Yang pernah melihat Han Bi Lan tentu tidak akan menduga bahwa gadis yang berjalan perlahan mendaki bukit itu adalah Han Bi Lan. Setelah beberapa bulan meninggalkan ibunya, mengamuk dan menciderai para pria bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelacuran, gadis yang tadinya bertubuh denok padat itu kini tampak kurus.

Pakaiannya yang biasanya berwarna merah muda dan rapi bersih, kini lusuh. Rambutnya yang hitam panjang dan biasanya digelung indah, kini dibiarkan terurai lepas sampai ke punggung. Wajahnya memang masih tampak cantik menarik namun kehilangan sinarnya, pandang matanya kosong dan sepasang alisnya yang indah bentuknya itu selalu berkerut.
Berbagai kegetiran mengacaukan ingatannya. Pertama yang mengguncangkan hatinya adalah kenyataan bahwa ibunya adalah seorang bekas pelacur! Kedua adalah kematian ayahnya sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam karena kematian ayahnya itu kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dua muridnya, yaitu pemuda bernama Bouw Kiang dan gadis bernama Bong Siu Lan!
Dan ketiga, ia harus membalas penghinaan yang dilakukan Souw Thian Liong kepadanya, yaitu telah menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali. Masih terasa panas kedua pipinya sampai sekarang setiap kali ia teringat akan peristiwa itu. Pinggulnya yang ditampari, akan tetapi hatinya yang sakit dan kedua pipinya yang panas dan kemerahan.
Tunggu saja, aku akan membalas menampari engkau lipat dua kali, bukan sepuluh melainkan duapuluh kali! Tentu saja bukan pada pinggul Thian Liong, melainkan pada kedua belah pipinya, pikirnya dengan hati panas. Akan tetapi untuk dapat melaksanakan semua dendam itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya.
Ouw Kan dan dua orang muridnya itu merupakan lawan berat. Apalagi Thian Liong. Tidak mudah mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi ia akan belajar lagi, Entah dengan cara bagaimana dan kalau sudah merasa kuat ia akan mencari mereka untuk membalas dendamnya.
Ayahnya telah mati dan ia menganggap ibunya telah mati pula! Pikiran ini membuat ia merasa demikian tertekan hatinya, membuat ia seolah kehilangan gairah hidupnya dan kini dara perkasa yang menderita batin itu mendaki bukit bagaikan orang berjalan dalam mimpi tanpa tujuan, seolah tidak sadar dan hanya menurut saja ke mana kedua kakinya melangkah dan membawanya.Ia bahkan seolah tidak melihat keindahan pemandangan alam terbentang di bawah bukit itu. Matanya terbuka namun kosong. Bahkan beberapa kali kakinya tersandung batu menunjukkan bahwa ia pun tidak memperhatikan langkahnya. Padahal, pemandangan di pagi hari yang cerah itu amatlah indahnya.
Setelah tiba di puncak bukit, baru ia berhenti melangkah. Pendakian yang cukup melelahkan itu tidak dirasakannya, hanya muka dan leher yang basah oleh keringat menunjukkan bahwa untuk mendaki bukit itu menguras banyak tenaganya.
Seolah baru tersentak bangun dari tidur Bi Lan seperti terseret kembali ke alam kesadaran. Ia berdiri memandang ke sekeliling. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar yang aneh-aneh bentuknya, seolah-olah ada barisan hantu raksasa mengepungnya.
“Makin dicari semakin menjauh! Sudah dekat sekali tidak terasa. Alangkah bodohnya!”
Bi Lan terkejut karena suara itu terdengar demikian dekatnya, seolah mulut yang mengeluarkan kata-kata itu ditempelkan di telinganya! Ia mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi karena di sekelilingnya berdiri batu-batu besar berderet-deret seperti kepungan raksasa, ia tidak dapat melihat jauh, terhalang batu-batu itu.
Tidak tampak seorang pun di situ. Ia lalu berjalan, di antara batu-batu dan memandang ke kanan kiri dan ke atas batu-batu, namun setelah ia berputar-putar di sekitar puncak, tidak menemukan seorang pun! Bi Lan berhenti melangkah, alisnya berkerut, matanya yang selama ini kosong dan sayu, kini mencorong, pertanda bahwa ia mulai mencurahkan perhatiannya dan merasa penasaran.
Bahkan ia mulai waspada. Ia seorang gadis yang sudah biasa bertualang, tidak mengenal takut. Bahkan kalau pada waktu itu orang-orang lajim percaya akan tahyul dan takut terhadap cerita dan bayangan tentang setan, Bi Lan tidak pernah takut. Iblis yang bagaimanapun akan dihadapi dan kalau perlu ditentangnya!
“Keparat! Siapa yang bicara tadi? Hayo cepat keluar!” ia membentak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehing¬ga suaranya itu bergema sampai jauh. Akan tetapi tidak ada yang menjawab ucapannya tadi.
Bi Lan mulai marah karena ia merasa dipermainkan. Ia memutar tubuh dan menghantam sebongkah batu sebesar kerbau dangan telapak tangannya.
“Haaiiiittt.... pyarr...!!” Batu itu ambyar (hancur) berkeping-keping!
“Tolol, batu tidak berdosa dipukul hancur. Bocah perempuan gila yang tolol.”
Bi Lan cepat sekali memutar tubuhnya dan matanya yang mencorong mencari-cari. Akan tetapi tidak melihat siapa-siapa kecuali batu-batu, padahal, suara itu tadi terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dengan penasaran ia mencari-cari lagi akan tetapi kembali ia kecewa karena tidak dapat menemukan apa-apa. Ia menjadi semakin marah. Ia mengepal tinju dan mengamangkan tinjunya ke atas.
“Setan iblis! Keluarlah, dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!” teriaknya.
“Ha-ha-heh-heh-heh....!” Suara tawa itu amat menggelitik, jelas mengandung cemooh atau ejekan, seperti orang tua menertawakan kenakalan seorang anak kecil.
Bi Lan cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya karena suara itu terdengar dari arah belakang. Setelah ia menyelinap di antara dua buah batu besar yang lebih tinggi dari tubuhnya, ia melihat sesosok tubuh duduk bersila di atas sebuah batu besar yang tingginya setinggi dirinya. Ia menjadi marah sekali. Sekarang ia menemukan pengganggunya!
Maka dengan ringan ia melompat ke atas batu itu dan kini ia berdiri di depan sosok tubuh manusia itu. Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengamati orang itu dengan sinar mata penuh selidik dan kemarahan, namun ia tetap waspada dan berhati-hati.
Orang itu duduk bersila dengan tegak dan kaku seolah-olah telah berubah menjadi arca batu. Rambutnya putih riap-riapan, sebagian menutupi wajahnya yang kurus pucat. Alis dan kumis jenggotnya juga sudah putih semua. Wajah itu tentu sudah tua renta, mungkin ada seratus tahun usianya. Matanya terpejam, mulut tertutup.
Wajah kurus pucat itu tidak ada sinar kehidupan, seperti wajah mayat! Pakaiannya yang membungkus badan kurus itu hanya kain putih yang sudah lusuh. Kepalanya hanya diikat sehelai kain putih pula. Kedua kaki yang itu mengenakan sepatu kain putih yang sudah butut.
'Hei! Kakek tua! Engkaukah yang bicara dan mentertawakan aku tadi?” Bi Lan menegur, agak menyabarkan hatinya karena ia berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang pantasnya menjadi kakek buyutnya.
Akan tetapi orang itu sama sekali tidak menjawab, bergerak sedikit pun tidak.
“Hei, Kek! Jawab pertanyaanku! Engkaukah yang bicara tadi?”
Kakek itu tetap diam saja. Bi Lan menjadi jengkel. “Kakek tua! Tulikah engkau? Gagukah engkau? Hayo jawab, jangan membuat aku marah!!”
Bi Lan menjulurkan tangannya meraba dahi yang berkeriputan itu. Hih, Dingin sekali! Benarkah sudah mati? Akan tetapi walaupun wajah yang pucat itu seperti mayat, tubuhnya masih duduk bersila dengan tegak. Mana mungkin mayat dapat duduk bersila tegak terus menerus? Hanya kalau mayat itu membeku atau sudah menjadi batu! Akan tetapi mayat ini tidak membeku, kulit dahinya yang dirabanya itu masih lunak.
Bi Lan kembali menjulurkan tangannya, dibawa ke depan hidung itu. Tidak ada hembusan napas sedikit pun. Kakek itu tidak bernapas! Berarti sudah mati. Juga baju di bagian dadanya tidak bergerak, tanda bahwa dada itu pun tidak mengembang kempis seperti kalau orangnya masih hidup dan bernapas!
Ah, tanda hidup atau mati ada pada detak jantungnya, pikir Bi Lan. Ia akan tahu apakah kakek ini masih hidup atau sudah mati kalau ia memeriksa denyut nadinya. Ia menjulurkan tangan lagi, menyentuh bawah dagu, di leher atas tu-tang pundak, di mana biasanya denyut jantung terasa. Tidak ada denyut!
Ia kini meraba pergelangan tangan kakek itu. Kulit pergelangan tangan itu masih lu¬nak, akan tetapi dingin sekali dan denyut nadinya juga tidak ada sama sekali! Ah, dia sudah mati, pikir Bi Lan sambil bangkit berdiri dari jongkoknya. Sialan! Ia bertemu mayat. Akan tetapi kenapa mayat dapat bicara? Dan dapat menertawakannya?
Ia memandang lagi, terbelalak dan betapapun tabahnya, kini ia merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya berdiri. Siapa yang tidak ngeri kalau mendengar mayat bicara dan tertawa? Akan tetapi dasar ia seorang gadis bandel dan keras hati, ia mampu mengusir rasa ngerinya dan membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka mayat itu.
“Siapa kau! Sudah mati masih suka menggoda orang!”
“Daripada masih hidup suka menggoda orang, lebih baik sesudah mati, tidak berbahaya!”
Bi Lan terbelalak dan mulutnya ternganga. Jelas terdengar oleh telinganya bahwa suara itu keluar dari mayat itu, akan tetapi ia tidak melihat mulut mayat itu terbuka! Sama sekali mulut itu tidak bergerak. Bagaimana mungkin bicara tanpa menggerakkan bibir?
Bulu kuduknya meremang semakin kuat, rasa dingin di tengkuknya menjalar ke punggung. Akan tetapi Bi Lan mengeraskan hatinya dan menjadi semakin marah sehingga tanpa disadari ia membanting-banting kaki kirinya yang merupakan kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang marah.
“Setan! Engkau setan iblis neraka yang memasuki tubuh mayat ini untuk menggodaku!” Ia memaki dan menudingkan lagi telunjuknya ke arah muka mayat itu.
“Heh-heh, engkaulah setan betina cilik yang tolol!” kembali terdengar suara dari “mayat” itu, suara yang keluar tanpa menggerakkan bibir!
Kemarahan mengusir semua rasa ngeri dan takut. “Setan busuk, jangan kira aku takut padamu! Mampuslah kamu! Bi Lan menggunakan tangan kirinya untuk menampar pundak mayat itu. Karena ia masih ingat bahwa itu mayat seorang kakek, ia masih merasa sungkan dan yang ditampar hanya pundak, itu pun tanpa mengerahkan tenaga saktinya karena ia tidak ingin merusak “mayat” itu.
“Wuuttt.... plakk!” Tangan Bi Lan terpental dan ia merasa telapak tangannya panas dan pedih, seolah ia tadi menampar papan baja yang membara! Tentu saja ia menjadi semakin marah.
“Ihh, engkau melawan, ya? Ingin memperlihatkan kekuatan setanmu padaku? Akan kuhancurkan kepalamu, setan iblis hantu mayat hidup!” Setelah memaki ia menggerahkan pukulan dengan tenaga sin-kang dari Kwan-im-sin-ciang (Tangan Sakti Kwan Im) ke arah dada “mayat” itu.
“Hyaaaaattt…!” Kini telapak tangannya menghantam dengan didahului angin pukulan yang dahsyat.
“Wuuuuttt.... dessss!” Bukan mayat itu yang terpukul pecah atau roboh, sedikit pun tidak terguncang, sebaliknya tubuh Bi Lan yang terjengkang ke belakang. Untung ia dapat cepat berjungkir balik sehingga tubuh belakangnya tidak terbanting ke atas batu besar yang keras dan lebar itu!
“Heh-heh, sedikit ilmu pukulan lemah dari Tibet hendak dipamerkan? Ha-ha-ha!” mayat itu menertawakan.
Bi Lan terbelalak. Bukan terkejut melihat kelihaian setan yang masuk ke dalam mayat kakek itu, akan tetapi juga kaget mendengar kakek itu mengenal pukulannya yang ia pelajari dari guru pertamanya, Jit Kong Lhama yang memang berasal dari Tibet. Akan tetapi ia juga menjadi semakin marah karena pukulannya tadi bertemu dengan hawa yang amat kuat.
Karena tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaganya ketika menggunakan pukulan dari Kwan-im-sin-ciang, kini ia memasang kuda-kuda dan menghantam dengan jurus maut dari ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Ilmu silat simpanan dari Kun-lun-pai ini memang hebat sekali dan mengandung hawa pukulan yang amat kuat.
“Terimalah ini, setan! Haiiiiiitt...!!” Kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri, dahsyat bukan main dan pukulan kedua tangan gadis itu akan mampu menghancurkan batu karang.
“Syuuuuuttt... blaarr...!” Tubuh Bi Lan terlempar jauh sampai keluar dan turun ke bawah batu besar itu! Gadis itu terkejut sekali dan untung ia masih mampu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun ke atas tanah dengan kedua kaki lebih dulu dan hanya terhuyung.
Pada saat itu, ada bayangan berkelebat dari atas batu dan tahu-tahu “mayat” tadi kini sudah berdiri di depan Bi Lan, matanya terbuka dan sepasang mata itu mencorong seperti kilat! Bi Lan memandang dan merasa ngeri juga karena jelas bahwa “mayat” itu sakti bukan main. Setelah mahluk itu kini berdiri, makin tampak betapa kurusnya dia.
“Heh, bocah perempuan liar! Bagaimana mungkin engkau menggunakan jurus terakhir dari delapan jurus ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat? Padahal, bahkan Kui Beng Thaisu ketua Kun-lun-pai itu sendiri setahuku hanya mampu menguasai sebanyak enam jurus lebih! Siapakah engkau ini?”
Bi Lan memperhatikan mahluk yang berdiri di depannya. Melihat tubuh itu dapat bergerak-gerak dengan wajar dan bola mata yang mencorong itu pun bergerak biasa, jelas bahwa dia berhadapan dengan mahluk hidup berwujud manusia. Akan tetapi kalau manusia, bagaimana dapat bicara tanpa menggerakkan bibirnya? Ia memandang ke arah kaki yang bersepatu kain itu. Menurut kabar, setan atau iblis hantu tidak menginjak tanah.
Akan tetapi mayat hidup di depannya ini menginjak tanah seperti manusia biasa! Baik iblis maupun manusia, mahluk ini jelas memiliki kesaktian yang luar biasa. Ia hendak memperdalam ilmu-ilmunya, alangkah baiknya kalau dapat berguru kepada mahluk ini! Gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mahluk itu.
“Ampunkan teecu kalau tadi teecu bertindak kurang ajar karena teecu tidak mengenal Suhu dan mengira Suhu mempermainkan teecu. Teecu bernama Han Bi Lan dan teecu pernah menjadi murid Suhu Jit Kong Lhama, kemudian teecu menjadi murid Kun-lun-pai dan sudah mempelajari ilmu dari Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat. Akan tetapi di depan Suhu, kepandaian teecu itu tidak ada artinya sama sekali. Teecu mohon agar Suhu sudi menerima teecu menjadi murid.”
“Heh-he-heh, engkau seorang manusia, gadis muda cantik, ingin berguru kepada setan hantu iblis mayat hidup?” Mahluk itu terkekeh tanpa menggerakkan bibirnya.
Wajah Bi Lan menjadi kemerahan karena ia merasa diejek. Ialah yang tadi menyebut mahluk itu setan hantu iblis mayat hidup. “Ampunkan teecu, Suhu. Apa pun adanya Suhu, malaikat, dewa, manusia, ataupun hantu, teecu tetap ingin menjadi murid Suhu.”
“Ha-ha-ha, Han Bi Lan! Apa sebabnya engkau mengira aku ini setan?”
Bi Lan mengangkat mukanya memandang. “Tadi Suhu duduk bersila tak bergerak sama sekali, tidak ada detak jantung dan ketika teecu meraba, kulit badan Suhu dingin sekali seperti mayat.”
“Heh-heh, engkau yang sudah memiliki ilmu yang lumayan, tentu tahu bahwa dalam samadhi kita dapat saja mengatur denyut jantung dan peredaran darah. Apa anehnya?”
“Akan tetapi.... Suhu tadi dan bahkan sekarang pun kalau bicara tidak menggerakkan bibir!”
“Oh, apa sih anehnya itu? Setiap orang dapat mempelajarinya! Jangan gerakkan bibir dan hanya pergunakan lidah dan kerongkongan dibantu gerakan perut, tentu engkau dapat bicara seperti yang kulakukan ini. Dan sekarang engkau yang tadi mengamuk dan menyerangku, kini ingin berguru kepadaku. Mengapa?”
“Suhu memiliki kesaktian luar biasa sehingga pukulan-pukulan teecu sama sekali tidak mampu menyentuh Suhu, maka teecu ingin mendapatkan pelajaran ilmu dari Suhu. Harap Suhu tidak menolak dan sudi menerima teecu menjadi murid.”
“Hemm, engkau begini muda sudah memiliki ilmu-ilmu yang tinggi dari Tibet dan Kun-lun-pai, untuk apa ingin mempelajari ilmu yang lebih tinggi lagi?”
“Teecu ingin membalas dendam, Suhu. Teecu ingin membalas kepada orang-orang yang membunuh ayah kandung teecu, juga membalas orang yang pernah menghina teecu. Akan tetapi, para musuh teecu itu lihai sekali dan teecu tidak mampu mengalahkan mereka, oleh karena itu teecu mohon Suhu suka membimbing teecu.”
“Heh-heh-heh, Han Bi Lan, tahukah engkau siapa aku?”
“Teecu tidak tahu, akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal sekali.”
“Hemm, dulu aku disebut Heng-si Cauw-jiok dan semua orang takut padaku!”
Bi Lan terkejut bukan main dan juga girang. Gurunya yang pertama, Jit Kong Lhama, pernah bercerita kepadanya tentang seorang datuk persilatan penuh rahasia berjuluk Heng-si Cauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) yang dimusuhi hampir semua datuk di daratan Cina. Tidak kurang dari tujuh orang datuk beramai-ramai mengeroyoknya dan dikabarkan bahwa Heng-si Cauw-jiok tewas ketika dikeroyok itu. Bagaimana mungkin sekarang datuk besar itu masih hidup?
“Teecu pernah mendengar Suhu Jit Kong Lhama bercerita tentang Suhu! Katanya bahwa Suhu dikeroyok tujuh orang datuk besar dan tewas, dan peristiwa itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Bagaimana kini Suhu mengaku bahwa Suhu adalah Heng-si Cauw-jiok yang telah tewas puluhan tahun yang lalu?”
“Ha-ha-ha, mereka itu orang-orang bodoh yang menyangka aku mati. Andaikata aku mati sekalipun, aku akan tetap hidup. Bukankah julukanku Si Mayat Berjalan? Ha-ha-ha!”
Diam-diam Bi Lan bergidik. Jangan-jangan Kakek ini benar-benar telah mati dan menjadi mayat hidup alias setan! Akan tetapi ia tidak perduli. Setan atau manusia kalau dapat mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya, akan ia angkat menjadi gurunya! “Suhu, mohon menerima teecu sebagai murid,” katanya lagi.
Bi Lan terbelalak. “Mengubur Suhu hidup-hidup? Ah, itu jahat sekali namanya! Teecu akan dikatakan murid durhaka!”
“Pendeknya mau atau tidak? Kalau tidak mau, pergilah sana, aku tidak sudi menjadi gurumu. Baru mulai saja sudah tidak taat, apalagi sesudah setahun!”
Bi Lan menjadi serba salah. Hemm, ia berhadapan dengan seorang kakek yang sudah sinting. Sanggupi saja, soal nanti setahun, bagaimana nanti sajalah! “Baiklah, Suhu, teecu menurut.”
“Kalau begitu, mari ikut aku pulang.”
“Pulang?”
“Ya, ke tempat tinggalku di sana.”
Bi Lan mengikuti kakek itu dan ternyata tempat tinggal Si Mayat Hidup itu tidak jauh dari situ. Dia tinggal di sebuah guha yang tepat berada di bawah puncak. Mulai saat itu Bi Lan menjadi murid manusia aneh itu dan ia digembleng dengan keras. Selama setahun Bi Lan mendapat pelajaran ilmu silat yang aneh dan dahsyat yang oleh Si Mayat Hidup disebut Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menjagoi Langit) yang terdiri dari tigabelas jurus ampuh.
Thio Ki terkenal sebagai seorang pedagang yang berhasil di kota Kang-cun. Dia sering membawa barang dagangan yang besar jumlahnya ke utara sampai di kota raja Yen-cing (Peking), yaitu kota raja Kerajaan Kin. Terkadang dia pun membawa barang dagangan ke selatan sampai ke kota Hang-couw, yaitu kota raja Kerajaan Sung Selatan.
Dengan perdagangan ke utara dan ke selatan itu, Thio Ki berhasil mendapatkan keuntungan besar sehingga dia terkenal sebagai seorang hartawan di kota Kang-cun yang terletak di lembah Sungai Yang-ce bagian utara. Kota Kang-cun merupakan kota yang berada di tapal batas dua kerajaan itu, namun masih termasuk ke dalam Kerajaan Kin.
Isteri Thio Ki adalah seorang wanita berdarah bangsawan karena sebelum menikah dengan Thio Ki, ia adalah janda pangeran Kerajaan Kin. Sebelumnya ia sendiri adalah puteri seorang kepala suku bangsa Uigur. Namanya Miyana, usianya sekitar empatpuluh tahun masih tampak bekas kecantikannya.
Thio Ki sendiri berusia empatpuluh lima tahun. Biarpun selama menikah dengan Miyana, kurang lebih limabelas tahun, mereka tidak mempunyai keturunan, namun Thio Ki cukup merasa berbahagia dengan anak tirinya, seorang anak perempuan yang ketika dia menikah dengan Miyana, berusia empat tahun. Anak itu bukan lain adalah Thio Siang In yang terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li...!
Thio Ki yang biasa melakukan perjalanan jauh untuk berdagang, selain dikawal beberapa orang piauw-su (pengawal barang dagangan) yang lihai, juga bukan seorang lemah. Dia pernah belajar silat beberapa tahun lamanya. Karena itu, ketika anak perempuan yang memakai nama marganya itu tampak suka akan ilmu silat, dia memberi pelajaran ilmu silat.
Ketika isterinya, Miyana memberi tahu bahwa suku bangsanya mempunyai seorang datuk besar yang sakti, yaitu Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) Ouw Kan, Thio Ki lalu menye-rahkan Siang In kepada guru besar itu untuk menjadi muridnya.
Setelah tamat belajar dan Thio Siang In menjadi pendekar wanita yang gagah perkasa, Thio Ki dan Miyana ikut merasa bangga dan berbahagia. Ternyata setelah menjadi seorang gadis yang lihai, Siang In tidak melupakan pendidikan budi pekerti yang diberikan Ayah Ibunya sehingga ia menjadi seorang li-hiap (pendekar wanita) yang dijuluki Ang Hwa Sian-li.
Akan tetapi yang terkadang membuat mereka berdua gelisah dan rindu, adalah kesukaan puteri mereka itu meninggalkan rumah, mengembara dan bertualang. Bahkan akhirnya, setahun yang lalu, puteri mereka itu mengikuti seorang guru lain, yaitu Tiong Lee Cin-jin.
Thio Ki sudah mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Tabib Dewa itu sebagai seorang yang amat sakti dan budiman serta arif bijaksana. Maka dia dan isterinya menyatakan persetujuan mereka puterinya menjadi murid Tabib Dewa itu.
Tentu saja Miyana telah berterus terang kepada suaminya bahwa Siang In bukanlah anak kandungnya. Ia menceritakan sejujurnya kepada suami yang amat mencintanya itu bahwa sesungguhnya anak mereka itu adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin! Puteri seorang selir kaisar yang berkebangsaan Han bernama Tan Siang Lin dan menjadi sahabat baiknya ketika ia menjadi selir seorang pangeran dahulu.
Selir kaisar itu melahirkan sepasang bayi kembar dan agar kedua orang bayi itu tidak dibunuh seperti yang telah menjadi kepercayaan bangsa Kin (Nuchen) bahwa anak kembar akan mendatangkan malapetaka, maka seorang dari bayi kembar itu diserahkan kepadanya. Thio Ki bahkan semakin sayang kepada Siang In, yang sesungguhnya adalah puteri kaisar itu!
Akan tetapi hari ini rumah besar keluarga itu tampak sepi, padahal biasanya seluruh penghuni rumah itu tampak gembira dengan wajah berseri. Kini para pelayan dan pekerja pembantu tampak muram wajahnya dan kalau bicara pun mereka berbisik-bisik sehingga dapat diduga bahwa tentu ada perkara yang amat menyedihkan terjadi di rumah besar itu.
Di dalam sebuah kamar yang besar dalam rumah itu, kamar induk, Thio Ki rebah telentang di atas pembaringan. Kepala dan lengan kirinya dibalut. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak lemah dan wajahnya yang gagah agak pucat.
Miyana, isterinya yang masih cantik, duduk di tepi pembaringan. Wajahnya masih muram dan matanya masih kemerahan dan sembab, tanda bahwa ia banyak menangis. Di atas meja dekat pembaringan tampak mangkuk obat yang sudah kosong.
Thio Ki rebah dengan kedua mata terpejam dan mulutnya agak menyeringai menahan rasa nyeri. Tiba-tiba dia mengeluh dan bergerak hendak bangkit duduk. Miyana cepat membantunya sambil bertanya lembut,
“Mengapa bangkit? Lebih baik rebah dulu. Bukankah tabib tadi mengatakan bahwa engkau kehilangan banyak darah dan sebaiknya rebah mengaso dan banyak tidur?”
Thio Ki sudah duduk dan pundaknya dirangkul isterinya. Dia menghela napas panjang beberapa kali. “Ahh, rasa sakit di badan ini dapat kutahan. Akan tetapi hatiku sakit sekali kalau ingat akan semua barang yang dirampas dan penghinaan yang kudapat dari jahanam-jahanam itu......”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan soal kehilangan harta benda. Harta bisa dicari lagi, yang penting kesehatanmu cepat pulih kembali,” isterinya menghibur.
“Kehilangan harta benda tidak menyusahkan aku,” kata Thio Ki, “Aku pernah melarat dan aku tidak takut untuk menjadi melarat lagi. Akan tetapi di antara barang-barang itu ada yang milik orang lain dan aku harus mengganti kehilangan itu! Barang-barangku sendiri sudah habis, dari mana aku dapat mengganti kehilangan itu?”
“Pemilik barang itu pasti akan mengerti bahwa barangnya hilang karena engkau dirampok dan dia mau mengerti. Kita bekerja lagi dan perlahan-lahan kita dapat mencicil barangnya yang hilang itu.”
“Hemm, mana dia mau? Kau tahu siapa pemilik barang yang dititipkan padaku untuk dikirim dan ikut dibawa perampok itu? Dia adalah Pangeran Cin Boan!”
“Pangeran Cin Boan? Ahh......!”Miyana terkejut mendengar nama ini.
“Ya, Pangeran Cin Boan yang kita tolak lamarannya terhadap Siang In yang ingin dia jodohkan dengan puteranya karena Siang In selalu menolak pinangan siapapun juga. Mana mungkin dia mau memberi kelonggaran kepada kita yang dianggap tentu telah menyakitkan hatinya karena penolakan pinangan itu? Ahhh!” Thio Ki tampak sedih sekali.
“Aihh..... kalau saja dulu Siang In mau menerimanya pinangan itu. Aku pernah melihat Cin-kongcu (Tuan Muda Cin) dan dia adalah seorang pemuda yang tampan dan halus tutur sapanya, sopan santun dan aku mendengar dia telah lulus ujian sebagai seorang sasterawan. Siang In sungguh keras hati. Belum juga melihat Cin-kongcu, ia sudah menolak begitu saja! Sekarang, bagaimana baiknya......?” Miyana yang biasanya tabah kini mulai merasa gelisah juga mendengar keterangan suaminya tadi.
“Hemm, kalau Siang In berada di rumah, pasti ia akan mampu merampas kembali barang-barang itu dari gerombolan perampok. Mengapa ia belum juga pulang? Bukankah dulu Tiong Lee Cin-jin mengirim kabar kepada kita bahwa dia hendak mengajarkan ilmu kepada Siang In selama satu tahun saja? Dan sekarang, kalau tidak salah, sudah setahun lamanya.”
“Sudahlah, jangan memikirkan dulu semua urusan itu,” Miyana kembali menghibur suaminya. “Tiduran saja dulu, tenangkan hatimu. Kalau sudah sembuh benar, baru kita memikirkan urusan itu.” Ia membantu suaminya rebah kembali, menyelimuti tubuh suaminya dan membantu pelayan mempersiapkan makan obat untuk suaminya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada seorang laki-laki datang berkunjung ke rumah Thio Ki. Laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh pendek gendut ini diterima dengan baik oleh Miyana karena ia telah mengenalnya dengan baik. Orang itu adalah Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Golok Besar) karena dia terkenal lihai dengan permainan golok besarnya.
Bhe Liang ini merupakan seorang di antara para pimpinan pasukan piauw-su (pengawal kiriman barang) yang telah bekerja kepada Thio Ki selama setahun lebih. Akan tetapi ketika terjadi perampokan barang itu, yang mengawal bukan giliran kelompoknya. Sebelum menjadi piauw-su, dia pernah bekerja sebagai pengawal pada keluarga Pangeran Cin Boan.
Setelah berada dalam kamar Thio Ki yang dijenguknya, Bhe Liang dipersilakan duduk di kursi dekat pembaringan di mana Thio Ki berbaring. “Bagaimana keadaanmu Thio-twako?” tanya Bhe Liang dengan penuh perhatian.
“Luka-luka di pelipis dan lengan kiri sudah tidak begitu nyeri lagi, Bhe-te (Adik Bhe). Akan tetapi tubuh ini rasanya masih lemas,” jawab Thio Ki dengan suara sedih.
“Hemm, kalau saja ketika itu saya yang mengawal, pasti tidak akan terjadi hal ini, Twako. Saya tentu sudah menghajar para perampok keparat itu!” Si Pendek Gendut ini mengepal tinju dengan penasaran.
Thio Ki menghela napas panjang. “Apa hendak dikata. Semua telah terjadi. Kalau saja puteriku Siang In berada di sini, pasti ia akan mencari dan membasmi gerombolan perampok itu dan merampas kembali semua barangku.”
“Thio-twako, kedatangan saya ini selain untuk melihat keadaan, Twako, juga untuk menyampaikan kabar yang penting bagimu. Twako, saya tahu siapa yang menjadi dalang perampokan ini!”
“Eh?” Thio Ki tertarik sekali dan memandang penuh selidik. “Benarkah itu, Bhe-te? Siapa yang mendalangi?”
Pada saat itu, Miyana memasuki kamar dan ia mendengar ucapan terakhir suaminya itu. “Eh? Ada yang mendalangi perampokan?” Ia lalu duduk di tepi pembaringan dan ikut memandang Bhe Liang dengan sinar mata menyelidik.
“Benar, Twa-so.”
“Siapa dia....?” Suami isteri itu bertanya dengan suara hampir berbareng.
“Siapa lagi kalau bukan Pangeran Cin Boan!”
Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alisya, menatap tajam wajah Bhe Liang dengan ragu. “Bhe-te, jangan main-main kau!” kata Thio Ki. “Jangan menuduh tanpa bukti, itu fitnah namanya!”
“Aih, Twako. Sudah setahun lebih saya membantu Twako dengan setia, apakah Twako masih meragukan keterangan saya? Saya tidak menuduh sembarangan saja. Twako tentu masih ingat, setahun yang lalu saya masih menjadi pengawal di keluarga Pangeran Cin Boan itu. Nah, ketika pinangan keluarga itu terhadap puteri Twako ditolak, Pangeran Cin Boan marah sekali. Saya mendengar sendiri kata-katanya bahwa sekali waktu dia akan membalas penghinaan itu.”
“Penghinaan?” Miyana bertanya heran.
“Benar, Twako. Penolakan pinangan itu dianggap sebagai penghinaan oleh Pangeran Cin Boan. Maka, setelah terjadi perampokan ini, padahal dia juga menitipkan kiriman barang yang besar nilainya, siapa lagi yang mendalanginya kalau bukan dia?”
Setelah Bhe Liang meninggalkan rumah itu, Thio Ki dan Miyana masih duduk termenung, memikirkan keterangan Bhe Liang tadi dengan hati risau. “Mungkinkah itu? Tidak biasanya dia menitipkan barang demikian banyaknya dalam perjalananku itu... benarkah dia membalas dendam karena ditolak lamarannya? Semua hartaku dirampas, bahkan diriku dilukai... alangkah kejamnya...”
“Nanti dulu, kita harus berhati-hati dan jangan dulu memastikan bahwa dugaan Bhe Liang itu benar. Pertama, apa buktinya bahwa perampokan ini didalangi oleh Pangeran Cin Boan yang hendak membalas dendam kepadamu? Kedua, kita sudah mendengar dan mengenal siapa Pangeran Cin Boan. Dia seorang bangsawan kaya raya yang dermawan dan selalu bersikap baik dan ramah terhadap siapapun juga. Jadi, amat meragukan kalau dia dapat melakukan tindakan sejahat itu.”
“Akan tetapi dia seorang Pangeran Kin, mungkin saja diam-diam dia membenci aku, seorang pribumi bangsa Han.”
“Tidak mungkin! Kalau dia membencimu, mengapa dia melamar anak kita dan hendak menjadikan engkau besannya?”
Mereka diam dan termenung, lalu Thio Ki menghela napas panjang den berkata, “Bagaimanapun juga, dugaan Bhe Liang tidaklah ngawur. Memang besar sekali kemungkinan Pangeran Cin Boan merasa terhina. Bagaimana dia tidak akan merasa terhina oleh penolakan kita? Dia seorang pangeran, berkedudukan tinggi, kaya raya dan kita ini orang-orang biasa saja. Pinangannya kita tolak, tentu hal itu bagi mereka merupakan pukulan dan kalau terdengar orang akan memalukan sekali. Pinangan seorang pangeran kaya raya ditolak seorang rakyat kecil biasa! Biarpun dia baik hati, namun dendam sakit hati dapat saja membuat seorang yang baik hati menjadi kejam karena dendam kemarahannya. Kiranya hanya dia seorang yang paling pantas dicurigai mendalangi perampokan itu.”
Miyana termenung, lalu ia pun menghela napas panjang dan berkata. “Andaikata benar dugaan itu, lalu kita mampu berbuat apa? Pertama, dugaan itu tidak ada buktinya, dan kedua, apa yang dapat kita lakukan terhadap Pangeran Cin Boan? Dia seorang bangsawan tinggi, keluarga kerajaan yang kedudukannya kuat.”
“Ah, kalau saja Siang In ada......” Keduanya mengeluh dan merasa tidak berdaya.
Ternyata harapan mereka itu terkabul. Pada keesokan harinya, pagi-pagi muncul Thio Siang In, seperti biasa berpakaian serba hijau dan ada setangkai bunga merah menghias rambutnya. Wajahnya masih cantik jelita dan berseri gembira. Gadis ini muncul bersama Puteri Moguhai yang berpakaian serba putih dengan sabuk panjang berwarna merah, di atas kepalanya terhias burung Hong dari perak yang ukirannya indah.
“Ayah, apa yang terjadi denganmu?” ketika Thio Ki dan Miyana muncul, Siang In berseru kaget melihat lengan kiri dan kepala Thio Ki dibalut kain putih dan wajah Ayahnya itu pucat.
“Siang In......!” Miyana maju merangkul anaknya sambil menangis. “Aih, Siang In, mengapa engkau baru pulang? Ayahmu mengalami malapetaka, dirampok habis-habisan dan dilukai.....”
“Hemm, kapan terjadinya, di mana dan siapa perampoknya?” Siang In bertanya dan wajahnya sudah berubah kemerahan karena marah.
Akan tetapi Thio Ki yang memandang ke arah Puteri Moguhai dan merasa terkejut dan terheran-heran melihat betapa gadis itu serupa benar dengan puterinya dan hanya pakaian mereka saja yang berbeda, cepat berkata.
“Siang In, nanti saja kita bicara didalam agar lebih leluasa. Sekarang perkenalkan dulu siapa temanmu ini.”
Baru sekarang Miyana menyadari bahwa anaknya tidak pulang seorang diri dan ia pun memandang kepada Moguhai. Mata wanita itu terbelalak lebar ketika melihat wajah puteri itu. Lalu ia menoleh dan memandang wajah anaknya, lalu menoleh lagi kepada Moguhai, begitu berulang-ulang, ganti-berganti.
“Siang In.... ini.... ini.... siapakah ini...?” Akhirnya ia dapat bertanya dan kembali ia meneliti wajah puterinya karena ia merasa bingung dan ragu apakah yang dirangkulnya itu benar Siang In, ataukah gadis yang lain itu yang sesungguhnya anaknya!
Siang In juga baru ingat akan kehadiran Moguhai karena tadi ia merasa khawatir dan tegang melihat keadaan Ayahnya. Ia lalu menoleh kepada orang tuanya. “O ya, Ayah dan Ibu, perkenalkan. Ini sahabat baikku yang juga menjadi saudara seperguruanku. Ia terkenal dengan sebutan Pek Hong Niocu, nama aselinya Puteri Moguhai.”
“Puteri....?” Miyana makin terkejut.
“Benar, Ibu. Puteri Moguhai ini adalah Puteri Kaisar Kerajaan Kin. Ibunya selir kaisar, seorang wanita Han bernama Tan Siang Lin.” Siang In memperkenalkan dengan suara biasa saja. “Pek Hong, perkenalkan, ini Ayahku Thio Ki dan Ibuku ini bernama Miyana.” Siang In memang kini menyebut Moguhai dengan nama pemberian Ayah mereka, yaitu Sie Pek Hong.
Pek Hong memberi hormat dengan mengangkat tangan depan dada dan berkata sambil tersenyum, “Paman dan Bibi, senang sekali dapat berkenalan dengan kalian.”
Hampir pingsan rasanya Miyana pada saat iuu. Thio Ki melihat keadaan isterinya dan biarpun dia sendiri terkejut dan tubuhnya masih lemas karena luka-lukanya, dia cepat memegang lengan isterinya yang agaknya menjadi pening dan terhuyung. Miyana tidak ragu lagi bahwa yang datang ini adalah saudara kembar Siang In.
Dan Thio Ki yang pernah mendengar cerita isterinya juga mengerti. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak ingin memperlihatkan kepada siapapun juga, terutama kepada anak mereka, bahwa mereka telah mengetahui rahasia dua orang gadis itu.
“Ah, Ibu terkejut melihat persamaan antara aku dan Pek Hong? Memang kami mirip sekali satu sama lain, akan tetapi ia adalah puteri kaisar dan aku hanyalah anak Ayah dan Ibu,” kata Siang In.
“Ampun, Tuan Puteri. Hamba tidak mengenal maka bersikap kurang hormat....” kata Miyana sambil memberi hormat dengan sembah dan menekuk kedua lututnya.
Akan tetapi Pek Hong segera membungkuk dan memegang lengannya, mencegah ia berlutut. “Bibi, jangan begitu. Kalau sudah keluar dari istana, aku lebih suka dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan Siang In juga menyebut namaku Pek Hong. Kuharap Paman dan Bibi juga menyebutku begitu.”
“Mari, marilah kita semua masuk dan bicara di dalam,” kata Thio Ki dan mereka berempat memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi sebuah meja besar. Miyana menutup daun pintu dan jendela agar tidak ada pelayan yang berani masuk atau mendengarkan percakapan mereka.
“Nah, Ayah. Sekarang ceritakanlah apa yang terjadi padamu,” kata Siang In, sudah dapat menekan kemarahannya.
“Terjadinya lima hari yang lalu. Bersama beberapa orang piauw-su, aku membawa barang-barang daganganku sendiri dan juga titipan barang-barang Pangeran Cin Boan menuju ke kota raja. Ketika rombongan kami tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, kami dihadang segerombolan perampok. Kami melawan dan karena pihak kami kalah banyak, barang-barang itu semua dirampas dan aku terluka."
“Hemm, di mana terjadinya itu, Ayah?”
“Di kaki Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur, dalam hutan yang berada di tepi jalan raya menuju kota Kai-feng.”
“Tahukah Ayah siapa pemimpin gerombolan itu?”
“Aku tidak mengenalnya, orangnya tinggi kurus dan permainan siang-to (sepasang golok) amat lihai. Dia tidak menyebutkan namanya dan anak buahnya berjumlah lebih dari tigapuluh orang. Dalam rombongan kami, banyak yang terluka bahkan ada dua orang piauwsu yang tewas.”
“Dan harta benda Ayah habis?”
“Hemm, terlukanya badanku dan habisnya hartaku tidak menjadi soal berat bagiku, Siang In. Kita dapat mencari lagi dengan bekerja keras. Akan tetapi yang menyusahkan hatiku adalah barang titipan Pangeran Cin Boan yang ikut hilang dibawa perampok, padahal barang-barang itu amat mahal harganya. Bagaimana aku akan dapat membayarnya?” Kalimat terakhir ini diucapkan Thio Ki dengan keluhan.
“Jangan khawatir, Ayah. Aku akan segera mencari ke tempat Ayah dihadang perampok itu dan aku akan membasmi mereka dan mengambil kembali barang-barang Ayah!” kata Siang In.
“Benar, Paman. Aku akan membantu Siang In dan kami pasti akan dapat merampas kembali barang-barang Paman,” kata Pek Hong dengan suara menyakinkan.
Miyana memandang kepada suaminya dan berkata lirih, “Apakah tidak perlu menceritakan kepada Siang In tentang dugaan piauw-su Bhe Liang?”
“Laporan apakah, Ayah? Ceritakan kepadaku!” kata Siang In kepada Ayahnya.
Thio Ki menghela napas panjang. “Bhe Liang melaporkan kepadaku, mengatakan bahwa yang mendalangi perampokan itu adalah Pangeran Cin Boan.”
“Itulah, Siang In. Aku juga bilang kepada Ayahmu agar jangan mudah percaya akan dugaan Bhe Liang itu karena tidak ada buktinya,” kata Miyana.
“Memang tidak ada buktinya. Menurut laporan Bhe Liang, ketika pinangan keluarga Pangeran Cin Boan itu kita tolak, Bhe Liang yang ketika itu masih menjadi pengawal Pangeran Cin, mendengar betapa Pangeran itu marah kepada kita dan mengeluarkan ancaman akan membalas penghinaan itu. Penolakan kita itu dia anggap sebagai penghinaan. Ketika aku membawa barang ke utara, dia menitipkan barang-barang berharga, lalu terjadi perampokan itu. Karena itulah Bhe Liang menduga bahwa yang mendalangi perampokan adalah Pangeran Cin Boan.”
“Hemm, masuk akal juga....” kata Siang In. “Aku akan menyelidiki dulu keluarga Pangeran Cin Boan sebelum melacak di tempat terjadinya perampokan. Kalau benar Pangeran Cin Boan yang mendalangi perampokan itu, hemm, akan kuhajar dia! Tidak tahu malu kalau pinangan ditolak lalu merasa terhina dan mendendam.”
“Nanti dulu, Siang In. Aku mengenal Pangeran Cin Boan. Dia masih merupakan Paman luarku dan selama ini aku mengenal dia sebagai seorang yang berwatak baik. Memang sejak dia pindah ke sini, aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Sudah kurang lebih enam tahun aku tidak bertemu keluarga Paman Pangeran Cin Boan. Maka, biarlah aku yang pergi berkunjung ke sana. Akan kuselidiki apakah benar dia yang mendalangi perampokan ini. Kalau benar, akulah yang akan menegur, kalau perlu menghukumnya. Kalau engkau yang ke sana, mungkin engkau akan dipengaruhi emosi dan melakukan kesalahan.”
Siang In tersenyum. “Engkau selalu menganggap aku galak, Pek Hong dan engkau khawatir aku membikin keributan? Baiklah, kalau bukan engkau yang mengajukan usul dan menggantikan aku menyelidiki Pangeran itu, pasti kutolak.”
“Nah, aku akan pergi sekarang. Paman dan Bibi Thio, permisi dulu, aku akan berkunjung ke rumah Pangeran Cin Boan. Nanti kalau sudah ada hasilnya, aku akan kembali ke sini.”
“Baik dan terima kasih, puteri.... eh, Pek Hong!” kata Thio Ki gembira.
Setelah kini puterinya pulang, harapannya muncul kembali dan dia merasa yakin bahwa barang-barangnya pasti akan bisa didapatkan kembali. Dia yakin akan kemampuan puterinya, apalagi setelah kini selama setahun ia digembleng oleh Tiong Lee Cin-jin!
Pek Hong Niocu lalu meninggalkan rumah Thio Ki dan setelah ia pergi, Thio Ki dan isterinya minta kepada Siang In agar menceritakan semua pengalamannya selama ia pergi meninggalkan rumah. Terutama sekali Miyana bertanya kepada puterinya tentang Pek Hong dan menduga-duga apakah puterinya sudah tahu akan rahasia dirinya, bahwa ia adalah Puteri Kaisar Kin dan mereka berdua hanya orang tua angkat.
Siang In menceritakan pengalamannya, akan tetapi ia tidak mau menceritakan bahwa ia sudah tahu akan rahasia dirinya, juga sama sekali tidak menceritakan bahwa Tiong Lee Cin-jin adalah Ayah kandungnya. Ia memenuhi pesan Ayah kandungnya itu untuk tetap merahasiakan tentang hubungan antara Tiong Lee Cin-jin, Tan Siang Lin, Puteri Moguhai dan dirinya sendiri.
Biarlah Ayah Ibunya, Thio Ki dan Miyana yang baik hati dan menyayangnya sejak kecil sampai sekarang tidak akan merasa sedih kalau ia mengatakan bahwa ia tahu bahwa mereka bukanlah Ayah dan Ibu kandungnya.
“Siang In, sungguh aneh sekali melihat persamaanmu dengan puteri... dengan Pek Hong itu. Benar-benar sukar bagiku untuk membedakannya, kecuali pakaian kalian yang jauh berbeda. Kalau kalian berdua pergi bersama, tentu orang-orang akan menyangka bahwa kalian adalah saudara kembar.”
Mendengar ucapan itu, Siang In maklum bahwa ibunya ini sengaja hendak memancing untuk mengetahui apakah ia sudah tahu akan rahasia itu ataukah belum! Tentu saja Ibunya ini, Miyana tahu bahwa ia dan Pek Hong adalah saudara kembar karena Miyana-lah yang menolong ibu kandungnya, dengan membawa pergi ia, seorang di antara sepasang bayi kembar.
Untuk menyelamatkan sepasang bayi kembar dari ancaman dibunuh oleh Kaisar. Kalau ia mengaku sudah tahu, pasti hati wanita yang baik hati ini akan menjadi kecewa dan khawatir kalau-kalau rasa sayang Siang In terhadap Ibunya ini akan berkurang.
“Memang wajah kami mirip sekali, Ibu. Akan tetapi jelas kami berbeda jauh. Ia Puteri Kaisar Kin dan aku hanyalah puteri Ayah dan Ibu di sini. Akan tetapi aku sama sekali tidak merasa iri atau rendah. Aku amat berbahagia menjadi anak Ayah dan Ibu, dan Pek Hong itu baik sekali, tidak angkuh dan tidak memandang rendah kepadaku sehingga kami akrab seperti saudara saja. Urusan dengan Pangeran Cin Boan ini pun sudah pasti akan beres kalau Pek Hong yang menanganinya.
"Ibu tahu, ia amat disayang oleh Kaisar Kin. Ayahnya itu bahkan memberi pedang bengkok berukir naga emas, yaitu pedang yang merupakan tanda kekuasaan sehingga apa yang diperintahkan Pek Hong terhadap semua pejabat pemerintah Kerajaan Kin dianggap seperti perintah Kaisar Kin sendiri sehingga semua pejabat, dari yang rendah sampai yang tinggi, semua tunduk dan taat kepadanya kalau ia memperlihatkan pedangnya itu.”
“Hebat....!” kata Thio Ki.
“Pantas saja kalau Kaisar mencintanya, karena ia seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau! Siapa yang tidak akan menyayangnya?”
“Aih, Ibu......!” kata Siang In manja sambil merangkul Ibunya.
Seperti tidak akan ada habisnya tiga orang itu bercakap-cakap melepas kerinduan hati masing-masing dan kepulangan Siang In ini benar-benar selain mendatangkan harapan besar, juga mempengaruhi keadaan tubuh Thio Ki sehingga dia segera sehat kembali!
Apalagi setelah dengan tenaga saktinya yang kini menjadi amat dahsyat, Siang In menyalurkan ke dalam tubuh Ayahnya melalui telapak tangan yang ditempelkan di punggung. Wajah Thio Ki kini menjadi kemerahan lagi dan dia merasa tubuhnya kuat!
Rumah tinggal Pangeran Cin Boan merupakan sebuah gedung istana yang biarpun tidak sebesar dan semegah gedung-gedung istana para pangeran yang berada di kota raja, namun untuk ukuran rumah-rumah di kota Kang-cun, sudah termasuk megah dan mewah.
Hal ini tidaklah mengherankan karena Pangeran Cin Boan merupakan seorang pangeran yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Kaisar Kin untuk menjadi pengawas di perbatasan, menerima pelaporan para pejabat di daerah dan mengeluarkan peraturan-peraturan atas nama Kerajaan Kin.
Dia terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang bijaksana, tidak melakukan korupsi dan ketika pindah ke Kang-cun lima atau enam tahun yang lalu memang sudah kaya raya. Dia bersikap jujur dan adil, juga bertindak keras terhadap bawahan yang melakukan penyelewengan uang pemerintah atau penindasan terhadap rakyat jelata.
Selain itu, Pangeran Cin Boan terkenal pula sebagai seorang dermawan, suka menolong dusun-dusun di mana rakyatnya hidup serba kekurangan. Memberi banyak pertolongan kepada daerah yang dilanda banjir kalau Sungai Yan-ce meluap.
Dia pun tidak sudi disogok dan karena dia sebagai pemimpin para pejabat di daerah perbatasan, maka sikapnya yang adil dan keras itu membuat para pejabat bawahannya merasa gentar untuk melakukan penyelewengan.
Benarlah kalau ada orang bijaksana mengatakan bahwa akar penyelewengan atau korupsi dan sebagainya dalam sebuah pemerintahan bukan berada di bawah seperti akar pohon, melainkan berada di atas! Segala keadaan suatu pemerintahan, menjadi baik ataupun buruk, dimulai dari atas!
Kalau atasannya kotor, sudah dapat dipastikan bahwa bawahannya juga semua kotor karena selain atasan menjadi panutan bawahan, juga kalau atasannya kotor tentu saja dia tidak berani menindak bawahan yang kotor. Dalam, keadaan seperti itu semua pejabat akan menjadi kotor dan pemerintah akan menjadi lemah dan miskin karena digerogoti para pembesar. Yang makmur hanyalah para pejabatnya!
Sebaliknya kalau atasannya bersih, bawahannya tidak berani menyeleweng, demikian pula bawahannya lagi dan bawahannya lagi seterusnya, para pembesar itu dari yang besar sampai yang kecil, bekerja dengan setia, jujur dan bersih. Dalam keadaan seperti itu, dapat dipastikan bahwa pemerintahannya menjadi kuat.
Semua penghasilan dapat masuk dengan sempurna tidak ada yang bocor di jalan sehingga pemerintah menjadi kaya. Kalau pemerintah kaya, sudah pasti ia dapat menyejahterakan rakyat jelata. Keadilan akan terlaksana di mana-mana. Yang jahat akan dihukum berat, yang baik dan berjasa mendapat tempat yang layak.
Alangkah akan bahagianya rakyat yang hidup di bawah pemerintahan yang seperti itu! Tidak ada penggerogotan uang pemerintah yang berasal dari rakyat, tidak ada penindasan, tidak ada sogok dan suap yang melahirkan ketidak-adilan. Alangkah indahnya!
Pangeran Cin Boan berusia sekitar limapuluh tahun. Seperti semua bangsawan dan pembesar di jaman itu, Pangeran Cin Boan selain seorang isteri juga mempunyai beberapa orang selir. Akan tetapi dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang lahir dari isterinya.
Pangeran itu bertubuh sedang, wajahnya tampan sikapnya halus dan dia ramah terhadap siapa saja, mulutnya selalu tersenyum namun sikap yang lembut itu mengandung wibawa. Isterinya juga cantik dan lembut, seorang wanita bangsawan Kin yang terpelajar, berusia empatpuluh tahun.
Anak tunggal mereka itu bernama Cin Han. Dari nama ini saja sudah tampak betapa Pangeran Cin Boan menyesuaikan diri dengan pribumi yang dijajah Kerajaan Kin. Nama marganya Cin dan puteranya itu diberi nama Cin Han. Pemuda berusia duapuluh dua tahun ini tampan sekali, seperti ibunya. Seorang pemuda yang telah lulus ujian sastra dan mendapat ijazah siu-cai (Sastrawan).
Tampan, terpelajar, lemah lembut dan bijaksana seperti Ayahnya sehingga siapa pun yang mengenalnya tentu merasa kagum dan suka. Akan tetapi sudah sejak dua tahun yang lalu Ayah Ibunya mendesak pemuda itu untuk menikah, dia selalu menolak. Baru setahun yang lalu Ayahnya hendak menjodohkannya dengan Thio Siang In yang juga terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, Cin Han tidak menolak.
Dia pernah melihat gadis itu dan diam-diam mengaguminya. Akan tetapi, sekali ini dia yang ditolak! Pinangan itu tidak diterima oleh Thio Ki dengan alasan bahwa puterinya belum mau dijodohkan! Tentu saja Pangeran Cin Boan dan isterinya kecewa sekali. Akan tetapi Cin Han yang bijaksana dapat memaklumi penolakan Siang In.
Gadis itu sama sekali tidak mengenalnya, bahkan melihatnya pun belum pernah. Bagi seorang gadis pendekar seperti itu, tentu saja tidak mau di jodohkan secara “tabrakan” begitu saja. Pemuda ini memaklumi penolakan Thio Siang In.
Akan tetapi sejak penolakan itu, sudah setahun lebih, dia selalu menolak kalau orang tuanya hendak menjodohkannya. Bahkan, tidak seperti pemuda bangsawan lainnya, dia pun menolak ketika hendak dicarikan selir. Pada pagi hari di waktu matahari telah naik semakin tinggi, Pangeran Cin Boan duduk di ruangan dalam bersama isteri dan puteranya.
“Ayah, aku mendengar bahwa Paman Thio Ki beberapa hari yang lalu dirampok penjahat habis-habisan, bahkan dia terluka dan dua orang pengawalnya tewas. Bukankah Ayah ada menitipkan kiriman barang ke kota raja kepada Paman Thio Ki?”
“Benar, Han-ji (Anak Han), aku pun sudah mendapat laporan dari utusan Thio Ki. Barang-barang kita ikut terampas penjahat,” jawab Pangeran Cin Boan.
“Hemm, padahal barang-barang itu amat berharga dan penting yang dikirim ke kota raja untuk Nenekmu dan para Pamanmu. Sekarang hilang! Thio Ki itu harus bertanggung jawab!” kata Nyonya Cin sewot (marah-marah).
“Jangan begitu, kejadian itu kan merupakan kecelakaan? Thio Ki sendiri sudah habis-habisan, bahkan terluka. Jangan kita menambahkan penderitaannya dengan tergesa-gesa menuntut barang-barang kita yang hilang agar dipertanggung-jawabkan.”
“Salahnya sendiri. Dulu menolak pinangan kita, sekarang barang kita yang berharga mahal dibikin hilang. Enak dia dan rugi kita kalau didiamkan saja!” Agaknya isteri pangeran ini masih merasa kecewa, penasaran dan marah karena pinangannya setahun yang lalu ditolak oleh keluarga Thio Ki.
“Hemm, mengapa kita jadi ikut repot? Bukankah puteri mereka yang cantik seperti dewi, bahkan julukannya juga Ang Hwa Sian-li (Dewi Bunga Merah), adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai? Biarlah gadis itu yang merampas kembali harta yang telah dirampok penjahat!” kata Nyonya Cin yang masih marah.
Sebelum suami dan anaknya menjawab, daun pintu ruangan itu diketuk orang. “Siapa?” Pangeran Cin bertanya sambil mengerutkan alisnya karena tak senang percakapannya dengan isteri dan puteranya ada yang mengganggu.
“Hamba, yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa di luar datang seorang gadis yang ingin menghadap paduka,” terdengar suara pengawal yang mereka sudah kenal.
“Siapa ia? Siapa namanya?” tanya Pangeran Cin Boan dengan heran. Dia tak pernah ada urusan dengan seorang gadis. Belum pernah ada gadis minta menghadap padanya.
Suara pengawal itu menjawab. “Ia tidak mau mengatakannya, Yang Mulia. Ia hanya berkata bahwa paduka pasti akan mengenalnya kalau ia sudah menghadap Paduka.”
“Ayah, biar aku yang keluar dulu melihat siapa yang hendak menghadap Ayah.”
“Baiklah, Cin Han, keluarlah dan lihat siapa gadis itu.”
Cin Han keluar dan diantar pengawal itu dia melangkah keluar. Setelah di serambi depan, dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih dari sutera halus, kepalanya dihias burung Hong perak, berdiri dan menyongsongnya dengan pandang mata yang mencorong tajam. Gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi setelah berhadapan, Cin Han berseru terkejut. “Eh, engkau.... engkau.... Thio-siocia (Nona Thio)??”
Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu diam-diam kagum sekali kepada pemuda yang tampan sekali dan sikapnya lemah lembut itu. Ia menduga bahwa inilah agaknya putera Pangeran Cin Boan itu. Rasanya dulu ia pernah bertemu dengan pemuda ini, sekitar enam tahun lebih yang lalu. Tentu saja ketika mereka masih remaja dan ia sudah tidak ingat lagi wajah pemuda itu.
“Engkau siapakah, Kongcu?” tanyanya.
“Aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan.” Ucapan pemuda itu seolah mengingatkan dan dia menatap tajam wajah yang jelita itu.
“Ah, Cin-kongcu. Apakah Pangeran Cin Boan berada di rumah? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Mari, silakan, Thio-siocia. Silakan menunggu di ruangan tamu, aku akan memanggil Ayah ke sini.”
Mereka memasuki ruangan tamu dan Pek Hong lalu duduk di situ menunggu sedangkan Cin Han masuk ke ruangan dalam menemui Ayah Ibunya.
“Ayah, gadis itu adalah Nona Thio Siang In!” kata pemuda itu yang masih merasa tegang hatinya bertemu dengan gadis yang pernah menundukkan hatinya itu.
Pangeran Cin Boan menaikkan alisnya dengan heran dan isterinya mengerutkan alis dan berkata, “Hemm, mari kita temui!”
Suami isteri dan putera mereka itu lalu keluar dari ruangan dalam, memasuki ruangan tamu. Pek Hong segera bangkit berdiri dan ia berhadapan dengan mereka bertiga.
“Nona Thio......!” kata Pangeran Cin Boan dan memandang penuh selidik. Dia merasa kagum akan kecantikan gadis itu. Pantas puteranya tergila-gila, pikirnya.
“Engkau yang bernama Thio Siang In?” tiba-tiba Nyonya Cin bertanya, nada suaranya ketus. “Dulu engkau menolak pinangan kami. Sekarang datang berkunjung ada keperluan apakah?”
Pek Hong tersenyum melihat Pangeran Cin Boan dan Cin Han memandang Nyonya Cin dengan alis berkerut tanda tidak senang mendengar ucapan yang ketus itu. Akan tetapi ia pun tidak merasa marah mendengar teguran nyonya itu karena ia maklum betapa kecewanya seorang ibu mendengar pinangan puteranya ditolak.
“Kalian bertiga keliru. Aku bukan Thio Siang In,” katanya sambil tersenyum.
Tiga orang itu terbelalak. “Harap Siocia (Nona) tidak main-main. Aku mengenalmu dengan baik dan jelas bahwa engkau adalah Nona Thio Siang In!” kata Cin Han sambil tersenyum pula, mengira gadis itu main-main.
“Aku tidak main-main. Memang aku mirip Thio Siang In, akan tetapi aku bukan ia. Paman Pangeran, apakah Paman sudah lupa kepadaku?”
Pangeran Cin Boan memandang penuh perhatian. “Siapakah engkau sesungguhnya, kalau engkau bukan Thio Siang In?”
“Aku sering bertemu Paman di kota raja sekitar enam tahun yang lalu.”
“Enam tahun yang lalu di kota raja? Ah, aku tidak ingat...”
Pek Hong Niocu lalu mengeluarkan pedang bengkok berukir naga emas dari pinggangnya dan memperlihatkannya kepada pangeran itu. “Paman tentu mengenal ini, bukan?”
Melihat pedang bengkok tanda kekuasaan itu, sepasang mata Pangeran itu terbelalak.
“Dan apakah Paman tidak mengenal hiasan rambutku ini?”
“Ahh.... engkau.... Puteri Moguhai yang dikenal sebagai Pek Hong Niocu??”
Pek Hong tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. “Nah, Paman mengerti sekarang bahwa aku bukan Thio Siang In.”
“Ah, maafkan kami.... kiranya keponakanku yang amat terkenal yang datang berkunjung! Selamat datang, Ananda Moguhai. Kami merasa girang sekali mendapat kesempatan menerima kunjungan ini.”
Lalu kepada isteri dan puteranya yang masih memandang terheran-heran dia berkata. “Mengapa kalian bengong saja? Ini adalah keponakanku sendiri, puteri Sri Baginda Kaisar yang bernama Puteri Moguhai yang akhir-akhir ini terkenal sebagai Pek Hong Niocu, pemilik pedang pusaka tanda kekuasaan tertinggi mewakili Sri Baginda...?”