Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 08

Cerita Silat Online serial Helian Kong seri Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 08 karya Stevanus S P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 08 - "Sulit ditaksir secara tepat, tetapi mungkin tidak lebih dari empat ribu orang.”

“Aku ijinkan kau membawa jumlah prajuritmu, asal jangan banyak-banyak. Sebagian kekuatan harus digunakan untuk menggempur San-hai-koan dan melindungi aku.”

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

“Baik. Ijinkan aku membawa lima ribu prajurit gunungku.”

“Kapan akan kau selesaikan tugasmu dan kembali ke perkemahan?”

“Tidak bisa ditentukan waktunya, Jenderal. Pegunungan itu luas dan banyak sudut-sudut persembunyiannya, sementara aku tidak tahu di sebelah mana pengacau-pengacau itu. Mungkin akan terjadi kucing-kucingan antara pasukanku dengan mereka, dan aku tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk selesaikan permainan itu."

Banyak perwira-perwira yang termangu-mangu mendengar kata-kata Ong Ling-po itu. Banyak juga yang kurang menyukai Ong Ling-po diam-diam menganggap bahwa perwira muda she Ong itu terlalu berambisi dan sedang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kesulitan besar.

Mereka tahu betapa sulitnya "bermain" di medan yang bergunung-gunung dan penuh hutan lebat, di mana kedua belah pihak saling tidak mengetahui posisi masing-masing. Kekuatan saja tidak cukup, tapi juga membutuhkan kecerdikan dan ketepatan perhitungan.

Perwira-perwira lain selain Ong Ling-po lebih suka berada dalam pertempuran di tempat terbuka yang seganas apa pun, di mana kawan dan lawan bisa saling melihat secara terang-benderang, daripada mengendap- endap dalam kegelapan hutan-hutan di pegunungan.

Perwira yang semalam dijotos oleh Ong Ling-po mengejek dalam hati, "Hem, bocah ingusan she Ong, kau ini mau cari muka tetapi akan mendapat kesulitan besar. Mudah-mudahan demikian, biar puas sakit hatiku, dan aku akan lebih puas lagi kalau kau dicaplok macan di tengah hutan..."

Tetapi karena Lau Cong-bin tidak mau bersusah-payah memikir lagi, ia segera terima semua usul-usul itu. Dan memerintahkannya untuk segera dilaksanakan. Maka sebagian besar pasukan meninggalkan perkemahan, dan kembali menggempur Sanhai-koan seperti sehari sebelumnya.

Sedangkan Ong Ling-po dan pasukan gunungnya kembali melaksanakan tugas yang oleh rekan-rekannya sendiri dianggap tugas penuh resiko dan dihindari.


Sementara itu, jauh di antara lipatan-lipatan pegunungan yang tertutup hutan lebat, Kongsun Koan dan pasukannya sedang beristirahat, kecuali mereka yang bertugas untuk berjaga-jaga.

Mereka adalah sebagian dari pasukan Sanhai-koan yang oleh Bu Sam-kui sengaja disuruh keluar dari San-hai-koan untuk mengacaukan garis belakang pasukan Pelangi Kuning.

Dan semalam mereka berhasil mengejutkan Lau Cong-bin dengan serbuan mendadak mereka, selagi pihak Pelangi Kuning tidak menduga akan adanya serangan itu. Bahkan mereka berhasil memusnahkan sebagian besar dari perbekalan kaum Pelangi Kuning.

Serangan yang berhasil gemilang, sebab pihak Kongsun Koan hanya beberapa prajurit luka-luka, dan setelah serangan kilat itu mereka menghilang dengan cepat. Siang itu, sayup-sayup di kejauhan terdengar suara dentuman meriam tak putusputusnya, Kongsun Koan tahu bahwa San-hai-koan tentu sedang digempur seperti kemarin.

Kemarin malam Kongsun Koan lega setelah mendengar laporan mata-matanya, bahwa kemarin San-hai-koan belum berhasil direbut oleh kaum Pelangi Kuning, namun gempuran hari ini kedengarannya lebih dahsyat. Suara meriam tak ada putus-putusnya.

Kongsun Koan merasa tegang juga, membayangkan jangan-jangan San-hai-koan akan jatuh hari ini? Tetapi ia tidak ingin perasaannya itu diketahui oleh prajurit-prajuritnya, ia berpura-pura tetap tenang.

Prajurit-prajnritnya yang bergeletakan beristirahat di sekitarnya, hanya melihat komandan itu berbaring di bawah pohon, menatap langit biru, berbantal lengannya, menggigit-gigit sehelai rumput di antara gigi-giginya.

Kelihatannya santai sekali, para prajurit tidak melihat kegelisahan hati perwira muda itu memikirkan San-hai-koan. “Jangan terlalu menggubris suara meriam-meriam itu. Percayalah teman-teman kita di San-hai-koan akan bias bertahan dengan baik seperti kemarin......" demikian Kongsun Koan membesarkan hati prajurit-prajuritnya.

“Apalagi semalam telah kita musnahkan bahan perbekalan musuh. Mereka takkan dapat bertahan lama tanpa makanan." Seorang perwira lain yang berada di dekatnya, bertanya, "Komandan, apakah nanti malam kita akan menyerang lagi?”

“Tergantung laporan mata-mata kita sore ini. Tetapi dugaanku, malam ini tentu pihak musuh lebih berjaga-jaga setelah serangan kita semalam. Mereka tentu tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya.”

“Kalau begitu, apakah peluang kita untuk mengulangi serangan itu sudah tertutup?”

“Tentu saja tidak. Asal kita mau pakai otak sedikit. Kita masih bisa meracuni sungai yang menjadi sumber keperluan minum mereka, menghancurkan jembatan-jembatan yang menghubungkan dengan Pak-khia, dan seribu satu akal lainnya.

"Dengan jumlah kita yang sedikit, kita bisa membuat kesan bisa muncul di mana-mana, sehingga merekalah yang merasa terkepung, bukan teman-teman kita di San-hai-koan. Ini akan membuat Lau Cong-bin bercermin akan kegoblokannya...."

Perwira bawahannya mengangguk-angguk. “Tetapi Lau Cong-bin inilah yang dulu menggempur Pak-khia dan berhasil memasuki Kotaraja Pak-khia pertama kali. Bukan Li Giam atau Gu Kim-sing.”

“Tentu saja aku tidak bermaksud meremehkannya, tetapi juga jangan silau dengan keberuntungannya itu. Aku menamakannya keberuntungan, bukan keberhasilan, ketika ia memasuki Pak-khia mendahului Li Giam dan Gu Kim-sing. Untung buat dia sebab saat itu seluruh pasukan Kerajaan Beng kita sedang terpusat menghadapi Li Giam yang menggempur hebat dari selatan dan Gu Kim-sing dari arah lainnya lagi.

"Nah, saat itulah Lau Cong-bin menyelonong dan merebut pintu gerbang Soan-bu-mui yang kurang terjaga. Itu hanya suatu keberuntungan, dan suatu keberuntungan tidak bisa diulangi terus menerus.”

“Kalau dia menyerbu ke pegunungan ini?”

“Itu lebih bagus. Mereka akan melewati tempat-tempat yang sudah kita pasangi perangkap, dan jumlah mereka akan berkurang banyak. Kalau toh setelah melewati perangkap-perangkap itu mereka belum juga kapok dan tetap melanjutkan langkah, kalau tidak tersesat di pegunungan yang tidak mereka kenali, mereka akan kita ajak main kucing-kucingan sampai mereka habis sendiri..."

Kata-kata Kongsun Koan itu kedengarannya membesarkan hati, dan perwira yang diajaknya bicara itu pun mengangguk-anggukkan kepala, dalam hatinya berharap mudah-mudahan perhitungan komandannya itu berjalan dengan mulus.

Ketika itulah seorang prajurit berlari-lari mendekat. Orang-orang yang ada di sekitar Kongsun Koan sudah tegang hatinya, menduga prajurit itu tentu akan melaporkan tentang serangan musuh.

Ternyata setelah tiba di depan Kongsun Koan, yang dilaporkan prajurit itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan musuh, "Komandan, di sebelah utara dari tempat ini, kami menemukan sebuah gua..."

Kongsun Koan masih bersikap meremehkan laporan itu, "Kau ini bikin kaget orang saja. Di pegunungan ya lumrah kalau ada gua, kenapa harus diributkan?”

“Komandan, gua itu sempit di luarnya, tetapi dalamnya ternyata luas. Dan ada tanda-tanda bekas didiami manusia dalam jumlah besar..."

Keterangan susulan itu sedikit menggerakkan hati Kongsun Koan. Ia berpikir daripada duduk terkantuk-kantuk di bawah pohon tanpa pekerjaan, apa salahnya melihat-lihat gua yang dilaporkan anak buahnya itu? Ia bangkit, katanya kepada prajurit itu, "Tunjukkan tempatnya kepadaku. Jauh?"

"Tidak terlalu jauh.”

“Bagaimana kau menemukannya?”

“Ketika sedang mengejar binatang liar."

Pasukan itu memang baru tiba di tempat itu dini-hari tadi, setelah malamnya menyerang perkemahan Jenderal Lau, dan mereka belum memeriksa teliti tempat itu. Kini laporan tentang adanya gua besar itu menarik perhatian Kongsun Koan. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di mulut gua itu.

Memang mulut gua itu kecil dan rendah, sehingga Kongsun Koan harus menundukkan kepalanya ketika melewatinya. Namun bagian dalam gua itu ternyata luas dan langit-langitnya tinggi.

“Seribu orang bisa masuk ke sini...." komentar Kongsun Koan.

Prajurit-prajurit yang mengantarnya kemudian berklata, "Dan ada bekas-bekas kalau tempat ini belum lama didiami orang berjumlah besar, kemudian ditinggalkan pergi begitu saja.”

“Mana tanda-tandanya?”

“Ke sini jalannya, Komandan." Prajurit itu mengajak Kongsun Koan ke sebuah lorong lain yang berujung juga di sebuah gua cabang yang lebih kecil.

Ada cahaya matahari yang masuk ke dalam gua itu melalui lubang kecil di langit-langit gua, dan ada lubang di dinding gua yang tertutup belukar, dari situ udara pegunungan yang sejuk terasa berhembus mengusap kulit.

Di lantai gua, nampak lubang besar yang tadinya rupa-rupanya ditutupi helai-helai papan, namun papan-papan itu sudah minggir, agaknya sudah dicongkel oleh prajurit-prajurit Kongsun Koan sebelum melapor. Di dalam lubang besar itu bertumpuk-tumpuk alat-alat memasak yang lazim terdapat di tangsi-tangsi tentara. Agaknya gua cabang itu berfungsi sebagai "dapur umum".

Otak Kongsun Koan yang tajam langsung dihinggapi kecurigaan melihat peralatan itu. Tadi ia menduga, gerombolan yang pernah menghuni gua itu tentunya kawanan bandit pegunungan, meskipun masih agak diragukan karena selama ini belum pernah terdengar tentang adanya gerombolan bandit di dekat San-hai-koan itu. Tetapi perlengkapan makan itu terlalu rapi untuk gerombolan bandit, juga keadaan gua yang tetap bersih.

“Kalau bandit-bandit yang dulunya mendiami gua ini, kemudian mereka terbirit-birit lari karena kita datang, rasanya mereka takkan meninggalkan tempat serajin ini. Pasti acak-acakan," gumam Kongsun Koan.

Prajuritnya menoleh mendengar gumam itu, matanya memancarkan pertanyaan. Sementara Kongsun Koan terus menduga-duga, "Barang-barang seperti ini lebih cocok kalau ditinggalkan bukan oleh sekelompok bandit, tetapi oleh sebuah...." dan kata-kata Kongsun Koan tiba-tiba terhenti, tidak melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja dibuat berkeringat dingin oleh dugaannya sendiri.

“Kenapa, Komandan?" bawahannya bertanya heran.

Kongsun Koan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk melegakan hatinya, barulah melanjutkan katakatanya yang terputus tadi, "Aku menduga, yang pernah mendiami gua ini adalah sebuah pasukan yang terlatih dan tinggi dalam disiplin."

Seorang bawahannya yang lain menyambung, "Dan mereka belum lama pergi dari sini. Mungkin belum lima hari ini. Panci-panci masak ini sudah kotor oleh tanah tetapi belum berkarat, menandakan kalau belum lama ditinggal pergi.." Sambil berkata demikian, orang itu menggunakan ujung tombaknya untuk mengait sebuah panci masak.

Bawahan Kongsun Koan yang lain bertanya, "Kalau benar dugaan Komandan bahwa gua ini pernah ditinggali sebuah pasukan, kira-kira pasukan dari pihak mana?”

“Yang terang bukan kawan kita, sebab mereka lari melihat kita. Itu bukan sikap seorang kawan.”

“Mungkinkah pasukan gunungnya Lau Cong-bin?" Kongsun Koan sendiri tidak bisa memastikan, melainkan hanya menduga-duga.

Tetapi sebuah gagasan muncul di kepalanya, "Kita pakai gua ini sebagai tempat untuk merawat teman-teman kita yang terluka.”

“Jadi kita pindahkan kemari?”

“Ya. Meskipun tidak bisa memuat seluruh pasukan sekaligus. Diutamakan hanya yang sedang menderita luka-luka."

Begitulah, pasukan Kongsun Koan pun berpindah ke gua bekas tempat "pasukan misterius" itu. Kongsun Koan sendiri belum bisa memastikan pasukan itu di pihak mana, tetapi ia mulai memperhitungkan adanya pihak ketiga yang "ikut bermain kucing-kucingan" di pegunungan yang luas di dekat Tembok Besar tersebut.

Mungkinkah pihak ketiga itu orangorang dari luar Tembok Besar? Orang-orang Manchu atau Mongol yang hendak mengail di air keruh? Pikiran itu melingkar-lingkar tanpa jawaban.

Sementara hari semakin sore dan bagian-bagian pegunungan yang masih kena sinar matahari hanyalah puncak-puncaknya, sedang bagian lembah-lembahnya sudah menjadi gelap dan mulai terasa dingin.

Saat itulah seorang prajurit kembali datang melapor kepada Kongsun Koan, dan laporannya kali ini benar-benar bersangkut-paut dengan urusan perang, "Komandan, ada sebuah pasukan keluar dari perkemahan Lau Cong-bin menuju ke mari. Jumlahnya kira-kira lima ribu orang...."

Wajah Kongsun Koan menegang mendengar jumlah itu. Prajuritnya sendiri hanya tiga ribu orang, dikurangi yang tewas dan luka-luka semalam. Tetapi untuk menenteramkan dan membesarkan hati perwira-perwira bawahannya yang ikut mendengar laporan itu, Kongsun Koan pura-pura tertawa dan berkata,

"Jumlah hampir tak ada pengaruhnya dalam pertempuran di pegunungan ini, tidak seperti pertempuran di dataran terbuka. Yang memegang peranan adalah siapa yang lebih siap di pegunungan ini, siapa yang lebih mengenal lekuk-liku pegunungannya, dan di segi itu kita unggul. Jangan gentar..." Lalu tanyanya kepada prajurit pelapor itu, "Sekarang sudah sampai di mana mereka?”

“Mereka sudah memanjat di lereng selatan yang dekat kelokan sungai kecil itu." Kongsun Koan tersenyum, "Betul tidak? Mereka buta sama sekali terhadap pegunungan ini. Mereka akan berputar-putar lama di lereng selatan, dan mungkin akan mendekati perangkap-perangkap kita di situ."

Seorang perwira bawahan Kongsun Koan berkomentar heran, "Heran, kenapa mereka tidak mengikuti jejak kaki kita di kaki pegunungan?"

Kongsun Koan, berkata, "Mungkin mereka menyangka jejak-jejak itu sengaja dibuat untuk menjebak mereka, lalu mereka menghindarinya dan mencari jalan sendiri. Hemm, mereka sok pintar. Tetapi sama saja, mereka sedang mendekati perangkap-perangkap kita, dan di perangkap-perangkap itu, jumlah mereka akan berkurang....”

“Apa tindakan kita sekarang, Komandan?”

“Malam ini kita akan memintas jalan lewat kaki Puncak Cemara, dan besok pagi-pagi kita akan menghadang mereka di tanjakan dekat jembatan bambu. Aku yakin, seandainya pasukan musuh berjalan terus di malam hari pun, mereka takkan mendahului tiba di tempat sasaran. Kita akan tiba lebih dulu malam ini dan langsung memasang barisan pendam.”

“Bagaimana kalau musuh ternyata berbelok ke timur, sehingga kita hanya menghadang angin?”

“Tidak. Dengan melihat arah jejak kaki kita di kaki pegunungan, mereka pasti dapat memperkirakan arah menuju tempat kita berada. Mereka boleh jadi memang agak tolol karena mereka adalah anak buah si Tolol Besar Lau Cong-bin, tetapi mereka pastilah tidak tolol sekali."

Begitulah. Habis makan malam, prajuritprajurit itu, mengendap di bawah bayangbayang malam menuju sasarannya. Kongsun Koan melarang pasukannya membawa obor terlalu banyak, selain untuk menghemat minyak yang terbatas jumlahnya, juga jangan sampai diketahui musuh dari kejauhan.

Kongsun Koan sendiri berjalan paling depan, lengkap dengan pakaian perangnya, dengan pedang besarnya tergantung di pinggangnya. "Seandainya musuh melihat, semoga mereka menyangkanya sebagai kunang-kunang..." desis Kongsun Koan.

“....dan kalau pun mereka tahu bahwa kita adalah musuh mereka, mudah-mudahan mereka salah menghitung jumlah kekuatan atau posisi kita.”

“Mereka takkan melihat," sahut seorang perwira yang kakinya baru saja kejeblos lobang karena gelapnya. “Paling-paling mereka belum jauh dari lereng selatan. Aku merasa tidak ada salahnya kita menyalakan banyak obor supaya jangan ada yang kejeblos lagi.”

“Kita harus menghemat minyak," sahut rekannya.

“Kita bisa membuat obor-obor dan ranting-ranting kering yang dinyalakan ujungnya...”

“Komandan khawatir kalau terlalu banyak obor, akan terlihat oleh... aduh!” si pembicara itu tiba-tiba mengaduh karena kakinya tersandung akar pepohonan yang menonjol di tanah dan membuatnya jatuh tertelungkup. Ketika ia bangkit kembali dibantu rekannya, ia berkata, "Barangkali kau yang betul. Kita perlu banyak obor..."

Menjelang tengah malam, Kongsun Koan dan pasukannya sudah tiba di tempat yang diperkirakan akan dilewati pasukannya Jenderal Lau besok pagi atau siang. Rencana penghadangan pun ditetapkan, siapa yang harus menggelindingkan batu dari lereng, siapa yang harus merobohkan jembatan kali, siapa yang harus menghadang di ujung jembatan.

Tempat itu adalah sebuah jalan sempit dan agak menanjak, dengan tebing tinggi di sebelah utaranya dan sungai sempit yang dalam serta berarus deras di sebelah kirinya, dan ada jembatan kayu yang diperkirakan akan dilewati musuh.

Di tempat macam itu, memang pasukan yang berjumlah lebih besar tidak terjamin kemenangannya, tetapi pasukan yang lebih siaplah yang akan mengambil keuntungan. Dan Kongsun Koan begitu yakin bahwa pasukannyalah yang lebih siap. Lebih mengenal tempatnya, dan lebih dulu bersembunyi di tempat itu.

“Sekarang semuanya beristirahat," perintah Kongsun Koan. “Begitu fajar menyingsing nanti, tidak perlu lagi aku memerintah-merintah kalian, tetapi kalian langsung menempati posisi masing-masing. Mengerti?"

Para komandan bawahan itu pun mengangguk-angguk.


Di pihak lawan, yang dipimpin oleh seorang perwira bawahan Jenderal Lau yaitu Ong Lingpo, yang semangatnya maupun usianya kira-kira sama dengan Kongsun Koan, malam itu juga sedang beristirahat di pegunungan yang sama, tetapi tentu saja tidak dapat saling melihat karena luasnya pegunungan itu.

Bahkan seandainya siang hari pun mereka tidak akan dapat saling melihat kecuali kalau sudah dekat. Dan kedua belah pihak sama-sama cerdik untuk tidak memberi isyarat kepada musuh misalnya dengan menimbulkan asap di siang hari. Prajurit-prajurit di kedua pihak sudah sama-sama terbiasa makan barang-barang mentah yang tidak dimasak dulu.

Dulu di jamannya kaum Pelangi Kuning masih sebagai pemberontak melawan dinasti Beng, Ong Lingpo ini diandalkan oleh Jenderal Lau Cong-bin sebagai pasukan penyusup yang sering muncul di tempat-tempat tak terduga setelah berjalan semalam-malaman di pegunungan atau bahkan kadang-kadang menyusuri sungai-sungai yang dangkal sehingga jejaknya susah dilacak.

Itulah sebabnya dugaan atau anggapan Kongsun Koan bahwa pasukan Jenderal Lau ini "tidak tahu seluk-beluk pegunungan" adalah keliru. Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya sudah cukup jauh memasuki pegunungan tetapi belum berpapasan dengan musuh, bahkan jejaknya pun tidak ada.

Tetapi hal itu tidak membuatnya berkecil hati, ia tahu "permainan kucing-kucingan" itu akan makan waktu lama, dan itulah sebabnya di hadapan Jenderal Lau pun ia tidak menjanjikan kapan waktu selesainya. Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya beristirahat di sebuah lembah sempit memanjang di tengah pegunungan.

Seperti Kongsun Koan, Ong Ling-po juga melarang anak buahnya menyalakan banyak api. Jadi prajurit-prajurit itu beristirahat dalam gelap-gelapan saja. Ketika fajar menyingsing, Ong Ling-po dan anak buahnya segera membenahi diri dan bersiap melakukan pengejaran. Lalu pasukan itu pun kembali merambat di jalan-jalan pegunungan yang berliku-liku.

“Kita ke arah mana?" tanya seorang perwira bawahan Ong Ling-po.

Jawaban Ong Ling-po ringan saja, "Kita ikuti saja sungai kecil itu. Kita belum tahu di mana mereka berada sekarang di antara lekuk-lekuk pegunungan, tetapi orang-orang itu pasti tidak jauh dari sungai," begitulah Ong Ling-po memperhitungkan.

“Gerombolan itu membutuhkan air untuk berbagai keperluan, dan mereka tidak bisa jauh dari sungai seperti juga kita...."

Begitulah mereka menyusuri sungai, menikmati udara pegunungan yang masih dingin berkabut itu, berjalan sepanjang sungai kecil melingkar-lingkar di pegunungan itu. Burung-burung berkicau merdu di pepohonan, tetapi pasukan itu tidak sempat menikmati keindahan alam, pikiran mereka sedang keruh oleh kecurigaan.

Mereka berjalan dengan waspada, berjaga-jaga jangan-jangan dari balik dedaunan lebat itu keluar lembing atau panah yang mengincar nyawa mereka. Bahkan kicau burung pun sering-sering mereka curigai sebagai isyarat dari pihak lawan.

Masalahnya, mereka sendiri dulu juga begitu, ketika masih sebagai laskar pemberontak Pelangi Kuning yang hendak menyergap prajurit-prajurit dinasti Beng di pegunungan, mereka juga menggunakan isyarat yang mirip kicauan burung untuk berkomunikasi dengan kawankawan sendiri.

Ong Ling-po melangkah di depan, membawa sepasang kaitannya yang dipanggul disatukan di salah satu pundaknya. Ia melangkah dengan waspada, tetapi lawan belum kelihatan batang hidungnya.

"Entah di mana pengecut-pengcecut itu bersembunyi..." keluh seorang perwira bawahannya. “...dan entah sampaikapan kita ada di pegunungan ini....”

“Kalau segera ketemu musuh ya cepat selesainya, kalau lama ketemunya, ya kita bisa berbulan-bulan ada di sini...." jawab Ong Lingpo.

Baru habis kata-katanya, mata Ong Ling-po tiba-tiba menatap air sungai, menatap sesuatu, lalu tertawa sendiri dan berkata kepada perwiranya tadi, "Mungkin kita akan cepat menemukan mereka...."

Perwira bawahannya heran kenapa komandannya tiba-tiba berkata demikian, lalu ikut memandang ke arah yang dipandang komandannya dan ikut tertawa. Sebab yang dilihat oleh sang komandan adalah kotoran manusia yang terapung-apung "berbaris" mengikuti arus sungai kecil itu.

Perwira itu mengerti maksudnya, artinya arah tempat pasukan musuh sudah diketemukan. Pasti ada prajurit musuh yang pagi itu buang hajat di sungai, bukan hanya satu dua orang tetapi pastilah banyak, dan kotoran yang terbawa air sungai itu membongkar jejak mereka. Begitulah, perhitungan militer canggihnya Kongsun Koan kebobolan juga oleh perkara alamiah yang sepele itu.

“Putar balik arah pasukan!” perintah Ong Ling-po.

Perintah dilanjutkan, dan pasukan itu pun berbalik arah. Kepala barisan jadi ekor dan ekor jadi kepala. Tadinya pasukan itu berjalan searah aliran sungai, tetapi karena "petunjuk" tadi datangnya dari arah hulu, maka untuk menemukan sumbernya tentu saja arah perjalanan pasukan harus di balik.

“Hati-hatilah..." OngLing-po memperingatkan pasukannya. “Bukan mustahil musuh sudah mengetahui gerakan kita melalui pengintai-pengintai mereka. Mungkin mereka akan menyerang lewat tebing-tebing dengan panah, lembing dan batu..."

Pembawa-pembawa perisai pun bersiap-siap, bukan cuma untuk melindungi diri sendiri tetapi juga untuk melindungi pemanah-pemanah yang akan membalas menyerang. Para pemanah sudah mencabut masing-masing sebatang panah mereka dan sudah dipasang di tali busur. Tiap seorang pemanah berjalan di belakang seorang pemegang perisai.

Ketika mereka melewati bagian sungai yang tebingnya agak landai, sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Ong Ling-po. la tiba-tiba menepuk seorang perwira bawahannya yang bernama Pun Liok yang berjalan di sebelahnya, "Pun Liok, masih suka main-main air seperti dulu?"

Pun Liok, perwira pendek gempal yang bersenjata Kim-kong-kun (gada malaikat Kimkong) itu tercengang, kenapa di tengah-tengah situasi berbahaya itu komandannya malah menanyakan sesuatu yang kedengarannya seperti main-main? "Maksud komandan?"

"Masih ingat ketika kita semalam-malaman menyusuri sungai, agar jejak kita tidak terlihat oleh pasukan Beng yang mengejar kita waktu itu?"

Pun Liok tiba-tiba ingat pula peristiwa itu, lalu tertawa. Katanya, "Mana bisa lupa kejadian itu? Semalam-malaman kita berjalan di tengah sungai yang airnya setinggi pinggang, bukan di pinggirnya, sebab kalau di pinggirnya kata Komandan akan meninggalkan jejak kaki yang gampang diikuti musuh. Ya, ya, aku ingat..." Bicara sampai di sini, Pun Liok tertawa semakin geli, dan melanjutkan kata-katanya,

"Waktu itu Komandan bahkan melarang seorang pun untuk berhenti kencing. Siapa yang tidak tahan untuk tidak kencing, Komandan suruh untuk kencing saja sambil berjalan, toh waktu itu air sungainya setinggi pinggang jadi tidak kentara kalau kencing sambil berjalan. Dan karena saat itu air sungainya amat dingin, hampir semuanya kencing beramai-ramai sehingga air sungai jadi sedikit hangat..."

Ong Ling-po ikut tertawa geli, "Ya, waktu itu aku pura-pura marah, padahal aku sendiri juga kencing..." Keduanya tertawa terbahak-bahak, yang lain-lainnya juga ikut tertawa, terutama yang dulu ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang dibicarakan itu. Yang tidak ikut pun tertawa.

“Apa maksud Komandan menanyakan itu?" tanya Pun Liok setelah ketawanya agak reda.

“Bawa orang-orangmu mencebur ke sungai dan buat kejutan-kejutan buat musuh. Hati-hati, mungkin mereka menempatkan orang-orangnya di tebing-tebing sungai untuk menyerangmu.”

“Baik, Komandan." Pun Liok segera mengerti. Ia memang agak berpengalaman soal "bermain-main di air" sehingga Ong Ling-po pun tidak bertele-tele memerincikan tugas Pun Liok, cukup dengan kata-kata "buat kejutan-kejutan buat musuh".

Bersama seribu orang-orangnya, Pun Liok segera mencebur ke sungai di bagian tebing yang agak landai itu. Toh tidak terlalu landai, sehingga para prajurit harus saling membantu dengan berpegangan tangan ketika menuruninya.

Sungai itu tidak dalam, airnya hanya setinggi perut, tetapi arusnya deras karena badan sungai menyempit, sehingga Pun Liok dan pasukannya hanya melangkah dengan agak berat karena menentang arus. Selain itu, dasar sungai juga tidak rata, berbatu-batu, sehingga untuk melangkah harus hati-hati agar pergelangan kaki tidak terkilir.

Begitulah, Ong Ling-po memecah pasukannya sehingga maju dalam dua jalur. Sebagian besar maju di darat, sebagian kecil dipimpin Pun Liok berupaya menyergap dari air. Ternyata Ong Ling-po tidak berhenti begitu saja. Seorang lagi dari komandan bawahannya disuruhnya memisahkan diri bersama seribu prajurit, untuk mendaki tebing-tebing di sebelah utara dan maju sejajar dengan pasukan-pasukan yang di sungai maupun yang dibawah tebing.

Dengan demikian seluruh pasukan itu maju dalam tiga jalur, seperti sebatang trisula dengan tiga ujungnya. Hanya saja trisula ini agak pleyat-pleyot bentuknya karena masing-masing jalur harus maju menurut alurnya sendiri di jalan pegunungan yang berliku.

Bahkan sekali waktu "pasukan sungai"nya Pun Liok tidak terlihat sama sekali karena curamnya tebing, mereka harus melewati tempat-tempat semacam geronggang-gerong-gang gelap di bawah tebing-tebing batu, gelap, meskipun matahari sedang memancar di langit.

Tidak lama kemudian, jalanan yang dilewati pasukan tengah Ong Ling-po mulai menanjak, dan naluri Ong Ling-po yang tajam memperingatkan bahwa musuh sudah dekat. Ia memperingatkan prajurit-prajuritnya untuk berwaspada.

Ong Ling-po sendiri tidak lagi memanggul sepasang kaitannya di pundak, tetapi sudah dipegangi dengan kedua tangannya sambil melangkah dengan hati-hati. Tidak lama kemudian, terdengar sorak gemuruh dan gemerincing senjata beradu, tetapi suara itu datangnya dari bawah tebing sungai.

Kiranya yang bentrok paling dulu dengan musuh malahan Pun Liok dan rombongannya. Lawan Pun Liok adalah perwira bawahan Kongsun Koan yang bernama Jin-Se-liang. Jin Se-liang dan pasukannya bersembunyi di geronggang-geronggang di bawah tebing sungai, ia ditugaskan untuk menarik roboh jembatan itu apabila nanti pasukan Pelangi Kuning lewat.

Tak terduga malah musuh muncul dari sungai juga. Padahal saat itu puluhan utas tali yang kuat sudah terikat di tiang-tiang jembatan dan siap ditarik dari tempat-tempat tersembunyi. Jin Se-liang dikejutkan munculnya Pun Liok dan pasukannya, la meneriaki pasukannya, "Awas, musuh muncul dari belakang!”

Sementara Pun Liok langsung menyerbu bersama orang-orangnya. Melihat tali-tali panjang yang diikatkan di tiang-tiang jembatan kayu itu, ia bisa menebak apa yang direncanakan oieh pasukan lawan itu, dan ia menjadi gusar. Pikirnya,

"Untunglah Komandan Ong tajam nalurinya sehingga memerintahkan aku maju lewat sungai, sesuatu yang tidak diduga oleh lawan. Seandainya naluri Komandan Ong tidak memperingatkan dulu dan pasukan kami lewat begitu saja di atas jembatan lalu jembatannya dirobohkan, pasti akan banyak prajurit kami yang menjadi korban terjerumus ke sungai yang dalam ini..."

Begitulah, di dalam air yang setinggi pinggang, kedua pasukan itu bertempur hebat. Tetapi karena batang sungainya sempit, kedua pasukan tidak dapat menebar ke samping, sebab di kedua samping adalah tebing-tebing yang hampir tegak lurus. Jadi pasukan kedua belah pihak antri ke belakang, antri untuk membunuh atau dibunuh.

Pun Liok melihat bahwa tiang-tiang jembatan masih berada di "wilayah" musuh, artinya kalau pasukan Ong Ling-po lewat, musuh masih bisa merobohkan jembatan itu. Maka Pun Liok jadi begitu bernafsu untuk mendesak maju dan berupaya merebut "penguasaan" atas tiang-tiang itu.

Namun sempitnya sungai membuat ia tidak leluasa memanfaatkan kelebihan jumlah pasukannya untuk menekan musuh, ia tidak bisa menyuruh pasukannya menebar, sehingga garis depan pertempuran mau tidak mau ya lebarnya sungai yang cuma tiga meter tetapi airnya deras dan dingin itu. Prajurit-prajurit yang terbunuh langsung saja "diusung pergi" oleh air sungai yang menjadi merah warnanya.

Pun Liok lalu memberi isyarat agar para pemanah dan pelempar lembing di barisan belakang bertindak. Begitulah, panah-panah dan lembing-lembing pun berhamburan di atas kepala dan menuju sasaran di garis belakang musuh juga.

Pihak pasukan Jin Se-liang agak kewalahan, mereka tidak bisa membalas dengan panah dan lembing, sebab mereka tidak membawanya, karena tidak menduga akan bertempur di air sungai. Mereka hanya berbekal tali-tali dan senjata-senjata biasa. Tetapi mereka masih punya perisai-perisai untuk coba menangkal hujan panah dan lembing musuh.

Pun Liok sendiri tidak sekedar gembar-gembor tetapi maju ke depan dan mulai mengayun-ayunkan gada Kim-kong-kunnya. Senjata itu berat, dan pemegangnya juga bertenaga raksasa, sehingga percuma seandainya prajurit-prajurit Jin Se-liang dapat menangkisnya dengan tameng.

Tangan yang memegang tameng bisa patah kalau tamengnya "ditabrak" senjata yang begitu berat dan kuat ayun-annya. Segera barisan depan orang-orangnya Jin Se-liang mundur menghindari mati konyol oleh Pun Liok.

“Ayo, prajurit-prajuritku, maju terus!” teriak Pun Liok bersemangat, tujuannya tetap mengamankan tiang-tiang jembatan agar pihak musuh jangan sempat merobohkannya.

Jin Se-liang tidak membiarkan pasukannya dirusakkan oleh Pun Liok. Ia segera tampil ke depan untuk menghadang Pun Liok. Potongan tubuhnya kebetulan juga berlawanan dengan Pun Liok. Kalau Pun Liok pendek dan gempal, Jin Se-liang tinggi dan kurus seperti tiang jemuran, senjatanya adalah tombak berkaitan (Kau-jio).

Sedari tadi Jin Se-liang hanya berdiri di tepian, di sebuah tanah sempit di bawah tebing, agaknya ia seorang yang enggan kena air. Tetapi setelah melihat amukan Pun Liok memukul mundur orang-orangnya, dia terpaksa harus maju ke medan tempur yang tak lain di tengah-tengah sungai.

Cuma ia tidak mencebur, melainkan mendekati Pun Liok dengan cara berlompatan di atas batu-batu yang bertonjolan di permukaan sungai. Batu-batu itu licin, tetapi Jin Se-liang melompat-lompatinya dengan tangkas, tak tergelincir, bahkan dalam keseimbangan yang tinggi. Gerakannya seringan seekor capung saja.

Pun Liok yang melihat datangnya lawan istimewa ini tidak berani memandang remeh, ia segera memusatkan perhatian. Setelah Jin Se-liang dekat, Pun Liol langsung menyapu kaki lawan dengan tipu Heng-saujian-kun (Menyapu Seribu Prajurit).

Jin Se-liang melompat lincah, meninggalkan batu yang baru saja dipijaknya terbelah kena gada Kim-kongkun Pun Liok, tetapi Jin Se-liang tidak sekedar menghindar tetapi ujung tombaknya sekaligus mematuk cepat ke leher Pun Liok, sambil kakinya mencari pijakan lain di sebuah batu.

Karena batunya kecil, perwira ini berdiri dengan gaya Kin-ke-tok-lip (Ayam Emas Berdiri Dengan Satu Kaki). Pun Liok menyelamatkan lehernya dengan menghindar ke samping dengan mengikuti arah tarikan dari ayunan gadanya yang berat, sebab terlalu membuang tenaga kalau membuat gerakan yang berlawanan dengan arah tarikan itu.

Jin Se-liang dengan lincah memainkan tombaknya. Ujung tombak luput menusuk, kaitan di leher tombaknya ganti beraksi untuk menggantol leher Pun Liok dari samping. Pun Liok membungkuk sambil berputar dan menyapu kembali dengan gadanya. Biarpun separuh tubuhnya terendam air berarus deras, gerakannya nampak begitu leluasa karena besarnya kekuatannya.

Begitulah, dua orang perwira dari pihakpihak yang bermusuhan itu bertempur hebat. Yang satu mengandalkan tenaganya, yang lain mengandalkan kecepatan dan kelincahannya, untuk sementara waktu akan sulit ditebak siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya.

Sementara prajurit kedua pihak juga terus bertempur sengit di antara hilir mudiknya panah-panah dan lembing-lembing yang kadang-kadang masih juga menagih korban. Sementara itu, Ong Ling-po menjenguk dari atas tebing sungai dan melihat apa yang terjadi di bawah, la lega menaksir bahwa pasukannya yang dikomandani Pun Liok mampu mendesak mundur biarpun alot.

Sekaligus juga dapat menebak apa yang akan terjadi seandainya pasukan musuh di bawah tebing itu tidak dipergoki Pun Liok dan pasukannya. Ong Ling-po lalu memerintahkan pasukannya menyeberang jembatan dengan cepat, bahkan bagian dari pasukannya yang tadinya disuruh menyusuri tebing, kini juga 3disuruh menyeberang.

Kini Ong Ling-po yakin bahwa musuh ada di tebing seberang. Begitulah, sementara Ong Ling-po dan prajurit-prajuritnya menyeberang jembatan itu, dua-dua, karena jembatan itu tidak terlalu lebar, seorang prajurit San-hai-koan yang di bawah sempat berteriak, "Robohkan!”

Beberapa prajurit menggapai tali dan menariknya kuat-kuat, namun hasilnya tidak seperti rencana semula. Seandainya rencana semula dapat terlaksana, tiang-tiang jembatan itu masing-masing ditarik belasan orang, tentu akan roboh.

Tetapi kail ini sebagian besar anak buah Jin Seliang sedang meladeni anak buah Pun Liok, yang mendapat kesempatan untuk menarik tali pengikat hanyalah sebagian kecil, dan tiang-tiang jembatan tak bergeming biarpun penarik-penariknya sampai bermuka merah.

Ong Ling-po yang menyeberang paling dulu, dengan matanya yang tajam sempat melihat kilatan senjata di balik belukar dan pepohonan di tebing seberang. Karena itu, ia segera tahu 3apa yang harus dilakukannya agar orangorangnya tidak menjadi mangsa empuk orangorang di tebing seberang.

“Langsung menyebar dan kuasai bagian atas tebing! Hati-hati terhadap serangan batu-batu dan balok-balok kayu!”

Di tempat persembunyian barisanpendamnya di atas tebing, Kongsun Koan sedang masygul melihat sebagian rencananya sudah gagal, yaitu rencana merobohkan jembatan dan menceburkan sebagian pasukan Pelangi Kuning itu ke sungai.

Kini melihat bagaimana Ong Ling-po mendaki tebing seolah terbang, dan pasukannya yang mengikutinya pun dengan tangkas dan sigap menyebar sehingga tidak lagi menjadi sasaran empuk gelundungan batu dan balok yang sudah disiapkannya, Kongsun Koan mengertak gigi, tetapi kagum juga.

“Perwira muda bawahan Lau Cong-bin ini ternyata tangkas berpikir dan bertindak dalam menghadapi macam-macam situasi. Tadinya aku kira kalau Jenderal Lau segoblok kerbau, anak buahnya juga tidak lebih cerdas dari keledai, tak kusangka ada juga anak buahnya yang seperti ini." Meski demikian, Kongsun Koan masih ingin menggunakan rencana yang tersisa.

Sebelum seluruh pasukan Ong Ling-po keluar dari jembatan dan menyebar di tebing, Kongsun Koan sudah berteriak menggelegar, "Lepaskan batu!”

Tebing itu pun bergetar dan tersaput debu tebal ketika ratusan batu-batu besar serta potongan-potongan batang pohon menggelundung serempak. Anak buah Ong Ling-po yang sudah menebar di tebing, bahkan ada sebagian yang sudah sampai agak di atas, segera berlindung di balik pohon-pohon besar, membiarkan "banjir" batu dan balok kayu berlalu.

Tetapi pasukan Ong Ling-po yang belum sempat berpencar di bawah tebing, tidak sedikit yang tersapu oleh hujan batu itu dan terjerumus masuk ke tebing sungai. Ada juga yang tergilas gelundungan batu atau balok besar sehingga mereka berteriak memilukan. Orang-orang yang bertempur di sungai di bawah pun ada beberapa orang yang menjadi korban, tertimpa batu, tidak peduli kawan atau lawan.

Komandan dari kedua pihak sama-sama berteriak untuk memerintahkan pasukannya mundur menghindari hujan batu dari atas tebing. Jin Se-liang yang sejak semula merasakan pasukannya dalam kesulitan karena kalah banyak, memanfaatkan kesempatan untuk menarik mundur pasukannya.

Di bawah perlindungan pemegang-pemegang perisai, pasukan Jin Se-liang mundur. Mereka mundur sampai mendapati tebing sungai yang cukup landai untuk dipanjat naik sampai ke darat.

Sementara itu, Kongsun Koan tidak akan membiarkan pasukan Pelangi Kuning tadi sempat menyusun diri dengan mantap, apalagi kalau sampai menyebar dan memanjat tebing, tentu pihaknya akan terjepit karena kalah banyak. Maka selagi sebagian pasukan Pelangi kuning itu belum sempat melewati jembatan, Kongsun Koan berdiri, keluar dari persembunyiannya dan mengibaskan pedangnya yang besar dan berkilat-kilat itu.

Ia sendiri dan prajurit-prajuritnya segera menghambur ke bawah tebing, menerpa prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang belum merata menyebarnya di lereng, juga belum siap menyusun diri sehabis menghadapi serangan batu dan balok tadi.

Kongsun Koan yang menghambur paling depan, ketika pedangnya yang berkelebat merobohkan beberapa prajurit Pelangi Kuning, ia juga berteriak, "Ceburkan mereka ke sungai!”

Pasukan Pelangi Kuning di bawah pimpinan Ong Ling-po itu memang sudah terdorong mundur ke tepi sungai, mendekat beberapa langkah sebelum mereka sempat menyusun rangkaian pertahanan yang memadai. Tetapi mereka bertahan gigih sebab mereka tidak mau "disuruh mandi" dengan mencebur dari tebing setinggi belasan meter itu.

Sementara Ong Ling-po bisa memahami jalan pikiran Kongsun Koan musuhnya, dan dia pun mengeluarkan perintah tandingan, "Lindungi mulut jembatan! Percepat penyeberangan!”

Orang-orangnya yang sudah terlanjur menebar berusaha merapat kembali ke arah mulut jembatan, tidak terlalu dekat, dan sebisabisanya menyusun pertahanan. Gelombang serbuan Kongsun Koan dan pasukannya memang agak tertahan.

Kongsun Koan memerintahkan pasukan panah dan pelempar-pelempar lembingnya untuk mengincar ke mulut jembatan, tetapi pasukan Ong Ling-po tetap saja semakin banyak yang berhasil menyeberang. Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di tengah-tengah pertempuran dengan sepasang kaitan tajamnya yang sudah berwarna merah darah.

Namun sebagai panglima yang bersatu dengan pasukannya, sambil mengamuk ia juga mencoba tetap menguasai keadaan. Ketika merasakan medan pertempuran semakin dipadati oleh orang-orangnya, Ong Ling-po merasa sudah tiba saatnya untuk menyerang.

Begitu aba-aba diberikan, ia dan Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di tengah-tengah pertempuran dengan sepasang kaitan tajamnya yang sudah berwarna merah darah. Orang-orangnya pun men coba mendesak keluar, memperluas medan pertempuran. Dan orang-orangnya tidak mau sekedar bertahan di bagian bawah tebing, melainkan mencoba merebut posisi bagus di bagian atas tebing.

Ong Ling-po sendiri menerjang dan mengamuk prajurit-prajurit di pihak lawan, sampai Kongsun Koan sendiri menghadangnya dengan pedang besarnya yang dipegangi dengan dua tangan, mirip cara jago-jago Jepang bertempur, bedanya pedang besar Kongsun Koan tajam di kedua sisinya. Keduanya bertempur hebat. Begitu pula pasukan-pasukan mereka.

Tetapi sampai matahari hampir terbenam, kedua pasukan belum bisa menentukan kalah menang, desak-mendesak bergantian, sementara korban-korban terus berjatuhan. Sementara celah pegunungan yang biasanya sepi itu sekarang riuh-rendah dengan pertempuran, di kejauhan sayup-sayup terdengar dentuman pertempuran meriam yang belum berhenti, seperti kemarin dan seperti kemarin dulu. Menandakan kalau San-hai-koan masih alot dan belum dapat direbut.

Saat itu malahan Kongsun Koan dan Ong Ling-po, dua seteru itu, seolah bersepakat untuk menghentikan dulu pertempuran tak berketentuan itu. Sambil memperlambat gerak senjatanya, Kongsun Koan bertanya kepada lawannya, "Terus terang saja, pertempuran ini tak berketentuan. Bagaimana pendapatmu?"

Dalam pertempuran, kalau berbicara dengan lawan, biasanya siapa pun akan main gertak untuk menciutkan nyali lawan. Tetapi kali ini Ong Ling-po merasakan hal yang sama dengan lawannya, dan secara jujur menjawab, "Ya. Pasukanku unggul jumlah, pasukanmu unggul kedudukan dan pengenalan medan."

Kongsun Koan melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan Ong Ling-po membiarkannya saja. Kata Kongsun Koan kemudian, "Kau cukup punya otak untuk memperhitungkan segala sesuatunya sebenar-benarnya. Aku akan menarik mundur tentaraku, kalau kau pun melakukannya...”

“Baik. Mari kita lakukan bersama-sama. Tetapi aku ingin memperingatkan, kita akan tetap saling mengintai dan saling menghancurkan. Karena itu tugasku.”

“Aku tidak gentar. Kita memang berada di pihak-pihak yang bermusuhan."

Kedua orang itu sama-sama memberi abaaba kepada pasukan masing-masing, maka kedua pasukan itu sama-sama menarik diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau gugur. Korban cukup banyak hari itu, hanya dengan hasil "draw" bagi kedua pihak.


Sehari suntuk itu, pasukan besar Jenderal Lau masih belum berhasil merebut San-haikoan. Pasukan San-hai-koan dipimpin sendiri oleh Bu Sam-kui masih bertahan gigih di tembok kota. Dan pihak Lau Cong-bin hanya 4membuang begitu banyak nyawa untuk usaha sia-sia merebut tembok. Lau Cong-bin memerintahkan penembakpenembak meriamnya untuk menembaki pintupintu kota.

Pintu-pintu kota mestinya ambrol ditembaki segencar itu, tetapi pasukan San-haikoan telah memasang palang-palang yang kuat di belakang pintu, dan di belakang pintu juga ditumpuki dengan batu-batu besar dan urukan tanah, sehingga hari itu dapat bertahan.

Ketika hari makin gelap dan panah-panah prajurit-prajurit San-hai-koan di atas tembok semakin berbahaya karena semakin tidak terlihat jelas, maka Jenderal Lau dengan kesal memerintahkan pasukannya untuk mundur, setelah mendengarkan usul dari Deng Hu-koan, ajudan kepalanya.

“Bertambah lagi umur Bu Sam-kui satu hari..." geram Jenderal Lau sambil memandang sengit ke arah tembok San-hai-koan sebelum membalikkan kudanya dan meninggalkan tembok itu bersama pasukannya.

“Sementara perbekalan pasukan kita juga menipis karena dibakar oleh pengacau-pengacau dari pegunungan itu, kudengar prajurit-prajurit sudah mengeluh hari ini bahwa nasi ransum sudah terlalu encer karena terlalu banyak dicampuri air..."

Sudah tentu yang dikeluhkan Lau Cong-bin itu tidak termasuk makanannya sendiri. Pagi tadi Lau Cong-bin sudah sarapan satu setengah ekor ayam dan berbagai lauk istimewa.

Sementara Deng Hu-koan menghibur atasannya, "Jangan khawatir, Jenderal. Dulu kota Pak-khia yang dipertahankan berpuluh kali lebih kuat dari San-hai-koan saja bisa kita rebut. Apalagi, menurut kata-kata Ong Ling-po, malam tadi di San-hai-koan juga terjadi kebakaran gudang perbekalan makanan, entah oleh siapa. Jadi keadaan tikus-tikus di San-hai-koan itu tidak lebih baik dari kita. Mereka kelaparan juga, bedanya, kita bisa minta kiriman makanan dari Pak-khia, sedang mereka tidak bisa minta dari mana-mana...."

Jenderal Lau mengangguk-angguk. Sekali lagi menoleh ke arah tembok San-hai-koan di keremangan sore hari, dan berkata meneguhkan hatinya sendiri, "Ya, cepat atau lambat San-hai-koan akan aku rebut, batok kepalanya Bu Sam-kui akan aku pertontonkan kepada Tan Wan-wan agar dia menyesali kata-katanya terhadapku dulu....”

“Ya, ya, itu pasti..." Deng Hu-koan menjilat.

“Tetap tempatkan pasukan-pasukan untuk mengawasi San-hai-koan siang dan malam. Jangan lengah.”

“Baik, Jenderal.”

“Besok kita hantam lebih hebat lagi.”

“Ya, Jenderal.”

“Mudah-mudahan kiriman bahan pangan dari Pak-khia akan tiba secepatnya.”

“Ya, Jenderal."

Begitulah, bersamaan dengan turunnya malam, usaha menggempur San-hai-koan dihentikan. Tetapi San-hai-koan tetap terkepung di bagian barat sampai selatannya oleh pasukan Pelangi Kuning, bagian utaranya oleh wilayah Kerajaan Manchu dan bagian timurnya oleh Laut Kuning.

Di atas tembok kota, dalam cuaca yang mulai remang-remang dan udara yang mulai dingin, Bu Sam-kui menatap mundurnya pasukan Lau Cong-bin itu dengan perasaan bergolak. Tetapi bukan rasa lega, ia "tahu diri" bahwa belum saatnya ia merasa lega.

Di kejauhan nampak perapian dari perkemahan musuh yang melingkari San-hai-koan, memanjang sampai ke kaki bukit. Dan musuh masih bisa mendatangkan bala bantuan besarbesaran dari Pak-khia dan sekitarnya. Sedang pihaknya tetap bertahan dengan kekuatan sendiri.

Prajurit-prajurit yang ada padanya sekarang, yang makin kelaparan dan kelelahan, itu adalah modalnya yang sudah maksimal. Sementara prajurit-prajurit di sekitarnya sibuk mengatur diri di bawah penerangan oborobor, Bu Sam-kui terus menatap ke kejauhan, merenung dalam. Kulit wajahnya keruh karena berlapis keringat dan debu, setelah bertempur sehari suntuk.

Seorang perwiranya mendekatinya, "Panglima, kami anjurkan agar Panglima pulang ke markas untuk beristirahat. Besok kami masih membutuhkan pimpinan Panglima, dan Panglima harus tetap dalam keadaan segar dan berpikiran jernih.”

“Bagaimana keadaan pasukan kita?”

“Prajurit-prajurit kita tetap bersemangat tinggi."

Bu Sam-kui tahu kalau laporan itu agak berlebih-lebihan untuk saling menjaga semangat. Tetapi ia tidak membantah. “Ada yang gugur atau terluka?" tanyanya pula.

“Tentu saja ada, Panglima, karena musuh mengarahkan sebagian meriam-meriam mereka ke atas tembok, ke arah prajurit-prajurit kita yang bertahan. Tetapi seperti kemarin, korban di pihak kita jauh lebih sedikit dari pihak musuh yang mencoba menyerbu dan memanjat tembok."

Bu Sam-kui melangkah menuruni tembok, apa yang dikatakan perwiranya itu memang 5sudah dilihatnya sendiri sehari suntuk. Bahkan Bu Sam-kui sendiri seharian itu entah sudah berapa kali menjatuhkan prajurit musuh yang sudah hampir sampai ke atas tembok.

Dalam teori militer memang begitu, bahwa pihak yang menyerang tembok harus "membayar" jauh lebih mahal dari pihak yang bertahan, dan "mata uangnya" adalah nyawa-nyawa para prajurit. Namun Bu Sam-kui sudah melihat sendiri dan harus mengakui bahwa pasukan musuh seolah tidak ada habis-habisnya, seperti semut yang keluar dari liangnya.

Sebelum menuruni tangga batu tembok kota, Bu Sam-kui sempat sekali lagi menoleh ke arah bendera Jit-goat-ki yang terpasang di atas tembok San-hai-koan. Tak ada angin bertiup sehingga sekali lagi Bu Sam-kui seolah melihat sebuah lengan yang terkulai patah, apalagi kini pada bendera itu tertancap sebatang panah yang menggelayut lemah.

Di bawah tembok, Bu Sam-kui dan perwiranya itu menaiki kudanya dan kembali ke markas. Ketika lewat di depan pintu rumah 5kediaman Jai Yong-wan, saudagar Korea sahabat Bu Sam-kui itu, nampak Si Saudagar sedang berdiri di depan rumahnya dengan wajah pucat, agak ketakutan. Bu Sam-kui lalu menghentikan kudanya dan bertanya, "Selamat sore, Tuan Jai.”

“Selamat sore, Panglima. Bagaimana keadaan hari ini? Aku hampir pingsan mendengar dentuman meriam musuh tak hentihentinya sepanjang hari ini...”

“Jangan gentar. Hari ini musuh kembali dapat kita pukul mundur. Prajurit-prajurit kita telah bekerja sebaik-baiknya..." hibur Bu Sam-kui. “Musuh takkan pernah bisa masuk kemari.”

“Syukurlah..." Jai Yong-wan mengangguk-angguk. “Tentu itu karena Panglima sendiri yang memimpin dan mengobarkan semangat mereka.....”

“Yah..." desah Bu Sam-kui. “Tuan Jai, kalau Tuan tidak keberatan, malam ini datanglah Tuan ke markas. Aku hanya sekedar ingin mengobrol, sekedar mengendorkan ketegangan...."

"Aku tidak tahu-menahu soal militer, Panglima. Mana mungkin berbincang-bincang dengan Panglima?”

“Bukan soal militer, tetapi soal-soal ringan biasa. Mengendorkan urat syaraf yang hampir putus ini.”

“Baik, baik. Aku akan menyusul ke markas, dan aku akan bawakan kuah ginseng untuk menyegarkan badan. Aku senang kalau bisa berbuat sesuatu buat para prajurit San-haikoan, sesuatu yang sekecil apa pun.”

“Semangatmu tinggi, Tuan Jai. Nah, selamat tinggal. Aku menunggumu di markas bersama kuah ginsengmu...."

Jai Yang-wan memberi hormat lalu masuk ke rumahnya. Berpikir sejenak, lalu memerintahkan pembantu rumahnya, "Buat kuah ginseng panas. Nanti aku bawa ke rumah Bu Sam-kui."

Sementara Bu Sam-kui juga sudah tiba di tempat tinggalnya, pengawal-pengawal di depan pintu rumahnya memberi hormat, lalu Bu Sam-kui melangkah masuk ke dalam rumah, sendirian, sebab perwira yang menyertainya juga akan pulang ke rumahnya sendiri.

Ketika masuk ke dalam rumahnya, Bu Sam-kui merasa agak heran melihat lilin-lilin di rumah itu sudah menyala semua. Tetapi ia sedang terlalu penat untuk memikirkan hal-hal yang memakan tenaga pikiran. Ia melangkah masuk saja, menggantungkan pedangnya di dinding dan topi besinya di meja.

Ketika ia melangkah ke ruang tengah yang juga terang benderang, ia melihat seorang sudah duduk santai di ruangan itu dengan melonjorkan kaki. Seorang yang semuda dirinya, berpakaian agak lusuh, namun matanya bersinar penuh semangat dan menatap Bu Samkui sambil tersenyum.

Bu Sam-kui kaget sejenak, tapi kemudian menjerit kegirangan, "Helian Kong!”

Dua lelaki yang sama-sama masih setia kepada dinasti Beng itu pun sama-sama tertawa terbahak-bahak, berpelukan, menepuk pundak, mengguncang lengan kuat-kuat.

"Saudara Helian, bagaimana kau bisa masuk kemari?”

“Melompat tembok belakang. Kenapa Saudara Bu tidak menaruh pengawal di bagian belakang?”

“Ah, aku tidak pernah terpikir akan peristiwa seperti ini. Untung, yang datang adalah Saudara Helian, bukan musuh.”

“Jangan mengandalkan keuntungan terus-menerus. Di masa-masa pergeseran kekuasaan seperti ini, nyawa para peserta permainan, dari pihak mana pun, bisa menjadi incaran, juga oleh pihak mana pun. Aku pernah memergoki jago-jago bayaran Manchu mengincar nyawa Li Giam.”

“Baik, kuterima nasehatmu. Bagaimana keadaanmu selama ini? Isterimu, mertuamu, Saudara Siangkoan?”

“Semuanya baik-baik.”

“Pasukanmu.... masih ada?"

Anggukan Helian Kong sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Sam-kui itu sungguh membuat Bu Sam-kui amat lega. Apalagi ketika mendengar kata-kata Helian Kong selanjutnya,

"Ketika mendengar Lau Cong-bin menggerakkan pasukan kemari, aku pun menggerakkannya ke sini. Meskipun tidak terang-terangan berbaris di jalan raya sambil mengibarkan bendera, melainkan menyusup-nyusup jalan di pegunungan. Sekarang pasukanku bersembunyi di pegunungan tidak jauh dari San-hai-koan...”

“Bagus. Berapa jumlahnya?”

“Lima belas ribu, lebih kurang.”

“Itu melebihi pasukanku sendiri yang ada di San-hai-koan ini, yang hanya sepuluh ribu. Sepertiganya aku perintahkan bersembunyi di pegunungan di luar kota di bawah pimpinan Kongsun Koan. Dan sekarang, kau dan pasukanmu itu mau kau apakan?”

“Saudara Bu, pertama-tama aku memberitahukan kedatanganku dan pasukanku, supaya semangatmu berkobar kembali, begitu pula seluruh prajuritmu. Aku juga sudah menyebarkan orang-orangku untuk mencoba mencari kontak dengan pasukan-pasukan lainnya, seperti pasukan Kongsun Hui dan lainlainnya yang entah di mana. Kedua, aku ingin diberitahu posisi Kongsun Koan di pegunungan saat ini, supaya aku bisa berhubungan dengannya, dan bekerja-sama mengobrak-abrik barisan belakang Lau Cong-bin."

Bu Sam-kui memberi keterangan tentang arah yang ditempuh oleh Kongsun Koan, kemudian berkata, "Saudara Helian, aku juga akan menitipkan surat buat Kongsun Koan, agar ia menggabungkan diri dan menaruh diri di bawah komandomu, supaya hanya ada satu perintah saja.”

“Itu bagus. Aku jamin Lau Cong-bin akan mendapat bisul-bisul besar di pantat."

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Ketika itulah seorang prajurit masuk, sejenak merasa heran melihat di ruangan itu ada orang lain bersama panglima mereka, yang tidak mereka lihat kapan dan dari mana datangnya.

Bu Sam-kui bertanya, "Ada yang mau kau laporkan?"

Prajurit itu mengangguk, dan memandang ragu-ragu kepada Helian Kong, sehingga Bu Sam-kui tertawa dan berkata kepada prajuritnya sambil menepuk pundak Helian Kong, "Kenali baik-baik orang ini. Ini adalah Helian Kong, panglima dinasti kita yang terkenal, yang pernah berkali-kali difitnah Co Hua-sun dan begundal-begundalnya. Dia dan pasukannya sudah ada di belakang pasukan musuh. Jadi sekarang ini yang terjepit bukan kita, melainkan musuh. Kabarkan ini kepada teman-temanmu agar semangat mereka tidak kendor...."

Begitulah, prajuritnya belum sempat melapor, malahan Bu Sam-kui sudah menyerocos duluan meluapkan kegembiraannya. Namun kegembiraan itu memang segera menular kepada prajuritnya itu, dan Bu Sam-kui yakin kalau sebentar lagi kegembiraan itu juga akan menjalar ke seluruh pasukannya.

Prajurit itu memberi hormat kepada Helian Kong secara militer, "Terimalah salamku, Panglima Helian. Kedatangan Panglima dan pasukanmu sungguh membuat harapan kami tumbuh kembali....."

Helian Kong cuma tersenyum sambil mengangguk. Sementara Bu Sam-kui mengulangi kata-katanya yang tadi, "Ada yang mau kau laporkan?”

“Bukan sesuatu yang penting, Panglima. Hanya ingin melaporkan kalau Tuan Jai ada di luar, ingin menemui Panglima, dan membawa kuah ginseng katanya.”

“O, suruh dia masuk."

Prajurit itu keluar, sementara Helian Kong bertanya kepada Bu Sam-kui, "Siapa yang disebut Tuan Jai itu?”

“Sahabat baikku, seorang saudagar. Namanya Jai Yong-wan, orang Korea yang bosan karena negerinya terus-terusan dikuasai bangsa asing, setelah Jepang lalu Manchu, maka dia lari ke San-hai-koan ini."

Helian Kong agak mengerutkan alisnya, ketajaman nalurinya ada yang sedikit terusik oleh keterangan Bu Sam-kui tentang saudagar Korea yang diaku sahabatnya itu. “Kalau dia mengungsi ke kota ini, lalu bagaimana dengan usahanya?”

“Dia pedagang keliling. Sering bepergian baik ke negeri leluhurnya maupun ke wilayah Tiang-pek-san di wilayah Manchu membeli jinsom, lalu dititipkan ke kapal-kapal Portugis untuk dibawa ke selatan.”

“Jadi ia sering bepergian ke wilayah Manchu?”

“Ya, tetapi tidak perlu dicurigai. Ia pergi dalam rangka usahanya. Bahkan setiap habis bepergian itu, ia menguntungkan aku.”

“Menguntungkan bagaimana?”

“Ia banyak memberi keterangan tentang posisi dan gerak-gerik pasukan Manchu. Jadi aku bisa mewaspadainya terus."

Helian Kong mengangguk-angguk. Cuma dalam hatinya ia berkata, "Biar nanti kalau berhadapan muka dan bercakap-cakap dengan orang itu, aku akan menguji orang itu."

Sementara itu, dari luar ruangan sudah terdengar gemerisik langkah kaki. Jai Yong-wan dalam jubah saudagarnya muncul di pintu sambil kedua tangannya menyangga nampan, di atasnya ada mangkuk besar bertutup.

“Selamat datang, Tuan Jai." Langkah Jai Yong-wan tertegun sejenak di ambang pintu, melihat Helian Kong, lalu berkata, "Ah, aku tidak menyangka Tuan Bu sedang kedatangan tamu penting. Kalau aku tahu sebelumnya, tentu aku akan membawakan dua mangkuk....”

“Tidak usah repot-repot," potong Bu Samkui. “Isi mangkuk besar itu cukup untuk kami berdua. Tuan Jai, tidak usah sungkan di antara teman sendiri. Kenalkan, ini adalah Helian Kong, panglima Kerajaan Beng yang terkenal..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.