Kisah Si Naga Langit Jilid 20 karya Kho Ping Hoo - “Aih…..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Aku mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan mempunyai rencana jahat lainnya."

“Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke dalam bahaya,” kata Thian Liong.
“Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang amat jahat!” kata pula Han Si Tiong.
Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi itu.
Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.
“Thian Liong, sekarang kita akan ke mana?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.
“Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!”
“Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja dengan mencari penyakit?”
“Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu...”
“Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong, kau ingat?”
Thian Liong tersenyum. “Hemm, aku heran bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!”
“Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga), aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?”
“Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu...”
“Heitt! Lupa, lagi!”
“O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”
“Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?”“Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio.... eh, Hong-moi. Ketika suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau atau aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!”
“Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!” gadis itu berkata kukuh.
“Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu silatku?”
“Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan...”
“Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu.”
“Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!”
“Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?”
“Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja, engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan pemerintah!”
“Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat memasuki kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin para perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku.”
“Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi.”
Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari ram-but pemuda itu sendiri. Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua daripada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.
“Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko.”
“Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou.”
Pek Hong tersenyum. “Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?”
“Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?”
Pek-Hong tertawa. “Heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong… eh, Lam-ko. Mari kita cepat melanjutkan perjalanan.”
Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang mencurigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung.
Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja.
Maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan masa lalu. Mereka masih, mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun bukan saja tidak ada kemajuan.
Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun menekan dan memeras penduduknya.
Dan kalau Han Si Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang sudah ditentukan banyaknya.
Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan peraturan-peraturan yang menekan itu.
Padahal, Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang berpenghasilan besar, ditambah sedemiklan rupa oleh Chin Kui.
Bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan semua kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya.
Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali perwira lain.
Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia jenderal besar itu.
Han Si Tiong merasa sudah berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota raja. Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka?
Wajah mereka telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.
Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam hatinya Kwee-ciangkun ini tidak suka, bahkan membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya.
Namun dia tidak memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee-ciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya, apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima yang dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.
Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan jalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang telah membayangi dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja!
Maka, tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah kembali ke kota raja.
Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.
Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak adik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui.
Mereka adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-eng Mo-ko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.
Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membinasakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan menimbulkan kegemparan.
Suami isteri itu telah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekaguman-nya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan menimbulkan kegemparan.
Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Suami isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah mengenal mereka. Yang seorang berpakaian seperti seorang tosu.
Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak pendek dengan perut gendut. Mukanya berwarna kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti tengkorak dan diapun mempunyai sebatang pedang yang digantung di pinggang.
Orang ketiga bertubuh pendek gendut dan membawa golok yang digantung di punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh lima tahun sedangkan orang terakhir berusia antara limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.
Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan sepi itu. Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah.
“Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong dan Liang Hong Yi?”
Karena tidak menduga buruk, dan memang dia seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab. “Benar sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang perjalanan kami?”
Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru, “Kalian harus mati di tangan kami!” Tiga orang itu sudah menyerang dengan cepat dan ganas sekali.
Suami isteri itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu. Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis Jantan).
“Tranggg......! Trangggg!!”
Bunga api berpijar dan suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali. Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.
Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh!
Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dan terkadang mereka terpaksa menggunakan pedang menangkis. Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin. Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cin-jin yang seolah hendak mempermainkan calon korbannya.
Sementara itu, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan Bu-tek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko. Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan menangkis.
“Cringgg.... trak...! Trakk...!”
Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap untuk mengirim serangan maut.
“Tahan!” bentak Han Si Tiong. “Kami bukan orang-orang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?”
Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri itu tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana Menteri Chin Kui.
Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah tidak berdaya itu. Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa suami isteri itu, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda menyambar.
“Tranggg....! Cringgg……!!”
Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang lain yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan.
Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main karena senjata mereka bertemu dengan pedang yang demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat, ujung pedang Bu-tek Mo-ko dan ujung golok Bu-eng Mo-ko telah rompal!
Sementara itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi girang bukan main ketika pada saat kematian sudah di depan mata, ada dua orang penolong muncul dan menangkis serangan maut tiga orang lawan mereka itu. Mereka berdua segera mengenal gadis yang mengaku bernama Sie Pek Hong namun sesungguhnya puteri Kaisar Kin itu, yang muncul bersama seorang laki-laki berkumis dan berjenggot tebal.
Akan tetapi ketika mereka melihat dengan penuh perhatian, mereka segera mengenal bahwa orang berkumis dan berjenggot itu bukan lain adalah Thian Liong. Tentu saja mereka menjadi girang sekali, akan tetapi melihat betapa pemuda itu menyamar, mereka tidak mau memanggil namanya.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu yang sudah marah sekali, tanpa banyak cakap lagi sudah bergerak ke depan, menerjang Hwa Hwa Cin-jin dengan serangan pedangnya. Juga Thian Liong sudah memutar pedangnya menyerang dua orang Siang Mo-ko. Serangan Thian Liong demikian hebatnya sehingga terdengar suara berdencing nyaring ketika dua orang itu menangkis pedang Thian-liong-kiam.
“Cringggg...!” Dua orang itu terhuyung dan kini pedang dan golok mereka patah di bagian tengahnya. Dua kali Thian Liong menendang dan dua orang kakak beradik seperguruan itu tak mampu menghindarkan diri lagi sehingga mereka terguling roboh.
Mereka merangkak bangun dan melihat betapa Hwa Hwa Cin-jin juga repot menghadapi serangan gadis cantik itu, mereka berdua segera berseru. “Cin-jin, lari! Kita mencari bantuan!”
Mendengar ini. Hwa Hwa Cin-jin maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali, maka diapun melarikan diri bersama dua orang Siang Mo-ko untuk mencari bantuan.
Melihat tiga orang itu melarikan diri dan berteriak bahwa mereka akan mencari bala bantuan, Han Si Tiong berbisik kepada isterinya. “Cepat ajak mereka lari ke rumah Kwee-ciangkun!”
Liang Hong Yi maklum akan maksud suaminya. Mereka lari menghampiri dua orang muda itu dan Han Si Tiong memegang tangan Tian Liong sedangkan Liang Hong Yi memegang tangan Pek Hong, lalu menarik mereka untuk cepat berlari memasuki lorong kecil.
“Cepat lari bersama kami sebelum mereka kembali membawa pasukan!”
Thian Liong dan Pek Hong maklum akan maksud mereka dan menurut saja. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah pintu kecil yang merupakan pintu belakang gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Pintu kecil ini merupakan pintu untuk para pelayan kalau hendak bepergian ke luar gedung untuk suatu keperluan.
Han Si Tiong dan isterinya masih hapal akan keadaan rumah ini, maka tanpa ragu-ragu mereka memasuki pintu kecil itu dan menutupkannya kembali. Dua orang pelayan wanita yang berada di bagian belakang rumah itu terkejut sekali melihat masuknya empat orang dari pintu itu.
Mereka hendak menjerit, akan tetapi cepat sekali Pek Hong dan Liang Hong Yi menangkap dan menutup mulut mereka dengan tangan.
“Jangan berteriak! Kami bukan orang jahat. Kami adalah sahabat Kwee-ciangkun yang membutuhkan perlindungan karena dikejar orang-orangnya Perdana Menteri Chin Kui. Cepat bawa kami ke dalam bertemu dengan Kwee-ciangkun atau Kwee-hujin (Nyonya Kwee}!” kata Liang Hong Yi.
Dua orang pembantu itu masih ketakutan. Pada saat itu dari dalam muncul seorang pemuda yang tinggi besar dan tampan, berusia sekitar dua puluh tahun.
“He, ada apa ini? Siapa kalian berempat?” Pemuda yang bukan lain adalah Kwee Cun Ki itu membentak dan meraba gagang pedangnya.
“Kwee-kongcu... mereka ini menerobos masuk.... mengaku sahabat Thai-ciangkun (panglima besar)....” seorang di antara dua pelayan itu berkata gagap.
Mendengar ini Han Si Tiong cepat berkata. “Ah, Kwee-kongcu? Engkau ini tentu Kwee Cun Ki, bukan?”
Liang Hong Yi juga berseru girang, “Benar, dia pasti Cun Ki! Cun Ki, lupakah engkau kepada kami? Ini adalah pamanmu Han Si Tiong dan aku…”
“Ah, engkau bibi Liang Hong Yi! Paman Han, bagaimana saya dapat mengenal paman kalau sekarang berjenggot dan berkumis seperti ini?” Cun Ki berseru girang, lalu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong. “Dan mereka ini siapa, paman?”
“Cun Ki, nanti saja kita bicara dan kuperkenalkan. Sekarang cepat ajak kami menemui ayah ibumu. Kami dikejar-kejar kaki tangan Chin Kui!”
“Ah, marilah, paman!” kata pemuda itu dan dia mendahului mereka memasuki gedung meninggalkan para pembantu rumah tangga yang merasa lega bahwa tuan muda mereka mengenal baik para pendatang itu.
Kebetulan sekali Panglima Kwee Gi dan isterinya berada di rumah. Mereka sedang duduk di ruangan dalam ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan putera mereka, Kwee Cun Ki menerobos masuk diikuti empat orang asing. Kwee-ciangkun bangkit berdiri dengan terkejut dan heran. Dia tidak segera mengenal sahabat baiknya itu.
“Ayah, ibu, lihat siapa yang datang berkunjung! Paman Han Si Tiong dan bibi Liang Hong Yi!”
Barulah suami isteri itu mengenali suami isteri yang menjadi sahabat baik mereka dan yang sudah belasan tahun tidak pernah mereka temui dan tidak mereka ketahui di mana tempat tinggalnya itu. “Han-siauwte (adik Han)...!”
“Kwee-twako (kakak Kwee)....!”
Dua orang sahabat itu saling menghampiri dan mereka segera berangkulan. Juga Liang Hong Yi berangkulan dengan nyonya Kwee. Setelah menumpahkan rasa rindu dan girang hati mereka, empat orang tamu itu dipersilakan duduk.
“Han-siauwte, siapakah orang muda dan nona ini?” tanya Kwee-ciangkun sambil memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong.
“Nanti dulu, Kwee-twako. Sebelumnya ketahuilah bahwa kami berempat tadi diserang oleh orang-orangnya Chin Kui. Mereka lari memanggil bala bantuan dan kami cepat melarikan diri ke sini! Mungkin mereka akan mengejar dan mencari sampai ke sini!”
Kwee-ciangkun mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Jangan khawatir, Han-siauwte. Kalian bersembunyilah dalam ruangan rahasia, biar diantar oleh isteriku. Aku akan keluar untuk menemui mereka!”
Kwee-hujin (Nyonya Kwee) lalu mengajak empat orang itu ke ruangan belakang. Di dekat dapur, nyonya itu menggerakkan sebuah patung yang berada di atas meja dan dinding ruangan itu tiba-tiba terangkat naik dan mereka lalu memasuki pintu rahasia itu. Setelah tiba di dalam, dinding itu menutup kembali.
Ternyata ruangan di balik dinding ini cukup luas dan Kwee-hujin mempersilakan empat orang itu duduk mengelilingi sebuah meja besar dan iapun bercakap-cakap dengan Liang Hong Yi.
Sementara itu Kwee-ciangkun keluar dari gedung dan dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko. Dia mengenal tiga orang ini sebagai jagoan-jagoan Perdana Menteri Chin Kui.
“Eh, Totiang hendak ke manakah membawa pasukan ini?” tanya Kwee-ciangkun.
Para jagoan Perdana Menteri Chin Kui itu mempunyai tugas rahasia dan tentu saja mereka tidak ingin tugas itu diketahui oleh orang lain, apalagi diketahui seorang panglima kerajaan.
“Kami diutus Chin-taijin (Pembesar Chin) untuk mencari penjahat-penjahat. Mereka merupakan dua pasang lelaki perempuan yang masih muda dan setengah tua. Kalau anak buah Kwee-ciangkun ada yang melihatnya, harap cepat memberitahukan kami,” jawab Hwa Hwa Cin-jin.
“Ah, begitukah? Baik totiang, akan kupesan kepada anak buahku!”
Mereka berpisah. Pasukan itu melanjutkan pencarian mereka dan Kwee-ciangkun kembali ke rumahnya. Setelah tiba di rumah, cepat dia memasuki ruangan rahasia itu di mana isteri dan empat orang tamunya telah menunggu.
“Benar saja, Han-siauwte. Tiga orang jagoan kaki tangan Chin Kui itu membawa tiga losin orang perajurit mencari kalian berempat. Sebaiknya kalian berdiam di sini dan jangan keluar sampai keadaan di luar aman.”
Setelah Kwee-ciangkun duduk menghadapi meja, Han Si Tiong memperkenalkan. “Twako perkenalkan. Pemuda ini bernama Souw Thian Liong dan nona ini bernama... Sie Pek Hong. Mereka berdua sehaluan dengan kita, menentang kelaliman Chin Kui. Tadi kami berdua diserang oleh tiga orang jagoan kaki tangan Chin Kui itu.
"Kami nyaris celaka. Untung muncul mereka berdua ini sehingga para penyerang itu melarikan diri. Sebelum mereka kembali membawa pasukan, aku mengajak mereka lari ke sini.” Setelah berkata demikian, Han Si Tiong menoleh kepada Thian Liong dan Pek Hong.
“Souw-sicu dan Sie-siocia, perkenalkan. Tuan rumah kita ini adalah Panglima Kwee Gi dan Nyonya Kwee, dan pemuda gagah ini adalah putera mereka, Kwee Cun Ki.”
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti oleh Pek Hong. “Maafkan kalau kami berdua mengganggu ketenteraman keluarga ciang-kun,” kata Thian Liong dengan sikap hormat.
“Ah, sama sekali tidak mengganggu, Souw-sicu,” kata Kwee-ciangkun yang lalu memandang kepada Han Si Tiong.
“Han-siauwte, bagaimana asal mulanya maka engkau dan isterimu, setelah menghilang selama belasan tahun, tiba-tiba muncul di kota raja dan diserang oleh kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui?”
“Ceritanya panjang, twako,” Han Si Tiong mulai bercerita. “Twako berdua tentu tahu bahwa semenjak pulang dari perbatasan dan mendapat kenyataan betapa bibi Lu-ma terbunuh dan anak kami diculik orang, kami meletakkan jabatan dan meninggalkan kota raja. Selama bertahun-tahun kami mencoba untuk mencari anak kami, namun semua usaha kami sia-sia sehingga akhirnya kami tinggal di tempat sunyi, di sebuah dusun dekat See-ouw (Telaga Barat). Kami sudah putus asa untuk dapat menemukan Bi Lan, anak kami yang hilang itu…”
“Kami tidak tahu apakah anak kami itu masih hidup ataukah....” sambung Liang Hong Yi dengan suara gemetar karena sedihnya.
“Paman dan bibi! Adik Han Bi Lan masih hidup!” tiba-tiba Cun Ki berseru, nada suaranya gembira.
Dua pasang mata itu terbelalak. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bangkit berdiri dengan wajah berubah merah. Air mata bercucuran dari kedua mata Liang Hong Yi dan sepasang mata Han Si Tiong juga menjadi basah.
“Cun Ki, apa.... apa.... maksudmu....?” tanya Han Si Tiong gagap, seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya tadi.
“Cun Ki berkata benar, siauw-te. Bi Lan masih hidup, sehat bahkan kini ia menjadi seorang gadis yang lihai sekali!” kata Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong melompat dan memegang kedua lengan sahabatnya dengan erat, sedangkan Liang Hong Yi sudah menubruk dan merangkul Nyonya Kwee sambil menangis sesenggukan. Rasa bahagia yang terlalu besar memukul perasaan mereka, mendatangkan keharuan yang mendalam.
“Ceritakan, twako, ceritakan tentang Bi Lan!”
“Tolong, Kwee-twako.... cepat katakan... di mana anakku Bi Lan sekarang......?” kata pula Liang Hong Yi di antara tangisnya.
Pek Hong bangkit dan menghampiri Liang Hong Yi yang masih merangkul nyonya Kwee sambil menangis. Dengan lembut ia menarik pundak wanita yang menangis itu, “Tenangkanlah hatimu, bibi.”
“Benar, paman Han dan bibi, harap tenang dan duduklah. Tentu Kwee-ciangkun akan segera menceritakan tentang puteri paman dan bibi itu,” kata pula Thian Liong.
Suami isteri itu menyadari keadaan mereka. Mereka duduk kembali dan Han Si Tiong berkata, “Twako dan so-so (isteri kakak), maafkanlah kelemahan kami.”
Kwee Gi tersenyum. “Tidak mengapa, siauw-te, kami dapat memaklumi perasaan kalian yang dilanda kegirangan dan keharuan. Kurang lebih dua bulan yang lalu, puteri kalian Han Bi Lan memang datang di kota raja ini dan ia sempat membikin geger kota raja.”
“Apa yang telah dilakukan anakku, Kwee-twako?” tanya Liang Hong Yi.
“Ia datang ke kota raja untuk mencari kalian di rumah kalian yang dulu. Akan tetapi rumah itu kini telah menjadi tempat kediaman Jenderal Ciang Sun Bo dan ketika Bi Lan datang berkunjung, Jenderal Ciang mengaku sebagai sahabat kalian dan menerima Bi Lan dengan ramah.”
“Huh, mana mungkin Jenderal Ciang yang jahat itu menjadi sahabat kami? Dia bohong!” kata Liang Hong Yi gemas.
“Memang dia berbohong, akan tetapi tentu saja Bi Lan tidak tahu akan hal itu, maka dia menerima dengan senang hati ketika keluarga Ciang itu menjamunya dengan pesta makan. Ketika makan minum, mereka menaruh racun ke dalam anggurnya untuk membuat Bi Lan terbius dan pingsan....”
“Jahanam! Kubunuh itu Jenderal Ciang keparat!” Liang Hong Yi membentak dan mengepal tinju.
Pek Hong tersenyum geli. Nyonya itu wataknya seperti ia, paling benci melihat kelicikan orang. “Harap bibi tenang karena melihat wajah Kwee-ciangkun, kukira akhir ceritanya tidak begitu mengkhawatirkan.”
Kwee Gi tersenyum. “Penglihatan Nona Sie tajam sekali. Memang benar, harap Han-siauwte berdua tidak menjadi gelisah dulu. Bi Lan tidak akan dapat bertemu dengan kami kalau dia sampai celaka di tangan mereka. Ia memang jatuh pingsan dan ia sempat dipondong oleh Ciang Ban ke dalam kamarnya. Akan tetapi Bi Lan ternyata cerdik bukan main. Ia telah merasa curiga, maka ia hanya pura-pura saja pingsan.
"Ia murid seorang ahli racun, maka ia tentu saja tidak mudah diracuni orang. Setelah tiba di kamar, melihat Ciang Ban bermaksud keji kepadanya, ia lalu membunuh Ciang Ban. Jenderal Ciang Sun Bo dan Lui-ciangkun, pembantunya yang mengeroyok Bi Lan, dibunuh pula oleh puteri kalian itu, dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos.”
“Hebat! Bagus sekali. Ah, Bi Lan anakku....!” Liang Hong Yi berseru dan ia menangis lagi, penuh kegembiraan dan kebanggaan! Juga Han Si Tiong meneteskan air mata karena girang dan bangga.
Sama sekali tak pernah dibayangkan bahwa puteri mereka, anak tunggal mereka yang hilang itu, kini masih hidup dan menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai!
“Bi Lan lalu dikepung banyak perajurit. Ia mengamuk dan merobohkan banyak perajurit dan lolos dari rumah Jenderal Ciang. Ia dikejar banyak perajurit dan sebentar saja pasukan dikerahkan untuk mengejarnya. Aku mendengar dari para penyelidikku bahwa yang membunuh Jenderal Ciang dan puteranya.
Juga membunuh Perwira Lui To dan banyak perajurit, adalah Han Bi Lan, puteri kalian. Mendengar ini, aku terkejut dan cepat aku keluar. Beruntung sekali aku bertemu dengan Bi Lan di lorong sepi dan aku segera memperkenalkan diri dan mengajaknya sembunyi di rumah kami ini.”
“Ah, lagi-lagi engkau yang telah menolong, twako. Pertama engkau menyelamatkan Bi Lan dan hari ini engkau menyelamatkan kami!” kata Han Si Tiong terharu.
“Hemm, itulah gunanya persahabatan, siauwte. Kalau bukan sahabat yang saling menolong, lalu siapa? Biar kulanjutkan ceritaku tentang Bi Lan. Ia bersembunyi di sini selama seminggu dan selama itu ia menceritakan semua pengalamannya sejak ia diculik oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.
"Ouw Kan datang ke rumah kalian di sini lalu membunuh Lu-ma dan menculik Bi Lan. Di tengah perjalanannya melarikan Bi Lan, Ouw Kan bertemu dengan Jit Kong Lhama, datuk persilatan dari Tibet dan pendeta Lhama ini merampas Bi Lan setelah mengalahkan Ouw Kan.
"Sejak saat itu, Bi Lan menjadi murid Jit Kong Lhama sampai sebelas tahun lamanya. Ia mempelajari ilmu-ilmu silat, sihir dan juga tentang racun dari Jit Kong Lhama sehingga menjadi lihai sekali. Ia tinggal selama itu di sebuah puncak dari pegunungan Kun-lun-san dan katanya akhir-akhir ini iapun menjadi murid Kun-lun-pai.”
“Ahh, anak kita menjadi seorang yang lihai! Terima kasih kepada Thian (Tuhan)....!” kata Liang Hong Yi.
“Akan tetapi ke manakah Bi Lan pergi setelah meninggalkan rumahmu ini, twako?” tanya Han Si Tiong.
Kwee Gi menghela napas panjang. “Kami tidak tahu, siauw-te. Kami menyelundupkan ia keluar kota raja setelah tinggal di sini selama satu minggu. Ia tidak mengatakan ke mana akan pergi. Sebetulnya kami bermaksud menahannya di sini karena kami mempunyai niat untuk menjodohkan Bi Lan dengan putera kami Cun Ki ini.”
“Ohhh...... kami akan senang sekali dan setuju sekali!” seru Liang Hong Yi.
“Ya, tentu saja kalau Bi Lan juga menyetujui,” sambung Han Si Tiong sambil memandang kepada Kwee Cun Ki.
Pemuda ini tampan dan tampak gagah perkasa, cukup membanggakan kalau dapat menjadi mantu. Mendengar percakapan tentang perjodohannya dengan Bi Lan, gadis yang dikaguminya dan yang membangkitkan rasa cintanya itu, Cun Ki hanya tersenyum, dalam hatinya merasa girang mendengar betapa ayah ibu Bi Lan tidak keberatan kalau dia berjodoh dengan Bi Lan. Bahkan ibu gadis itu menyetujui.
“Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang perjalananmu sampai ke sini, Han-siauwte,” tanya Kwee Gi.
Han Si Tiong memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong, lalu menjawab. “Kwee-twako, sebetulnya kedetangan kami berdua di kota raja ini erat hubungannya dengan dua orang muda, Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong ini. Belum lama ini, tempat tinggal kami diketahui oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, datuk yang membunuh Bibi Lu-ma dan menculik Bi Lan itu.
"Karena dia gagal membunuh kami, bahkan gagal pula menculik Bi Lan, dia malu bertemu dengan Kaisar Kin yang mengutusnya membunuh kami. Kaisar Kin merasa sakit hati mendengar betapa puteranya, Pangeran Cu Si, tewas oleh kami dalam pertempuran di perbatasan dahulu. Maka, Ouw Kan selama ini terus mencari kami dan akhirnya dia menemukan kami di dekat Telaga Barat.
"Kami nyaris tewas oleh datuk yang amat sakti itu, akan tetapi kebetulan Souw-sicu dan Sie-siocia ini muncul dan menolong kami, mengusir Ouw Kan yang melarikan diri. Kemudian kami saling bercerita dan kami berdua mendengar bahwa Souw-sicu sedang dikejar-kejar pasukan kerajaan yang harus menangkap atau membunuhnya karena dia dituduh sebagai seorang pengkhianat yang menjadi kaki tangan Kerajaan Kin.
"Padahal dia sama sekali tidak berkhianat, bahkan dia hendak menentang Perdana Menteri Chin Kui. Tentu Chin Kui yang melempar fitnah dan membujuk Sri Baginda agar mengeluarkan perintah menangkap Souw-sicu dengan tuduhan pengkhianat.
"Nah, karena kami yakin bahwa dia bukan pengkhianat, maka kami sengaja datang ke sini untuk minta bantuan twako mencari jalan untuk menyakinkan Sri Baginda bahwa Souw Thian Liong bukan pengkhianat dan tidak menjadi kaki tangan Kerajaan Kin seperti yang dituduhkan.”
Panglima Kwee Gi kini memandang kepada Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong bergantian dengan sinar mata penuh selidik. “Souw-sicu dan Sie-siocia, kami tidak mengenal kalian, akan tetapi setelah mendengar cerita Han-siauwte kami percaya sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau sekiranya kami dapat membantumu agar terlepas dari tuduhan itu, kami akan senang sekali membantu. Akan tetapi tentu saja kami harus mendengar penjelasan darimu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga kalian dituduh sebagai pengkhianat dan kaki tangan Kerajaan Kin.”
Thian Liong mengerutkan alisnya. Diapun belum mengenal orang macam apa adanya Kwee Gi ini, maka dia menoleh dan memandang kepada Han Si Tiong dengan sinar mata bertanya.
Han Si Tiong dapat memaklumi perasaan pemuda itu, maka diapun berkata. “Souw-sicu, engkau dan nona Sie telah mempercayai kami suami isteri dan kalau kalian kini mempercayai Panglima Kwee Gi, kami yang menanggung bahwa kepercayaanmu itu tidak keliru.”
Mendengar ucapan Han Si Tiong itu, Thian Liong kini memandang kepada Sie Pek Hong. Gadis ini tersenyum dan berkata. “Liong-ko, aku juga dapat melihat dan merasa bahwa Paman Kwee Gi adalah seorang yang baik dan bijaksana, aku tidak keberatan kalau engkau menceritakan segalanya kepadanya.”
Lega hati Thian Liong mendengar ini. Dia lalu memandang kepada Panglima Kwee dan berkata, “Kwee-ciangkun....”
“Nanti dulu, tadi nona ini sudah memberi contoh baik, menyebut Paman Kwee kepadaku. Sebaiknya engkaupun menyebut kami paman dan bibi saja, Souw Thian Liong.”
Senang hati Thian Liong melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah itu. “Baiklah, Paman Kwee. Saya akan berterus terang kepada paman dan bibi, seperti kami juga telah berterus terang kepada Paman dan Bibi Han. Semula, saya melakukan perjalanan ke utara untuk....”
Dia berhenti karena dia tidak tahu atau belum ingin menceritakan bahwa dia mencari gadis pencuri kitab yang kini dia ketahui adalah Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong. Tidak enak rasanya terhadap suami isteri Han itu kalau dia menceritakan bahwa anak gadis mereka adalah seorang pencuri!
“Maksud saya.... saya melakukan perjalanan merantau ke utara untuk meluaskan pengalaman dan dalam perjalanan itu saya berkenalan dengan ia ini yang menghajar para pembesar Kerajaan Kin yang menindas rakyat. Saya mengenalnya sebagai Pek Hong Nio-cu, yaitu nama julukannya sebagai seorang pendekar wanita pembela kebenaran dan keadilan. Kemudian saya baru mengetahui bahwa Pek Hong Nio-cu yang sekarang menggunakan nama Han yaitu Sie Pek Hong ini bukan lain adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin.”
“Ahh....!” Panglima Kwee dan isterinya berseru kaget. Siapa orangnya yang tidak akan kaget mendengar bahwa gadis yang kini berada di rumah mereka itu ternyata adalah puteri Kaisar Kin? Mereka berdua kini memandang kepada “puteri” itu dengan heran bercampur kagum.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu yang menjadi perhatian hanya tersenyum manis! Melihat betapa pandang mata, suami isteri itu kini agak berbeda, pandang mata yang menghormat, ia lalu berkata ramah.
“Paman dan Bibi Kwee. Keadaan diriku ini harap paman berdua rahasiakan. Anggap saja aku ini gadis Han bernama Sie Pek Hong dan sebut saja namaku Pek Hong. Dengan demikian paman berdua telah membantu penyamaranku dan aku berterima kasih sekali kepadamu.”
Suami isteri itu saling pandang lalu pecah ketawa Panglima Kwee. “Ha-ha-ha, luar biasa sekali! Seperti dongeng saja! Hebat, engkau hebat sekali dan kami sungguh merasa kagum sekali padamu, Pek Hong!”
“Dan kepadamu juga aku minta hal yang sama, koko Kwee Cun Ki,” kata Pek Hong kepada pemuda tinggi besar itu.
Cun Ki tersipu dan diapun mengangguk. “Baik, percayalah kepadaku. Aku bukan seseorang yang suka panjang mulut, Hong-moi.”
Thian Liong tersenyum. “Nah, Hong-moi, agaknya kita berada di antara keluarga yang bijaksana dan patut dihormati.”
Pek Hong mengangguk dan Han Si Tiong tertawa pula. “Ha-ha-ha! Kepercayaan kalian berdua tidak sia-sia. Aku jamin bahwa kalian akan aman berada di dalam rumah Kwee-toako.”
Kwee Gi tersenyum. “Sudahlah, cukup semua pujian itu. Sekarang, lanjutkan ceritamu, Thian Liong!”
“Setelah kami berdua berkenalan, kami sempat tertawan oleh orang-orang yang sedang hendak memberontak kepada Kerajaan Kin. Untung kami dapat lolos.” Dia tidak menceritakan tentang pertotongan yang dilakukan suhunya yang menurut Pek Hong adalah Paman Sie.
“Kami mengetahui rahasia pemberontakan itu yang diatur oleh Pangeran Hiu Kit Bong yang bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh seorang pemuda bernama Cia Song. Kami berdua menentang pemberontakan itu dan berhasil mengundang pasukan yang berjaga di barat sehingga akhirnya pemberontakan itu dapat ditumpas.
"Sayang bahwa Cia Song, utusan Perdana Menteri Chin Kui itu dapat lolos dan agaknya dia yang melapor kepada Chin Kui dan mereka melempar fitnah kepada diriku sehingga aku dijadikan orang buronan pemerintah Sung. Aku memang membantu pemerintah Kerajaan Kin, akan tetapi membantu dari ancaman pemberontak yang bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui.”
“Hemm, aku mulai mengerti duduknya perkara. Dan Pek Hong, kenapa engkau meninggalkan istana dan ikut Thian Liong ke sini, padahal di sini bahaya mengancammu?”
Pek Hong tersenyum. “Liong-ko telah membantuku menyelamatkan kerajaan ayah, karena itu, aku ingin membalas budinya dan ingin membantu dia menyelamatkan Kerajaan Sung dari tangan Chin Kui yang kotor. Mengingat bahwa Chin Kui bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin, berarti dia juga musuhku, bukan? Dan ayahku, Raja Kin, juga menyetujui kepergianku ikut Liong-ko ke selatan.”
“Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu untuk membersihkan namamu, Thian Liong. Kalau tidak, engkau akan menjadi buronan pemerintah dan hidupmu tidak akan aman lagi.”
“Akan tetapi bagaimana caranya, Kwee-toako? Kalau hanya Chin Kui yang mengerahkan orang-orangnya untuk menangkap atau membunuh Thian Liong, hal itu tidak terlalu berbahaya dan juga tentu saja dapat dilawan. Akan tetapi kalau pengejaran itu atas perintah Sri Baginda, tentu seluruh negeri akan mengawasi Thian Liong dan kalau dia melawan pasukan pemerintah, tentu dia akan dituduh sebagai pemberontak,” kata Han Si Tiong.
“Tidak ada jalan lain kiranya kecuali satu, ialah membunuh si jahat Chin Kui!” kata Pek Hong.
Liang Hong Yi berseru, “Tepat! Memang jahanam itu harus dibunuh karena dialah biang keladi semua kekacauan ini!”
Panglima Kwee Gi menggeleng kepala sambil tersenyum melihat dua orang wanita yang bersikap galak seperti harimau betina itu. “Tidak begitu mudah membunuh perdana menteri itu. Selain dia selalu dikawal oleh banyak jagoan yang tangguh, juga dia mempunyai pasukan pengawal khusus yang jumlahnya sampai seratus orang dan ke manapun dia pergi selalu terlindung. Selain itu, aku mendengar bahhwa di dalam gedungnya yang seperti istana itu dipasangi banyak alat rahasia sehingga tidak mudah mencari tempat persembunyiannya.”
“Kalau begitu kita tunggu sampai dia keluar dari gedungnya dan kita menyergapnya!” kata pula Pek Hong. “Kalau dia dilindungi seratus orang pengawal, kukira Paman Kwee tentu dapat mengerahkan pasukan yang lebih besar, mengingat paman menjadi komandan pasukan keamanan kota raja!”
Kembali Panglima Kwee tersenyum dan menggeleng kepala walaupun dia kagum akan semangat yang demikian hebat dari puteri Raja Kin itu. “Hal itu tidak mungkin dilakukan, Pek Hong. Waktu ini, pengaruh Chin Kui terhadap Kaisar amat besar dan dia dipercaya penuh sehingga kalau kita mengerahkan pasukan dan membunuhnya, jelas kita akan dianggap sebagai pemberontak terhadap kerajaan. Hal ini bahkan akan membuat keadaan menjadi semakin buruk dan merugikan bagi kita.”
Kwee Cun Ki yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini ikut merasa penasaran dan bertanya, “Wah, kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan, ayah?”
“Ya, apa yang harus kami lakukan sekarang, Kwee-twako?” tanya pula Han Si Tiong.
Semua orang memandang kepada Kwee Gi, menanti jawabannya karena semua orang bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, kalau jalan jang diusulkan Pek Hong tadi sama sekali tidak boleh dilakukan.
Panglima Kwee mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian setelah berpikir sejenak, dia berkata. “Kupikir sekaranglah saatnya yang tepat untuk bertindak. Aku sudah mengumpulkan semua rekan pejabat yang sehaluan untuk menentang Chin Kui, dan semua panglima yang sehaluan sudah pula mempersiapkan pasukan masing-masing untuk melawan kalau-kalau Chin Kui mempergunakan kekerasan dan mengerahkan pasukan yang mendukungnya.”
“Dan apa yang dapat kami berempat lakukan untuk membantu?” tanya pula Thian Liong.
“Dua hari lagi akan ada persidangan dan pada waktu mana para pejabat tinggi dan panglima datang menghadap Kaisar. Selama dua hari ini, aku akan dapat mematangkan persiapan kami, akan kuajak semua rekan untuk berunding. Kemudian, setelah saatnya menghadap Kaisar tiba, kalian berempat, Han-siauwte dan isterimu, Thian Liong, dan Pek Hong ikut bersamaku menghadap Kaisar.”
“Heh?? Ini sama saja dengan menyerahkan diri! Liong-ko sedang diburu pemerintah, kalau dia ikut menghadap Kaisar, bukankah itu berarti dia menyerahkan diri dan akan ditangkap?” seru Pek Hong terkejut.
“Memang, dan menyerahkan diri itu menunjukkan bahwa Thian Liong bukan pengkhianat yang hendak memberontak. Di depan Kaisar nanti aku yang akan menjelaskan persoalannya ketika dia membantu Kaisar Kin menghadapi pemberontakan yang bersekutu dengan Chin Kui. Justru fitnah terhadap Thian Liong itu akan kupergunakan untuk membongkar persekutuan Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada Kaisar Kin. Dan semua rekan sehaluan yang hadir akan mendukung laporanku kepada Kaisar.”
“Akan tetapi Perdana Menteri Chin Kui akan membantah dan memutar-balikkan fakta, dan di antara para pejabat yang menghadap tentu banyak pula kaki tangannya yang akan mendukung semua laporannya,” kata Liang Hong Yi.
“Benar sekali, hal itu sudah kami perhitungkan.”
“Akan tetapi kalau Kaisar lebih mempercayai Chin Kui yang sudah menguasainya, tentu Kaisar akan membenarkan perdana menteri itu dan Liong-ko akan ditangkap dan dihukum!” protes Pek Hong.
“Kami sudah memperhitungkan demikian. Kalau benar seperti yang kau khawatirkan, Pek Hong, mungkin Thian Liong dan engkau hanya akan ditahan dulu di penjara istana. Aku mengenal watak Kaisar. Sesungguhnya beliau seorang bijaksana, hanya dipengaruhi Chin Kui. Kalau terjadi pertentangan pendapat di antara para pejabat tinggi tentu dia tidak akan tergesa-gesa menghukum kalian.
"Melainkan menahan dulu untuk dipertimbangkan lagi dan diselidiki oleh Kaisar. Dan untuk sementara, tidak ada tempat yang lebih aman bagi kalian berdua, atau mungkin berempat dengan Han-siauwte dan isterinya kalau omongan Chin Kui herhasil dipercaya Kaisar. Setidaknya di sana kalian tidak akan dikejar-kejar lagi.”
“Akan tetapi, kalau kami dipenjara, tentu mudah bagi Chin Kui untuk membinasakan kami!” lagi-lagi Pek Hong memprotes.
“Jangan khawatir, Pek Hong. Kami sudah memperhitungkan segala kemungkinan itu. Ketahuilah bahwa kepala penjara istana adalah orang kita sendiri, sehaluan dengan kita, menentang Chin Kui. Maka kalau kalian ditahan di dalam penjara istana, aku yakin kalian akan diperlakukan dengan baik dan keselamatan kalian terjamin.”
“Lalu, kalau hal itu terjadi dan kami berempat ditahan dalam penjara, kemudian selanjutnya bagaimana, Kwee-twako?” tanya Han Si Tiong.
“Aku berpendapat bahwa engkau dan isterimu tidak akan dapat difitnah Chin Kui, Hian-te. Kalian hanya dimusuhi Chin Kui karena sebagai bekas bawahan mendiang Jenderal Gak Hui kalian dianggap berbahaya. Akan tetapi kalian tidak dipersalahkan pemerintah, bahkan kalian sudah berjasa ketika balatentara Sung melawan pasukan Kin di perbatasan.
"Kalian ikut kuhadirkan di depan Kaisar hanya untuk menjadi saksi betapa Chin Kui berniat jahat, hendak membunuh kalian yang telah berjasa kepada negara. Setelah, andaikata, benar-benar Thian Liong ditahan, tidak usah khawatir. Selain kepala penjara istana merupakan orang kita sendiri.
"Juga kami akan berusaha menyadarkan Kaisar dan siap bertindak kalau Chin Kui mempergunakan kekerasan. Pendeknya, sekarang saatnya bagi kita untuk melakukan perlawanan habis-habisan terhadap Perdana Menteri Chin Kui.”
“Baiklah, Paman Kwee. Saya siap paman bawa menghadap Kaisar!” kata Thian Liong penuh semangat. Dia teringat akan pesan gurunya agar dia membela Kerajaan Sung dari pengaruh dan kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui.
“Akupun siap!” kata Pek Hong penuh semangat.
Empat orang yang dicari dam diburu kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui itu tinggal di ruangan rahasia gedung Panglima Kwee sampai dua hari. Selama itu Kwee-ciangkun mengadakan persiapan yang matang dengan para rekannya. Mereka semua mempersiapkan laporan dalam usaha mereka menjatuhkan Perdana Menteri Chin Kui di depan Kaisar.
Ruangan persidangan dalam istana Kaisar Sung Kao Tsung itu luas sekali. Biarpun puluhan orang yang menduduki jabatan tinggi dan merupakan orang-orang penting di Kerajaan Sung pada pagi hari itu berdiri menanti munculnya Kaisar Sung Kao Tsung, namun ruangan itu masih tampak lega karena ruangan itu akan mampu menampung ratusan orang!
Para pejabat militer dan sipil sudah berdiri menanti dan mereka tidak berani berisik, berdiri diam menanti dengan sabar. Di sekeliling ruangan itu tampak para perajurit pengawal istana berjaga, ada dua losin pasukan tombak dan dua losin pasukan golok. Sebagian besar berjaga di luar ruangan.
Panglima Kwee berdiri di depan dan di samping kirinya berdiri Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong. Pek Hong memandang ke kanan kiri, memperhatikan ruangan sidang itu, agaknya membandingkan dengan ruangan sidang di istana ayahnya.
Para pejabat tinggi yang menjadi rekan Panglima Kwee, tidak merasa heran melihat kehadiran empat orang pengikut Panglima Kwee ini. Akan tetapi mereka yang menjadi sekutu Perdana Menteri Chin Kui, memandang dengan curiga dan mereka itu saling berbisik-bisik lirih.
Tak lama kemudian suara pelapor terdengar lantang memenuhi ruangan itu. “Yang Mulia Kaisar telah tiba...!!”
Suara itu seolah merupakan komando karena semua orang yang berdiri di ruangan itu, menghadap singasana, segera menjatuhkan diri berlutut dengan khidmat. Pek Kong juga ikut berlutut karena ia sudah biasa dengan adegan macam ini. Hanya biasanya, ia berdiri di samping ayahnya, tidak ikut menghadap dan berlutut seperti ini.
Rombongan kecil itupun melangkah perlahan, masuk ke ruangan dari pintu besar di samping singasana. Kaisar Sung Kao Tsung berjalan perlahan dengan pakaian gemerlapan, sikapnya anggun dan dia tersenyum melihat para pejabat berlutut. Di belakangnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh dua tahun, akan tetapi tampak jauh lebih tua daripada usianya.
Wajahnya penuh keriput dan rambutnya sudah putih semua. Aan tetapi pakaiannya mewah sekali, tidak kalah oleh pakaian yang dikenakan kaisar dan dan pandang mata maupun senyum di wajahnya yang kurus itu tampak jelas keangkuhannya dan kelicikannya.
Itulah Perdana Menteri Chin Kui yang seperti biasanya dalam persidangan, selalu menghadap Kaisar lebih dulu dengan alasan memberi laporan lengkap lebih dulu sebelum kaisar dihadap semua pejabat tinggi. Di belakang Perdana Menteri Chin Kui tampak beberapa orang thai-kam (orang kebiri atau sida-sida) yang menjadi pelayan pribadi kaisar dan paling belakang berjalan selosin orang perajurit pengawal pribadi kaisar.
Begitu kaisar duduk di atas singasana, semua pejabat tinggi yang menghadap segera berseru dengan suara berbareng. “Ban-swe.... ban-ban-swe...! (Panjang umur selaksa tahun!)''
Kaisar Sung Kao Tsung memberi isyarat dengan tangan kanannya, dan seorang thai-kam pelayan pribadi yang bertugas mengumumkan isyarat kaisar lalu berseru lantang. “Para pejabat dipersilakan duduk!”
Dalam persidangan umum, Para pejabat tetap berdiri, akan tetapi kalau yang bersidang itu para pejabat tinggi, maka disediakan tempat duduk untuk mereka. Peraturan ini ditentukan kaisar mengingat bahwa dalam persidangan para pembantu utamanya itu terkadang makan waktu lama sehingga mereka akan kelelahan kalau harus berdiri terus.
Para penghadap itu lalu mengambil tempat duduk masing-masing, dan tempat duduk mereka itu sudah ditentukan. Maka, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong tentu saja tidak kebagian tempat duduk dan mereka lalu berlutut di dekat tempat duduk Panglima Kwee. Karena semua orang duduk dan hanya empat orang itu berlutut, maka mereka menjadi pusat perhatian.
Baru sekarang Perdana Menteri Chin Kui melihat mereka. Dia tidak mengenal Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, akan tetapi dia mengenal Han Si Tiong dan isterinya, walaupun bekas perwira itu kini memelihara kumis dan jenggot.
Tentu saja perdana menteri itu terkejut dan marah bukan main, juga heran, akan tetapi dia tidak berani membuat ribut di situ karena yang memusuhi suami isteri itu adalah dia sendiri, dan kaisar bahkan tidak tahu tentang suami isteri bekas pembantu mendiang Jenderal Gak Hui itu.
Kaisar Sung Kao Tsung juga segera melihat empat orang yang berlutut itu maka diapun merasa heran. Melihat betapa empat orang yang berlutut dekat dengan Kwee Gi, maka kaisar lalu bertanya kepadanya. “Kwee-ciangkun, siapa empat orang yang berlutut itu?”
“Ampunkan hamba, Sri Baginda Yang Mulia, hamba telah berani menghadapkan mereka berempat kepada paduka di luar perintah paduka. Suami isteri ini adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang pada duabelas tahun yang lalu pernah menjadi pimpinan Pasukan Halilintar yang telah berjasa memerangi balatentara Kin di perbatasan.”
Kaisar Sung Kao Tsung mengangguk-angguk dan tersenyum. “Hemm, rasanya pernah kami mendengar tentang pasukan Halilintar yang gagah berani itu. Dan dua orang muda ini, siapakah mereka?”
“Sri Baginda Yang Mulia, pemuda dan gadis ini bernama Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong....”
“Wah, celaka!” tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui memotong. “Sri Baginda, pemuda inilah pengkhianat itu, antek Kerajaan Kin yang sudah hamba laporkan kepada paduka. Inilah orang buruan kita, berani benar memasuki ruangan ini, tentu berniat jahat terhadap paduka. Pengawal, tangkap pemuda itu!”
Kwee-ciang-kun cepat berlutut dan berkata, “Ampun Yang Mulia, hamba yang menanggung bahwa Souw Thian Liong tidak akan berbuat jahat di sini.”
“Wah, ini jelas komplotan!” Chin Kui berteriak-teriak. “Yang Mulia, mohon paduka berhati-hati, agaknya Kwee-ciangkun sudah bersekongkol dengan pengkhianat ini dan dengan suami isteri bekas anak buah Jenderal Gak Hui, tentu dengan niat untuk menjatuhkan Paduka dan merebut kedudukan mahkota raja!”
Chin Kui menudingkan tangannya kepada Kwee Gi dan empat orang yang berlutut. “Para pengawal cepat tangkap lima orang itu sebelum mereka menyerang Sri Baginda...!”