Jodoh Si Naga Langit Jilid 05

Sonny Ogawa
05.1. PESIAR KE PULAU IBLIS

“Di sana, Sicu,” kakek itu menuding ke arah sekumpulan perahu yang berada di tepi danau, lalu dia melangkah menuju ke sana tanpa bicara lagi.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Thian Liong mengikuti dari belakang. Suara kakek itu tidak cocok dengan keadaan jasmaninya yang tampak lemah, kurus dan pucat. Suara itu bening lembut. Juga dia merasa heran mengapa kakek ini menyebutnya sicu, sebutan yang biasa diberikan kepada seorang laki-laki yang gagah.

Padahal dia sama sekali tidak tampak sebagai seorang pendekar. Pakaiannya biasa, juga pedang Thian-liong-kiam tersembunyi dalam bungkusan pakaiannya. Setelah tiba di situ, kakek itu menarik sebuah perahu keluar dari kumpulan perahu itu, menyeretnya ke air. Melihat kakek itu kelihatan lemah, Thian Liong membantunya dan akhirnya perahu itu dapat ditarik ke air.

“Sicu hendak menyewa perahu saja, mendayung sendiri atau ingin saya yang menemani dan mendayung?” pertanyaan ini biasa diajukan para pemilik perahu karena di antara para pelancong, ada yang minta si pemilik perahu mendayung dan mereka hanya duduk menikmati pemandangan dari dalam perahu.

Thian Liong melihat keadaan perahu itu dengan sapuan pandang matanya. Sebuah perahu yang tidak besar, dengan payon di bagian tengah, keadaannya sudah tua dan sederhana dan di kedua ujung perahu, tampak basah. Agaknya memang ada kebocoran di sana-sini dan biarpun bocoran itu sudah ditambal dengan kayu, tetap saja air masih merembes sehingga dasar perahu menjadi basah.

Tentu saja dalam hatinya Thian Liong tidak merasa senang dengan perahu yang benar-benar buruk dan kalau bocoran itu pecah lagi memang dapat membahayakan. Akan tetapi untuk membatalkan, dia merasa tidak tega. Agaknya kakek tukang perahu itu dapat melihat keraguan pada wajah Thian Liong yang mengerutkan alisnya.

“Jangan khawatir, Sicu. Perahu ini sudah menemani saya mengarungi telaga ini selama bertahun-tahun. Biarpun tua dan buruk, perahu ini kokoh kuat dan dapat melaju dengan cepat, mempunyai keseimbangan yang baik sekali sehingga tidak mudah terguling.”

Thian Liong melihat betapa kakek itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, tanpa menoleh kepadanya. Dia merasa tidak nyaman kalau harus mendayung sendiri. Kakek ini tentu berpengalaman sekali dan akan lebih aman rasanya kalau ikut dalam perahu. Thian Liong merasa khawatir juga kalau sampai terjadi perahu terguling atau tenggelam.

Dia boleh jadi dapat membela diri dengan baiknya kalau berada di darat. Akan tetapi di air, kepandaiannya renang hanya biasa saja dan kalau sampai terjadi serangan dalam air, dia akan menjadi orang yang lemah. Bahkan dalam hal menggunakan dayung saja dulu dia harus mengaku kalah terhadap Puteri Moguhai!

“Biar engkau saja yang mendayung, Paman. Saya tidak pandai mendayung perahu,” kata Thian Liong.

“Sicu hendak pergi ke manakah?”

“Hanya melihat-lihat saja, Paman. Bawa saja perahu ini ke bagian terindah di telaga ini.”

“Baik, naiklah, Sicu.”

Mereka berdua naik. Kakek itu mengambil tempat duduk dan memegang dua buah dayung di kanan kiri perahu. Thian Liong duduk di bawah payonan dan mereka duduk berhadapan.

“Sicu, sebaiknya sicu menghadap ke depan agar dapat menikmati pemandangan indah di bagian depan.”

“Nanti dulu, Paman. Saya ingin bicara dulu dengan Paman. Saya harap Paman jangan menyebut sicu kepada saya. Saya hanya seorang biasa seperti Paman, seorang perantau yang sederhana dan tidak punya apa-apa. Nama saya Thian Liong, Souw Thian Liong. Panggil saja nama saya, tanpa Sicu.”

“Akan tetapi, Souw-kongcu (Tuan Muda Souw)......”

“Wah, apa lagi sebutan kongcu itu sama sekali tidak pantas untuk saya, Paman. Lihat, apakah ada seorang tuan muda berpakaian seperti saya ini? Saya mungkin lebih miskin daripada Paman. Setidaknya Paman tentu mempunyai tempat tinggal, dan punya perahu ini. Sedangkan saya, tempat tinggal pun tidak punya. Sebut saja nama saya, Paman.”

Kakek itu mengamati wajah Thian Liong dengan sinar mata penuh selidik, lalu mulutnya mengembangkan senyum. “Baiklah, Thian Liong. Kalau begitu, engkau datang ke tempat ini hendak mencari apakah?”

“Ah, tidak mencari apa-apa, Paman. Hanya tertarik oleh keindahan telaga ini dan ingin melihat-lihat.”

“Kalau begitu berputarlah, Sicu...... eh, Thian Liong dan lihat ke depan. Engkau melihat gerombolam pohon di sana itu? Itu dikenal penduduk sekitar telaga sebagai Hutan Ular. Tidak ada seorang pemburu pun berani memasuki hutan itu karena selain disana banyak terdapat ular-ular besar yang dapat menelan manusia, juga terdapat banyak ular-ular kecil yang amat berbisa.”

Thian Liong memandang dan merasa senang. Kakek ini tidak hanya pandai mendayung perahu karena dia merasa betapa perahu itu meluncur dengan mantap dan tidak bergoyang sama sekali, akan tetapi juga kakek ini dapat menjadi pemandu yang amat baik, dapat menceritakan keadaan di sekitar telaga itu. Dia kini duduk menghadap ke belakang, membelakangi kakek itu.

Ketika Thian Liong menghadap ke depan, dia merasa seolah-olah perahu itu meluncur semakin cepat. Akan tetapi mungkin ini hanya perasaannya saja, pikirnya, karena memang jarang sekali dia duduk di atas perahu yang meluncur di atas air.

“Lihat di depan itu, Thian Liong. Perbukitan di depan itu mempunyai sekumpulan puncak yang memakai nama binatang. Urut-urutannya dari kiri begini. Pertama Puncak Naga, lalu Puncak Burung Hong, Puncak Harimau, Puncak Biruang dan yang paling kecil itu Puncak Srigala.”

Thian Liong memandang ke arah puncak-puncak bukit yang berjajar di sebelah kiri telaga. “Paman, apakah di setiap puncak terdapat binatangnya seperti yang dijadikan nama itu?”

“Ah, saya kira tidak. Mana mungkin di Puncak Naga itu ada naganya atau di Puncak Burung Hong itu terdapat Burung Hongnya? Itu hanya nama pemberian penduduk untuk membedakan puncak yang satu dari yang lain. Mungkin dulu diberi nama aneh demikian untuk menarik para pelancong.”

Telaga itu luas sekali. Sudah hampir dua jam perahu itu meluncur, namun belum juga tiba di ujung telaga! Thian Liong melihat sebuah pulau kecil di tengah telaga dan pulau itu penuh dengan pohon-pohon besar sehingga tampak hijau gelap menyeramkan. Tepi pulau itu merupakan tebing yang tinggi sehingga pulau itu seolah berada di atas bukit.

“Eh, Paman. Di sana itu? Bukankah itu sebuah pulau? Apa nama pulau itu, Paman? Apakah juga ada namanya yang aneh?”

“Orang-orang di sini menyebutnya Pulau Iblis.”

Thian Liong menoleh dan melihat kakek itu mengerutkan alisnya, matanya menerawang ke arah pulau itu. Thian Liong memandang ke arah pulau. “Pulau Iblis? Mengapa disebut begitu, Paman? Apakah pulau itu berhantu?”

“Saya sendiri tidak tahu jelas, akan tetapi sejak saya datang dan tinggal di sini tiga tahun yang lalu, penduduk sudah menamakannya begitu. Menurut dongeng mereka, memang pulau itu berhantu.”

“Dan engkau percaya itu, Paman?” Kembali Thian Liong menoleh karena dia mendengar bahwa ketika bicara tentang hantu, suara kakek itu meninggi, seolah hendak memberi tekanan agar pemuda itu mempercayainya.

“Entahlah.... akan tetapi lebih baik kita tidak bicara tentang hal itu.”

Akan tetapi Thian Liong sudah terlanjur tertarik kepada pulau itu. Kalau diberitakan pulau itu berhantu oleh penduduk, pasti ada hal-hal yang tidak wajar atau aneh di sana. Pulau itu tidak terlalu besar, akan tetapi penuh pohon-pohon yang menjulang tinggi sehingga pantaslah kalau dihuni setan, kalau memang ada apa yang disebut hantu, atau setan karena dia sendiri belum pernah bertemu mahluk yang menurut dongeng menyeramkan dan menakutkan itu.

Menurut gurunya, Tiong Lee Cin-jin, yang disebut setan adalah roh jahat yang menggerakkan nafsu-nafsu dalam diri manusia sendiri dan menyeret manusia untuk menuruti nafsunya dan melakukan perbuatan yang jahat, merugikan orang lain dan menguntungkan diri sendiri demi mendapatkan kesenangan.

“Paman, tujukan perahu ini ke pulau itu,” katanya mantap.

“Ah, untuk apa, Thian Liong? Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kita kembali ke dusun. Kita sudah pergi jauh.”

Thian Liong melihat beberapa buah perahu dan memang tidak ada sebuah pun berani mendekati pulau itu, bahkan perahu yang ditumpanginya itu yang paling dekat dengan apa yang dinamakan Pulau Iblis itu! Ketika ada sebuah perahu yang lebih besar lewat, ditumpangi belasan orang pelancong, tukang perahunya berseru kepada kakek yang berada di belakangnya.

“Heei, Kakek Tolol, apakah engkau akan membawa penumpangmu agar dimakan penjaga pulau itu?”

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab. Setelah perahu besar itu meluncur lewat dan agaknya sedang menuju kembali ke dusun, kakek itu berkata lagi kepada Thian Liong. “Thian Liong, mari kita kembali saja. Tidak baik pergi ke sana, selain terlalu jauh juga kalau kita ke sana, mungkin pulangnya akan kemalaman.”

“Jangan khawatir, Paman. Saya akan membayar lebih. Mari tujukan perahu ini ke pulau itu. Apakah perlu kubantu mendayung?”

Tanpa menanti jawaban, Thian Liong mengambil dayung yang terdapat di dekatnya, kemudian dia menggunakan dua batang dayung itu untuk mendayung di kanan kiri perahu, setelah dua batang dayung itu dipasang pada tempatnya. Perahu meluncur dengan cepat sekali menuju ke pulau itu. Pulau Iblis!

Dia mendengar kakek itu menghela napas panjang, lalu terdengar berkata lirih, “Apa boleh buat, kalau engkau memaksa. Akan tetapi jangan salahkan aku kalau terjadi apa-apa.”

Thian Liong tersenyum. Dia sedang kesepian dan dia akan menyambut gembira kalau terjadi apa-apa, terjadi sesuatu yang aneh, apalagi kalau di pulau itu bersembunyi gerombolan penjahat. Dia mendapat kesempatan untuk mengobrak-abrik sarang penjahat itu dan membubarkan mereka agar tidak mengganggu penduduk di sekitar telaga itu.

“Paman, sudah lamakah Paman tinggal di daerah ini?”

“Sudah saya ceritakan tadi, sudah tiga tahun.”

“Apakah Paman tahu bahwa tidak jauh dari telaga ini terdapat sebuah dusun yang disebut dusun Kian-cung?”

Agak lama Thian Liong menanti jawaban. Kemudian terdengar kakek itu menjawab. “Ya, ya, saya pernah mende¬ngar tentang dusun Kian-cung.”

“Apakah Paman mengenal keluarga Han?”

“Keluarga Han?”

“Ya, keluarga Han Si Tiong yang tinggal di Kian-cung, seorang pendekar budiman.”

Kembali agak lama tidak terdengar jawaban sehingga Thian Liong menengok dan mengulangi pertanyaannya. “Apakah Paman mengenal keluarga Han itu?”

“Tidak, baru tiga tahun saya berada di sini dan saya tidak pernah pergi ke mana-mana.”

Akan tetapi Thian Liong tidak memperhatikan jawaban itu karena tiba-tiba ada hal lain yang menarik perhatiannya. Mereka sudah tiba dekat pulau itu dan tiba-tiba dia melihat sebuah perahu yang agak besar muncul dari balik pulau itu. Perahu ini didayung oleh lima orang dan meluncur cepat, mendekati tebing pulau itu.

Di atas perahu itu, di tengah-tengah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Karena jarak antara perahu itu dan dia masih cukup jauh, maka Thian Liong tidak melihat jelas wajah orang yang berdiri itu. Jubah orang itu berwarna hitam panjang sampai ke bawah lutut.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti auman singa, terdengar dari perahu itu. Suara gerengan itu sedemikian kuatnya sehingga Thian Liong yang duduk di atas perahunya dan jaraknya masih ada satu mil lebih, merasa tergetar dan permukaan danau itu mulai bergelombang! Lalu dari arah pulau, terdengar bunyi melengking yang begitu nyaring, tinggi, dan tajam menusuk telinga. Kembali Thian Liong merasa jantungnya berdebar.

Belum lenyap gema lengkingan ini, disusul suara seperti tawa yang menggelegar, tidak kalah kuatnya dibandingkan gerengan pertama dan lengkingan yang menyusul tadi, Thian Liong terkejut. Dia tahu bahwa gerengan, lengkingan dan suara tawa itu dilakukan orang-orang yang memiliki tenaga sin kang (tenaga sakti) amat kuatnya.

Dia sendiri dapat menahan getaran suara itu akan tetapi orang biasa yang mendengar suara-suara yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu dapat saja terguncang jantungnya dan menderita luka parah!

Dia teringat kepada tukang perahu, maka cepat dia menoleh. Dia melihat kakek tukang perahu itu masih duduk mendayung perahu, sama sekali tidak terpengaruh suara-suara yang mengandung daya serang amat kuat tadi! Kakek itu mengerutkan alisnya dan berkata, seperti kepada diri sendiri.

“Hemmm, akhirnya mereka muncul juga. Sudah kuduga...!”

“Paman, apa yang Paman maksudkan?” tanya Thian Liong sambil memandang wajah kakek itu.

Kakek itu tidak menjawab, hanya menuding ke depan. Thian Liong memutar tubuh lagi memandang ke depan. Dia melihat orang tinggi besar berjubah lebar panjang itu melompat dari atas perahunya dan berdiri di atas air telaga, lalu angin dari belakangnya yang bertiup cukup keras membuat jubahnya yang lebar itu mengembang.

Orang itu membentang kedua lengannya sehingga jubahnya kini berbentuk sayap yang ditiup angin dari belakang dan orang itu pun meluncur maju dengan cepatnya menuju ke tebing pulau! Thian Liong memandang penuh kagum. Lima orang yang mendayung perahu itu kini melanjutkan luncuran perahu mereka ke kiri, agaknya menuju ke tepi pulau yang landai.

“Thian Liong, engkau dayunglah sendiri perahu ini dan kembalilah ke dusun Kui-sek. Jangan mencampuri urusan saya, dapat membahayakan keselamatan nyawamu!” kata kakek tukang perahu dan ketika Thian Liong menengok ke belakang, dia terbelalak. Kakek itu melompat keluar dari perahu dan berdiri di atas air, lalu menggunakan kedua dayungnya untuk mendayung sehingga tubuhnya meluncur ke depan, menuju ke tebing pulau yang tingginya tidak kurang dari seratus tombak itu.

Thian Liong memutar perahunya untuk dapat melihat dan mengikuti kakek tukang perahu itu dengan pandang matanya. Dia melihat orang pertama yang meluncur dengan jubah terkembang seperti sayap itu kini telah mencapai tebing dan seperti seekor kera orang tinggi besar itu memanjat tebing!

Adapun kakek tukang perahu itu meluncur dengan cepat dan ia melihat betapa kakek itu menggunakan dua potong papan yang diikatkan kepada dua buah kakinya sehingga dia dapat terapung di atas air dan dengan dorongan dayungnya, tubuhnya meluncur dengan cepat menuju tebing!

Thian Liong merasa kagum bukan main. Kini dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar itu pun menggunakan sesuatu yang diinjaknya sehingga tubuhnya terapung dan angin mendorong jubahnya yang mengembang seperti layar itu. Memang hal itu mustahil dapat dilakukan sembarang orang.

Akan tetapi dengan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dengan tenaga sakti dapat mengatur keseimbangan, dia sendiri mungkin dapat melakukan seperti yang dilakukan dua orang itu. Kini tahulah dia bahwa kakek tukang perahu itu ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti!

Hati Thian Liong tertarik sekali. Pasti ada yang luar biasa terjadi di pulau itu. Maka dia lalu mendayung perahu itu sekuatnya, bukan meninggalkan tempat itu menuju dusun Kui-sek seperti yang dianjurkan kakek tukang perahu, melainkan mendekati Pulau Iblis dengan memutar, mencari bagian tepi yang landai karena dia ingin mendarat dan melihat apa yang terjadi di pulau itu.

Ketika dia melihat bagian pantai pulau itu yang landai, Thian Liong segera mendayung perahunya ke sana. Dilihatnya perahu yang ditumpangi orang tinggi besar tadi sudah berada di pantai. Lima orang pendayungnya juga sudah mendarat dan mereka berdiri di dekat perahu yang sudah ditarik ke darat. Thian Liong segera mendarat dan menarik perahunya ke pantai, tak jauh dari perahu lima orang itu.

05.2. PERTEMUAN RAHASIA DEDONGKOT IBLIS
Melihat lima orang itu berdiri seperti menunggu sesuatu, Thian Liong memperhatikan. Mereka berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, tubuh mereka tampak kokoh kuat, akan tetapi wajah mereka seperti wajah orang bodoh. Pakaian mereka seragam, berwarna kuning, dan di pinggang mereka tergantung golok. Kepala mereka diikat kain kuning pula.

Mungkin mereka itu tahu apa yang terjadi di pulau ini, pikir Thian Liong dan dia menghampiri mereka sambil tersenyum. Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Thian Liong memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Ngo-wi Toa-ko (Kakak Berlima), bolehkah aku mengetahui, apa yang terjadi di pulau ini?” tanyanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah tengah hutan yang dipenuhi pohon-pohon raksasa itu.

Lima orang itu tidak menjawab, hanya saling pandang, lalu tiba-tiba mereka mencabut golok dan mengepung Thian Liong, wajah mereka jelas menunjukkan kemarahan dan permusuhan!

“Hei....! Saya tidak ingin berkelahi, tidak ingin bermusuhan! Saya tidak mempunyai niat buruk...!” Thian Liong berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas.

Akan tetapi, lima orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sudah maju menyerang dengan golok mereka! Gerakan mereka cukup cepat dan kuat! Tentu saja Thian Liong merasa terkejut sekali dan dia cepat berkelebat untuk mengelak. Begitu dia melompat keluar dari kepungan, dia mendapat kenyataan aneh. Lima orang itu tampak bingung mencarinya, menggerakkan kepala dan mata mereka mencari-cari!

Bukan begini sikap orang-orang yang pandai ilmu silat. Padahal gerakan mereka tadi cukup tangkas, cepat dan juga sambaran golok mereka mengandung tenaga yang besar. Akan tetapi mengapa sekarang mereka kebingungan mencari di mana dia berada? Bukankah pendengaran orang orang yang ahli silat terlatih dan dapat menangkap beradanya lawan, bahkan lebih tajam daripada penglihatan?

Ketika seorang di antara mereka memutar tubuh dan melihatnya, dia menyentuh lengan teman di dekatnya dan dengan sentuhan tangan mereka seolah memberitahu di mana adanya lawan. Kini mereka serentak menyerang lagi, lebih dahsyat daripada tadi!

Ah, agaknya mereka tuli, pikir Thian Liong terheran-heran. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lanjut karena serangan mereka itu memang berbahaya sekali. Gerakan mereka itu saling menunjang dan melengkapi sehingga merupakan kesatuan yang amat kuat.

Thian Liong kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi itu untuk berkelebat dan di lain saat dia telah melompat ke atas pohon besar yang berada di dekat pantai. Dari atas pohon dia melihat bahwa lima orang itu kembali kebingungan, mencari-cari dengan pandang mata mereka, berputar-putaran.

Untuk meyakinkan hatinya, dia berseru, “Heii, aku berada di sini!”

Akan tetapi lima orang itu tetap saja tidak melihat ke atas pohon. Kemudian, dia melihat betapa lima orang itu saling pandang kemudian membuat gerakan-gerakan dengan tangan, seperti yang dilakukan orang gagu kalau hendak menyatakan perasaannya kepada orang lain. Gagu! Tuli dan gagu lima orang ini, pikir Thian Liong dengan semakin heran.

Bagaimana ada lima orang kesemuanya gagu dan tuli? Dan mereka berpakaian seragam lagi. Apakah mereka ini para anggauta perkumpulan aneh yang semua anggautanya gagu dan tuli? Dia lalu melompat dari pohon ke pohon lain dan meninggalkan lima orang tadi, menuju ke tengah pulau.

Setelah tiba di tengah pulau yang merupakan bukit kecil yang puncaknya rata, Thian Liong menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat bahwa puncak itu tanahnya rata dan terbuka karena agaknya pohon-pohon itu telah ditebangi. Dia melihat sebuah pondok berdiri di tengah lapangan terbuka di puncak itu, pondok kayu yang kokoh dan sederhana.

Di depan pondok terdapat sebuah pekarangan yang luas, dipenuhi rumput tebal dan dia melihat seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya yang longgar kedodoran dan mukanya yang bulat selalu tersenyum lebar itu membuat dia tampak seperti arca Ji-lai-hud, dewa bertubuh gendut yang selalu tersenyum lebar itu.

Kakek ini duduk bersila di atas sebuah batu besar, menghadap ke timur. Biarpun tubuhnya diam tak bergerak sedikit pun namun mulutnya lebar dan matanya menatap ke depan. Hanya mulut dan matanya itu yang menunjukkan bahwa dia adalah manusia hidup, bukan arca!

Tiba-tiba kakek gundul berjubah lebar seperti yang biasanya menjadi ciri seorang hwesio (pendeta Buddha) membuka mulut lebar-lebar dan terdengarlah suara tawanya yang menggelegar seperti yang tadi didengar Thian Liong dari perahu. Suara itu menggetarkan tanah di mana dia berpijak, bahkan batang pohon di depannya itu seolah tergetar!

“Ha-ha-ha, keluarlah engkau, Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian! Sudah datang di sini, mengapa tidak langsung saja menampakkan diri? Ha-ha-ha-ha, apa engkau hendak main kucing-kucingan?” suara tawanya kembali menggelegar.

Karena Si Gendut Gundul itu menoleh ke arah kirinya, yaitu ke arah utara, Thian Liong juga memandang ke arah itu. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi seperti bunyi tiupan suling dengan nada tertinggi sehingga mendatangkan rasa nyeri dalam telinga. Thian Liong cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi dirinya karena suara seperti itu dapat memecahkan telinga dan membuat telinga menjadi tuli!

Lalu dari balik semak belukar muncul seorang kakek berusia sekitar enampuluh tahun, rambutnya putih semua dan diikat ke atas dengan pita kuning, jubahnya putih seperti yang biasa dipakai seorang tosu (pendeta To), tubuhnya tinggi kurus dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat berwarna hitam, berujung runcing dan berkepala ular.

Setelah suara melengking itu berhenti, tosu itu melangkah memasuki pekarangan dan berkata dengan suara yang tinggi kecil seperti suara wanita. “Heh, See-ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang, kiranya engkau telah berada di sini! Pin-to (aku) tadi sudah mendengar suara tawamu dan mendengar pula auman Singa Timur. Mana dia?”

Sebagai jawaban kakek tinggi kurus itu, tiba-tiba terdengar gerengan mengeluarkan gema menggetar seperti auman singa yang datangnya dari arah timur dan muncullah kakek berusia sekitar enampuluh tahun juga, bertubuh tinggi besar muka hitam, pakaiannya mewah dengan jubah lebar berwarna hitam.

Rambutnya riap-riapan, kumis dan jenggotnya lebat, bercambang bauk sehingga mukanya mirip muka seekor singa, ta¬ngan kanannya membawa sebatang tombak. Inilah kakek yang tadi dilihat Thian Liong, yang turun dari perahu dan meluncur di atas air telaga!

“Hemm, kalian pendeta-pendeta palsu sudah tiba di sini lebih dulu!” Si Muka Singa ini mengaum lagi dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tergetar! “Mana dia Si Jembel, pengemis kurang makan itu? Tak tahu malu! Menjadi tuan rumah malah belum tampak hidungnya!”

Mereka bertiga sudah saling berhadapan. Pak-sian Liong Su Kian yang seperti tosu itu berdiri di utara, See-ong Hui Kong Hosiang menghadap ke timur, dan Tung-sai Kui Tong menghadap ke barat. Ucapan kakek seperti hartawan muka singa itu segera mendapat jawaban. Dari selatan muncullah kakek tinggi kurus bermuka pucat, pakaiannya lusuh dan ditambal, matanya mencorong.

Dia tidak mengeluarkan suara yang dahsyat, melainkan muncul dengan langkah tenang dan kedua batang dayung itu dipegang dengan tangan kanan. Suaranya terdengar lembut ketika dia bicara setelah berdiri berhadapan dengan tiga orang lain. Mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak.

“Wah, kalian sudah datang rupanya. Selamat datang, Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang dan Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong!”

“Ha-ha-ha!” See-ong Hui Kong Hosiang tertawa, kini tertawa biasa. “Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin, engkau pembimbing terakhir jago kita. Sampai di mana sekarang kemajuannya dan di mana dia?”

“See-ong, bagianku dua tahun ini tidak sia-sia. Murid kita itu kini telah menguasai tahap terakhir. Dia kusuruh bersamadhi selama sepuluh hari dan hari ini adalah hari terakhir. Kukira sebentar lagi dia akan sadar dari samadhinya. Bagaimana, apakah kalian bertiga sudah siap memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini? Selama delapan tahun kita berempat telah menggembleng murid kita, sejak dia berusia limabelas tahun dan baru hari ini kita dapat saling berhadapan muka kembali,” kata kakek bernama Gui Lin berjuluk Lam-kai yang dikenal oleh Thian Liong sebagai tukang perahu itu.

Thian Liong yang mengintai dari tempat persembunyiannya, diam-diam terkejut sekali. Dia sudah pernah mendengar gurunya, Tiong Lee Cin-jin, memberi keterangan singkat bahwa di dunia persilatan terdapat Empat Datuk Besar yang berjuluk Pak-sian (Dewa Utara), See-ong (Raja Barat), Tung-sai (Singa Timur) dan Lam-kai (Pengemis Selatan). Mereka merupakan empat orang datuk besar empat penjuru dan memiliki ilmu kesaktian tinggi.

Akan tetapi gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia bertemu mereka, jangan katakan bahwa dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin! Dan kini, dia berhadapan dengan Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu. Bahkan Lam-kai Gui Lin menyamar sebagai tukang perahu yang perahunya dia sewa!

“Ha-ha-ha! Omitohud, Lam-kai agaknya telah memperdalam ilmu silatnya maka kini mengejek apakah yang lain memperoleh kemajuan selama delapan tahun ini!” kata See-ong, hwesio pendek gendut itu sambil tertawa.

“Akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita semua memperdalam ilmu kita, selain mengajar murid kita itu masing-masing dua tahun, karena tentu saja di antara kita tidak ada yang mau mengulang kekalahan kita dari Yok-sian (Dewa Obat)!” kata Pak-sian dengan suaranya yang seperti suara wanita.

“Hemmm.....!” Tung-sai menggereng. “Aku telah mempersiapkan diri dan akan kubalas kekalahanku kalau aku dapat bertemu dengan Tiong Lee Cin-jin!”

Tentu saja Thian Liong terkejut sekali mendengar percakapan mereka itu. Mereka membicarakan gurunya! Kini dia dapat menduga mengapa gurunya memesan agar dia tidak mengaku sebagai murid Yok-sian Tiong Lee Cin-jin kalau bertemu Empat Datuk Besar ini. Kiranya mereka berempat pernah dikalahkan gurunya dan agaknya mereka merasa penasaran dan selama delapan tahun mereka memperdalam ilmu silat mereka.

Juga mereka herempat agaknya menurunkan ilmu mereka secara bergantian kepada seorang murid! Murid mereka itu dilatih sejak usia limabelas tahun, berarti sekarang telah berusia duapuluh tiga tahun. Dia memandang dengan penuh perhatian berhati-hati sekali agar jangan sampai ketahuan oleh mereka karena dia maklum bahwa empat orang itu tentu lihai bukan main.

“Lam-kai, apakah engkau selama dua tahun ini menjaga rahasia kita dan tak seorang pun tahu akan murid yang sedang kau gembleng itu seperti yang telah kami lakukan ketika tiba giliran kami?” tanya See-ong.

“Tentu saja! Kalian lihat, aku bahkan tidak memakai pakaian kebesaranku sebagai datuk para pengemis. Aku menyamar sebagai seorang tukang perahu agar tidak ada seorang pun menduga bahwa aku adalah Lam-kai dan tak seorang pun tahu akan murid kita.”

Mendengar ini, Thian Liong sekarang tidak merasa heran mengapa Pengemis Selatan yang merupakan datuk semua kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah selatan itu menyamar sebagai tukang perahu.

“Bila dia selesai dengan samadhinya?” tanya Pak-sian tidak sabar. “Berapa lama aku harus menunggu?”

Lam-kai menoleh dan memandang ke arah pondok. “Menurut perhitungan, hari ini dia akan selesai melatih pengerahan sin-kang (tenaga sakti). Akan tetapi rupa-rupanya karena dia menerima empat macam aliran sin-kang, terjadi kelainan. Kalau penggabungan empat aliran itu berhasil dengan baik, dia akan memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak kalah oleh kita berempat. Akan tetapi kalau dia gagal, hal itu dapat membuat batinnya menjadi kacau dan sulit diatur.”

“Hemm, begitukah? Kenapa kita tidak gugah saja, dia?” Tung-sai Si Muka Singa itu bertanya dan sepasang alisnya yang tebal itu berkerut.

“Jangan!” kata Lam-kai. “Hal itu akan mengganggu dan mengacau dia dan kemungkinan akibatnya akan buruk. Kita tunggu saja di sini sampai dia selesai dan keluar. Itu See-ong sudah mendapat tempat duduk. Mari kita duduk di sini dan menanti dengan sabar. Kita sudah menanti selama delapan tahun, masa sekarang hanya menunggu beberapa lamanya saja tidak sabar?”

Lam-kai lalu menghampiri sekumpulan batu-batu besar, sebesar perut kerbau dan dengan ringan saja dia mengangkat batu-batu itu satu demi satu dan dilontarkan ke arah Pak-sian dan Tung-sai. Batu itu tentu saja berat sekali dan ditambah dengan tenaga lontaran kakek kurus pucat itu, batu melayang cepat ke arah dua orang itu.

Pak-sian yang tinggi kurus berambut putih itu mengeluarkan suara melengking lalu tubuhnya melompat tinggi ke atas dan tahu-tahu dia sudah hinggap di atas batu yang terbang ke arahnya, lalu batu itu turun di tempat dia berdiri tadi, dengan dia duduk bersila di atasnya! Thian Liong menonton dengan kagum. Pak-sian itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, juga tenaga saktinya amat kuat.

Sementara itu, Tung-sai juga menggereng. Dia tidak melompat menghindar atau menangkis, melainkan menyambut batu besar itu dengan tombaknya. Batu besar itu diterima di ujung tombak dan batu itu berputar di atas ujung tombak. Setelah berpusing beberapa lamanya di ujung tombak, Tung-sai menurunkan tombaknya dan batu itu menempel terus sambil berputar sampai tiba di atas tanah, Tung-sai lalu duduk di atasnya, bersila seperti yang dilakukan See-ong dan Pak-sian.

Thian Liong juga kagum terhadap Singa Timur ini karena caranya menyambut lontaran batu tadi menunjukkan bahwa datuk itu memiliki ilmu tombak yang amat dahsyat.

Lam-kai sendiri mengambil sebongkah batu dan kini mereka masing-masing duduk bersila dengan kedudukan seperti tadi, sesuai dengan julukan masing-masing. Si Dewa Utara duduk di sebelah utara, Raja Barat duduk di barat, Singa Timur duduk di timur dan Pengemis Selatan duduk di selatan! Jarak di antara mereka kurang lebih tujuh meter.

Thian Liong melihat semua itu dengan hati tegang. Apakah yang sedang direncanakan Empat Datuk Besar itu? Apa yang hendak mereka lakukan dan siapa pula murid yang menerima gemblengan mereka berempat? Sebetulnya dia hendak pergi saja karena merasa tidak enak mengintai orang-orang yang tidak ada urusan dengan dia. Akan tetapi ingin dia melihat murid mereka itu lebih dulu sebelum pergi meninggalkan Pulau Iblis.

Tidak lama Thian Liong menunggu. Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan atap pondok kayu itu jebol, lalu dari dalam meluncur bayangan orang ke atas sampai tinggi, kemudian tubuh orang itu berjungkir balik di udara beberapa kali dan turun di tengah-tengah antara empat orang yang duduk bersila itu.

Ketika turun, kedua kakinya hinggap di tanah bagaikan seekor kucing melompat, sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga dari ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang itu memiliki gin-kang yang sudah tinggi sekali.

Thian Liong memandang penuh perhatian. Orang itu adalah seorang pemuda, pasti, dia yang dimaksudkan Empat Datuk Besar itu karena pemuda itu usianya sekitar duapuluh tiga tahun. Pemuda itu bertubuh sedang namun tegak, dengan dada bidang dan kepala tegak angkuh.

Rambutnya hitam dan saat itu rambutnya dikuncir tebal bergantung di belakang. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal, melindungi sepasang mata yang mencorong namun sinarnya liar dengan pandang mata tak acuh, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk bagus dan jantan.

Namun mulut itu mengembangkan senyum sinis dan memandang rendah apa yang berada di depannya. Pakaiannya dari sutera serba putih dengan potongan pakaian pendekar yang ringkas. Seorang pemuda yang gagah dan tampan, namun membayangkan sikap yang angkuh dan memandang rendah orang lain, juga matanya yang liar itu terkadang mengeluarkan sinar kejam!

Empat Datuk Besar juga memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata gembira. Terutama sekali Tung-sai Kui Tong, dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat itu yang menggetarkan bumi di sekelilingnya dan berkata-kata dengan suaranya yang parau dan besar.

“Heemmmmm, anakku yang baik, muridku yang pintar. Selama delapan tahun engkau kami gembleng secara bergiliran, sekarang sudah saatnya kami berempat menguji apakah kemampuanmu sudah cukup untuk membalaskan dendam kami, membunuh Si Sombong Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin. Bersiaplah engkau dan hadapi seranganku. Awas, kami tidak main-main, kalau engkau kurang waspada mungkin saja engkau akan tewas di tangan kami!”

Setelah berkata demikian, Tung-sai mengeluarkan suara mengaum dan seperti seekor singa kelaparan, dari atas batu di mana tadinya dia duduk bersila, tubuhnya sudah melayang dan menyerang pemuda itu seperti seekor singa menerkam korbannya!

Namun dengan mudahnya pemuda itu menggeser kaki mengelak ke kiri. Tung-sai dengan gerakan cepat dan kuat memutar tombaknya ke kanan dan tombak itu sudah meluncur ke arah dada pemuda itu. Hebat dan cepat sekali gerakan tombak Tung-sai Kui Tong ini sehingga tidak kosong belaka kalau di dunia kang-ouw dia disebut Si Tombak Maut!

Akan tetapi pemuda itu agaknya sudah hafal akan gerakan tombak itu dan kembali dia dapat menghindarkan diri dengan mudah. Setelah membiarkan Tung-sai melakukan serangan sampai lima kali, pada saat tombak menyerang untuk keenam kalinya dengan sabetan kuat ke arah lehernya, pemuda itu membiarkan tombak menyambar dekat dan setelah dekat, ta¬ngannya bergerak dari samping bawah dan menangkis.

“Cringgg......!” Tombak dengan gagangnya yang terbuat dari baja pilihan itu terpukul ke samping dan Tung-sai merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat!

“Lam-kai, bantulah aku!” Tung-sai berseru.

Lam-kai Gui Lin bergerak dari atas batu yang didudukinya dan tiba-tiba tampak sinar berkilat dan tahu-tahu ketika tubuhnya turun, dia sudah memegang sebatang pedang yang gemerlapan.

Thian Liong yang tadi mengamatinya dengan penuh perhatian, baru mengerti bahwa kakek yang menyamar sebagai tukang perahu itu menyembunyikan pedangnya ke dalam sebatang di antara dua dayungnya. Dia mematahkan sebatang dayungnya dan keluarlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan!

Begitu menerjang, Lam-kai telah menggerakkan pedangnya menyerang pemuda itu dengan cepat dan kuat sekali. Penyerangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan serangan Tung-sai tadi dan kini pemuda itu dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Tombak itu menyambar-nyambar dengan tusukan kilat sedangkan pedang itu berdesingan dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Dari suara berdesing ini saja sudah dapat dinilai betapa dahsyatnya serangan itu dan juga dari ujung tombak yang kalau luput menusuk tergetar menjadi banyak dapat diketahui betapa hebatnya serangan tombak itu.

Thian Liong memandang kagum. Dia tahu bahwa dua orang datuk itu benar-benar tidak main-main dan serangan mereka merupakan serangan maut. Kalau pemuda itu tidak memiliki gerakan cepat dan terkena bacokan pedang atau tusukan tombak, tentu dia akan terluka parah atau tidak mustahil tewas seketika!

Akan tetapi bayangan pemuda itu berkelebatan dan ia mampu menghindarkan pengeroyokan pedang dan tombak itu dengan elakan atau tangkisan. Yang mengagumkan, terkadang pemuda itu berani menangkis mata tombak dan pedang dengan kebutan tangan kosong!

“Suhu Pak-sian dan Suhu See-ong, majulah sekalian agar kalian berempat mengeroyokku! Aku tidak akan menyesal seandainya aku terluka atau tewas!” pemuda itu menantang dan suaranya lembut dan merdu, manis menyenangkan!

Pak-sian Liong Su Kian melengking dan tubuhnya berkelebat seperti kilat dan tongkat hitamnya berkepala ular itu sudah menotok tujuh jalan darah di tubuh pemuda itu. Namun pemuda itu dapat menghindarkan semua totokan karena dia pun sudah hafal akan ilmu tongkat yang dimainkan Pak-sian.

“Omitohud! Engkau membuat hati pinceng (aku) gembira, Can Kok!” kata See-ong Hui Kong Hosiang dan pendeta pendek gendut ini pun sudah mengeroyok. Dia tidak menyerang dengan senjata, namun kedua ujung lengan bajunya yang panjang merupakan sepasang senjata yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam dan runcing terbuat dari baja.

Kini Thian Liong benar-benar merasa kagum dan juga heran. Pemuda itu dikeroyok empat orang, padahal mereka itu adalah Empat Datuk Besar yang rata-rata memiliki kesaktian! Dan empat orang itu menyerangnya dengan senjata dan bukan main-main, melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Senjata-senjata itu berkelebatan bagaikan tangan-tangan maut yang mengancam nyawa pemuda itu!

Pemuda yang tadi disebut Can Kok oleh See-ong itu menyambut pengeroyokan empat orang itu dengan tangan kosong saja! Dia bergerak cepat dan ringan sekali, bagaikan berubah menjadi bayang-bayang dan menyambut semua serangan itu dengan elakan atau tangkisan kedua tangannya yang berani beradu dengan senjata tajam dan runcing!

Bukan main, pikirnya. Pemuda itu benar-benar hebat sekali. Dia sendiri pasti akan kerepotan kalau dikeroyok empat orang datuk itu. Can Kok, dia akan mengingat nama itu. Thian Liong seolah mendapat firasat buruk bahwa Can Kok ini kelak akan menjadi lawannya! Apalagi mengingat bahwa Empat Datuk Besar itu mendendam kepada suhunya dan hendak membalas kekalahan yang pernah diderita mereka dari suhunya!

Maklum bahwa kalau mereka melihatnya maka tentu akan timbul keributan, maka Thian Liong merasa tidak enak kalau mengintai terus. Dia lalu dengan hati-hati meninggalkan tempat itu. Setelah tiba di pantai di mana dia meninggalkan perahunya, dia melihat lima orang tuli gagu tadi masih berada di situ, menunggui perahu mereka.

Thian Liong tidak memperhatikan mereka. Akan tetapi lima orang itu ketika melihat Thian Liong datang, mereka mencabut senjata dan siap hendak menyerang. Thian Liong tidak ingin berkelahi, apalagi dia tidak ingin kehadirannya di pulau itu ketahuan oleh Empat Datuk Besar dan murid mereka yang aneh dan lihai itu. Maka, dia lalu menghampiri sebatang pohon dan mencabut pohon itu yang menjadi jebol berikut akarnya.

Melihat ini, lima orang itu terbelalak dan mereka mundur ketakutan. Kesempatan itu dipergunakan Thian Liong untuk menarik perahu kecilnya ke air dan mendayung perahu itu meninggalkan pulau. Lima orang tadi hanya melihat ke arah perginya Thian Liong. Tangan bergerak-gerak, mewakili kata-kata untuk bicara dengan teman-teman mereka.

05.3. PEMUDA SAKTI PULAU IBLIS
Siapakah pemuda lihai yang mampu menandingi pengeroyokan Empat Datuk Besar itu? Delapan tahun yang lalu, pemuda itu adalah murid Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong. Datuk Timur ini amat menyayang pemuda yang bernama Can Kok itu karena selain pemuda itu menjadi seorang murid yang pandai.

Juga dia adalah keponakannya sendiri, putera adik perempuannya yang menikah dengan sutenya (adik seperguruan) yang bernama Can Giam dan berjuluk Huang-sin-eng (Garuda Sakti Kuning). Tigabelas tahun yang lalu, ketika Can Kok berusia sepuluh tahun, pada suatu hari ayahnya, Huang-sin-eng Can Giam tewas ketika dia hendak merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong Lee Cin-jin.

Dalam perkelahiannya melawan Si Dewa Obat, Can Giam menderita luka dalam yang parah karena tenaga sin-kangnya membalik dan memukul dirinya sendiri ketika dia menyerang Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Biarpun terluka parah, dia menolak ketika Tiong Lee Cin-jin hendak mengobatinya.

Dia memaksa dirinya yang sudah payah itu untuk pulang dan setibanya di rumah, dia tewas karena luka dalam yang parah itu. Isterinya, adik perempuan Tung-sai, menyusul suaminya, meninggal dunia karena sakitnya menjadi semakin berat sepeninggal suaminya.

Demikianlah, Can Kok yang menjadi yatim piatu itu dibawa paman tuanya ke pantai Laut Timur daerah Ce-kiang. Tung-sai Kui Tong tinggal di sebuah pulau kecil dan menjadi to-cu (majikan pulau) dari Pulau Udang, hidup sebagai seorang yang kaya raya dan berkuasa sepenuhnya. Penghuni pulau sejumlah sekitar seratus kepala keluarga itu menjadi anak buahnya.

Tung-sai Kui Tong adalah seorang datuk yang berwatak keras dan aneh. Dia mempunyai duapuluh orang pengawal yang merupakan anak buah yang juga murid-muridnya yang paling dipercaya, merupakan pengawal-pengawal pribadi. Akan tetapi, duapuluh orang ini semua tuli dan gagu!

Bukan gagu tuli sejak kecil atau terkena penyakit, melainkan dibikin gagu tuli oleh Tung-sai Kui Tong. Sebagai seorang ahli, dia mampu membuat mereka itu tidak mampu mendengar dan tidak mampu bicara dengan merusak syaraf yang bekerja untuk kedua keperluan itu!

Pulau Udang itu merupakan sebuah kerajaan kecil di mana Tung-sai menjadi rajanya! Penghasilan mereka seluruhnya diambil dari dalam lautan. Menangkap ikan terutama udang-udang yang dapat dijual dengan harga tinggi karena banyak disuka orang kota. Dan yang terutama sekali, hasil penyelaman untuk dapat menemukan mutiara di kerang-kerang besar. Hasil mutiara ini yang membuat Singa Timur menjadi kaya raya.

Tung-sai Kui Tong sendiri tidak mempunyai anak walaupun dia memiliki tiga orang isteri. Karena itu, setelah dia membawa Can Kok ke pulau dan melihat anak itu amat cerdik, berbakat besar dan bertulang kuat, juga melihat Can Kok juga pandai membawa diri, berwajah tampan pula, Singa Timur itu menjadi sayang padanya. Can Kok dianggap puteranya sendiri dan digembleng ilmu silat dan juga ilmu baca tulis sehingga Can Kok menjadi seorang pemuda bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastra).

Kemudian, ketika Can Kok berusia limabelas tahun, Tung-sai Kui Tong yang pergi meninggalkan pulau selama sebulan, pulang ditemani oleh tiga orang laki-laki, yaitu Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, dan Lam-kai Gui Lin, yaitu datuk utara, datuk barat, dan datuk selatan. Sedangkan Tung-sai sendiri adalah datuk timur. Mereka berempat yang dikenal dengan sebutan Empat Datuk Besar.

Akan tetapi yang mengejutkan hati Can Kok adalah bahwa mereka berempat itu menderita luka-luka walaupun tidak parah. Dari gurunya, atau paman tuanya yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, dia mendengar bahwa Empat Datuk Besar itu terluka karena kalah bertanding melawan Yok-sian (Dewa Obat) Tiong Lee Cin-jin.

“Keparat jahanam Tiong Lee Cin-jin!” Can Kok pemuda remaja berusia limabelas tahun itu berteriak sambil mengepal kedua tangannya. Matanya mencorong penuh kemarahan dan mukanya yang tampan menjadi merah. “Aku akan membunuhnya untuk membalas kematian ayah dan membalas kekalahan Pek-hu (Paman Tua)!”

Melihat kemarahan pemuda itu, tiga orang datuk lain memandang Can Kok dengan penuh perhatian dan hati mereka tertarik, mata mereka yang penuh pengalaman itu dapat menilai bahwa pemuda itu memiliki semangat besar dan sinar matanya yang mencorong menunjukkan bahwa ia memiliki batin yang kuat dan penuh keberanian.

“Omitohud, Singa Timur, siapakah pemuda ini?” tanya See-ong dan dua orang datuk yang lain juga mengamati wajah Can Kok penuh perhatian.

“Anak ini bernama Can Kok. Dia adalah keponakanku, anak mendiang adik perempuanku, dan sudah yatim piatu. Dia juga muridku terbaik dan anak angkatku. Kelak dialah yang kuharapkan akan dapat membalaskan kekalahanku sekarang, juga membalaskan dendam ayah kandungnya yang tewas pula karena bertanding melawan Yok-sian Tiong Lee Cin-jin. Ayah kandungnya adalah suteku sendiri.”

“Maksudmu mendiang Huang-sin-eng Can Giam?” tanya Pak-sian Liong Su Kian.

“Benar, karena itu aku akan mengajarkan seluruh ilmuku kepadanya agar kelak dia dapat membalaskan dendam ini.”

“Aih, Tung-sai, bukan maksudku memandang rendah kepandaianmu. Akan tetapi kalau engkau sendiri, bahkan kita berempat, masih tidak mampu menandingi Yok-sian, bagaimana engkau dapat mengharapkan muridmu dapat mengalahkannya?” kata Lam-kai Gui Lin.

Mendengar ucapan Pengemis Selatan ini, Singa Timur mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak dapat membantah ucapan itu karena memang benar. Dia dengan tiga orang rekannya, Empat Datuk Besar, maju bersama dan masih juga belum mampu mengalahkan Tiong Lee Cin-jin. Biarpun seluruh ilmunya diturunkan kepada Can Kok, tidak mungkin pemuda itu mampu menandingi Tiong Lee Cin-jin yang mereka anggap sebagai musuh besar itu.

“Aku harus mengakui kebenaran ucap¬anmu, Pengemis Selatan. Akan tetapi apalagi yang dapat kulakukan?” katanya kesal.

“Omitohud! Pinceng mempunyai gagasan yang baik sekali! Kalau kita berempat dapat mengajarkan inti ilmu masing-masing yang paling ampuh kepadanya, maka dengan penggabungan ilmu kita berempat, tentu lebih besar harapan anak ini akan mampu mengalahkan Yok-sian! Akan tetapi kita harus selidiki dulu apa-kah kiranya seseorang mampu menerima penggabungan ilmu-ilmu kita yang paling berat.”

Mendengar ucapan See-ong Hui Kong Hosiang itu, semua orang setuju. “Aku menjamin bahwa dia memiliki tulang bersih dan kuat, juga bakatnya besar dan otaknya cerdik. Kalian boleh memeriksanya sendiri!” kata Tung-sai gembira karena gagasan itu agaknya merupakan satu-satunya jalan untuk dapat membalas dendam dengan berhasil.

Tiga orang datuk itu lalu menghampiri Can Kok dan mulai memeriksa keadaan tubuh pemuda remaja itu. Ada yang meraba-raba kepalanya, ada yang memijat-mijat lengan dan kakinya, ada pula yang mengetuk-ngetuk dadanya dan akhirnya mereka bertiga mengangguk-angguk, bahkan mengeluarkan suara memuji dan kagum.

“Aku setuju dengan gagasan Raja Barat tadi!” kata Dewa Utara.

“Aku pun cocok!” kata Pengemis Selatan.

“Omitohud, kalau semua setuju, mari kita atur bagaimana baiknya. Singa Timur, engkau sebagai Paman tua, guru pertama dan juga orang tua angkat Can Kok, katakan bagaimana pendapat dan rencanamu untuk melaksanakan gagasan kita itu.”

Tung-sai Kui Tong mengangguk-angguk, lalu berkata dengan suaranya yang seperti aum singa itu kepada Can Kok. “Kok-ji (Anak Kok), bagaimana? Mau dan sanggupkah engkau digembleng secara bergantian oleh kami berempat agar engkau dapat menggabungkan inti ilmu aliran kami masing-masing sehingga engkau kelak akan dapat mewakili kami membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin?”

“Saya sanggup Pekhu (Paman Tua)!” jawab Can Kok dengan suara mantap dan tegas.

“Bagus! Kalau begitu sebaiknya diatur begini. Aku sendiri yang akan mulai mengajarkan ilmuku yang paling ampuh kepadanya selama dua tahun. Setelah itu kalian boleh bergantian mengajarnya, menurunkan ilmu kalian yang paling ampuh, masing-masing dua tahun. Dia akan berusia duapuluh tiga tahun setelah digembleng selama empat kali dua tahun.”

“Setuju!” kata Pak-sian dengan suaranya yang melengking seperti suara wanita. “Aku akan menjadi orang kedua menurunkan semua ilmu yang paling ampuh kepadanya.”

“Omitohud, biar pinceng menjadi guru ketiga selama dua tahun setelah dia selesai belajar pada Dewa Utara!”

“Bagus, kalau begitu rencana kita sudah dipastikan. Dan Pengemis Selatan akan menjadi guru terakhir selama dua tahun,” kata Tung-sai.

Lam-kai Gui Lin mengangguk-angguk. “Baik, setelah Raja Barat mengajar selama dua tahun, aku akan membawanya pergi dan menggemblengnya selama dua tahun.”

“Akan tetapi, ke mana engkau akan membawa dia pergi, Lam-kai? Selama ini engkau adalah seorang pengemis yang merantau di daerah selatan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.”

“Jangan khawatir. Setelah dia belajar selama dua tahun, aku akan mengabari kalian semua untuk datang berkunjung ke tempatku dan kita berempat dapat melihat dan menguji bagaimana hasil jerih payah kita masing-masing dua tahun itu.”

Demikianlah, mulai hari itu, selama dua tahun Can Kok digembleng secara istimewa oleh Tung-sai Kui Tong yang mengajarkan semua ilmunya yang paling ampuh dan cara menghimpun tenaga sakti menurut ajaran alirannya. Setelah dua tahun terlewat, Pak-sian Liong Su Kian datang dan mengajak Can Kok ke Cin-ling-san, di mana dia menjadi pertapa di sebuah puncak pegunungan itu.

Setelah Dewa Utara itu mengajarkan semua ilmu rahasia yang paling ampuh selama dua tahun, See-ong Hui Kong Hosiang datang menjemput Can Kok dan memba¬wanya ke Pegunungan Beng-san di barat di mana dia tinggal seorang diri dalam sebuah kuil tua yang disebut Thian-kok-si. Di tempat sunyi ini kembali Can Kok digembleng secara istimewa oleh hwesio itu selama dua tahun.

Terakhir Can Kok diajak Lam-kai Gui Lin ke selatan. Karena Pengemis Selatan ini tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan dia tidak ingin ada orang lain melihat bahwa dia menggembleng Can Kok, maka dia lalu memilih Pulau Iblis di Telaga Barat untuk menjadi tempat tinggalnya. Dia membangun sebuah pondok di pulau yang ditakuti penduduk sekitar telaga dan menggembleng Can Kok di situ. Agar tidak menarik perhatian orang, dia menyamar sebagai tukang perahu dan nelayan.

Setelah masa dua tahun akan habis, Lam-kai Gui Lin mengirim kabar kepada tiga orang datuk yang lain dan pada hari itu, mereka berempat berkumpul di Pulau Iblis dan setelah Can Kok selesai dengan latihan penggabungan tenaga sakti dari empat aliran yang berbeda, pemuda itu melompat keluar secara luar biasa, menjebol atap.

Perbuatan ini saja sudah menunjukkan bahwa latihan yang berbeda-beda dari empat orang datuk dan kemudian dia disuruh menggabungkannya, memang dapat ditahan tubuhnya, akan tetapi mengguncang jiwanya dan mendatangkan kelainan pada sikapnya, menjadi aneh.

Seperti kita ketahui, Can Kok sedang diuji oleh Empat Datuk Besar dan dia sudah hafal akan sifat serangan empat orang datuk itu. Bahkan kini dia memiliki tenaga sakti yang diajarkan Empat Datuk Besar itu mendatangkan tenaga sakti yang ajaib namun amat kuat!

Empat Datuk Besar itu mengeroyok sampai seratus jurus, namun mereka tidak mampu mendesak murid bersama mereka itu, bahkan serangan balasan membuat mereka harus melompat mundur untuk menghindarkan diri dari terjangan Can Kok yang amat hebat! Setelah merasa puas menguji ilmu silat, Tung-sai Kui Tong berseru.

“Kita kini uji tenaga sin-kangnya!”

Empat Datuk Besar itu berlompatan ke belakang, lalu mereka menyatukan tenaga sakti mereka dan dengan pengerahan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, mereka mendorongkan kedua tangan ke arah Can Kok. Angin besar bergemuruh menyambar ke arah pemuda itu. Ini adalah serangan jarak jauh yang teramat berbahaya!

Empat orang datuk besar ini, memang merupakan tokoh-tokoh, yang selain sakti juga terkenal berwatak aneh dan sulit dimengerti orang-orang biasa. Mereka menyayang Can Kok sebagai murid mereka dan masing-masing sudah mengorbankan waktu selama dua tahun untuk menggemblengnya.

Akan tetapi kini, untuk mengujinya, mereka menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya dan bukan mustahil akan dapat menewaskan murid itu!

“Wuuuuttt...... blarrr......!”

Can Kok menyambut serangan itu dengan merendahkan tubuh menekuk lutut sehingga hampir berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan. Ketika tenaga sakti yang didorongkan keempat Datuk Besar itu bertemu dengan sambutan tenaga sakti Can Kok, tubuh empat orang kakek itu terpental sampai lima meter dan terbanting roboh!

Dari mulut mereka keluar darah segar, dan mereka cepat bangkit duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mencegah agar luka dalam yang mereka derita tidak menjadi semakin parah. Can Kok sendiri masih berdiri setengah berjongkok, tidak tergeser dari tempat dia berdiri, akan tetapi kedua kakinya terperosok masuk ke dalam tanah sampai sebatas lutut!

Dari pertemuan tenaga sakti ini saja sudah dapat terbukti bahwa tenaga sakti yang dimiliki Can Kok ini bahkan, lebih kuat daripada tenaga keempat gurunya menjadi satu! Can Kok menarik kedua kakinya dari dalam tanah, berdiri tegak memandang empat orang gurunya yang duduk bersila memejamkan mata itu, dan dia lalu menengadah dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha-ha-ha......!” Tubuhnya berkelebat lenyap dari situ, akan tetapi suara tawanya masih terdengar berkepanjangan dan bergema, makin lama semakin perlahan dan akhirnya lenyap terbawa angin.

Empat orang datuk besar itu menghela napas panjang. Diam-diam mereka merasa khawatir karena biarpun murid mereka itu dapat diharapkan akan mampu membalas dendam dan kebencian mereka dengan membunuh Tiong Lee Cin-jin, namun dia pun kini menjadi aneh dan tidak memperdulikan empat orang gurunya lagi dan kalau sampai pemuda itu tidak terkendali, siapa yang akan mampu menundukkannya kalau dia menjadi liar dan merusak?

Can Kok berloncatan ke arah pantai pulau itu dan mulutnya berbisik-bisik, “Tiong Lee Cin-jin, tunggulah saat kematianmu di tanganku. Ha-ha-ha, engkau harus menghadap Ayahku di alam baka. Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa, kini tawa tanpa bunyi, hanya menyeringai dan terkekeh, seperti seorang yang miring otaknya!

Setelah tiba di pantai, lima orang gagu-tuli yang menjadi pendayung dan anak buah Tung-sai memandang ke arahnya dengan pandang mata heran. Seperti diketahui, sejak berusia sepuluh tahun Can Kok dibawa paman-tuanya, yaitu Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong ke Pulau Udang di Laut Timur dan selama lima tahun digembleng di sana.

Setelah berusia limabelas tahun, barulah dia keluar dari pulau untuk menerima gemblengan empat orang datuk besar itu selama masing-masing dua tahun. Karena itu, lima orang pendayung perahu yang merupakan sebagian dari anak buah Pulau Udang yang menjadi anak buah Tung-sai, mengenal Can Kok. Mereka adalah orang yang sengaja dibikin gagu dan tuli oleh Tung-sai, dan mereka amat setia kepada Tung-sai.

Melihat Can Kok mendatangi perahu mereka dan tanpa banyak cakap hendak melepaskan ikatan perahu, lima orang itu segera menghampirinya dan menghalangi dengan gerakan tangan, melarang Can Kok yang hendak menggunakan perahu itu.

Can Kok memandang mereka dengan alis berkerut. “Pergi kalian!” bentaknya.

Akan tetapi lima orang gagu tuli itu yang merasa berkewajiban menjaga perahu, kukuh hendak melarang dengan memegangi perahu yang hendak ditarik ke air oleh Can Kok. Melihat ini, Can Kok menjadi marah dan dia memperlihatkan kemarahannya itu dengan tertawa. Kalau mengeluarkan tawa terkekeh dengan suara seperti tangis mengguguk seperti itu, merupakan pertanda bahwa pemuda aneh itu sedang marah!

Tiba-tiba tangan kirinya berkelebat ke arah lima orang itu dan mereka berpelantingan roboh dan tewas seketika dengan muka berubah menghitam! Can Kok tertawa bergelak, kini tertawa karena senang hatinya seperti ketika dia merobohkan empat orang datuk besar tadi.

Dia mendorong perahu ke air telaga lalu mendayung. Perahu meluncur cepat sekali karena gerakan dayung itu bukan main kuatnya, seolah didayung sepuluh orang, sebentar saja sudah jauh meninggalkan Pulau Iblis.

Ketika empat orang datuk besar tiba di pantai pulau itu, mereka melihat mayat orang gagu tuli yang mukanya kehitaman dan mereka berempat menghela napas panjang.

“Celaka, dia menjadi liar sampai orang-orang sendiri pun dia bunuh!” kata Tung-sai Kui Tong.

“Hemm, bukan mustahil kalau kelak bertemu dengan kita, dia juga akan membunuh kita satu demi satu. Otak anak itu telah rusak oleh sin-kang yang amat kuat namun karena datang dari empat aliran yang dipersatukan, merusak dan mengacau pikirannya,” kata Pak-sian Liong Su Kian.

“Bagaimanapun juga, dia sudah menjadi luar biasa lihainya dan aku yakin dia akan mampu membunuh Tiong Lee Cin-jin,” kata Lam-kai Gui Lin.

“Omitohud! Biarkan dia membunuh Tiong Lee Cin-jin lebih dulu, baru sesudah itu kita mencari jalan untuk memusnakan dia karena kalau dibiarkan, dia hanya akan membikin kotor nama kita yang menjadi guru-gurunya,” kata See-ong Hui Kong Hosiang.

Tung-sai Kui Tong lalu melempar-lemparkan mayat lima orang anak buahnya itu ke tengah telaga dan sebentar saja di telaga itu ikan-ikan berpesta pora. Kekejaman seperti itu bukan merupakan hal aneh bagi empat orang datuk besar yang terkenal akan kesesatannya itu. kemudian mereka berempat mempergunakan dua buah perahu kecil yang tadi dipergunakan Pak-sian Liong Su Kian dan See-ong Hui Kong Hosiang untuk meninggalkan Pulau Iblis di tengah telaga itu.

Setelah tiba di daratan mereka berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing, Pak-sian kembali ke Cin-ling-san, See-ong kembali ke Beng-san, Tung-sai kembali ke Pulau Udang di Laut Timur, dan Lam-kai Gui Lin kembali merantau karena dia adalah seorang datuk pengemis yang suka merantau dan tinggal di Pulau Iblis hanya untuk Sementara, selama dua tahun ketika dia melatih Can Kok....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.