocia (Nona) tidak dapat ditemukan.”

“Keparat! Apa artinya engkau menjadi pelayan kalau begitu? Lebih baik mampus saja!” Si Singa Timur melangkah maju dan hendak membunuh wanita pelayan yang ketakutan dan sudah terkulai dan berlutut saking takutnya itu.

“Jangan pukul ia!” tiba-tiba terdengar bentakan lembut dan Nyonya Kui muncul lalu melangkah menghampiri pelayan itu, menariknya bangun. “Pergilah ke belakang sana!” katanya, kemudian setelah pelayan pergi wanita itu mendekati suaminya.

“Mengapa menyalahkan orang lain? Kalau anak kita pergi, engkaulah yang menjadi biang keladinya, engkaulah penyebabnya! Engkau memaksanya untuk menikah! Mungkin kini ia telah mati membunuh diri dan engkaulah pembunuhnya! Engkau membunuh anakku....!”

Nyonya itu menangis dan Si Singa Timur berdiri bagaikan patung. Hilang semua kegalakan dan kemarahannya, bahkan dia tertegun mendengar kemungkinan anaknya bunuh diri. Bagaimanapun juga, datuk ini amat mencinta puterinya.

Tiba-tiba Can Kok berkata. “Paman, tidak mungkin orang membunuh diri membawa pergi pakaian-pakaiannya!”

“Ah, benar!” Si Singa Timur seperti sadar. “Ia tidak bunuh diri, melainkan minggat! Mari kita cari, Can Kok!”

Dua orang itu lalu berlari keluar dari rumah meninggalkan Nyonya Kui yang kembali ke kamarnya dengan kaki gemetar. Ia merasa khawatir sekali. Ia tadi hampir berhasil membuat suaminya percaya bahwa anaknya membunuh diri sehingga tidak akan melakukan pengejaran.

Akan tetapi siapa kira, pemuda gila itu yang menyadarkannya dan kini mereka mulai mencari Leng Hwa. Ah, bagaimana kalau mereka sampai dapat menyusul dan menemukannya?

Wanita itu gelisah sekali dan ia menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringannya dan menangis terisak-isak, mengeluh dan memohon kepada Thian (Tuhan) agar puterinya diselamatkan. Ia yang mengatur kepergian Leng Hwa. Diaturnya sejak mulai gelap tadi agar Leng Hwa dan Ho Lam, pemuda putera seorang anggauta Pulau Udang yang sudah tua, dapat melarikan diri dari pulau itu dalam sebuah perahu tanpa terlihat oleh siapa pun.

Tung-sai yang diikuti Can Kok mencari-cari di seluruh pulau, bertanya kepada semua anggauta Pulau Udang. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui atau melihat Leng Hwa dan mereka tidak berhasil menemukan gadis itu. Melihat majikan mereka marah-marah mencari Leng Hwa, semua orang menjadi panik dan ikut mencari.

“Paman, aku yakin bahwa Adik Leng Hwa pasti melarikan diri dari pulau dengan menggunakan perahu. Sebaiknya Paman periksa apakah ada perahu yang hilang.”

“Ah, engkau benar, Can Kok!” Tung-sai lalu memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa kalau-kalau ada perahu yang tidak berada di pulau. Pada waktu malam, biasanya semua perahu pasti ada di pulau.

Para anak buah itu dengan gugup melaksanakan perintah dan tak lama kemudian mereka melaporkan bahwa ada sebuah perahu yang hilang, yaitu perahunya Ho Lam. “Ah, tidak salah lagi, Paman. Pasti si keparat Ho Lam itu yang melarikan Adik Leng Hwa!”

“Hmm, Ho Lam adalah keponakan isteriku. Tentu Ibunya Leng Hwa yang merencanakan ini semua!”

Tergesa-gesa Tung-sai dan Can Kok berlari dari pantai pulau, kembali ke rumah dan dengan kasar Singa Timur itu membuka pintu kamarnya. Isterinya masih menelungkup di atas pembaringan sambil menangis. Tung-sai mengguncang pundak isterinya. Ketika wanita itu bangkit duduk, dia berkata dengan marah.

“Tentu engkau yang telah menyuruh keponakanmu, si jahanam Ho Lam itu untuk membawa minggat Leng Hwa!”

Wanita itu tiba-tiba menghentikan tangisnya, dengan muka masih basah air mata lalu berkata dengan lantang. “Benar! Aku yang menyuruh mereka pergi! Habis kau mau apa? Mau membunuh aku? Bunuhlah, aku pun lebih suka mati dari pada menderita batin sengsara menghadapi kekejamanmu!” Wanita itu mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, menantang.

Si Singa Timur yang biasanya galak itu tertegun melihat isterinya menantang seperti itu.

“Paman, mereka tentu belum pergi jauh. Biar aku mengejar mereka dan membunuh jahanam Ho Lam itu dan membawa kembali Adik Leng Hwa!” Tanpa menanti jawaban, Can Kok sudah berkelebat keluar dari rumah itu.

“Aih, mengapa engkau melakukan ini?” Tung-sai mengeluh sambil menatap wajah isterinya yang amat disayangnya itu.

“Mengapa? Tanyalah kepada dirimu sendiri. Anak kita itu sudah saling mencinta dengan Ho Lam, mereka sudah bersumpah sehidup semati. Akan tetapi engkau hendak memaksanya berjodoh dengan Can Kok itu. Biarlah mereka berdua kabur saja meninggalkan pulau neraka ini, terbang bebas seperti sepasang burung merpati menuju kebebasan dan kebahagiaan. Jangan kejar mereka! Jangan ganggu mereka!”

Tung-sai ingin menumpahkan kemarahannya, namun seperti biasa, menghadapi isterinya dia mati kutu. “Keparat!” Dia memaki seperti kepada diri sendiri lalu dia pun berkelebat lari meninggalkan isterinya yang menangis kembali di atas pembaringannya karena hatinya merasa khawatir bukan main me-mikirkan keselamatan puterinya.

Ketika tiba di pantai pulau, Tung-sai mendengar dari anak buahnya bahwa Can Kok sudah sejak tadi naik perahu kecil meninggalkan pulau. Tung-sai lalu memerintahkan pengawal-pengawalnya yang gagu tuli itu mempersiapkan perahunya dan tak lama kemudian perahunya sudah berlayar meninggalkan pulau untuk ikut melakukan pengejaran terhadap puterinya yang melarikan diri bersama Ho Lam, keponakan isterinya.

* * *

Pemuda itu mendayung perahu kecil dengan sekuat tenaga. Dari cara dia mendayung, dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan juga memiliki tenaga besar. Perahu kecil itu meluncur cepat di permukaan air lautan yang pada malam itu tenang. Hulu perahu yang runcing bagaikan sebatang pedang menusuk dan membelah air.

Rambut dan kain pengikat rambut pemuda itu berkibar tertiup angin saking lajunya perahu meluncur. Ketika merasa betapa perahu yang meluncur semakin kuat, pemuda itu menoleh dan dia melihat gadis yang duduk di belakangnya itu ternyata telah menggunakan dayung cadangan untuk membantunya mendayung perahu.

“Hwa-moi (Adik Hwa), engkau tidak perlu membantu, nanti engkau lelah,” tegurnya dengan lembut.

“Ah, tidak mengapa, Lam-ko (Kakak Lam). Aku juga terbiasa dan pandai mendayung. Kita lari bersama, harus bekerja sama. Masa engkau bersusah payah mendayung, aku hanya enak-enak saja?”

“Leng Hwa, kalau Ayahmu sudah mengetahui bahwa kita berdua melarikan diri, dia tentu akan mengejar dan akan celakalah kita.”

“Aku tidak takut menghadapi segala akibatnya, Lam-ko. Apakah engkau takut?”

“Aku tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, untukmu aku rela mengorbankan nyawa sekalipun! Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Hwa-moi.”

“Mengapa khawatir, Koko? Apa pun yang terjadi, kita hadapi berdua. Kalau kita harus mati, kita mati berdua! Syukur kalau Thian melindungi kita sehingga kita dapat hidup berdua selamanya.”

“Terima kasih, Moi-moi...... kini aku tidak khawatir lagi. Aku berbahagia sekali dan akan selalu berbahagia selama aku bersamamu, hidup ataupun mati.”

Kini mereka tidak bicara lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mendayung perahu itu ke daratan sana. Sinar lampu kecil-kecil di daratan itu seolah menggapai-gapai agar mereka datang lebih cepat ke sana.

Dua orang muda ini memang sudah cukup lama menjalin cinta. Mereka bergaul sejak kecil di pulau itu dan setelah mulai dewasa, mereka saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi, mereka adalah sepasang orang muda yang patut dijadikan tauladan.

Mereka saling mencinta sepenuh hati, merasa kehilangan dan rindu kalau tidak bertemu sehari saja. Akan tetapi keduanya dapat menjaga diri, saling menghormati dan menghargai. Mereka saling menjaga kehormatan masing-masing, tidak mau membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi.

Mereka yakin benar bahwa menjaga kesusilaan dan kehormatan masing-masing sebelum menikah itu merupakan modal batin yang paling berharga dan indah untuk membangun rumah tangga kelak.

Nafsu berahi, seperti nafsu-nafsu lain, bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan semua nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang sudah diikutkan manusia sejak dia lahir. Akan tetapi, kalau nafsu berahi yang membawa kepada hubungan badan itu dilakukan oleh mereka yang bukan suami isteri, maka hubungan itu menjadi kotor dan mencemarkan cinta itu sendiri.

Akan tetapi, kalau suami isteri yang melakukan, maka hal itu bukan saja wajar, bahkan indah dan bersih dari dosa. Malah dapat dikatakan bahwa hubungan suami isteri tanpa nafsu berahi, adalah tidak mungkin. Sebaliknya hubungan berahi kalau dilakukan oleh bukan suami isteri, adalah kotor dan berdosa!

Cinta kasih yang mengikat hati Ho Lam dan Leng Hwa murni dan bersih dan semua ini berkat pendidikan Nyonya Kui Tong yang memiliki budi pekerti baik, sama sekali berbeda dari suaminya, datuk Si Singa Timur yang kejam itu. Nyonya Kui mendidik puterinya sejak kecil.

Juga ia mendidik Ho Lam yang menjadi keponakannya itu dengan budi pekerti baik sehingga kedua orang muda itu memiliki batin yang kuat untuk mengekang gairah nafsu mereka sendiri dan dapat membedakan mana cinta dan mana pula cinta berahi.

Dapat dibayangkan betapa lega rasa hati mereka ketika akhirnya perahu mereka tiba di pantai daratan. Bulan sepotong tersenyum di langit cerah. Dua orang nelayan setengah tua yang sedang bersiap-siap untuk keperluan mencari ikan pagi nanti, menghampiri perahu mereka karena tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil yang mendarat itu adalah perahu rekan mereka yang mencari ikan di waktu malam.

Akan tetapi mereka terheran-heran ketika tiba dekat mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang turun dari perahu, sama sekali bukan nelayan! Sepasang orang muda itu pun tidak membawa ikan hasil tangkapan, atau jala dan pancing, melainkan membawa dua buntalan pakaian seperti orang yang sedang melakukan perjalanan.

“Selamat malam, Paman berdua,” sapa Ho Lam dengan sopan dan ramah.

“Selamat malam, Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona). Sungguh kami merasa heran sekali. Ji-wi (kalian berdua) datang dari mana dan hendak ke manakah malam-malam begini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus.

Tiba-tiba Ho Lam mendapat suatu gagasan yang dia anggap baik dan dapat menyelamatkan mereka berdua. “Paman berdua, maukah kalian menolong kami yang sedang menderita dan terancam bahaya?”

Dua orang laki-laki setengah tua itu saling berpandangan, lalu yang bertubuh pendek gendut menjawab. “Sudah menjadi kebiasaan para nelayan untuk saling menolong, Kongcu. Bahaya apakah yang mengancam Ji-wi (Anda berdua) dan bagaimana pula kami dapat menolong kalian?”

“Begini, Paman. Aku dan.... isteriku ini sedang melarikan diri karena terancam akan dibunuh orang jahat yang mengejar kami. Karena itu, kami minta tolong kepada kalian, apabila nanti atau besok atau kapan saja ada orang yang datang bertanya kepada kalian tentang diri kami berdua, harap Paman suka mengatakan bahwa Paman berdua tidak tahu dan tidak melihat kami. Maukah Paman berdua menolong kami begitu? Kami akan memberi imbalan atas pertolongan Paman berdua.”

11.2. KESADISAN PONAKAN SI SINGA TIMUR

“Aih, kalau cuma begitu tentu saja kami akan menolong Ji-wi, Kongcu dan Siocia. Sama sekali kami tidak mengharapkan imbalan karena kami tidak melakukan apa-apa, hanya mengatakan tidak tahu dan tidak melihat Ji-wi. Jangan khawatir, Kongcu, kami pasti akan ingat dan melaksanakan pesanmu ini,” kata yang jangkung kurus.

Ho Lam dan Leng Hwa girang bukan main mendengar jawaban ini. “Benarkah Paman mau menolong kami?” tanya Leng Hwa. “Paman betul-betul berjanji akan mengatakan tidak melihat kami?”

Orang tinggi kurus itu mengangguk mantap. “Tentu, Siocia. Kami berjanji.”

“Terima kasih, Paman,” kata kedua orang muda itu. “Nah, kami akan melanjutkan perjalanan kami dan perahu kami ini kami berikan kepada Paman berdua.”

Dua orang nelayan itu terbelalak “Wah, kami sungguh tidak minta imbalan, Kongcu!” kata yang jangkung.

“Ini bukan imbalan, Paman. Kami memang tidak memerlukan lagi, maka kami berikan kepada Paman agar dapat dipergunakan untuk menangkap ikan. Kami mohon diri, Paman!” kata Ho Lam dan dia lalu menggandeng tangan Leng Hwa dan diajaknya melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Ho Lam cukup cerdik untuk tidak mengambil jalan melalui jalan umum yang terdapat di situ. Dia membelok ke kiri menyusuri pantai menuju ke arah selatan. Dua orang nelayan itu berdiri bengong sambil mengikuti bayangan dua orang muda itu dengan pandang mata sampai bayangan itu lenyap ditelan cuaca yang masih remang-remang gelap karena matahari agak jauh di ufuk timur, masih terbenam kaki langit di ujung lautan.

Tentu saja dua orang nelayan itu girang bukan main. Mereka merasa seolah menerima harta karun. Perahu bagi mereka merupakan modal untuk mencari ikan. Biasanya, mereka yang tidak mempunyai perahu hanya menjala atau memancing ikan di tepi, memasuki lautan sampai sedalam pinggang.

Kini, dengan adanya perahu mereka bisa mencari ikan ke tengah lautan dan hasilnya tentu jauh lebih banyak. Apalagi perahu itu masih baik sekali keadaannya. Mereka merasa seperti bermimpi. Dan untuk mendapatkan perahu itu mereka hanya disuruh tutup mulut. Betapa mudahnya dan betapa besar imbalannya!

Akan tetapi, kegirangan hati mereka itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah matahari muncul sebagai bola merah yang amat besar di permukaan air laut sebelah timur, dan selagi kedua orang itu hendak mulai dengan kehidupan baru sebagai nelayan berperahu tiba-tiba sebuah perahu meluncur ke tepi dan Can Kok melompat ke darat lalu menarik perahunya ke atas pantai.

Dia melihat dua orang nelayan yang sedang siap menyeret perahu ke air dan sebagai seorang yang sejak kecil hidup di Pulau Udang, tentu saja dia segera mengenal perahu dua orang nelayan setengah tua itu. Itu adalah perahu Pulau Udang! Maka cepat dia menghampiri dua orang itu.

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah menghampiri mereka, dua orang nelayan itu memandangnya dan Si Gemuk Pendek segera memberi salam. “Selamat pagi, Kongcu.”

Akan tetapi Can Kok tidak menjawab salam itu dan mengamati perahu mereka. “Hei!” Dia membentak. “Dari mana kalian mendapatkan perahu itu?”

“Dari.... dari....” Si Gemuk tergagap.

“Kongcu, ini adalah perahu milik kami sendiri,” Si Jangkung menjawab tenang.

“Jangan bohong! Tentu ada dua orang yang memberi perahu ini kepada kalian!”

“Kami.... kami....” Si Gemuk tergagap lagi.

“Terus terang saja, Kongcu. Kami menemukan perahu ini di tepi laut, tidak ada yang punya, maka kami lalu mengambilnya,” kata Si Jangkung.

“Tidak perlu bohong! Kalian tentu melihat pemuda dan gadis yang naik perahu ini! Hayo katakan, di mana mereka itu sekarang!”

“Kami tidak melihat mereka, Kongcu. Kami tidak tahu......” kata pula Si Jangkung.

“Hayo katakan di mana mereka! Atau kalian ingin kupukul? Kubunuh?” Can Kok membentak dan sekali tangannya bergerak ke arah perahu itu terdengar suara seperti ledakan keras.

“Brakkkk!” Dan perahu itu pecah berkeping-keping. Dua orang nelayan itu menjadi pucat dan tubuh Si Gemuk gemetar.

“Sekali lagi, katakan di mana pemuda dan gadis itu berada atau ke mana mereka pergi! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!”

“Mereka.... mereka....”

“A Sam, diam kau! Kita adalah orang-orang miskin, tidak mempunyai apa-apa, yang ada hanya kehormatan! Kalau kita melanggar janji, berarti kehormatan pun kita tidak punya!” Si Jangkung membentak kawannya.

“Mampus kau!” Can Kok menggerakkan tangan kirinya. Tangannya itu tidak menyentuh si nelayan jangkung karena jaraknya ada dua meter lebih, akan tetapi tubuh Si Jangkung terpelanting seperti disambar kilat dan dia roboh, tewas seketika dengan muka berubah kehitaman!

Melihat ini, Si Gendut menggigil seperti orang terserang penyakit demam dan kedua lututnya menjadi lemas sehingga dia terkulai dan berlutut.

“Kau! Hayo katakan ke mana pemuda dan gadis itu pergi!” Can Kok membentak.

Si Gemuk Pendek semakin menggigil. “Saya.... saya tidak berani......”

Can Kok menggerakkan tangannya dan telunjuknya menotok tengkuk nelayan gemuk. Nelayan itu roboh dan bergulingan, merintih-rintih dan mengaduh-aduh, seluruh tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk dari dalam.

“Aduh......, ampun...... ampun...... aduh......”

“Katakan ke mana mereka!”

Dengan menggigil ketakutan, Si Gemuk menudingkan telunjuknya ke arah selatan. “Mereka...... mereka tadi berjalan kearah sana......”

“Engkau tidak berbohong?”

“Tidak, sungguh mati...... mereka berjalan ke arah sana......”

“Baik, aku akan mengejar ke sana. Kalau engkau ternyata berbohong, nanti aku akan kembali untuk mencabut nyawamu!” Setelah berkata demikian, Can Kok lalu berkelebat dan berlari cepat menuju ke arah yang ditunjukkan nelayan gemuk, ke arah selatan.

Nelayan gemuk itu merintih-rintih dan ketika dia memandang ke arah mayat temannya, dia mengerang dan menangis. Dia menoleh ke arah perahu pemberian yang kini hancur berkeping-keping dan rintihannya semakin keras. Dia menangis mengguguk. Betapa rasa senang dalam waktu sebentar saja kini berubah menjadi rasa susah dan sakit.

Dia mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi terkulai kembali karena rasa nyeri yang tak tertahankan. Dia ingin kembali ke kampung, minta pertolongan penduduk, akan tetapi dia tidak mampu bangkit berdiri. Dia mencoba maju sambil merangkak-rangkak dan hatinya penuh penyesalan.

Sahabatnya Si Jangkung itu jauh lebih baik nasibnya, pikirnya penuh penyesalan. Sahabatnya itu mempertahankan kesetiaan akan janjinya sampai mati dan kini sudah mati, tidak menderita lagi dan mati sebagai seorang terhormat!

Akan tetapi dia? Dia telah melanggar janji, dia kehilangan kehormatannya dan kini menderita kesakitan yang lebih hebat deritanya daripada kematian sendiri! Sambil menangis seperti anak kecil nelayan gemuk itu merangkak dengan susah payah.

Tiba-tiba sebuah bentakan yang menggetarkan tanah di mana dia merangkak, mengejutkan hatinya. “Hai! Katakan di mana dua orang pelarian dan pengejarnya tadi!”

Nelayan gemuk berhenti merangkak, berlutut dan mengangkat mukanya. Dia melihat Tung-sai Singa Timur itu berdiri seperti seorang raksasa di depannya, tangan kanan memegang sebatang tombak, menyeramkan sekali. Biarpun dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa orang-orang yang ditanyakan, namun dia dapat menduga bahwa tentu yang ditanyakan adalah pemuda dan gadis pemberi perahu, lalu pemuda pengejarnya tadi.

“Mereka...... mereka ke sana......” Dia menuding ke selatan.

Tung-sai Kui Tong menendang dan tubuh Si Gemuk itu terlempar jauh lalu jatuh berdebuk ke atas tanah. Akan tetapi dia tidak mengeluh dan tidak merasa nyeri. Dia sudah tidak merasakan apa-apa karena tendangan itu membuat dia tewas seketika!

Setelah memberi isyarat kepada sepuluh orang pengawalnya untuk menunggu di situ, kemudian dia pun berlari cepat ke arah selatan, menyusuri pantai.

* * *

“Lam-ko, aku lelah sekali......!” Leng Hwa mengeluh. Biarpun ia juga telah menguasai ilmu silat dan tubuhnya cukup kuat, namun ia tidak pernah berlari-larian sampai sejauh dan selama itu.

Sejak malam tadi, setelah memberikan perahu kepada dua orang nelayan, Ho Lam mengajak ia berlari-lari menyusuri pantai menuju ke selatan. Ketika ada gunung karang menghalang pantai, kekasihnya mengajak ia melanjutkan pelarian mereka mendaki bukit karang yang keras, kasar dan tajam meruncing sehingga sepatunya terobek dan telapak kedua kakinya terasa nyeri. Mereka berlari sampai matahari naik tinggi dan hawa udara mulai panas.

“Baiklah, Hwa-moi. Kasihan sekali engkau! Lihat, di atas sana ada guha. Kita beristirahat di sana melepas lelah.”

Mereka berdua mendaki bukit itu ke atas dan tiba di depan sebuah guha yang cukup luas. Kebetulan sekali lantai guha itu kering dan rata. Leng Hwa segera menjatuhkan diri duduk di dalam guha, menjulurkan kedua kakinya dan memijati paha dan betisnya.

Ho Lam duduk di dekatnya, memandang ke arah sepatu yang pecah-pecah itu. “Aduh, kasihan kedua kakimu, Moi-moi. Bukalah sepatunya. Akan kuperiksa apakah kedua kakimu lecet terluka. Aku membawa obat luka.”

Setelah gadis itu mengangguk, dengan hati-hati dan sopan Ho Lam membantu gadis itu membuka kedua sepatunya. Kedua kaki yang berkulit putih halus itu kemerah-merahan, akan tetapi tidak terluka parah, hanya lecet-lecet sedikit. Dengan hati-hati Ho Lam mengoleskan obat luka pada bagian yang lecet-lecet itu, lalu membantu Leng Hwa mengenakan sepatunya kembali.

“Aku haus, Lam-ko.”

“Untung aku telah siap tadi dan membawa seguci air dan roti daging (bak-pauw) untuk menahan haus dan lapar,” kata Ho Lam dan dia mengambil makanan dan minuman itu dari buntalan pakaiannya.

“Aku tidak lapar, hanya haus, Koko.” Leng Hwa lalu minum air dari guci itu dan merasa segar.

“Lam-ko, kita akan pergi ke mana?”

“Rencanaku begini, Hwa-moi. Kita pergi dulu ke kota Cin-le yang sehari perjalanan dari sini. Kalau kita berjalan agak cepat, sore atau paling lambat malam nanti kita akan tiba di sana. Nah, di Cin-le nanti kubeli dua ekor kuda dan kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda agar lebih cepat dan tidak terlalu melelahkan.”

“Pergunakan perhiasanku untuk membeli kuda, Lam-ko. Aku membawa perhiasan pemberian Ibu di dalam buntalan ini.”

“Aku juga membawa semua hasil tabunganku, Hwa-moi. Kalau nanti kurang, baru menggunakan perhiasanmu.”

“Akan tetapi ke mana kita akan pergi, Koko?”

“Hwa-moi, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini, mengganti nama dan tinggal di sebuah dusun yang terpencil. Kita harus bersembunyi sampai beberapa tahun lamanya karena kalau tidak, kita akan dapat ditemukan Ayahmu. Engkau, mau bukan, hidup di tempat sunyi dalam keadaan melarat sebagai petani sederhana?”

Leng Hwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh kepasrahan dan menjawab, “Mengapa engkau masih bertanya lagi, Koko? Apakah engkau belum percaya akan kesetiaanku? Aku dengan senang hati akan menemanimu, hidup bersamamu di manapun juga dan dalam keadaan apa pun juga.”

“Moi-moi......!” Ho Lam merangkul dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya.

“Aku rela berkorban nyawa untukmu! Aku cinta padamu, Hwa-moi!”

“Aku juga, Lam-ko,” kata Leng Hwa lirih dan memejamkan mata dalam dekapan kekasihnya itu, merasa sangat berbahagia. “Lam-ko, kita beristirahat dulu di sini sampai kedua kakiku sembuh dari rasa pegal dan lelah, ya?”

“Baiklah, Hwa-moi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Aku khawatir Ayahmu dapat menyusul kita.”

“Kalau hal itu terjadi, aku tidak takut, Lam-ko. Aku siap mati bersamamu.”

“Hwa-moi...!” Ho Lam mempererat dekapannya dengan hati penuh kasih sayang dan beberapa lamanya keduanya diam tak bergerak dalam suasana mesra itu.

Mungkin saking lelah dan semalam suntuk tidak tidur, ditambah kelegaan hati dalam dekapan kekasihnya setelah mengalami ketegangan dan kegelisahan semalam, tak lama kemudian Leng Hwa tertidur dalam dekapan, bersandar di dada Ho Lam.

Melihat ini, Ho Lam tidak tega untuk membangunkan kekasihnya dan dia bahkan tidak mau membuat gerakan agar Leng Hwa dapat tidur dengan pulas. Akan tetapi hati Ho Lam mulai merasa khawatir juga setelah lewat tiga jam Leng Hwa belum juga bangun. Matahari sudah mulai condong ke barat. Akan tetapi untuk membangunkan kekasihnya, dia tidak tega.

Tiba-tiba Ho Lam tersentak kaget dan matanya terbelalak memandang kepada Can Kok yang tahu-tahu telah berdiri di depan guha! Can Kok memandang dengan matanya yang mencorong aneh dan bibirnya tersenyum sinis. Karena Ho Lam tersentak kaget Leng Hwa terbangun. Begitu membuka matanya ia juga melihat Can Kok dan cepat gadis itu melompat dan bangkit berdiri.

“Can Kok, mau apa engkau menyusul kami?” Leng Hwa membentak dan dalam kemarahan dan kebencian ia menyebut nama Can Kok begitu saja, padahal dulu ia akrab dengan pemuda itu dan menyebutnya kakak.

“Adik Leng Hwa yang manis, aku diutus Paman Kui Tong untuk membawamu pulang ke Pulau Udang dan membunuh tikus busuk ini!” Can Kok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ho Lam yang juga sudah berdiri di dekat Leng Hwa dengan sikap melindungi kekasihnya itu.

“Suheng (Kakak Seperguruan) Can Kok, di antara kita ada pertalian persaudaraan seperguruan dan hubungan antara kita sejak dulu baik. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada kami berdua? Kami saling mencinta dan kami telah bersumpah untuk sehidup semati. Biarkan kami pergi, Suheng, dan kami tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini.”

Can Kok tertawa. Tawanya aneh, bergelak namun terdengar mengguguk seperti tangis! Ini menunjukkan bahwa hatinya dibakar kemarahan. “Ha-ha-hu-hu-huk! Engkau telah berkhianat terhadap Paman, engkau harus mati di tanganku. Adik Leng Hwa ini adalah calon isteriku dan engkau berani membawa lari, keparat!”

“Can Kok, aku tidak sudi menjadi isterimu. Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang gila seperti engkau!” Leng Hwa berteriak dengan marah dan nekat.

“Can-suheng, kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Kuharap engkau suka meninggalkan kami, kalau tidak kami terpaksa akan melawan mati-matian!” kata Ho Lam yang tahu bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari ancaman Can Kok.

“Hemm, tikus busuk, mampuslah!” Can Kok membentak dan menyerang ke depan dengan dorongan tangan kanan ke arah Ho Lam.

Melihat Can Kok menyerang kekasihnya, Leng Hwa melompat ke depan menyambut serangan jarak jauh itu dengan kedua tangannya, melindungi Ho Lam.

“Wuuuttt...... desss...!” Tubuh Leng Hwa terpental dan jatuh terjengkang.

“Jahanam!” Ho Lam marah sekali melihat kekasihnya roboh. Dia sudah mencabut pedangnya dan menerjang Can Kok dengan nekat. Gerakannya cukup kuat dan cepat. Namun, dibandingkan dengan Can Kok, kekuatannya itu tidak ada artinya sama sekali.

Can Kok tidak mengelak, akan tetapi ketika pedang itu sudah meluncur dekat hendak menusuk dadanya, tangan kanannya menyambar dan tahu-tahu pedang itu telah ditangkapnya. Sekali renggut pedang itu pun pindah tangan.

Ho Lam terkejut, akan tetapi Can Kfok sudah menggerakkan tangannya yang menangkap pedang itu dan sekali sentakan, pedang itu membalik dan meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah dada Ho Lam! Ho Lam tidak sempat lagi menghindar.

“Capppp......!!” Pedang itu menancap tepat di tengah dada Ho Lam. Pemuda itu terhuyung ke belakang dan roboh telentang.

Leng Hwa yang tadi hanya terjengkang dan kini sudah bangkit berdiri, terbelalak melihat kekasihnya roboh dengan dada ditembusi pedang. “Iblis jahat, kau... kau bunuh Lam-ko....!” Sambil menangis Leng Hwa lalu menyerang Can Kok dengan pedangnya.

Akan tetapi sekali mengibaskan tangannya, pedang itu terlepas dari tangan Leng Hwa dan sebelum gadis itu dapat menyerang lagi, Can Kok sudah memeIuknya dan ia tidak mampu bergerak. Can Kok tertawa dan menciumi muka Leng Hwa yang meronta-ronta.

“Heh-heh, engkau mencinta tikus ini, ya? Nah, biarlah sebelum mampus tikus ini melihat betapa engkau bermesraan dengan aku!”

Can Kok duduk dekat Ho Lam yang belum tewas, yang telentang dengan mata terbelalak dan pedang menancap di dada. Leng Hwa meronta-ronta, akan tetapi Can Kok merobek bajunya dan sengaja hendak pamer mempermainkan gadis itu di depan Ho Lam yang masih belum mati.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang menegur. “Sungguh perbuatan yang terkutuk dan biadab! Engkau ini iblis berwajah manusia!”

Berbareng dengan teguran itu, ada angin menyambar ke arah Can Kok. Can Kok melepaskan tubuh Leng Hwa yang bajunya telah robek, lalu menangkis ke arah angin yang menyambar dari sebelah kanan.

“Wuuuttt...... desss!!” Can Kok terkejut bukan main dan berseru keras sambil melompat jauh ke belakang ketika dia merasa betapa tangkisannya bertemu dengan hawa yang amat kuat sehingga lengannya tergetar. Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong. Yang menyerang Can Kok tadi bukan lain adalah Souw Thian Liong!

Seperti kita ketahui, Thian Liong berkunjung ke dusun Kian-cung dekat Telaga See-ouw untuk mengunjungi rumah Han Si Tiong. Di sana dia mendengar bahwa Han Si Tiong telah tewas ketika diserang dua orang muda dan bahwa Han Bi Lan telah pulang kemudian bersama ibunya meninggalkan Kian-cung menuju ke kota raja.

Dia menduga bahwa ibu dan anak itu tentu pergi ke rumah Panglima Kwee di kota raja karena Han Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee. Setelah bersembahyang di kuburan Han Si Tiong, Thian Liong lalu melanjutkan perantauannya.

Kebetulan dia tiba di bukit dekat pantai itu dan melihat Can Kok hendak memperkosa seorang gadis di depan seorang pemuda yang sudah hampir mati. Dia mendengar ucapan Can Kok dan menjadi marah lalu menyerang pemuda gila itu.

Kini mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak. Thian Liong segera mengenal pemuda yang menjadi murid Empat Datuk Besar seperti dilihatnya di Pulau lblis dahulu. Sebaliknya, Can Kok tidak mengenalnya dan Can Kok marah bukan main melihat ada orang berani menghalanginya.

“Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusanku?” bentak Can Kok. Kalau saja yang berbuat itu orang lain, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, dari tangkisannya tadi, dia tahu bahwa pemuda sederhana di depannya ini seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia ingin mengetahui siapa orang ini.

“Can Kok, aku bernama Souw Thian Liong.”

“Hemm, engkau mengenal namaku?”

“Tentu saja, engkau Can Kok murid Empat Datuk Besar dan engkau telah menguasai ilmu yang amat tinggi. Hanya sayang seribu sayang, ilmu yang tinggi itu kini diperalat iblis yang menguasai dirimu!”

11.3. RENCANA KEROYOKAN PARA IBLIS


Tiba-tiba terdengar jerit tangis. Dua orang pemuda itu menengok ke arah Leng Hwa. Tadi perhatian mereka sepenuhnya diarahkan kepada lawan sehingga tidak memperhatikan Leng Hwa. Gadis itu juga tidak memperdulikan mereka, melainkan lari menubruk tubuh Ho Lam yang masih telentang hampir mati dengan mata masih terbuka.

Mata pemuda itu basah dan dua butir air mata bergulir turun ke atas pipinya ketika dia memandang Leng Hwa. “......Hwa...... Hwa-moi......” kedua mata itu terpejam.

“Lam-ko...... tidak...... engkau tidak boleh mati sendiri!” Leng Hwa lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pedang yang menancap di dada Ho Lam.

Darah muncrat dari dada Ho Lam. Leng Hwa menjerit ketika melihat muncratnya darah itu dan ia pun lalu menusukkan pedang itu ke dadanya sendiri sampai tembus lalu terkulai, dan roboh di atas dada Ho Lam. Darah muncrat-muncrat dari dua dada sepasang kekasih itu, bercampur dan membasahi tubuh mereka yang perlahan-lahan menghembuskan napas terakhir.

Thian Liong merasa ngeri dan terharu, juga menyesal bahwa dia tidak mampu mencegah hal itu terjadi. Dia kini memandang lagi kepada Can Kok, pandang matanya tajam penuh teguran. “Can Kok, lihat itu korban dari kekejianmu! Kau bukan manusia, melainkan iblis jahat yang harus dibasmi dari permukaan bumi ini!”

“Ha-ha-ha-hu-hu-huk!” Can Kok tertawa seperti tangis mengguguk karena marahnya. “Souw Thian Liong bocah sombong. Engkaulah yang akan mampus menemani mereka berdua! Haaiiiiikkkk!”

Can Kok sudah menyerang dengan amat dahsyatnya. Tangan kirinya yang terbuka menampar dan dari telapak tangannya itu keluar hawa pukulan yang panas dan telapak tangannya berubah menjadi kemerahan. Inilah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), ilmu andalan dari Lam-kai Gui Lin, Pengemis Selatan itu.

Akan tetapi Thian Liong yang sudah tahu akan kelihaian Can Kok, dapat mengelak dengan gesit dan dari samping, tangan kirinya membalas dengan tamparan yang mengandung hawa sakti yang kuat pula. Namun Can Kok dapat pula mengelak. Can Kok yang juga sudah menduga bahwa lawannya ini tidak seperti para lawan yang pernah dihadapinya, melainkan memiliki kesaktian.

Kini bersilat dengan gerakan yang amat aneh dan setiap gerakan kedua tangan dan kakinya membawa hawa pukulan yang dahsyat. Inilah ilmu silat gabungan dari ilmu-ilmu Empat Datuk Besar menjadi satu. Aneh, dahsyat dan berbahaya karena setiap sambaran tangan atau kaki itu merupakan serangan maut! Bukan saja serangan-serangannya itu kuat, namun juga mengandung hawa beracun yang jahat.

Thian Liong bersilat dengan tenang dan hati-hati sekali. Ketika dia mengintai di Pulau Iblis dan melihat Can Kok, dia sudah tahu bahwa pemuda yang dipersiapkan oleh Empat Datuk Besar untuk membunuh Gurunya, Tiong Lee Cin-jin ini merupakan lawannya yang paling kuat dan berbahaya. Maka kini setelah tanpa disengaja mereka saling bertemu dan bertanding, dia bersilat dengan hati-hati sekali. Dia mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh untuk mengimbangi serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

“Haaaaiiikkk......!”

“Hyaaaattt.... blaarrr....!”

Untuk kesekian kalinya dua tenaga sakti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bahkan dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka seimbang. Hanya ada sebuah perbedaan yang jauh dalam pertandingan hebat tanpa saksi ini karena dua orang yang berada di situ, Ho Lam dan Kui Leng Hwa, telah menjadi mayat.

Perbedaan itu adalah bahwa kalau Can Kok mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang dengan maksud membunuh, sebaliknya Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk membunuh. Dia hanya ingin merobohkan dan menaklukkan lawannya saja, tidak pernah mau menggunakan serangan maut.

Ketika mereka terdorong ke belakang sehingga mereka berpisah dalam jarak lima-enam tombak, sebelum mereka bergerak menerjang lagi, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Suara gerengan seperti auman singa!

Dua orang pemuda itu sudah mengenal suara ini, suara yang dikeluarkan dengan ilmu Sai-cu Ho-kang (Suara Sakti Auman Singa) dari Tung-sai Kui Tong! Kalau Thian Liong yang mendengar ini menjadi terkejut dan gentar, sebaliknya Can Kok merasa girang sekali. Lawannya amat kuat dan munculnya Singa Timur itu tentu saja akan memudahkan dia membunuh Souw Thian Liong.

Si Naga Langit ini sebaliknya maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan Can Kok dan Singa Timur. Apalagi kini tidak ada pula yang harus ditolong. Sepasang muda-mudi itu telah tewas dan dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi. Maka begitu mendengar auman yang menggetarkan itu, Thian Liong segera melompat dan berkelebat pergi dari situ. Can Kok ragu untuk mengejar seorang diri. Si Singa Timur muncul dengan tombak di tangan kanannya.

“Paman, mari kita kejar Souw Thian Liong!” kata Can Kok dengan girang. Kalau mereka mengejar berdua, besar kemungkinan mereka akan dapat membunuh lawan yang berat itu.

Akan tetapi Tung-sai tidak menjawab. Dia malah melangkah menghampiri dua tubuh yang bertumpuk di depan guha dan mandi darah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa tubuh yang menindih tubuh lain dan yang mandi darah dan sudah tewas itu adalah Kui Leng Hwa, wajahnya yang merah berubah pucat.

“Tidak......!” Tung-sai Kui Tong menancapkan tombaknya di atas tanah lalu dia berlutut dekat dua tubuh yang tumpang tindih itu. Dia membalikkan tubuh Leng Hwa yang tertelungkup seolah masih tidak percaya bahwa yang mati itu adalah puterinya. Ketika wajah Leng Hwa tampak Tung-sai mendekap mukanya dengan kedua tangannya.

“Tidak......! Leng Hwa...... ah, anakku......!” Tiba-tiba Singa Timur ini bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadapi Can Kok. Wajahnya tampak menyeramkan sekali, matanya mencorong seperti mata seekor singa yang marah. “Siapa membunuh anakku?” bentaknya.

“Paman, aku berhasil membunuh Ho Lam. Akan tetapi pada saat itu muncul jahanam itu dan kami berkelahi sehingga aku tidak sempat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri.”

“Bunuh diri?” Kembali Singa Timur menoleh dan memandang ke arah jenazah puterinya. Pedang itu masih menancap di dada Leng Hwa. Kini dia maklum, Ho Lam terbunuh dan puterinya itu, membela kekasihnya dengan membunuh diri! Tiba-tiba kemarahannya ditumpahkan kepada Ho Lam.

Tung-sai menyambar jenazah puterinya dengan rangkulan lengan kirinya sambil mencabut pedang yang tertancap di dada Leng Hwa, kemudian dia membentak-bentak dengan kalap.

“Engkau membunuh anakku! Keparat, engkau membunuh anakku!” Tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak.

“Crak-crak-crakk!” Mayat Ho Lam menjadi empat potong. Leher, pinggang, dan lutut terbabat putus.

Sambil menggereng-gereng Singa Timur membuang pedang itu dan mencabut tombaknya, lalu berlari sambil memondong jenazah puterinya, menuju pulang. Dia seolah telah lupa kepada Can Kok. Pemuda ini pun tertawa sinis dan berlari mengejar Singa Timur majikan Pulau Udang.

Kedatangan Tung-sai yang memondong jenazah puterinya di Pulau Udang disambut hujan tangis. Seluruh penduduk pulau itu menangisi kematian Kui Leng Hwa. Nyonya Kui menjerit-jerit dan jatuh pingsan melihat puterinya dibawa pulang sebagai mayat yang berlumuran darah.

“Leng Hwa... Leng Hwa anakku....!” Nyonya itu menjerit-jerit sambil memeluk dan menciumi anaknya yang sudah menjadi mayat.

Ketika Tung-sai Kui Tong memegang pundak isterinya yang kesetanan itu untuk menghiburnya, tiba-tiba Nyonya Kui membalik kepadanya. “Engkau....! Engkau yang telah membunuhnya!” Ia membentak dan, matanya terbelalak lebar, rambutnya awut-awutan, kemudian wanita yang lemah ini tiba-tiba menyerang suaminya, mencakar dengan kedua tangannya.

“Tenang...., anak kita membunuh diri, gara-gara si jahanam Ho Lam!” katanya.

“Tidak! Engkau yang membunuhnya! Engkau terkutuk, engkau membunuh anakku!” Wanita itu berteriak-teriak dan menangis, lalu terkulai dan jatuh pingsan.

Tung-sai Kui Tong memondongnya dan membawanya ke dalam kamar. Hati datuk yang biasanya keras itu kini bersedih melihat keadaan isterinya dan anaknya. Sekarang baru terasa olehnya betapa dia amat menyayang puterinya sehingga kematiannya mendatangkan luka parah dalam hatinya.

Hati datuk timur itu semakin remuk ketika isterinya siuman dari pingsan lalu mengamuk, menangis dan tertawa. Isterinya mengalami tekanan batin yang demikian hebatnya, membuat pikirannya terguncang dan berubah. Dan yang lebih menyedihkan hati Singa Timur, tiga hari kemudian isterinya itu tewas menggantung diri dalam kamarnya! Hal itu dilakukan di tengah malam, ketika dia sedang tidur nyenyak karena sorenya dia minum arak sampai mabuk.

Tiga orang datuk besar yang lain datang melayat. Setelah upacara penguburan isteri dan anaknya selesai, empat orang datuk itu mengadakan perundingan bersama Can Kok. Di depan mereka, Can Kok menceritakan tentang kematian Leng Hwa.

“Kalau saja tidak muncul jahanam itu, pasti aku dapat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri. Jahanam itulah yang memberi kesempatan kepada Leng Hwa untuk membunuh diri. Jahanam itulah yang seolah telah membunuh Leng Hwa.”

“Can Kok, mengapa engkau dulu tidak cepat membunuhnya agar engkau dapat menyelamatkan Leng Hwa?” Singa Timur bertanya, suaranya bernada menegur.

“Paman, jahanam itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan ilmu silatnya mengingatkan aku kepada ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis yang mengeroyok aku dulu itu. Tentu ada hubungannya antara dia dan kedua orang gadis itu.”

“Maksudmu Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang murid Tiong Lee Cin-jin itu?”

“Benar, Paman. Aku yakin bahwa dia tentu murid Tiong Lee Cin-jin pula.”

“Murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Hemm, apa maksud kalian?” tanya Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian. See ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang dan Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin juga ikut memandang dengan pertanyaan yang sama.

“Secara kebetulan aku telah bertemu dan bertanding dengan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li......”

“Hemm, aku tahu bahwa Pek Hong Niocu adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kin!” kata Pak-sian.

“Dan aku pernah mendengar akan nama Ang Hwa Sian-li. Ia seorang gadis pendekar yang malang melintang di daerah Kerajaan Sung!” kata pula Lam-kai.

“Omitohud, apakah engkau yakin bahwa dua orang gadis itu adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin, Can Kok?” tanya See-ong.

“Tentu saja aku yakin, See-suhu (Guru Barat). Mereka memperkenalkan nama mereka dan juga guru mereka.”

“Wah, lalu bagaimana tingkat kepandaian mereka, Can Kok?” tanya Pak-sian.

“Pak-suhu (Guru Utara), mereka cukup lihai, akan tetapi kalau menghadapi seorang dari mereka, aku pasti dapat mengalahkannya.”

“Hemm, bagaimana ketika mereka maju berdua? Apakah engkau dapat menandingi pengeroyokan mereka?” tanya Lam-kai.

“Memang berat kalau mereka maju berdua mengeroyokku, Lam-suhu (Guru Selatan), namun aku tidak akan kalah! Ketika itu, aku menghadapi mereka dengan murid suhu Kui Tung, dan kami berdua sudah hampir berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi muncul ratusan orang perajurit kerajaan. Terpaksa kami meninggalkan musuh yang terlalu banyak itu.”

“Can Kok, ceritakan tentang jahanam yang menghalangimu sehingga engkau tidak sempat mencegah anakku membunuh diri. Siapakah dia? Benarkah dia itu juga murid Tiong Lee Cin-jin?” tanya Tung-sai.

“Dia seorang pemuda, usianya sekitar duapuluh dua tahun. Orangnya biasa saja, pakaiannya juga sederhana seperti seorang petani. Namanya Souw Thian Liong, Paman, dan dari gerakan silatnya ketika kami bertanding, aku melihat persamaan dasar dengan ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin itu, Paman. Maka aku hampir yakin bahwa dia juga seorang murid dari musuh kita itu!”

“Omitohud!” See-ong Hui Kong Ho-siang menggeleng-geleng kepalanya yang gundul. “Kalau manusia sombong itu mempunyai tiga orang murid yang lihai, kedudukannya menjadi kuat. Tentu terlampau kuat kalau dihadapi Can Kok seorang diri!”

“Itulah, maka aku mengajak kalian mengadakan perundingan,” kata Tung-sai Kui Tong. “Kalau kita hanya menyuruh Can Kok mewakili kita untuk menghadapi Tiong Lee Cin-jin seorang diri, tentu saja akan terlalu berat bagi Can Kok untuk menghadapi keparat itu yang dibantu oleh tiga orang muridnya. Akan sulitlah diharapkan hasilnya kalau Can Kok dikeroyok empat!”

“Tak dapat disangkal kebenaran kata-katamu, Tung-sai. Lalu bagaimana baiknya?” tanya Pak-sian dengan suaranya yang melengking tinggi.

“Aku mempunyai usul, Pak-suhu, See-suhu dan Lam-suhu. Seperti yang sudah kusampaikan kepada Paman Tung, cara satu-satunya agar kita berhasil adalah kita harus maju bersama ramai-ramai melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Tiong Lee Cin-jin, membunuh dia dan semua muridnya. Akan tetapi sayang, aku belum dapat menemukan di mana dia tinggal.”

“Omitohud......! Kebetulan sekali aku mendengar berita bahwa dia kini di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san (Pegunungan Gobi),” kata See-ong.

”Bagus kalau begitu, kita beramai-ramai ke sana. Sekali ini kita tidak boleh gagal. Ingat, kalau kita berhasil, bukan saja kita dapat membalas kekalahan kita, akan tetapi aku yakin manusia sombong itu masih menyimpan banyak kitab-kitab langka. Kita dapat memiliki kitab-kitab yang amat berharga itu!” kata Tung-sai.

Ucapan Singa Timur ini disambut gembira oleh rekan-rekannya dan mereka berlima lalu berunding untuk membuat persiapan keberangkatan mereka ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.

* * *

Thian Liong yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak akan dapat mengalahkan Can Kok apabila Tung-sai datang membantu, pula karena melihat bahwa dua orang yang harus dilindunginya itu sudah tewas, menghentikan larinya setelah tiba di bawah bukit karang itu.

Kemudian dia mengambil jalan memutar untuk mengintai apa yang terjadi di depan guha. Dia melihat Tung-sai memondong jenazah gadis yang ternyata puterinya itu sambil menangis dan pergi dari depan guha. Kemudian Can Kok juga mengikutinya. Setelah kedua orang itu pergi, barulah Thian Liong kembali ke depan guha dan dia mengerutkan alisnya melihat mayat pemuda itu terpotong menjadi empat.

“Kejam, bukan manusia mereka itu!” gerutunya dan dia pun segera menggali tanah dan mengubur mayat pemuda yang tidak diketahuinya siapa itu. Akan tetapi dia menemukan dua buntalan pakaian pria dan wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis puteri Tung-sai itu agaknya melarikan diri dengan pemuda ini, kemudian dikejar Can Kok dan Tung-sai. Si pemuda tewas di tangan Can Kok dan gadis itu membunuh diri!

Setelah selesai mengubur jenazah yang terpotong-potong itu, Thian Liong lalu melanjutkan perjalanannya. Dia berniat mencari Bi Lan dan ibunya yang pergi ke kota raja untuk melihat apakah dugaannya benar bahwa ibu dan anak itu pergi berkunjung ke rumah keluarga Panglima Kwee dan untuk melangsungkan pernikahan seperti yang direncanakan Panglima Kwee dan isterinya.

Dia tidak akan menemui mereka, dan kalau Bi Lan sudah menikah dengan putera Panglima Kwee, dia akan ikut merasa bahagia. Bahagia? Memang ada perasaan tidak enak dan hampa, akan tetapi dia tetap akan merasa bahagia melihat gadis itu mendapatkan suami yang baik dan kehidupannya dengan ibunyanya tenteram dan berbahagia.

Menjelang sore Thian Liong tiba di luar sebuah dusun yang cukup besar. Melihat sawah ladang di luar dusun demikian luas, dengan tanaman yang subur, juga adanya sebuah anak sungai yang airnya cukup banyak dan jernih mengalir di luar dusun, dia dapat menduga bahwa tentu penduduk dusun itu berkeadaan cukup makmur. Kalau sebuah dusun memiliki tanah subur dan air cukup, sudah dapat dipastikan penduduknya tentu hidup makmur, cukup sandang pangan papannya.

Thian Liong mengetahui dari pengalamannya bahwa kebutuhan hidup penduduk dusun tidaklah banyak. Asalkan sebuah keluarga setiap hari dapat makan kenyang, berpakaian utuh dan memiliki pengganti pakaian, lalu memiliki sebuah rumah untuk tidur dan berteduh, walaupun ketiga kebutuhan hidup itu tidaklah mewah, mereka akan merasa cukup makmur! Cukup sandang pangan papan, keluarga sehat, itulah dambaan setiap keluarga dusun.

Akan tetapi dia melihat di luar dusun itu sepi dan setelah agak dekat dia mendengar suara ribut-ribut di dalam dusun. Dia merasa heran dan cepat dia berlari memasuki dusun itu. Pertama-tama yang ditemuinya adalah rumah-rumah yang sama sekali di luar perkiraannya.

Rumah-rumah itu sebagian besar hanya merupakan gubuk-gubuk reyot, bukan sederhana lagi akan tetapi lebih tepat disebut miskin, sepantasnya menjadi gubuk para gelandangan. Juga dia melihat beberapa orang anak-anak yang berseliweran di sekitar rumah-rumah gubuk itu berpakaian kotor dan compang-camping seperti pakaian pengemis!

Akan tetapi Thian Liong tidak sempat terlalu memperhatikan keadaan yang di luar perkiraannya tadi karena dia sudah lari ke tengah dusun di mana terdapat banyak orang yang berteriak-teriak dan mereka berkumpul di depan rumah-rumah gedung yang mentereng dan mewah!

Sungguh seperti langit dan bumi keadaan deretan gedung yang terdiri dari sepuluh bangunan besar itu. Gedung-gedung itu kokoh dan indah, seperti bangunan rumah-rumah para bangsawan dan hartawan besar di kota-kota, dikelilingi dinding tembok yang dihias patung-patung singa dan binatang lain dan memiliki pintu gerbang besi!

Hebatnya lagi, di depan gedung-gedung itu pada saat itu terdapat puluhan orang berbaris melindungi gedung-gedung itu, dan mereka ini mengenakan pakaian seragam seperti perajurit, dengan memegang senjata tombak atau pedang di tangan! Sikap mereka itu galak dan gagah, wajah mereka bengis memandang ke arah kerumunan orang di jalan depan gedung-gedung itu.

Thian Liong memperhatikan mereka yang berkerumun di situ. Tidak kurang dari seratus limapuluh orang yang berkumpul di situ sambil berteriak-teriak. Melihat keadaan mereka, Thian Liong kembali merasa kaget dan heran. Pakaian mereka itu sebagian besar juga kotor dan compang-camping seperti pakaian anak-anak tadi.

Hanya belasan orang saja yang berpakaian tidak compang-camping, akan tetapi pakaian mereka juga kotor dan dari kain murah. Dibandingkan pakaian para penjaga rumah itu, sungguh jauh bedanya! Mereka berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan-tangan yang kasar dan kulitnya hitam terbakar sinar matahari, tangan-tangan yang biasa kerja berat.

“Pembesar lalim!”

“Munafik!”

“Penipu!”

Demikian mereka berteriak-teriak dan berdesak-desakan hendak memasuki pintu gerbang sebuah di antara gedung-gedung itu yang berada di tengah. Gedung ini tidaklah semewah gedung-gedung di kanan kirinya, biarpun cukup besar namun tidaklah tampak mentereng.

Akan tetapi barisan penjaga itu menghadang dengan senjata mereka dan seorang kepala pasukan jaga ini membentak, “Mundur semua! Apakah kalian hendak memberontak? Mundur atau kami bunuh kalian yang berani melawan penguasa!”

“Kami tidak memberontak, tidak melawan!” terdengar seorang di antara para penduduk miskin itu berseru.

Suaranya cukup lantang dan dia adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih yang pakaiannya amat sederhana, walaupun tidak compang-camping. Wajahnya lembut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berapi penuh keberanian.

“Kami hanya menuntut keadilan! Kami minta agar Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo) menemui kami dan memenuhi janji-janjinya kepada kami, rakyat dusun Be-san ini...!”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.