Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 11
Sementara Helian Kong terus membujuk, "Sementara ini, Saudara Bu, singkirkan dari pikiranmu niat untuk menyerbu Pak-khia dengan bantuan orang Manchu. Bertahan sajalah di San-hai-koan, kau dan pasukanmu di tembok kota, aku dan pasukanku akan terus berusaha mengusik-usik pasukan musuh dari arah pegunungan. Bertahanlah, ini bukannya suatu keadaan tanpa akhir.
"Aku sudah mengirim orang-orang untuk mencari kontak dengan pasukan-pasukan kita yang berpencaran di mana-mana. Kelak ada saatnya kita serbu Pakkhia dan kita rebut balik dari tangan kaum Pelangi Kuning, tetapi dengan kekuatan kita sendiri, bukan dengan meminjam tangan tangan kotor orang-orang Manchu yang punya pamrih sendiri...”
“Aku tetap akan merebut Tan Wan-wan. Dia kepunyaanku yang sah, diberikan oleh Sri Baginda almarhum. Aku tetap akan merebutnya...”
“Baiklah, baiklah..." Helian Kong mengalah, sadar bahwa urusan Tan Wan-wan merupakan segala-galanya buat Panglima San-hai-koan ini. “Saudara Bu, beri aku waktu sepuluh hari, aku akan membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan ini.
"Tetapi aku mohon, selama sepuluh hari ini bertahanlah dengan gigih, pasukanku di luar kota yang kini dikomandani Kong-sun Koan, perwiramu, akan selalu berhubungan dan bekerjasama denganmu. Tetapi aku mohon, jangan biarkan orang Manchu campur tangan. Terima saja bantuan senjatanya dan bahan makanannya, tetapi jangan satu pun prajurit Manchu boleh masuk ke San-hai-koan. Setuju?"
Bu Sam-kui melongo, "Maksudmu? Dalam sepuluh hari, Tan Wan-wan akan berdiri di depanku.”
“Benar?" Helian Kong sadar betapa beratnya tugas yang dibebankan ke pundaknya sendiri itu. Sepuluh hari sebenarnya adalah waktu yang kelewat sempit. Masih harus dikurangi waktu bolak-balik antara San-hai-koan dan Pak-khia, sedang Tan Wan-wan sendiri berada di istana yang diduduki kaum Pelangi Kuning dan tentu dijaga ketat.
Tetapi Helian Kong mengambil pilihan itu demi menyelamatkan Bu Sam-kui dari pengambilan keputusan yang keliru. Kalau sampai Bu Sam-kui mengundang masuk tentara Manchu untuk menyerbu Pak-khia, apalagi hanya karena urusan seorang perempuan, akibatnya sungguh hebat. Kalau tentara Manchu sudah berhasil memasuki Tiong-goan, belum tentu mudah mengusirnya kembali.
Sementara Bu Sam-kui sendiri akan dikutuk seluruh bangsa Han sebagai penjual negara, dan Helian Kong tidak rela itu terjadi sebab Bu Sam-kui adalah sahabatnya. Dulu waktu Helian Kong difitnah oleh komplotan Co Hua-sun, Bu Sam-kui ini turut membela Helian Kong biarpun takut-takut. Bu Sam-kui termangu-mangu menghadapi tawaran Helian Kong itu. Ia membalikkan tubuh menatap keluar jendela, tidak berani menentang tatapan mata Helian Kong yang seolah menembus sampai ke dalam hati, menyelidiki isi hati.
“Bagaimana dengan tawaranku, Saudara Bu? Setuju?"
Tetap sambil membelakangi Helian Kong, Bu Sam-kui menjawab, "Kau baik sekali kepadaku, Saudara Helian. Berhati-hatilah."
Helian Kong menepuk pundak Bu Sam-kui, "Sepuluh hari. Bertahanlah, Saudara Bu. Jangan mengambil keputusan yang salah." Lalu pergilah Helian Kong, lenyap di udara dini hari yang seolah membekukan darah.
Helian Kong pergi tidak melalui jalanan biasa, melainkan berlompatan cepat dan ringan dari atap rumah ke atap rumah, seakan dengan mempertontonkan ketrampilannya itu Helian Kong ingin Bu Sam-kui merasa terjamin bahwa Tan Wan-wan pasti akan bisa diambil dan dihadirkan ke San-hai-koan dalam waktu sepuluh hari.
Bu Sam-kui menatap bayangan Helian Kong sampai lenyap, menarik napas dan mendesah dengan berat, "Maaf, Saudara Helian, aku sudah membohongimu. Aku tidak ingin satu pun prajurit Manchu di San-hai-koan ini, tetapi aku sudah tidak berkuasa lagi di sini. Aku sekarang boneka..." Tentu saja Helian Kong tidak mendengarnya.
Tanpa peduli kelelahannya karena seharian tidak tidur, ditambah hampir semalam suntuk berbincang dengan Bu Sam-kui, Helian Kong lebih dulu kembali ke pegunungan untuk menyerahkan pimpinan pasukan kepada Kongsun Koan selama ia pergi, meninggalkan pesan-pesan, juga agar menjaga Ong Ling-po sebagai tawanan baik-baik. Kemudian bertepatan dengan munculnya fajar dari balik pegunungan, ia bergegas-gegas menuju ke Pakkhia.
Ia merampas kuda dari regu-regu peronda Pelangi Kuning, dan di sepanjang jalan .ke Pakkhia ia berganti kuda beberapa kali, tentu saja kuda-kuda rampasan. Bahkan ketika hari kembali menjadi gelap, ia terus berpacu, makanya pada dinihari berikutnya ia sudah berada di dalam kota Pak-khia. Di rumah seorang bekas perwira Kerajaan Beng yang sejak kemenangan kaum Pelangi Kuning "ganti baju" menjadi pengusaha.
Tetapi sebenarnya perwira itu masih memimpin sekelompok orang-orang bawah tanah yang tetap menentang pemerintahan Pelangi Kuning. Orang ini dan kelompoknya, dulu ikut menyatroni rumah Jenderal Lau Cong-bin untuk membebaskan keluarga Siangkoan. Kedatangan Helian Kong dini hari di tempat kediamannya, membuat pemilik rumah itu terkejut.
“Helian Cong-peng..."
"Aku ingin tidur sebentar, Saudara Seng. Tapi bangunkan aku tiga jam lagi. Aku baru saja berpacu tanpa henti dari San-hai-koan, aku lelah sekali..."
Seng Te ingin bertanya, "Ada apa di San-hai-koan?" Namun melihat wajah Helian Kong begitu kelelahan, ia menahan pertanyaannya. Ia bawa Helian Kong kebelakang tokonya untuk beristirahat.
Sementara itu, hampir bersamaan dengan sampainya Helian Kong di Pak-khia, dari San-hai-koan juga tiba seseorang yang juga dari San-hai-koan dan juga tiba di Pak-khia dini hari itu. Cuma ia langsung menuju ke warung bakminya Go Liong yang letaknya berseberangan dengan tangsi tentara.
Warung bakmi yang dari pagi sampai sore dikunjungi perwira-perwira yang makan minum tanpa bayar, tetapi tidak bangkrut-bangkrut. Ketika jalanan kota Pak-khia masih gelap dan kabut yang dingin masih tergantung rendah hanya sejengkal dari permukaan tanah, orang itu sambil merapatkan mantelnya menahandingin, mengetuk pintu belakang warung dengan ketukan berirama tertentu.
Seorang pengawal Go Liong alias Goh Lung yang membukakan pintu. Yang dibukai pintu adalah pegawainya Jai Yong-wan, si saudagar Korea gadungan di San-hai-koan. Pegawai Go Liong menatap tamu diniharinya itu tajam-tajam dan bertanya, "Dari mana?" sambil memainkan dua jari tangan kanannya dengan gerak tertentu sebagai isyarat.
Pegawai Jai Yong-wan menjawab, "Dari San-hai-koan," juga sambil membuat gerakan-gerakan tertentu yang berbeda dengan jari-jarinya.
“Aku ingin melapor kepada Kun-su, kalau beliau masih di sini..." Yang dimaksud Kun-su (penasehat militer) adalah Kat Hu-yong, penasehat militernya Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Tertinggi Balatentara Manchu.
“Beliau masih di sini," sahut pegawai Go Liong yang membukakan pintu. “Masuklah..."
Orang suruhan Jai Yong-wan itu pun melangkah masuk, ternyata meskipun hari masih sangat pagi, bagian belakang warung itu sudah sibuk. Maklum, begitu fajar menyingsing warung itu sudah akan kebanjiran langganan, para perwira dari seberang jalan.
Pegawai Go Liong alias Goh Lung yang membukakan pintu tadi berkata dalam bahasa Manchu kepada orang suruhan Jai Yong-wan, "Kau Lapar? Bakmi di warung kami terkenal di seluruh Pak-khia."
Suruhan Jai Yong-wan itu tertawa, dan menjawab dalam bahasa Manchu pula, "Memang lapar sekali, tetapi makannya nanti saja setelah aku laporkan segala sesuatunya kepada Kun-su. Eh, apakah beliau sudah bangun sepagi ini?”
“Belum tidur, la tidur sepanjang siang hari, malam harinya keluyuran entah ke mana saja. Ia baru saja datang dan belum tidur.”
“Kebetulan sekali." Tidak lama kemudian, orang suruhan Jai Yong-wan itu sudah berhadapan dengan Kat Hu-yong dan Goh Lung.
Kat Hu-yong adalah penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, sedang Goh Lung adalah penanggung-jawab kegiatan para mata-mata Manchu di kota Pakkhia, yang sehari-harinya memakai nama bangsa Han, Go Liong, dan dikenal pemilik warung bakmi yang sangat ramah, langganan para perwira.
“Laporan apa yang kau bawa dari San-hai-koan?" tanya Kat Hu-yong setelah berhadapan dengan utusan dari San-hai-koan itu.
“Kun-su, sebetulnya kedatanganku kemari karena membuntuti Helian Kong dari San-hai-koan...”
“Jadi Helian Kong sekarang sudah ada di San-hai-koan?”
“Benar, Kun-su. Bersama pasukannya ia bersembunyi di pegunungan, tetapi ia bisa keluar masuk San-hai-koan seenaknya saja, meskipun San-hai-koan dikurung pasukan Pelangi Kuning. Kehadirannya membuat semangat pasukan Bu Sam-kui di San-hai-koan meningkat."
"Bagaimana dengan usaha orang-orang kita mempengaruhi Bu Sam-kui?”
“Ada banyak kemajuan. Setelah Perwira Jai diam-diam membakar gudang perbekalan pasukan San-hai-koan sehingga pasukan itu paceklik makanan, Jenderal Ang Seng-tiu datang menawarkan bantuan yang tentu saja diterima Bu Sam-kui meski mulanya agak berlagak gengsi. Ditambah dengan berita tentang Tan Wan-wan yang membuat Bu Sam-kui makin kebingungan, mudah saja membuat Bu Sam-kui jatuh ke bawah kendali kita. Saat ini sudah ada seribu pasukan kita yang pura-pura membantu. Tetapi rencana ini bisa terancam oleh Helian Kong.”
“Apa yang dilakukan Helian Kong?”
“Bu Sam-kui mudah kita kendalikan karena dia sedang bingung soal Tan Wan-wan, khawatir kehilangan Tan Wan-wan. Tetapi Helian Kong tiba-tiba saja menjanjikan akan membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan dalam sepuluh hari. Kalau ini terlaksana, Bu Sam-kui bisa merasa tidak membutuhkan kita lagi..."
Kat Hu-yong mengangguk, "Tadi kau bilang menguntit Helian Kong dari San-hai-koan sampai ke Pak-khia, apakah untuk urusan ini juga?”
“Betul, Kun-su.”
“Di Pak-khia ini, kau lihat Helian Kong memasuki rumah yang mana?"
Utusan dari San-hai-koan itu menarik napas, sahutnya, "Aku minta maaf, Kun-su. Memang mula-mula gampang membuntuti dia, tetapi baru setengah jalan, ketika dia teruskan perjalanannya meskipun hari sudah gelap, aku jadi kewalahan mengikuti jejaknya. Aku jadi tidak tahu di Pak-khia ini dia masuk ke rumah siapa...”
“Ya sudahlah. Yang penting kita gagalkan dia menculik Tan Wan-wan, untuk itu caranya tidak sulit. Melalui orang-orang kita di istana, beritahu mereka. Helian Kong akan masuk perangkap.”
“Lewat Ang Bik saja. Ang Bik alias Ting Hoan-wi, saudara seperguruan Helian Kong sendiri."
"Ya, kita manfaatkan ketakutannya akan pembalasan dendam Helian Kong, pasti dia dengan senang hati akan merencanakan perangkap yang canggih buat bekas saudara seperguruannya sendiri."
Kat Hu-yong menguap lebar, kemudian berkata kepada Goh Lung, "Atur semuanya olehmu. Aku mengantuk, dan ingin tidur.”
“Baik, Kun-su..." kemudian Goh Lung juga berkata kepada utusan dari San-hai-koan itu, "Kau tentu juga lapar dan mengantuk. Kau boleh beristirahat. Kau boleh memilih apakah akan makan dulu baru tidur, atau tidur dulu baru makan. Pergilah kepada orang di dapur. Tidak usah canggung, semua yang di sini adalah orang-orang kita sendiri...”
“Terima kasih, Cam-ciang..." sahut si utusan San-hai-koan.
Oleh Jai Yong-wan ia sudah diberitahu kalau pemimpin mata-mata Manchu di Pak-khia yang menyaru sebagai pemilik warung bakmi ini berpangkat Cam-ciang dalam jajaran pasukan sandi balatentara Manchu. Sama dengan Jai Yong-wan yang adalah juga Cam-ciang dalam pasukan Manchu.
Setelah Kat Hu-yong dan utusan San-haikoan itu masuk ke kamarnya masing-masing untuk melepaskan penat, dan bangunnya bisa sampai sore nanti, maka Goh Lung pun ganti peranan sebagai Go Liong, mengatur warungnya. Sebentar lagi tamu-tamu pasti akan berdatangan.
Ketika jalanan di kota Pak-khia mulai ramai dengan orang dan hewan peliharaan yang berlalu-lalang, warung itu pun membuka pintunya. Dan perwira-perwira dari tangsi seberang jalan pun membanjir datang, saling mengucapkan selamat pagi, lalu menggebrakgebrak meja minta dilayani dengan pesanannya masing-masing.
Gaya mereka tidak canggung atau sungkan dalam minta ini-itu, meskipun nantinya mereka akan pergi begitu saja tanpa membayar, seolah-olah yang punya warung itu neneknya sendiri. Sementara, suasana yang tadinya sepi menjadi riuh-ramai oleh suara obrolan dan1tertawa keras perwira-perwira itu.
Yang mereka bicarakan agaknya bukan lagi kisah-kisah semasa "perjuangan" bagaimana dulu mereka menumbangkan dinasti Beng, agaknya sudah bosan, tetapi membicarakan pengalamannya masing-masing dengan wanita-wanita penghibur. Kelakar jorok pun memenuhi warung itu.
Go Liong dan pegawai-pegawai warungnya melayani dengan telaten dan sabar segala ulah perwira itu. Goh Liong menanti-nanti munculnya Ang Bik alias Ting Hoan-wi dengan sabar, sebab ia tahu Ang Bik biasanya muncul kesiangan, tetapi sudah pasti tidak berani tidak muncul sebab mata-mata Manchu di Pak-khia itu sudah mengendalikannya.
Benar juga, agak siang. Ang Bik muncul dengan seragam perwiranya dan lagak sombongnya. Semua perwira yang sedang duduk di warung itu menyambut dengan hormat, sebab Ang Bik sekarang berkedudukan sebagai tangan-kanannya Jenderal Gu Kim-sing, menggantikan Ciong Ek-hi.
Tidak ada di antara perwira itu yang tahu kalau Ang Bik sekarang sudah jadi boneka komplotan mata-mata Manchu. Begitu Ang Bik duduk, ia langsung memandang ke meja kasir di mana Go Liong biasanya duduk. Untuk menantikan isyarat Go Liong. Ia melihat Go Liong sedang memain-mainkan suipoanya, dan Ang Bik segera tahu bahwa Go Liong membutuhkannya untuk diajak bicara empat mata.
Karena itu, Ang Bik segera bangkit menuju ke kamar kecil di belakang, disusul Go Liong dengan gerakan tak kentara. Kamar kecil di mana dulu Ang Bik diancam dan "disulap" menjadi mata-mata Manchu. Pengunjung warung itu memang hampir semuanya perwira-perwira Pelangi Kuning dari tangsi seberang jalan, namun ada juga pengunjung yang kelihatannya orang sipil.
Sejak warung buka tadi, ada seorang kakek-kakek bertampang lusuh dan dekil yang duduk di pojok ruangan, dan lama sekali tidak selesai-selesai makannya. Yang dipesannya juga makanan yang paling murah, bakmi kuah dalam mangkuk besar yang lebih banyak kuahnya daripada bakminya, dan kuah sudah tentu tidak dapat disumpit, melainkan disendoki dan diseruput pelan-pelan sedikit-sedikit karena khawatir cepat habis.
Kakek 'ini nampak memperhatikan ketika Ang Bik memasuki warung tadi, memperhatikan dengan diam-diam dan tanpa kentara. Ia memperhatikan pula pertukaran isyarat antara Go Liong dengan Ang Bik, yang tidak terlihat oleh orang lain, tetapi tidak lolos dari tatapan kakek ini meskipun si kakek kelihatannya terus-menerus menunduk menikmati kuah-minya.
Maka ketika Ang Bik menuju kamar-kecil di belakang, dan Go Liong juga menyusulnya, kakek ini pun bangkit tertatih-tatih hendak menuju ke kamar kecil di belakang pula. Tetapi seorang pegawai warung menghadangnya di antara meja-meja, "Mau pergi ke mana, Kek?"
Si Kakek tertawa terkekeh-kekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang ke-coklat-coklatan karena kebanyakan tembakau rupanya dan menjawab serak, "Aku... aku kebelet, ingin numpang ke kamar kecil untuk... untuk..."
Si pegawai warung menjawab tegas, "Maaf, Kek, kamar kecil kami bukan untuk umum. Cari tempat lain saja...”
“Tetapi Tuan Perwira tadi kok...”
“Para Tuan-tuan perwira itu perkara lain. Mereka sudah berjasa membebaskan negeri kita dari dinasti Beng yang korup. Jadi kita sebagai rakyat jelata wajib menyatakan terima kasih kita dengan melayani mereka sebaik-baiknya..."
Si Kakek tidak ingin berbantah lagi, ia kembali ke tempat duduknya. Namun kali ini ia makan kuah-minya dengan cepat, membayarnya, dan meninggalkan warung itu cepat-cepat. Sementara itu, tidak di kamar kecilnya melainkan di dekat kamar kecil, Go Liong dan Ang Bik berhadapan empat-mata, masing-masing duduk di atas seonggok kayu bakar untuk keperluan dapur.
Go Liong mengeluarkan sekantong kecil uang emas dari bajunya dan diserahkannya kepada Ang Bik sambil berkata, "Kau bekerja dengan baik, orang she Ang. Kau mematuhi seluruh perintah kami sehingga semua rencana kami berjalan lancar. Untuk itu, pantas kalau kami memberikan sedikit imbalan. Terimalah."
Dengan sukacita Ang Bik menerima hadiah itu, meskipun sebagai tangan kanan ia biasa menerima uang sogok dari beberapa pihak, yang jumlahnya jauh melebihi uang dalam kantong kecil itu, namun pengakuan Go Liong bahwa dia bekerja dengan baik itu sangat melegakan. Ini dijadikan "cantelan" untuk nasibnya di kemudian hari, apabila orang Manchu mendapat kemenangan.
Buat Ang Bik alias Ting Hoan-wi, negerinya boleh berganti bendera sepuluh kali sehari dan dia pun akan berganti nama dan berganti identitas sepuluh kali sehari. Ia adalah blasteran bunglon dan belut. Kata Ang Bik dengan mata berbinar-binar,
"Tuan Go, apabila kelak negeri Tuan menguasai negeri ini, harap jangan Tuan lupakan untuk menceritakan apa yang sudah aku kerjakan ini kepada atasan Tuan..."
Go Liong alias Goh Lung adalah prajurit sejati bangsa Manchu yang sangat menjunjung tinggi kesetiaan, maka sikap Ang Bik itu sebenarnya rnembuat dia agak muak. Ujung-ujung mulutnya berkerinyit sedikit sebagai getaran perasaannya, tetapi ia sadar bahwa bagaimanapun rendah dan memuakkannya watak Ang Bik, saat itu Ang Bik adalah orang yang bisa dimanfaatkannya. Maka ia mengangguk-angguk sambil menepuk-nepuk pundak Ang Bik,
"Jangan khawatir. Pemerintahku bukan jenis yang mudah melupakan jasa-jasamu...”
“Terima kasih...”
“Saudara Ang, saat ini terbuka peluang lagi untuk kau mendapatkan muka terang dari Jenderal Gu, atasanmu itu..."
Ang Bik terkesiap, menyangka perkataan Goh Lung itu adalah semacam "ujian kesetiaan" untuk mengetahui bagaimana isi hatinya yang sebenarnya. Maka buru-buru ia menyahut dengan gagah, "Tuan Go, saat ini hatiku sudah tidak bercabang lagi, aku sudah memutuskan untuk memandang jauh ke depan, aku yakin bangsa Manchu lah yang akan menguasai negeri ini dan membuat negeri ini jaya. Buat apa aku harus cari muka kepada seorang jenderal tolol dari gerombolan maling Pelangi Kuning yang sebentar lagi ambruk? Tidak."
Goh Lung tertawa dalam hati mendengar omongan setinggi langit itu, lalu ia ganti haluan meskipun untuk menyampaikan maksud yang sama, "Maksudku begini, Saudara Ang, yang akan kami tugaskan kepadamu ini ada juga sangkut-paut kepentingannya dengan kami, eh, kita, dalam rencana menguasai negeri ini...”
“Nah, kalau itu, aku siap mempertaruhkan nyawa!” sahut Ang Bik gagah.
“Saudara Ang, tahukah kau bahwa Helian Kong saat ini berada di kota ini?"
Baru saja Ang Bik sesumbar dengan gagah, begitu mendengar perkataan Goh Lung itu kontan wajahnya memucat sampai ke bibirnya keringatnya menjadi dingin, matanya terbelalak.
Goh Lung menahan tawanya, menepuk pundak untuk menenangkan Ang Bik, katanya, "Tidak usah gentar, Saudara Ang. Beradanya Helian Kong di kota ini adalah untuk mencoba menculik Tan Wan-wan, Saudara sepupumu yang sekarang menjadi tokoh istana bergelar bangsawan. Kalau Helian Kong berhasil menculik Tan Wan-wan, ini tidak menguntungkan rencana kita...”
“Kenapa?" Ang Bik agak bingung, kenapa Helian Kong kalau berhasil menculik Tan Wan-wan akan mengganggu rencana orang-orang Manchu? Itulah sebabnya ia bertanya.
Tetapi jawaban Goh Lung mengecewakan, "Tidak perlu kau mengetahui seluk-beluknya, Saudara Ang. Pokoknya kau laporkan ini kepada Gu Kim-sing atau siapa saja, agar mereka berjaga-jaga, dan orang yang kau beritahu pastilah dengan senang hati akan memasang jaring untuk menangkap seorang buron dinasti Beng kelas kakap semacam Helian Kong. Kau sendiri akan mendapat keuntungan pribadi, lenyapnya Helian Kong akan membuat mimpi burukmu berakhir..."
Penolakan Goh Lung untuk membeberkan sebab-musabab terganggunya rencana orang Manchu kalau Helian Kong berhasil, membuat Ang Bik sadar, bahwa meskipun dirinya baru saja dipuji dan diberi hadiah, tetapi ia masih tergolong orang luar alias kaki tangan belaka, hanya dimanfaatkan tetapi belum boleh mengetahui seluk-beluk urusan yang sedalam-dalamnya.
Ang Bik menarik napas, namun dia pun melihat sesuatu kesempatan. Ia berniat akan melaporkan keterangan penting itu langsung ke istana, tanpa melalui Gu Kim-sing atasannya. Ia ingin mendapat pahala juga dari pihak istana, sedang kalau lewat Gu Kim-sing pastilah semua pahala dan pujian akan diborong Gu Kim-sing untuk dirinya sendiri semua.
“Baiklah, Tuan Go, apakah hanya itu saja yang harus aku laporkan?"
"Ya, Saudara Ang. Asal Helian Kong berhasil digagalkan mengambil Tan Wan-wan, pahalamu sudah besar sekali buat kami.”
“Baik, baik." Kemudian mereka pun kembali ke ruang depan.
Goh Lung kembali menjadi Go Liong yang ramah. Hari itu juga, Ang Bik mencari hubungan dengan orang-orang istana itu untuk melaporkan rencana Helian Kong. Kalau ditanya darimana ia dapati keterangan itu, tentu saja Ang Bik tidak mengaku kalau diperolehnya dari orang-orang Manchu, melainkan diakuinya hasil "pertaruhan nyawanya" mengintip percakapan sisa-sisa dinasti Beng. Dan sesuai dengan rencananya, Ang Bik melaporkannya ke istana, langsung, tanpa melewati Jenderal Gu.
Ketika langit semakin gelap dan malam turun menyelubungi kota Pak-khia, Helian Kong justru bangun dari tidur siangnya dalam keadaan segar bugar, la bersiap-siap dalam Yahing-ih (pakaian pejalan malam) untuk menyelundup masuk ke istana. Beberapa pimpinan kelompok-kelompok bawah tanah yang setia kepada dinasti Beng sudah berkumpul di rumah Seng Te, rumah tempat Helian Kong meneduh, tentu saja dalam penyamaran.
“Helian Cong-peng, benarkah yang kami dengar dari Saudara Seng Te, bahwa Cong-peng akan menyelundup masuk ke istana untuk menculik Tan Wan-wan?" tanya salah seorang pentolan kelompok bawah tanah yang adalah bekas perwira istana di jaman Beng.
Helian Kong cuma mengangguk. Para pemimpin kelompok itu saling berpandangan, mereka belum tahu tujuan Helian Kong karena Helian Kong belum memberitahu. Banyak di antara mereka yang menduga kalau maksud Helian Kong terpengaruh hubungan pribadinya dengan Tan Wan-wan, bekas pacar. Itulah sebabnya banyak yang mencemaskan Helian Kong.
Patutkah seorang yang begitu penting dalam pergerakan bawah-tanah semacam Helian Kong2mempertaruhkan nyawa hanya demi seorang perempuan? Kata salah seorang pemimpin kelompok, "Helian Kong Cong-peng, pertaruhannya sama, tidakkah lebih baik kalau kita mengincar sasaran yang lebih besar?”
“Sasaran yang lebih besar? Siapa?”
“Puteri Tiang-ping. Kalau kita bisa keluarkan Puteri Tiang-ping dari istana, semangat pejuang-pejuang kita akan meningkat. Begitu pula, mungkin perpecahan antara pasukan-pasukan kita di selatan bisa teratasi kalau ada keturunan langsung dari Kaisar Congceng..."
Saat itu memang kaum Pelangi Kuning hanya menguasai belahan utara daratan Cina, belahan selatan tetap dikuasai penguasa-penguasa bawahan dinasti Beng, ada bangsawan dan ada jenderalnya, tetapi diam-diam ada persaingan antara beberapa bangsawan karena sama-sama merasa berhak meneruskan tahta dinasti Beng.
Mendengar perkataan bekas perwira itu, Helian Kong dapat menebak apa yang dipikirkan orang itu, sehingga ia berkata, "Saudara-saudara, aku bisa maklum kalau kalian menyangka tindakanku sekarang ini berlandaskan motif pribadi, karena aku memang punya hubungan pribadi dengan Tan Wan-wan, tetapi aku jamin aku bertindak sekarang bukan atas dasar itu. Ini sangat penting, menyangkut keselamatan seluruh negeri. Itulah sebabnya aku melibatkan Saudara-saudara untuk membuat gerakan-gerakan yang memecah perhatian pasukan-pasukan istana. Aku berdosa kepada Saudara-saudara, kalau sampai melibatkan kalian untuk urusan pribadiku. Percayalah. Ini bukan urusan pribadi...”
“Boleh kami tahu duduk persoalannya?"
Helian Kong merasa serba salah, kalau tidak dibeberkan, dia merasa tidak enak kepada pemimpin-pemimpin dari kelompok-kelompok bawah tanah yang akan membantunya ini. Tetapi kalau dijelaskan, ia khawatir orang-orang ini akan memandang rendah Bu Sam-kui sahabatnya. Akhirnya Helian Kong menjawab samar-samar,
"Berhasil atau gagalnya kita menculik Tan Wan-wan malam ini, akan berakibat tak langsung atas berhasil atau gagalnya teman-teman kita di San-hai-koan mempertahankan bentengnya, baik terhadap kaum Pelangi Kuning maupun terhadap orang Manchu...”
“Apakah ada sangkut-pautnya dengan Jenderal Bu Sam-kui?”
“Ya," hanya itu jawaban Helian Kong tanpa penjelasan lebih lanjut.
Para pemimpin kelompok menangkap keseganan Helian Kong bicara terperinci, dan mereka tahu tentu ada sebabnya. Namun mereka tetap mempercayai Helian Kong, karena mereka sudah mengenal Helian Kong hampir-hampir seperti mengenal diri sendiri.
“Hari semakin gelap, aku rasa kita harus mulai bergerak sekarang ke sasaran masing-masing..." kata Helian Kong.
Petunjuk-petunjuk singkat diberikan kemudian mereka berpencaran meninggalkan rumah Seng Te melalui pintu belakang dan menghilang langsung di antara ribuan lorong-lorong gelap kota Pak-khia. Seng Te sendiri ikut bagian dalam operasi itu. Helian Kong sendiri, seorang diri, langsung menuju ke istana kerajaan. Sebagai seorang bekas panglima dinasti Beng, sudah tentu ia hapal jalan-jalan di sekitar istana.
Namun untuk bagian dalamnya. ia tidak hapal, sebab ia dulu bukan anggota pasukan istana. Sedangkan kompleks istana itu sendiri amat luas, seperti sebuah kota di dalam kota Pak-khia, sehingga namanya pun Ci-kim-shia atau Kota Terlarang. Yang diincar Helian Kong adalah pintu belakang yang disebut Hou-cai-mui.
Dilihatnya penjagaan di tempat itu cukup ketat, namun tidak tergolong luar biasa. Tembok dinding belakang istana itu ratusan meter panjangnya, dan banyak tempat-tempat gelap yang tidak terjaga. Helian Kong begitu penuh semangat, pikirannya hanya dipenuhi oieh keberhasilan usahanya, sehingga tidak sedikit pun terpikirkan olehnya bahwa di belakang tembok itu bisa saja tersedia perangkap baginya.
Helian Kong menunggu sekian lama, sampai teman-temannya di tempat lain bertindak. Menjelang tengah malam, dari beberapa arah lainnya di sekitar istana, terdengar suara keributan, bahkan suasana letusan bedil sundut, dan cahaya lidah api menggapai langit malam yang kelam.
Dari pintu, gerbang Hou-cai-mui, Helian Kong melihat ada berapa regu keluar, komandan-komandan mereka memberi aba-aba singkat dan tegas, kemudian berpencaran ke beberapa arah. Tetapi tidak seorang pun dari mereka melihat Helian Kong yang nangkring dengan aman di atas pohon, terlindung dedaunan.
Setelah keadaan aman, biarpun di kejauhan terdengar suara keributan, Helian Kong melentingkan tubuhnya dengan ringan dari atas31 pohon tempatnya bersembunyi, dibantu lentingan dahan pohon yang diinjaknya, tubuhnya meluncur dan mendarat di sebelah dalam tembok dengan ringannya, tanpa suara.
Sekarang Helian Kong sudah berada di sebelah dalam kompleks istana, tempat yang sedikit banyak pernah dikenalnya, meski tidak hapal betul. Tempat itu gelap dan sepi, namun ketajaman mata Helian Kong masih bisa melihat keadaan sekitarnya.
Masih seperti dulu, beberapa bagian masih rusak dan belum sempat diperbaiki, akibat pertempuran memperebutkan istana yang belum lama berlalu, antara prajurit-prajurit istana Beng dan laskar kerajaan.
Helian Kong sudah merancang sesuatu dalam hati, la belum tahu di mana beradanya Tan Wan-wan di kompleks seluas itu, namun ia sudah bertekad akan menjalankan siasat umum, menangkap seorang penjaga dan memaksanya bicara menunjukkan di mana sasarannya berada.
Bahkan Helian Kong juga sudah membulatkan hati, kalau malam ini gagal, ia akan bersembunyi di istana itu entah sampai beberapa hari, sampai berhasil mendapatkan Tan Wan-wan. Dia pun berjalan melangkah di antara bunga-bunga dan hiasan-hiasan di taman istana itu, namun tidak sempat menikmati keindahannya sebab pikirannya tegang, dan ia melangkah dengan waspada.
Tiba-tiba dari arah samping terlihat dua sosok bayangan mendekat. Cepat Helian Kong bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai. Ia melihat dua orang thai-kam (sida-sida) yang sedang berjalan dan membawa nampan. Seragam para sida-sida masih sama dengan seragam sida-sida di jaman dinasti Beng, bahkan orang-orangnya juga masih yang dulu.
Rupanya ketika Li Cu-seng beserta laskar Pelangi Kuning berhasil merebut pemerintahan, sebagian sisa-sisa pegawai istana yang menyatakan setia kepada pemerintahan baru tetap dipekerjakan, meskipun tetap diawasi. Helian Kong melompat dan menyergap mereka, dengan dua gerakan ringan saja dia merobohkan kedua sida-sida itu. Kemudian salah seorang disadarkan kembali dengan ditekan urat jin-tiongnya di bawah hidung.
Setelah orang itu sadar, Helian Kong langsung mengancam, "Tunjukkan di mana Tan Wan-wan. Cepat."
Orang itu gelagapan, "Tan Wan-wan?”
“Ya. Kalau kau bekerja sejak jaman dinasti Beng, kau pasti tahu perempuan yang di... disayangi Baginda Cong-ceng, yang kemudian menghilang sebentar dari istana dan sekarang diboyong kembali ke istana oleh raja-maling mu itu..."
Orang itu mengangguk-angguk ketakutan. “Nah, katakan, di mana dia?" gertak Helian Kong.
“Dia di bangsal model Soh-ciu dekat Tiau-yang-kiong (bangsal menghadap matahari)."
Helian Kong membatin, "Agaknya Tan Wan-wan benar-benar disayangi oleh almarhum Baginda Cong-ceng, sehingga dibangunkan sebuah bangsal khusus buatnya di dalam istana ini. Bangsal yang model bangunannya mengingatkannya ke kampung-halamannya di Soh-ciu..."
Helian Kong menganggap bangsal model Soh-ciu yang dikatakan sida-sida itu pasti bukan dibangun oleh L i Cu-seng si penguasa baru yang kini bergelar Kaisar Tiong-ong. Li Cu-seng belum sebulan berkuasa, dan tentu lebih sibuk membenahi hal-hal yang penting daripada membangunkan sebuah bangsal khusus buat Tan Wan-wan. Bagaimanapun berjasanya Tan Wan-wan buat perjuangan kaum Pelangi Kuning.
Helian Kong bertanya pula, "Pasukan apa yang berjaga di sekitar bangsal itu? Bagaimana seragamnya?" Dulu seragam pasukan-pasukan istana di jaman dinasti Beng, Helian Kong hapal. Cukup dengan melihat seragamnya, bahkan dari kejauhan pun, Helian Kong dapat membedakan pasukan ini-itu, tetapi setelah ganti pemerintahan, ia tidak tahu apakah seragam prajurit-prajurit istana juga ditukar, itu sebabnya ia bertanya.
"Yang mengawal dari kesatuan Lwe-teng Wisu (bayangkara pengawal keraton). Mereka berjubah merah tua, celana hitam, topi bersegi hitam dengan hiasan bulu burung di depan jidat...”
“Hemm, menjiplak Lwe-teng Wisu di jamannya dinasti Beng..." Helian Kong mendengus mengejek, lalu ia pukul pingsan sida-sida itu kembali, dan menyelinap ke sebelah timur. Ia tahu di mana bangsal Tiauyang-kiong itu.
“Sekarang aku harus dapatkan seragam Lwe-teng-Wisu, dan kata-kata sandi antar mereka kalau ada..." pikir Helian Kong.
“Tetapi kalau tidak dalam keadaan darurat, biasanya tidak pakai kata-kata sandi segala..." Beberapa kali Helian Kong hampir berpapasan dengan orang, tetapi mereka dihindari dengan bersembunyi saja.
Baru, setelah yang lewat itu seorang prajurit Lwe-teng Wisu, Helian Kong menyergapnya, mengikat dan menyembunyikan tubuh orang itu di semak-semak, meluncuti pakaiannya untuk dikenakannya sendiri. Tidak lama kemudian muncullah ia dari semak-semak dengan seragam Lwe-teng Wisu. Suara keributan di kejauhan belum reda juga.
Kini Helian Kong melangkah tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Kalau berpapasan dengan kelompok-kelompok lainnya, malah ia bertanya jawab beberapa patah kata dengan mereka. Pura-pura menanyakan keadaan keamanan, tetapi juga mendapat gambaran lebih jelas keadaan tempat beradanya Tan Wanwan.
Akhirnya ia sampai ke tempat tujuan, bangsal bermodel rumah-rumah di Soh-ciu yang lengkap dengan kolam-kolamnya dan pemandangan alam buatannya yang juga buatan. Helian Kong tersentil juga, karena dia pun pernah hidup sekian tahun di wilayah Sohciu. Cepat-cepat ia mengibaskan kepala kuat-kuat untuk mengusir angan-angan itu, dan kembali memusatkan pikirannya pada keberhasilan tindakannya. la Melihat penjagaan di sekitar bangsal itu memang dilakukan pasukan Lwe-teng Wisu, tetapi tidak istimewa.
Pikir Helian Kong, "Rupanya maling-maling Pelangi Kuning ini menganggap remeh keributan di luar yang ditimbulkan oleh kawan-kawanku, buktinya di sini mereka tenang-tenang saja..." Dengan gaya yang wajar Helian kong melangkah di depan empat orang Lwe-teng Wisu sambil melambai.
Lwe-Teng-wisu yang berjaga Itu membalas melambai, membiarkan Helian Kong lewat dan meneruskan percakapan meneruskan obrolan mereka. Helian Kong melangkah terus sambil tertawa dingin, "Hem, prajurit-prajurit macam ini kok dijadikan prajurit-prajurit istana..."
Helian Kong lupa pengalamannya yang dulu, ketika ia menyelundup ke istana untuk menghadap Kaisar Cong-ceng, ternyata ia hanya memasuki perangkap karena yang dihadapinya hanyalah Kaisar Cong-ceng gadungan. Ia lupa itu. Kali ini Helian Kong bersikap agak meremehkan prajurit-prajurit istananya Kaisar Tiong-ong. Lupa bahwa orang-orang yang dipandangnya rendah itu dulu juga yang mengalahkan dan mengobrak-abrik pasukan-pasukan dinasti Beng termasuk pasukan-pasukan terpilihnya.
Setelah di dalam bangsal, penjagaan makin kendor, tidak satu pun prajurit yang terlihat di bagian dalam. Yang banyak adalah dayang-dayang. Helian Kong agak waswas juga, janganjangan di antara mereka ada yang sudah bekerja sejak jaman dinasti Beng dan mengenalinya? Tetapi untunglah, tak seorang pun yang mengenali Helian Kong.
Namun ada seorang dayang yang agaknya bertingkatan agak tinggi, mungkin yang diserahi tanggung-jawab mengepalai sekelompok dayang-dayang lain, bertanya kepada Helian Kong. “Bung prajurit, bagian dalam bangsal ini tidak termasuk tanggung-jawabmu. Kalian di luar..."
Helian Kong tersenyum dan menjawab, "Aku mengerti, tetapi aku membawa pesan pribadi dari Sri Baginda untuk... Nona Tan..." Helian Kong agak khawatir juga.
Ia dengar kalau Tan Wan-wan sudah memperoleh gelar kebangsawanan dari Kaisar Tiong-ong, tetapi Helian Kong tidak tahu siapa gelar kebangsawanan Tan Wan-wan. Ia cemas sebutannya terhadap Tan Wan-wan akan menimbulkan kecurigaan dayang itu kepadanya.
“Pesan pribadi dari siapa?"
Untung-untungan Helian Kong menjawab, "Dari Sri Baginda.”
“Baik, silakan."
Helian Kong pun masuk ke dalam bangsal. Sebetulnya seandainya Helian Kong tidak terlalu memandang remeh mutu prajurit-prajurit Pelangi Kuning, ia mestinya curiga bahwa begitu gampang ia bisa menemukan Tan Wan-wan. Tetapi saat itu pikirannya memang sedang dipenuhi pikiran-pikiran yang lain. Ia memikirkan San-hai-koan yang seperti telur di ujung tanduk.
Memikirkan pula apa yang akan dikatakannya kalau sudah berhadapan dengan Tan Wan-wan, sang bekas kekasih yang kini berdiri di pihak musuh. Begitu tiba di ruang dalam, dilihatnya punggung seorang perempuan membelakanginya. Perempuan itu bertubuh ramping, berpakaian indah, sedang duduk menghadap keluar jendela.
Jantung Helian Kong berdegup kencang, langkahnya tertegun. Berhadapan dengan ribuan musuh yang ujung-ujung senjatanya serapat daun ilalang, ia tidak gentar. Tetapi Tan Wan-wan memang pernah memiliki suatu ruangan khusus dalam jiwanya, dan bekasnya tetap sulit dihilangkan, biarpun Helian Kong sekarang sudah beristeri dan hampir tidak lama lagi jadi ayah.
Helian Kong juga ingat kebaikan Tan Wan-wan kepada isterinya, ayah mertuanya dan iparnya, yang dilindunginya dari keganasan laskar Pelangi Kuning ketika baru saja menduduki Pak-khia. Setelah meredakan degup jantungnya, Helian Kong berkata perlahan, "Wan-wan..."
Perempuan itu kelihatan bergetar pundaknya tetapi tidak menoleh, sehingga Helian Kong melangkah mendekatinya.
“Wanwan, kau tentu mengenali suaraku. Keluargaku berhutang budi kepadamu, aku datang untuk..."
Orang itu tiba-tiba membalikkan tubuh menghadap Helian Kong sambil mengibaskan saputangannya yang langsung menebarkan bubuk lembut ke wajah Helian Kong. Sekejap Helian Kong kaget melihat wajah itu bukan wajah Tan Wan-wan melainkan seorang lelaki yang ada kumisnya sedikit. Cuma perawakannya kurus seperti perempuan muda lalu dia didandani seperti perempuan, dan Helian Cong menyangkanya Tan Wan-wan.
Helian Kong memang tidak siap menghadapinya, tetapi ketangkasannya yang sudah mendarah-daging sebagai pendekar ulung cukup menolongnya. Ia sadar pengaruh bubuk lembut itu, dan ia mengibaskan dengan tangannya.
Orang berpakaian perempuan itu agaknya cukup tangkas, tidak percuma ia terpilih sebagai "umpan" untuk menjebak Helian Kong. Memang, karena laporan Ang Bik, pihak istana sudah menyiapkan perangkap itu. Begitu bubuk lembutnya tidak berhasil merobohkan Helian Kong, menyusul jotosannya dan tendangannya bergerak serempak.
Helian Kong mendengus, ia cuma menggeser kaki sambil memiringkan badan, tangannya menyambar tumit kaki lawannya yang menendang dan menyentak-kannya. Lawannya menggelosor jatuh ke lantai. Helian Kong hendak menerkam untuk membereskan lawannya, tapi dari balik tirai-tirai tiba-tiba berhamburanlah senjata rahasia yang beraneka ragam ke arah Helian Kong.
Helian Kong tangkas mencabut pedang Tiat-eng Po-kiam menyapu semua senjata rahasia itu. Dalam sekejap, tempat itu sudah penuh pengawal-pengawal pilihan dari berbagai kesatuan istana. Tetapi yang mengejutkan Helian Kong adalah seorang kakek bertubuh besar, gendut, rambutnya terurai panjang dan jidatnya lebar mengkilat.
Helian Kong mengenalnya sebagai Ko Ban-seng yang bergelar Kang-tau-siang (Gajah Berkepala Baja), guru dari Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang merupakan musuh-musuh bebuyutan Helian Kong. Helian Kong menyesali ketololannya sendiri. Dulu ia pernah juga terjebak dalam istana, terjebak komplotan Co Hua-sun. Sekarang ia mengulangi pengalamannya itu.
Dulu Helian Kong terjebak karena saudara seperguruannya sendiri, Ting Hoan-wi, berkhianat dengan melaporkan rencana penyusupannya kepada komplotan Co Hua-sun. Sekarang, yang memberi laporan ke istana juga Ting Hoan-wi, meskipun sudah ganti nama menjadi Ang Bik. Meskipun merasa sudah seperti ikan dalam penggorengan, Helian Kong tidak gentar, la tertawa dingin sambil memandang berkeliling ke arah lawan-lawannya.
“Sungguh kehormatan bagiku, kalian menyiapkan penyambutan sebaik ini. Hem."
Ko Ban-seng menggeram, "Kami pun kagum kepada nyalimu, Helian Kong. Kau berani sendirian menyelundup masuk kemari. Sekarang lebih baik letakkan pedangmu dan serahkan tanganmu untuk diborgol."
Darah Helian Kong menghangat. Tetapi sesuatu melintas di pikirannya. Ada dua pilihan terbentang di hadapannya dengan taruhan yang mahal. Taruhan pertama, ia akan menjawab tawaran Ko Ban-seng dengan gaya "lelaki sejati yang siap meneteskan darah terakhir", tetapi taruhannya Bu Sam-kui di San-hai-koan akan sangat kecewa karena tidak jadi bertemu dengan Tan Wan-wan.
Dan dalam kekecewaannya pastilah Bu Sam-kui akan menjadi makanan empuk dari bujuk rayu orang-orang Manchu untuk bersekutu. Dengan demikian pihak Manchu akan mendapat alasan untuk ikut-campur dalam urusan negeri Tiong-goan.
Pilihan kedua Helian Kong bisa mencari kesempatan untuk bicara baik-baik dengan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong dan menjelaskan situasinya. Biarpun pihaknya bermusuhan dengan pihak Li Cu-seng, ia berharap Li Cu-seng sebagai sesama bangsa Han bisa diajak mengerti betapa berbahayanya keadaan Sanhai-koan saat itu.
Suatu kesalahan langkah akan membuat San-hai-koan jatuh ke tangan orang Manchu, dan itu akan menjadi ancaman buat semua bangsa Han di Tiong-goan, di pihak sisa-sisa dinasti Beng maupun di pihak Pelangi Kuning. Beberapa saat Helian Kong terombangambing antara dua pilihan itu, dan akhirnya ia akan mengambil pilihan yang kedua, demi keselamatan seluruh negeri.
Karena itu sikap Helian Kong bukanlah sikap tempur, pedangnya memang tergenggam di tangan tetapi terkulai dengan ujung pedangnya menyentuh lantai. “Apakah kalian tahu apa tujuanku berada di sini?”
“Mengambil Tuan Puteri Kong-hui, betul tidak?”
“Tuan Puteri Kong-hui?”
“Ya. Yang dulu kau kenal sebagai Nona Tan Wan-wan."
Helian Kong menarik napas, baru sekarang tahu kalau Tan Wan-wan sudah bergelar Tuan Puteri Kong-hui. Ia mengangguk, "Ya, karena hanya dialah yang saat ini bisa menyelamatkan negara.”
“Apa yang kau maksud dengan negara?”
“Daratan luas yang kita namai Tiong-goan ini. Tidak peduli pemerintahan yang berkuasa di atasnya."
Ko Ban-seng termangu. “Kau berkata Tuan Puteri Kong-hui dapat menyelamatkan negeri, apa maksudmu?"
Helian Kong merasa usahanya untuk menarik perhatian orang-orang ini, maka ia pun memasuki langkah berikutnya. “Aku akan menemui raja kalian, kalau kalian setuju. Dan berbicara dengannya."
Orang-orang yang mengepungnya saling toleh, seolah bertukar pendapat tanpa kata. Sahut seorang perwira istana berwajah lancip tirus, "Orang ini bersiasat untuk bisa mendekati raja kita dan mencelakainya..."
Seorang yang lain mendukungnya, "Ya. Orang ini adalah pembandel yang masih memimpikan bangkit-kembalinya dinasti korup itu, lebih baik dibereskan sekarang saja."
Tetapi Ko Ban-seng berkata, "Kita patut mempertimbangkan kata-katanya, pertaruhannya adalah keselamatan seluruh negeri...”
“Kemungkinan dia membual untuk menyelamatkan diri. Siapa pun tahu kalau Helian Kong dulunya adalah pacar Tuan Puteri Kong-hui.”
“Kalau dia tidak membual, dan keselamatan negeri benar-benar dipertaruhkan?"
Semua bungkem. Tidak ada yang membantah kakek gendut berambut panjang itu. Ko Ban-seng tidak punya pangkat apa-apa di istana, namun Kaisar Tiong-ong sangat menghormatinya sebab ia dan kedua muridnya, berjasa bagi perjuangan kaum Pelangi Kuning bersama-sama Jenderal Li Giam. Tan Wan-wan lah yang menceritakan jasa-jasa mereka di hadapan Kaisar Tiong-ong.
Helian Kong berpikir, kalau dirinya tidak berani menempuh resiko berat, sulit menghadap Kaisar Tiong-ong dan membeberkan masalahnya. Karena itulah ia melempar pedangnya ke lantai, dan berkata, "Aku rela menghadap raja kalian tanpa senjata dan dengan tangan diikat, kalau kalian curiga aku akan mencelakakan dia."
Ko Ban-seng kembali menanggapi, kata-katanya ditujukan kepada perwira-perwira istana, "Orang ini musuh kita, tetapi aku sudah dengar bagaimana pribadinya, dan aku mempercayainya. Kadang-kadang ada musuh yang lebih dapat '"dipercayai dari teman yang menikam punggung dari belakang..."
Sebagai orang yang tidak punya kedudukan apa-apa, Ko Ban-seng memang sudah biasa bicara ceplas-ceplos, bahkan seandainya di depan Kaisar Tiong-ong sendiri. Sudah lama ia tidak senang kepada Jenderal Lau Cong-bin serta Jenderal Gu Kim-sing yang sering menyikut teman seperjuangan sendiri semacam Jenderal Li Giam, demi keuntungan sendiri. Dan sering perkataannya itu diwarnai ketidak-senangannya itu.
Para perwira banyak yang terpengaruh oleh kata-kata itu. Seorang perwira berjenggot pendek kelabu, menyahut, "Coba kita hadapkan kepada Baginda. Kalau dia mau main gila dihadapan Baginda, aku kira pastilah Guru Ko tidak akan tinggal diam." Dengan kata-kata yang seolah-olah memuji ini, si perwira menaruh tanggung-jawab keamanan kaisar ke pundak Ko Ban-seng.
Begitulah, akhirnya Helian Kong dibawa menghadap Kaisar Tiong-ong dengan dilucuti senjatanya. Saat itu sudah larut malam, sehingga Kaisar Tiong-ong tidak dapat dibangunkan. Terpaksa Helian Kong harus merelakan dirinya "menginap" semalam di tempat itu. Dia dikurung dan dijaga ketat, tapi diperlakukan cukup baik.
Helian Kong pun tidak membuat ulah yang akan mempersulit niatnya bertemu dengan Kaisar Tiong-ong. Ia mencoba bersikap tenang, beristirahat, dan menikmati makanan dan minuman yang disuguhkan tanpa curiga dan ternyata memang tidak beracun. Ia tekan kegelisahan hatinya.
Keesokan harinya, seorang thai-kam masuk ke ruangannya dengan membawa seperangkat jubah dan pakaian yang layak untuk menghadap raja. Sikap thai-kam itu pun ramah sekali, "Tuan Helian, Tuan dipersilakan mandi air hangat di ruang sebelah, sudah disediakan, setelah itu memakai pakaian ini, sarapan pagi dan menghadap Baginda. Guru Ko akan mendampingi Tuan."
Helian Kong tertawa dalam hati, "Tak pernah sekalipun aku bermimpi akan menjadi tamu-agungnya kepala gerombolan Pelangi Kuning seperti ini..."
Toh Helian Kong memberi kesempatan tubuhnya dimanjakan seperti bangsawan-bangsawan. Mandinya dengan berendam di tong besar air hangat, badannya digosok dan disabuni oleh dua orang dayang istana yang cantik dan Helian Kong tinggal merem-melek menikmati tangan-tangan lembut mereka.
Selesai mandi, ia dihanduki, dibantu mengenakan pakaian yang dibawa oleh thaikam tadi, lengkap dengan topi yang bagus. Dalam pakaian pinjaman itu, Helian Kong berdiri sejenak di depan cermin besar untuk melihat bagaimana tampangnya, lalu tertawa sendiri dan berkomentar sendiri, "Boleh juga tampangku. Mirip seorang pembesar sipil..."
Thai-kam yang mengantar pakaian tadi, tiba-tiba berkomentar, "Tuan Helian nampak berwibawa dengan pakaian itu. Tetapi Tuan lebih gagah kalau memakai pakaian pembesar militer seperti dulu..."
Helian Kong menoleh kepada hamba istana itu dengan heran, "Kau pernah melihatku memakai pakaian pembesar militer?”
“Pernah, Tuan, aku bekerja di istana ini sejak jaman Baginda Cong-ceng dulu..."
Helian Kong mengangguk-angguk, kemudian dengan gaya pembesar sungguhan ia berkata, "Sediakan sarapanku...”
“Baik, Tuan." Thai-kam itu menepukkan tangan dua kali, maka masuklah beberapa thai-kam lainnya dari tingkat yang lebih rendah, masing-masing membawa nampan-nampan dengan mangkukmangkuk makanan di atasnya. Dalam sekejap, ruangan itu penuh bau masakan sedap yang merangsang selera.
“He, sebanyak ini? Berapa orang yang akan makan?" tanya Helian Kong kaget.
Inilah satu-satunya gaya yang tidak mirip gaya para pembesar, melainkan mirip orang yang tidak pernah ketemu makanan enak. Thai-kam yang jadi pimpinan menyahut, "Tentu saja Tuan Helian sendiri yang akan makan.”
“Mana bisa aku menghabiskannya?" ketika berkata ini, Helian Kong ingat pesan ibunya agar kalau makan dihabiskan, sikap yang terbawa sampai sekarang.
“Tuan tidak perlu menghabiskannya. Tuan makan saja mana yang Tuan sukai, tidak perlu dihabiskan...”
“Sisanya?”
“Dibuang. Masa dimakan lagi?"
Helian Kong membayangkan bahwa perutnya hanya bisa memuat sepersepuluh dari yang disediakan itu, dan sembilan sepersepuluhnya akan dibuang. Sementara di luar istana banyak orang kelaparan yang menganggap kerak-nasi bulukan pun sebagai makanan lezat dari surga.
Tak tertahan Helian Kong tertawa sinis, "Hehe... ternyata kehidupan penguasa-penguasa baru yang dulu gembar-gembor mengaku memperjuangkan nasib rakyat itu sama saja dengan penguasa lama yang mereka tuduh korup dan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat."
Si pelayan sida-sida menundukkan kepala dan berkata perlahan, "Hampir semua seperti itu, Tuan Helian. Kemenangan dan kedudukan membuatnya terlena."
Helian Kong tidak berkata apa-apa lagi. Ia lalu menyantap hidangan yang disediakan. Tepat ketika ia menyelesaikan makannya, Ko Ban-seng tiba di tempat itu dan berkata dengan suaranya yang keras dan kasar,
"Aku akan menemanimu menghadap Baginda!”
Ternyata, meskipun hendak menghadap kaisar, pakaian yang dikenakan Ko Ban-seng tetap pakaian yang kemarin, jubah kain kapas kasar dan murahan, berwarna kelabu dekil, bahkan kusut, agaknya semalam dipakai untuk tidur dan paginya langsung dipakai menghadap kaisar.
"Aku siap sekarang."
Mereka berdua berjalan berdampingan, menuju ke ruangan Gi-si-pong (Ruang Baca Tulis). Di luar ruangan tempatnya menginap semalam, Helian Kong melihat penjaga-penjaga bertebaran, bahkan ada yang di atas atap. Dilihat dari gerak-geriknya, mereka pastilah pengawal-pengawal pilihan yang terdiri dari jagoan-jagoan yang punya kelas.Danmereka pastilah menjaga dirinya semalam.
Helian Kong tertawa dan berkata kepada Ko Ban-seng, berkelakar, "O, pantas. Semalam tidurku nyenyak sekali, bahkan seekor nyamuk pun tidak mengganggu aku, ternyata penjaga-penjagaku sebanyak ini..."
Ko Ban-seng tidak menjawab. Sambil berjalan, Helian Kong melihat keadaan istana itu tetap sama seperti dulu di jaman dinasti Beng. Belum ada bangunan-bangunan baru. Malah ada beberapa bangunan yang rusak atau terbakar dan kelihatan sedang diperbaiki oleh tukang-tukang.
Kaisar Tiong-ong belum sempat berbuat banyak untuk memperindah istana itu, sebab naik tahtanya saja baru satu bulan. Dan masih ada masalah-masalah besar yang menghadang, seperti bangsawan-bangsawan dan jenderal-jenderal dinasti Beng yang masih kokoh bercokol di belahan selatan dengan pasukannya masing-masing yang kuat.
Ancaman orang Manchu di timur-laut, masalah San-hai-koan, kota perbatasan yang kecil tetapi kalau salah penanganannya akan mengakibatkan dampak yang besar, dan sebagainya. Seperti lazimnya suatu dinasti yang baru "diwarisi" setumpuk masalah dari dinasti pendahulunya.
Hati Helian Kong bergetar ketika melewati sebuah bangsal yang dikenalnya sebagai kediaman Puteri Tiang-ping, puteri almarhum Kaisar Cong-ceng. Puteri Tiang-ping adalah sahabat baik Heiian Kong, baik dalam menghadapi komplotan dorna Co Hua-sun, membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning yang ternyata "dikomandani" Tan Wan-wan, dan dalam banyak persoalan lainnya.
Tak tertahan Heiian Kong bertanya, "Tuan Ko, aku dengar kabar di luaran, Tuan Puteri Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam masih ada di istana ini?”
“Ya.”
“Masih di bangsal itu?”
“Ya.”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Baik. Kami kaum Pelangi Kuning bukan gerombolan penjahat yang haus darah, yang mabuk kemenangan dan memperlakukan lawan-lawan yang kalah semau-maunya. Kami tidak seperti itu. Kami perlakukan Puteri Tiang-ping dan adiknya, Pangeran Cu Sam, dengan baik. Kami tetap hormati martabat kebangsawanan mereka. Bahkan kami merawat Puteri Tiang-ping sebaik-baiknya sehingga saat ini luka-lukanya hampir sembuh..."
Helian Kong terkesiap, "Luka-luka? Luka-luka karena apa? Apakah ketika kalian menyerbu dan menguasai istana ini?”
“Ya, saat itulah dia mendapat luka parahnya, tetapi bukan oleh tangan orang-orang kami.”
“Lalu oleh siapa?”
“Oleh Ayahandanya sendiri, almarhum Kaisar Cong-ceng. Ketika terjadi pertempuran memperebutkan istana ini, Kaisar Cong-ceng amat panik. Rupanya dia mengira kami ini sejenis gerombolan tak tahu aturan yang akan merayakan kemenangan dengan perampasan dan pemerkosaan besar-besaran, begitu yang dibayangkannya.
"Kaisar Cong-ceng mengkhawatirkan martabat isterinya, selir-selirnya dan puterinya kalau sampai mengalami hal itu. Maka sebelum dia sendiri membunuh diri di Bukit Bwe-san, dia kumpulkan anak isteri dan selir-selirnya di suatu ruangan, dan dengan pedang di tangannya sendiri ia babat mati isteri-isterinya Sendiri...”
“Ah!” Helian Kong terkesiap kaget.
Ko Ban-seng melanjutan, "...ketika giliran ia hendak membunuh Puteri Tiang-ping, ia terpeleset darah yang berceceran di lantai, sehingga bacokannya luput, hanya berhasil memotong buntung sebelah lengan sang puteri sebatas pundak. Kaisar Cong-ceng menyangkanya sudah mati dan meninggalkannya untuk menggantung diri di Bwe-san. Kami yang menemukan, dan merawatnya sampai sekarang ini, dia hampir sembuh..."
Kerongkongan Helian Kong tersumbat rasa haru, matanya panas dan berkaca-kaca. Suaranya jadi sedikit parau, "Jadi... jadi... Puteri Tiang-ping sekarang ini... buntung satu tangannya?”
“Ya."
Helian Kong tidak mampu berbicara lagi. Mulutnya seperti dijahit, pikirannya galau. Mereka pun tiba di Ruangan Gi-si-pong, yang di sekitarnya dikawal ketat olah Gi-Cian Siwi (Pasukan Pengawal Kaisar) yang seragamnya juga mirip pasukan pengawal kaisar di jaman dinasti Bang. Ko Ban-seng minta kepada salah seorang pengawal agar melaporkan kedatangannya.
Pengawal itu masuk, dan sesaat kemudian keluar kembali sambil berkata, "Baginda mempersilakan Guru dan Tuan Helian berdua untuk masuk ke dalam."
Ko Ban-seng berdua pun memasuki ruangan penuh buku itu. Kaisar Tiong ong tidak memakai jubah kebesarannya, melainkan jubah sehari-harinya, sedang duduk di belakang meja, di dalam ruangan itu ada delapan orang pengawal, dua diantaranya berada di kiri kanan kursi Kaisar.
Begitu melangkah masuk, Ko Ban-seng langsung berlutut sambil berkata, "Salam, Tuanku."
Sedangkan Helian Kong tidak mau berlutut, ia berdiri tegap menatap tajam ke arah si raja pemberontak itu. Itulah seorang lelaki berkulit kasar dan agak kehitam-hitaman, rahangnya persegi, tatapan matanya juga tajam, setajam tatatan Helian Kong. Dengan potongannya yang kasar itu, Helian Kong bisa membayangkan alangkah janggalnya kalau orang ini memakai jubah kaisar dan duduk di singgasana.
Tetapi dengan menatap matanya, Helian Kong harus mengakui dalam hati bahwa orang ini lebih punya semangat daripada Kaisar Cong-ceng yang berwatak lemah dan gampang dipengaruhi kawanan dorna.
Melihat Helian Kong tidak berlutut, pengawal-pengawal di ruangan itu membentak gusar, "Helian Kong, jangan kurang adat di hadapan Baginda! Berlutut!”
Ternyata Helian Kong cuma memberi hormat dengan menjura biasa, "Selamat pagi, Tuan Li. Terimakasih atas pelayananmu kepadaku semalam dan pagi ini..."
Keruan para pengawal menjadi gusar dan merasa gertakannya diremehkan. Dua orang pengawal menerjang dari kanan dan kiri, hendak menekan pundak Helian Kong ke bawah dan menjejak belakang lutut Helian Kong, untuk memaksanya berlutut. Tetapi Helian Kong berkelit selicin belut, kedua tangannya juga bergerak serempak. Penubruk yang dari sebelah kanannya ia dorong sekalian sehingga menubruk orang yang dari sebelah kiri. Kedua-duanya jatuh ke lantai.
Pengawal-pengawal lain berubah air mukanya dan siap bertindak, namun Kaisar Tiong-ong berseru sambil mengangkat tangannya, "Mundur!”
Pengawal-pengawalnya pun patuh, bahkan Kaisar Tiong-ong melanjutkan perintahnya, "Ambilkan kursi buat Tuan Helian. Dia mau mengakui aku sebagai raja atau tidak, kita tidak bisa memaksanya."
Seorang pengawal mengambilkan kursi, dan Helian Kong duduk tanpa sungkan dl hadapan Kaisar Tiong-goan, berselisih meja di depan tempat duduk Kaisar.
“Nah, Tuan Helian, apa tujuanmu menyelundup ke tempat ini?"
"Aku tidak sudi ditanyai seperti pesakitan!”
Kaisar Tiong-ong tertawa, "Tuan Helian, bersikap yang biasa sajalah, kenapa Tuan jadi bersikap demikian rendah diri?”
“Apa? Rendah diri? Aku rendah diri di hadapan gembong pemberontak sepertimu.”
“Ya. Sikapmu yang digarang-garangkan dan dibuat-buat itu seperti seekor kucing yang terpojok oleh musuhnya di pojokan lalu menegakkan semua bulu-bulunya dan meluruskan ekornya ke atas agar kelihatan lebih besar dari ukuran yang sebenarnya."
Wajah Helian Kong menjadi merah, namun dia mengakui dalam hatinya bahwa kata-kata Kaisar Tiong-ong itu benar. Helian Kong memang merasa tekanan wibawa Li Cu-seng amat besar, jauh lebih besar dari wibawa yang terpancar dari Kaisar Cong-ceng, junjungan Helian Kong dulu.
Sebelumnya Helian Kong amat meremehkan Li Cu-seng dan orang-orangnya, tetapi sikap memandang remehnya itu tidak cocok dengan kenyataan ketika melihat betapa tertibnya istana, bagaimana perlakukan Li Cu-seng kepada keluarga Kaisar Cong-ceng, apalagi setelah berhadapan sendiri dengan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong yang begitu berwibawa.
Memang Helian Kong harus mengakui dalam hati, bahwa sikap garangnya itu agak dibuat-buat untuk "mendongkrak" dirinya agar tidak "terinjak" oleh wibawa Kaisar Tiong-ong...