Sekte Teratai Putih Jilid 18
PERJALANAN hari itu sudah tidak mendaki pegunungan lagi, melainkan jalanan sudah menurun. Menurut Wan Lui, ada sebuah lembah sempit di depan sana, dan ada beberapa rumah penduduk yang pekerjaannya berburu binatang, meskipun letaknya berpencaran.
Mereka menjumpai sebuah rumah milik keluarga pemburu, berdinding tanah liat, beratap ijuk dan dikelilingi tanam-tanaman sayur. Pada dindingnya bergantungan kulit hewan-hewan liar hasil buruan, di antaranya adalah kulit rubah putih yang kalau dijual di kota akan mahal sekali harganya.
Ketika mereka memasuki halaman rumah, Tuan rumah sudah menyongsongnya. Tuan rumah ialah seorang lelaki tinggi kekar, bermata garang, ia menyambut dengan tangan memegang senjata tombak bermata dua, senjata khas kaum pemburu.
Sikapnya menyatakan kalau dia seorang yang tidak pernah menerima kunjungan orang luar, dan sekarang ia menyambut kunjungan Sebun Beng dan rombongannya dengan sikap curiga. Sementara ia menyongsong keluar, maka isteri dan anak-anaknya hanya mengintip dari belakang pintu dengan takut-takut.
"Siapa Tuan-tuan ini?" dengan sikapnya yang garang, Tuan rumah itu toh berusaha bersikap sopan, sambil mengamat-amati kelima orang tamunya. Seorang lelaki setengah tua berwajah ramah namun bertubuh tegap, dalam pakaian sederhana. Seorang lelaki muda namun bersikap cukup matang dengan wajah tampan.
Seorang lagi pemuda yang kalau melangkah akan kelihatan cacad kakinya, namun alangkah lembut matanya dan alangkah bercahaya wajahnya, menimbulkan rasa sejuk siapa pun dihadapannya. Dan seorang yang berpakaian seperti laki-laki pegunungan, tetapi jelas kalau perempuan.
Serta seorang yang berdiri agak di belakang sambil bersedakap, tangannya membawa pedang, mantel melambai dipundaknya, sepasang kakinya berdiri renggang seolah hendak berkelahi. Kalau keempat orang lainnya mencopot tudung bambu penahan panasnya ketika berhadapan dengan Tuan rumah, maka orang yang kelima itu sama sekali tidak mau mencopot capingnya.
Sebun Beng-lah yang jadi juru bicara untuk mewakili rombongannya, katanya sambil memberi hormat. "Tuan, kami berlima ini sedang melakukan perjalanan jauh untuk suatu keperluan. Sekiranya Tuan cukup lapang dada untuk memberi penampungan kepada kami malam ini, tentu kami akan berterima kasih sekali. Kami akan menginap di sini hanya semalam, besok kami akan meninggalkan tempat ini dengan meninggalkan uang ganti rugi yang pantas."
Si Tuan-rumah bertanya, "Soal uang ganti rugi tidak penting bagi kami. Yang nomor satu ialah, kalian bukanlah orang-orang jahat."
Liu Yok maju dan berkata, "Coba Tuan perhatikan wajah-wajah kami, apakah benar-benar kami seperti orang jahat?"
Seperti biasa, kata-kata Liu Yok selalu mengandung pengaruh yang besar. Sikap garang Si Tuan-rumah itu tiba-tiba saja mencair lenyap, lalu ia tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Baik, baik. Aku percaya. Tuan-tuan boleh menginap semalam di tempatku."
"Aku bukan Tuan...." tukas Sun Cu-kiok mencoba mengakrabkan diri kepada Tuan-rumah dengan berkelakar.
Si Tuan-rumah tercengang sebentar, namun ketika mendengar suara Sun Cu-kiok, suara seorang gadis, dia pun tertawa terbahak-bahak, "Oh, iya, maaf. Marilah Tuan-tuan dan.... Nona atau Nyonya?"
"Nona." sahut Sun Cu-kiok.
"Ya. Marilah, Tuan-tuan dan Nona ini berlindung dari embun malam di rumahku malam ini, tetapi maaf, rumahku biarpun besar namun di bagian dalamnya berantakan, mungkin amat tidak memuaskan bagi Tuan-tuan dan Nona yang dari kota."
Sebun Beng tersenyum, "Darimana Tuan tahu kami orang kota?"
"Maaf, tampang Tuan-tuan dan Nona ini terlalu bersih untuk orang-orang pegunungan semacam kami ini. Mudah dikenali."
Mereka segera masuk ke dalam rumah itu. Memang besar dan luas. Tapi suasana pedesaan terasa dengan kesederhanaannya yang teramat sederhana. Tuan-rumah menunjuk ke sebuah ruangan besar dengan bulu-bulu binatang buruan yang tergulung bertumpuk-tumpuk di sudutnya, sambil berkata,
"Tuan-tuan berempat nanti tidur di ruangan ini, maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan. Tuan-tuan boleh menggelar bulu-bulu binatang buruan itu sebagai alas tidur atau selimut. Sedangkan untuk tidurnya Nona ini...."
Tak terduga Sun Cu-kiok menyahut cepat, "Tidak usah merisaukan aku. Aku juga seorang pengembara seperti Pamanku dan Kakak-kakakku, sudah terbiasa tidur di sembarang tempat. Biar aku juga di sini."
Si Tuan-rumah tercengang sebentar, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menduga mereka berlima itu orang sekeluarga, kalau sudah melakukan perjalanan bersama sekian lama, tentunya juga sudah sering bersama-sama di tempat lain.
Karena tamu-tamunya meyakinkan sebagai orang-orang baik, maka Tuan-rumah yang tadinya mencurigai, sekarang jadi ramah sekali. Bahkan menyelenggarakan pesta kecil-kecilan dengan menyembelih ayam segala, saking gembiranya mendapat teman-teman baru.
Dan karena ayamnya baru disembelih sore itu juga, maka jadinya masakan lezat jadi agak malam. Tetapi justru karena terlambat itulah maka semua pihak jadi meningkat nafsu makannya, masing-masing habis banyak, tidak terkecuali Sun Cu-kiok.
Mereka berbincang larut malam, kemudian tidur. Meskipun Sun Cu-kiok tidur satu ruangan bersama Sebun Beng berempat di ruangan depan yang penuh dengan gulungan kulit binatang itu, sudah tentu Sun Cu-kiok sebagai seorang gadis sungkan kalau berdekatan dengan keempat lelaki, meskipun mereka sudah diakuinya di depan Tuan-rumah sebagai "Pamanku dan Kakak-kakakku."
Sebun Beng, Wan Lui, Liu Yok dan Auyang Hou tidur merapat di kaki tembok di satu sisi, sedangkan Sun Cu-kiok merapat di kaki tembok di sisi lainnya. Kelima-limanya beralas kulit binatang yang digelar berlapis-lapis, bahkan juga bisa dijadikan selimut.
Sekejap saja mereka sudah terbang ke alam mimpi, kecuali Auyang Hou yang sedang memikirkan suatu rencana. Di tempat itu tidak ada waktu, maka tidak bisa memperkirakan waktu kecuali dengan suara kokokan ayam liar di kejauhan. Tengah malam rasanya sudah lewat, ketika di kejauhan terdengar suara ayam berkokok.
Auyang Hou yang berbaring namun tidak tidur itu perlahan-lahan membuka mata dan memasang kuping baik-baik. Dilihatnya Pamannya, Kakaknya, Jenderal Wan Lui dan Nona Sun sudah pulas semua, agaknya karena kelelahan setelah sehari berjalan. Yang terdengar dalam rumah itu hanya desah napas orang-orang yang tidur, bahkan terdengar dengkur keras Si Tuan-rumah yang kadang-kadang diselingi suara kerot-kerot giginya.
Auyang Hou merasa aman untuk bangun perlahan-lahan, lalu melangkah mengendap menuju pintu keluar. Pedangnya tidak dibawanya. Namun, bagaimanapun hati-hatinya ia melangkah, Sebun Beng yang bertelinga tajam itu agaknya terbangunkan juga. Baru saja tangan Auyang Hou menyentuh palang pintu, Sebun Beng telah mengangkat kepalanya dan bertanya,
"Mau ke mana malam-malam larut begini A-hou?"
Auyang Hou agak terkejut, namun ia memang sudah menyiapkan jawaban, "Mau buang air kecil di luar, Paman."
"Tadi kau sudah dua kali buang air kecil."
"Ya, Paman. Tetapi malam ini udaranya dingin sekali, jadi sebentar-sebentar kepingin kencing."
Jawaban itu memang masuk akal. Udara memang dingin sekali. Maka Sebun Beng tidak mempersoalkan lagi. Ia menarik selimutnya ke atas, lalu meneruskan tidurnya.
Auyang Hou menyelinap keluar. Begitu melangkahi ambang pintu, sesaat tubuhnya bergetar kedinginan, memang sangat dingin di luar. Dan sangat gelap. Sebuah lampion kertas yang digantung di atas sebatang pohon dekat pagar halaman tidak membantu banyak, lampion itu bergoyang-goyang kena angin dan membuat bayangan pepohonan juga ikut bergoyang-goyang seram. Di kejauhan terdengar alun lolong serigala dan aum harimau.
Sambil mendekap pundak untuk menahan dingin, Auyang Hou menjauhi bangunan rumah itu, menyusup di antara pepohonan sayuran mencari tempat yang sepi. Tiba di tepi sebuah tempat yang gelap di balik rumpun pohon sayuran, ia membersihkan tanah dengan sepotong ranting berdaun, lalu duduk bersila. Ia membakar selembar "hu" (kertas kuning) sambil mengucapkan mantera lirih. Lalu mantera itu diucapkannya berulang kali.
Lolong serigala yang dikejauhan tiba-tiba berubah nada. Nadanya mengalun tinggi dan memanjang, menggidikkan bulu roma. Kata orang-orang tua, kalau serigala bersuara demikian sedang ada hantu yang lewat. Sementara itu, getar mantera Auyang Hou mulai mengenai sasarannya, yaitu Sun Cu-kiok.
Sun Cu-kiok yang sebelumnya memang sudah lebih dulu "terbuka" pertahanan jiwanya sejak menerima kalung berbentuk bunga teratai itu, sekarang jiwanya ibarat sebuah kota berbenteng yang di dalamnya sudah ada mata-mata musuh yang membukakan pintu.
Dalam tidurnya yang nyenyak tiba-tiba Sun Cu-kiok tersenyum-senyum sendiri. Nafasnya mendesah agak tersendat, berkeringat sedikit, la menggeliat beberapa kali, tiba-tiba ia terbangun. Beberapa saat ia duduk, matanya bergairah menatap Liu Yok yang tidur meringkuk di seberang ruangan.
Suatu pengaruh aneh yang tidak ia ketahui dari-mana datangnya, menyusup ke dalam dirinya, membuat darahnya mengalir lebih kencang, mendorong niatnya untuk membaringkan diri dan memeluk tubuh lelaki itu.
Namun sejauh itu apa yang dilakukan Sun Cu-kiok baru memandang dari seberang ruangan, la belum melangkah mendekat dan membaringkan diri di samping Liu Yok seperti dorongan aneh dalam hatinya. Bahkan jauh dalam kepribadian Sun Cu-kiok sendiri apa yang merasa tidak enak, menentang pengaruh aneh itu. Tetapi pengaruhnya yang aneh itu belum juga menghilang. Sun Cu-kiok mengusap keringat di jidatnya.
Sementara itu, di luar rumah, Auyang Hou berusaha memperkuat cengkeraman pengaruh gaib ilmunya atas jiwa Sun Cu-kiok. Ia keluarkan lagi selembar "hu" untuk dibakar, dan tambah gencar membaca mantera. Lolong serigala di kejauhan semakin menakutkan. Kemudian Auyang Hou mengeluarkan sebuah boneka perempuan kecil yang panjangnya sejengkal, yang di tubuhnya ada tulisan nama Sun Cu-kiok.
Boneka itu ditancapkan tegak di tanah, lalu kertas jimat yang terbakar diputar-putarkan di atas kepala boneka itu. Manteranya tambah gencar mengalir dari bibir Auyang Hou, sepalang matanya setengah terkatup, ia masuk dalam keadaan setengah sadar setengah siuman. Akibat gelombang kedua serangan gaib itu, Sun Cu-kiok pun makin tenggelam dalam pengaruh asing itu dan kepribadiannya sendiri jadi terbelenggu, tidak mau mengambil keputusan sendiri.
Akhirnya Sun Cu-kiok pun bangkit dan melangkah menyeberangi ruangan, mendekati Liu Yok. Hampir-hampir sama sekali melupakan rasa malunya, ia membaringkan diri di sebelah Liu Yok, menyusup ke dalam selimut bulu binatang yang mengerudungi Liu Yok, dan memeluk tubuh Liu Yok.
Liu Yok sedang nyenyak tidur saat itu. Ia sudah agak berhasil membersihkan pikirannya dari angan-angan mesum. Namun justru saat itulah dia merasa ada sesosok tubuh yang lembut dan hangat merapat ke tubuhnya, bau harum menyusup ke hidungnya, dan hembusan napas yang hangat seolah meniup-niup tengkuknya.
Ia mengira sedang bermimpi, lalu buru-buru bangun. Dan setelah bangun ia semakin kaget ketika mengetahui bahwa Sun Cu-kiok ternyata sudah pindah ke sampingnya dan memeluknya erat-erat.
"Eh... eh... Nona Sun... ada apa ini?" desis Liu Yok selirih-lirihnya, kuatir membangunkan Sebun Beng dan Wan Lui yang tidur pulas di sebelah lain dari tubuhnya.
Di bawah kendali ilmu gaib yang dilancarkan Auyang Hou, Sun Cu-kiok sudah lumpuh kepribadian aslinya sama sekali. Ia malahan mempererat pelukannya sambil berdesis, "Kakak Liu, aku merasa kedinginan. Dekaplah aku..."
Liu Yok benar-benar panik bukan kepalang. Kesadarannya mengatakan bahwa Sun Cu-kiok sedang "tidak beres". Ia paham benar kepribadian Sun Cu-kiok yang sebenarnya tidaklah seperti ini, bahkan berlawanan. Kalau Sun Cu-kiok berbuat seperti ini, artinya pasti ada yang tidak beres.
Namun Liu Yok sendiri adalah manusia biasa yang masih berkemah di dalam darah dan daging, meskipun selama ini Liu Yok lebih menitik-beratkan kesadarannya kepada "manusia dalamnya yang dia yakini adalah roh. Kali ini pengaruh kehangatan tubuh Sun Cu-kiok dan rengekannya yang menggetarkan jiwa itu sulit ditolaknya, meskipun Liu Yok berusaha mati-matian.
Ia tambah gugup ketika merasa tangan Sun Cu-kiok membuka kancing-kancing bajunya. "Jangan, Nona Sun. Ini tidak boleh..." cegah Liu Yok terengah-engah, sambil mencoba memegangi tangan Sun Cu-kiok agar tidak "beraksi" lebih jauh. Suaranya masih dibuat selirih mungkin karena kuatir membangunkan Sebun Beng dan Wan Lui.
Namun Sun Cu-kiok benar-benar sudah kehilangan kendali diri, "Kakak Liu, mari kita puaskan cinta kita. Jangan kuatir. Paman Sebun dan Jenderal Wan Lui sedang tidur pulas... atau kalau Kakak Liu tidak mau di sini, kita cari tempat di luar..."
Liu Yok benar-benar bingung. Ia makin cemas karena ternyata kepribadiannya seolah-olah juga mulai terbelah. Ada yang menolak ajakan itu, ada yang mengatakan "apa salahnya"? Apalagi ketika Sun Cu-kiok merapatkan dadanya yang lembut itu ke lengan Liu Yok.
"Nona Sun, sadarlah, bangunlah. Kau agaknya tidak sadar..." suara Liu Yok pun mulai terengah-engah.
Waktu itu Sebun Beng sebenarnya tidak terlalu pulas. Tidurnya sedikit terganggu ketika Auyang Hou pergi keluar tadi. Dan ketika ia hampir pulas kembali, tahu-tahu terjadi "keributan" disebelahnya. Bermula Sebun Beng tidak habis mengerti, bagaimana Sun Cun-kiok yang sedemikian anggun dan mengendalikan diri itu tiba-tiba bersikap seperti perempuan jalanan saja?
Bahkan perempuan jalanan pun takkan sedemikian bernafsu mengejar lelaki. Semua gerak-gerik Sun Cu-kiok dan Liu Yok serta kata-kata mereka, tidak ada yang lolos dari kuping Sebun Beng meskipun dia pura-pura tetap memejamkan mata.
Tetapi ketika Sebun Beng mulai merasakan bahwa Liu Yok hampir "bobol pertahanannya" - suatu yang bisa dimaklumi karena Liu Yok pun seorang lelaki normal-Sebun Beng tidak bisa lagi tinggal diam dan membiarkan sesuatu yang tak normal terjadi di dekatnya. Itulah sebabnya Sebun Beng kemudian pura-pura menggeliat bangun sambil menguap.
"Eh, ada apa ini?" Ia pura-pura bertanya. Dan pura-pura heran melihat Sun Cu-kiok sudah satu selimut dengan Liu Yok.
Sebun Beng berharap tegurannya yang cukup halus itu akan membuat Sun Cu-kiok malu lalu balik ke tempatnya semula. Ternyata tidak. Sun Cu-kiok tetap saja berbaring di sebelah Liu Yok, meskipun tidak lagi memeluk dan merengek. Bahkan ketika ia balas menatap Sebun Beng, tatapannya membuat Sebun Beng kaget, sebab sorot mata Sun Cu-kiok memancarkan permusuhan dan kebencian yang dahsyat menghanguskan ke arah Sebun Beng.
Namun naluri terdalam Sebun Beng juga memberitahu bahwa yang menatapnya penuh kebencian itu bukanlah kepribadian Sun Cu-kiok yang sejati. Berhadapan dengan perkara aneh seperti ini, yang bukan mustahil adalah ulah orang Pek-lian-kau dengan sihir-sihir mereka, maka Sebun Beng merasa paling baik kalau diserahkan kepada "ahli"-nya saja. Ahli urusan-urusan yang tidak masuk akal itu adalah Liu Yok. Maka Sebun Beng segera berdesis, "Liu Yok..."
Sayangnya Liu Yok sendiri saat itu seakan-akan justru sedang lumpuh, bukan lumpuh tubuhnya namun jiwanya. Jiwanya sedang kacau-balau oleh pertentangan dahsyat yang baru saja berkobar di dalamnya. Dan tubuh Sun Cu-kiok yang masih saja menempel di sebelahnya, meski sudah tidak lagi memeluknya erat-erat, seperti bara api yang membuat "pertempuaran" dalam "kota jiwa" Liu Yok tak kunjung padam. Itulah sebabnya ia tak dapat menanggapi kemauan Sebun Beng pamannya.
Sebun Beng jadi panik juga melihat Liu Yok seolah-olah tidak berdaya, la ingin membangunkan Wan Lui, tetapi kuatir tindakan seperti itu akan menyinggung Sun Cu-kiok, bahkan kelak setelah dia "sadar". Tiba-tiba mata Sebun Beng melihat tempat Auyang Hou tidur tadi masih kosong, hanya tertinggal pedangnya di tempat itu.
Sebun Beng heran bahwa orang buang air kecil saja kok sedemikian lamanya? Jangan-jangan ada apa-apanya? Jangan-jangan kepergok orang-orang Pek-lian-kau dan disergap kembali? Tingkah laku Sun Cu-kiok yang di luar kendali itu bisa jadi adalah tanda dari hadirnya seorang tokoh Pek-lian-kau di tempat itu yang sedang mempraktekkan ilmu gaibnya.
Begitulah, beban pikiran Sebun Beng jadi berganda. Belum selesai urusan "keributan" antara Liu Yok dan Sun Cu-kiok, urusan menghilangnya Auyang Hou juga menjadi bebannya.
"Eh, di mana A-Hou?" katanya, dan kesempatan itu digunakannya untuk membangunkan Wan Lui. Begitulah, mereka jadi bangun semuanya.
Sementara itu, bagaimana pun pengaruh asing yang menjerat Sun Cu-kiok dengan kuat itu, tetapi kepribadian Sun Cu-kiok sendiri bukanlah kepribadian lemah. Biarpun lemah sekali, dalam dasar hatinya mulai timbul perasaan heran, bagaimana segalanya ini bisa terjadi.
Sebun Beng kemudian berkata kepada Wan Lui, "A-Lui, berjagalah sebentar di sini bersama A-Yok dan Nona Sun. Aku akan keluar sebentar untuk mencari A-Hou."
Wan Lui duduk menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk itu, ia telah tidur demikian nyenyak sehingga tidak tahu apa yang terjadi, juga tidak tahu kenapa Sun Cu-kiok tiba-tiba saja "pindah tidur" ke dekat Liu Yok. "Ada apa ini?"
Maksud Sebun Beng, selama ia keluar, Wan Lui harus "mengawasi" Liu Yok dan Sun Cu-kiok agar jangan sampai melakukan tindakan amoral. Tak terduga Wan Lui yang masih setengah mengantuk itu belum dapat menduga maksud Sebun Beng.
Wan Lui malahan berkata. "Kalau begitu, Ayah, biar aku pergi bersama Ayah keluar untuk menemukan Saudara Auyang. Ayah jangan sendirian. Aku rasa cukuplah Saudara Liu dan Nona Sun berdua di sini..."
Sebun Beng mengeluh dalam hati karena Wan Lui belum juga menangkap maksudnya yang tidak mungkin dikatakannya terang-terangan di hadapan Sun Cu-kiok. Wan Lui belum diberitahu bahwa Liu Yok dan Sun Cu-kiok justru akan "terancam bahaya besar" kalau dibiarkan berdua saja. Siapa menjamin iman Liu Yok tidak akan runtuh akhirnya? Liu Yok toh bukan seorang malaikat.
Saat itulah Liu Yok ikut berbicara, "Jenderal Wan, aku memohon kau tidak meninggalkan aku. Kau harus menolong aku sewaktu-waktu...."
Terdengar Sun Cu-kiok menggeram sengit mendengar permintaan Liu Yok kepada Wan Lui itu. Mirip erang seekor kucing betina yang sedang diamuk berahi tetapi tidak berhasil mendapatkan jantannya. Waktu itu barulah Wan Lui dengan ketajaman perasaannya dapat merasakan ketidak-wajaran situasi itu, meskipun ia belum tahu apakah yang tidak wajar itu. Kantuknya lenyap seketika, ia pun berkata,
"Baiklah. Hati-hatilah berhadapan dengan ilmu gaib Pek-lian- kau, Ayah."
Sebun Beng cuma mengangguk. Jantungnya berdegup kencang juga membayangkan dirinya akan berhadapan dengan ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau. Ia teringat pengalamannya ketika bertempur dengan empat "orang" Thian-peng (prajurit langit) Pek-lian-kau yang ternyata hanyalah boneka-boneka rumput belaka. Ia hampir putus asa melawan mereka, seandainya waktu itu Liu Yok dalam mimpinya tidak mengucapkan, "Kalimat hanya debu".
Namun kali ini Sebun Beng tidak dapat mengandalkan pertolongan Liu Yok, sebab Liu Yok sendiri sedang ada masalah berat dengan dirinya sendiri. Tetapi sejak Sebun Beng rajin membaca buku pemberian Wan Lui itu-bukunya kaum Thai-cin-kau jauh di dasar hatinya ada juga tumbuh sedikit keyakinan bahwa posisinya yang ditentukan oleh Sang Pencipta sesungguhnya lebih tinggi daripada segala macam dewa, siluman atau roh yang dipuja orang-orang Pek-lian-kau.
Bukankah dirinya sendiri pernah juga "melakukan" keajaiban, meskipun ketika itu ia sendiri tidak sadar? Yaitu di kota Han-king. Ketika itu tokoh nomor satu Pek-lian-kau Utara, Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe, menyatroni penginapan Sebun Beng untuk mencuri kitab, karena disangkanya Sebun Beng sedang pergi.
Mo Hwe mengira Sebun Beng se-dang pergi, sebab sebelumnya di warung dekat dermaga sungai ia mengaku melihat Sebun Beng duduk di warung, padahal pada saat yang sama Sebun Beng sama sekali tidak pernah meninggalkan penginapannya sejengkal pun. Sambil membesarkan hatinya, Sebun Beng membuka pintu dan melangkah keluar rumah.
Di luar gelap, meskipun ada sebuah lampion yang digantungkan di atas pohon di dekat pintu masuk halaman. Lampion itu bergerak-gerak kena angin, menyebabkan bayangan-bayangannya pun bergerak-gerak seperti hantu-hantu yang menari-nari. Angin yang dingin mengiris kulit menyongsong Sebun Beng sehingga tubuhnya agak bergetar, lolong serigala di kejauhan membuatnya meremang.
Sebun Beng ragu-ragu sejenak, tetapi suatu aliran hangat tiba-tiba muncul dari dasar hatinya yang terdalam, menghangatkan jiwanya dan akhirnya juga tubuhnya, mengusir hawa dingin yang seperti ujung-ujung tangan para hantu yang mengusap kulitnya. Sambil melangkah menginjak bayangan pepohonan yang bergerak-gerak di tanah, Sebun Beng berbicara kepada dirinya sendiri,
"Ayo, Sebun Beng, ciptaan tertinggi yang diberi kuasa atas semua ciptaan yang jasad maupun yang roh, ambil wewenangmu yang diberi oleh Pencipta-mu!"
Lalu dia mulai melangkah berkeliling sambil menengok-nengok, mencari di mana Auyang Hou berada, la tidak mau berteriak-teriak memanggil-manggil sebab tidak mau mengganggu tidurnya Si Tuan-rumah dan anak isterinya.
Ia kelilingi halaman rumah itu satu kali, tetapi Auyang Hou belum juga dilihatnya jejaknya. Sebun Beng mulai gelisah. Ia mempertajam kupingnya, barangkali akan diketemukannya suara yang bisa memberi arah pelacakannya. Ketika ia lewat di halaman samping, tiba-tiba ketajaman telinganya menangkap suara bernada rendah dan bersuara magis, kalau didengarkan benar-benar akan terdengar seperti mantera. Suara itu arahnya seperti dari tengah-tengah pohon sayur di samping rumah.
"Hem, kira-kiranya benar-benar ada cecunguk Pek-lian-kau di tempat ini...."
Beberapa saat Sebun Beng menenangkan hatinya, menghirup udara malam beberapa kali dan menghembuskannya kuat-kuat. Lalu membulatkan tekad dengan kata-katanya sendiri, "Hem, biarpun cecunguk Pek-lian-kau itu berteman pasukan gendruwo atau siluman, aku akan melawannya."
Lalu dia melangkah menyelusup kebun sayur itu, langsung menuju ke arah suara mantera yang bergema itu. Di tengah-tengah kebun sayur, ia melihat ada sesosok tubuh sedang duduk bersila, membaca mantera sambil jari telunjuknya menggoreskan huruf-huruf gaib .di udara kosong. Meskipun orang itu nampaknya memakai caping, namun dalam kegelapan Sebun Beng sama sekali tidak menyangka kalau orang itu adalah keponakannya sendiri, Auyang Hou.
Pikirnya, caping seperti itu toh bisa dijual dan dibuat orang di mana-mana. Bukan Auyang Hou saja yang memakai caping. Sebun Beng langsung membentak, "Bangsat Pek-lian-kau, akhiri praktek ilmu jahatmu!"
Auyang Hou kaget dan melompat bangun, ia mengenali suara pamannya. Tetapi agaknya Pamannya belum mengenalinya karena gelapnya malam. Beberapa saat Auyang Hou membungkam, namun diam-diam tangannya merogoh bendera jimat Cong-hong-ki (bendera pemanggil angin) di balik bajunya.
Sementara itu Sebun Beng dengan geram telah melangkah maju dan mengancam, "Sobat dari Pek-lian-kau, jangan coba-coba melawan. Lebih baik kaukatakan di mana keponakanku Auyang Hou sekarang, dan cabut ilmu sihirmu atas diri Nona Sun!"
Auyang Hou masih belum berbicara karena kuatir suaranya dikenali oleh pamannya. Tetapi ia tiba-tiba melompat mundur sambil mengibaskan bendera kecil hitamnya berulangkali. Di tempat itu tiba-tiba berjangkit angin berputar yang sangat dingin dan gemerasak merobohkan bambu-bambu penopang pohon-pohon sayuran yang merambat. Angin berputar itu menjadi tirai antara Sebun Beng dan Auyang Hou.
Sesaat Sebun Beng kelabakan, akhirnya secara untung-untungan saja dia membentak, meniru-niru Liu Yok dulu, "Hei, kalian hanya debu!"
Sebun Beng sadar, kata-kata itu begitu kuat pengaruhnya kalau keluar dari mulut Liu Yok. Dan Sebun Beng juga ingat, bahwa dia pernah membentak boneka-boneka rumput yang dijadikan "Thian-peng" itu dengan kata-kata itu, namun tanpa hasil dan malahan para Thian-pengnya mengamuk lebih hebat.
Kali ini Sebun Beng mengucapkan secara untung-untungan dengan target hanya "mudah-mudahan ada hasilnya". Bedanya dengan yang dulu, kalau yang dulu Sebun Beng sekedar meniru-niru Liu Yok tanpa tahu arti kata-katanya, kali ini Sebun Beng mengucapkannya karena kata-kata itu terdapat di kitab yang sering dibacanya, dan kata-kata itu sudah meresap masuk jiwanya.
Dan hasilnya berbeda juga. Kata-kata yang tidak sekedar keluar dari mulut tetapi juga dari jiwanya itu disusul dengan redanya angin jadi-jadian itu, sehingga Auyang Hou kaget. Kaget karena menyangka Pamannya telah "ketularan" Liu Yok dengan segala keistimewaannya. Cepat-cepat Auyang Hou memutar tubuh dan melarikan diri. Sambil membaca mantera, ia jadi bisa lari lebih cepat sebab seolah-olah ada yang menggerakkan kakinya dengan hebat.
"Jangan lari!" bentak Sebun Beng sambil memburu. Ia agak heran juga karena melihat mantel yang berkibar di belakang pundak orang itu ia jadi ingat keponakannya. Orang itu dari belakang kok mirip A-hou? Ah, tidak, bantahnya sendiri dalam hati. "A-hou tidak mungkin bermain-main dengan sihir model Pek-lian-kau begini."
Biarpun dalam hati digelayuti tanda tanya, Sebun Beng tidak menghentikan langkahnya untuk memburu. Ia sungguh tangkas, sehingga ujung mantel "Orang Pek-lian-kau" itu masih sempat dijambretnya dari belakang. Mantel itu robek. Auyang Hou agaknya ketakutan kepada sang Paman itu, sehingga ketika mendengar suara robekan kain itu, ia tak sadar menjerit kaget, "Paman!"
Teriakan itulah yang membuat Sebun Beng tertegun. Ternyata memang benar itu Auyang Hou. Beberapa saat hati Sebun Beng masygul bukan main karena menemui kenyataan keponakannya itu telah mulai bermain-main dengan ilmu kaum iblis yang dibenci Sebun Beng. Ilmu yang lebih merusak jiwa dan raga daripada memberi manfaat yang hanya sedikit.
Ketika Sebun Beng tertegun itulah Auyang Hou sudah kabur belasan langkah jauhnya. Tiba-tiba Sebun Beng mengertakkan giginya dan membulatkan tekad, "Aku harus mendapatkan kembali keponakanku dari pengaruh ilmu sesat."
Berbarengan dengan berkobarnya tekadnya itu, tubuhnya pun meluncur ke depan ditopang sepasang kaki yang amat terlatih itu. Terjadilah kejar-mengejar di malam yang gelap itu, antara Paman dan keponakan, menerjang pohon-pohon sayuran yang jadi berantakan. Kemudian Auyang Hou dengan amat tangkas melompati pagar halaman yang terbuat dari batu dan direkat dengan tanah liat itu. Sebun Beng pun menyusulnya.
Melihat gerakan Auyang Hou yang secepat angin, mampu mengimbangi dirinya itu, Sebun Beng bukannya merasa bangga akan "kemajuan ilmu" Si Keponakan yang dulunya tidak bisa apa-apa itu, malah merasa tersayat hatinya. Jelaslah Sang Keponakan bisa berlari secepat itu bukan hasil latihan yang tekun, melainkan dengan bantuan setan-setan.
Dalam gusarnya, kembali terluncur keluar dari mulut Sebun Beng, "Setan-setan yang membantunya berlari, kalian hanya debu!"
Dan Auyang Hou pun kehilangan topangan gaibnya dalam berlari. Sekarang ia berlari dengan kekuatan alamiahnya, maka sebentar kemudian dia sudah roboh, dan sebelum sempat bangkit kembali, tengkuknya sudah dicengkeram oleh Pamannya yang membentak dengan gusar,
"Bagus sekali, A-Hou! Ternyata kau sudah bersekutu dengan roh-roh iblis! Bahkan kau juga tega untuk mencelakai teman- temanmu sendiri seperti Nona Sun Cu-kiok! Kau hendak meruntuhkan martabatnya sebagai wanita!"
"Ampum, Paman.... ampun, Paman..." Auyang Hou meratap-ratap ketakutan. Ketakutan karena tak menyangka bahwa Pamannya pun sekarang benar-benar sudah kebal terhadap ilmu gaib Pek-lian-kau. Bukan itu saja, bahkan juga bisa menyerang atau membuyarkan ilmu gaib Pek-lian-kau hanya dengan kata-kata dari mulutnya. Padahal dulunya yang bisa seperti itu hanyalah Liu Yok.
Menuruti kegusarannya, Sebun Beng rasanya ingin menampar keponakannya itu, tetapi tiba-tiba ia merasa di belakangnya ada derap langkah mendekat. Cepat-cepat ia berdiri sambil memutar tubuh, dan dilihatnya ada dua orang berbaju kuning dan memegang pedang sedang bersiap-siap menyerangnya.
Yang aneh adalah wajah mereka. Wajah mereka seperti sehelai kertas yang sembarangan saja dilukisi mata, hidung serta mulut dengan sembarangan, seperti lukisan hasil tangan seorang anak kecil saja. Juga wajah mereka hampa dari ekspresi apa pun.
Jantung Sebun Beng berguncang, ingat pengalamannya dulu ketika melawan empat "Thian-peng", dan sekarang dia yakin bahwa kedua "orang" di hadapannya itu pun hanyalah manusia jadi-jadian alias "serdadu langit" kiriman orang Pek-lian-kau.
Memang ada setitik kegentaran menyusup ke dalam hati Sebun Beng, maklum yang dihadapinya bukan manusia biasa. Tetapi dalam hatinya ada bisikan yang mengingatkan akan keberhasilannya belum lama tadi, maka hati Sebun Beng pun menjadi tenang kembali. Ia berdiri tegar menatap kedua "manusia" aneh itu, dan siap melontarkan "Kalian hanya debu" dari mulutnya.
Mendadak ia teringat kata-kata lain dalam kitab yang pernah dibacanya, dan timbullah niat Sebun Beng untuk main coba-coba. Maka yang keluar dari mulutnya pun adalah kata-kata yang terpikir belakangan tadi, "Dari mulutku keluar api dan kalian adalah kayu bakarnya."
Tidak terlihat api keluar dari mulut Sebun Beng, yang terlihat sekedap uap biasa karena dinginnya udara pegunungan malam hari itu. Tetapi kedua "orang” seolah tersentak langkahnya, lalu mereka roboh. Tubuh mereka menyusut kecil sehingga berubah menjadi dua helai kertas kuning yang digunting menjadi orang-orangan membawa pedang, panjangnya hanya sejengkal, dan tidak diketahui darimana apinya, kedua lembar kertas guntingan itu benar-benar terbakar dan berubah menjadi abu dalam sekejap.
Sebun Beng jadi tercengang sendiri akan hasilnya. Perasaan haru dan bangga tiba-tiba membungkus jiwanya. Tidak sia-sia selama ini tekun membaca dan merenungkan kitab pinjaman Wan Lui itu, sehingga banyak kata-kata dalam kitab itu rupanya sudah hidup menjadi semangat yang bersatu dengan semangatnya sendiri.
Karena tidak menduga itulah Sebun Beng jadi lengah sejenak. Kesempatan itu digunakan oleh Auyang Hou untuk bangkit dan kabur meninggalkan Pamannya. Derap Auyang Hou yang tergesa mengejutkan Sebun Beng. Sebun Beng segera memutar tubuh dan mengejar, makin bulat tekadnya untuk menyelamatkan Auyang Hou dari cengkeraman ilmu hitam.
Namun sesosok tubuh kurus, dengan wajah pucat melebihi mayat, tiba-tiba melompat dari atas sebuah pohon yang tinggi. Dengan sepasang lengannya yang kurus-kurus dan panjang -panjang itu dia langsung menyerang Sebun Beng dengan ganas. Tangan kiri hendak mencakar ke mata dan tangan kanan hendak merobek tenggorokan Sebun Beng dengan jari-jarinya yang kurus dan dibengkokkan seperti kaitan.
Sebun Beng yang sedang berlari kencang, kurang dapat mengerem larinya, maka ia pun tidak mengerem larinya melainkan hanya menundukkan kepala untuk menyelamatkan mata dan tenggorokkannya. Sambil menghindar Sebun Beng juga sekaligus membalas menyerang dengan serudukan kepalanya kearah perut lawan. Sambil menyeruduk, Sebun Beng sempat merasa geli sendiri dalam hatinya akan "jurus" yang sama sekali belum pernah dipelajarinya itu. Toh ia lakukan terus.
Orang yang melompat turun dari pohon itu tidak lain adalah Nyo Jiok. Tokoh nomor dua dalam Pek-lian-kau Sekte Utara yang bergelar Hui-heng-si (Si Mayat Terbang). Ia kaget karena serudukan Sebun Beng itu, mau menghindari juga sudah tidak sempat. Ia hanya menurunkan sepasang lengannya untuk mencoba mengurangi tenaga serudukan Sebun Beng dengan menahan ke sepasang pundak Sebun Beng.
Nyo Jiok membuat sebuah kesalahan fatal. Sebun Beng adalah manusia bertenaga gajah, maka Nyo Jiok yang kurus kering itu tentu saja terpental beberapa langkah ke belakang, jatuh ke tanah dengan pantat teposnya lebih dulu dan pantat teposnya itu "membajak" tanah sepanjang hampir dua meter sehingga celananya robek. Ditambah lagi dengan isi perutnya yang seolah-olah jadi jungkir balik tak keruan karena serudukan tadi.
Sementara itu, Sebun Beng yang masih geli sendiri akan "jurus kerbau"nya tadi, diam-diam berkata kepada dirinya sendiri di dalam hati. "Wahai Sebun Thai-hiap yang terhormat, apa kata orang nanti kalau orang-orang tahu bahwa Sebun Thai-hiap telah menciptakan jurus baru yang seperti kerbau?"
Saat yang sama, Nyo Jiok tidak ingin cepat-cepat bangkit karena merasa kondisinya berantakan saat itu. Kalau memaksakan dirinya bangkit, ia pasti dengan gampang akan dirobohkan kembali. Karena itu, Nyo Jiok tetap saja duduk, bahkan ia mulai bersila dan mulutnya mulai berkomat-kamit. Matanya tajam waspada menatap Sebun Beng. Dalam sekejap, kabut hitam menyelimuti tubuh Nyo Jiok sehingga tidak terlihat lagi oleh Sebun Beng.
Sebun .Beng yang baru saja menemukan kepercayaan diri bahwa sihir-sihir hitam tidak berkuasa atas dirinya, tertawa dingin melihat ulah Nyo Uiok itu. "Tuan, kalau aku tidak salah tebak tentulah Tuan ini pimpinan nomor dua Pek-lian-kau Pak-cong yang bergelar Hui-heng- si dan bernama Nyo Jiok?"
Karena Nyo Jiok diam saja tanpa menjawab di belakang tirai kabut hitamnya, Sebun Beng berkata pula, percuma dengan segala macam ilmu hitammu itu, sobat. Tidak akan ada yang mempan terhadapku, cobalah saja. Bahkan aku anjurkan lebih baik kau...."
Baru saja selesai kata-kata Sebun Beng itu, tiba-tiba dari tengah kabut hitam yang menyelubungi itu muncul seekor ular besar bersisik hitam yang langsung meluncur untuk membelit Sebun Beng. Sebun Beng cepat-cepat melompat mundur, tetapi ular besar itu terus memburunya, selain berusaha mematukkan taring-taringnya yang besar juga sering memutar tubuhnya untuk menyabetkan ekornya. Geraknya yang penuh perhitungan seperti hewan itu memahami ilmu silat saja.
Sebun Beng melawan beberapa saat, lalu merasa bahwa tidak ada perlunya dia memeras tenaga berkelahi dengan ular besar yang pasti juga jadi-jadian itu. Maka dia pun mengambil kesempatan untuk membentak dengan kata-kata ke-banggaannya, "Engkau hanya debu!"
Tak terduga kali ini ucapan Sebun Beng tidak mempan. Malahan ular itu kelihatannya marah sekali dan mengamuk semakin hebat. Begitulah, perkelahian antara manusia dan ular besar itu berlangsung hebat. Sebun Beng berusaha menghindarkan dirinya dari belitannya, tetapi juga sekali-kali juga berusaha memukul kepala ular itu dengan tangannya yang kuat.
Dan ular itu seolah-olah mengerti juga akan bahayanya tinju Sebun Beng, sehingga sering melakukan gerakan-gerakan licin menghindari pukulan Sebun Beng. Demikianlah, untuk sementara pertarungan antara manusia dan hewan jadi-jadian itu sulit diketahui mana yang bakal menang atau kalah.
Untuk menghadapi hewan jadi-jadian yang aneh itu, Sebun Beng benar-benar harus memusatkan seluruh perhatiannya kalau ingin selamat. Dengan demikian, pikirannya untuk Auyang Hou untuk sementara harus dialihkan dulu untuk menghadapi lawannya ini.
Pada saat yang sama, telah terjadi perubahan di dalam diri Sun Cu-kiok. Dengan berhentinya Auyang Hou menyerang dengan ilmu gaib pembangki berahi, maka pengaruh atas diri Sun Cu-kiok perlahan-lahan mengendor juga. Begitu kesadarannya yang muncul dari pribadinya yang asli mulai muncul dan menguasai kembali benaknya, maka Sun Cu-kiok pun terkejut sendiri. Tiba-tiba saja ia melompat menjauhi Liu Yok, lalu dengan bingung menatap Liu Yok dan Wan Lui bergantian sambil bertanya dengan bingung,
"Eh... kenapa aku.... lho! Tadi tidurku kan di sana?"
Waktu itu, Liu Yok belum padam benar gelora nafsunya yang "dinyalakan" oleh ulah Sun Cu-kiok tadi. Liu Yok tetap duduk bersila tanpa menjawab, memejamkan mata tanpa berani menatap ke arah Sun Cu-kiok karena kuatir kalau membuka matanya akan sama dengan "membuka pintu jiwa" untuk membiarkan pengaruh merangsang itu memasuki jiwanya dan "bikin ribut" lagi.
Saat itu pun dengan susah payah Liu Yok mengusir semua pengaruh yang sudah terlanjur masuk ke dalam jiwanya, bahkan rasa-rasanya syaraf- syaraf di permukaan kulitnya masih bisa merasakan kelembutan dan kehangatan kulit Sun Cu-kiok tadi, meskipun saat itu Sun Cu-kiok sudah menjauh beberapa langkah.
Wan Lui-lah yang menjawab, bijaksana tanpa membuat Sun Cu-kiok malu, "Nona Sun, kita mendapat serangan gaib pihak Pek-lian-kau. Untunglah, agaknya Ayah-mertuaku agaknya sudah menemukan dalangnya, dan mungkin sekarang sedang membereskannya. Maka pengaruh itu sudah menghilang sekarang."
Betapa pun Wan Lui berusaha menutup-nutupi kelakuan Sun Cu-kiok tadi, yang menyerupai perempuan jalang, tetapi gadis itu teringat juga sedikit. Ia tidak sepenuhnya dalam keadaan tidak sadar ketika semuanya terjadi tadi, hanya kesadarannya seperti kalah kuat oleh pengaruh yang lain. Dan kini setelah pengaruh itu lenyap, masih ada "sisa rekaman" peristiwa tadi dalam kesadarannya.
Tiba-tiba Sun Cu-kiok melangkah ke seberang ruangan, ke tempatnya tidur semula. Lalu duduk dan menangis terisak-isak, agaknya merasa malu akan apa yang dilakukannya tadi. Wan Lui menarik napas, membiarkan saja Sun Cu-kiok mencairkan kepepatan hatinya lewat air matanya. Nanti setelah hatinya sedikit tenang, barulah akan dihiburnya.
Untunglah Tuan-rumah dan keluarganya begitu pulas tidurnya telah seharian bekerja, sehingga mereka tidak terbangun dan minta penjelasan apa yang terjadi di rumahnya. Setelah isak Sun Cu-kiok mereda, barulah Wan Lui berkata, perlahan agar tidak membangunkan Si Tuan-rumah dan keluarganya,
"Nona Sun, tidak perlu kau menyesali dan menghukum diri sendiri, sebab apa yang terjadi sama sekali bukanlah kehendakmu yang sejati. Kehendakmu seolah dibelenggu oleh pengaruh aneh tadi dan dikesampingkan. Setiap orang yang ikut dalam rombongan ini sudah tahu bagaimana kepribadian Nona dan yakin tidak mungkin Nona melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah. Percayalah. Kalau Nona terus-menerus menyesali diri sendiri dan menghukum diri sendiri, sama saja Nona sudah masuk perangkap Pek-lian-kau. Memang itulah tujuan mereka."
Akal Sun Cu-kiok bisa menerima penjelasan Wan Lui itu. Tetapi perasaannya belum bisa. Perasaan seorang gadis yang bermartabat dan menjujung kehormatannya, namun hampir saja terjeblos ke dalam .perbuatan amoral karena dorongan dalam dirinya sendiri.
Wan Lui berusaha memahaminya juga. Itulah sebabnya ia kemudian tidak berbicara lagi. Ia membiarkan kata-katanya tadi meresap pelan-pelan ke dalam jiwa Sun Cu-kiok, mudah-mudahan. Ketika melihat pedang kepunyaan Auyang Hou masih tergeletak di tempatnya tidur yang kosong, pikiran Wan Lui tergerak. Ke mana Auyang Hou?
Dulu hilangnya diculik Nyo Jiok dari Pek-lian-kau, lalu munculnya aneh juga di tengah-tengah pegunungan, dan banyak kata-katanya yang kedengarannya tidak cocok satu sama lain. Dan malam ini kembali menghilang begitu saja selagi terjadi peristiwa seperti itu. Mendadak saja Wan Lui jadi mencemaskan Ayah-mertuanya yang juga sudah pergi dari tadi dan belum kembali-kembali juga.
Wan Lui ingin menyusul Sebun Beng, namun kuatir meninggalkan Liu Yok dan Sun Cu-kiok berduaan saja di tempat itu. Bagaimana kalau pengaruh aneh itu datang lagi? Sedangkan Liu Yok dan Sun Cu-kiok saat itu masih dalam keadaan rapuh pertahanan jiwanya. Liu Yok sendiri nampak belum selesai menenteramkan kembali "kota jiwa"nya. Wan Lui pun jadi kebingungan sendiri. Mencemaskan mertuanya, tetapi juga harus "mengawasi" Liu Yok dan Sun Cu-kiok.
Saat itulah baru Wan Lui teringat untuk berdoa, sesuatu yang belakangan ini amat jarang dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena kesibukannya yang menyita waktu, tetapi juga karena hidupnya yang terus menanjak naik, makin lama makin gemilang, sampai-sampai menjadi tangan kanannya Kaisar Kian-liong. Namun kali ini, dalam ketidakberdayaan, barulah dari relung jiwanya yang terdalam naik permohonan kepada Yang Maha Kuasa yang dipercayainya.
Pada waktu yang sama, Sebun Beng masih bertarung dengan ular besar jadi-jadian itu. Setelah kabut hitam tadi menyingkir, Nyo Jiok tidak terlihat lagi, maka Sebun Beng mendapat jawaban kenapa bentakannya seakan tidak mempan terhadap ular itu. Tak lain karena ular besar itu adalah perubahan rupa dari Nyo Jiok sendiri.
Dan Nyo Jiok adalah manusia, sedangkan menurut kitab yang dibaca Sebun Beng, manusia tidak akan dapat memerintah sesama manusia sebab derajatnya sama. Tidak peduli manusia yang satu adalah orang suci yang telah menumpuk gunung kebaikan, dap yang lain adalah penjahat yang sehari-harinya bergaul dengan iblis dan arwah-arwah jahat. Jadi yang dihadapinya bukan ular, melainkan Nyo Jiok yang sedang berwujud ular.
Tetapi dalam pertempuran "normal pun Sebun Beng tidak berkecil hati. Bahkan beberapa kali pukulannya berhasil mengenai tubuh ular besar itu, dan Sebun Beng yakin kalau pukulannya itu bisa menyakiti sebab ular itu menggeliat dan mendesis dan setiap kali gerakannya seperti tertegun-tegun.
Semangat Sebun Beng membubung naik, sambil bertempur, dia juga mulai "menyerang" dengan mulutnya berupa nasehat-nasehat, "Sobat Nyo, buat apa kau terus-teruskan bertingkah laku seperti ini? Sudah baik-baik saja jadi manusia, mahluk yang bermartabat tinggi, mahluk yang diberi hak oleh Yang Maha Kuasa untuk mewakili-Nya memerintah bumi, kok malah merubah diri jadi seekor ular, binatang yang terkutuk abadi?"
Nyo Jiok tidak mendengarkan nasehat itu. Desisannya makin kuat, serangannya makin hebat, dan ekornya berusaha membelit sekenanya. Agaknya dia marah, bahkan kadang-kadang dia meluncur seperti sebatang tombak yang dilontarkan.
Sebun Beng pun semakin berhati-hati. Namun semakin hebat Nyo Jiok mengamuk, semakin kedodoran pertahanannya, dan semakin sering pukulan Sebun Beng mengenai tubuhnya yang bersisik dan licin itu.
Dalam keadaan unggul di atas angin, Sebun Beng tetap saja memberi nasehat-nya, "Sudahlah. Kita akhiri saja pertikaian kita, dan kita mungkin akan bisa menjadi sepasang sahabat yang baik. Buat apa bermusuhan, kalau bisa bersahabat? Asalkan kaulepaskan keponakanku Auyang Hou dan juga Nona Sun Pek-lian, kenapa segala permusuhan tidak bisa dihabisi?"
Namun rupanya karena terlalu asyik "berkhotbah" ditambah lagi perasaan sudah hampir menang, Sebun Beng jadi sedikit lengah. Suatu kali ia berhasil menghindari patukan Nyo Jiok, tetapi tidak berhasil menghindar ketika dari mulut ular jadi-jadian itu tersembur kabut hitam berbisa. Sebun Beng tidak sempat menahan napasnya agar tidak menyedot kabut beracun itu, ia menyedot beberapa hirupan sebelum melompat mundur dengan kaget.
Racun yang terkandung dalam kabut hitam itu agaknya memang amat kuat, kepala Sebun Beng langsung terasa berkunang-kunang dan perutnya mual. Kakinya goyah. Dengan gusar Sebun Beng menuding ular jadi-jadian itu, "Nyo Jiok, kau benar-benar sudah tumpul terhadap uluran persahabatan antar sesama manusia! Agaknya bukan cuma tubuhmu yang bisa berubah menjadi hewan, tetapi jiwamu pun sudah seperti hewan!"
Nyo Jiok dalam ujud jadi-jadiannya itu tentu saja tidak bisa menjawab sebagaimana manusia. Namun ia menggeleser bolak-balik sambil berkali-kali mengangkat kepalanya dengan kepongahan, seraya mendesis-desis pula, seolah-olah ingin menyatakan kemenangannya.
Sementara itu Sebun Beng sudah berpikir-pikir untuk kabur saja, karena merasa tidak akan mampu bertempur dalam kondisi tubuh sangat terganggu seperti itu. Tetapi agaknya Nyo Jiok tidak akan melepaskannya begitu saja. Sorot matanya yang tajam mengawasi gerak- gerik Sebun Beng dengan waspada.
Saat itulah terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Dari balik semak-semak tiba-tiba terdengar geram lembut seekor serigala. Nampak di kegelapan itu sepasang mata yang merah menyala. Lalu di sekitar tempat itu terdengar suara menguik-uik yang ramai, dan mata-mata yang merah menyala pun terlihat di mana-mana. Mengepung tempat itu.
Sebun Beng terkesiap. Matanya yang tajam melihat sosok-sosok hewan berkaki empat bermoncong runcing, serigala, yang jumlahnya puluhan ekor sudah mengurung tempat itu. "Mampuslah aku malam ini dimakan serigala-serigala ini..." keluh Sebun Beng dalam hati menyadari ganasnya keroyokan hewan-hewan ini.
Seorang pemburu yang gagah berani pun lebih suka ketemu sepasang harimau dewasa daripada bertemu sekelompok hewan-hewan bertubuh kecil namun sangat rakus ini. Kalau bertemu kelompok serigala, para pemburu biasanya akan memanjat pohon untuk menyelamatkan diri.
Sementara Sebun Beng masih mengeluh dalam hati, "Seandainya aku seperti Liu Yok, dapat memerintahkan hewan-hewan..."
Lalu dari kegelapan melangkahlah seekor serigala yang luar biasa besarnya, ukurannya hampir-hampir seukuran anak lembu, agaknya inilah pemimpinnya.Yang aneh, nampak di bawah cahaya rembulan yang redup, bahwa seluruh tubuh serigala besar ini ditutupi bulu- bulu emas. Ini benar-benar serigala istimewa, terutama bulu-bulu di lehernya sangat tebal dan menjurai panjang, berkilat keemasan.
Sebun Beng sudah mengeluh dalam hatinya. Satu ular jadi-jadian saja sudah sulit dihadapi, apalagi kalau ditambah serigala yang wujudnya saja sudah "tidak normal" beserta gerombolannya. Bukan mustahil serigala yang luar biasa itu pun adalah jadi-jadian dari tokoh nomor satu Pek-lian-kau, Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe, sesuai dengan julukannya.
Serigala besar itu melangkah memasuki gelanggang, kemudian Sebun Beng menjadi heran ketika melihat serigala besar itu tidak membantu Nyo Jiok menghadapinya, sebaliknya malah menggeram-Sgeram dan menunjukkan sikap permusuhan terhadap Nyo Jiok yang sedang berwujud ular besar bersisik hitam itu.
Ular besar itu melingkar, berdesis-desis sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Mulutnya menyemburkan kabut hitam yang makin lama makin tebal menyelubungi dirinya. Serigala bulu emas itu tiba-tiba menggeram dengan nada yang agak lain, agaknya semacam "komando" kepada anak buahnya. Beberapa ekor serigala segera menyerbu dengan ganas ke arah ular-ular itu, dan sama sekali mengabaikan Sebun Beng.
Sebun Beng cuma berdiri termangu-mangu melihat kejadian di luar dugaan itu. Sampai ia tiba-tiba mengingat akan kata-kata yang pernah Auyang Hou katakan kepadanya dulu, bahwa di antara dua tokoh tertinggi Pek-liarvkau Utara, yaitu antara Kim-mo-long Mo Hwe dan Hui-heng-si Nyo Jiok ternyata telah pecah pertentangan terbuka.
Nyo Jiok ingin merebut kedudukan Mo Hwe sebagai Cong-cu (Ketua Sekte) sedangkan Mo Hwe tentu saja mempertahankannya. Waktu itu terjadilah perkelahian antara ular besar bersisik hitam itu melawan puluhan ekor serigala yang mengeroyoknya, dan mencoba menggigitnya dari segala jurusan.
Sebun Beng diam-diam menilai bahwa serigala-serigala itu adalah serigala-serigala biasa, bukan jadi-jadian, hanya saja mereka tercekam pengaruh Si Serigala besar berbulu emas yang hampir pasti adalah hewan jadi- jadian. Hanya serigala besar itulah yang jadi- jadian, sebab tidak ada serigala biasa berukuran sebesar itu dan berbulu seperti itu.
Demikianlah, ular besar bersisik hitam itu mengamuk di antara serigala-serigala. Sisik-sisiknya yang hitam ternyata adalah perisai bagi sekujur tubuhnya yang tak tertembus oleh taring serigala-serigala biasa. Bahkan beberapa ekor serigala berhasil dipatuk mampus, dan sebagian lagi terpental kena sabetan ekor ular raksasa itu.
Meskipun demikian, karena jumlah serigala itu pun cukup banyak, pergulatan itu tak juga segera berakhir. Dan kawanan serigala itu karena memang hewan-hewan asli yang tidak bisa berpikir, mereka terus saja menggonggong dan menerjang tanpa kenal takut ke arah si Ular besar. Mereka hanya menurutkan pengaruh yang ada dalam diri mereka.
Sebaliknya dengan si Ular besar yang adalah hasil alih wujud Nyo Jiok itu. Dia manusia, dan dapat berpikir. Nyo Jiok dapat mengenali bahwa serigala besar berbulu emas itu adalah Kakak seperguruannya dan Ketuanya, Mo Hwe. Selagi ia memeras tenaga mati-matian melawan keroyokan serigala-serigala, sementara tulang-tulang tubuhnya pun masih sakit karena kena pukulan Sebun Beng tadi.
Maka dilihatnya Mo Hwe dalam ujud binatangnya itu masih enak-enak di luar gelanggang, menghemat tenaganya. Nyo Jiok berpikir, jelas dia di pihak yang dirugikan. Karena itu, dalam pertempurannya melawan serigala-serigala itu, Si Ular besar Nyo Jiok pun mencari jalan untuk meloloskan diri.
Nyo Jiok makin hebat meliuk-liuk dan menyabet-nyabetkan tubuh jejadiannya, sehingga makin banyak pula kawanan serigala menjadi korbannya. Sambil tidak lupa terus mewaspadai serigala emas di luar gelanggang, dan juga mewaspadai Sebun Beng.
Suatu ketika, ular hitam itu melenting ke angkasa, dan di tengah-tengah udara berubah kembali ke ujud aslinya sebagai Nyo Jiok. Tubuhnya yang kurus itu tidak langsung meluncur turun, karena pasti akan disongsong oleh serigala-serigala kelaparan di bawahnya, melainkan meluncur ke ujung ranting sebuah pohon dan langsung meluncur pergi.
Sambil tertawa, ia meninggalkan kata-katanya, "Sebun Thai-hiap, maaf aku pinjam keponakanmu untuk sementara waktu, kelak akan kukembalikan!"
Dan kepada Si Serigala Emas, Nyo Jiok meninggalkan kata-kata pula, "Maaf aku tidak bisa terus menemanimu bermain-main, Kakak Mo. Ada banyak pekerjaan yang menanti aku."
Sebun Beng merasa agak pusing gara-gara kabut beracun tadi, tetapi ia tidakakan membiarkan Nyo Jiok pergi begitu saja. Hanya ketika ia hendak melompat menyusul, Serigala Bulu Emas itu juga telah mengubah diri ke wujud aslinya, Mo Hwe, yang langsung berdiri menghadang Sebun Beng seraya berkata, "Tunggu sebentar, Tuan Sebun!"
Sebun Beng pun menghentikan langkahnya, menatap Mo Hwe dengan waspada. Meskipun Mo Hwe baru saja menolongnya dengan kawanan serigalanya, tetapi bagaimanapun juga Mo Hwe adalah musuh. Lagipula Sebun Beng tidak menganggap tindakan Mo Hwe tadi sebagai pertolongan yang ditujukan buatnya, melainkan hanya karena permusuhan antara kedua tokoh Pek-lian-kau Utara itu.
Apalagi di sekitarnya masih ada kawanan serigala yang setiap saat bisa digerakkan oleh Mo Hwe untuk menyerangnya. Dilihatnya Mo Hwe memejamkan matanya sekejap dan mulutnya berkomat-kamit, lalu kawanan serigala itu pun tiba-tiba bubar sendiri. Pergi menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan begitu saja kawan-kawan mereka yang sudah menjadi bangkai.
Sebun Beng menarik napas lega. Tindakan Mo Hwe itu bolehlah dianggap sebagai langkah persahabatan. Pikirnya, "Baiklah aku tunggu dan aku dengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Pimpinan Tertinggi Pek-lian-kau Utara ini." Mo Hwe mulai berkata, "Tuan Sebun, malam ini impaslah hutang-piutang antara kita."
"Hutang-piutang?" Sebun Beng heran. "Hutang-piutang apa?"
"Dulu di Nan-king kau sudah melepaskan diriku pergi, meskipun waktu itu kau sebenarnya bisa menangkapku, atau meneruskan memukuli aku. Nah, sekarang kubayar lunas hutangku itu."
Sebun Beng tersenyum, "Saudara Mo, apa yang kulakukan itu tidak pernah aku masukkan sebagai perhitungan hutang-piutang yang suatu saat harus kutagih dirimu. Tidak. Aku belajar melakukannya dengan senang hati, dan aku akan banyak-banyak melakukannya lagi."
Mo Hwe termangu-mangu sejenak, namun ia tetap berusaha agar sikap dinginnya tidak mencair. "Keyakinanmu itu urusanmu sendiri, Sebun Beng. Tetapi keyakinanku berbeda dengan keyakinanmu. Bagiku hutang budi harus dibayar, supaya kelak aku tidak segan menghadapimu sebagai lawan!"
"Sobat Mo Hwe, sebenarnya kita bisa jadi sahabat."
"Tidak mungkin untuk saat ini. Bukankah saat ini kau dan rombonganmu sedang mencari tempat kami untuk mengacaukan rencana kami?"
"Perjalananku tidak bermaksud memusuhi pihakmu. Kami hanya ingin menyelamatkan Nona Sun Pek-lian, juga keponakanku Auyang Hou, serta menyelamatkan perut puluhan ribu perajurit di Propinsi Ou-lam dan keluarga perajurit-perajurit itu."
"Apa yang kau maksudkan dengan menyelamatkan perut perajurit-perajurit di Ou- lam itu?"
"Batangan-batangan emas yang kalian rampas itu adalah gaji para perajurit di Ou-lam. Dengan lenyapnya emas-emas itu, bukankah berarti...."
"Bukan kami yang merampas emas-emas itu!" tukas Mo Hwe.
Sebun Beng tercengang, "Bukan kali an?"
"Ya!"
"Tetapi di tempat penghadangan itu diketemukan bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari bendera dinasti Beng) dan bendera Pek-lian-ki (Bendera Teratai Putih)..."
"Ada usaha dari pihak lain untuk mengkambing-hitamkan kami!"
"Siapa pihak lain itu?"
Pertanyaan itu membuat gigi Mo Hwe gemertak gemas, mengingat bagaimana pihaknya sudah "kena getahnya tetapi tidak ikut makan nangkanya". Pihaknya pernah dihubungi oleh orang berkedok yang mengaku bekerja di istana Raja Manchu namun jiwanya berkobar dengan semangat pembebasan bangsa Han. Kelompok "patriot-patriot bangsa Han" yang mengaku bekerja secara rahasia dalam istana Manchu itu, mengajak Pek-lian-kau bekerja sama merampas emas-emas milik kerajaan.
Mereka mengatur rencana, route dan penyamaran pengiriman emas itu juga diberitahukan kepada pihak Pek-lian-kau, dan pihak Pek-lian-kau diminta untuk melakukan ini-itu demi suksesnya rencana itu. Ketika itu Mo Hwe menurut saja, la kirim orang-orangnya yang menyamar sebagai rombongan wayang-boneka. Tak terduga ternyata sekutu mereka, para "patriot bangsa Han" itu mengkhianati mereka.
Komplotan istana itu menyodorkan Pek-lian-kau hanya sebagai umpan untuk menarik dan mengalihkan perhatian pasukan- pasukan istana di bawah pimpinan Wan Lui, kemudian komplotan "patriot bangsa Han" itulah yang mendahului merampas emas-emas itu. Tinggallah pihak Pek-lian-kau yang kena getahnya.
Tidak menikmati sebutir emas pun, tetapi diuber-uber Wan Lui dan pasukan rahasianya karena dianggap merampok emas-emas itu. Mo Hwe mencoba mencari hubungan kembali dengan komplotan "patriot bangsa Han" dari istana itu, namun jejak mereka sudah menghilang, sama dengan emas-emas itu. Mo Hwe benar-benar merasa tertipu.
Namun ada satu hal yang memberinya harapan, suatu petunjuk yang hanya sekelumit dan diperolehnya dari Hek-wa-koai (Siluman Gagak Hitam) Mao Pin. Petunjuk itu hanyalah berupa keterangan bahwa "patriot bangsa Han" yang dulu pernah menghubungi pihak Pek-lian-kau untuk mengajak bekerja sama itu, meskipun tidak dikenal wajahnya karena berkerudung, tetapi ada sebuah ciri tahi-lalat besar dipunggung tangannya.
Kini berhadapan dengan Sebun Beng, mertua Wan Lui, panglima pasukan rahasia Kaisar Kian-liong, timbul niat Mo Hwe untuk memperalat Wan Lui. Katanya kepada Sebun Beng, "Sebun Beng, kau mau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri. Tetapi aku beritahu kau bahwa komplotan yang merampas emas-emas itu adalah komplotan orang-orang istana sendiri!"
Mo Hwe menyangka Sebun Beng akan kaget mendengar itu, lalu mendesak dirinya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Tak terduga wajah Sdbun Beng ternyata tenang-tenang saja. Rupanya Sebun Beng sudah banyak berbicara dengan Wan Lu dan sedikit banyak sudah tahu juga kalau dalam istana kerajaan pun ada komplotan-komplotan tersembunyi yang saling sikut di dalam istana maupun di luar.
Tertangkapnya Thia To-sai, seorang perwira istana yang keluyuran sampai pegunungan terpencil itu, menambah kuat dugaan Wan Lui yang telah diberitahukannya kepada mertuanya. Bahkan tugas utama Wan Lui yang dipikulkan oleh Kaisar Kian-liong sendiri, bukan untuk menemukan kembali emas-emas itu, melainkan membongkar komplotan istana itu.
Karena komplotan itu terlalu licin, maka membongkarnya bukan langsung di dalam istana, melainkan dilacak dari luar istana. Sayang Thia To-sai sendiri sudah terbunuh sebelum memberi keterangan....