Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 09

Novel silat karya Stevanus S.P serial Helian Kong seri kembang jelita peruntuh tahta bagian dua jilid 09

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II - Hati Jai Yong-wan agak tergetar mendengar nama itu, dan getarannya merambat ke kedua lengannya sehingga mangkuk besar di atas nampan yang dibawanya itu agak bergetar sedikit dan itu tidak lolos dari pandangan tajam Helian Kong. Cepat-cepat Jai Yong-wan menenangkan dirinya lalu berkata dengan ramah,

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Sungguh malam ini aku beruntung bisa berhadapan muka dengan panglima yang gagah perkasa itu. Tuan Helian, terimalah salam hormatku..."

Ketika itu Bu Sam-kui sudah menyambut nampan dari tangan Jai Yong-wan sehingga Si Saudagar Korea itu tidak memegang apa-apa. Kesempatan itu digunakan oleh Helian Kong untuk maju mendekatinya sambil mengulur tangan mengajak berjabat, sambil berkata,

"Aku juga gembira bahwa sahabatku Bu Sam-kui di San-hai-koan ini punya teman bertukar pikiran yang berbobot seperti Tuan Jai ini..."

Begitu Jai Yong-wan menyambut jabat tangan itu, terjadilah "acara" saling mengukur kekuatan antara Helian Kong dan Jai Yong-wan lewat jabat-tangan itu. Jai Yong-wan menyadari kalau dirinya pasti sulit untuk sama sekali menyembunyikan kekuatannya dari orang seperti Helian Kong, nalurinya sudah memperingatkan itu.

Maka ia pun sengaja mengadakah perlawanan agar tidak menimbulkan kesan ingin menyembunyikan sesuatu yang malah akan menimbulkan kecurigaan.

Begitulah, beberapa saat kedua tangan itu saling genggam bagaikan dua buah jepitan besi yang sama-sama berkarat, sampai terlihat muka Jai Yong-wan penuh butiran keringat vang besar-besar dan agak menyeringai menahan sakit.

“Kau hebat, Tuan Helian, berbaik hatilah kepadaku...." desis Jai Yong-wan.

Helian Kong melepaskan pegangannya sambil tersenyum, "Maaf, Tuan Jai ini juga hebat."

Jai Yong-wan pun berdalih untuk membenarkan pemilikan kemampuan silatnya itu, "Sekedar untuk menjaga diri, Tuan Helian. Di jaman susah ini ada banyak orang nekad yang tidak segan-segan menghadang siapa pun yang kelihatan punya uang, terutama kaum saudagar seperti aku ini.”

“Kan bisa menyewa pengawal-pengawal sewaan?”

“Kadang-kadang, meskipun jarang, justru pengawal-pengawal sewaan itu memakan sendiri orang yang menyewanya. Seperti pagar makan tanaman, begitulah.."

Alasan itu masuk akal, tetapi Helian Kong tetap merasa ada sesuatu yang tersembunyi dalam pribadi Jai Yong-wan. Helian Kong kurang setuju kalau Bu Sam-kui bersahabat dengan orang ini, tapi ia tidak bisa melarang Bu Sam-kui karena tidak punya alasan yang kuat, tentu saja ia tidak dapat melarang Bu Sam-kui hanya berdasar perasaannya saja dan orang lain hanya disuruh mengikuti apa yang dia rasakan sendiri.

“Bu Sam-kui dari dulu memang begini, tidak pernah berpikir panjang dan selalu ambil gampangnya saja...." keluh Helian Kong dalam hati. “Mudah-mudahan tidak sampai melangkah ke tindakan yang gegabah, dan aku harus sering-sering mengunjunginya..."

Setelah mencicipi semangkuk kecil kuah jinsorn kiriman Jai Yong-wan, untuk melegakan hati Bu Sam-kui. Helian Kong pun meninggalkan tempat itu dengan alasan akan kembali ke pasukannya.

“Aku akan mengambil seorang anak buahku untuk mengantarmu sampai keluar kota San-hai-koan, Saudara Helian....." usul Bu Sam-kui.

“Tidak usah," sergah Helian Kong, namun tiba-tiba terlintas juga sesuatu di benaknya, sehingga ia buru-buru meralat kata-katanya sendiri, "Eh, tetapi kalau Saudara Bu ingin mengantarku juga, aku dengan senang hati tidak bisa menolak." Maksud Helian Kong adalah ingin mencari kesempatan berbicara empat mata untuk memperingatkan agar Bu Sam-kui berhati-hati terhadap Jai Yong-wan.

Namun Bu Sam-kui saat itu sedang dalam keadaan amat penat setelah seharian memeras tenaga bersarna prajurit-prajuritnya mempertahankan tembok San-hai-koan. Apalagi setelah perutnya kemasukan kuah jinsom yang hangat, ia jadi malas bangkit dari kursinya. Tetapi mengingat Helian Kong sudah jauh-jauh datang bersama pasukannya hanya untuk membantunya, tidak enak juga untuk menolak.

Maka dengan sangat enggan ia bangkit dari kursinya, sambil berkata kepada Jai Yong-wan, "Tuan Jai, jangan pergi dulu, aku masih ingin mengobrol banyak dengan Tuan. Aku pergi hanya sebentar, mengantar Saudara Helian ini."

Jai Yong-wan cuma mengangguk sambil tersenyum ramah sekali, tetapi dalam hatinya sudah merasa kalau Helian Kong mencurigainya, dan juga sudah menebak kalau ajakan Helian Kong kepada Bu Sam-kui itu tentu hanya untuk memberi peringatan.

Tidak lama kemudian, Bu Sam-kui dan Helian Kong sudah berdiri di atas tembok kota San-hai-koan di bagian yang menyambung dengan Tembok Besar yang berliku-liku ribuan kilometer seperti ular raksasa itu. Di bawah langit yang berhiaskan bintang-bintang.

Di tempat itulah Helian Kong memperingatkan Bu Sam-kui, "Saudara Bu, berhati-hatilah terhadap orang yang bernama Jai Yong-wan itu. Jangan terlalu percaya kepadanya.”

“Kenapa?”

“Sulit dijelaskan, sebab ini hanya berdasar naluriku. Pokoknya berhati-hatilah. Aku tidak menganjurkan Saudara Bu memusuhinya, cuma berhati-hati saja tiada jeleknya."

Bu Sam-kui hanya menghembuskan napas, memandang ke rangkaian Tembok Besar yang menjulur ke arah kegelapan malam. Dalam hati ia menganggap Helian Kong kelewat was-was. Toh mulutnya menjawab, "Baik, Saudara Helian."

Helian Kong tidak mendengar nada bersungguh-sungguh dalam jawaban Bu Samkui itu, namun ia tidak bisa memaksakan suatu sikap kepada orang lain. Cuma mulutnya berkata juga, "Selamat malam, Saudara Bu, aku akan sering-sering mengunjungimu untuk menyatukan langkah-langkah militer kita.”

“Selamat malam, Saudara Helian."

Kemudian Helian Kong pun melangkah menyusuri Tembok Besar itu dan lenyap di kegelapan. Sedangkan Bu Sam-kui buru-buru kembali ke rumah kediamannya untuk menjumpai Jai Yong-wan yang masih menunggu. Mereka mengobrol sampai jauh malam, dan ternyata Jai Yong-wan. dalam percakapan itu tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan.

Ia tidak bertanya tentang keterangan-keterangan militer, sehingga Bu Sam-kui bertambah yakin kalau Helian Kong sekedar berprasangka terhadap Hai Yong-wan. Bu Sam-kui yang tidak berpikiran jauh itu tidak saJai bahwa Jai Yong-wan memang sengaja menahan diri, sebab ia sudah menduga adanya peringatan Helian Kong kepada Bu Sam-kui ketika Bu Sam-kui "mengantar" tadi.

Demikianlah, selagi Helian Kong merasa tidak tenteram karena Bu Sam-kui berdekatan dengan orang macam Jai Yong-wan, orang yang dikhawatirkan sendiri malahan menganggap Jai Yong-wan tidak berbahaya sama sekali dan sebagai rekan berbincang yang menyenangkan.

Menjelang tengah malam, Jai Yong-wan berpamitan pulang, tapi tanpa diketahui Bu Sam-kui atau siapa pun juga, Jai Yong-wan pulang ke rumahnya hanya sebentar, hanya untuk mengganti jubah saudagarnya dengan pakaian pejalan malam (Ya-heng-ih) yang berwarna gelap dan berpotongan ringkas, lengkap dengan kedok yang menutupi sebagian besar wajahnya. Lalu dia pun bergerak seperti burung yang terbang entah ke mana.


Sebelum fajar menyingsing, seluruh pasukan San-hai-koan sudah bersiap-siap di atas tembok kota, kalau dilihat sepintas dari kejauhan akan kelihatan seperti burung-burung gereja yang hinggap di bubungan. Sebagian pasukan yang semalam bertugas jaga, mendapat giliran beristirahat.

Di atas tembok sudah bertimbun-timbun sejumlah besar panah, lembing, batu, balok-balok kayu, bahkan karena persediaan batu di San-hai-koan agak menipis, maka pot-pot kembang yang besar-besar milik penduduk San-hai-koan pun sudah diminta dan diangkut ke atas tembok. Pot kembang besar berisi tanah itu cukup berat dan kalau menimpa kepala pastilah rasanya akan cukup lumayan.

Ada sedikit perbedaan suasana hari itu. Para prajurit kelihatan agak lebih bersemangat, meskipun tanda-tanda kelelahan juga nampak di wajah mereka. Yang membuat prajurit-prajurit itu lebih bergairah ialah karena sudah beredarnya berita bahwa pasukan Helian Kong berada dekat San-hai-koan dan akan mengganggu gerak maju pasukan Lau Cong-bin dari belakang.

Prajurit-prajurit San-hai-koan merasa besar hati, sebab mereka pernah mendengar kemasyhuran Helian Kong, dan pasukannya juga terkenal sebagai prajurit-prajurit terlatih. Bu Sam-kui lah yang memerintahkan penyebar-luasan berita itu untuk membakar semangat prajurit-prajuritnya.

Bahkan oleh Bu Sam-kui ditambah-tambahi sendiri, "Pasukan-pasukan lain selain pasukan Helian Kong juga sedang bergabung kemari....."

Begitulah, prajurit-prajurit San-hai-koan jadi lebih bergairah hari itu. Rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu musuh muncul berbondong-bondong dari ujung dataran seperti kemarin. Tetapi hari itu agak lain, selagi pengawal San-hai-koan bersemangat, malahan musuh tidak muncul.

Entah kenapa. Sampai matahari mencapai sepertiga dari busur perjalanannya, tidak satu pun prajurit Pelangi Kuning yang muncul di dataran di luar tembok kota. Ketika Bu Sam-kui meneropong dengan teropong Portugisnya, ia melihat perkemahan musuh masih berada di tempatnya, dan masih kelihatan ada orang-orang bersenjata yang hilir mudik meskipun mereka kelihatan seukuran semut.

“Bagaimana, Panglima?" tanya seorang perwira yang berdiri di sebelahnya.

“Mereka masih di tempatnya, dan tidak ada tanda-tanda akan mulai bergerak.”

“Mungkinkah mereka lelah setelah tiga hari berturut-turut menggempur tanpa hasil, bahkan dengan kehilangan banyak prajurit?”

“Ya. Mungkin juga. Tetapi mungkin juga Helian Kong dan pasukannya mulai beraksi, sehingga perhatian musuh beralih kepada pasukan Helian Kong, untuk memberi kesempatan istirahat kita....." sengaja Bu Samkui mengeluarkan perkataan yang hanya dugaan itu, untuk mengobarkan semangat prajuritnya.

Bu Sam-kui beberapa saat lamanya berjalan-jalan di sepanjang tembok untuk memeriksa kesiapan pasukannya. Kemudian memberi pesan kepada komandan-komandan bawahannya, "Pasukan boleh sedikit santai, tetapi jangan abaikan gerak-gerik musuh. Kita harus tetap waspada, tetapi jangan tegang sehingga cepat lelah.”

“Baik, Panglima." Ketika itulah seekor kuda berderap di kaki tembok kota bagian dalam, dan penunggangnya yang adalah seorang perwira melompat turun dari kudanya dan berlari-lari menaiki undakan tembok dengan mengabaikan penghormatan beberapa prajurit yang berpapasan.

Dia adalah Li Lim-hong, kepala bagian perbekalan pasukan San-hai-koan. Tubuhnya gemuk dan nampak agak bersusah-payah menaiki undakan, meskipun demikian Bu Sam-kui hampir bisa memastikan bahwa yang akan dilaporkannya adalah sesuatu yang berlawanan dengan keadaan tubuhnya yang gemuk itu, yaitu persoalan kekurangan bahan makanan bagi seluruh pasukan.

Setibanya di atas tembok, Li Lim-hong sudah berpeluh kuyup, dan sambil mengusap-usap peluh di dahinya, ia hendak memulai laporannya, "Panglima, bahan makanan...."

Cepat-cepat Bu Sam-kui menukas, "Jangan bicara di sini. Mari ke markas.." Lalu Bu Sam-kui mulai menuruni tembok.

Dan L i Lim-hong yang baru saja terengah-engah naik itu sekarang harus menuruni kembali membawa tubuh gendutnya, sehingga ia mengeluh dalam hati tetapi tidak berani mengutarakannya terang-terangan. Maklum kalau Bu Sam-kui khawatir laporan Li Lim-hong bakal menurunkan semangat para prajurit yang sedang berkobar naik.

Mereka berkuda berdua menuju ke markas, namun di tengah jalan Bu Sam-kui sudah tidak 1tahan lagi dan bertanya, "Apa yang hendak kau laporkan?"

Seperti dugaan Bu Sam-kui ternyata, jawaban Li Lim-hong, "Bahan makanan yang kita kumpulkan tempo hari mestinya cukup untuk setengah bulan lebih, tetapi gara-gara kebakaran gudang perbekalan itu, hari ini persediaan sudah menipis. Besok masih bisa makan, tapi besoknya lagi entahlah..."

Bu Sam-kui bungkam, tak tahu harus menjawab bagaimana. Yang terdengar hanyalah derap langkah kaki kuda mereka berdua.

Li Lim-hong memberanikan diri mengajukan usul, "Panglima, bagaimana kalau... kalau. kita ambil lagi persediaan penduduk kota? Tentu sedikit-sedikit masih bisa kita kumpulkan perbekalan untuk satu-dua hari.."

Bu Sam-kui masih belum menjawab. Ketika itu mereka sedang melewati perumahan penduduk San-hai-koan. Dari dalam sebuah rumah di pinggir jalan, terdengar suara pertengkaran hebat suami isteri, ada suara perempuan menjerit-jerit, anak-anak menangis, panci-panci dibanting.

Lalu pintu depan tiba-tiba terbuka, seorang lelaki setengah umur yang memegang golok pencacah daging di tangannya tiba-tiba menghadang di hadapan Bu Sam-kui dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan goloknya,

"Ini biang keladinya! Kalian telah merampok persediaan makanan keluargaku beberapa hari yang lalu, sampai anak isteriku hampir mati kelaparan..."

Lalu dengan keberanian yang tidak masuk akal, ia berlari menerjang ke arah Bu Sam-kui sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Rupanya ia sudah benar-benar nekad karena tekanan kesulitan hidup yang serasa tidak tertahankan lagi.

Li Lim-hong jadi gusar, ia sudah mencabut goloknya dan hendak menerjangkan kudanya menyongsong orang nekad itu, tetapi tangan Bu Sam-kui menyambar tali kendali kudanya sehingga kuda itu tidak dapat maju. Kata Bu Sam-kui, "Kita cari jalan lain."

Li Lim-hong tidak berani membantah. Ketika Bu Sam-kui memutar kudanya dan lewat jalan lain, Li Lim-hong mengikutinya meskipun sesekali masih menoleh kepada orang itu.

Merasa tidak mampu mengejar larinya kuda-kuda itu, orang tadi mencak-mencak sendiri di tengah jalan sambil memaki-maki prajurit-prajurit San-hai-koan, dari panglimanya sampai prajurit yang paling rendah.

Li Lim-hong masih sempat mendengarnya, dan berkata dalam hatinya, "Nanti malam teruslah kubereskan orang itu secara diam-diam. Jangan sampai perkataannya menyebar dan mempengaruhi penduduk San-hai-koan sehingga tidak mau menyetor bahan makanan lagi. Untung sekali aku sendiri masih menyimpan persediaan di rumahku..."

Sedangkan, dalam perjalanan berkuda ke markasnya, Bu Sam-kui rasanya tidak sanggup bertatap-muka dengan penduduk San-hai-koan yang berpapasan dengannya. Meskipun orang-orang yang berpapasan itu menunduk atau mengangguk hormat, tetapi rasa-rasanya mata mereka menyodorkan tuduhan kepada Bu Samkui, seolah Bu Sam-kui lah yang menyebarkan kelaparan di seluruh kota itu.

Bu Sam-kui merasa beban yang terlalu berat menindih hatinya. Ketika itulah Li Lim-hong menjajarkan kudanya dan mengulangi usulnya yang tadi, "Panglima, bagaimana dengan usulku tadi? Saat ini penduduk San-hai-koan masih punya persediaan bahan makanan serba sedikit, mudah-mudahan..”

“Tidak!” sahut Bu Sam-kui tegas.

“Panglima punya cara lain?”

“Sedang aku pikirkan cara yang tidak memberatkan penduduk. Aku tidak mau penduduk sampai membenci kita, sebab penduduk itulah tempat kita berakar..."

Diam-diam Li Lim-hong menggeleng-geleng kurang setuju, untung Bu Sam-kui tidak melihatnya. Kata Li Lim-hong, "Panglima terpengaruh oleh kata-kata orang gila tadi? Seharusnya Panglima tidak perlu terlalu menghiraukannya, kata-kata orang tadi tidak mewakili kata hati seluruh penduduk San-haikoan. Orang tadi hanya seorang yang mementingkan diri sendiri, sedangkan aku yakin kalau sebagian besar penduduk San-hai-koan masih bersedia berkorban demi....”

“Cukup! Usulmu aku tolak!”

"Tetapi, Panglima, masalahnya mendesak...”

“Sudah aku bilang, aku sedang memikirkannya!”

"Perut lapar tidak bisa menunggu, Panglima.”

“Perut prajurit bisa."

Li Lim-hong menghembuskan napas dengan kesal. Tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi. Saat itu seekor kuda berderap dari depan, ditunggangi seorang prajurit. Tiba di depan Bu Sam-kui, prajurit itu menghentikan kudanya dan melompat turun serta memberi hormat kepada Bu Sam-kui dan Li Lim-hong.

“Lapor, Panglima.....”

“Ada apa? Apakah musuh bergerak lagi?"

"Bukan begitu, Panglima. Saya adalah prajurit yang berjaga-jaga di tembok arah timur-laut." Tembok timur laut adalah yang menghadap ke wilayah negeri Manchu. Meskipun Bu Sam-kui sedang menghadapi tekanan berat dari arah barat dan selatan oleh kaum Pelangi Kuning, namun ia tetap mewaspadai sisi timur-laut, sisi yang menghadapi wilayah Manchu.

"Meskipun ada laporan yang mendengar bahwa balatentara Manchu sudah ditarik menjauhi perbatasan, begitu juga laporan Jai Yong-wan yang suka keluyuran sebagai saudagar jin-som, Bu Samkui tidak mengurangi kewaspadaan di sisi timur-laut. Kini mendengar seorang penjaga sisi timurlaut hendak melapor, Bu Sam-kui sudah berdebar-debar lebih dulu.

Belum-belum pikirannya sudah membayangkan yang buruk dulu. Disangkanya pihak Man-chu juga sudah bergerak untuk menggencet San-hai-koan sebagai "pintu gerbang" strategis antara wilayah luar Tembok Besar dengan dalam 21 Tembok Besar. Kalau apa yang ditakutkan itu benar, ia dan pasukannya yang kecil itu harus menghadapi dua balatentara kuat dari dua jurusan.

“Orang Manchu?" tanya Bu Sam-kui tegang.

“Benar, Panglima." Jantung Bu Sam-kui sudah mengamuk seperti tambur yang ditabuh seorang pemabuk berat. “Berapa kekuatan mereka kira-kira?”

“Sepuluh orang."

Bu Sam-kui membelalakkan matanya, "He, prajurit sinting, bicaralah yang benar.”

“Benar, Panglima. Mereka hanya sepuluh orang prajurit berkuda, membawa bendera putih dan mereka sekarang sedang menunggu dibukai pintu. Itulah sebabnya aku mencari Panglima untuk minta ijin sebab tidak berani bertindak lancang."

Bu Sam-kui batal ke markasnya, melainkan membelokkan kudanya ke arah tembok timur, diikuti Li Lim-hong dan prajurit yang melapor itu. Setelah Bu Sam-kui ada di atas tembok, ia melihat di daratan di luar tembok memang nampak sepuluh orang prajurit berkuda Manchu yang termangu-mangu menunggu dibukai pintu.

Salah seorang dari mereka membawa bendera putih sebagai isyarat agar tidak diserang. Karena prajurit-prajurit Manchu itu bercaping, maka wajah mereka jadi tidak kelihatan dari atas tembok. Yang kelihatan dari atas tembok hanyalah bundaran-bundaran caping mereka yang berhias benang-benang merah di pucuknya dan hiasan bulu burung merak yang rebah ke belakang.

Bu Sam-kui berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku akan menunggu mereka di markas. Bukakan pintu buat mereka, dan jangan lupa, lucuti senjata mereka sebagai tanda kedaulatan kita atas kota San-hai-koan.”

“Baik, Panglima." Bu Sam-kui lalu bergegas menuju markasnya untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk "menyambut" utusan-utusan Manchu itu. Biarpun San-hai-koan sedang dijepit kesulitan rasaksa, tetapi Bu Sam-kui tidak mau kelihatan lemah, ia ingin menunjukkan kepada tamu-tamu Manchu itu bahwa San-hai-koan "tetap kuat".

Sementara Bu Sam-kui kembali ke markas, prajurit-prajurit San-hai-koan yang berjaga-jaga di pintu pun membukakan pintu gerbang dan membiarkan prajurit-prajurit berkuda Manchu itu masuk. Ketika para pengawal San-hai-koan melaksanakan perintah Bu Sam-kui untuk melucuti orang-orang Manchu itu.

Di luar dugaan bahwa orang-orang Manchu itu begitu "jinak" sehingga tanpa bantahan sedikit pun lalu menitipkan senjata-senjata mereka kepada pengawal-pengawal pintu gerbang.

Kemudian barulah mereka di kawal ke markas Bu Sam-kui oleh satu regu prajurit San-hai-koan yang sudah dipersiapkan. Markas Bu Sam-kui sendiri dijaga jauh lebih ketat dari hari-hari biasanya. Ada satu regu di depan pintu, satu regu di seberang markas, satu regu di halaman dalam, dan belasan pengawal pilihan yang akan berdiri di belakang kursinya Bu Sam-kui.

Bagaimanapun, selain untuk menunjukkan kewibawaan, hal itu juga perlu untuk berjaga-jaga sebab bagaimanapun juga mereka belum tahu apa maksud kedatangan orang-orang Manchu itu. Bu Sam-kui sudah duduk gagah di kursinya yang berlapis kulit macan tutul, ketika rombongan orang Manchu tiba.

Pengawal-pengawal berdiri di belakangnya, dan komandan-komandan bawahan berdiri berderet sepanjang dinding kiri dan kanan, semuanya berseragam lengkap dan mentereng. Sepuluh orang Manchu itu pun melangkah ke dalam ruangan, tanpa senjata. Yang berjalan paling depan nampak tenang dan penuh senyuman. Ia seorang berusia setengah umur dengan kumis dan jenggot kelabu.

Tetapi begitu mengenali wajah orang ini, Bu Sam-kui amat kaget sehingga hampir melompat dari kursinya. “Kau... kau..." katanya tergagap sambil menudingkan telunjuknya.

Orang itu tersenyum, dan berbicara bahasa Han dengan fasih, "Betul, Saudara Bu. Baik-baikkah keadaanmu selama ini, selama berpisah dengan aku?"

Sesaat Bu Sam-kui jadi bertingkah canggung. Perwira-perwira bawahannya yang belum lama berada di bawah perintahnya, menjadi heran melihat tingkah Panglima mereka itu. Tetapi buat panglima-panglima yang sudah lama bertugas di San-hai-koan, bahkan ada yang lebih dahulu di San-hai-koan, bisa memaklumi sikap Bu Sam-kui, sebab mereka sendiri mengenal pimpinan rombongan Manchu itu.

Orang itu bernama Ang Seng-tiu, bekas seorang perwira dinasti Beng yang bertugas di San-hai-koan sejak jamannya Henderal Wan Cong-hoan yang legendaries itu. Jenderal Wan Cong-hoan adalah pahlawan dinasti Beng yang berhasil menewaskan raja Manchu, Kaisar Thai-cong, ayahanda Kaisar Sun-ti yang bertahta saat itu meskipun masih bocah.

Ang Seng-tiu adalah bawahan Jenderal Wan waktu itu, begitu pula Bu Sam-kui yang masih perwira menengah. Ternyata kemenangan besar Jenderal Wan Cong-hoan itu bukannya disambut baik di Pakkhia, ibukota dinasti Beng, malah ada segolongan orang dengki yang khawatir kalau kejayaan Jenderal Wan akan membuatnya semakin kuat dan membahayakan kedudukan orang-orang dengki itu.

Orang-orang yang dengki ini lalu mempengaruhi Kaisar Cong-ceng yang berpendirian lemah. Akhirnya Jenderal Wan Cong-hoan dipanggil pulang ke Ibukota Pak-khia bukan untuk menerima hadiah atas jasa-besarnya, melainkan malah menerima hukuman mati.

Pasukan di San-hai-koan yang setia kepada Jenderal Wan pun tergoncang, penasaran, melorot semangatnya, kecewa dan berduka ketika mendengar tentang matinya Jenderal Wan itu. Kemudian Ang Seng-tiu menjadi Panglima San-hai-koan menggantikan Wan Cong-hoan.

Karena kemerosotan semangat pasukan gara-gara dihukum matinya Jenderal Wan, pasukan dinasti Beng jatuh dalam posisi bertahan yang terus-menerus "digebuki" oleh pasukan Manchu, kebalikan dari keadaan di jaman pimpinannya Jenderal Wan.

Suatu kali, ketika keadaan San-hai-koan begitu mengkhawatirkan, Jenderal Ang mengirim utusan ke Pak-khia untuk mohon bantuan. Yang dikirim adalah Bu Sam-kui dan seorang perwira lain bernama Liong Tiau-hui. Tiba di Ibukota Pak-khia, Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui bersusah-payah mencari jalan untuk dapat menghadap Kaisar Cong-ceng dan mengabarkan keadaan San-hai-koan yang gawat.

Tetapi mereka tertahan lama oleh birokrasi ruwet di sekitar istana, sampai mereka kehilangan kesabaran karena kehabisan bekal untuk menyuap ke sana ke mari, mereka belum juga berhasil menghadap kaisar. Sampai mereka dengar bahwa Jenderal Ang Seng-tiu di San-hai-koan menjadi begitu putus asa dan menyerah kepada Manchu setelah tertangkap dalam suatu pertempuran.

Liong Tiau-hui, teman Bu Samkui, menjadi begitu kalap sehingga berusaha menerobos penjagaan untuk menemui Kaisar Cong-ceng ketika Kaisar menghadiri pesta di rumah Bangsawan Ciu Kok-thio, mertua Kaisar.

Liong Tiau-hui dikira pembunuh yang bermaksud jahat atas diri Kaisar, dan dia hampir saja mati dibunuh oleh pengawal-pengawal kaisar, seandainya tidak diselamatkan oleh seorang tokoh pemberontak Pelangi Kuning.

Liong Tiau-hui akhirnya bergabung dengan golongan Pelangi Kuning yang sedang berusaha menumbangkan dinasti Beng lewat pemberontakan. Sedang Bu Sam-kui cepat-cepat dikirimkan ke San-hai-koan untuk menggantikan kedudukan Ang Seng-tiu. Sampai dinasti Beng runtuh dan kaum Pelangi Kuning berkuasa, Bu Sam-kui tetap bertahan di San-haikoan.

Kini, berhadapan dengan bekas panglima atasannya itu, bekas atasan yang sekarang berpakaian pembesar negeri Manchu, Bu Samkui benar-benar tidak siap mental. la menarik napas beberapa kaJi untuk meredakan debar jantungnya, kemudian berusaha bersikap dingin,

"Jenderal Ang, hampir-hampir tidak kupercayai mataku bahwa yang berdiri di hadapanku dengan seragam pembesar negeri asing, negeri musuh bebuyutan bangsa Han ini, adalah kau! Ternyata kau masih punya muka juga menjumpaiku."

Sikap Bu Sam-kui dingin dan sama sekali tidak ramah, bahkan meskipun di ruangan itu sebenarnya sudah disediakan kursi-kursi untuk para tamu, namun setelah Bu Sam-kui mengetahui bahwa pemimpin rombongan Manchu itu adalah Ang Seng-tiu, maka Bu Sam-kui tidak mempersilakannya duduk. Dibiarkannya tamu-tamunya tetap berdiri saja.

Sementara Ang Seng-tiu ketika melangkah masuk ke ruangan itu, agaknya angan-angannya juga melayang ke masa silam. Di ruang itu pula ia dulu duduk sebagai Panglima San-hai-koan, sebelum ia tertangkap oleh orang Manchu dalam suatu pertempuran, kemudian ia menakluk kepada orang Manchu dan mendapat kedudukan.

Kini ia melihat ruangan itu masih seperti dulu, bedanya sekarang ia adalah orang asing yang diterima dengan tidak ramah. Ang Seng-tiu menarik napas beberapa kali, mengendalikan emosinya, lalu berkata, "Saudara Bu..."

Bu Sam-kui cepat-cepat menukas, "Sebut aku dalam kedudukan resmiku, Jenderal Ang.”

“Baik, Jenderal Bu. Aku memahami sikapmu sekarang ini, tetapi tidakkah kau punya tata krama menyambut utusan dari suatu negara yang berdaulat, meskipun negara yang kau anggap musuh sekali pun?”

“Silakan duduk," akhirnya Bu Sam-kui memenuhi juga tata-krama itu.

“Terima kasih," sahut Ang Seng-tiu yang mengambil tempat duduk lebih dulu, diikuti anggota rombongannya. Ketika duduk di kursi itu, lagi-lagi hati Ang Seng-tiu tersentuh. Pegangan kursi sebelah kiri itu gumpil sedikit ujungnya, dan Ang Seng-tiu teringat ia pernah memarahi seorang prajurit bawahannya yang menggotong kursi itu kurang hati-hati sehingga terbentur ambang pintu sedikit. Tak terasa Ang Seng-tiu mengelus bagian kursi yang gumpil itu dengan ujung jarinya.

“Nah, Jenderal Ang, Anda membawa pesan apa dari majikan Anda yang baru?"

Ang Seng-tiu berusaha untuk tidak terpengaruh oleh sindiran-sindiran tajam yang dilontarkan Bu Sam-kui itu, melainkan langsung ke pokok persoalannya. “Jenderal Bu, kami sudah mendengar kesulitan pasukanmu.....”

“Tunggu! Kesulitan pasukan siapa?"

Ang Seng-tiu melengak sejenak, lalu mengalah dengan mengubah istilahnya, "O, maaf kalau kau tidak suka istilah itu, Jenderal Bu. Baik. Kami sudah mendengar tentang pertempuran gigih yang sudah berlangsung beberapa hari antara kalian dan kaum Pelangi Kuning. Aku pribadi kagum akan kegigihan dan keteguhan tekad prajurit-prajurit San-hai-koan yang berhasil bertahan melawan musuh yang jauh lebih besar. Meski aku bukan prajurit Sanhai-koan lagi, tetapi aku ikut berbangga karenanya....."

Sesaat suasana sunyi, kedengarannya suara Ang Seng-tiu bersungguh-sungguh. Kemudian Ang Seng-tiu meneruskan, "Aku membawa pesan dari Sri Baginda Sun-ti...." ketika mau tidak mau menyebut Raja Manchu itu dengan sebutan yang hormat, mau tidak mau wajah Ang Seng-tiu agak merah dan sikapnya agak kikuk, tetapi dilanjutkannya juga,

"....bahwa sejak dulu negeri Manchu sebenarnya tidak punya niat menyerbu ke sebelah selatan Tembok Besar. Kami orang-orang Manchu...."

Lagi-lagi kuping Ang Seng-tiu merah sendiri karena ia orang Han, apalagi karena Bu Sam-kui berdehem keras, namun Ang Seng-tiu terus berkata,

"...maksudku, orang-orang Manchu (kali ini Ang Seng-tiu melirik dengan sungkan kepada pengiring-pengiringnya sendiri) bisa memperhitungkan berapa jumlah penduduk Manchu dan berapa jumlah penduduk Tionggoan, mungkinkah penduduk Manchu yang sedikit itu menelan negeri yang begini luas?"

"Hem, tetapi orang Manchu terus-menerus mengadakan perlawanan kepada pemerintah dinasti Beng, sejak jaman mendiang Kaisar Thian-ke," bantah Bu Sam-kui.

“Apakah itu bukan maksud menjajah negeri bangsa Han untuk mengulangi kejadian jaman Kim dulu?"

Memang berabad-abad yang lalu, wilayah Liau-tong (wilayahnya bangsa Manchu) adalah sebuah negeri tersendiri yang disebut negeri Kim. Ketika daratan Cina terbelah dua oleh Kerajaan Liao di utara dan Song di selatan, maka negeri Kim ini adalah taklukan Liao.

Kemudian negeri Kim berhasil menjadi kuat dan mengalahkan Liao, ganti Liao yang menjadi taklukan Kim dengan secuil sisa wilayahnya di bagian barat yang disebut Se-liao (Liao Barat), Kim juga mendesak Song lebih ke selatan sehingga disebut jaman Lam-song, atau Song Selatan.

Sementara Kim tumbuh menjadi kekuatan besar, di gurun utara bangkit kekuatan yang lebih besar, yaitu bersatunya suku-suku Mongol yang semula terpecah-belah, bersatu di bawah Jengish Khan yang menyapu 3ke selatan, sekaligus menghapuskan Kim, Seliao maupun Lam-song dari peta. Bahkan pengembaraan Jengish Khan ke wilayah barat menjadi legenda.

Ratusan tahun kemudian, ketika rakyat Tiong-goan bangkit menumbangkan penjajah Mongol, rakyat Tionggoan mendirikan Kerajaan Beng, dan saat itu bekas wilayah Se-liao maupun Kim masuk menjadi wilayah Beng yang diperintah orang-orang suku bangsa Han.

Orang-orang bekas penduduk Se-liao dengan cepat melebur dan melupakan kalau mereka keturunan Liao, mereka menganggap diri juga sebagai bangsa Han, meskipun tampangnya agak berbeda. Tetapi orang-orang bekas wilayah Kim di timur laut agaknya lebih sulit membaur dengan suku penguasa, suku Han. Mereka masih teringat kejayaan masa lalu, kejayaan negeri Kim.

Tahun 1616, ketika dinasti Beng di jamannya Kaisar Sin-cong (1557-1620) keropos, orang-orang di bekas wilayah negeri Kim ini melepaskan diri dari dinasti Beng, mendirikan dinasti Ceng yang disebut juga Hau-kim (Kim Baru) dan mengangkat Kaisar Thai-cou.

Peristiwa inilah yang disebut oleh Bu Sam-kui tadi. Ang Seng-tiu dengan tangkas menangkisnya, "Jenderal Bu, peristiwa penobatan Sri Baginda Thai-cong di kota Jiat-ho itu adalah sebuah pernyataan kemerdekaan dari suatu kaum yang berhak merdeka. Tak berbeda dengan ketika bangsa Han menobatkan Cu Goan-ciang untuk menggantikan penguasa-penguasa Mongol."

Pengiring-pengiring Ang Seng-tiu mengangguk-angguk mendukung kata-kata Ang Seng-tiu itu. Sementara Ang Seng-tiu melanjutkan, "Setelah bangsa Man-chu merdeka, mereka tidak bermaksud menyerbu ke selatan sebagai penjajah. Tidak. Mereka hanya ingin berdiri sebagai bangsa yang merdeka tetapi tidak menjadi ancaman buat bangsa lain.

"Terjadinya perang yang berlarut-larut di Liau-tong dulu, adalah karena dinasti Beng ingin memulihkan cengkeraman kekuasaannya di Liao-tong dengan mengirimkan penyerbu-penyerbu semacam Wan Cong-hoan dan sebagainya. Bangsa Manchu hanya bersikap mempertahankan diri, karena tidak mau menjadi bangsa taklukkan kembali!” Begitu berapi-api Ang Seng-tiu membela pihak Manchu.

Bu Sam-kui tersudut, pengetahuan sejarahnya tidak sehebat Ang Seng-tiu, bekas atasannya itu, tahu kalau berdebat akan kalah. Maka ia lalu berkata, "Jenderal Ang, hentikan dulu pidatomu itu, sekarang katakan maksud kedatanganmu sebenarnya.”

“Baik. Terus terang saja, Jenderal Bu, pemerintahku sudah tidak menganggap dinasti Beng sebagai ancaman lagi, karena... maaf, sudah runtuh. Pihak kami saat ini menganggap kaum Pelangi Kuning yang kampungan itulah yang bakal menjadi ancaman bagi kami, sebab mereka sedang mabuk kemenangan.

Pemerintah kami khawatir kalau San-hai-koan ini jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning, mereka akan melanjutkan gerakannya sampai ke Liao-tong, ke wilayah Man-chu. Akan terjadi lagi peperangan di Liao-tong yang berlarut-larut dan minta banyak korban di kedua pihak. Tegasnya, pemerintah kami keberatan San-hai-koan jatuh ke tangan pihak Pelangi Kuning.”

“Lalu?”

“Kami menawarkan bantuan apa saja, supaya San-hai-koan dapat dipertahankan. Sekali lagi, kami tidak berambisi menduduki wilayah selatan, kami hanya ingin mengamankan wilayah kami sendiri di timur laut.”

“Kami sanggup bertahan tanpa bantuan kalian."

Jawaban lugas Bu Sam-kui itu membuat bukan saja Ang Seng-tiu saling pandang dengan perwira-perwira pengiring-nya, juga perwiraperwiranya Bu Sam-kui sendiri saling bertatapan. Mereka tahu benar kalau persediaan bahan makanan buat pasukan di San-hai-koan sedang paceklik.

Sesaat suasana di ruangan itu tegang mencekam. Jawaban tegas Bu Sam-kui itu seperti menutup alur pembicaraan. Namun Ang Seng-tiu masih berusaha membuka peluang kembali, "Jenderal Bu, apa yang membuatmu menolak uluran tangan kami?”

“Karena tanpa uluran tangan kalian, kami masih sanggup bertahan tanpa bantuan kalian. Prajurit-prajurit amatiran Pelangi Kuning itu sama sekali tidak berbahaya bagi kami.”

“Syukurlah..." Ang Seng-tiu masih mencoba bersikap mengalah. “Sebenarnya kalau kita bekerja-sama akan lebih baik. Bukan maksud pihak kami ingin membuat pihakmu menjadi berhutang budi kepada kami dan tergantung kepada kami. Sama sekali tidak. Justru pihak kami merasa terlindung dari serangan kaum Pelangi Kuning dengan gigihnya pertahanan di San-hai-koan. Seandainya bisa saling membantu di antara kita tentulah lebih baik. Kami akan mengirim pasukan.....”

“Tidak!” kembali Bu Sam-kui menukas tegas. “Itu hanyalah siasat kalian untuk bisa mendapatkan San-hai-koan dengan gratis!”

"Jenderal Bu, buang jauh-jauh prasangkamu. Aku mengatakan yang benar bahwa kami tidak berambisi menyerbu ke selatan. Kau tentu punya pengintai-pengintai yang bisa memberi laporan kepadamu, bahwa balatentara kami sudah ditarik menjauhi perbatasan. Itu tanda bahwa kami tidak bermaksud menyerang. Dan kalau tawaran pasukan tadi kau curigai, baik, bagaimana kalau kami tawarkan bahan makanan dan persenjataan? Kami bisa mengirimimu ratusan pucuk senjata api buatan Portugis, lengkap dengan peluru-pelurunya dan bubuk mesiunya. Bagaimana?"

Kali ini Bu Sam-kui tidak buru-buru menjawab tidak, ia kelihatan berpikir. Tawaran itu menarik. Kalau benar dia bakal memiliki ratusan pucuk senjata api, alangkah akan mengejutkan buat musuh besok, kalau mereka menyerang lagi.

Bu Sam-kui kali ini bersikap sedikit luwes, "Jenderal Ang, aku mempersilakan kau dan pengiring-pengiringmu untuk beristirahat diruang tamu di belakang, dan berilah aku kesempatan berunding dengan perwiraperwiraku."

Sikap Bu Sam-kui yang melunak itu menggirangkan hati Ang Seng-tiu. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada pengiring-pengiringnya, "Kita akan tinggalkan ruangan ini sebentar, untuk memberi kesempatan kawan-kawan kita ini merundingkan tawaran kita."

Para perwira Manchu itu berbicara sebentar satu sama lain dengan bahasa Manchu dalam suara lirih. Dan banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.

“Silakan, Jenderal Ang," Bu Sam-kui berdiri dari duduknya, sikap mengantar pergi. Sikapnya tidak sekaku dan sedingin ketika Ang Seng-tiu datang tadi.

Setelah Ang Seng-tiu dan rombongannya menghilang, Bu Sam-kui berkata kepada perwira-perwiranya, "Nah, kalian sudah dengar sendiri. Bagaimana tanggapan kalian?"

Li Lim-hong si perwira bagian perbekalan yang bertubuh gemuk yang sejak tadi sudah gregetan karena Bu Sam-kui bersikap "jual mahal" terhadap tawaran Ang Seng-tiu, kirii maju paling dulu dan bicara dengan lantangnya, "Panglima, alasan pihak Manchu untuk membantu kita itu cukup masuk akal. Mereka adalah suku bangsa berjumlah sedikit, mana mungkin mereka berani berangan-angan menduduki negeri bangsa Han yang luas dan penduduknya berjumlah puluhan kali lipat dari penduduk mereka? Hendaknya kita jangan terlalu membayangkan hal-hal yang menakutkan tentang mereka. Kita harus percaya niat baik mereka. Kita terima saja tawaran mereka, baik bantuan tentara maupun bantuan bahan makan. Asal kita tidak takluk kepada mereka, apa salahnya?"

Sebelum Bu Sam-kui menanggapi, seorang perwira lain yang bertubuh tegap dan bermuka persegi, sudah membantah, "Aku tidak setuju. Sekali orang-orang Manchu itu berada di sebelah dalam tembok San-hai-koan sulit sekali untuk menyuruh mereka pergi. Apalagi kalau mereka datang dengan kekuatan besar. Bantuan yang mereka tawarkan hanyalah pura-pura, sebagai tipu-daya untuk dapat memasuki kota ini tanpa susah-payah."

Segera ruangan itu menjadi riuh-rendah oleh perdebatan. Ada yang menyetujui Li Lim-hong dan ada yang menyetujui si perwira bertubuh kekar itu. Ada juga yang mengusulkan jalan tengah, yaitu hanya menerima bantuan bahan pangan dan bedil-bedil Portugis, tetapi tidak mau menerima kehadiran prajurit-prajurit Manchu di dalam kota.

Suasana begitu ributnya, sebab para perwira itu tidak bicara satu persatu melainkan seringkali beberapa orang sekaligus berbicara dengan suara beradu keras. Sampai Bu Sam-kui berdiri dari duduknya dan menyuruh diam semuanya.

“Saudara-saudara, setelah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk menerima bantuan mereka hanya dalam bentuk bahan makanan dan senjata api, tetapi aku takkan mengijinkan satu pun prajurit Manchu berada di San-hai-koan. Bahkan bantuan itu pun tidak akan membuat kita merasa berhutang budi. Kelak kalau kaum Pelangi Kuning berhasil kita halau, kita akan kembalikan semua pemberian orang Manchu itu, sehingga kita tidak terikat hutang apa-apa dengan mereka." Setelah Bu Sam-kui memutuskan demikian, tidak ada lagi yang mendebat.

Seorang perwira kemudian disuruh untuk memanggil kembali Ang Seng-tiu dan rombongannya. Keputusan Bu Sam-kui segera diberitahukan kepada rombongan utusan Manchu itu. Beberapa orang anggota rombongan itu sebenarnya kecewa dalam hati, sebab mereka sebenarnya ingin membawa pasukan Manchu memasuki San-hai-koan.

Tetapi mereka sembunyikan rapat-rapat kekecewaan mereka dalam hati, jangan sampai dicurigai oleh Bu Sam-kui dan perwira-perwiranya. Toh pihak San-hai-koan hanya mau menerima bantuan bahan makanan dan senjata api itu juga sudah diperhitungkan.

Sementara Ang Seng-tiu dengan wajah berseri menyambut keputusan Bu Sam-kui itu, "Aku menyampaikan terima kasih atas kesediaan jenderal Bu menyambut uluran tangan kami. Kami tidak kecewa tawaran kami tentang bantuan prajurit tidak diterima, sebab kami memang tidak punya ambisi merebut Sanhai-koan. Mudah-mudahan keikut-sertaan kami dalam mempertahankan San-hai-koan, akan dapat mengawali langkah kebangkitan kembali dinasti Beng. Terus-terang saja, negeri kami lebih senang punya tetangga yang beradab seperti dinasti Beng dulu, daripada yang kampungan macam golongan Pelangi Kuning..."

Setiap patah kata Ang Seng-tiu memang enak dikuping. Sudah menolong, bukannya merasa bangga dan menempatkan diri di atas yang ditolongnya, malahan mengucap terima kasih, seakan-akan pihak Manchu benar-benar merasa aman kalau San-hai-koan tetap dikuasai orang-orang dinasti Beng.

Namun Bu Sam-kui masih mencoba bertahan dengan gengsinya, "Jenderal Ang, kelak bantuan itu akan kami kembalikan. Kami akan menganggapnya sebagai hutang, kami tidak mau terima gratis dari siapa pun."

Ang Seng-tiu diam-diam tertawa dalam hatinya, sebab ia sudah kenal bagaimana watak Bu Sam-kui yang gampang berubah pendirian itu. Ang Seng-tiu mengenalnya, sebab ia pernah menjadi atasan Bu Sam-kui selama bertahun-tahun. Toh ia menjawab dengan bijaksana,

"Terserah apa yang kau sukai, Jenderal Bu. Mau dikembalikan ya baik, mau tidak dikembalikan ya kami ikhlas, sebab berarti kami sudah ikutserta membendung penguasa kampungan Pelangi Kuning itu meluaskan wilayahnya dan mengancam wilayah kami. Nah, sekarang kami pamit. Dalam dua hari lagi, yang kami janjikan itu akan tiba. Lima ratus karung beras dan lima ratus pucuk bedil beserta peluru dan bubuk mesiunya...”

“Silakan..." kali ini Bu Sam-kui sedikit bersopan-santun dengan berdiri sambil memberi hormat, sebagai sikap mengantarkan pergi rombongan orang Manchu itu. Rombongan itu pun memberi hormat dengan simpatik, lalu pergi meninggalkan Sanhai-koan.


Ong Ling-po beserta pasukan gunung Pelangi Kuning yang berada di pegunungan itu, berhenti ketika seharian mereka gagal melacak jejak pasukan gunung lawannya.

“Mungkin mereka berjalan di dalam air dangkal seperti yang pernah kita lakukan dulu," Pun Liok menduga-duga.

“Sehingga jejak mereka tidak kelihatan, bahkan tidak kelihatan ada rumput yang terinjak atau ranting yang patah..."

Ong Ling-po mengangguk-angguk dan berkata, "Kalau demikian, mereka adalah pasukan-gunung yang sama berpengalamannya dengan kita. Kita tidak boleh memandang remeh mereka."

"Lalu, bagaimana kita?”

“Besok kita akan memecah pasukan menjadi dua, menyelusuri sungai ke kedua arah. Kita akan saling memberi isyarat kalau salah satu dari kita memergoki mereka. Malam ini kita istirahat di sini, tetapi penjagaan jangan dilupakan."

Demikianlah, malam itu mereka beristirahat. Berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini Ong Ling-po memperbolehkan prajurit-prajuritnya menyalakan api. Seolah-olah memberitahu kepada musuh di mana posisi mereka.

Tetapi sampai hampir tengah malam, tidak terdengar ada isyarat apa pun dari pengintaipengintai yang disebar oleh Ong Ling-po di sekitar tempat istirahat pasukannya, menandakan kalau musuh agaknya memperhitungkan juga jumlah yang tak sebanding antara kedua pihak.

Ong Ling-po duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon besar dengan kepala bersandar batu, tanpa mencopot seragam tempurnya kecuali topi besinya yang ditaruh di rerumputan di sebelahnya. la sengaja duduk menyendiri agak menjauh dari perapian yang dibuat oleh prajurit-prajuritnya supaya bisa menenangkan pikiran sambil terkantuk-kantuk nyaman.

Tetapi ia terkejut ketika sesosok tubuh berdiri di hadapannya, sesosok tubuh yang berdirinya tepat di bayangan pepohonan, sehingga sangat kabur, orang itu seolah-olah berada di batas antara ada dan tidak ada. Nampaknya orang itu memakai seragam prajurit juga, namun tidak jelas.

Ong Ling-po dengan sigap menyambar sepasang kaitan yang tidak pernah jauh daripadanya, dan hendak melompat bangun, tetapi tangan orang itu menekan dadanya dan Ong Ling-po merasa sebagian besar kekuatannya amblas entah kemana.

Ong Lingpo sampai berkeringat dingin, kalau orang ini musuh, alangkah gampangnya mencabut nyawanya. Bahkan untuk memberi tanda kepada prajurit-prajuritnya yang tidak jauh dari situ pun mungkin takkan sempat.

Tetapi terdengar orang itu berkata, "Aku bukan musuh. Aku tidak ingin membunuhmu...." Lalu ia mengangkat telapak tangannya dari dada Ong Ling-po sambil berdiri kembali dari jongkoknya.

Ong Ling-po merasakan tubuhnya normal kembali. Kalau mau, ia dapat memanggil prajurit-prajuritnya, tetapi rupanya ia ingin "membalas kebaikan" orang itu yang tadi sudah tidak membunuhnya. Ia tarik napas beberapa kali, lalu bertanya tenang. "Siapa kau? Kalau kawan, dari pasukan yang mana?"

Orang itu berpikir sejenak sebelum menjawab, "Baiklah, kelihatannya kau terlalu cerdik untuk dibohongi mentah-mentah, jadi aku akan menyingkapkan sedikit tentang diriku. Kalau kau tanya apakah aku kawan satu golongan, memang aku bukan kawan semacam itu. Tetapi kalau dalam hal sama-sama mengingini hancurnya pasukan di San-hai-koan, ya... kau boleh mengandalkan aku...."

Sementara Ong Ling-po mulai mengenali suara orang itu sebagai suara si "perwira misterius" yang pernah menuntun pasukannya memasuki bagian dalam benteng San-hai-koan melalui sebuah parit kecil, dan ternyata memang orang itu tidak mengkhianatinya.

Terbukti segalanya berjalan lancar, kalau pun ada kegagalan, justru karena kedatangan pasukan bantuan yang dinanti-nanti ternyata tidak muncul. Maka dalam hati Ong Ling-po merasa tidak ada salahnya menganggap orang itu sebagai kawan, meskipun hanya dalam sekedar persekutuan taktis, persekutuan karena sama-sama mempunyai tujuan jangka pendek yang sesuai.

“Sekarang, apa maumu menemui aku?”

“Aku mau menawarkan jasa lagi. Kalau kau ingin menghancurkan Kongsun Koan....”

“Siapa itu Kongsun Koan?”

“Panglima San-hai-koan yang pasukannya bentrok dengan pasukanmu kemarin."

"Oo, yang bersenjata pedang amat besar itu?”

“Ya. Kalau kau ingin menghancurkan Kongsun Koan esok fajar, malam ini aku akan menuntunmu ke suatu tempat penghadangan yang amat menguntungkan, yang pasti akan dilewati oleh pasukan itu besok. Dengan jumlah pasukan di pihakmu yang lebih besar, serangan mendadak di tempat penyergapan, aku yakin kau bisa menghancurkan mereka.”

“Apa keuntunganmu dengan kehancuran mereka?”

“Soal ini sulit kukatakan kepadamu, kalau kau ngotot ingin jawaban juga, kau akan mendapat jawaban yang tidak benar. Mau kubohongi?"

Orang-orang itu begitu lugas kata-katanya, membuat Ong Ling-po agak salah-tingkah juga menghadapinya. Ada juga sedikit rasa percaya Ong Ling-po terhadap keterangan yang diberikan orang ini tadi, tetapi untuk mempertaruhkan ribuan prajuritnya dengan menuruti kata-kata orang yang tidak dikenai itu, ia ragu-ragu.

Dulu waktu orang itu menuntun menyusup San-hai-koan, memang benar hasilnya baik seandainya pasukan bantuan tidak terlambat, tetapi sekarang siapa tahu?

"Kenapa? Kau takut?" orang itu mencoba memanas-manasi hati Ong Ling-po.

Dan Ong Ling-po menjawabnya, "Ya, aku takut aku dan pasukanku masuk perangkap, karena aku tidak kenal siapa kau.”

“Bukankah dulu pernah kubantu kau dan pasukanmu masuk San-hai-koan? Masih kurang percaya?”

“Terus terang, ya. Dalam situasi seperti ini terlalu banyak pihak-pihak tersembunyi yang akan mencari keuntungan. Kami tidak mau menjadi jangkrik aduanmu.”

“Keteranganku tadi benar. Aku benar-benar mengetahui rute yang akan dilewati Kongsun Koan, dan aku mengetahui suatu jalan yang lebih pendek bagi pasukanmu untuk mendahului mereka sampai ke titik penghadangan itu."

"Aku akan senang kalau mendengar itu dari pengintai-pengintaiku sendiri. Tetapi sikapku akan lain kalau datang dari orang yang tidak kukenal seperti kau."

Orang itu menggeram menahan amarahnya. Di luar dugaan bahwa Ong Ling-po tidak mudah "dimainkan sebagai wayang" sesuai rencananya. Jenderal Lau Cong-bin memang terkenal malas berpikir dan gegabah, tetapi tidak berarti semua komandan bawahannya harus demikian. Ong Ling-po ini contohnya.

Ong Ling-po diam-diam bersiaga, berjaga-jaga kalau orang itu marah, dan orang itu cukup berbahaya sebab kemampuan tempurnya beberapa tingkat di atasnya. Namun Ong Ling-po merasa bisa mengandalkan anak buahnya yang terpilih untuk bersama-sama mengeroyok orang itu.

Ternyata orang itu malahan mundur selangkah memasuki kegelapan yang lebih pekat, dan suara geramnya terdengar sebelum dia menghilang, "Besok pagi pengintai-pengintaimu akan melaporkan kepadamu tentang gerakan pasukan Kong-sun Koan, persis dengan yang sebenarnya akan kukatakan, tetapi tentu saja kau sudah akan terlambat untuk bertindak karena kau tidak mempercayai aku malam ini..." Lalu menghilanglah orang itu ke dalam kekelaman malam.

Ong Ling-po membuang napas. Meskipun kemudian ia kelihatannya duduk tenang kembali di bawah pohon, tetapi pikirannya mulai bergolak. Di permukaan panggung perebutan kekuasaan, nampaknya yang sedang "bermain" hanyalah pihak golongan Pelangi Kuning sebagai pemerintah atas Cina Utara yang baru, bergulat melawan sisa-sisa dinasti Beng yang enggan menyerah. Itu yang tampil di permukaan.

Tetapi Ong Ling-po sadar ada pihak lain yang "ikut bermain" di bawah permukaan. Pihak Manchu tidak boleh dilupakan, mereka tidak pernah mengesampingkan ambisi mereka untuk menduduki daratan tengah.

Selagi ia mencoba melihat masalahnya dengan jernih, seorang prajurit tiba-tiba berlari-llari ke dekat perapian, sambil bertanya kepada prajurit-prajurit dekat perapian, "Mana Panglima?"

Seorang prajurit di dekat api unggun menunjuk ke tempat Ong Ling-po sedang beristirahat, di bawah bayangan pohon yang hampir tak tersentuh cahaya api unggun.

Ong Ling-po menduga prajurit itu membawa kabar penting, ia lalu melangkah mendekati api unggun sambil bertanya, "Ada apa?"

Prajurit itu melapor, "Ada sebuah pasukan sedang mendekati posisi kita dalam posisi tempur.”

“Pasukan pihak mana?”

“Dalam kegelapan tidak terlihat jelas bendera mereka, mereka juga tidak membawa obor. Tetapi kalau dilihat bentuk topinya di kegelapan malam agaknya sisa-sisa dinasti Beng."

Beberapa perwira bawahan Ong Ling-po sudah berkerumun dan mereka ikut mendengar laporan prajurit itu, sehingga wajah mereka menjadi tegang.

Sementara Ong Ling-po diam-diam membantin, "Orang yang memberitahu aku tadi ternyata bohong. Pasukan dinasti Beng ternyata justru sedang menuju kemari, tidak cocok dengan keterangannya. Hem, kentara kalau dia bermaksud tidak baik dengan membohongi aku, dari pihak mana pun dia...."

Rupanya Ong Ling-po menyangka yang datang itu adalah pasukannya Kongsun Koan, karena mengira pasukan dinasti Beng yang bersembunyi di pegunungan itu hanyalah pasukan Kongsun Koan. Pasukan yang lebih kecil dari pasukannya. Karena itu Ong Ling-po tidak gentar atau kaget mendengar laporan itu, mulutnya tersenyum mengejek dan berkata.

“Kita songsong mereka, dan malam ini kita takkan membiarkan mereka lolos seperti kemarin waktu di tepi sungai. Hem, rupanya mereka ingin menyergap kita secara diam-diam untuk menyebabkan kita kaget, he-he-he, kitalah yang akan mengejutkan mereka. Kita songsong mereka sebelum mereka sampai ke sini. Siapkan pasukan! Bawa obor sebanyak-banyaknya tetapi jangan nyalakan sebelum dekat mereka. Kita takkan membiarkan kegelapan malam menjadi selubung buat mereka yang lebih sedikit dan lebih lemah dari kita!”

Para komandan bawahan berlarian kepada pasukannya masing-masing untuk menjalankan perintah secepat-cepatnya. Dalam waktu singkat, pasukan itu segera meninggalkan perkemahan itu dalam kegelapan. Obor banyak dibawa tetapi tidak dinyalakan, sementara pengintai-pengintai berjalan jauh mendahului pasukan untuk memberi isyarat kalau musuh sudah dekat.

“Obor-obor dan api unggun di sini apakah perlu dimatikan?" tanya Pun Liok.

“Tidak usah," jawab Ong Ling-po. “Biar tetap menyala, dan kalau musuh melihat cahaya api dari kejauhan, biar mereka mengira kalau kita belum siap, sehingga menjadi lengah."

Demikianlah, pasukan Ong Ling-po merayap dalam kegelapan, menyongsong ke arah yang diperkirakan datangnya pasukan musuh.

Ketika seorang pengintai memberi isyarat bahwa musuh sudah dihadapan, maka Ong Ling-po pun memberi isyarat tanpa bunyi ke seluruh pasukannya agar menyalakan obor secara serentak, dengan harapan akan mengacaukan musuh dan mengejutkannya.

Tak terduga, begitu obor-obor menyala dan pasukan Ong Ling-po bersorak serempak, justru dari arah kegelapan di depan mereka berhamburanlah hujan anak panah dan lembing ke arah pasukan Ong Ling-po. Begitulah, bukannya berhasil mengejutkan, malahan pasukan Ong Ling-po yang dikejutkan lebih dulu.

Rupanya musuh dipimpin oleh orang yang trampil otaknya, sehingga malahan dapat memanfaatkan menyalanya obor di pihak Ong Ling-po sebagai isyarat buat pasukannya sendiri untuk menyerang. Rupanya pihak Ong Ling-po menyalakan obor itu sudah diperhitungkan pihak musuh.

Dari hal itu saja, ternyata kalau pihak musuh dipimpin seorang yang berpengalaman dan berperhitungan. Banyak prajurit Ong Ling-po yang rebah oleh panah dalam bentrokan pertama itu.

Obor-obor yang dinyalakan yang semula dimaksudkan untuk mengagetkan musuh, sekarang malah menguntungkan musuh karena mempermudah musuh membidikkan panah dan lembing, sebab pasukan Ong Ling-po di tempat terang dan musuh di tempat gelap.

“Berlindung!” perintah Ong Ling-po.

Para prajurit mencari pohon atau batu untuk berlindung, atau mengangkat perisai-perisai rotan mereka. Para pemanah dan pelempar lembing di pihak Ong Ling-po, juga sudah siap membalas, tapi tidak tahu harus diarahkan ke mana sebab musuh berlindung di balik tabir kegelapan.

Ada juga pemanah atau pelempar lembing yang untung-untungan melontarkan serangan, tetapi mereka tidak tahu apakah panah atau lembing mereka mengenai sasaran atau tidak. Sebaliknya setiap prajurit Ong Ling-po yang roboh kena panah atau lembing mudah kelihatan karena di bawah cahaya obor.

Ong Ling-po geram dan berteriak, "Padamkan obor!”

Begitulah, kalau tadinya obor-obor dinyalakan, sekarang buru-buru dibanting untuk diinjak. Tetapi sementara itu hujan panah dan lembing dari pihak musuh belum berhenti.

Saat itulah justru di sebelah depan, dari lereng-lereng yang tanahnya tidak rata, terdengar suara teriakan-teriakan komando disusul sorak-sorai menggemuruh bagaikan air bah. Obor-obor bermunculan tak terhitung banyaknya dan bagaikan pasukan kunangkunang menyerbu ke depan.

Rupanya tadi obor-obor itu ditudungi tempayan atau apa saja, dan sekarang tudungnya dibuang. Ong Ling-po terkejut melihat pasukan yang menyerbu itu ternyata jauh lebih banyak dari pasukannya sendiri, bisa diperkirakan dari banyaknya obor yang seolah-olah memenuhi lereng-lereng di sekitar situ.

Pasukan musuh yang muncul itu agaknya ingin memaksakan pertempuran terbuka, mungkin karena merasa lebih kuat. Itulah sebabnya mereka menyalakan obor-obor, dan kalau dilihat dari gerakan obor-obor yang bergerak di atas lereng-lereng, kelihatannya pasukan musuh juga ingin mengurung pasukan Ong Ling-po dalam sebuah lingkaran besar.

Jantung Ong Ling-po tergetar karena bisa menduga rencana musuh. Dan secara militer ia pun bisa memperhitungkan, kalau pasukannya sampai terkurung, maka pasukannya akan tertumpas habis. Pasti di pihak lawan akan jatuh banyak korban juga, tetapi mereka akan menang.

Karena itu, sebelum gerakan pasukan musuh di kedua lereng sebelah-menyebelah itu terkatup menjadi suatu gelang raksasa yang bakal sulit didobrak, Ong Ling-po lebih dulu memberi aba-aba pasukannya, "Mundur! Jangan sampai terkepung!”

Pasukan Ong Ling-po bagaikan arus satu arah yang mencoba menerobos ke arah semula. Mereka berlari-lari, berusaha bergerak secepat mungkin. Tetapi sisa-sisa dinasti Beng mengejar dan mendesak dengan garang.

Di bawah cahaya obor, Ong Ling-po melihat prajurit-prajurit musuh memang berseragam pasukan Kerajaan Beng, tetapi banyak di antaranya yarig seragamnya sudah lusuh, atau sudah tidak lengkap.

Ada yang tidak memakai topi rotannya hilang dan cuma memakai ikat kepala, ada yang tidak memakai sepatu tentara melainkan hanya sepatu-jerami seperti yang biasa dipakai para pendeta pengembara, bahkan ada yang tanpa alas kaki sama sekali.

Selain itu, tampang mereka juga dekil-dekil, banyak yang berewokan setelah beberapa lama tidak bercukur. Tetapi pasukan compang-camping itu alangkah garangnya dalam bertempur.

Bukan saja mereka mengandalkan jumlah lebih banyak untuk menang, tetapi terlihat nyata kalau ketrampilan perseorangan prajurit-prajurit musuh juga mengungguli ketrampilan perseorangan prajurit-prajurit Ong Ling-po.

Melihat itu, Ong Ling-po heran juga. Pasukan dari mana ini? Pasukan dinasti Beng yang dihadapinya kemarin, yang berasal dari San-hai-koan, tidak sebanyak dan setangguh ini.

“Panglima, cepat mundur, jangan sampai terpisah dengan pasukan kita!”

Pun Liok meneriaki pasukannya dan panglimanya sekaligus. Memang saat itu Ong Ling-po dan beberapa perwira mencoba membendung lajunya pasukan musuh di suatu jalan yang sempit, berusaha memberi kesempatan pasukannya untuk mundur...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.