Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 12
Sikap Kaisar Tiong-ong tetap santai, dan mengulangi pertanyaannya tadi, "Nah, Tuan Helian, aku menanyai mu kembali sebagai seorang... seorang teman, kalau kau sudi berteman denganku si orang kampung ini. Pertanyaanku, apa tujuanmu menyelundup ke tempat ini?"
Sikap merendah Kaisar Tiong-ong itu malah membuat Helian Kong makin merasa kerdil. Akhirnya ia bersikap mengimbangi saja, "Tuan Li, aku memang bermaksud mengajak Tan Wanwan keluar dari sini."
Kaisar Tiong-ong menahan senyum, "Nona Tan memang pernah bercerita kepadaku tentang hubungan lama kalian. Tetapi bukankah kabarnya kau sudah beristeri dan bahkan isterimu hampir melahirkan anakmu?”
“Tidak, bukan itu masalahnya. Tan Wan-wan akan aku bawa ke San-hai-koan, untuk Jenderal Bu Sam-kui..."
Senyuman Kaisar Tiong-ong memudar dari wajahnya, suaranya jadi kedengaran lebih bersungguh-sungguh, "Pihak kami sangat menghormati Tan Wan-wan sebagai pahlawan yang sangat berjasa bagi perjuangan kami mencapai kemenangan, tetapi kau, Tuan Helian, yang mengaku sahabat sejak masa kanak-kanak, ternyata memperlakukan Nona Tan hanya seperti sepotong barang yang bisa dipindah tangankan ke sana ke mari saja.
"Memang aku pernah dengar cerita Nona Tan, ketika dia diberikan kepada Bu Sam-kui begitu saja tanpa ditanyai pendapatnya sendiri. Sekarang dengar, Nona Tan pernah bilang kepadaku bahwa ia tidak mencintai Bu Sam-kui sedikit pun! Dan aku tidak akan membiarkan dia menderita batin mendampingi orang tolol macam Bu Sam?kui!”
Suara Kaisar Tiong-ong yang makin meninggi dan bernada panas hati itu mengejutkan semua orang di ruangan itu. Bukan hanya Helian Kong, tetapi juga Ko Ban-seng dan pengawal-pengawal Li Cu-seng sendiri. Sebab kentara sekali kalau Kaisar Tiong-ong tidak hanya marah melainkan juga cemburu. Mendengar kata-kata Helian Kong itu, langsung menyerocoskan begitu banyak kata-kata.
Helian Kong mengeluh dalam hati, "Wah, gawat ini. Jangan-jangan si pemberontak ini pun jatuh cinta kepada Tan Wan-wan dan ingin memilikinya sendiri? Tidak kusangka, kecantikan Tan Wan-wan yang terangkat dari desa ke pusat pemerintahan, ternyata menimbulkan masalah yang tidak kecil. Ikut berperan dalam jatuh-bangunnya beberapa pemerintahan..."
Dalam suasana seperti itu, adalah suatu pertaruhan nyawa bahwa Helian Kong masih berani berkata, meskipun dengan sangat hati-hati, "Tuan Li, harap Tuan ingat bahwa dulu ketika Nona Tan dianugerahkan kepada Bu Sam-kui, sama sekali tidak ada paksaan. Nona Tan sudah ditanyai pendapatnya oleh Tuan Puteri Tiang-ping. Dan sekarang Tuan Puteri Tiang-ping masih hidup, bisa ditanyai apakah perkataanku ini benar atau tidak. Memang mungkin dasarnya Tan Wan-wan bersedia dijodohkan dengan Bu Sam-kui itu bukan cinta, hanya belas kasihan, tetapi di sini tidak ada paksaan...”
“Tidak! Bukan belas kasihan, tetapi Nona Tan saat itu bersedia mengorbankan diri mendampingi manusia tak berguna Bu Sam-kui demi keselamatan negeri. Ia menyanggupi itu, supaya si tolol Bu Sam-kui segera mau kembali ke posnya yang penting, di kota perbatasan San-hai-koan, yang sering ditinggalkan Bu Sam-kui untuk keluyuran di Pak-khia! Itulah motif Nona Tan mau dijodohkan dengan Bu Sam-kui. Alangkah luhurnya! Di antara kaum lelaki pun tidak banyak yang sanggup berkorban sebesar dia, berpandangan sejauh dia!”
Kecemasan Helian Kong makin tajam mendengar bagaimana Kaisar Tiong-ong mengucapkan pembelaannya tentang Tan Wanwan itu dengan luapan perasaan yang amat dalam, tidak sekedar dari otak. Makin nyata kalau pemboyongan Tan Wan-wan ke istana serta pemberian gelar menjadi Puteri Kong-hui itu lebih dari sekedar penghargaan biasa. Besar kemungkinannya Kaisar Tiong-ong sudah tertambat hatinya kepada Tan Wan-wan. Persoalan jadi ruwet.
“Tuan Li, kali ini pun demikian. Pemindahan Tan Wan-wan ke San-hai-koan bukan demi Bu Sam-kui pribadi, tetapi demi San-hai-koan itu sendiri. San-hai-koan sebagai pos perbatasan strategis antara negeri bangsa Han kita dengan negeri bangsa Manchu yang ingin mencaplok negeri kita..."
Sengaja Helian Kong tekankan kata-kata "negeri bangsa Han kita" dengan harapan hatinurani Li Cu-seng sebagai patriot bangsa Han akan terusik, dan mengutamakan kepentingan seluruh negeri di atas kepentingannya sendiri yang atas nama cinta sekalipun.
Wajah Kaisar Tiong-ong berubah beberapa kali, sebentar merah dan sebentar pucat, gelombang napasnya tersendat-sendat, kentara kalau sangat berat melepaskan Tan Wan-wan. Bahkan ia kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan hilir-mudik di ruangan itu.
Para pengawalnya jadi cemas, khawatir kalau selagi sang junjungan lewat dekat Helian Kong tiba-tiba disergap oleh Helian Kong dan dijadikan sandera untuk Helian Kong keluar dari situ. Tetapi para pengawal lega melihat Ko Ban-seng tetap berdiri bersiaga di dekat kursi yang diduduki Helian Kong, dan para pengawal tahu sampai di mana ketangguhan kakek gendut berambut panjang dan berjidat lebar yang sekeras baja itu.
Beberapa saat yang terdengar cuma desir langkah Kaisar Tiong-ong yang hilir-mudik, sampai terdengar suaranya yang mendadak parau, "Kenapa dengan si tolol Bu Sam-kui itu? Mabuk kepayang? Patah, hati? Hem, begitu tidak bergunanya jenderal-jenderal dinasti Beng, sehingga di saat-saat gawat pun masih sempat memikirkan seorang perempuan..."
Helian Kong agak panas mendengar sindiran yang ditujukan kepada "jenderal-jenderal dinasti Beng" yang tentunya termasuk dirinya sendiri juga. Maka jawabnya, "Cinta memang bisa membuat seorang lelaki kehilangan nalar, pikirannya jadi sempit dan melupakan persoalan-persoalan lain yang lebih luas. Tidak peduli lelaki itu jembel, seorang jenderal, atau bahkan seorang... raja!”
Kaisar Tiong-ong berubah sedikit wajahnya, merasa disindir. Tanyanya, "Kalau Tan Wan-wan tidak dikirim ke San-hai-koan, apa yang akan dilakukan Bu Sam-kui."
Helian Kong menjawab pelan-pelan, menekankan tiap patah kata, "Aku khawatir, dan aku percaya Tuan Li juga mengkhawatirkan ini, Bu Sam-kui akan menakluk kepada orang Manchu dan menyerahkan San-hai-koan kepada mereka..."
"Keparat!” Kaisar Tiong-ong menggebrak pegangan kursi. “Begitu tidak bergunanya dia, sehingga demi seorang wanita akan mempertaruhkan seluruh negeri?”
“Sekali lagi, Tuan Li, kita tidak bisa menyelami pikiran orang yang sedang mabuk cinta. Kalau sampai Bu Sam-kui menyerahkan San-hai-koan karena Tan Wan-wan, aku akan mencaci-maki dia. Tetapi aku juga akan mencaci-makimu, Tuan Li. Kau juga mempertaruhkan seluruh negeri demi Tan Wan-wan...”
“Diam, Helian Kong! Detik ini juga kau bisa kehilangan batok kepalamu!”
"Tentu saja" sahut Helian Kong kalem. “Tetapi sekalipun kau tumbuk kepalaku kau tumbuk halus dan kau sebarkan ke mana-mana, negeri ini tidak akan bisa diselamatkan kalau kau dan Bu Sam-kui sama tololnya!”
"Aku akan memerintahkan Jenderal Lau memperhebat serangan agar San-hai-koan bisa segera direbut dan tidak memberi kesempatan kepada orang Man-chu."
Helian Kong tertawa, "Jujur saja ya? Kalau aku disuruh memilih antara dua pilihan, apakah San-hai-koan direbut oleh pihakmu atau pihak Manchu, aku lebih senang kalau jatuh ke tanganmu. Meskipun yang paling aku sukai adalah kalau tetap dipertahankan oleh pihak kami, dinasti Beng. Sayangnya, jenderalmu Si Lau Cong-bin itu adalah jenderal kantong nasi. Gempuran-gempuran tololnya atas San-hai-koan cuma mampu membuat Bu Sam-kui panik dan main mata dengan pihak Manchu, tetapi tidak pernah dan tidak akan pernah bisa merebut San-hai-koan. la terlalu tolol. San-haikoan tidak bisa direbut hanya dengan mengandalkan jumlah besar dan ditembaki meriam!”
"Lalu dengan apa San-hai-koan harus direbut?" pancing Li Cu-seng.
“Jangan kau kira bisa memancing dari mulutku. Bu Sam-kui itu temanku, mana bisa aku memberitahu musuh untuk merugikan temanku sendiri?”
“Jadi apa maumu?"
"Membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan. Demi seluruh negeri bangsa Han!”
"Jangan-jangan kepentingan pribadimu sendiri tersangkut?”
“Terserah kau percaya kepadaku atau tidak.”
“Hem, Tan Wan-wan sudah cukup menderita selama ini, dan aku tidak akan menambah penderitaannya. Dia tidak boleh berkorban lebih banyak lagi!”
Helian Kong menarik napas, wajahnya sangat muram. Jalan buntu.
Sementara Kaisar Tiong-ong menjatuhkan perintah, "Guru Ko, tahan begundal dinasti lama yang korup ini!”
Ko Ban-seng segera turun tangan atas Helian Kong, dan Helian Kong yang tahu dirinya bukan tandingan kakek gendut ini, tidak melawan. Dalam urusan rumit itu, ia akan lebih mengandalkan otaknya.
“Mudah-mudahan Bu Sam-kui juga mau menggunakan sedikit otaknya..." doa Helian Kong di kamar tahanannya, dalam keadaan terborgol kaki dan tangannya.
Setelah Helian Kong berlalu daripadanya, ternyata pikiran Kaisar Tiong-ong tetap dipenuhi percakapannya dengan Helian Kong tadi. Helian Kongnya sudah pergi, tetapi kata-katanya seperti masih memenuhi ruangan Gi-si-pong itu, bahkan ruang Kaisar Tiong-ong.
Ia dihadapkan kepada dua pilihan, kehilangan San-hai-koan atau kehilangan Tan Wan-wan? Kalau bisa, ia tidak ingin kehilangan kedua-duanya. Karena pusing memikirkan itu sendiri, Kaisar memanggil beberapa panglimanya untuk diajak bertukar pikiran.
Tetapi kepada Tan Wan-wan sendiri, Kaisar justru menyembunyikan persoalannya, la benar-benar khawatir kalau sampai Tan Wan-wan mendengarnya, maka Tan Wan-wan akan mengorbankan dirinya lagi dengan pergi ke San-hai-koan, entah bagaimana caranya. Berarti Tan Wan-wan terbang lepas dari tangannya, itulah yang tidak dikehendaki Kaisar.
Dan setelah panglima-panglimanya berkumpul, Kaisar Tiong-ong membeberkan masalahnya, tetapi soal Tan Wan-wan sama sekali tidak dia sebut, la hanya minta pertimbangan panglima panglimanya bagaimana seandainya pihak Manchu lebih dulu merebut San-hai-koan karena diberi kesempatan oleh Bu Sam-kui. Kaisar Tiong-ong mengaku mulai memikirkan kemungkinan itu setelah "mendengar seseorang dari garis depan.”
“Nah, coba pikirkan oleh kalian.”
“Apakah Jenderal Lau belum juga berhasil merebut San-hai-koan?" celetuk seorang panglima bernama Te Seng-hian. “Dengan pasukan yang begitu besar dan peralatan perang yang begitu lengkap, menghadapi San-hai-koan yang kecil dan sedikit prajuritnya?”
“Apakah Jenderal Li Giam perlu dipanggil kembali dari wilayah barat untuk membereskan masalah San-hai-koan ini?"
Jenderal Gu Kim-sing yang juga hadir di pertemuan itu bersama beberapa pembantu dekatnya, menjadi tidak senang mendengar nama Li Giam disebut-sebut lagi sebagai orang yang bisa membereskan masalah itu. Li Giam yang telah disingkirkan dari Pak-khia, pusat pemerintahan, ditempatkan jauh di wilayah barat.
Gu Kim-sing pun mendengus, "Hem, memangnya hanya Li Giam yang bisa membereskan persoalan ini? Memangnya panglima-panglima di sini tidak ada yang mampu?"
Kaisar Tiong-ong cepat-cepat melerai, "Jangan bertengkar. Kalian aku undang untuk membicarakan masalah ini dan menemukan jalan keluarnya.”
“Maaf, Tuanku..." sahut Gu Kim-sing. “Hamba hanya risih telinga mendengar nama Li Giam terlalu disanjung, seolah-olah dia sendirilah penyebab kemenangan kita. Padahal...!”
"Sudah! Kau punya pemecahan masalahnya atau tidak! Kalau punya, katakan, kalau belum punya, diam dan pikirkan!”
Gu Kim-sing tersipu-sipu. “Baik, Tuanku..." Sesaat ruangan itu jadi sunyi, para panglima yang tidak didampingi penasehat harus berpikir sendiri, sedangkan yang membawa pembantu-pembantunya pun berunding dengan pembantu-pembantunya.
Gu Kim-sing lalu berbisik kepada Ang Bik, "Ang Bik, coba pikirkan, bagaimana pemecahan soal ini? Jangan sampai kalah cepat dari orang lain." Gu Kim-sing belum mengerti kalau Ang Bik sebenarnya sudah menjadi kaki tangan Manchu.
Ang Bik menjawab dengan mendekatkan mulutnya ke kuping Gu Kim-sing, "Jenderal, masalah ini sebenarnya masalah ringan. Coba pikir, di jaman dinasti Beng yang lemah dulu sanggupkah orang Manchu menerobos ke Tiong-goan biarpun sejengkal?”
“Tidak.”
“Sekarang, kita yang sudah mengalahkan dinasti Beng dan jauh lebih kuat dari dinasti Beng, masa harus takut kepada anjing-anjing Manchu itu? Tidak ada kemungkinannya sedikitpun orang-orang Manchu itu memasuki Tionggoan. Mereka tidak berani. Paling banter mereka membantu Bu Sam-kui mempertahankan San-hai-koan, demi keamanan wilayah mereka sendiri di timur laut..."
Sebagai seorang yang malas memakai otaknya sendiri, Gu Kim-sing langsung menyetujui omongan Ang Bik itu. Ia segera bangkit dari duduknya untuk berlutut di depan Kaisar Tiong-ong, "Tuanku, hamba ada sesuatu yang harus hamba katakan..."
Sementara itu, Ang Bik dan seorang perwira bawahan Gu Kim-sing lainnya yang bernama Ciong Ek-hi, bertukar pandangan dan senyuman tersembunyi. Ciong Ek-hi yang nama aslinya adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan rahasia Manchu. Orang-orang yang berbisik-bisik di ruangan itu segera berhenti bicara.
Kaisar Tiong-ong pun berkata, "Katakan!”
Gu Kim-sing dengan bangga mulai menjelaskan panjang lebar, penuh semangat, seolah-olah yang dikatakan itu adalah hasil pemikiran otaknya sendiri yang "cemerlang". Selesai bicara, ia pun menatap penuh harapan ke wajah Kaisar junjungannya, menantikan reaksinya yang mudah-mudahan berupa pujian.
“Jadi menurutmu, Jenderal Gu, kecil kemungkinannya orang Manchu menyerbu ke Tiong-goan, karena kita lebih kuat dari dinasti Beng, sedang di jaman dinasti Beng saja mereka tidak mampu melangkahi perbatasan, begitu?”
“Bukan cuma kecil kemungkinannya, Tuanku, tetapi bahkan hamba jamin tidak ada kemungkinannya sama sekali. Tetapi kalau mereka tolol dan salah menghitung kekuatan kita sehingga berani melangkahi perbatasan untuk menjajal kekuatan kita, ya rasakan saja. Kita akan hajar mereka sehingga pulang kembali ke Liau-tong dengan mencawat ekor!”
Omongan Gu Kim-sing memang dahsyat, kontan mendapat dukungan dari beberapa panglima yang juga malas berpikir seperti Gu Kim-sing. Tetapi Kaisar Tiong-ong masih mendengarkan pendapat orang lain, la menoleh kepada Ko Ban-seng, yang biarpun bukan panglima militer tetapi hadir juga di tempat itu, "Bagaimana pendapatmu, Guru Ko?"
Ko Ban-seng yang kalau bicara tidak pernah sungkan kepada siapa pun, mengeluarkan jawaban yang memerahkan muka Jenderal Gu dan pendukung-pendukung-nya, "Menurut hamba, Tuanku, pendapat Jenderal Gu itu terlalu menggampangkan persoalannya karena malas berpikir. Hamba yakin ada usaha pihak Manchu untuk menguasai negeri ini, dan cara apa saja akan mereka manfaatkan. Tidak mustahil mereka juga membujuk Bu Sam-kui agar takluk kepada mereka, sehingga San-hai-koan bisa diterobos oleh pasukan mereka yang besar!”
Gu Kim-sing kontan menjadi gusar, "Tuan Ko! Jangan buka mulut seenaknya!”
Tetapi Ko Ban-seng tidak melirik sekejap pun kepada Gu Kim-sing, hanya punggungnya yang tetap dihadapkan kepada Si Jenderal Pelangi Kuning yang sedang mencak-mencak itu. Ia tetap menghadap ke arah Kaisar dan melanjutkan kata-katanya yang ceplas-ceplos,
"Kalau hamba berbicara, hamba punya bukti kenyataannya, tidak hanya sekedar mendengar bisikan orang lain. Hamba menerima berita dari murid-murid hamba yang mendampingi Jenderal Li. Murid hamba melaporkan adanya usaha pembunuhan terhadap Jenderal Li Giam, menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran yang disebut Tujuh Pembunuh Gurun Utara dan Tiga Serigala Perbatasan.
"Tetapi ketika mereka gagal, muncul jugalah dalang yang sebenarnya dari usaha pembunuhan itu, yang tidak lain adalah Kat Hu-yong, si bangsat Manchu, penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, musuh bebuyutanku! Ini membuktikan bahwa pihak Manchu bersungguh-sungguh dalam ambisinya menguasai Tiong-goan.
"Penasehat Militer mereka sendiri keluyuran di Tiong-goan memimpin orang-orangnya. Semua pendapat yang tidak cocok dengan ini, adalah pendapat yang menina-bobokan dan membuat kita lengah!”
Jenderal Gu semakin merah wajahnya, makin diremehkan. Tetapi ia benar-benar jerih kalau harus berhadapan dengan Si Gajah Berkepala Besi yang berangasan dan suka mengamuk itu. Tak ada di antara pengawal-pengawalnya yang bisa menahan amukannya. Akhirnya Jenderal Gu bersikap diam.
Tetapi kesempitan jiwanya mengambil keputusan untuk menjegal usaha apa saja yang akan dilakukan Ko Ban-seng. Tentu saja menjegal secara diam-diam. Demi sakit hati pribadi dan tidak peduli apa pun pertaruhannya.
Bagi Kaisar Tiong-ong sendiri, penjelasan Jenderal Gu rasanya lebih membelai telinga. Namun dia pun punya otak, belum tentu yang membelai telinga itu yang lebih benar. Masalahnya buat Kaisar, kalau Ko Ban-seng yang benar, apakah dia harus melepaskan Tan Wan-wan sesuai dengan cara yang dikatakan Helian Kong?
Melepas Tan Wan-wan ke tangan Bu Sam-kui? Berat sekali rasa hati Kaisar Tiong21 ong, mengakui atau tidak, ia sudah mengalami apa yang dialami kaisar yang digulingkannya, Kaisar Cong-ceng, yaitu terjerat oleh kecantikan Tan Wan-wan.
Sementara Jenderal Gu kembali berani bersuara, meskipun sambil melirik takut-takut kepada Ko Ban-seng, "Tuanku, siapa yang membawa kabar tentang situasi gawat di Sanhai-koan itu?"
Kaisar Tiong-ong menjawab, "Helian Kong. Ia datang ke istana ini semalam."
Ang Bik yang berdiri di belakang kursi Jenderal Gu, rasanya jantungnya hampir berhenti berdetak mendengar nama saudara seperguruannya itu. Orang yang paling sering dikhianati, orang yang paling ditakuti. Kalau semula ia memberi usul-usul kepada Jenderal Gu hanya demi menjalankan "tugasnya" sebagai kaki-tangan Manchu untuk menina-bobokan Kaisar Tiong-ong terhadap gerakan diam-diam pihak Manchu, kini Ang Bik alias Ting Hoan-wi ini harus memutar otak untuk keselamatannya sendiri.
Karena itu, tiba-tiba saja ia maju berlutut di depan Kaisar Tiong-ong dan berkata, "Ampuni hamba, Tuanku, hamba hanya seorang perwira rendahan, berani lancang ikut berbicara di antara para Jenderal. Tetapi hamba tiba-tiba ingin mengatakan sesuatu..."
Berharap dapat menemukan jalan keluar yang tidak usah melepaskan Tan Wan-wan, Kaisar Tiong-ong mengijinkan, "Katakan. Setiap pendapat tentu berharga, tidak peduli dari siapapun juga."
Ang Bik berkata, "Tuanku, Helian Kong itu kita ketahui sebagai sahabat baik Bu Sam-kui, sama-sama panglima dinasti Beng. Bukan mustahil Helian Kong pura-pura menyampaikan situasi di San-hai-koan kepada kita, tujuan sebenarnya agar kita kendorkan tekanan ke San-hai-koan. Jadi dia lakukan ini hanya untuk menolong Bu Sam-kui, temannya itu. Menurut hamba, penggal saja kepala Helian Kong, lalu perhebat tekanan ke San-hai-koan. Habis perkara. Buat apa pusing-pusing memikir dan menganalisa suatu kebohongan, bahkan sempat berdebat segala?"
Ko Ban-seng menukas, "Taruh kata Helian Kong bohong demi menolong temannya sendiri di San-hai-koan, memangnya murid-muridku Yo Kian-hi dan Oh Kui-hou yang melaporkan tentang usaha orang Manchu itu juga bohong?"
Ang Bik agak gentar dipelototi Ko Ban-seng. “Tentu saja aku tidak berani menuduh murid-muridmu berbohong, Guru Ko. Bukankah siapa pun yang ada di sini berhak mengajukan usul untuk dipertimbangkan bersama? Helian Kong itu..."
Ko Ban-seng menukas tajam, "...Helian Kong itu musuh kita, tetapi ia lebih bisa dipercaya dari banyak orang di tempat ini yang mengaku sebagai kawan-kawan kita!”
Ang Bik menyeringai canggung, "Tuan Ko, begitu saja kok marah?”
“Ya, aku marah akan usaha-usaha yang hendak menina-bobokan Baginda dengan laporan-laporan yang tidak benar. Laporan-laporan tidak benar yang menganggap orang Manchu tidak berani kepada kita dan tidak mungkin menyerbu Tiong-goan. Sedangkan aku punya bukti lain lagi..."
Kaisar Tiong-ong cepat mengangkat tangannya sehingga Ko Ban-seng berhenti berbicara. Kaisar Tiong-ong yang menganggap dirinya "pembebas rakyat" itu tidak suka disebut "dinina-bobokan", seperti Kaisar Congceng yang digulingkannya. Katanya kepada Ko Ban-seng, "Guru Ko, jangan menganggap aku segampang itu menelan semua laporan dan mempercayainya. Memangnya aku sama dengan Si Cong-ceng raja tidak becus itu?”
“Maaf, Tuanku, hamba tidak bermaksud demikian. Hamba cuma berusaha mengingatkan para Jenderal ini, bukan Tuanku, bahwa ada yang patut kita waspadai, agar jangan kita lengah setelah kemenangan kita atas dinasti Beng. Tuanku, maaf kalau hamba harus mengatakannya sekarang.
"Sesungguhnya sejak usaha yang gagal untuk membunuh Jenderal Li Giam, murid hamba Yo Kian-hi yang sebelumnya bersama-sama Jenderal Li, telah kembali diam-diam ke Pak-khia dan menghubungi hamba..."
Jenderal Gu menyeletuk, "Wah, ini suatu pelanggaran disiplin militer, apa pun alasannya. Mana boleh seorang perwira seperti Yo Kian-hi meninggalkan pasukannya begitu saja. Ini kan..."
Kali ini Kaisar Tiong-ong yang menghentikan kata-kata Jenderal Gu dengan isyarat tangannya. Lalu perintahnya kepada Ko Ban-seng, "Teruskan, Guru Ko.”
“Murid hamba ingin memberitahu semua yang di Pak-khia ini tentang kegiatan bawah tanah orang Manchu. Dan laporan terakhir yang hamba peroleh dari murid hamba adalah, pusat kegiatan orang-orang Manchu di Ibukota Pakkhia ini adalah di sebuah warung bakmi di depan markas pasukannya Jenderal Gu. Warung yang sering dikunjungi perwira-perwira bawahannya Jenderal Gu ini.
"Murid hamba sudah lama mengamat-amati dan curiga bahwa warung bakmi itu begitu lama dijadikan ajang makan-minun gratis oleh orang-orangnya Jenderal Gu tetapi tidak bangkrut-bangkrut juga. Ini mencurigakan..."
Ang Bik dan Ciong Ek-hi yang nama aslinya adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan rahasia Manchu itu, terkejut. Ciong Ek-hi tiba-tiba menatap Ang Bik dengan curiga, mencurigai Ang Bik yang membocorkan rahasia tempat itu. Namun Ang Bik menggeleng dengan wajah yang agak pucat. Untung tidak ada yang memperhatikan sikap mereka, semua perhatian sedang dipusatkan ke omongan Ko Ban-seng.
Tatapan tajam Kaisar Tiong-ong dialihkan kepada Jenderal Gu, membuat Jenderal Gu jadi gugup seperti tikus di hadapan seekor kucing, dan buru-buru berlutut sambil berkata, "Ampun Tuanku, hamba... hamba selalu memberi peringatan kepada bawahan-bawahan hamba agar bersikap sopan terhadap siapa pun. Tidak mungkin mereka makan-minum di warung tanpa membayar seperti tuduhan Guru Ko ini, kelakuan orang-orang hamba pasti tidak sama dengan perwira-perwira dinasti Beng dulu..."
Ko Beng-seng mendengus, "Aku tidak sedang menuduh orang-orangmu, Jenderal Gu. Aku sedang menggambarkan keganjilan warung bakmi itu..."
Gu Kim-sing tetap berlutut. “Tuanku, hari ini juga akan kami tangkap seluruh penghuni warung itu, dan kami periksa mereka dengan keras..."
Ciong Ek-hi benar-benar mengkhawatirkan teman-temannya di warung itu. Namun kalau saat itu meninggalkan ruangan itu, tentu mencurigakan. Yang tidak kalah gelisahnya adalah Ang Bik. Ia benar-benar terancam dari dua pihak. Dari pihak Gu Kim-sing sendiri kalau sampai diketahui bahwa dia sudah menjadi kaki-tangan Manchu.
Dari pihak Manchu kalau mereka menyangka Ang Bik menjadi biang keladi kebocoran gerakan rahasia mereka. Orang-orang yang berkecimpung di kegiatan mata-mata biasanya rasa curiganya amat tebal, bahkan terhadap kawan sendiri juga, sulit mempercayai orang.
Kaisar menatap Ko Ban-seng, "Guru Ko, betulkah yang kau katakan itu?”
“Hamba jamin kebenarannya dengan leher hamba sendiri. Kegiatan orang-orang Manchu itu benar-benar ada, bukan sekedar angan-angan orang-orang kita yang terlalu cemas.”
“Kalau begitu, yang dikatakan oleh Helian Kong itu...”
“Helian Kong itu musuh, tetapi hamba rasa kata-katanya bisa dipercaya, Tuanku. Hamba percaya dia mencemaskan kejatuhan San-hai-koan ke tangan orang Manchu.”
“Kalau begitu, Puteri Kong-hui... harus kita... relakan diberikan kepada..." suara Kaisar Tiong-ong jadi tersendat-sendat gemetar dan tidak lancar.
Ko Ban-seng cepat-cepat melegakan hati Kaisar, "Tuanku, kita bisa mempercayai Helian Kong, tetapi jalan keluar dari masalah ini tidak harus menuruti usul Helian Kong. Puteri Kong-hui sudah cukup besar pengorbanannya di jaman perjuangan kita dulu, jangan ditambahi. Kita tidak akan menyerahkan dia ke tangan Bu Sam-kui...”
“Kau punya pendapat, Guru Ko?”
“Tuanku, ijinkan hamba ke San-hai-koan untuk membereskan Bu Sam-kui dan membuka pintu gerbang San-hai-koan dari sebelah dalam, agar pasukan Jenderal Lau bisa lebih dulu menduduki kota itu."
Itulah usul yang nekad, suatu pertaruhan nyawa, tetapi tidak ada orang di ruangan itu yang tidak kenal siapa pendekar tua bergelar Kang-tau-siang (Gajah Berkepala Baja) yang sanggup menyeruduk jebol suatu tembok tebal dengan jidatnya yang mengkilat.
Wajah Kaisar Tiong-ong pun mendapatkan cahayanya kembali, "Kau bisa, Guru Ko?”
“Doakan saja, Tuanku. Mudah-mudahan pemerintahan Tuanku tetap mendapat mandat Langit yang masih panjang. Dan ijinkanlah hamba berangkat sekarang juga.”
“Bagaimana dengan Helian Kong?”
“Bagaimanapun juga ia adalah musuh. Kurung dia terus. Kita takkan membiarkan seekor macan buas yang sudah dalam kurungan untuk berkeliaran kembali dan membahayakan kita.”
“Baiklah, Guru Ko. Selamat bertugas."
Seperti biasanya, sebagai orang yang tidak terikat kepada peraturan-peraturan di istana, Ko Ban-seng langsung berangkat. Kemudian Kaisar Tiong-ong pun membubarkan pertemuan. Keluar dari istana, Jenderal Gu bertekad untuk langsung menggerebek warung bakmi yang dikatakan Ko Ban-seng tadi.
Sementara Ciong Ek-hi memutar otak untuk menyelamatkan kawan-kawannya sesama prajurit-prajurit rahasia Man-chu di warung itu. Di tengah perjalanan, Gu Kim-sing berkata kepada Ang Bik,
"Ang Bik, berjalanlah duluan untuk menyiapkan tentara."
Ang Bik hendak beranjak, tetapi Ciong Ek-hi cepat-cepat mencegahnya, "Kakak Ang tidak perlu repot-repot. Biar aku saja..."
Dulunya Ang Bik lah yang memanggil Ciong Ek-hi dengan sebutan "Kakak Ciong" sebab waktu itu Ciong Ek-hi adalah kepala-stafnya Jenderal Gu. Tapi sekarang Ang Bik lah yang menduduki posisi itu, sehingga Ciong Ek-hi yang memanggilnya "Kakak Ang".
Permintaan Ciong Ek-hi untuk pergi menggantikan Ang Bik itu tidak menimbulkan kecurigaan Gu Kim-sing maupun pengiringnya yang lain, sebab saling menjilat untuk mencari muka kepada perwira yang lebih senior itu sudah menjadi kebiasaan di kalangan mereka.
Tetapi Ang Bik tahu bahwa Ciong Ek-hi ingin menyelamatkan teman-temannya di warung bakmi itu, maka Ang Bik tidak berani melarangnya, khawatir kalau sampai diragukan "kesetiaannya" oleh pihak Manchu. Jawabnya kepada Ciong Ek-hi, "Silakan jalan dulu, Saudara Ciong. Siapkan orang-orang kita..." Perkataan "orang-orang kita" itu pun bermakna ganda.
Di kuping Jenderal Gu dan pengiring-pengiring yang lain, yang dimaksud "orang-orang kita" tentunya adalah prajurit-prajurit di tangsi yang akan disiapkan untuk menggerebek warung bakmi itu, sedang di3kuping Ciong Ek-hi "orang-orang kita" tentunya adalah orang-orang Manchu teman-temannya. Begitulah licinnya Ang Bik dalam "bermain" di antara dua kekuatan itu.
Ciong Ek-hi memacu kudanya mendahului rombongan Jenderal Gu. Namun ia tidak langsung ke tangsi, melainkan memutar jalan lewat di belakang warung itu, mengetuk pintu belakangnya dengan isyarat. Pintu dibuka, Ciong Ek-hi tanpa turun dari kudanya, berbicara kepada pegawai warung gadungan yang membuka pintu itu,
"Menyingkir secepatnya. Orang-orang Pelangi Kuning sudah mengetahui tempat ini dan akan segera menggerebeknya." Lalu ia putar menuju ke tangsi.
Di tangsi itu ia menyiapkan pasukan sesuai perintah Jenderal Gu. Tetapi ia sengaja berlama-lama, mengulur-ulur waktu. Satu kali ia berkata barisannya kurang tertib, lain kali ia katakan kurang ini atau kurang itu sehingga pasukan itu tidak segera keluar dari tangsinya. Dan setelah semuanya beres, pasukan itu tidak juga keluar dari tangsi, karena Ciong Ek-hi berdalih,
"Kita menunggu kedatangan Jenderal Gu..Beliau akan memimpin sendiri penggerebekan ini sehingga mendapat muka terang di hadapan Sri Baginda!”
Komandan pasukan itu pangkatnya di bawah Ciong Ek-hi, sudah tentu tidak berani membantah. Kemudian Jenderal Gu tiba, langsung menggerebek warung. Warung yang sudah kosong! Ang Bik dan Ciong Ek-hi saling tukar pandangan dengan lega. Tetapi mereka pura-pura ikut banting-banting kaki karena kecewa.
Seorang kakek tua mengamat-amati penggerebekan warung itu dari kejauhan. Tadinya dia sedang berada di warung itu, seperti biasa mendengarkan para perwira membual. Tetapi tiba-tiba satu demi satu pegawai-pegawai di warung itu menghilang3tanpa kentara, bahkan juga si pemilik warung yang biasanya ramah.
Hal itu baru disadari ketika beberapa perwira berteriak-teriak dan menggebrakgebrak meja minta tambahan bakmi dan arak tetapi tidak ada yang meladeninya. Si Kakek yang biasanya duduk di pojokan dan selalu memesan mi kuah yang paling murah, kini merasakan gelagat jelek, lalu dia pun keluar dari warung itu.
Benar juga, tidak lama warung itu digerebek oleh Jenderal Gu Kim-sing sendiri. Gu Kim-sing hanya menemukan perwiraperwiranya sendiri di warung itu, ada yang dalam keadaan setengah teler karena arak. Dan ketika mereka ditanyai kemana perginya si pemilik warung serta pegawai-pegawainya, mereka menjawab tidak tahu, sehingga perwira-perwira itu digampari mukanya oleh Gu Kim-sing, sampai tangan Gu Kim-sing sendiri kesakitan.
“Bakar tempat ini!” itulah puncak kemarahan Gu Kim-sing. Tidak peduli warung itu letaknya rapat dengan rumah penduduk lainnya, para bawahan pun menjalankan perintahnya.
Si Kakek melihat dari kejauhan api yang menjilat langit. Si Kakek geleng-geleng kepala, mengeluh dalam hati, "Kalau begini terus, mana bisa rakyat disuruh percaya bahwa pemerintahan Pelangi Kuning lebih baik dari pemerintahan dinasti Beng? Tingkah laku prajurit-prajurit dan pejabat-pejabatnya sama saja dengan tingkah laku prajurit-prajurit dan pembesar-pembesar dinasti Beng..."
Kakek itu mencopot capingnya, mengibas-ngibas tepung yang mengotori rambutnya sehingga rambut itu seolah-olah ubanan, sehingga rambut itu terlihat jadi hitam kembali, la copot alis putihnya yang tempelan dan juga kumis dan jenggotnya, copot pula jubah dekilnya sehingga kelihatan pakaian ringkasnya yang membungkus tubuhnya yang tegap.
Ternyata ia memang bukan kakek-kakek, melainkan seorang pemuda yang tegap, yang bukan lain adalah Yo Kian-hi, perwira bawaha Li Giam yang menyelundup kembali ke Pak-khia untuk membongkar komplotan mata-mata Manchu.
Ternyata sebelum komplotan mata-mata itu tuntas tercabut, ia baru pada tahap mengamat-amati warung bakmi yang dicurigai itu, Jenderal Gu sudah main sapu bersih sehingga sulitlah sekarang mencari kembali jejak kawanan mata-mata itu. Apa boleh buat.
Yo Kian-hi kembali ke rumah yang disewanya murah, yang selama ini digunakannya selama ia berada di Pak-khia. Tetapi begitu masuk ke ruangan itu, dilihatnya gurunya, Ko Ban-seng, sudah duduk dalam ruangan itu. Cepat Yo Kian-hi memberi hormat. “Guru...”
“Aku dari istana, darimana saja kamu?”
“Mengamat-amati warung itu, dan berusaha tahu lebih banyak. Sayang, si tolol Gu Kim-sing mengacaukan segalanya. Jadi belum banyak yang aku ketahui."
Ko Ban-seng menarik napas. “Barangkali itu karena salahku...”
“Kenapa, Guru?"
"Aku dari istana, dan kami membicarakan..." lalu Ko Ban-seng memberitakan pembicaraan di istana.
Maka Yo Kian-hi pun tahulah bahwa operasi Gu Kim-sing tadi bukan hasil ketajaman petugas-petugas rahasia Gu Kim-sing sendiri, melainan karena Gu Kim-sing mendengarnya di istana dari mulut gurunya. Tentu saja Yo Kian-hi tidak berani menyalahkan gurunya, cuma menggerutu dalam hati.
“Waktu itu hatiku panas, karena si goblok Gu Kim-sing itu berusaha menina-bobokan Baginda tentang kegiatan orang Manchu. Aku beberkan semua yang aku dengar darimu. Tentang usaha pembunuhan terhadap Jenderal Li Giam dan tentang warung ini..."
Yo Kian-hi tidak menjawab. Kemudian Ko Ban-seng juga bercerita bahwa ia akan ke San-hai-koan untuk menyelamatkan kota perbatasan yang strategis itu, jangan sampai "digadaikan" Bu Sam-kui ke tangan orang Manchu hanya gara-gara Bu Sam-kui gusar karena calon isterinya diboyong ke istana Kaisar Tiong-ong. Bicara soal San-hai-koan, mau tidak mau Ko Ban-seng menyinggung juga nama Helian Kong.
“Itu sebabnya Helian Kong ingin memanggil Tan Wan-wan ke San-hai-koan, untuk dijadikan tumbal menenteramkan Bu Sam-kui...”
“Helian Kong?”
“Ya.”
“Guru, bukankah pernah kukatakan bahwa Jenderal Li Giam berhutang budi kepada Helian Kong? Ketika hampir terbunuh oleh Kat Hu-yong si Penasehat Militer Manchu, Helian Kong datang menolong.”
“Ya. Kau pernah bilang itu kepadaku. Aku pun perlakukan Helian Kong dengan baik. Tetapi aku bukan penguasa istana, aku tidak bisa menentukan nasib Helian Kong semauku. Lagi, jangan lupa, Helian Kong itu bagaimanapun baiknya, adalah musuh.”
“Lalu, apa yang akan Guru lakukan?”
“Segera berangkat ke San-hai-koan...?”
“Kalau Guru perkenankan, aku ingin tetap di Pak-khia ini untuk mencoba membongkar jaringan kegiatan orang-orang Manchu..."
"Baiklah, tetapi hati-hatilah. Orang-orang Manchu itu ternyata bergerak dengan sigap. Contohnya, penyergapan terhadap warung bakmi gadungan itu dilakukan langsung begitu Gu Kim-sing pulang dari istana, tidak ada tenggang waktu, toh penghuni-penghuni warung bakmi itu sempat kabur semua. Mungkin mata dan kuping mereka tersebar di mana-mana, itulah sebabnya kau harus berhati-hati...”
“Baik, Guru."
Ko Ban-seng pun melangkah pergi. Bagi orang seperti dia, perjalanan jauh ke San-hai-koan pun dianggapnya sama dengan pergi-pulang ke warung di depan rumah, maka begitu ia ingin pergi, pergilah ia.
Yo Kian-hi kembali keluyuran di Tak khia. Kembali ia menyamar sebagai kakek-kakek tua. Sementara Ko Ban-seng melangkah cepat ke arah timur-laut. Biarpun tubuhnya gemuk dan usianya sudah lanjut, ternyata langkahnya lebih cepat dan lebih tegap dari kebanyakan lelaki muda.
Ko Ban-seng juga tidak mau naik kuda atau kendaraan lain, sebab ia anggap berjalan jauh seperti itu akan menjaga kesegaran jasmaninya dan juga jiwanya. Rambutnya yang panjang berkibaran terurai di belakang kepalanya, ubanan. Ia melangkah terus melewati tanjakan-tanjakan dan lembah-lembah dan desa-desa, tidak mempedulikan matahari sudah mulai tenggelam.
Kebetulan ketika hari mulai gelap, ia sudah meninggalkan jauh di belakang sebuah desa, tetapi Ko Ben-seng tidak menyesal ia tidak berhenti di desa itu untuk mencari penginapan melainkan terus berjalan. Di desa itu ia hanya membeli beberapa buah bakpao dan sebuli-buli arak.
Dan kini sambil berjalan di bawah bayangan pepohonan yang memanjang di senja hari, ia makan bakpaonya sambil berjalan. Ia benar-benar mengkhawatirkan San-hai-koan, sehingga berjalan siang malam. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Di sebuah tempat yang sepi penuh pohon belukar, sesosok tubuh kurus berdiri menghadang di depannya.
Ko Ban-seng membanting sepotong bakpao di tangannya, meneguk araknya dengan santai, mempertajam pandangannya dan mengenali orang yang menghadangnya itu. Seorang kakek yang sebaya dengan dirinya sendiri, bedanya kakek itu bertubuh kurus seperti tiang jemuran. Tetapi Ko Ban-seng tidak berani meremehkannya, sebab ia mengenali si penghadang itu adalah Kat Hu-yong, Penasehat Militer Pangeran Toh Sek-kun.
“Kau!” geram Ko Ban-seng. “Buat apa kau hadang aku?”
“He-he-he, kita sudah sama-sama tua dan biarlah aku tidak akan membohongimu. Kau buru-buru ingin ke San-hai-koan untuk membunuh Bu Sam-kui dan mempermudah Lau Cong-bin menguasai kota bukan?"
Ko Ban-seng kaget dalam hatinya, ia cuma menggeram. Sementara Kat Hu-yong melanjutkan, "Dan karena aku mengetahuinya, tentu saja aku mencegahmu. Aku tidak suka sebenarnya berkelahi denganmu. Kau hebat, membuat aku kesakitan. Tapi apa boleh buat. Demi tugas.”
“Darimana kau tahu?”
“Dari orangku yang ikut berada di istana ketika pembicaraan kalian pagi tadi dengan Kaisar goblok itu."
Hati Ko Ban-seng bergetar. Tepat dugaannya bahwa "mata dan kuping" orang-orang Manchu sudah tersebar di mana-mana, bahkan di istana, bukan mustahil juga orang-orang di sekitar Kaisar Tiong-ong sendiri. Namun Ko Ban-seng menenangkan hatinya dan ingin balas menggertak, ia mengangguk-angguk dan suaranya dibuat setenang mungkin, "Sudah kami perhitungkan itu. Tetapi jangan kau pikir kami buta. Kami tahu."
Tak terduga gertakan itu ternyata tidak mempan. Kat Hu-yong menjawab sambil tertawa-tawa, "Ya, aku tahu kalian tidak buta, tetapi kalau tiga perempat buta, ya. Yang agak melek sebenarnya hanyalah orang-orangnya Li Giam, sedangkan orang-orangnya Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin meleknya hanya kalau melihat uang dan makanan gratis. Aku tahu, aku tahu. Muridmu Si Yo Kian-hi itu sudah lama mengamat-amati warung bakmi kami dengan menyamar sebagai Kakek-kakek, dan kami tahu dia juga punya rumah sewaan kecil di belakang toko barang-barang kulit. Jangan cemas, orang-orangku sudah mengurus muridmu itu baik-baik..."
Kali ini Ko Ban-seng tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Dia jadi amat mencemaskan nasib muridnya. Dan sebagai seorang guru yang mencintai murid-muridnya seperti ayah mencintai anak-anaknya, kecemasannya cepat berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap. “Bedebah!”
Ko Ban-seng meraung, tubuhnya yang gemuk itu meluncur pesat ke depan dengan sepasang jotosannya bergerak serempak, mengincar muka dan perut Kat Huyong sekaligus. Terjangannya mirip seekor gajah mengamuk dengan sepasang gadingnya yang mengancam. Kekuatannya hebat sehingga banyak daun pohon di sekitar arena terguncang rontok.
Kat Hu-yong sengaja memancing kemarahan lawannya, sebab dalam kemarahan tentu lawannya akan kehilangan sebagian kecermatannya. Kat Hu-yong tahu bahwa ia seimbang dengan lawannya itu, tetapi sekarang dengan berkurangnya kecermatan di pihak lawan, jadi tidak seimbang lagi. Kat Hu-yong melejit ke samping, merapat sebatang pohon besar.
Namun Ko Ban-seng ikut menyeruduk ke samping sambil memiringkan kepalanya. Dan keluarlah gaya serangan yang membuat ia mendapatkan julukan Kang-tausiang (Gajah Berjidat Baja), yaitu serudukannya. Tubuh Kat Hu-yong yang merapat di pohon itu hendak diseruduknya, kalau bisa sampai kulit Kat Hu-yong menjadi satu dengan kulit pohon.
Sudah tentu Kat Hu-yong emoh di begitukan. Tubuhnya melejit ringan bagai capung, melewati atas kepala Ko Ban seng. Terdengar suara gemuruh dahsyat ketika batang pohon sebesar tubuh manusia itu terseruduk ambruk oleh kepala Ko Ban-seng, tercabut ambruk ke akarnya.
“Hebat!” Kat Hu-yong memuji dari jarak beberapa langkah. “Tetapi sekarang rasakan balasanku!”
Dua kali Kat Hu-yong menebaskan sepasang telapak tangannya bergantian seperti membacok ke arah Ko Ban-seng, namun dari jarak beberapa langkah. Di udara terdengar suara mencicit-cicit seperti suara tikus. Ko Ban-seng juga sudah mengenali jenis ilmu lawannya, seperti lawannya juga sudah mengenalinya. Ilmu Kat Hu-yong disebut Buheng To-hoat (Ilmu Golok Tanpa Wujud).
Ko Ban-seng tidak mau tubuhnya terpotong oleh "golok udara" yang tidak kelihatan itu, namun dengan ketajaman kupingnya dia bisa memperkirakan arah serangan lawan. Ia berlompatan menghindar, lalu menyeruduk kembali dengan cepat. Begitulah kedua jago tua itu pun bertarung hebat.
Matahari tenggelam dan langit pun sudah dipenuhi bintang, tetapi kegelapan tidak4menghalang-halangi kedua jago tua itu mengadu keperkasaan, sebab mata mereka lebih tajam berpuluh kali lipat dari mata kucing. Maka meskipun di gelanggang itu tidak kelihatan apa-apa karena gelap, suara yang terdengar sungguh menegakkan bulu roma.
Deru angin seolah-olah ada badai yang lewat, mengguncang pepohonan, suara mencicit-cicit aneh di udara seolah ada ribuan tikus di situ. Sebentar-sebentar terdengar gemerasak dari pohon yang tumbang, baik oleh hantaman dan serudukan Ko Ban-seng maupun oleh "golok angin" Kat Hu-yong.
Kedua pihak memeras keringat entah sampai berapa ratus gebrakan, bentakan-bentakan dan dengus napas terdengar makin berat. Sampai dari arah barat, dari arah kota Pakkhia, terlihat beberapa buah obor yang bergerak mendekat dengan cepat. Dan derap kuda. Tiga orang penunggang kuda mendekat, mereka masing-masing membawa obor untuk menerangi jalan.
Mereka adalah Goh Lung dan dua orang "pegawai warung bakminya" yang baru siang tadi lolos setelah warung mereka digerebek Gu Kim-sing.
“Ke mana kira-kira perginya Kun-su (Penasehat Militer)?" Goh Lung menghentikan kudanya dan celingukan. Obornya diangkat.
Ketika itulah dari depan terdengar suara bentakan dua jago tua yang bertempur dalam kegelapan itu, serta suara gemuruhnya pepohonan yang tumbang.
“Di sana!” Goh Lung menunjuk ke arah pertempuran. “Kita dekati, tapi hati-hatilah, kedua orang, tua itu pasti bertarung dengan luar biasa sekali. Turun dari kuda dan matikan obor."
Ketiga orang itu turun dari kudanya masingmasing, menambatkan kuda mereka di pepohonan dan mematikan obor mereka. Lalu melangkah hati-hati mendekati medan pertarungan dalam kegelapan itu.
“Tidak kelihatan apa-apa..." desis salah seorang pengiring Goh Lung, dan tiba-tiba dari arah arena ada sepotong dahan pohon yang melayang dan menyambar jidatnya sehingga ia mengaduh.
Kedatangan tiga orang itu ke dekat arena diketahui dua orang jago tua yang bertempur. Sambil bertempur, Kat Hu-yong berteriak, "Goh Lung kah itu?"
Goh Lung menjawab dengan bahasa Manchu, "Betul, Kun-su.”
“Tunggulah sebentar, gajah tua ini liar sekali, agak sulit menjinakkannya."
Tiba-tiba timbul akal Goh Lung untuk membantu Kat Hu-yong agar cepat mengalahkan lawannya. Membantu dengan ikut-ikutan berkelahi tentu mustahil, Goh Lung tahu diri kalau dua jago tua itu tingkatannya jauh diatas dirinya, salah-salah malah bisa merepotkan Kat Hu-yong dan bukannya meringankan bebannya.
Tetapi membantu dengan kata-kata yang menggoyahkan semangat Ko Ban-seng, tentu saja bisa dilakukannya dari luar arena. Maka Goh Lung menukar bahasanya ke dalam bahasa Han agar Ko Ban-seng bisa ikut mengetahui. Katanya, "Semua tugas yang Kunsu berikan kepada kami, sudah beres. Si gajah kecil Yo Kian-hi itu sekarang sudah ada dalam kurungan kita.”
“Bagus, bagus. Apakah kalian juga sudah siapkan kurungan besar untuk gajah yang besar ini?" sahut Kat Hu-yong dalam bahasa Han juga.
Keruan perasaan Ko Ban-seng jadi campur aduk tak keruan mendengar dialog itu. Gerak tempurnya jadi semakin kurang perhitungan, didorong hanya oleh emosinya yang meluap. Sebelum Goh Lung bertiga datang, Ko Banseng sudah mendapat dua luka, di pundak dan di pinggang, kedua-duanya oleh "golok tak berwujud" Kat Hu-yong yang mendapat peluang karena ketidak cermatan Ko Ban-seng sendiri.
Kini mendengar percakapan Kat Hu-yong dan Goh Lung, amarahnya meluap-luap dan gerak tempurnya pun makin kedodoran. Ia mendapat dua luka lagi. Darah yang terus menitik dari luka-lukanya membuat ia makin lemah. Suatu kali, serangannya yang membabi buta luput.
Kat Hu-yong melejit di atas tubuhnya sambil mengayunkan sepasang telapak tangannya berbareng, sejajar, membuat dua buah garis yang dalam di punggung Ko Banseng. Bukan sekedar luka-luka di kulit, melainkan sampai di daging dan bahkan memutuskan beberapa buah tulang. Ko Ban-seng meraung dahsyat, raungan terakhir dalam hidupnya sebelum ia rebah tertelungkup dan nyawanya terbang.
Kat Hu-yong termangu-mangu berdiri di samping tubuh itu. Terengah-engah. Ia telah keluar sebagai pemenang dalam pertempuran dahsyat itu, namun tenaganya pun hampir terkuras habis. Bahkan pinggulnya agak nyeri juga, tadi ada tendangan Ko Ban-seng yang menyerempetnya.
Di sela engah napasnya, Kat Hu-yong berkata kepada Goh Lung, "Kemarilah. Bantu aku berjalan!”
Goh Lung terkejut, "Kun-su terluka?"
"Hanya kehabisan tenaga. Mendekatlah. Tidak apa-apa, gajah tua ini sudah terbunuh."
Goh Lung dan kedua kawannya kembali menyalakan obor-obor mereka lebih dulu, barulah mendekati ke arena pertempuran itu. Melihat bekas-bekas pertempuran itu, Goh Lung bertiga pun bergidik ngeri, membayangkan alangkah dahsyatnya duel tadi.
Tempat itu, seluas belasan tombak, seperti tempat yang baru saja dilanda prahara, lalu diinjak-injak seratus gajah yang mengamuk, sebab hancurlebur tak keruan. Pohon-pohon besar bertumbangan, batangnya patah remuk atau pun seperti terpotong senjata yang amat tajam dan Goh Lung yakin bahwa "senjata tajam" itu tak lain adalah Golok Tanpa Wujudnya Kat Huyong.
Di tengah-tengah gelanggang hancur lebur itu, nampak Kat Hu-yong duduk terengah-engah di atas sebatang pohon yang roboh. Mukanya pucat, ada beberapa titik darah di sudut bibirnya. Telapak tangannya menekan dadanya. Tetapi lawannya terkapar telungkup beberapa langkah daripadanya, dengan sepasang luka dalam sejajar sepanjang punggungnya.
Goh Lung cepat-cepat melangkah mendekat dengan melompat-lompati pepohonan yang rebah, serunya, "Kun-su!”
Kat Hu-yong menyeringai, mencoba tersenyum tetapi kemudian berubah menjadi seringai kesakitan. Katanya terengah-engah, "Ko Ban-seng ini hebat juga. Seandainya pikirannya tidak terganggu memikirkan nasib muridnya, bisa-bisa yang kalian temui di sini bukan satu mayat, tetapi dua mayat. Kami seimbang benar.”
“Luka Kun-su bagaimana?”
“Aku butuh istirahat paling tidak sepuluh hari. Sekarang, gendong aku pergi dari sini..."
Goh Lung menyerahkan obor yang dipegangnya kepada seorang anak buahnya, kemudian ia menyediakan punggungnya sendiri untuk menggendong Kat Hu-yong. Untung Kat Hu-yong itu bertubuh kurus, jadi ringan, tidak jadi soal buat Goh Lung yang bertubuh kuat. Dibawanya ke kuda, lalu dengan berboncengan dengan Goh Lung meninggalkan tempat itu.
Tetapi Kat Hu-yong tiba-tiba berkata, "Tunggu!”
"Ada apa, Kun-su?”
“Biar bagaimanapun, aku menghormati orang tua gendut itu sebagai sesama pendekar. Aku. tidak rela mayatnya dicabik-cabik binatang liar..."
Goh Lung langsung bisa menerka kelanjutan kata-kata Kun-sunya itu, "Aku tahu, Kun-su. Biar kedua anak buahku mengurus jenazah Guru Ko.”
“Urus secara layak. Jangan seperti mengurus bangkai anjing atau kucing.”
“Ya, Kun-su." Goh Lung pun memberi perintah kepada kedua pengiringnya, lalu ia sendiri berkuda berdua bersama Kat Hu-yong yang terluka.
Biar dalam keadaan luka dalam yang lumayan berat, pikiran Kat Hu-yong tidak mau disuruh istirahat. Ia begitu memikirkan rencana yang dirancangnya bersama-sama Pangeran Toh Sek-kun untuk menaklukkan Tiong-goan. Karena itu, di atas kudanya pun ia berkata kepada Goh Lung biarpun terengah-engah,
"Saat ini kaum Pelangi Kuning pasti sudah yakin adanya maksud dari pihak kita untuk merebut daratan tengah, kosongnya warung bakmimu ketika mereka gropyok, bagaimanapun pasti menimbulkan pemikiran mereka. Karena itu, kita harus melakukan tindakan-tindakan cepat untuk mendahului setiap persiapan pihak Pelangi Kuning..." Kat Hu-yong terbatuk-batuk dan meludahkan segumpal kecil darah.
Goh Lung menganjurkannya untuk jangan terlalu banyak berbicara dulu, tetapi Kat Hu-yong menyerocos terus, "Goh Lung, kirim berita dengan cara yang paling cepat yang paling memungkinkan, untuk memberi kabar kepada Pangeran Toh Sek-kun, agar pasukannya bersiap-siap memasuki San-hai-koan. Berita kedua untuk teman kita Jai Yong-wan di San-hai-koan, agar pengambilalihan San-hai-koan dilakukan secepatnya."
Hati Goh Lung menyala mendengar perintah itu. “Baik, Kun-su. Inilah yang aku nanti-nantikan sejak dulu..."
Helian Kong dikurung di sebuah ruangan bawah tanah yang kokoh-kuat bangunannya dan juga orang-orang yang menjaganya. Penjaga-penjaganya adalah jago-jago pilihan dari berbagai kelompok pasukan istana, tidak ada yang prajurit biasa. Rupanya pihak istana sadar benar siapa yang dikurung di situ.
Helian Kong mendapat perlakuan baik, makanannya juga cukup baik, tidak dianiaya, tetapi ia gelisah bukan main. Ia sudah berjanji kepada Bu Sam-kui dalam waktu hari akan kembali ke San-hai-koan membawa Tan Wanwan. Ternyata sekarang justru mengalami nasib seperti ini, dan tak terasa lima hari sudah lewat sejak janjinya kepada Bu Sam-kui itu.
Di dalam kurungannya, Helian Kong terus memutar otak mencari akal, juga berharap mudah-mudahan Bu Sam-kui takkan mengambil keputusan yang gegabah dengan memasukkan balatentara Manchu. Hari keenam, ketika Helian Kong baru saja menyelesaikan sarapannya, ia mendapat kunjungan tidak terduga, la melihat pengawal-pengawal tempat itu bersikap hormat, mengiringi masuknya seorang puteri cantik yang melangkah dengan lembut.
Di selnya, seorang pengawal mem-beritahu Helian Kong dari sebelah luar terali besi, "Kau mendapat kunjungan Puteri Tiang-ping!”
Helian Kong bangkit, dan melihat Puteri Tiang-ping sedang melangkah di lorong itu dengan langkahnya yang lembut. Diiringi seorang dayang yang membawa sebuah keranjang rotan yang agaknya berisi makanan-makanan. Hati Helian Kong terkoyak hancur melihat puteri dari kaisar terakhir dinasti Beng itu.
Dulu, Puteri Tiang-ping pernah diramalkan seorang tabib yang mengatakan bahwa penyakitnya tak tersembuhkan, dan puteri itu takkan bisa melewat umur tahun dan takkan boleh menikah. Pernikahan akan mempercepat kematiannya, kata si Tabib.
Umur yang sudah "dipatok" itulah yang membuat Puteri Tiang-ping mencurahkan sepenuh pikirannya untuk kerajaan, dan salah satu "prestasinya" adalah membongkar komplotan mata-mata Pelangi Kuning di istana, bersama-sama dengan Helian Kong. Helian Kong selalu merasa iba terhadap nasib puteri Kaisar Cong-ceng itu, dan sekarang ia lebih iba lagi melihatnya.
Puteri Tiang-ping melangkah perlahan di lorong sel itu, wajahnya masih secantik dulu, tetapi sekarang nampak pucat, bahkan kulit wajahnya seperti kehijauan, cahaya matanya murung dan tidak lagi bersemangat seperti dulu.
Yang paling menghancurkan hati Helian Kong ialah ketika melihat salah satu lengan baju dari pakaian yang dikenakan puteri itu melambai kosong, tidak ada isinya, karena lengannya pun buntung sebelah sebatas pundak.
Menurut cerita Ko Banseng, buntungnya Puteri Tiang-ping adalah oleh pedang Kaisar Cong-ceng sendiri, sebelum Sang Ayahanda menghabisi nyawanya sendiri dengan menggantung diri di Bukit Bwe-san. Tatapan mata Helian Kong seolah kabur melihat Puteri Tiang-ping terus mendekat. Pandangan Helian Kong kabur karena matanya berlapis air.
Sementara, seorang penjaga dengan sikap hormat menghentikan Puteri Tiang-ping dan berkata, "Maaf, Tuan Puteri, kami harus memeriksa keranjang rotan yang dibawa oleh dayang Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping hanya mengangguk, dayangnya lalu menyerahkan keranjang rotan itu kepada penjaga untuk diperiksa isinya. Isinya memang hanya beberapa jenis makanan.
Penjaga itu mengembalikannya kepada Si Dayang, dan berkata, "Silakan, Tuan Puteri..."
Sementara seorang penjaga dengan sikap waspada terhadap Helian Kong, mulai membuka gembok terali besi itu. Helian Kong sendiri bersikap tidak memperuncing situasi.
Pintu sel dibuka dengan suara yang keras, para penjaga pun mempersilakan, "Silakan masuk, Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping melangkah masuk diiringi dayangnya yang juga sudah saling kenal dengan Helian Kong. Penjaga menutup dan merantai kembali pintu sel itu sambil berkata,
"Maaf, Tuan Puteri, karena tahanan yang seorang ini cukup berbahaya bagi kami, kami harus menutup pintunya selama Tuan Puteri berbicara dengannya..."
Sementara Helian Kong sudah berlutut memberi hormatnya, "Salam hormat hamba, Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping mengambil tempat duduk di pinggir pembaringan kayu kasar, satu-satunya perabot di sel Helian Kong itu. Dayangnya berdiri di sebelahnya. “Bangkitlah, Saudara Helian, aku bukan lagi seorang Tuan Puteri dinasti Beng. Keluargaku sudah musnah, bahkan Ayahanda ku sendiri pernah menghendaki kematianku..." suara Puteri Tiang-ping begitu lembut dan terkendali, namun menimbulkan rasa haru Helian Kong.
Helian Kong berdiri, suaranya agak tersendat, "Jangan patah semangat, Tuan Puteri. Separuh dari seluruh wilayah Tiong-goan, bagian selatan, masih sepenuhnya dikuasai oleh keluarga Tuan Puteri dan abdi-abdi dinasti yang setia. Yang termasuk keluarga Tuan Puteri, antara lain masih ada Pangeran Lou-ong yang berkedudukan di Siao-hin dan pasukannya menguasai seluruh Propinsi Ciat-kang, masih ada Pangeran Hok-ong di Lam-khia, Pangeran Tong-ong di Hok-kian dan Pangeran Kui-ong di Kui-sai. Empat pangeran dinasti Beng dengan pasukannya masing-masing yang kuat..."
Puteri Tiang-ping menarik napas saja mendengar kata-kata Helian Kong itu. Ia bukannya tidak kenal watak dari pangeran-pangeran yang diceritakan Helian Kong itu. Kalau mereka punya kekuatan yang sama atau setidak-tidaknya hampir sama, Puteri Tiang-ping khawatir kalau mereka bukannya bersatu, tetapi malah cakar-cakaran.
Sementara Helian Kong menyerocos terus, berusaha membangkitkan semangat Puteri Tiang-ping, "...masih ada Keluarga Bhok di Hun-lam, Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu, Jenderal6Thio Hian-tiong di Se-cuan yang terkenal dengan pasukan Thai-se-kunnya yang gagah perkasa, Jenderal Thio Hong-gan di Ciat-kang, Jenderal Li Teng-kok di Hun-lam, Jenderal The Seng-kong di Hok-kian yang juga mempunyai tentara laut yang berpangkalan di Pulau Taiwan. Dan hamba beri tahu, di wilayah utara ini pun masih banyak orang-orang kita yang terus berjuang, tidak menyerah..."
Namun wajah Puteri Tiang-ping tetap acuh tak acuh mendengar Helian Kong menyebutkan sederetan nama panglima militer dinasti Beng itu. Pasalnya, Puteri Tiang-ping tahu kalau ayahandanya almarhum, Kaisar Cong-ceng, banyak melakukan tindakan yang menyakitkan hati kaum militer gara-gara hasutan para dorna semacam Co Hua-sun dan kawan-kawannya...