Kisah Si Naga Langit Jilid 19

Sonny Ogawa

Kisah Si Naga Langit Jilid 19 karya Kho Ping Hoo - SI PERWIRA yang belum sempat dapat membuka matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu. Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-lilit. Mungkin usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang perajurit itupun sudah dapat mereka robohkan.

“Kita pergi!” kata Thian Liong dan mereka berdua cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu sudah tidak ada lagi!

Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher baju pengurus rumah penginapan dan membentak, “Katakan di mana buntalan pakaian kami!” Dia mengguncang orang itu yang menjadi ketakutan.

“Maaf... kami... kami tidak berdaya... buntalan-buntalan itu telah disita perajurit...!”

“Keparat!” Pek Hong Nio-cu berseru marah.

“Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!”

Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi dibawa ketika makan sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka melihat empat orang perajurit seclang menuntun kuda mereka.

Mereka menjadi marah dan melompat ke depan, merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu keduanya melompat ke atas punggung kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.

Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun. Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat turun dari kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama beberapa jam. Matahari mulai condong ke barat.

Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya, menggunakan sehelai saputangan. “Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah menganggap engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau membantu kami di sana.”

“Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan di sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran, bagaimana mereka bisa tahu?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku tahu, Thian Liong. Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan fitnah ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung.”

“Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan. Dialah sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang membenciku.”

“Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti karena pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang.”

“Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah, itu adalah kota Ki-bun.”

“Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki-bun engkau juga akan dikejar-kejar, kita lebih mudah untuk melarikan diri,” kata Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka lalu menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua berjalan memasuki kota Ki-bun. Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong di punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan sengaja Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada pengurus rumah penginapan.

Mereka lalu makan di rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan malam dalam dua buah kamar yang mereka sewa. Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar kalau ada apa-apa mereka dapat cepat melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu.

Mereka menunggu dengan tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap waspada sehingga biarpun tertidur, mereka peka sekali. Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama Souw Thian Liong sebagai buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua penginapan.

Begitu mengetahui bahwa tamunya bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan segera melaporkan kepada komandan pasukan keamanan setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak buahnya dan pasukan ini mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.

Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian Liong. Tok-tok-tok! "Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!”

Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera menyambar buntalan pakaian dan digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan membuka daun pintu dan menerjang keluar.

“Tangkap! Serang mereka!” Komandan pasukan itu memberi aba-aba. Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di tangan.

Akan tetapi, seperti sudah mereka sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang berani menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh ke depan, keluar dari rumah penginapan itu.

Komandan pasukan berteriak-teriak, memberi aba-aba pengejaran dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang dalam kegelapan malam karena bulan belum muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan ngawur mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk kota Ki-bun menjadi geger.

Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan jumlah yang amat banyak. Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani bertanya ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan mereka.

Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua kota sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!

“Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu ke semua kota, dan bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan keterangan palsunya itu?” kata Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Ki-bun.

“Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal yang terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui para pembesar.

"Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu saja dia dapat memerintahkan para pembesar untuk menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung Kao Tsu dengan meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu.”

Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya. “Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana Menteri Chin Kui!”

“Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota raja lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi ilmunya?”

“Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus mencari Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia juga membantu pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan membawanya ke Siauw-lim-pai agar dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai.”

“Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?”

“Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?”

“Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang kita harus menghindari kota-kota besar. Tidak mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron oleh pemerintah. Kita melewati desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitabmu.

"Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja tentang Chin Kui dan Cia Song. Kurasa untuk menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang diri saja. Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan pasukan.”

Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat membuat perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun agaknya pengertiannya tentang seluk beluk pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.

“Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku sendiri menjadi bingung melihat pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap.”

“Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-mata kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang jahat, yaitu Cia Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka.”

Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan pemerintah tanpa melakukan kesalahan apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada gurunya dan dia selalu menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang berhak.

Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan mengalami kegagalan karena sebuah kitab milik Kun lun-pai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat menemukannya kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai.

Kemudian, perintah kedua agar dia membela kerajaan dan menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia dianggap pengkhianat oleh kerajaan Sung dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak ditangkap pemerintah. Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri.

Dia merasa malu kepada gurunya yang demikian baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan oleh pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu sekali.

Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba. “Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu. Maukah engkau mengajak aku ke sana?”

Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja Kerajaan Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah Telaga Barat.

* * *

Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan kudanya perlahan-lahan menyusuri sepanjang tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas itu. Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu menghangatkan tubuh.

Dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda dengan santai itu. Mereka menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.

Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya. Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada sikap tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan kegagahan.

Sebatang pedang yang berada di pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam barisan yang dipimpin mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal dalam bagian awal kisah ini.

Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh delapan tahun. Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang membuat ia tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini membawa pedang di punggungnya.

Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan. Suami isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi tiba-tiba saja mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari kaisar untuk menarik mundur pasukannya.

Ini adalah akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang menghentikan perang terhadap kerajaan penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar dan menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah perkasa dan setia ini dihukum mati.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si, pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya, Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada ayahnya agar dioleh-olehi pedang bengkok itu.

Akan tetapi ketika mereka berdua pulang ke Lin-an, mereka mendapatkan bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu lenyap diculik pembunuh itu. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua usaha bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi hukuman mati.

Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja, tidak mau mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya dengan sia-sia, akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah, mendirikan rumah sederhana dan menjadi petani.

Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan-jalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada seorangpun penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut Han-sicu dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah memimpm Pasukan Halilintar yang terkenal.

Para penduduk hanya mengenal mereka sebagai seorang gagah yang memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi aman dan tidak ada lagi perampok yang suka mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang tinggal sekitar Telaga Barat.

Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga. Ketika mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil) di tepi telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat itu, seekor ular kobra melompat dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki kedua ekor kuda itu.

Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali yang dipegang Han Si Tiong dan Liang Hong Yi putus. Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak jauhnya mereka Iari, mereka lalu roboh terguling dan tewas seketika!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka mencabut pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular kobra itu melayang ke bawah pohon besar.

Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi menggigit mati dua ekor kuda mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan pedang masih di tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh perhatian.

Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang lebat sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi yang biasa dipakai oleh suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih membayangkan ketegapan dan kekuatan.

Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan, terutama karena sepasang matanya liar, bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung kekuatan dan wibawa.

Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri, bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah mati dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.

Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati keracunan? Mereka berdua adalah ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang ahli sihir yang berbahaya.

Hanya dengan kekuatan sihir saja ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup! Han Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.

“Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor kuda kami? Apakah kesalahan kami?” tanya Han Si Tiong, menahan kemarahannya.

Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke atas tanah. “He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya? Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?”

Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si Tiong tidak menyangkal lagi. “Benar, kalau begitu, kenapa?”

Wajah yang tadinya tertawa itu tiba-tiba berubah cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api. “Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam pandangan Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani menemuinya.

"Selama belasan tahun ini kerjaku hanya merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian harus mati di tanganku!”

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala tentara yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua sering terancam maut dalam perang melawan pasukan Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama sekali tidak merasa gentar.

Bagi bekas pejuang seperti mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa kakek ini mendendam kepada mereka, dan mengancam akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah mengenalnya!

“Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah lo-cianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa artinya ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun? Kami sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa bermusuhan dengan lo-cianpwe,” kata Han Si Tiong dengan suara dan sikap masih menghormat.

“Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular Pencabut Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar Kerajaan Kin dan dihormati olehnya.

"Belasan tahun yang lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam perang di perbatasan, dalam sebuah pertempuran kalian telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan membunuh kalian untuk membalas dendam atas kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam pertempuran.”

“Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang berarti membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam perang bisa mendatangkan dendam pribadi?” bantah Han Si Tiong.

“Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa, melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian, di Lin-an (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak berada di rumah dan belum kembali dari perbatasan. Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik puteri kalian itu.”

“Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana sekarang Bi Lan anakku!” Liang Hong Yi berseru marah sekali.

“Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan, anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali ke Lin-an, akan tetapi kalian sudah pergi.

"Peristiwa itu membuat aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk dapat menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di tanganku!”

“Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong!” kata Han Si Tiong. “Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di mana adanya anak kami itu sekarang!”

Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama dari Tibet yang lihai itu. “Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini! Hyaaaattt...!!”

Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong. Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut pedangnya.

Melihat suaminya diserang, ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat ularnya dari bawah untuk menangkis sambil mengerahkan senjatanya.

“Singg.... tranggg....!!” Pedang itu terpental dan Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai.

Melihat isterinya melompat ke belakang dengan wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menangkis pedang Han Si Tiong yang menyerangnya.

“Cringgg....!” Kembali terdengar dentingan nyaring ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam adu senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

Maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak berani mendekat, hanya membantu saja suaminya dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah Han Si Tiong.

Suami isteri itu maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin melarikan diri dari lawan yang amat tangguh itu.

Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya, dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak hebat dan agaknya kematian mereka hanya menunggu beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan hanya dapat melindungi diri dengan memutar pedang, sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan mereka gawat sekali.

Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak nyaring. “Haiiiittt......!” Pedangnya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Ouw Kan miringkan tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh. Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.

“Trang......!!” Pedang di tangan Han Si Tiong menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya terasa panas sekali.

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar hitam ke arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan sudah siap menerima datangnya maut.

“Singgg.... tranggg....!”

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan terkejut bukan main. Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang dan agaknya pemuda itu yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang dipegangnya.

Di samping pemuda itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga gadis itu membawa sebatang pedang di punggungnya.

Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai seorang gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak membawanya dan sebagai gantinya ia membawa sebatang pedang biasa untuk melengkapi penyamarannya.

Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat. Ketika itu ia baru berusia kurang lebih delapan tahun dan ia sering melihat kakek itu datang berkunjung menghadap ayahnya. Iapun masih ingat bahwa kakek bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai dan bernama Ouw Kan.

Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar sebagai seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Ketika tadi ia dan Thian Liong datang ke tempat itu dan melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian Liong segera melompat dan menyelamatkannya dengan menangkis tongkat ular maut itu.

Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main. Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak marah. “Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong?” Kakek itu hendak menggertak dengan nama julukannya yang terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Thian Liong menjawab dengan sikap tenang. “Lo-cianpwe, kami sama sekali tidak menentangmu.”

“Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang tidak menentang?”

“Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang, hanya karena melihat ada seorang wanita hendak dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan mencegahnya.”

“Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku, menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati, beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa meninggalkan nama!” Ouw Kan membentak dengan sikap galak!

Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu orang macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw Kan seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia lalu maju dan berkata dengan nyaring.

“Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut ? Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan. Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama Souw Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak ingin lebih cepat mampus!”

Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi sekali ini, ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan sembarangan melainkan seorang yang sakti.

Akan tetapi karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu. Juga dia merasa heran mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek Hong.

Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik. “Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek. “Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara, selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci kepada orang kejam dan sombong macam kamu!”

Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring penuh wibawa.

“Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah kepadaku!”

Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi. Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian Liong memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya yang mendadak gelap tadi.

“Nio-cu, bangkit dan mundurlah!”

Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat melangkah mundur karena menyadari betapa berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka berdua saling pandang.

Biarpun mereka berdua hanya berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan, namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya, dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.

Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian Liong.

“Sambut seranganku!” Tongkat itu melayang ke atas, lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali, meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum “terbang” kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang berbahaya sekali.

Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda itu adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak mencoba menyerangnya dengan keampuhan tongkat ularnya didorong kekuatan sihirnya.

Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau mempergunakan kekerasan dia akan terancam bahaya. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya, dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong ke depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil berseru nyaring.

“Hyaaaatt... blarrr...!!” Tongkat yang berubah menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular kobra kering yang menjadi tongkat!

“Keparat busuk, mampuslah!” Ouw Kan kini yang sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan serangan tongkatnya.

“Tranggg....!” Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek Hong Nio-cu sudah membalik ke bawah menusuk ke arah perut lawan.

Ouw Kan terkejut dan cepat memutar tongkat ularnya ke bawah sehingga kembali pedang dan tongkat beradu sehingga mengeluarkan suara berdencing nyaring. Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya, menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg....!” Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh dorongan tangan Thian Liong yang menyambut serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong dengan pukulan jarak jauh.

Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan pasir itu ke arah dua orang lawannya.

Thian Liong berseru kepada Pek Hong Nio-cu. “Nio-cu, awas...!”

Gadis itupun cepat mengelak ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang disambitkannya itu mengandung racun pula. Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.

Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi mengejar.

“Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri.”

Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan membengkak dan terasa nyeri dan panas bukan main.

Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada laki-laki itu. “Paman, biarkan aku mencoba untuk mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang berbahaya!”

Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han Si Tiong.

“Harap paman robek saja celana itu di bagian yang terluka.”

Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi. Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong lalu merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores dan pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya berubah menghitam dan membengkak.

Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia menggores luka kecil itu sehingga melebar dan mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu ditempelkan pada luka yang berdarah. Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang mengandung daya sedot terhadap racun.

Perlahan-lahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih mulus seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) yang kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak ada tanda hitam lagi, Thian Liong menghentikan pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa girang sekali.

“Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Pakailah ini, bibi,” kata Pek Hong Nio-cu sambil membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih.

Ketika bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.

“Kalau kalian berdua orang-orang muda yang berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami.” kata Han Si Tiong.

“Perkenalkan, Souw-sicu dan Pek-siocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun Kian-cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita dapat bicara dengan leluasa.”

Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk. “Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali mengetahui akan peristiwa tadi,” kata Thian Liong dan dia bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua orang suami isteri itu.

Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga untuk mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat telaga.

Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan mereka duduk mengelilingi meja bundar dari marmer. Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi karena Thian Liong tidak biasa minum arak, nyonya rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu menghidangkan air teh.

“Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya,” kata Pek Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.

Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kami sendiri tadinya juga merasa heran. Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami diserang ular dan roboh mati.

Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa dengannya.”

“Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia dapat mendendam kepada paman dan bibi?” tanya Pek Hong Nio-cu.

“Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si.”

“Hemm, begitukah?” kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun. Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam perang melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana berkabung.

Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong Nio-cu! Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong melanjutkan ceritanya.

“Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya.

"Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini.”

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya, karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.

“Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana anak kami sekarang.

"Dia hanya bilang bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya.”

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

“Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apalagi dijadikan dendam pribadi.

"Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam. Apalagi Ouw Kan itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!”

Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan keadilan! Setelah mendengar pendapat gadis itu, baru dia berani bicara.

“Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-waktu datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke tempat lain.”

Han Si Tiong menghela napas panjang. “Berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang lagi dan menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!”

“Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu,” kata Liang Hong Yi dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.

“Bibi dan paman memang orang-orang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain bertulis ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua.”

Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini, Thian Liong berkata kepada mereka.

“Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong.”

Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi. “Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. “Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau kita saling tolong menolong?”

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan menghela napas panjang lalu berkata, “Aahhh.... kalau saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu sudah sebesar engkau inilah…”

“Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung ini,” kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik, akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara.

Selain sikapnya juga begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

“Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong, suka menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku adalah Sie Pek Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?” Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

“Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!” Liang Hong Yi mencela suaminya.

“Aku tidak berprasangka buruk,” bantah Han Si Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu. “Aku curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong.”

“Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan keterbukaan dan aku tidak akan marah.”

“Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Dan Ouw Kan menurut pengakuannya adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan besar di kerajaan Kin. Kini, nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami.

"Itu berarti bahwa dari tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar....”

Liang Hong Yi terkejut dan berseru, “Ia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran Cu Si? Kalau begitu celaka...”

Pek Hong Nio-cu tertawa. “Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir tidak perlu merahasiakan diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku terkenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu.”

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri....” Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.

“Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!”

“Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tidak ada alasan untuk mempunyai dendam pribadi.

"Adapun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur. Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin.”

Han Si Tiong mengangguk-angguk. “Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaanmu.” Dia lalu menoleh kepada Thian Liong. “Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak... nona Sie ini ke daerah ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya.”

“Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di mana-mana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah kita.”

“Eh, kenapa begitu sicu?” tanya Liang Hong Yi heran.

“Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu gemas.

“Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada perdana menteri jahat yang telah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?”

“Panjang ceritanya, paman,” kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song. Akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

“Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui tentu berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan orang buruan dan ditangkap, mati atau hidup.

"Padahal, saya membantu Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya berjasa, maka ketika saya meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui.

"Nah, itulah sebabnya puteri.... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada disini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami...”

Jilid selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.