Jodoh Si Naga Langit Jilid 10

Sonny Ogawa
10.1. DUA DARA PENDEKAR LIHAY

Jadi, kalau ada orang jahat hendak mengacau ke istana, dia harus dapat melewati lima lapis regu pengawal dulu sebelum berhadapan dengan mereka! Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sungguhpun berita tentang Ang I Mo-li itu menyeramkan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pula, sebagai pengawal yang paling dalam di istana itu, mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup tangguh untuk melindungi keselamatan kaisar dan keluarganya.

Selain itu, siapa yang tidak mengenal Puteri Moguhai yang berjuluk Pek Hong Niocu dan yang terkenal sakti dan lihai sekali? Dengan hadirnya puteri yang sering meninggalkan istana itu, semua orang merasa aman dan terlindung. Demikian pula dengan tujuh orang pengawal ini, merasa bahwa kedudukan mereka kuat sekali dan tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu.

“Sungguh luar biasa dan mustahil! Bagaimana gadis muda mampu mengalahkan tiga orang Sam-pak-liong itu?” kata seorang dari mereka.

“Itu masih belum luar biasa. Yang lebih hebat dan tak masuk akal lagi, bagaimana gadis itu dapat membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang terkenal sebagai datuk besar dunia persilatan?” orang kedua berkata.

“Tidak perlu diherankan. Sekarang memang bermunculan gadis-gadis muda yang amat lihai. Tidak usah jauh-jauh, apakah kalian lupa bahwa Sang Puteri Moguhai sendiri adalah seorang puteri yang amat tinggi ilmunya?” kata orang ketiga.

“Wah, kalau begin terus, semakin banyak wanita yang amat lihai dan tangguh, jangan-jangan akhirnya dunia ini akan dikuasai oleh wanita!” kata yang lain.

“Dan kita kaum pria menjadi pelayan mereka, mengasuh anak, mencuci pakaian, mengurus dan membersihkan rumah, memasak......”

“Dan bukan pria lagi yang melamar melainkan wanita yang meminang pria kalau ingin berumah tangga.”

Mereka tertawa, akan tetapi menahan suara mereka agar tidak menimbulkan kegaduhan. “Ssstt......!” Tiba-tiba seorang di antara mereka mendesis dan menuding ke kanan. Semua orang menengok dan dengan gesit mereka berloncatan.

Mereka adalah tujuh orang pengawal dalam istana yang memiliki kependaian tinggi, maka dalam kewaspadaan mereka, mereka segera siap siaga dan dengan cepat sekali mereka sudah mengepung seorang gadis baju merah yang tahu-tahu telah berada di situ!

“Hei! Siapa engkau?” bentak seorang dari mereka dengan suara lantang dan bengis, sungguhpun dalam hatinya dia gentar dan terkejut sekali karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang mereka bicarakan tadi. Kalau bukan orang yang memiliki kesaktian, mana mungkin dapat masuk sampai ke sini tanpa menimbulkan keributan melewati lima lapisan regu-regu penjaga istana itu?

Dugaan dalam hati pengawal ini, juga semua rekannya, memang benar. Gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan. Seperti kita ketahui, Bi Lan telah berhasil membalas dendam kematian ayahnya, membelas dendam orang yang dulu menculiknya, membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.

Namun hatinya penasaran karena ia tetap menduga bahwa musuh utamanya adalah Kaisar Kin. Kaisar itu tentu yang mengutus Ouw Kan untuk membunuh dan membasmi keluarga mendiang ayahnya. Ia akan membunuh Kaisar Kin!

Dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis yang sedang tertekan batinnya itu oleh kenyataan riwayat ibunya yang bekas pelacur, juga karena pengaruh pendidikan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), yang membuat hatinya menjadi keras dan aneh, dapat menyusup ke istana tanpa diketahui lapisan penjaga yang pertama sampai yang kelima.

Sebetulnya dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, ia akan dapat pula melewati lapisan keenam ini tanpa mereka ketahui. Akan tetapi setelah tiba di bagian depan istana ini, ia menjadi bingung. Bangunan istana ini begitu luas. Kemana ia harus mencari kaisarnya? Karena ia ingin mendapat keterangan tentang hal ini, maka ia sengaja memperlihatkan diri kepada para pengawal yang segera bergerak mengepungnya!

Biarpun tadi para pengawal itu membicarakan tentang Ang I Mo-li dengan hati seram dan gentar, namun setelah kini mereka berhadapan dengan Bi Lan, rasa takut itu segera menghilang. Gadis itu begini cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, sama sekali tidak menimbulkan perassan gentar!

Rasanya mustahil seorang gadis muda secantik ini dapat menjadi mahluk mengerikan seperti yang mereka gambarkan. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, sungguh menggelikan kalau merasa takut kepada seorang gadis muda cantik jelita yang begini lembut dan lemah gemulai!

Mendengar pertanyaan kepala regu pengawal dan melihat betapa tujuh orang pengawal itu mengepungnya tanpa mengeluarkan senjata mereka, Bi Lan menjawab dengan suara tegas. “Siapa aku tidak penting. Yang penting, aku ingin tahu di mana adanya kaisar. Aku ingin bertemu dengan dia. Laporkan agar dia keluar menemuiku, atau tunjukkan di mana dia dan aku akan masuk dan menemuinya!”

Tujuh orang pengawal itu menahan tawa mereka karena mereka merasa geli. Gadis ini ingin bertemu dengan kaisar dengan sikap seperti seorang gadis ingin bertemu dengan pacarnya saja!

“Wah, tidak semudah dan sesederhana itu, Nona! Siapapun juga, tidak mungkin dapat menghadap Sri Baginda Kaisar di waktu malam begini. Kalau hendak menghadap, datang saja besok pagi dan melapor kepada penjaga di bagian depan.”

“Aku harus bertemu dengan dia sekarang juga! Laporkan dan suruh dia keluar, atau antarkan aku kepadanya!”

Gadis ini sudah gila, pikir para pengawal. Masa ada orang menyuruh Sri Baginda Kaisar keluar untuk menemuinya, malam-malam begini lagi! “Nona, tidak mungkin kami dapat memenuhi permintaanmu. Kami tidak dapat melaporkan dan tidak dapat mengantarmu menghadap Sri Baginda.”

“Hemm, kalau begitu akan kupaksa seorang dari kalian untuk mengantar aku kepadanya!”

Mendengar ini, tujuh orang pengawal serentak menubruk hendak meringkus dan menangkap gadis itu. Bagaikan tujuh ekor harimau mereka menerkam gadis itu dari tujuh arah secara berbareng sehingga tidak mungkin bagi Bi Lan untuk mengelak lagi. Kalau ada orang menonton pada saat itu, tentu akan merasa yakin bahwa gadis itu akan dapat diringkus, bahkan tujuh orang pengawal itu pun sudah merasa pasti.

Mereka bertujuh adalah laki-laki yang memiliki tenaga dalam yang kuat, juga semua pandai silat. Tidak mungkin gadis itu dapat meloloskan diri. Bahkan seekor burung yang pandai terbang sekalipun tidak akan dapat lolos dari terkaman tujuh orang dari segala penjuru itu.

Akan tetapi terjadi keanehan. Gadis itu seolah merupakan sebuah bom peledak. Begitu tujuh orang itu menerkam, ia menggerakkan tubuh berputar, kedua tangannya menyambar-nyambar dan tujuh orang pengawal itu berseru kaget dan tubuh mereka sudah berpelantingan ke belakang seolah dilanda alat peledak yang amat kuat!

Mereka terbanting jatuh dan Bi Lan masih berdiri tegak dan kini melipat kedua lengan depan dada. Tujuh orang pengawal itu tentu saja merasa gentar, akan tetapi mereka lebih takut lagi akan hukuman kalau membiarkan gadis itu lewat dan memasuki istana, apa lagi kalau sampai mengganggu bahkan membunuh kaisar.

Maka setelah mengetahui bahwa gadis itu benar-benar lihai seperti iblis, mereka lalu mencabut pedang mereka dan hendak mengeroyok untuk membunuh gadis yang tidak mungkin mereka tangkap itu.

“Tahan senjata dan mundur semua!” terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara wanita yang amat mereka kenal itu, tujuh orang pengawal itu berlompatan mundur.

Tampak banyak pengawal datang berlarian ke tempat itu sehingga sebentar saja di situ berkumpul sedikitnya limapuluh orang perajurit pengawal yang telah siap dengan pedang di tangan. Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan mereka itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau kaisar muncul di situ.

Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan pandang mata Puteri Moguhai yang sudah berdiri di depannya. Mereka saling pandang. Dua orang gadis yang sama-sama cantik jelita. Pakaian Bi Lan serba merah muda dan pakaian Puteri Moguhai serba putih!

“Mau apa engkau malam-malam begini membuat kekacauan di istana?” Puteri Moguhai menegur, suaranya mengandung wibawa.

“Mau bunuh Kaisar!” Bi Lan menjawab, sedikitpun tidak merasa gentar.

“Gila kau!” Moguhai berseru dan ia menyerang dengan pukulan jarak jauh. Kedua tangannya didorongkan ke arah Bi Lan dan pukulan ini mengandung tenaga sin-kang yang menyambar dahsyat ke arah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengejek dan ia pun menggerakkan kedua tangannya, menyambut dengan dorongan yang diperkuat ilmu Sin-ciang yang ia dapatkan dari Si Mayat Hidup sehingga dari kedua telapak tangannya terdengar suara bercuitan ketika ada hawa kuat dan panas seperti kilat menyambar.

Dorongan kedua tangan Bi Lan ini dahsyat sekali, meru¬pakan ilmu yang langka dan tinggi yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup. Akan tetapi yang ia hadapi kini adalah murid, bahkan puteri Tiong Lee Cin-jin yang juga telah menurunkan ilmu yang hebat kepada Moguhai.

“Syuuuuttt.... blaarrrr....!”

Kedua orang gadis itu terpental dan tentu akan terjengkang kalau saja keduanya tidak cepat-cepat berpok-sai (bersalto) ke belakang sampai tiga kali sehingga dapat hinggap di atas tanah dengan tegak. Keduanya terkejut dan saling pandang penuh perhatian. Kebetulan para pengawal kini sudah memasang banyak obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Mereka dapat saling memandang wajah masing-masing dengan jelas.

“Ahh.... engkaukah ini? Bukankah engkau ini.... yang dulu membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”

“Dan engkau.... engkau Puteri Kerajaan Kin yang menjadi pasangan akrab dari Souw Than Liong?” Bi Lan berseru pula.

Keduanya saling pandang sampai lama dan semua pengawal di situ hanya memandang, tidak ada yang berani bergerak. Mereka bukan gentar terhadap Bi Lan, melainkan takut kepada Puteri Moguhai. Tanpa perkenan atau perintah puteri itu, mereka tidak berani turun tangan.

“Akan tetapi...... engkaukah yang memakai julukan Ang I Mo-li itu? Engkau yang membunuh putera pangeran, Hiu Kan dan dua orang pengawalnya, membunuh pula Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?”

“Benar, aku yang membunuh mereka!”

“Akan tetapi mengapa?”

“Jahanam Hiu Kan dan dua orang pengawalnya itu berani bersikap kurang ajar kepadaku dan menghinaku!”

“Hemm, memang Hiu Kan itu pantas menerima hukuman. Akan tetapi Toat beng Coa-ong Ouw Kan?”

“Dia yang dulu menculik aku dan murid-muridnya yang membunuh Ayahku!”

“Ah, begitukah?” Puteri Moguhai teringat akan pengalamannya bersama Souw Thian Liong. “Engkau pula yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai yang dibawa Souw Thian Liong?”

“Bukan urusanmu!” Bi Lan menjawab marah karena kalau diingatkan akan hal itu, ia teringat pula betapa karena perbuatannya itu Souw Thian Liong telah menampari pinggulnya sampai sepuluh kali, hal yang tak mungkin ia lupakan selama hidupnya!

“Baiklah. Aku tahu bahwa engkau bukan orang jahat. Engkau adalah seorang pendekar wanita dan mati-matian membela Souw Thian Liong yang benar dan difitnah sehingga engkau bahkan berani menentang Kun-lun-pai, padahal engkau murid Kun-lun-pai. Akan tetapi mengapa engkau hendak membunuh Ayahku, Sri Baginda? Apa kesalahan Ayahku?”

“Kaisar yang mengutus Ouw Kan membunuh Ayahku!"

“Hemm, siapakah Ayahmu?”

“Ayahku adalah Han Si Tiong!”

“Ahh! Jadi engkau.... engkau ini Han Bi Lan puteri Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi? Aku mengenal baik Ayah Ibumu!”

Dengan sikap tenang Bi Lan mengangguk. “Aku sudah tahu dan karena engkau pernah menolong orang tuaku dan bersikap baik kepada mereka, maka aku melayani engkau bicara!”

“Orang tuamu adalah orang-orang gagah yang setia kepada Kaisar Sung. Bersama-sama Souw Thian Liong, Kwee-ciangkun, beberapa orang pejabat yang setia kepada kaisar, orang tuamu mati-matian menentang Perdana Menteri Chin Kui yang jahat.”

“Aku sudah mendengar itu dan aku juga tahu bahwa engkau pun ikut membela orang tuaku, Puteri Moguhai!”

“Ya, kami memang bersahabat baik, bahkan seperti keluarga sendiri. Aku pun percaya bahwa engkau sebagai puteri mereka juga seorang pendekar yang gagah. Karena itu, maukah engkau juga bersikap baik kepada Ayahku dan mendengarkan dulu penjelasanku? Engkau salah kira, Bi Lan. Marilah, kita masuk dan bicara di dalam. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, mengingat akan hubunganku dengan orang tuamu.”

Bi Lan mengangguk. “Baiklah, Moguhai. Demi membalas kebaikanmu terhadap orang tuaku, aku menerima ajakanmu. Akan tetapi kalau ternyata Ayahmu yang mengutus orang untuk membunuh orang tuaku, jangan salahkan aku kalau aku pun berusaha untuk membalas dan membunuh Ayahmu.”

Moguhai memberi isyarat kepada semua perajurit pengawal untuk mengundurkan diri, lalu ia menggandeng tangan Bi Lan dengan sikap akrab dan mengajak gadis itu masuk ke istana. Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di dalam kamar Moguhai yang luas dan me-wah indah.

Mereka duduk berhadapan di atas kursi, sejenak saling pandang dengan penuh perhatian. Anehnya, di dalam hati kedua orang gadis ini tiba-tiba saja timbul gagasan dan dugaan yang sama, yaitu seberapa jauh hubungan masing-masing dengan Souw Thian Liong!

“Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan dengan aku, Moguhai!”

“Dengarkan keteranganku ini, Bi Lan. Engkau tentu sudah dapat menduga bahwa aku juga seorang gadis kang-ouw dengan julukan Pek Hong Niocu. Aku paling benci kejahatan dan kecurangan dan aku henci pula akan kebohongan. Maka apa yang akan kukatakan kepadamu ini sama sekali bukan bohong. Untuk apa aku berbohong kalau ancamanmu sama sekali tidak membuat aku takut? Aku hanya ingin meluruskan persoalan, menghilangkan salah sangka darimu karena engkau sendiri tentu akan menyesal kalau engkau keliru melakukan pembalasan atau pembunuhan.”

“Jelaskanlah, aku mendengarkan.”

“Begini, Bi Lan. Belasan tahun yang lalu terjadilah perang antara Pasukan Kin melawan Pasukan Sung di perbatasan. Seperti engkau ketahui, Ayah Ibumu merupakan pemimpin yang gagah perkasa dari Pasukan Halilintar di bawah komando Jenderal Gak Hui yang terkenal itu. Seorang Pamanku, Pangeran Cu Si, menjadi seorang di antara para pimpinan Pasukan Kin.

"Dalam pertempuran, Pangeran Cu Si tewas di tangan Ayahmu. Hal ini sebetulnya wajar saja dan Ayahku, Sri Baginda Kaisar, juga menganggap hal ini wajar. Kalah menang dalam perang adalah wajar, dan kematian dalam perang juga bukan merupakan persoalan pribadi. Karena itu, biarpun hatinya sedih atas kematian Pangeran Cu Si, Sri Baginda Kaisar sama sekali tidak menaruh dendam kepada siapa pun juga.

"Kami sekeluarga tahu bahwa dalam perang itu, tentu Pangeran Cu Si juga telah merobohkan dan menewaskan banyak perajurit Sung, apakah keluarga mereka yang tewas dalam perang di tangan Pangeran Cu Si juga menaruh dendam pribadi kepada Pangeran Cu Si? Tentu saja tidak!”

“Akan tetapi menurut keterangan ibuku, Ouw Kan itu diutus oleh Kaisar Kin untuk membinasakan Ayahku sekeluarga dan karena Ayah Ibu tidak ada, dia menculik aku.”

“Pada mulanya, Sri Baginda Kaisar dihasut dan dibujuk oleh Pangeran Hiu Kit Bong, kakak Pangeran Cu Si, yang hendak membalas dendam atas kematian adiknya. Karena hasutan itu, Ayahku tidak melarang ketika Pangeran Hiu Kit Bong menyuruh Ouw Kan untuk membalas dendam kepada Paman Han Si Tiong. Ouw Kan agaknya sengaja mempergunakan nama Sri Baginda Kaisar sebagai pengutusnya untuk memperkuat kedudukannya.

"Apalagi Ouw Kan mendapat pesan pula dari Perdana Menteri Chin Kui untuk membasmi keluarga Paman Han Si Tiong, karena Chin Kui menganggap Paman Han Si Tiong berbahaya sebagai pembantu setia Jenderal Gak Hui yang dibenci dan dimusuhinya. Nah, itulah yang terjadi, Bi Lan. Kalau tidak demikian, tidak mungkin Souw Thian Liong mau membantu Ayah menghancurkan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong.

"Sebuah bukti pula, kalau keluarga kami, termasuk aku sendiri, mendendam kepada Paman Han Si Tiong, mungkinkah aku membela Ayah Ibumu sehingga aku dan Souw Thian Liong dijebloskan penjara ketika kami menentang Chin Kui? Aku, keponakan Pangeran Cu Si yang terbunuh dalam perang oleh Ayahmu, tidak mendendam kepada Ayahmu bahkan bersahabat. Bagaimana sekarang engkau memusuhi Ayahku yang kau anggap mengutus Ouw Kan untuk membunuh Ayahmu?”

Bi Lan tertegun, bingung harus berkata apa. Ia dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan puteri itu yang otomatis secara tidak langsung menyudutkannya sehingga kalau ia membalas dendam kepada Kaisar Kin akan kelihatan bahwa ialah yang jahat dan tidak mengenal budi!

“Akan tetapi, kalau tidak diutus oleh Kaisar Kin, mengapa Ouw Kan mati-matian memusuhi keluarga Ayahku, bahkan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan Ibu?” tanyanya dengan suara mengandung penasaran namun lemah.

“Aku sudah tahu sebabnya, Bi Lan. Karena Ayahku tidak mengutusnya, dan karena mereka yang mendukungnya, yaitu Pangeran Hiu Kit Bong dan Menteri Chin Kui telah tiada, maka hanya satu hal yang membuat Ouw Kan tiada hentinya berusaha membasmi keluarga Ayahmu. Dia mempunyai dendam tersendiri terhadap Paman Han Si Tiong.

"Pertama, karena dalam usahanya yang pertama kali dia gagal, bahkan setelah menculik dirimu, dia juga gagal karena engkau ditolong Jit Kong Lhama. Kemudian, beberapa kali dia yang merasa penasaran hendak mengulang serangannya terhadap Ayah dan Ibumu juga gagal ketika aku dan Souw Thian Liong menentang dan mengusirnya. Itulah sebabnya dia semakin penasaran.

"Engkau tentu dapat menyadarinya, Bi Lan. Kalau keluargaku memang mendendam kepada orang tuamu, mana mungkin aku membela mereka dan menentang Ouw Kan sendiri, bahkan aku meninggalkan tulisan untuk disimpan orang tuamu agar tulisanku itu mencegah Ouw Kan melakukan serangan lagi.”

10.2. KAU SIAPA? PUTERA PAMAN KUANG??!

Bi Lan menghela napas panjang. “Terima kasih atas semua penjelasanmu, Moguhai. Semua kata-katamu memang benar. Syukurlah bahwa aku belum terlanjur menyerang Ayahmu. Tulisan yang kau tinggalkan kepada orang tuaku memang telah menyelamatkan nyawa Ibuku, akan tetapi tidak menolong Ayahku.”

“Hemm......!” Moguhai mengerutkan alis dan mengepal tangannya. “Apakah Ouw Kan masih berani menyerang Ayah Ibumu?”

Bi Lan mengangguk. “Bukan dia sendiri, melainkan dua orang muridnya yang mewakilinya. Ayahku tewas dan Ibuku nyaris tewas, hanya terluka dan tidak jadi mereka bunuh setelah mereka melihat tulisanmu yang dibawa Ibuku.”

“Bi Lan, siapakah dua orang murid Ouw Kan itu?”

“Ketika aku datang ke rumah Ouw Kan dan berhasil membunuh jahanam itu, dua orang muridnya tidak ada dan menurut keterangan pembantu wanita yang berada di rumahnya, dua orang muridnya itu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.”

“Hemm, aku pernah melihat mereka sekali ketika mereka dimintakan pekerjaan sebagai pengawal istana oleh Ouw Kan akan tetapi ditolak Ayahku setelah Ayah mendengar ceritaku tentang sepak terjang Ouw Kan sebagai seorang datuk jahat. Jahanam mereka berdua itu! Aku akan mencari dan menghukum mereka! Berani mereka melanggar laranganku agar jangan mengganggu Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi.”

“Tidak perlu merepotkanmu, Moguhai. Aku sendiri yang akan mencari dan membunuh mereka!”

“Sama sekali tidak merepotkan Bi Lan. Ini merupakan kewajiban kami. Dua orang itu adalah orang utara, termasuk orang dari wilayah Kerajaan Kin, maka kalau mereka bersalah, kewajiban kamilah untuk menghukum mereka. Akan tetapi, setelah Paman Han Si Tiong meninggal dunia, bagaimana keadaan Ibumu, Bibi Liang Hong Yi? Aku suka sekali dan hubunganku dengan Ibumu akrab seperti keluarga sendiri.”

“Ibu.... ia baik-baik saja,” jawab Bi Lan sambil menundukkan mukanya. Hatinya seperti diremas rasanya setiap ia teringat kepada ibunya.

“Apakah Ibumu masih tinggal di dusun Kian-cung dekat telaga See-ouw itu?”

Bi Lan tidak mengatakan apa-apa karena saat itu ia tahu bahwa kalau ia bicara, suaranya gemetar. Ia hanya menggeleng kepalanya sambil menekan dan menenangkan hatinya.

“Ah, kalau begitu Bibi Liang Hong Yi sudah pindah? Ke mana pindahnya? Aku ingin sekali berkunjung dan menghiburnya. Kasihan Bibi Liang Hong Yi......”

“Aku tidak tahu......”

“Ehh? Engkau tidak tahu ke mana Ibumu pindah? Tidak tahu di mana kini ia tinggal? Bagaimana pula ini, Bi Lan?”

“Kami saling berpisah di kota Cin-koan, aku tidak tahu ke mana ia per-gi......”

“Akan tetapi...... mengapa?”

“Sudahlah, Moguhai, aku tidak dapat menerangkan. Pendeknya, kami bertengkar dan aku pergi mencari musuh-musuhku.” Ia bangkit berdiri. “Sekarang aku harus pergi. Terima kasih, engkau telah menyadarkan aku bahwa Ayahmu tidak bersalah. Maafkan kesalah-pahamanku ini.” Setelah berkata demikian, Bi Lan berkelebat dan keluar dari ruangan itu dengan cepat bagaikan burung terbang.

“Bi Lan......!” Moguhai yang penasaran berseru mengejar. Akan tetapi Bi Lan sudah melompat ke atas genteng dan melalui wuwungan istana itu ia menghilang di malam gelap.

Moguhai cepat memanggil pengawal dan memberi perintah agar jangan ada perajurit yang menghalangi Bi Lan keluar dari istana.

Pada keesokan harinya Kaisar Kin terkejut mendengar laporan pengawal tentang adanya seorang gadis yang membikin kacau di istana. Moguhai segera menenangkan ayahnya dan menceritakan kepada kaisar dan semua keluarganya tentang Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong yang datang hendak membalas dendam atas kematian Ayahnya karena mengira bahwa Ouw Kan diutus oleh Kaisar untuk membunuh keluarga Han Si Tiong.

“Akan tetapi saya telah dapat menyadarkannya dan ia kini tahu bahwa Ayahanda Kaisar tidak bersalah. Malam tadi, setelah kami bicara, ia mau mengerti dan ia pergi dengan damai.”

“Hemm, jadi berita tentang dibunuhnya Ouw Kan oleh seorang yang berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) itu...... Han Bi Lan itukah orangnya?”

“Benar, Ayah. Namun ia sama sekali bukan iblis wanita. Ia seorang pendekar wanita yang gagah pekasa!”

“Akan tetapi kami mendengar beberapa waktu yang lalu, Ang I Mo-li ini mengamuk dan membuat cedera para pria bangsawan dan hartawan di kota Cin-koan!”

“Saya juga mendengar akan berita itu, Ayahanda Kaisar. Akan tetapi saya tidak menanyakan hal itu kepadanya. Saya anggap hal itu tidak aneh karena para pria itu memang tidak tahu malu, kotor dan sudah sepatutnya mendapat hajaran agar jangan lagi berani mempermainkan wanita!”

“Ehhh......!” Kaisar tidak mau berbantahan lagi tentang hal itu. Memang telah menjadi kelemahan kaum pria dan dia sendiri pun tidak dapat menyangkal bahwa dahulu dia juga seperti mereka, suka pelesir bersenang-senang di rumah-rumah pelesir.

“Jadi Han Bi Lan telah membalas dendam. Apakah Ouw Kan yang dibunuhnya itu telah membunuh orang tuanya?”

“Bukan Ouw Kan, akan tetapi dia menyuruh dua orang muridnya untuk melakukan itu. Han Si Tiong tewas dan isterinya hanya terluka. Sungguh menyebalkan Ouw Kan itu. Dulu ketika dia menyerang Paman Han Si Tiong, saya dan Souw Thian Liong mencegahnya dan saya telah meninggalkan tulisan kepada Paman Han Si Tiong untuk mencegah Ouw Kan mengganggunya. Akan tetapi tetap saja dia menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Hemm, sama saja dengan dia menantang aku!”

Tiba-tiba saja Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata kepada puterinya dengan suara keren. “Moguhai, mulai sekarang aku melarang engkau bergaul dengan Souw Thian Liong!”

Moguhai terkejut bukan main. Wajahnya sampai berubah pucat mendengar kata-kata yang keras dan wajah Ayahnya membayangkan kemarahan kepadanya itu. Biasanya, ayahnya ini bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepadanya, akan tetapi kini ayahnya dengan sikap galak melarang dia bergaul dengan Souw Thian Liong! “Ayah! Mengapa Ayah berkata begitu?”

“Tidak perlu membantah. Engkau harus mentaati perintah Ayah sekali ini!”

“Ayah tidak adil! Lupakah Ayah bahwa Souw Thian Liong telah membantu kita, menyelamatkan Ayah bahkan membela kerajaan kita?”

“Moguhai, engkau sudah dewasa dan aku mengharapkan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa sendiri!”

“Ayah, apakah saya tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong karena dia seorang bangsa Han? Bukankah Ibu juga seorang wanita Han?”

“Cukup!” Kaisar bangkit dengan marah. “Ingat, Moguhai! Engkau Puteri istana, Puteri Kaisar. Aku selama ini selalu menuruti kehendakmu. Apakah sekarang engkau tidak mau menuruti kehendakku yang satu ini? Apakah engkau ingin menjadi seorang Puteri istana yang melanggar peraturan dan seorang anak yang murtad kepada ayahnya?” Setelah berkata demikian, Kaisar meninggalkan ruangan itu.

Moguhai juga bangkit dengan marah, akan tetapi ibunya menubruknya karena khawatir anaknya itu akan menjadi lupa diri dan membuka rahasia pribadinya bahwa ia bukan anak kandung Kaisar!

“Sudahlah, Moguhai. Sudah, jangan membantah Ayahmu. Bagaimanapun juga dia seorang yang teramat mencintamu dan semua keinginannya itu bukan karena membenci Souw Thian Liong, melainkan karena tidak ingin engkau berjodoh dengan seorang Han.”

“Kalau begitu, Ibu sudah menceritakan tentang perasaanku kepadanya?”

“Benar, dan dia sama sekali tidak setuju. Dia berkeras agar engkau berjodoh dengan bangsa Yucen yang mendirikan Wangsa Kin ini.”

“Akan tetapi, Ibu. Mengapa Ayah mempunyai pendirian seperti itu? Bukankah Ayah sendiri juga mengambil Ibu sebagai isterinya?”

“Ketahuilah, Moguhai. Bagi bangsa kita, yang dianggap sebagai keturunan langsung adalah dari ayah. Kalau ayahnya bangsa Yucen, maka anaknyapun bangsa Yucen, tidak perduli isterinya dari bangsa apa pun. Kalau engkau menikah dengan seorang berbangsa Han, kalau kelak mempunyai anak, keturunan itu akan dianggap sebagai bangsa Han dan tidak dapat mewarisi tahta kerajaan. Inilah sebabnya Ayahmu berkeras mengharuskan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa Yucen. Bukan sekali-kali dia tidak suka kepada Souw Thian Liong.”

“Aku tidak ingin mewarisi tahta kerajaan, juga tidak ingin anakku mewarisi tahta kerajaan! Bagaimanapun juga, aku adalah seorang berdarah Han murni!”

“Hushh, jangan begitu, anakku. Apakah engkau hendak mencemarkan namaku? Apakah engkau hendak melumuri aib kepada Ibumu sendiri?” kata Tan Siang Lin dengan suara gemetar karena ia sudah menangis sesenggukan.

Moguhai menyadari kesalahannya dan ia merangkul ibunya, menciumi ibunya. “Aduh, ampunkan aku, Ibu. Bukan maksudku untuk..... ah, sudahlah, aku mengaku salah. Akan tetapi, Ibu. Bagaimanapun juga, aku belum ingin menikah dan ingin pergi lagi untuk mencari dua orang murid Ouw Kan itu. Aku harus turun tangan sendiri menghukum mereka!”

Tan Siang Lin mengenal watak puterinya yang keras. Akan percuma saja kalau ia melarang. “Terserah kepadamu, anakku. Akan tetapi kuminta kepadamu, taatilah perintah Ayahmu. Lupakan Souw Thian Liong dan pilihlah seorang di antara para pemuda Yucen yang meminangmu. Di antara mereka pun terdapat banyak pemuda yang tampan dan baik.”

“Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa, Ibu. Akan tetapi aku dapat memastikan bahwa aku masih belum memikirkan tentang jodoh. Mengenai Souw Thian Liong, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap diriku, maka tentu saja aku pun tidak akan terlalu memikirkan dia.”

* * *

Pada keesokan harinya, ketika Kaisar mendengar laporan selirnya yang terkasih, Tan Siang Lin, bahwa Moguhai telah meninggalkan istana lagi, dia hanya menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia terlalu sayang kepada puterinya itu, maka dia tidak mau melakukan kekerasan melarang ia keluar dari istana setiap saat yang dikehendakinya.

Akan tetapi, tetap saja dia tidak akan menyetujui dan mengijinkan kalau puterinya menikah dengan bangsa Han sehingga cucunya nanti terlahir sebagai orang Han. Semenjak dulu, dia menganggap bangsa Han adalah bangsa yang lemah, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ada orang Han yang gagah perkasa seperti Tiong Lee Cin-jin dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja kesannya terhadap bangsa Han lemah, hal ini terpengaruh oleh Kaisar Sung yang dianggapnya lemah.

Sementara itu, pagi-pagi sekali Moguhai meninggalkan istana. Tidak ada seorang pun pengawal berani menghalanginya. Ia menunggang seekor kuda putih yang bagus, melarikan kudanya dengan santai keluar kota raja melalui pintu gerbang selatan.

Pagi hari itu hawanya sejuk sekali. Matahari belum tampak, akan tetapi sinarnya telah mendatangkan kehangatan dan memberi penerangan di permukaan bumi. Di jalan raya yang menuju ke pintu gerbang kota raja, hanya ada beberapa orang petani memikul dagangan hasil bumi. Jalan raya itu masih sepi dan Moguhai masih menjalankan kudanya dengan santai.

Seperti biasa, kalau ia keluar dari kota raja dan tiba di daerah yang sepi, di alam terbuka dengan sawah ladang terbentang luas, di mana angin semilir dengan segar dan udara yang amat jernih dapat direguk sepuas-nya, ia merasa seolah dirinya terbebas dari himpitan.

Di istana, ia merasa terhimpit, bukan hanya terhimpit oleh bangunan istana yang besar dan tinggi, di mana-mana bertemu dinding, ruangan dan kamar-kamar, bertemu dengan banyak penghuni istana, bukan saja keluarga Kaisar, melain ebih banyak lagi dayang, pelayan dan pengawal, akan tetapi juga terhimpit segala macam peraturan yang harus ditaatinya sebagai seorang puteri Kaisar.

Terlalu dihormati dan disanjung-sanjung, dan ia pun harus mengatur tingkah lakunya, mana yang tidak patut dilakukan seorang puteri istana, mana yang seharusnya ia lakukan dan sikap tertentu bagaimana yang harus ia ambil. Terkadang ia merasa jenuh dan muak dengan itu semua! Ia ingin bebas!

Tertawa bebas sesukanya tanpa sikap dibuat-buat, bicara keras menurut dorongan hatinya, mengeluarkan pendapat apa saja yang timbul di hatinya, duduk atau berdiri sesukanya dan seenaknya tanpa dikekang peraturan. Begitu keluar dari kota raja dan berada di alam terbuka, ia merasa bebas, segar dan bahagia bagaikan seekor burung yang baru terlepas dari sangkar emas!

Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki menunggang kuda yang berlari cepat. Moguhai mengerutkan alisnya. Mengganggu ketenangan saja, pikirnya. Akan tetapi ia tidak dapat melarang. Orang itu berkuda di jalan raya, jalan umum dan biarpun ia seorang puteri Kaisar, ia merasa tidak berhak melarang atau menegurnya.

Agar orang itu cepat lewat dan ia dapat menikmati keheningan kembali, Moguhai meminggirkan kuda putihnya dan menanti untuk membiarkan orang itu lewat. Akan tetapi penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Moguhai! Gadis itu memandang penuh perhatian.

Penunggang kuda itu seorang pemuda berusia sekitar duapuluh satu tahun, wajahnya tampan dan pandang matanya lembut, tubuhnya sedang dan melihat pakaiannya, jelas bahwa dia seorang pemuda bangsawan Kerajaan Kin!

Moguhai merasa sudah mengenal wajah pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan siapa dia. Pemuda itu menahan kudanya yang masih terengah, lalu melompat turun dan memegang kendali dekat mulut kudanya yang kini tenang kembali. Dia lalu memandang kepada Moguhai dan tersenyum.

“Adinda Moguhai, lupakah engkau kepadaku?”

Moguhai mengerutkan alisnya dan melihat pemuda itu turun dari atas kudanya dan pemuda itu jelas seorang bangsawan, ia pun merasa terikat peraturan sopan santun dan ia pun melompat turun, lalu dengan tangan kiri memegangi kendali kudanya. Mereka saling pandang dan Moguhai bertanya ragu.

“Eh, sungguh aku tidak kenal.... siapakah engkau?”

“Aku Kuang Lin.”

“Kuang Lin......? Siapa, ya......?”

“Aih, agaknya engkau sudah lupa sama sekali, akan tetapi biarpun baru bertemu denganmu beberapa kali saja ketika kita masih remaja, aku tidak lupa padamu. Adinda Moguhai, aku adalah putera Pangeran Kuang. Bukankah engkau akrab dengan Ayahku?”

“Ahhh......! Kiranya engkau putera Paman Kuang? Ya, aku ingat sekarang! Bukankah engkau yang menurut Paman Kuang dulu dikirim ke selatan agar mempelajari sastra Han kepada para sastrawan di Kerajaan Sung?”

“Benar! Kita pernah saling bertemu beberapa kali sebelum aku dikirim ke selatan, kurang lebih empat tahun yang lalu.”

“Ya, ya, aku ingat sekarang. Ketika itu aku berkunjung ke benteng di perbatasan selatan di mana Paman Kuang bertugas memimpin pasukan. Engkau.... rasanya engkau masih kecil ketika itu, Kuang Lin!”

Pemuda itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Gadis itu menyebut namanya begitu saja, tanpa tata-cara lagi. Sebetulnya karena dia lebih tua, gadis itu harus menyebutnya kakanda dan dia tadi sudah menyebutnya adinda. Akan tetapi mendengar gadis itu menyebut na-manya begitu saja yang tentu lebih akrab tanpa embel-embel seperti kebiasaan bangsa pribumi Han, dia pun merasa lebih bebas.

“Tentu saja tidak sedewasa sekarang, Moguhai, akan tetapi aku bukan anak kecil lagi ketika itu. Kita sama-sama sudah remaja. Akan tetapi rasanya bagiku tidak banyak berubah sejak dulu, maka dengan mudah aku dapat mengenalmu. Engkau masih tetap mungil dan cantik!”

Pujian begini bagi bangsa Yucen merupakan hal biasa walaupun bagi bangsa pribumi Han mungkin dianggap tidak sopan. Moguhai tersenyum. “Selama empat tahun di selatan itu, engkau mempelajari apa saja, Kuang Lin?”

“Ah, bermacam-macamlah, terutama kesusasteraan dan membaca kitab-kitab, terutama Su Si (Empat Kitab).”

“Wah tentu engkau kini menjadi seorang sastrawan besar, Kuang Lin, pantas engkau pandai merayu!”

Kuang Lin membelalakkan matanya, seperti terheran, akan tetapi dia lalu tertawa. Tawanya bebas lepas dan wajahnya menjadi cerah dan tampan sekali ketika tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku memuji engkau cantik mungil itu kausebut merayu? Ha-ha-ha, agaknya engkaupun sudah ketularan kebiasaan para gadis Han yang menganggap pujian tulus sebagai rayuan. Engkau memang cantik, Moguhai, cantik jelita, bagaimana aku dapat mengatakan lain? Kalau aku bilang engkau jelek, berarti aku berbohong!”

Moguhai tertawa. Boleh juga pemuda ini, pikirnya, dapat mendatangkan suasana gembira. Pemuda terpelajar yang tampaknya lembut ini ternyata lincah dan gembira, seperti Paman Kuang, pikirnya.

“He-he-heh, engkau lucu, Kuang Lin. Mengingatkan aku kepada Ayahmu. Sekarang katakan terus terang, mengapa engkau menyusul aku?”

“Moguhai, rasanya tidak enak kalau kita bicara di tengah jalan begini. Mari kita tambatkan kuda kita di pohon itu dan kita duduk di atas batu-batu di sana itu agar kita dapat bicara dengan leluasa. Bagaimana, tidak keberatankah engkau menerima ajakanku? Sebentar saja kita bicara dan aku akan menjawab pertanyaanmu tadi.”

“Baiklah, aku pun tidak tergesa-gesa, Kuang Lin.”

Mereka menambatkan kuda mereka pada batang pohon, lalu mereka duduk di atas batu-batu yang terdapat di tepi jalan. Orang-orang yang berlalu lalang mulai banyak. Akan tetapi melihat dua orang muda yang dari pakaiannya jelas merupakan muda-mudi bangsawan itu, para pedagang hasil bumi yang datang dari dusun-dusun itu mengambil jalan di tepi yang berlawanan.

Dan dengan hormat mereka berjalan dengan menundukkan muka, tidak berani memandang. Tidak ada di antara mereka yang mengetahui bahwa dua orang muda itu adalah keturunan bangsawan tinggi, Si Gadis puteri Kaisar dan Si Pemuda putera pangeran yang menjadi panglima besar!

“Nah, sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku dan bagaimana engkau tahu bahwa aku sedang hendak meninggalkan kota raja?”

“Nanti dulu, Moguhai. Maukah engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku sengaja menyusulmu?” Moguhai tersenyum. “Apa sukarnya? Engkau melarikan kuda terburu-buru dan ketika melihat aku langsung berhenti. Apa lagi artinya kalau bukan engkau sengaja menyusul aku? Hanya aku tidak tahu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku keluar kota raja, dan apa maksudmu menyusul aku?”

10.3. AH! KAU MENGALAHKAN DENGAN SAJAK??

Pemuda itu menghela napas panjang. “Sungguh berat bagiku melakukan hal ini, Moguhai. Aku sama sekali tidak berhak mencampuri urusanmu. Akan tetapi aku terpaksa melakukan ini untuk mentaati perintah.”

“Hemm, perintah siapa, Kuang Lin?”

“Perintah Ayahku.”

“Paman Kuang? Apa urusannya Paman Kuang menyuruh engkau menyusul aku?” Moguhai bertanya, penasaran.

Mendengar suara gadis itu agak ketus, Kuang Lin berkata dengan lembut membujuk. “Moguhai, engkau tahu betapa sayangnya Ayah kepadamu. Biasanya engkau demikian akrab dengan dia.”

“Memang, dia kuanggap sebagai orang tua sendiri atau sebagai guru yang sering kumintai nasihat, akan tetapi urusan pribadiku tidak boleh dicampuri siapapun juga, termasuk Ayahmu atau orang tuaku sendiri sekalipun!”

“Maafkan aku, Moguhai, dan maafkan Ayahku. Sesungguhnya, Ayahku juga mengetahui benar bahwa dia tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi dia pun terpaksa menyuruh aku menyusulmu ini, Moguhai.”

“Terpaksa? Siapa yang memaksanya?”

“Tidak ada yang memaksanya, akan tetapi dia tidak dapat menolak permintaan Ibumu.”

“Permintaan Ibuku? Apa maksudmu, Kuang Lin?”

“Begini, Moguhai, akan kuceritakan semuanya kepadamu. Malam tadi, tanpa disangka-sanka, Ibumu datang berkunjung ke rumah kami. Yang menemuinya adalah Ayahku, Ibuku dan aku sendiri. Dalam pertemuan itu, Ibumu menceritakan kepada Ayahku, bahwa engkau akan meninggalkan istana lagi pada pagi hari ini. Kata Ibumu, Sri Baginda Kaisar dan Ibumu tidak dapat mencegahmu pergi padahal mereka berdua tidak menghendaki engkau pergi.

"Mereka terlalu sayang kepadamu, Moguhai, dan sudah terlalu sering dan terlalu lama engkau meninggalkan mereka sehingga mereka selalu khawatir akan keselamatanmu. Maklumlah, semua orang tua juga seperti itu perasaannya, apa lagi engkau adalah seorang anak perempuan. Kemudian, Ibumu minta kepada Ayahku agar Ayah suka membujukmu agar engkau tidak pergi meninggalkan istana.

"Nah, Ayah tentu saja tidak dapat menolak permintaan Ibumu dan Ayah lalu memerintahkan aku untuk menghadang engkau di pintu gerbang selatan karena Ayah menduga bahwa engkau tentu akan merantau ke selatan. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang, aku terlambat. Ketika kuta¬nyakan kepada perajurit penjaga pintu gerbang, aku diberitahu bahwa engkau telah keluar dari pintu gerbang, menunggang kuda ke selatan.

"Demikianlah, aku lalu mengejarmu dan untung engkau menjalankan kuda dengan santai sehingga aku dapat menyusulmu. Nah, demikianlah ceritanya mengapa aku menyusulmu, Moguhai. Kalau perbuatanku ini me-nyinggung hatimu dan membuat engkau marah dan tidak senang, aku minta maaf dan aku mintakan maaf untuk Ayahku.”

Moguhai menghela napas panjang. Tidak mungkin ia dapat marah kalau pemuda ini bersikap dan bercerita seperti itu. Pula, ia pun tidak dapat marah kepada Paman Kuang yang sejak dulu dihormatinya. Kuang Lin tak bersalah, juga Paman Kuang tidak bersalah. Apa pun yang dilakukan ibunya, juga ayahnya, menunjukkan bahwa mereka amat menyayangnya, maka usaha mereka menghalanginya pergi meninggalkan istana adalah wajar dan tidak dapat disalahkan.

“Kuang Lin, apakah Ibu juga menceritakan mengapa aku hendak pergi merantau lagi?”

“Tidak, Moguhai. Hal itu pun ditanyakan Ayahku kepada Ibumu, akan tetapi Ibumu menjawab Beliau juga tidak tahu mengapa engkau hendak pergi. Dan sekiranya aku boleh mengetahui, mengapa engkau hendak pergi meninggalkan istana dan membuat Ayah Bundamu bersedih, Moguhai?”

Moguhai memandang ragu. Tentu saja ia tidak mau bercerita kepada siapapun juga tentang persoalan yang dihadapinya, yaitu tentang perjodohan, tentang ia harus berjodoh dengan bangsa Yucen dan tentang ia tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong.

“Maaf, Moguhai. Aku bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi kalau engkau mau menceritakan mengapa engkau hendak meninggal istana, siapa tahu barang kali aku dapat membantumu.”

Moguhai tersenyum. “Bagaimana engkau akan dapat membantuku, Kuang Lin? Baiklah kalau engkau ingin mengetahui. Aku meninggalkan kota raja untuk mencari dua orang yang harus kuberi hukuman berat karena mereka berdua melanggar laranganku dan telah membunuh sahabat yang kuhormati.”

“Hemm, begitukah? Siapakah mereka yang berani menentangmu itu? Dan siapa pula yang mereka bunuh?”

“Yang mereka bunuh adalah Paman Han Si Tiong.”

“Ah, bekas Panglima Pasukan Halilintar Kerajaan Sung yang gagah perka¬sa itu? Aku pernah mendengar cerita Ayah tentang Han Si Tiong dan isterinya yang gagah perkasa, bahkan suami isteri itu ikut berjasa menggulingkan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung yang korup dan hendak memberontak. Bahkan menurut cerita Ayah, engkau juga membantu Kerajaan Sung menjatuhkan pengkhianat itu.”

“Benar, Paman Han Si Tiong itu yang terbunuh sedangkan Bibi Liang Hong Yi terluka. Padahal aku sudah memberi surat kepada mereka untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang berani mengganggunya!”

''Siapakah mereka yang begitu jahat?”

“Mereka adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.”

“Hemm, aku tahu siapa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, datuk sesat itu. Bu¬kankah belum lama ini dia telah dibunuh oleh..... yang berjuluk Ang I Mo-li?”

“Benar, Ang I Mo-li itu adalah seorang pendekar wanita, puteri Paman Han Si Tiong. Akan tetapi mendiang Ouw Kan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Karena Ang I Mo-li tadinya mengira bahwa Ayahanda Kaisar yang mengutus para pembunuh Ayahnya, maka aku sendiri harus membantunya mencari dua orang pembunuh itu. Selain untuk menghukum mereka yang tidak mengacuhkan laranganku, juga untuk membersihkan nama Sri Baginda Kaisar.”

“Aku mengerti sekarang dan aku tidak menyalahkan kalau engkau mencari mereka, Moguhai. Kalau begitu, aku akan membantumu, Moguhai!”

Moguhai tertawa. “He-he-heh, dengan apa engkau akan membantu aku, Kuang Lin? Dua orang murid Ouw Kan itu lihai sekali dan engkau adalah seorang sastrawan! Apakah engkau akan mengalahkan mereka dengan menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah?”

Pemuda itu tidak marah dan tertawa pula. “Ha-ha-ha, kalau perlu. Siapa tahu dengan tulisan sajakku mereka akan takluk, Moguhai!”

“Sudahlah, Kuang Lin. Sampaikan terima kasihku kepada Paman Kuang atas perhatiannya dan terima kasih pula kepadamu yang menawarkan bantuan. Aku harus pergi sekarang. Lihat, matahari sudah tampak sekarang!” Tiba-tiba Moguhai melompat ke atas punggung kudanya, melepaskan ikatan kendali dan membedal kudanya sehingga binatang itu meringkik dan lari dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.

“Moguhai......!!” Kuang Lin memanggil, akan tetapi gadis itu telah membalapkan kudanya dan telah jauh, sama sekali tidak menoleh atau menjawab. Kuang Lin berdiri mengikuti bayangan gadis itu dengan matanya, menghela napas panjang lalu dia pun menunggang kudanya, kembali ke kota raja. Dia harus melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan usahanya membujuk Moguhai.

* * *

Pulau yang berada di Laut Timur itu terpencil. Dari jauh tampak bentuknya melengkung seperti tubuh seekor udang. Karena bentuknya inilah maka pulau ini disebut Pulau Udang. Sebetulnya pulau itu tidak terlalu jauh dari pantai daratan dan mudah dikunjungi para nelayan. Akan tetapi tidak ada seorang pun nelayan berani berkunjung ke pulau itu, bahkan mendekatinya pun tidak berani. Mereka hanya berani mencari ikan paling dekat dua lie jauhnya dari Pulau Udang.

Semua orang tahu belaka bahwa pulau itu dikuasai seorang yang amat ditakuti. Tocu (Majikan Pulau) itu adalah Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong yang dikenal sebagai seorang datuk kang-ouw yang menyeramkan. Setelah setiap orang nelayan berani mendekati pulau itu tewas.

Maka tidak ada lagi yang berani melanggar batas yang ditetapkan penguasa pulau itu, yakni tidak lebih dekat dari dua lie dari pulau. Yang tinggal di Pulau Udang adalah Tung-sai Kui Tong dan anak buahya yang bersama keluarga mereka tinggal di pulau itu. Jumlah mereka berikut keluarga mereka ada tiga ratusan orang. Yang menjadi kepala dari keluarga-keluarga itu adalah murid atau anak buah Pulau Udang.

Di antara mereka, yang menjadi pengawal pribadi Singa Timur, adalah limabelas orang gagu tuli. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tadinya pengawal pribadi ini ada duapuluh orang, akan tetapi lima orang di antara mereka tewas di tangan Can Kok.

Kui Tong yang bertubuh tinggi besar bermuka singa yang menyeramkan, hidup bagaikan seorang raja di pulau itu. Tidak seperti para pria yang memiliki kekuasaan dan kekayaan seperti dia, Kui Tong hanya mempunyai seorang isteri. Padahal pada jaman itu, setiap orang pria yang kaya dan berkuasa, memiliki sedikitnya tiga orang selir di samping isterinya.

Kui Tong mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Dia berusia enampuluh tahun lebih dan isterinya berusia empatpuluhan tahun, seorang wanita yang cantik dan lembut. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapanbelas tahun bernama Kui Leng Hwa. Gadis ini cantik dan lembut seperti ibunya, akan tetapi ia sama sekali bukan gadis lemah. Sejak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari Ayahnya yang amat mencintainya.

Hari itu menjelang sore dan para anak buah Pulau Udang sudah pulang ke pondok masing-masing setelah melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka. Ada yang menjadi nelayan dan ada pula yang menggarap tanah di pulau itu.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara menggereng atau mengaum seperti auman singa yang menggetarkan seluruh pulau. Mereka hanya menengok ke arah rumah induk tempat tinggal ketua atau majikan mereka dan tidak ada yang berani bersuara. Mereka merasa gentar sekali karena mengenal bahwa suara dahsyat itu adalah suara majikan mereka yang mengeluarkan auman seperti itu apabila dia sedang marah.

Mereka semua tahu bahwa kalau suara itu dikerahkan dan dipusatkan untuk menyerang lawan, suara itu menjadi ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Sakti) yang dapat merobohkan lawan. Orang yang tidak amat kuat tenaga saktinya, diserang dengan auman ini dapat roboh dan mati seketika karena jantung mereka terguncang hebat!

Akan tetapi auman yang sekarang dikeluarkan majikan mereka itu, hanya menggetarkan seluruh pulau dengan gemanya dan tidak mengandung tenaga menyerang, tanda bahwa majikan mereka sedang marah besar. Di ruangan sebelah dalam rumah besar itu, Kui Tong memang sedang marah bukan main. Dia duduk di atas kursi menghadapi sebuah meja besar. Di sudut kamar, menghadapnya, berdiri seorang wanita setengah tua dan seorang gadis.

Dua orang wanita ini cantik jelita dan memiliki bentuk wajah yang mirip satu sama lain. Mereka adalah Nyonya Kui dan puterinya, Kui Leng Hwa. Mereka berdua berdiri dan Leng Hwa merangkul pundak ibunya seolah hendak melindunginya. Mereka berdua sedang menghadapi Kui Tong yang marah-marah.

“Engkau tidak bisa memaksa anak kita yang satu-satunya ini untuk berjodoh dengan keponakanmu yang gila itu! Seekor harimau pun tidak akan mencelakakan anaknya! Apakah engkau hendak menyengsarakan kehidupan Leng Hwa dengan memaksanya menjadi isteri orang gila?” kata Nyonya Kui, suaranya tetap lembut walaupun ia marah sekali.

“Siapa bilang Can Kok gila? Dia menjadi seorang yang sakti luar biasa, maka wataknya menjadi aneh. Akan tetapi dialah harapan kami, Empat Datuk Besar, untuk membalaskan sakit hati kami dan untuk itu, sudah sepatutnya kalau dia menjadi mantuku!”

Kui Tong membentak. Dia marah sekali, mukanya yang seperti muka singa itu berubah merah, akan tetapi dia tidak berani menentang pandang mata isterinya karena Datuk Besar yang sesat dan kejam ini tiba-tiba menjadi lemah kalau bertemu dengan sinar mata isterinya. Dia amat mencinta isterinya, lebih dari apa pun di dunia ini!

“Ayah, aku tidak mau menjadi isteri Can Kok. Daripada menjadi isteri orang gila itu, lebih baik aku mati!” Tiba-tiba Kui Leng Hwa berkata dengan tegas.

“Brakkkk!!” Meja itu hancur berkeping-keping ketika Kui Tong menghantamnya dengan tamparan tangannya. Dia bangkit berdiri dan matanya mencorong karena marah, memandang kepada puterinya.

“Apa? Engkau bilang lebih baik mati? Kalau begitu matilah!” Dia menyambar sebatang tombak dari rak, yaitu senjata andalannya yang membuat dia disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding) dan siap membunuh puterinya dengan tombak itu.

Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Kui menghadang di depannya dan membusungkan dadanya. “Langkahi mayatku dulu kalau engkau hendak membunuh anakku!” Nyonya yang biasanya lembut itu kini menatap wajah suaminya dengan sinar mata bersinar-sinar. Sejenak mereka saling berpandangan.

Akan tetapi tidak lama. Kui Tong Datuk Besar yang terkenal sebagai Singa Timur dan yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw tidak kuat bertahan beradu pandang dengan isterinya yang lembut dan lemah itu. Dia menundukkan pandang matanya.

“Sialan!” Dia menggerutu lalu dia menancapkan tombaknya di lantai. Tombak itu menghunjam lantai sampai setengahnya dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan muka tunduk.

“Ibu......!” Leng Hwa kini menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis. Tadi, di depan ayahnya yang marah-marah dan yang siap membunuhnya, gadis ini tidak tampak gentar dan sama sekali tidak menangis. Akan tetapi setelah ayahnya pergi, ia tidak mampu menahan kesedihan hatinya dan merangkul ibunya sambil menangis.

Mengagumkan sekali sikap Nyonya Kui, wanita yang lembut dan lemah itu. Ia sama sekali tidak menangis, hanya alisnya berkerut dan ia berkata kepada puterinya. “Sudahlah, Leng Hwa. Mari kita bicara di dalam kamar.” Ia mengajak puterinya masuk ke kamar Leng Hwa dan keduanya duduk di tepi pembaringan.

“Nah, sekarang katakan terus terang. Engkau mati-matian menolak kehendak Ayahmu untuk menjodohkanmu dengan Can Kok. Sesungguhnya, apa alasannya? Apakah hanya karena Can Kok itu seperti orang yang miring otaknya?”

“Ibu, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isteri seorang yang gila dan mengerikan itu? Dahulu, Can Kok memang seorang pemuda yang baik dan sejak kecil menjadi teman baikku. Akan tetapi setelah dia dilatih oleh Empat Datuk Besar, dia menjadi gila dan mengerikan. Bahkan dia telah membunuh lima orang pengawal tuli gagu dari Ayah. Dulu memang aku tidak menolak ketika Ayah merencanakan untuk menjodohkan aku dengan Can Kok. Akan tetapi sekarang, ah, aku tidak sudi, Ibu.”

“Akan tetapi, mengapa engkau memilih mati daripada menikah dengan dia, Leng Hwa?”

“Aku...... aku sudah bersumpah, lbu......”

“Bersumpah?”

“Ya, aku sudah bersumpah tidak akan menikah dan kalau dipaksa lebih baik mati kalau tidak......”

“Ya......?”

“......kalau tidak dengan dia...... ah, Ibu tentu telah tahu……”

“Hemm, engkau sungguh mencinta Ho Lam itu?”

Gadis itu menjadi merah kedua pipinya dan ia mengangguk. “Dia seorang yang amat baik, Ibu. Dia lembut, bijaksana, dan selalu bersikap menentang kalau ada anak buah Pulau Udang melakukan kekejaman.”

Ibunya menghela napas panjang. “Ya, dia keponakanku dan dia memang lain. Karena wataknya yang bersih dia dibenci oleh Ayahmu dan sekiranya dia bukan keponakanku yang kulindungi, tentu dia sudah dibunuh Ayahmu sejak dulu. Akan tetapi dia yatim piatu, tiada sanak kelu¬arga... hanya aku satu-satunya keluarga. Aku adik Ayahnya.....”

“Kami sudah berjanji sehidup semati, Ibu. Aku siap hidup sederhana dan seadanya, sebagai isterinya.”

Nyonya Kui menghela napas panjang. “Aku dapat memahami perasaanmu, Leng Hwa, dan aku tidak menyalahkanmu. Aku bahkan setuju sepenuhnya kalau dapat berjodoh dengan Ho Lam. Akan tetapi apakah Ho Lam juga amat mencintamu?”

“Dia sanggup mengorbankan apa saja, bahkan nyawanya untukku, Ibu.”

“Hemm. Ayahmu tentu akan mati-matian menentang perjodohanmu dengan Ho Lam.”

“Kami sudah mengambil keputusan bulat, ibu. Kami akan nekat dan siap untuk mati di tangan Ayah, kalau Ayah memang tega kepadaku.”

“Ayahmu pasti tega. Biarpun dia amat sayang kepadamu, namun dia jauh lebih sayang kepada dirinya sendiri. Tidak ada jalan lain, Leng Hwa. Engkau harus pergi bersama Ho Lam dari pulau ini. Malam ini juga sebelum terlambat!”

“lbu......!”

“Sudahlah engkau harus menurut kata-kataku. Ini jalan satu-satunya. Kalau terlambat, jangan harap engkau akan dapat berjodoh dengan Ho Lam. Ayahmu tidak akan membunuhmu, akan tetapi dia dapat memaksamu. Dia itu licik dan cerdik. Dia dapat menggunakan racun untuk menjebakmu sehingga engkau akan menyerahkan diri dengan rela kepada siapa pun yang dikehendaki Ayahmu. Cepat berkemas! Aku sendiri yang akan mengatur agar Ho Lam bersiap-siap dan menyediakan perahu untuk kalian.”

Malam itu Pulau Udang kedatangan seorang tamu yang sudah dikenal oleh semua anggauta Pulau Udang, dan juga ditakuti karena tamu itu pernah membunuh lima orang pengawal Kui Tong yang gagu dan tuli. Tamu itu bukan lain adalah Can Kok. Para petugas jaga tidak ada yang berani menentangnya, bahkan menyambutnya dengan hormat lalu melaporkan kedatangan itu kepada Kui Tong.

Mendengar akan kunjungan pemuda itu, dengan girang Kui Tong keluar menyambut. “Ah, engkau Can Kok? Aku girang sekali engkau pulang!” kata datuk itu sambil tersenyum dengan wajah berseri. Dia merasa bangga kepada Can Kok.

Pemuda ini adalah keponakannya, juga muridnya dan kini dia tahu bahwa pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Sungguh membanggakan sekali untuk memamerkan Can Kok sebagai keponakan dan muridnya!

“Paman,” kata Can Kok sambil memberi hormat.

Kui Tong merasa girang bahwa kini Can Kok tidak liar lagi. Agaknya pemuda itu telah mulai terbiasa dan dapat mengendalikan tenaga sakti yang amat dahsyat dalam dirinya, yang membuat dia ketika itu menjadi liar tak terkendali sehingga mengamuk, bahkan membunuh lima orang pengawalnya di Pulau lblis itu. Dia lalu menggandeng tangan pemuda itu. “Mari masuk, kita bicara di dalam, Can Kok!”

Setelah duduk berdua dalam ruangan, Kui Tong segera bertanya, “Bagaimana hasilnya usahamu mencari dan membunuh Tiong Lee Cin-jin, Can Kok'?”

“Untuk membicarakan itulah aku datang ini, Paman. Aku belum dapat menemukan di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi aku telah bertemu dengan dua orang muridnya.”

“Siapa mereka?”

“Mereka berjuluk Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li.”

“Ah, aku pernah mendengar nama gadis-gadis tokoh kang-ouw itu! Hemm, jadi mereka adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Lalu bagaimana, apakah engkau sudah menangkap atau membunuh mereka?”

Can Kok menggeleng kepalanya. “Ketika itu aku bertemu dengan Kui Tung.”

“Eh? Siapa orang yang namanya mirip dengan namaku itu...?”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.