Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 10

Novel silat Mandarin karya Stevanus S P serial Helian Kong seri kembang jelita peruntuh tahta bagian dua jilid 10

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 10

Karena rasa tanggung jawabnya yang besar untuk pasukannya itu, Ong Ling-po hampir tertinggal oleh pasukannya sendiri yang sedang bergerak mundur. Pun Liok sendiri tidak mau meninggalkan Ong Ling-po sendirian.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Maka dengan gada Kim-kong-kun yang diayunkan ke sana ke mari dengan kuatnya, ia bertahan dari musuh yang menyerbu seperti semut. Ia hanya ingin mundur kalau bersama panglimanya.

Ong Ling-po pun mulai bergeser mundur, sementara tekanan dari pasukan musuh terasa semakin berat, bukan saja dari depan melainkan juga dari kiri kanan. Merasakan itu, Ong Ling-po menganggap bahwa perintahnya untuk mundur tadi memang perintah yang tepat.

Tetapi di tengah-tengah pertempuran itu, Ong Ling-po melihat ada seorang dipihak musuh yang menarik perhatiannya. Orang itu seorang lelaki yang beberapa tahun lebih tua dari Ong Ling-po, tegap, gagah, meskipun nampak kurang merawat dirinya dan agak dekil, tidak berseragam prajurit, menggendong sebatang pedang yang pada pelindung gagang pedangnya berukir elang mementang sayap.

Kelihatannya orang ini adalah pimpinan dari pasukan musuh, sebab ia nampak memberi perintah-perintah kepada orang-orang di sekitarnya. Kalau ada prajurit-prajuritnya Ong Ling-po yang berani menyerang orang ini, maka orang ini tanpa mencabut pedang dipunggungnya, hanya mengebaskan tangan atau kakinya dan membuat penyerang-penyerangnya rebah tak berdaya.

Di tengah-tengah pertempuran yang begitu sengit dan berbahaya, orang ini berjalan-jalan dengan santai seperti sedang melihat-lihat di pasar saja. Melihat orang ini, mau tidak mau hati Ong Ling-po bergetar, teringat sebuah nama besar di kalangan keprajuritan dinasti Beng dulu.

Helian Kong. Seorang panglima dinasti Beng yang tangguh, bahkan Jenderal Li Giam yang merupakan "sapu-kawatnya" pemberontak Pelangi Kuning pun menyeganinya.

Seorang panglima dinasti Beng yapg disegani oleh musuh-musuh di medan perang, tetapi sayangnya tidak dihargai di kalangan dinasti Beng sendiri, sehingga beberapa kali nyawanya habipir melayang karena fitnah dan intrik-intrik gelap atas dirinya dari kalangan pemerintah Beng sendiri. Inikah orangnya? Pikir Ong Ling-po.

Ketika itulah Pun Liok yang berangasan itu telah berlari sambil menyerbu orang itu, sambil mengangkat tinggi-tinggi gada Kim-kong-kun nya dengan kedua tangan, siap dikeprukkan ke kepala orang itu. Biarpun bertubuh pendek gempal, ternyata Pun Liok mampu berlari cepat.

Ong Ling-po terkejut dan meneriaki dari jauh, "Saudara Pun, hati-hati!”

Bersamaan dengan seruan itu, gada Kim-kong-kun Pun Liok sudah terayun deras ke ubun-ubun si pemimpin pasukan musuh, tegak lurus dari atas ke bawah dengan pukulan kebanggaannya, Thai-san-ap-ting (Gunung Besar Mengambruki Kepala). Diiringi bentakan menggelegar pula.

Tetapi hantaman sedahsyat itu cuma menghantam tanah sehingga debu dan kerikil muncrat berhamburan, sebab orang yang dijadikan sasaran sudah menghilang. Ketika Pun Liok hendak berputar untuk mencari ke arah mana lawannya menghindar, tahu-tahu sebuah pukulan tangan kosong sudah menghajar tengkuknya, membuatnya tersungkur ke depan.

Biarpun tidak pingsan karena Pun Liok memang kuat dan bandel, daging pelindung tengkuknya juga keras dan tebal, tetapi matanya cukup berkunang-kunang dan tidak dapat segera bangkit. Pun Liok mengerang, tangannya merabaraba hendak mencari gagang senjatanya yang terlepas.

Orang yang diserang Pun Liok tadi memang Helian Kong, cocok dengan dugaan Ong Ling-po, panglima dinasti Beng yang legendaris itu. Helian Kong agak kagum juga melihat kekuatan tubuh Pun Liok yang tidak langsung pingsan meskipun sudah dipukul tengkuknya. Ia ingin menangkap hidup-hidup perwira Pelangi Kuning ini, maka diayunkannya tangannya sekali lagi untuk membuat Pun Liok pingsan.

Saat itulah Ong Ling-po meluncur datang untuk menyelamatkan perwira bawahannya itu. Sepasang kaitan besinya gemerlapan menyerang sepasang pundak Helian Kong. Ong Ling-po sebagai seorang yang berwatak jantan, sebenarnya sungkan juga menyerang seorang yang tidak bersenjata secara menyergap pula, namun mengingat keselamatan segenap pasukannya, dan juga keselamatan pribadi Pun Liok, ia melakukannya juga meskipun sambil memberi peringatan, "Awas seranganku!”

Sepasang kaitan besinya gemerlapan menyerang sepasang pundak Helian Kong. Sesungguhnya, tanpa diberi peringatan pun Helian Kong sudah dapat merasakan datangnya serangan itu, sehingga ia cepat membalikkan badan sambil memiringkan tubuh, bukan itu saja, tahu-tahu kaki kanannya menyapu melingkar ke atas dengan tendangan Pai-lian-ka (Sapuan Kaki Teratai Bergoyang) begitu cepatnya menendang lengan Ong Ling-po ke samping.

Ong Ling-po membuat salto ke samping dengan gerakan seperti roda, tanpa tangannya menyentuh tanah, untuk meredam hempasan kaki Helian Kong yang sangat kuat itu. Sementara Helian Kong sudah menubruk maju, masih dengan tangan kosong. Niatnya untuk meringkus Pun Liok dibatalkannya. Ia ingin menangkap Ong Ling-po saja, yang kalau ditilik pakaiannya pasti berpangkat lebih tinggi dari Pun Liok.

Dua panglima dari golongan yang bertentangan itu pun berkelahi. Pada gebrakan-gebrakan pertama saja Ong Ling-po langsung merasakan betapa beratnya bertarung satu lawan satu dengan si panglima dinasti Beng yang termasyhur itu.

Ong Ling-po sendiri bukan perwira yang naik kariernya karena belas kasihan atasannya, tapi ditapakinya jenjang demi jenjang lewat kerja keras, dan sudah membuktikan kehebatannya di medan-medan pertempuran, la tangguh dalam pertempuran kelompok maupun perseorangan. Permainan sepasang kaitan besinya disegani banyak orang.

Tetapi sekarang berhadapan dengan Helian Kong yang bertangan kosong, Ong Ling-po merasa betapa ia jadi seperti anak-anak yang serba canggung. Ia tidak bisa memantapkan diri menghadap ke satu arah, sebab Helian Kong seolah-olah mengitarinya. Sabetan-sabetan sepasang kaitannya selalu menghantam angin, sementara tangan Helian Kong serasa semakin dekat ke kulitnya.

Ketika itulah Pun Liok sudah meraba-raba dan bangun tertatih-tatih, bahkan kedua tangannya sudah kembali menggenggam gada Kim-kong-kunnya. Melihat panglimanya sedang berhadapan dengan seorang yang tadi diserangnya, Pun Liok berkobar semangatnya dan membulatkan tekad untuk bertempur membantu panglimanya.

Ong Ling-po melihatnya dan tahu bantuan Pun Liok akan cukup berarti menghadapi Helian Kong yang bertempur begitu hebat, namun Ong Ling-po lebih memikirkan pasukannya yang tercerai-berai seperti anak-anak ayam kehiJangan induknya.

Karena itu, melihat Pun Liok siap-siap terjun ke gelanggang, dengan mengabaikan kesulitannya sendiri, ia memberi perintah, "Pun Liok, pimpin pasukan menyingkir dari sini!”

"Panglima, kau sendiri...”

“Jangan hiraukan aku, aku bisa lari kalau perlu. Jangan sampai pasukan kita kehilangan komando......"

Pun Liok ragu-ragu beberapa saat. Ong Lingpo adalah teman seperjuangan bertahun-tahun, tidak tega ia meninggalkannya begitu saja, apalagi melihat betapa jungkir-baliknya Pun Liok menghadapi Helian Kong.

"Cepat! Tunggu apa lagi?" teriak Ong Lingpo sambil menggulingkan diri di tanah, menghindari serbuan Helian Kong bertubi-tubi. Kaitan di tangan kirinya tak bisa dipertahankan lagi, sebab lengan kirinya kena tendangan Helian Kong sehingga senjatanya lepas dan terlempar menancap di pohon.

Pun Liok masih kebingungan, tetapi akhirnya dengan mengeraskan hati, ia pergi memimpin pasukannya menyingkir dari situ. Serbuan pasukan Helian Kong memang sudah diperhitungkan baik-baik, sebaliknya di pihak Ong Ling-po belum siap sama sekali menghadapi serangan itu.

Ditambah kemampuan prajurit-prajuritnya Helian Kong yang rata-rata lebih tinggi dari prajurit-prajurit Ong Ling-po, juga jumlah prajurit Helian Kong yang tiga kali lipat dari pasukan Ong Ling-po. Maka biarpun Pun Liok berhasil meloloskan diri bersama sebagian pasukan, namun yang lolos hanya sekitar seribu, orang. Sebagian besar tertawan, dan sebagian kecil terbunuh atau luka-luka.

Bersama sisa-sisa pasukannya di suatu tempat aman, Pun Liok terengah-engah menenangkan diri, kemudian menggeram sedih bercampur marah, "Benar-benar tidak terduga kalau di pegunungan ini ada pasukan lain dinasti Beng...”

“Apakah yang tadi itu bukan pasukan yang kemarin kita hadapi?”

“Nampaknya lain. Yang ini kelihatannya seperti sudah lama hidup di hutan, banyak yang seragamnya sudah tidak lengkap.”

“Bagaimana dengan Komandan Ong?"

Pun Liok menarik napas, "Entahlah. Tadi ketika kutinggalkan dia, dia nampak mengalami kesulitan menghadapi pemimpin pasukan musuh. Tetapi dia menyuruhku untuk menyingkir bersama sisa pasukan. Mudah-mudahan dia selamat dan akan segera bergabung kembali dengan kita.”

“Sekarang kita akan ke mana?"

"Pasukan kita tinggal sedikit, terlalu berbahaya kalau berada di pegunungan ini terus. Kita akan turun ke dataran dan bergabung dengan pasukan induk. Dan kalau Jenderal Lau ijinkan, aku akan minta pasukan yang lebih banyak untuk menggerebeg pegunungan ini lagi..."

Di bagian lain dari pegunungan, Helian Kong dan pasukannya tengah menikmati kemenangan. Helian Kong hilir mudik di antara prajurit-prajuritnya yang sedang sibuk membenahi diri di bawah cahaya obor.

Mereka mengobati yang terluka, dari kedua pihak, mengubur mayat-mayat dari kedua pihak, mengikat tawanan yang jumlahnya banyak, dan di antara tawanan itu adalah Ong Ling-po yang ditaruh agak terpisah dengan diikat kuat-kuat dan dijaga beberapa orang. Wajah panglima Pelangi Kuning itu nampak murung.

"Panglima, akan diapakan tawanan-tawanan itu?" tanya seorang perwira kepada Helian Kong.

“Biarkan dulu. Perlakukan dengan baik, aku belum pikirkan tentang mereka..." Helian Kong mengambil sedikit waktu sebelum fajar untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Esoknya, dia ingin berbicara dengan Ong Ling-po, untuk coba membujuknya menakluk ke pihaknya.

Tapi selama beristirahat, tiba-tiba pikirannya berubah, ia lebih dulu ingin menjumpai Bu Sam-kui di San-hai-koan untuk mengetahui perkembangannya. Bu Sam-kui berhubungan dekat dengan orang yang bernama Jai Yong-wan yang mengaku sebagai saudagar Korea itu, dan ini membuat Helian Kong merasa kurang tenteram. Ia mencurigai orang yang bernama Jai Yong-wan itu.

Namun begitu fajar menyingsing, Helian Kong mendengar di kejauhan suara meriam menggelegar tanpa henti. Itulah tanda kalau balatentara besar kaum Pelangi Kuning kembali menggempur San-hai-koan setelah "libur" sehari.

Mungkin mereka sudah mendengar laporan tentang tertangkapnya Ong Ling-po, dan mereka menjadi gusar, lalu melampiaskan kegusarannya dengan menggempur San-haikoan.

“Bu Sam-kui mudah-mudahan tabah menghadapi semua ini...." Helian Kong harapharap cemas dalam hatinya.

Ia tahu pasukan San-hai-koan jauh lebih kecil dari pasukan lawan, hanya tembok San-hai-koan yang kokohkuatlah yang memungkinkan mereka bertahan sekian lama dengan gigih. Helian Kong tahu, tidak mungkin ia mendekati San-hai-koan di siang hari bolong begini. Terpaksa harus menunggu sampai malam hari.

Menjelang tengah hari, pasukan Kong-sun Koan bergabung dengan pasukan Helian Kong. Alangkah gembiranya kedua belah pihak akan pertemuan itu. Selain jumlah prajurit menjadi lebih banyak yang dengan sendirinya menjadi bertambah kuat, tetapi juga meningkatkan semangat prajurit-prajurit.

“Senang sekali mengetahui bahwa aku tidak sendirian, Panglima Helian..." kata Kongsun Koan.

Helian Kong lalu menunjukkan surat dari Bu Sam-kui yang berisi pesan, agar Kongsun Koan menyerahkan komando tertinggi atas pasukan gabungan ke tangan Helian Kong. Kongsun Koan membacanya, dan mematuhinya dengan rela. Katanya, "Akan menjadi suatu pengalaman berharga buatku, bertempur di bawah ahli militer termasyhur sepertimu, Panglima Helian."

Helian Kong tertawa, "Jangan terlalu memuji, Saudara Kongsun. Kau terlalu terpengaruh oleh berita-berita tentang diriku...”

“Jenderal Bu di San-hai-koan banyak bercerita tentang dirimu, Panglima." Helian Kong kemudian secara singkat menjelaskan pertempurannya semalam, dengan hasil kemenangan di pihaknya, di mana banyak 1prajurit tertawan dan bahkan pimpinan pasukan musuh sendiri tertawan.

Kongsun Koan tertawa mendengarnya, "Panglima Helian, kau ini begitu datang di pegunungan ini terus main sapu bersih saja. Hem, kaum Pelangi Kuning pasti kena batunya dengan kedatanganmu di sini.”

“Lagi-lagi kau terlalu memuji, Saudara Kongsun. Eh, Saudara Kongsun, apakah kau kenal seorang saudagar Korea yang bernama Jai Yong-wan?”

“Darimana Panglima kenal orang ini?" tanya Kongsun Koan heran.

Helian Kong menangkap nada tidak senang terkandung di dalam suara Kongsun Koan. Ia tambah tertarik untuk mengetahui tentang Jai Yong-wan lebih jauh.

“Saudara Kongsun, bukankah tadi sudah kukatakan kepadamu, malam itu ketika aku menjumpai Jenderal Bu di San-hai-koan, orang Korea itu kebetulan juga datang mengunjungi Jenderal Bu dan bahkan membawakan kuah jinsom? Saat itulah aku tahu kalau hubungannya dengan Jenderal Bu cukup akrab. Bisakah kau menjelaskan lebih jauh?”

“Bukan saja akrab, bahkan Jenderal Bu lebih mendengarkan dia daripada perwira-perwiranya seperti aku ini. Panglima Helian, aku sebenarnya mencurigai Jai Yong-wan. Orang itu mengaku orang berasal dari Korea yang membenci orang Manchu, tetapi aku tidak mempercayai kata-katanya demikian saja. Dia itu bukan saudagar dalam arti yang sebenarnya....”

“Maksudmu, mata-mata?”

“Aku belum berani memastikan. Tetapi aku pernah mencoba menyatroni rumahnya diam-diam di suatu malam. Ternyata rumah itu kosong sama sekali. Memang tidak kutemukan bukti apa pun di rumahnya, tetapi dia patut diwaspadai. Hal ini berulang beberapa kali. Dia sering pergi meninggalkan rumahnya secara diam-diam, entah ke mana."

Helian Kong jadi mencemaskan Bu Sam-kui, tetapi ia tidak terkejut, sehingga Kongsun Koan bertanya, "Panglima kelihatannya tidak kaget?"

"Aku memang tidak terkejut mendengar tentang campur-tangannya orang luar dalam kemelut antara bangsa Han yang sedang terpecah-belah ini. Sebab aku sendiri pernah memergoki usaha pihak Manchu untuk membunuh Li Giam. Biarpun Li Giam adalah pentolan kaum Pelangi Kuning yang menjadi musuh kita, namun waktu itu aku membela Li Giam, sebab aku tidak ingin urusan dalam negeri kita dicampuri orang-orang asing yang akan mengambil keuntungan mereka sendiri..."

Kongsun Koan mengangguk-angguk, "Panglima bersikap tepat. Kata pepatah, kalau saudara kandung kita berkelahi dengan saudara sepupu kita, kita memihak saudara kandung kita. Jika saudara sepupu kita berkelahi dengan orang asing, kita memihak saudara sepupu kita. Aku pun pasti akan berbuat seperti Panglima bila mengalami keadaan yang sama.”

“Kata-katamu tentang Jai Yong-wan menggelisahkan aku, Saudara Kongsun. Aku benar-benar khawatir kalau Saudara katakan tentang orang itu..."

Kongsun Koan menarik napas. “Kita merasa gelisah sampai rambut kita rontok dan menjadi botak pun percuma. Kita bisa berbuat apa?"

Helian Kong berkata, "Nanti malam aku harus ke San-hai-koan untuk menemui Jenderal Bu dan memperingatkan soal ini..”

“Jangan, Panglima, tempat itu tentu dijaga ketat oleh pasukan musuh......" namun Kongsun Koan tiba-tiba menghentikan kata-katanya sendiri. Lalu menepuk jidatnya sendiri sambil berkata, "Ah, aku benar-benar lupa dengan siapa aku tengah berbicara. Aku sudah mendengar tentang Panglima, tentu saja penjagaan musuh takkan ada artinya kalau Panglima berniat ke sana..."

Helian Kong cuma tertawa. Namun ia dengan tidak sabar menatap matahari yang merambat bagaikan siput. Ia ingin segera malam tiba agar dapat menyelusup ke San-hai-koan. Dentuman meriam di kejauhan makin mengendor, agaknya pihak Pelangi Kuning lebih menggiatkan usaha memanjat tembok daripada menghambur-hamburkan mesiu. Helian Kong tidak melihat sendiri, tapi dapat membayangkannya.

“Entah bagaimana keadaan di San-hai-koan, mudah-mudahan masih dapat bertahan....." pikir Helian Kong.

Akhirnya matahari pun tenggelamlah. Langit menjadi gelap. Helian Kong bersiap-siap meninggalkan pasukannya untuk menyelundup ke San-hai-koan. Diserahkannya pimpinan pasukan ke tangan Kongsun Koan selama ia pergi, kemudian pergilah ia seorang diri, hanya ditemani pedang Elang Besinya.

Ketika tiba di dataran, tiba-tiba saja timbul keinginan Helian Kong untuk mengetahui bagaimana kekuatan pihak Pelangi Kuning. Helian Kong lalu mendekati perkemahan mereka yang membentang luas, dan itu benar-benar tidak sulit, sebab dari kejauhan sudah terlihat obor-obor mereka. Helian Kong jadi seperti sebuah kapal yang dituntun oleh sebuah mercu suar.

Tiba di dekat perkemahan, tidak sulit bagi Helian Kong untuk mendapatkan seragam prajurit Pelangi Kuning, cukup dengan menyergap dan memingsankan seorang prajurit musuh yang perawakannya sama dengannya, melucuti pakaiannya dan memakainya. Setelah itu, hilir-mudiklah Helian Kong di perkemahan Pelangi Kuning dengan bebasnya.

Ketika Jenderal Lau Cong-bin menggerakkan pasukannya di San-hai-koan, ia membawa seratus ribu prajurit, dan biarpun sudah berkurang banyak akibat gempuran sia-sia ke San-hai-koan selama beberapa hari ini, namun jumlahnya masih cukup banyak. Begitu banyaknya sehingga tidak dapat mengenali satu persatu, sehingga amanlah Helian Kong hilir mudik di perkemahan itu.

Nampaknya ada kesibukan besar di perkemahan itu, banyak prajurit-prajurit yang terluka atau tewas. Yang terluka digotong dari medan perang di dekat dinding tembok San-hai-koan, sedang yang tewas dikubur. Helian Kong ikut membaur di antara prajurit-prajurit yang sibuk itu dalam pakaian samarannya. Ia ikut menggotong tubuh-tubuh yang terluka atau menguburkan yang tewas.

Ia diam saja dibentak-bentak perwira-perwira Pelangi Kuning karena seragam Helian Kong memang seragam prajurit rendahan. Nampak betapa perwira-perwira itu dirundung gusar dan kecewa, dan itu mereka lampiaskan atas prajurit-prajurit mereka sendiri. Tidak sedikit prajurit yang digampar, bahkan Helian Kong sendiri digampar satu kali tetapi tidak membalas.

Helian Kong malahan gembira dalam hati, sebab itu tandanya kaum Pelangi Kuning ini belum berhasil merebut San-hai-koan. Helian Kong melihat korban di pihak Pelangi Kuning cukup banyak, sehingga Helian Kong agak heran juga akan hebatnya perlawanan prajurit-prajurit San-hai-koan.

Tetapi Helian Kong lebih heran lagi melihat banyaknya prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu yang di tubuhnya tidak ada bekas lembing, panah atau kejatuhan batu besar, melainkan hanya berlubang kecil tanpa mengeluarkan banyak darah. Helian Kong langsung mengenalinya sebagai luka karena peluru. Peluru di abad itu berbentuk bulat seperti kelereng, tetapi bisa menembus masuk ke dalam daging.

“Apakah pihak Bu Sam-kui punya bedil?" Helian Kong berpikir-pikir. Dan jawabannya bisa didapati Helian Kong dari mendengarkan prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang sambil bercakap-cakap ketika menggotong tubuh-tubuh di bawah penerangan obor-obor.

“Kenapa kemarin-kemarin para cecunguk Kerajaan Beng di San-hai-koan itu tidak menggunakan bedil-bedil dan meriam-meriam mereka?”

“Agaknya bangsat-bangsat itu memang menunggu beberapa hari, sampai kita menganggapnya ringan dan berani terlalu dekat ke tembok, barulah mereka hajar dengan bedil-bedil dan meriam-meriam mereka, akibatnya hari ini korban di pihak kita terlalu banyak..."

"Sialan, dulu kita merebut kota sebesar Pakkhia hanya dalam satu malam. Sekarang kota sekecil San-hai-koan saja menguras tenaga kita begitu rupa, dan belum juga kelihatan tanda-tanda keuntungan di pihak kita. Tiap hari ada saja teman-teman kita yang mampus...”

“He, jangan sampai omonganmu itu didengar oleh para perwira. Mulutmu bisa dirobek karena dianggap menyebarkan kata-kata yang melemahkan semangat. Tidakkah kau dengar pesan Jenderal Lau melalui para perwira, agar kita selalu membayangkan kemenangan?"

Helian Kong tiba-tiba ingin memerosotkan semangat para prajurit Pelangi Kuning itu. Maka sambil menggotong tubuh-tubuh yang terluka dan mati, ia ikut mengobrol ke sana ke mari sambil menyebarkan berita bahwa "balatentara Kerajaan Beng yang besar kabarnya sedang datang dari selatan, sementara yang berpencaran di wilayah utara sedang saling berhubungan untuk bergabung...."

Begitulah, sambil "membantu" ia juga berkeliling menakut-nakuti prajurit-prajurit Pelangi Kuning dengan ceritanya, bahwa "di pegunungan itu sudah penuh dinasti Beng yang siap melanda kita seperti air bah."

Kebetulah waktu itu semangat para prajurit Pelangi Kuning memang sedang terpukul. Pertama, oleh kenyataan hari ini bahwa pasukan San-hai-koan punya ratusan pucuk senjata api, dan meriam-meriam mereka ternyata tidak "bisu" seperti yang mereka sangka beberapa hari sebelumnya.

Kedua, Pun Liok dan pasukannya hari itu pulang ke perkemahan pasukan induk dan mengatakan kalau Ong Ling-po tertawan musuh. Maka cerita Helian Kong itu pun seperti benih-benih yang jatuh di tanah yang subur. Puas dengan aksi desas-desusnya, Helian Kong meninggalkan tempat itu dan meneruskan niatnya semula, menuju San-hai-koan.

Segampang datangnya, begitu juga perginya, tidak peduli sekitar perkemahan induk pasukan Jenderal Lau itu dijaga. Mendekati tembok San-hai-koan, Helian Kong lebih dulu harus mencopot seragam prajurit Pelangi Kuning, agar tidak timbul kesalah-pahaman dengan pengawal-pengawal San-hai-koan.

Di kaki tembok, Helian Kong melompat ke atas seperti seekor burung. Tetapi begitu sepasang kakinya menginjak bagian atas tembok, bentakan-bentakan menyambutnya, "Berhenti! Jangan bergerak!”

Dan beberapa prajurit telah menodongkan panah-panah yang terpasang di tali busur, serta beberapa pucuk senjata api. Helian Kong cepat menyebutkan siapa dirinya, "Aku Helian Kong."

Perwira jaga di tempat itu mengenal Helian Kong, cepat ia memerintahkan prajurit-prajuritnya, "Jangan serang! Itu Panglima Helian!”

Kemudian perwira itu mendekati Helian Kong dan memberi hormat, "Maafkan kami, Panglima."

Helian Kong menepuk pundak perwira itu, "Tidak apa-apa. Aku malah senang melihat kesiagaan kalian." Kemudian Helian Kong mengamat-amati bedil-bedil sundut yang dipegang beberapa prajurit, dan bertanya, "Ternyata kalian punya senjata api seperti kepunyaan pelaut-pelaut barat itu. Pantas pasukan musuh babak-belur hari ini..."

Perwira itu menjawab, "Senjata-senjata api itu baru kami dapatkan hari ini..." Ternyata setelah berkata demikian, prajurit itu tiba-tiba saja menghentikan kata-katanya seperti takut mengatakan sesuatu, membuat Helian Kong heran.

“Kenapa?" Agak tergagap perwira tadi menjawab, tetapi jawabannya jauh melenceng dari pertanyaannya, "Eh, Panglima tentu ingin segera bertemu dengan Jenderal Bu, bukan? Silakan. Maaf kami menghalang-halangi di sini..." Lalu ia memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk bubar, dan ia sendiri pun berlalu setelah memberi hormat.

Tinggal Helian Kong sendiri memendam pertanyaan yang belum terjawab tadi. Adanya senjata api dalam jumlah sebanyak itu di Sanhai-koan memang agak mengherankan. Senjata itu diperkenalkan oleh pelaut-pelaut negeri barat, dan diperkenalkan kepada negeri-negeri timur.

Orang-orang Portugis mendapat kota Makao pada tahun 1516, diberi oleh Kaisar Bucong (150-1522) sebagai hadiah, karena armada kapal meriam Portugis dapat membersihkan perompak-perompak di Laut Timur dan Selatan yang merupakan urat-nadi eksport Kerajaan Beng waktu itu.

Begitulah Portugis diberi pos di Makao dan kota itu pun menjadi milik Portugis, dengan bendera salib putih hijau berkibar di atasnya. Kapal-kapal Portugis secara rutin melayari titik-titik antara Goa (India), Makao dan Nagasaki, baik kapal dagang maupun kapal perang.

Selama itu hubungan antara Kerajaan Beng dan Portugis baik, namun belum pernah pihak Portugis memberi senjata api dalam jumlah banyak, takut kalau "senjata makan tuan". Paling hanya puluhan pucuk saja.

Dulu di istana Kerajaan Beng juga dibentuk regu pengawal raja bersenjata bedil, namun kini Helian Kong melihat di San-hai-koan ada ratusan pucuk, darimana Bu Sam-kui mendapatkannya? Membeli dari Portugis? Kalau membeli, darimana uangnya? Maka "daftar pertanyaan" yang ingin ditanyakan Helian Kong kepada Bu Sam-kui pun bertambah satu, selain soal Jai Yong-wan.

Helian Kong turun dari tembok San-hai-koan lalu menyusuri lorong-lorong kota yang sepi di malam hari, langsung menuju ke rumah kediaman Bu Sam-kui. Tiba di kediaman Bu Sam-kui, nampak beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar rumah.

Helian Kong tersenyum sendiri, agaknya Bu Sam-kui memperhatikan peringatannya untuk memasang penjaga. Helian Kong tidak bersembunyi-sembunyi mendekati rumah itu, melainkan dari pintu depan langsung.

Para penjaga bersiaga melihat sosok tubuh yang melangkah mendekat, tetapi ketika cahaya lampion bulat yang digantung di depan rumah menimpa wajah Helian Kong, para prajurit pun mengendorkan kewaspadaannya karena mereka mengenali Helian Kong.

Bahkan mereka memberi hormat, "Selamat malam, Panglima."

Helian Kong melangkah terus, "Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Jenderal Bu. Ada?”

“Biar kami laporkan sebentar.”

“Tidak usah. Biar aku sendiri yang membangunkannya. Kalian tetaplah berjaga di sini dengan baik." Tanpa menunggu ijin para penjaga, Helian Kong langsung menyelonong ke dalam. Para penjaga membiarkannya.

Semula Helian Kong menyangka dia harus ke kamar tidur untuk membangunkan Bu Sam-kui, ternyata baru sampai di ruang tengah ia sudah menemukannya. Bu Sam-kui masih mengenakan pakaian perangnya, tetapi topi besinya terguling di lantai, bersama beberapa tempat arak yang sudah kosong.

Bu Sam-kui duduk dengan kepala tertelungkup di meja berbantal lengan-lengannya, ada tumpahan arak di meja dan muntahan manusia sedikit di lantai. Bau arak campur bau muntahan manusia yang kecut memenuhi ruangan itu. Helian Kong merasa masygul melihatnya.

Kalau besok Bu Sam-kui bangun dengan pikiran dipengaruhi uap arak, bagaimana bisa memimpin anak buahnya dengan baik? Baru saja Helian Kong merasa ikut bangga melihat kesiagaan yang tinggi prajurit-prajurit San-hai-koan di malam hari, sekarang kebanggaannya lenyap dan digantikan kekecewaan melihat tingkah-laku panglima San-hai-koan seperti ini. Ia lalu berteriak memanggil seorang pengawal di depan. Pengawal itu berlari-lari mendekat.

Helian Kong menyongsong pengawal itu di luar ruangan, agar pengawal itu jangan 32 sampai masuk ke ruangan itu dan melihat keadaan Bu Sam-kui semabuk itu. Helian Kong khawatir kalau prajurit melihat panglimanya seperti itu, semangatnya akan terpengaruh, apalagi kalau prajurit itu sampai menyebarluaskannya kepada teman-temannya.

“Ada perintah apa, Panglima Helian?" tanya penjaga itu.

“Apakah di rumah ini ada dapur dan tukang masak?"

Si prajurit agak heran mendengar pertanyaan itu, dalam hati menduga mungkin Helian Kong lapar dan ingin dibuatkan makanan di larut malam yang amat dingin ini. “Tidak ada, Panglima. Jenderal Bu biasa makan ransum prajurit yang dimasak di tangsi oleh juru masak tangsi. Kalau Panglima Helian lapar..."

Helian Kong menggoyang tangannya sehingga prajurit itu berhenti bicara. Dalam hati Helian Kong lega juga mendengar Bu Sam-kui suka makan bersama prajurit-prajuritnya, tidak minta diistimewakan, sehingga bisa menjalin ikatan batin dengan bawahannya. Itu agaknya sisi baik Bu Sam-kui.

“Bukan aku yang lapar. Sekarang pergilah ke tangsi, bangunkan tukang masaknya, suruh dia bikin minuman dari kulit jeruk dan bawa kemari....." perintah Helian Kong.

Mendengar itu, Si Prajurit tercengang dan bertanya, "Apakah Panglima Bu mabuk lagi?"

Helian Kong melengak, sadar kalau mulutnya sudah terlanjur bicara, mengisyaratkan tentang mabuknya Bu Sam-kui, sesuatu yang sebenarnya ingin ia tutup-tutupi. Rupanya prajurit itu sudah tahu, karena minuman dari kulit jeruk, bukan dari jeruknya, adalah minuman untuk menjernihkan otak orang yang mabuk berat, rasanya pahit sekali.

Namun Helian Kong pun tahu bahwa percuma dia menutup-menutupi, perkataan "lagi" dalam pertanyaan prajurit itu menandakan kalau Bu Sam-kui bukan hanya sekali ini mabuknya dan agaknya sudah bukan rahasia lagi buat para prajurit-prajuritnya.

"Jadi kota sepenting San-hai-koan, dikendalikan oleh seorang pemabuk..." gerutu Helian Kong dalam hati. Tapi ia membentak prajurit itu, "Hei, kenapa berdiri saja di sini? Jalankan perintahku!”

“Ooo, baik... baik..." prajurit itu tergagap, lalu melangkah pergi.

Helian Kong kembali ke ruang tempat Bu Sam-kui mabuk, dan dengan masygul menunggu saja kembalinya prajurit itu. Ia bisa saja membangunkan Bu Sam-kui dengan beberapa pijatan rangsangan di simpul-simpul syarafnya, tetapi seandainya sadar pun pasti sulit diajak berbicara dengan lurus, sebab pengaruh arak belum lenyap dari otaknya. Terpaksa ia harus menunggu.

Diam-diam Helian Kong merasa betapa rawannya San-hai-koan saat itu. Sebuah benteng strategis yang diincar dari dua arah, oleh golongan Pelangi Kuning maupun oleh Manchu. Rawannya, "nahkoda" San-hai-koan adalah Bu Sam-kui, yang Helian Kong kenal sebagai orang yang tidak berpikir panjang, mudah dipengaruhi, dan sekarang diketahuinya lagi sebagai orang doyan arak.

Ditambah dengan orang macam Jai Yong-wan di dekatnya, Bu Sam-kui benar-benar mirip kerbau dicocok hidungnya. Lamunan Helian Kong membuyar, ketika didengarnya derap kaki mendekati. Prajurit tadi sudah datang kembaii dengan sebuah poci di tangannya. Diberikannya kepada Helian Kong dengan hormat.

Helian Kong menerimanya tanpa kata-kata, dan tanpa kata-kata pula ia mengusir pergi prajurit itu dengan gerakan tangannya. Lalu mulailah Helian Kong memijat beberapa bagian tubuh Bu Sam-kui untuk menyadarkannya. Begitu sadar, belum sempat Helian Kong yang bicara, Bu Sam-kui sudah lebih dulu bersuara dengan lidahnya yang kaku dan mulutnya yang berbau arak,

"Bangsat Li Cu-seng! Aku bersumpah akan mencincangmu, kau merebut Tan Wan-wanku, kekasihku. Oo, kekasihku, dewiku, tunggulah, Kakanda akan serbu Pak-khia demi adinda..."

Helian Kong menarik napas, namun tergetar juga hatinya mendengar igauan itu. Tan Wan-wan adalah bekas kekasihnya, dan setelah perpisahan bertahun-tahun ternyata Tan Wan-wan sudah menjadi selir kesayangan Kaisar Cong-ceng, dan kemudian terbuka pula kedok Tan Wan-wan sebagai mata-mata tingkat-tinggi golongan Pelangi Kuning yang diselundupkan ke istana.

Sekarang Helian Kong sudah beristeri Siangkoan Yan dan hampir melahirkan anak pertama, namun kenangan terhadap Tan Wan-wan belum lenyap sama sekali. Cepat Helian Kong berkata, "Saudara Bu, ini aku. Helian Kong."

Dengan mata setengah terbuka, Bu Sam-kui menatap Helian Kong yang nampak seperti bayangan kabur di depannya, dan berkata, "Kau Saudara Helian?”

“Benar."

"Bagus, Saudara Helian, gabungkan pasukanmu kemari. Kita akan gempur Pak-khia, tangkap Li Cu-seng dan bebaskan Tan Wan-wan bagiku..." Itulah omongan orang mabuk.

Siapa pun yang waras pikirannya pasti bisa memperhitungkan, walau pasukan di San-hai-koan digabung dengan pasukan Helian Kong, pasti terlalu kecil jumlahnya untuk menyerbu Pak-khia, dimana masih ada ratusan ribu prajurit musuh, belum kalau pihak musuh mengerahkan pasukan tambahan dari tempat-tempat lain.

Namun berbicara dengan orang mabuk pun Helian Kong menyesuaikan diri, "Ya, benar, Saudara Bu. Kita akan serbu Pak-khia dan taklukkan Pak-khia, dan kita bebaskan... Tan Wan-wan..." Agak enggan Helian Kong ketika menyebut nama itu, tetapi itulah "kunci" untuk mengajak Bu Sam-kui berbicara saat itu.

“Minum ini, Saudara Bu," Helian Kong menyodorkan pocinya.

Bu Sam-kui menyambar poci itu dan langsung menuangkan dari belalai poci itu ke mulutnya, namun begitu seteguk, dia merasakan pahitnya minuman kulit jeruk itu dan berteriak, "Arak macam apa ini?"

Hampir saja ia membanting poci itu ke lantai, namun Helian Kong dengan sebat menyambarnya. Dan disodorkannya kepada Bu Sam-kui, "Ini memang bukan arak, Saudara Bu. Ini minuman kulit jeruk untuk menghilangkan mabuk...”

“Aku tidak mabuk. Aku masih sanggup minum arak lebih banyak lagi, aku ingin arak...”

“Saudara Bu, kita hanya bisa membicarakan... penyerbuan ke Pak-khia itu dengan otak jernih, tidak dengan otak penuh uap arak."

Akhirnya, dengan sangat enggan dan terpaksa, Bu Sam-kui menerima poci itu dan meminum isinya, meskipun dengan wajah berkernyit karena tidak suka rasa minuman itu. Bu Sam-kui gelegekan keras, meletakkan poci itu, kemudian mulai menyerocos, "Hari ini 40 aku mendengar kabar dari Pak-khia, lewat burung merpati pos dari orang-orangku di Pakkhia. Orang-orangku mengabarkan bahwa si gembong maling Li Cu-seng itu telah memboyong Tan Wan-wan ku ke istana, bahkan memberinya gelar kebangsawanan segala. Aku tidak bisa terima! Dia sudah merebut kekasihku! Aku harus menyerbu Pak-khia!”

"Iya... iya..." cuma itu kata-kata He-lian Kong yang tidak ingin berebutan omong dengan Bu Sam-kui. Ia ingin Bu Sam-kui lega dulu, barulah bisa diajak bicara dengan kepala dingin.

Dan Bu Sam-kui pun terus berbicara, "Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya kekasihku di dalam tawanan pemberontak biadab itu. Kekasihku pastilah merindukan kedatanganku, aku tidak boleh berlambat-lambat. Aku akan menggerakkan pasukan menyerbu Pak-khia!

"Aku tidak gentar biarpun pasukan musuh jauh lebih banyak, sebab sekarang dalam pasukanku ada seribu pucuk senjata api. Mereka akan jadi ujung tombak yang takkan terbendung oleh gerombolan maling itu. Saudara Helian, aku akan menarik pasukan Kong-sun Koan dari pegunungan, dan pasukanmu juga bisa bergabung denganku, Saudara Helian..."

Kebetulan niat Helian Kong datang ke San-hai-koan memang ingin mengetahui soal senjata api itu. Pertanyaan itu timbul ketika tadi ia menyamar sebagai prajurit Pelangi Kuning dan berada di perkemahan mereka dan melihat betapa banyaknya prajurit Pelangi Kuning yang tewas bukan oleh lembing atau panah melainkan oleh peluru.

Kini kebetulan Bu Sam-kui menyebut-nyebut soal itu, Helian Kong langsung menyambarnya, "Darimana senjata api itu?"

Kalau dalam keadaan tidak mabuk, barangkali Bu Sam-kui akan ragu-ragu menjawabnya, takut kalau Helian Kong kurang setuju dan marah. Namun sekarang otak Bu Sam-kui justru sedang penuh uap arak, tanpa pikir panjang lagi Bu Sam-kui malah menjawab dengan bangga dan pakai menggebrak meja segala, "Orang-orang Manchu memberiku senjata api. Lima ratus pucuk kemarin, lima ratus hari ini, dan besok akan ada kiriman lima ratus lagi!”

Hal itu sebenarnya pernah dibayangkan oleh Helian Kong, sesuatu yang amat dikhawatirkannya, dan sekarang ketika mendengar kepastian dari mulut Bu Sam-kui sendiri, kaget juga Helian Kong. “Orang-orang Manchu? Imbalan apa yang mereka terima dari kita, apakah Saudara Bu...”

“Mereka tidak minta imbalan apa-apa, Saudara Helian. Mereka memberi kita senapan untuk memperkuat kita agar kita dapat membendung ekspansi kaum Pelangi Kuning ke wilayah mereka...”

“Ini pasti suatu umpan...”

“Tidak. Aku bukan tikus tolol yang gampang saja masuk perangkap. Aku tahu betul bahwa pihak Manchu tidak berniat menyerbu daratan tengah, itulah sebabnya aku mau bekerja sama dengan mereka..."

Justru karena Bu Sam-kui menganggap dirinya "bukan tikus tolol" itulah yang mencemaskan Helian Kong, sebab ia tahu betul macam apa Bu Sam-kui ini. Darahnya menghangat, "Saudara Bu, siapa bilang orang-orang Manchu tidak berniat menyerbu daratan tengah?”

“Utusan mereka sendiri yang bilang.”

“Siapa utusan mereka?”

“Bekas atasanku dulu. Ang Seng-tiu."

Kali ini Helian Kong sulit mengendalikan diri sehingga dia menggebrak meja, "Pengkhianat itu. Kau mempercayainya, Saudara Bu?”

“Alasan mereka masuk akal.”

“Tentu mereka punya persediaan alasan yang masuk akal untuk menjajah Tiong-goan. Apa alasan mereka?”

“Pertama, jumlah mereka terlalu sedikit untuk menguasai wilayah Tiong-goan yang begini luas dan dihuni suku bangsa Han yang jumlahnya belasan kali lipat...”

“Hemm, jangan lupakan sejarah, Saudara Bu. Bangsa Han kita berulang kali sudah dijajah suku bangsa yang jauh lebih kecil jumlahnya..." Bu Sam-kui yang masih setengah mabuk itu tidak memperhatikan benar perkataan Helian Kong, la melanjutkan,

"...kedua, pemerintahan Manchu tidak senang bertetangga dengan negeri yang diperintah oleh bandit-bandit pasaran macam Li Cu-seng dan kawan-kawannya, merasa tidak aman, itulah sebabnya pihak Manchu lebih senang membantu agar keturunan dinasti Beng yang kembali berkuasa di Pak-khia, lalu hidup berdampingan dengan melupakan masa lalu...”

“Hem, hidup berdampingan. Manis betul kata-katanya. Apa mereka lupa perang yang bertahun-tahun di Liau-tong? Apa itu namanya hidup berdampingan secara damai?”

“Ah, Saudara Helian, perang di Liau-tong itu bukankah pihak kita, pihak Kerajaan Beng, yang menyerbu duluan ke wilayah mereka? Pihak mereka di pihak yang mempertahankan diri...”

“Saudara Bu, kau rupanya mulai termakan oleh tipu-daya mereka.”

“Jangan menggurui aku, Saudara Helian, aku bukan orang goblok. Aku hanya menerima bantuan senjata api dari orang-orang Manchu sebagai bukti kesungguhan omongan mereka, tetapi aku tidak ijinkan satu pun dari prajuritprajurit Manchu berada di dalam kota San-haikoan...”

“Aku khawatir ini hanya permulaan yang halus dari suatu jerat yang sedang disiapkan oleh mereka, Saudara Bu. Tidak mungkin pihak Manchu membantu tanpa pamrih...”

“Saudara Helian, biar bagaimanapun liciknya mereka, kalau kita bersiteguh tidak mengijinkan satu pun prajurit mereka memasuki San-hai-koan, mereka bias apa? Sanhai-koan adalah pintu yang mereka butuhkan untuk menguasai Tiong-goan...”

“Saudara Bu, aku khawatir sebagian pasukan Manchu saat ini sebenarnya sudah berada di sebelah dalam Tembok Besar, tanpa melalui San-hai-koan. Aku baru saja bertemu dengan Kongsun Koan perwiramu yang kau kirim ke gunung itu, dan perwiramu itu melaporkan kepadaku tentang jejak sebuah pasukan di pegunungan, yang bukan pasukan Pelangi Kuning..."

Pikiran Bu Sam-kui berangsur-angsur jernih karena minuman kulit jeruk itu, pengaruh arak mudah ditangkal dengan minuman kulit jeruk, tetapi pengaruh pikiran orang Manchu yang "disuntikkan" ke otak Bu Sam-kui melalui Ang Seng-tiu yang omongannya meyakinkan, tidak mudah "dijernihkan".

Dalam keadaan sadar sepenuhnya saja Bu Sam-kui pura-pura bersikap dingin kepada Ang Seng-tiu dan utusan-utusan Manchu lainnya, tetapi jauh di bawah-sadarnya dia sungguh-sungguh sudah memperhitungkan kemungkinan untuk menggebuk Kaum Pelangi Kuning dengan "meminjam" tentara Manchu.

Kalau niat terdalam di hatinya itu belum diwujudkan, hanya karena masih khawatir membayangkan caci-maki dari rekan-rekannya sesama bekas panglima-panglima Kerajaan Beng yang bertebaran di seluruh Tiong-goan.

Dulu ketika Ang Seng-tiu menakluk kepada Manchu, Bu Sam-kui juga termasuk yang ikut 4mencaci-maki, masakan sekarang akan bekerja sama dengan Manchu? Hanya tinggal itulah ganjalan Bu Sam-kui.

Namun ketika hari ini ia menerima berita dari Pak-khia, bahwa perempuan yang diidamkannya, Tan Wan-wan, "bekasnya" Kaisar Cong-ceng yang dihadiahkan kepadanya, dirampas oleh Li Cu-seng dan dibawa ke istana, pikiran Bu Sam-kui sudah amat butek sehingga menenggelamkan diri ke dalam pengaruh arak.

Rasa-rasanya, saat itu kalau ada pasukan iblis dari neraka sekalipun yang menawarkan kerjasama untuk menggempur Pak-khia, tanpa pikir panjang Bu Sam-kui akan menyambutnya. Demi membebaskan Tan Wan-wan nya. Menjawab kata-kata Helian Kong tadi, Bu Sam-kui tertawa dan berkata,

"Saudara Helian, kata-katamu bertentangan satu sama lain. Kau takut-takuti aku bahwa orang Manchu ingin merebut San-hai-koan dari tanganku melalui serangkaian tipu-muslihat, tetapi kau juga katakan bahwa orang Manchu bisa masuk ke Tiong-goan tanpa melewati San-hai-koan. Yang mana yang benar, Saudara Helian?"

Agak susah juga harus menjelaskan masalah yang rumit kepada seorang yang sedang mabuk arak, apalagi sehari-harinya orang itu juga sudah terbiasa berpikir gampang-gampangan saja, namun Helian Kong berusaha juga, "Saudara Bu, orang Manchu sesungguhnya punya kekuatan untuk menjajah Tiong-goan, asal bangsa Han tidak bersatu menentangnya, melainkan terpecah-belah ada yang menentangnya dan ada yang mendukungnya.

"Kalau dia menyerbu masuk Tiong-goan dengan terang-terangan sebagai penyerbu asing, tentu semua bangsa Han akan menentangnya, entah sisa dinasti Beng entah kaum Pelangi Kuning entah golongan yang selama ini berpeluk tangan saja tanpa memihak. Itulah sebabnya meskipun mereka mampu menyerbu San-hai-koan tetapi mereka membutuhkan suatu alasan untuk tidak dimusuhi, setidak-tidaknya oleh sebagian bangsa Han.

"Mereka butuh kau, Saudara Bu. Mereka ingin bergandengan tangan denganmu memasuki Tiong-goan, memasuki Ibukota Pakkhia, dengan demikian mereka punya dalih bahwa kedatangan mereka untuk menegakkan kembali dinasti Beng karena dimintai tolong olehmu, Saudara Bu. Tetapi niat mereka yang sebenarnya pastilah untuk menjajah Tionggoan.

"Sekali mereka menyeberangi perbatasan, akan sulit menyuruh mereka kembali ke tempat mereka di Liau-tong..."

Serba sedikit apa yang dijelaskan Helian Kong itu ada juga yang masuk ke otak Bu sam-kui. Sayang bayangan Tan Wan-wan "tersiksa" di tangan Li Cu-seng begitu mempengaruhi Bu Sam-kui dalam mengambil setiap keputusannya.

Kata-kata Helian Kong dipotongnya dengan teriakan parau sambil menggebrak dengan teriakan parau sambil menggebrak meja, "Tetapi si bandit Pelangi Kuning itu merebut calon isteriku!”

Membicarakan soal Tan Wan-wan sebenarnya bagi Helian Kong seperti mengkorek-korek luka-luka lama, namun Helian Kong sendiri sudah siap membicarakannya dengan Bu Sam-kui karena sudah memperhitungkan bahwa masalah Tan Wan-wan ini akan masuk pembicaraan untuk menyadarkan Bu Sam-kui.

Heli-an Kong menganggap otak Bu Sam-kui sudah cukup jernih untuk mendengar kenyataan tentang Tan Wan-wan. Kata Helian Kong meskipun dengan hati yang berat, "Saudara Bu, Tan Wan-wan bukan seorang yang cukup berharga untuk kau bela mati-matian, apalagi sampai mempertaruhkan keselamatan San-hai-koan, bahkan keselamatan seluruh Tiong-goan..."

Bu Sam-kui kontan melotot, "Saudara Helian, apakah kau menghina Tan Wan-wan karena dia bekas wanita penghibur di Soh-ciu, dan juga bekas wanita simpanan Sri Baginda Cong-ceng? Biar bagaimanapun masa lalunya, aku mencintainya dan bertekad akan menjadikannya isteriku. Kalau kau masih mengaku sebagai sahabatku, jangan lagi ucapkan penghinaan terhadap Tan Wan-wan di depanku, atau persahabatan kita akan putus!”

Helian Kong menarik napas, sulit menjelaskan tentang diri Tan Wan-wan yang sebenarnya tanpa resiko bertengkar dengan Bu Sam-kui. Tetapi Helian Kong maju terus. Tanyanya sabar, "Saudara Bu, hanya itukah yang kau ketahui tentang Tan Wan-wan?”

“Saudara Helian, aku memang mencintainya dan tidak mau tahu tentang masa lalunya! Kau mau memfitnah dia dengan omongan apa lagi?”

“Saudara Bu, bagaimana aku bisa memfitnah seorang yang bersahabat denganku sejak kami masih sama-sama kanak-kanak di desa di dekat kota Soh-ciu?"

Bu Sam-kui sedikit kaget, "Jadi... Tan Wan-wan itu dengan...”

“Ya, Saudara Bu, aku dan dia dibesarkan bersama-sama sejak kanak-kanak di satu kampung. Kami saling kenal baik, keluarganya dan keluargaku juga berkenalan amat baik, rumah kami berseberangan. Aku tidak mungkin memfitnah dia sebab aku tidak membenci dia, bahkan kasihan kepadanya. Apa yang akan aku katakan tentang dia kepadamu, Saudara Bu, bukan fitnah atau menjelek-jelekkan dia, tapi kenyataan. Agar kau tahu siapa dia sebenarnya." Helian Kong sendiri tergores hatinya oleh kata-katanya sendiri, tetapi tidak kelihatan di wajahnya.

Sementara Bu Sam-kui masih juga bersikap amat tidak bersahabat, "Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan, Saudara Helian. Bukankah kau mau bilang kalau dia itu dulunya di Soh-ciu bisa diajak tidur oleh lelaki yang mana saja asal punya uang banyak? Wanita penghibur termahal di Soh-ciu? Aku sudah tahu, aku sudah tahu, dan aku tidak menghiraukan itu, aku akan tetap...”

“Saudara Bu juga sudah tahu kalau dia itu mata-mata kaum Pelangi Kuning, orang yang paling bertanggung-jawab untuk runtuhnya pemerintahan sah dinasti Beng?" Sergahan Helian Kong itu membuat Bu Sam-kui melongo.

Sementara Helian Kong melanjutkan, "Ya, dia adalah mata-mata Pelangi Kuning. Ciu Kok-thio mertua Sri Baginda Congceng menyelundupkan dia ke dalam istana, dengan tujuan menandingi kecantikan Tiau Kui-hui agar melepaskan Kaisar dari pengaruh Tiau Kui-hui. Ciu Kok-thio menyangka dialah yang memperalat Tan Wan-wan, padahal sebenarnya dialah yang diperalat kaum Pelangi Kuning untuk memasukkan Tan Wan-wan ke istana..."

Mulut Bu Sam-kui sudah bergerak hendak bicara, tetapi Helian Kong tidak memberi kesempatan, "Saudara Bu, tidakkah kau perhatikan, sejak Tan Wan-wan di istana, pasukan kita kedodoran terus di medan tempur? Setiap gerakan pasukan kita seperti sudah diketahui lebih dulu oleh musuh. Mulai dari Jenderal Su Toan-teng yang gugur mempertahankan Tong-koan...”

“Tidak! Jangan salahkan Tan Wan-wan untuk semuanya itu. Sri Baginda Cong-ceng tidak tahu menahu soal kemiliteran, tidak mungkin ia memberitahu rahasia kemiliteran kepada Tan Wan-wan lalu Tan Wan-wan seludupkan keterangan itu keluar istana. Saudara Helian, tuduhanmu itu ngawur!”

Kelihatannya Bu Sam-kui jengkel betul Tan Wan-wan dituduh, namun Helian Kong melanjutkannya, "Aku tidak ngawur. Memang Sri Baginda tidak tahu-menahu soal kemiliteran, tetapi para panglima selalu melapor kepada Sri Baginda setiap gerakan mereka, dan Tan Wan-wan selalu berada di dekat Baginda dan ikut mendengar laporan-laporan itu...”

“Itu hanya kebetulan.”

“Tidak. Semula aku juga tidak mencurigai dia, karena aku... tidak membenci dia, dia teman sekampung sejak kanak-kanak. Tetapi ketika aku dalam tahanan Li Giam setelah suatu pertempuran, samar-samar aku mendengar Li Giam dan pembantu-pembantunya menyinggung tentang orang kita di istana' sehingga begitu aku lolos kembali ke Pak-khia aku sudah berniat menyelidiki dan membongkar komplotan mata-mata Pelangi Kuning di Pak-khia, lebih-lebih di istana. Tetapi begitu sampai di Pak-khia, aku justru kena fitnah... Saudara Bu, kau tahu ceritanya..."

Bu Sam-kui menarik napas. Memang, waktu Helian Kong kembali dari medan perang dan bukan disambut sebagai pahlawan melainkan malah sebagai penjahat, gara-gara kasak-kusuk komplotan Co Hua-sun, waktu itu Bu Sam-kui tengah berada di Pak-khia. Bu Sam-kui termasuk dalam kelompok perwira-perwira yang membela nama baik Helian Kong.

Sampai terjadi pergolakan antara para perwira dan pengikut-pengikut Co Hua-sun yang membuat kota Pak-khia banjir darah karena pertempuran antara prajurit-prajurit kerajaan sendiri. Pergolakan itulah yang menghancurkan komplotan Co Hua-sun, dan memulihkan Helian Kong ke kedudukannya kembali.

Sesaat ruangan itu sunyi senyap, Helian Kong dan Bu Sam-kui yang semula seperti berebutan bicara, sekarang sama-sama membungkam, mengenang saat-saat itu. Helian Kong lah yang mulai berbicara,

"Saudara Bu, barangkali kau masih ingat, sehabis terhapusnya komplotan Co Hua-sun dari istana, tiba-tiba aku menghilang untuk sementara waktu...”

“Tentu saja masih ingat. Waktu itu Siangkoan Yan gelisah bukan main, dan sering menanyakan dirimu kepadaku. Tentu saja aku tidak tahu..."

Helian Kong mengangguk-angguk, agak lega mendengar suara Bu Sam-kui agak melunak. “Saudara Bu, menghilangnya diriku itu sebenarnya diketahui oleh Jenderal Ou Hin. Sayang, orangnya sudah meninggal, kalau belum bisa kau tanyakan kepadanya. Tetapi aku tidak bohong. Waktu itu dengan seijin Jenderal Ou Hin seorang diri, aku menghilang dengan tujuan melacak jejak mata-mata kaum Pelangi Kuning, mulai yang dari keroco-keroco dulu di dalam istana. Aku berhasil, bahkan aku melihat pertemuan rahasia mereka, aku juga melihat sendiri bagaimana Saudara Liong Tiau-hui mati sebagai seorang anggota Pelangi Kuning..."

Pandangan Bu Sam-kui menerawang. Liong Tiau-hui adalah perwira San-hai-koan juga, bersama-sama dengan Bu Sam-kui ditugaskan oleh Ang Seng-tiu untuk mohon bantuan dari pusat untuk San-hai-koan. Ternyata korupsi begitu merajalela di pusat pemerintahan, sehingga urusan penting pun takkan dilaporkan ke atas tanpa sogokan.

Begitu pula laporan dari San-hai-koan yang tertunda-tunda, sampai didengar kabar kalau Jenderal Ang di San-hai-koan sudah menakluk kepada pihak Manchu karena terlambatnya bantuan dari Pak-khia. Liong Tiau-hui di Pak-khia jadi kalap, dan karena kecewanya dia menyeberang ke pihak Pelangi Kuning, mencopot seragam perwira kerajaan Bengnya. Bu Sam-kui masih sering merasa masygul bila teringat sahabatnya itu.

Namun Helian Kong saat itu tidak sedang bercerita tentang Liong Tiau-hui, melainkan tentang usahanya sendiri menemukan pentolan mata-mata Pelangi Kuning di istana waktu itu. Kata Heiian Kong lebih lanjut, "Aku terus melacak mereka, menyamar sebagai seorang gelandangan. Dan aku makin dekat ke sasaran.

"Aku melihat di antara mata-mata Pelangi Kuning sendiri ternyata saling mengkhianati, antara orang-orangnya Li Giam dan orang-orangnya Gu Kim-sing. Orang-orang Gu Kim-sing banyak melaporkan tentang orang-orangnya Li Giam ke pihak kita sehingga banyak orang-orangnya Li Giam tertangkap oleh petugas-petugas kita.

"Tetapi itu urusan mereka, aku tidak membiarkan perhatianku bercabang, aku terus mengikuti jejak yang kutemukan. Aku sampai ke istana dan mengintai siapakah orang yang akan dikontak oleh mata-mata Li Giam itu. Aku memperkirakan pentolan mata-mata Pelangi Kuning yang diselundupkan ke istana itu adalah seorang laki-laki. Ternyata aku keliru besar. Dia adalah Tan Wan-wan, teman semasa kanak-kanakku sendiri..."

Bagaimanapun Helian Kong menahan perasaannya, tapi ketika ceritanya sampai di bagian ini, ada kepedihan tersorot di matanya. Tetapi Bu Sam-kui tidak melihatnya.

Helian Kong meneruskan, "Aku laporkan hasil penyelidikanku kepada Jenderal Ou Hin dan Puteri Tiang-ping. Ternyata Puteri Tiang-ping juga sudah lama mencurigai gerak-gerik Tan Wan-wan. Mendengar laporanku, Puteri Tiang-ping tidak meraba-raba lagi, melainkan langsung membuat rencana menyingkirkan Tan Wan-wan dari istana.

"Hanya saja, Puteri Tiang-ping tidak bermaksud membunuh atau menyakiti Tan Wan-wan, rencananya cukup asal Tan Wan-wan dijauhkan dari Sri Baginda dan tidak dapat lagi ikut mendengarkan laporan dan rencana para panglima kepada Sri Baginda.

"Rupanya Puteri Tiang-ping sudah mendengar riwayat Tan Wan-wan sehingga sedikit banyak bersimpati juga, sebagai sesama wanita. Saudara Bu, malam hari pada saat kau memergoki tandu Tan Wan-wan dikawal Siangkoan Yan itulah sebenarnya saat Tan Wan-wan disingkirkan dari istana oleh Puteri Tiang-ping..."

Panjang lebar Helian Kong menjelaskan kepada Bu Sam-kui, namun dasar Bu Sam-kui sudah mabuk kepayang kepada Tan Wan-wan, penjelasan Helian Kong itu masih dibantahnya juga,

"Hem, seorang pentolan mata-mata Pelangi Kuning sampai bisa berada di istana, bahkan di samping Sri Baginda sekian lama, itu tentunya peristiwa hebat, dan terbongkarnya pasti menimbulkan gelombang berita yang tak terbatas di Pak-khia saja. Tetapi kenapa saat itu keadaan tenang-tenang saja, tidak ada kegemparan, bahkan Sri Baginda menghadiahkan Tan Wan-wan kepadaku?”

“Saudara Bu, memang saat itu operasi penyingkiran Tan Wan-wan dilakukan secara diam-diam, hanya segelintir orang yang tahu, seperti Puteri Tiang-ping sendiri, aku, Siangkoan Yan dan Jenderal Ou Hin almarhum. Masalahnya karena hal ini menyangkut martabat pribadi Sri Baginda...”

“Tetapi kalau benar Tan Wan-wan itu orang berbahaya, kenapa dia dihadiahkan kepadaku, seorang panglima dinasti Beng yang menduduki pos strategis di San-hai-koan?”

“Maaf kalau aku harus mengatakan kenyataan ini kepadamu, Saudara Bu, Tan Wan-wan diberikan kepadamu sebenarnya dengan tujuan agar kau lebih mudah diatur..."

"Agar aku lebih mudah diatur? Memangnya aku tidak tahu aturan?"

Helian Kong tertawa, "Bukannya Saudara Bu tidak kenal aturan, tetapi agaknya api asmara mu kepada Tan Wan-wan membuat kau sering meninggalkan posmu di San-hai-koan dan keluyuran di Ibukota Pak-khia mencari berita tentang Tan Wan-wan. Padahal San-hai-koan adalah pos perbatasan penting yang tidak boleh keseringan ditinggal-tinggal oleh komandannya. Itulah sebabnya Tan Wan-wan dihadiahkan kepadamu, tetapi tetap harus ditinggal di Pak-khia...”

“Sebagai jaminan agar aku di San-hai-koan menjalankan tugas dengan baik, begitu?" tukas Bu Sam-kui, suaranya agak meninggi, agaknya ia malu bercampur gusar karena merasa dihadapkan ke sebuah cermin yang memperlihatkan betapa konyol kelakuannya sendiri. Ia membayangkan pula, banyak sesama panglima dinasti Beng tentunya diam-diam saat itu mentertawakannya di belakang punggungnya.

Helian Kong memahami perasaan Bu Sam-kui, "Saudara Bu tidak perlu tersinggung, orang jatuh cinta itu normal. Dan orang jatuh cinta sampai kelakuannya kurang terkendali dan kelihatan ganjil, itu juga normal. Tetapi sekarang aku memperingatkan Saudara tentang siapa diri Tan Wan-wan sebenarnya. Apakah pantas Saudara Bu hanya gara-gara Tan Wan-wan sampai mengundang masuk tentara Manchu untuk membantu menyerbu Pak-khia?

"Padahal saat ini Tan Wan-wan berada di tempat yang seharusnya. Ia seorang tokoh berjasa kaum Pelangi Kuning dan ia sekarang ada di antara orang-orang Pelangi Kuning, bukankah itu tempat yang semestinya? Ingat, mengundang masuk tentara Manchu melewati San-hai-koan bukan perkara kecil. Akibatnya bisa luas. Bagaimana kalau tentara Manchu kerasan di bagian dalam Tembok Besar ini dan emoh kembali ke luar Tembok Besar?"

Otak Bu Sam-kui bisa menerima kata-kata Helian Kong, tetapi hatinya yang dipenuhi bayangan Tan Wan-wan itu belum bisa. Dan kata pepatah, "Alangkah jauhnya jarak antara otak dan hati..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.